Anda di halaman 1dari 33

REFERAT

DRUG INDUCED LIVER INJURY

Oleh
Nur Rahmat Wibowo, S.Ked
I11106029

Pembimbing
dr. H. Yustar Mulyadi, Sp. PD

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
RSU DOKTER SOEDARSO
PONTIANAK
2011
LEMBAR PERSETUJUAN

Telah disetujui Referat dengan judul :

Drug Induced Liver Injury

Disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan


Kepaniteraan Klinik Mayor Ilmu Penyakit Dalam

Pontianak, 06 Juni 2011


Pembimbing Referat, Disusun oleh :

dr. H. Yustar Mulyadi, Sp.PD Nur Rahmat Wibowo,S.Ked


NIM: I11106029

2
Yesterday we learn...Today we practice and Tomorrow we achieve...
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL i

LEMBAR PENGESAHAN. ii

DAFTAR ISI .. iii

BAB I. PENDAHULUAN . 1

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. 2

2.1 Definisi....... 2

2.2 Epidemiologi..... 2

2.3 Etiologi.. 4

2.4 Faktor Resiko... 6

2.5 Patofisiologi dan Mekanisme 8

2.6 Klasifikasi. 15

2.7 Manifestasi Klinis. 16

2.8 Diagnosis.. 17

2.9 Penatalaksanaan... 22

2.10 Beberapa Obat yang Mangakibatkan DILI .... 23

2.11 Prognosis. 27

BAB III. KESIMPULAN .. 28

DAFTAR PUSTAKA . 29

3
Yesterday we learn...Today we practice and Tomorrow we achieve...
BAB I
PENDAHULUAN

Obat merupakan salah satu penyebab penting dari kerusakan hati. Lebih dari
900 jenis obat, toksin dan herbal telah dilaporkan dapat mengakibatkan kerusakan
pada sel-sel hati, dan 2040% dari semua kejadian gagal hati fulminan
diakibatkan oleh obat. Kerusakan hati akibat obat (Drugs Induced Liver Injury)
adalah alasan paling banyak dimana suatu obat dapat ditarik dari peredarannya
ataupun dibatasi penggunaannya. Seorang dokter harus lebih peka dalam
mengidentifikasi obat-obat yang berhubungan dengan kerusakan hati karena
dengan deteksi awal dapat menurunkan beratnya tingkat hepatotoksisitas dari
suatu obat apabila penggunaan obat segera dihentikan. Manifestasi dari kerusakan
hati yang diinduksi oleh obat sangat bervariasi, mulai dari peningkatan enzim-
enzim hati yang tanpa gejala (asimptomatik) sampai terjadinya gagal hati
fulminan.1
Salah satu fungsi hati yang penting ialah melindungi tubuh terhadap
terjadinya penumpukan zat berbahaya yang masuk dari luar, misalnya obat.
Banyak diantara obat yang bersifat larut dalam lemak dan tidak mudah
diekskresikan oleh ginjal. Untuk itu maka sistem enzim pada mikrosom hati akan
melakukan biotransformasi sedemikian rupa sehingga terbentuk metabolit yang
lebih mudah larut dalam air dan dapat dikeluarkan melalui urin atau empedu.
Dengan faal sedemikian ini, tidak mengherankan bila hati mempunyai
kemungkinan yang cukup besar pula untuk dirusak oleh obat. Kerusakan hati
akibat obat ( Drugs Induced Liver Injury ) pada umumnya tidak menimbulkan
kerusakan permanen, tetapi kadang-kadang dapat berlangsung lama dan fatal.2
Di Amerika Serikat, kira-kira dari 2000 kasus terjadinya gagal hati akut
(Acute Liver Failure), lebih dari 50%-nya diakibatkan oleh obat (39% karena
asetaminofen, 13% karena reaksi idiosinkrasi dari pengobatan lain).1

4
Yesterday we learn...Today we practice and Tomorrow we achieve...
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Kerusakan hati akibat obat (Drug Induced Liver Injury) adalah kerusakan
hati yang berkaitan dengan gangguan fungsi hati yang disebabkan oleh karena
terpajan obat atau agen non-infeksius lainnya.3 FDA-CDER (2001)
mendefinisikan kerusakan hati sebagai peningkatan level alanine
aminotransferase (ALT/SGPT) lebih dari tiga kali dari batas atas nilai
normal, dan peningkatan level alkaline phosphatase (ALP) lebih dari dua kali
dari batas atas nilai normal, atau peningkatan level total bilirubine (TBL)
lebih dari dua kali dari batas atas nilai normal jika berkaitan dengan
peningkatan alanine aminotransferase atau alkaline phosphatase.3

Gambar 1. Definisi Drug Induced Liver Injury berdasarkan tipe kerusakan yang
terjadi pada hati4

2.2 Epidemiologi

Angka kejadian DILI (Drug Induced Liver Injury) sebagian besar tidak
diketahui dengan pasti, hal ini dikarenakan penelitian prospektif pada
populasi yang berhubungan dengan kerusakan hati yang diakibatkan oleh

5
Yesterday we learn...Today we practice and Tomorrow we achieve...
obat masih relatif rendah. Angka kejadian DILI pada populasi umum
diperkirakan 12 kasus per 100.000 orang pertahun. Pada pusat rujukan
tersier kira-kira terdapat 1,2% hingga 6,6% kasus penyakit hati akut yang
diakibatkan oleh DILI. Sedangkan estimasi insiden DILI adalah 14 per
100.000 pasien per tahun pada penelitian prospektif yang dilakukan di
Prancis bagian utara, yang berarti 10 kali lebih tinggi dari rata-rata yang
dilaporkan oleh penelitian lain.5 Laporan terbaru mengindikasikan bahwa
DILI terjadi dalam 1/100 pasien yang dirawat di bagian penyakit dalam.7
DILI adalah kejadian yang jarang tetapi terkadang menjadi penyakit yang
serius. Diagnosis yang cepat dan akurat sangat penting di dalam praktek
sehari-hari.6
Di negara-negara barat, penyebab mayoritas DILI adalah obat antibiotik,
antikonvulsan dan agen psikotropika.5 Laporan lain menyebutkan bahwa
Asetaminofen merupakan penyebab utama DILI di negara-negara barat.7 Di
Amerika Serikat, amoksisilin/klavulanat, INH, nitrofurantoin dan
florokuinolons adalah penyebab DILI yang terbanyak. Perbedaan diantara
penelitian di AS dan Eropa dikarenakan terdapat perbedaan di dalam
penggunaan obat-obat yang diterima di masing-masing negara dan kebiasaan
di dalam meresepkan obat. Di negara Asia, herbal dan suplemen diet adalah
penyebab paling sering dari DILI. Herbal dan suplement diet baru-baru ini
menyebabkan kurang dari 10% kasus DILI di negara-negara barat.5

2.3 Etiologi

Cedera hati dapat menyertai inhalasi, ingesti atau pemberian secara


parenteral dari sejumlah obat farmakologis dan bahan kimia. Terdapat kurang
lebih 900 jenis obat, toksin dan herbal yang telah dilaporkan dapat
mengakibatkan kerusakan pada sel-sel hati.1 Beberapa diantaranya seperti
pada tabel 1 dibawah ini merupakan penyebab paling sering dari Drug
Induced Liver Injury.

6
Yesterday we learn...Today we practice and Tomorrow we achieve...
Tabel 1. Obat-obat yang telah dilaporkan dapat menyebabkan Drug-Induced
Liver Injury7

Penelitian yang dilakukan oleh Kazuto Tajiri and Yukihiro Shimizu di


Jepang mengungkapkan bahwa penyebab dari Drug Induced Liver Injury
diantaranya adalah asetaminofen (16,9%), anti-HIV seperti Stavudine,
Didanosine, Nepirapine, Zidovudine (16,8%), Troglitazone (11,7%), anti
konvulsan seperti Asam Valproat dan phenitoin (10,3%), anti kanker (12,3%)
yang meliputi Flutamide (3,3%), Cyclophosphamide (3,1%), Methotrexate

7
Yesterday we learn...Today we practice and Tomorrow we achieve...
(3,0%) dan Cytarabine (2,9%), Antibiotik (8,7%) seperti Trovafloxacin
(3,2%), Sulfa/trimethoprim (2,9%) dan Clarithromycin (2,8%), Anestesi
seperti Halothane (4,8%), Obat Anti-tuberculosis, Isoniazid (3,2%),
Diklofenak (3,1%) dan Oxycodone (3,1%).6

Tabel 2. Perubahan terpenting dari morfologi hati yang diakibatkan oleh


beberapa obat dan kimia yang digunakan.8

8
Yesterday we learn...Today we practice and Tomorrow we achieve...
2.4 Faktor Resiko

Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya Drug Induced


Liver Injury antara lain:1
a. Ras
Beberapa obat memiliki perbedaan toksisitas terhadap ras tertentu. Misal,
ras kulit hitam akan lebih rentan terhadap toksisitas isoniazid. Laju
metabolisme dikontrol oleh enzim P-450 dan itu berbeda pada tiap
individu

b. Umur
Reaksi obat jarang terjadi pada anak-anak. Resiko kerusakan hepar
meningkat pada orang dewasa oleh karena penurunan klirens, interaksi
obat, penurunan aliran darah hepar, variasi ikatan obat, dan volume hepar
yang lebih rendah. Ditambah lagi, kurangnya asupan makanan, infeksi,
dan sering mondok di rumah sakit menjadi alasan penting akan terjadinya
hepatotoksisitas obat.

c. Jenis Kelamin
Walaupun alasannya tidak diketahui, reaksi obat pada hepar lebih banyak
pada wanita.

d. Konsumsi alkohol
Peminum alkohol akan lebih rentan pada toksisitas obat karena alkohol
menyebabkan kerusakan hepar dan perubahan sirotik yang mengubah
metabolisme obat. Alkohol menyebabkan deplesi simpanan glutation yang
menyebabkannya lebih rentan terhadap toksisitas obat.

e. Penyakit hepar
Pada umumnya, pasien dengan penyakit hati kronis tidak semuanya
memiliki peningkatan resiko kerusakan hepar. Walaupun total sitokrom P-
450 berkurang, beberapa orang mungkin terpengaruh lebih dari yang
lainnya. Modifikasi dosis pada penderita penyakit hati harus berdasarkan
pengetahuan mengenai enzim spesifik yang terlibat dalam metabolisme.

9
Yesterday we learn...Today we practice and Tomorrow we achieve...
Pasien dengan infeksi HIV dan Hepatitis B atau C, resiko efek
hepatotoksik meningkat jika diberikan terapi antiretroviral. Pasien dengan
sirosis juga resikonya meningkat terhadap dekompensasi pada obat.

f. Faktor genetik
Gen unik mengkode tiap protein P-450. Perbedaan genetik pada enzim P-
450 menyebabkan reksi abnormal terhadap obat, termasuk reaksi
idiosinkratik. Debrisoquine merupakan obat antiaritmia yang
menyebabkan rendahnya metabolisme karena ekspresi dari P-450-II-D6.
Hal ini dapat diidentifikasi dengan amplifikasi PCR dari gen mutasi.

g. Penyakit lain
Seseorang dengan AIDS, malnutrisi, dan puasa lebih rentan terhadap
reaksi obat karena rendahnya simpanan glutation.

h. Formulasi obat
Obat-obatan long-acting lebih menyebabkan kerusakan hepar
dibandingkan dengan obat-obatan short-acting.

Gambar 2. Faktor Resiko yang Berhubungan dengan DILI4

10
Yesterday we learn...Today we practice and Tomorrow we achieve...
2.5 Patofisiologi dan Mekanisme Drug Induced Liver Injury
2.5.1 Metabolisme Obat

Sebagian besar obat bersifat lipofilik sehingga membuat mereka mampu


menembus membran sel intestinal. Obat kemudian diubah lebih hidrofilik
melalui proses-proses biokimiawi di dalam hepatosit, menghasilkan produk-
produk larut air yang diekskresi ke dalam urin atau empedu. Biotransformasi
hepatik ini melibatkan jalur oksidatif utamanya melalui sistem enzim
sitokrom P-450.9

Gambar 3. Metabolisme Obat9

2.5.2 Sistem Enzim yang Berperan Dalam Detoksifikasi

a. Sistem tahap I

Sistem detoksifikasi tahap I, melibatkan terutama enzim supergene


sitokrom P-450, secara umum merupakan enzim pertahanan pertama
melawan bahan asing. Sebagian besar bahan kimia dimetabolisme melalui
biotransformasi tahap I. Pada reaksi umum tahap I, enzim sitokrom P-450
(CYP450) menggunakan oksigen dan sebagai kofaktor, NADH, untuk

11
Yesterday we learn...Today we practice and Tomorrow we achieve...
menambah kelompok reaktif, misalnya hidroksil radikal. Sebagai hasil dari
tahap ini dalam detoksifikasi, diproduksi suatu molekul reaktif yang lebih
toksik daripada molekul awal. Apabila molekul reaktif ini tidak berlanjut
pada metabolisme selanjutnya, yaitu tahap II (konjugasi), dapat
menyebabkan kerusakan pada protein, RNA, dan DNA di dalam sel.
Beberapa penelitian menunjukkan bukti terhadap hubungan antara
terjadinya induksi tahap I dan/atau berkurangnya aktivitas tahap II dengan
meningkatnya resiko penyakit, misalnya kanker, SLE, dan penyakit
Parkinson.9

b. Sistem tahap II

Reaksi konjugasi pada tahap II umumnya mengikuti aktivasi tahap I,


dimana akan mengakibatkan xenobiotik yang telah larut air dapat
diekskresikan melalui urin atau empedu. Beberapa macam reaksi
konjugasi terdapat di dalam tubuh, termasuk glukoronidasi, sulfas, dan
konjugasi glutation serta asam amino. Reaksi ini memerlukan kofaktor
yang tercukupi melalui makanan.9
Banyak yang diketahui mengenai peran dari sistem enzim tahap I pada
metabolism bahan kimia seperti halnya aktivasinya oleh racun lingkungan
dan komponen makanan tertentu. Walau begitu, peran detoksifikasi tahap I
pada praktek klinik tidak terlalu diperhatikan. Kontribusi dari sistem tahap
II lebih diperhatikan dalam penelitian dan praktek klinik. Dan hanya
sedikit yang diketahui saat ini mengenai peran sistem detoksifikasi pada
metabolism zat endogen.9

2.5.3 Mekanisme Hepatotoksisitas

Mekanisme jejas hati karena obat yang mempengaruhi protein


transport pada membran kanalikuli dapat terjadi melalui mekanisme
apoptosis hepatosit karena asam empedu. Terjadi penumpukan asam-asam
empedu di dalam hati karena gangguan transport pada kanalikuli yang
menghasilkan translokasi Fas sitoplasmik ke membran plasma, dimana
12
Yesterday we learn...Today we practice and Tomorrow we achieve...
reseptor-reseptor ini mengalami pengelompokan sendiri dan memacu
kematian sel melalui apoptosis. Disamping itu, banyak reaksi hepatoseluler
melibatkan sistem sitokrom P-450 yang mengandung heme dan
menghasilkan reaksi-reaksi energi tinggi yang dapat membuat ikatan
kovalen obat dengan enzim, sehingga menghasilkan ikatan baru yang tidak
punya peran.9

Gambar 4. Ilustrasi yang menggambarkan mekanisme terjadinya DILI,


yang meliputi metabolisme obat, kerusakan hepatosit, aktivasi
sistem imun dan menghasilkan terjadinya kerusakan jaringan.
CYP (Cytochrome P450), IFN (Interferon), IL (Interleukin),
NL (Natural Killer Cell), NKT (Natural Killer T Cell), dan
TNF (Tumor Necrosis Factor).10

Kompleks enzim-obat ini bermigrasi ke permukaan sel di dalam


vesikel-vesikel untuk berperan sebagai imunogen-imunogen sasaran
serangan sitolitik sel T, merangsang respons imun multifaset yang

13
Yesterday we learn...Today we practice and Tomorrow we achieve...
melibatkan sel-sel sitotoksik dan berbagai sitokin. Obat-obat tertentu
menghambat fungsi mitokondria dengan efek ganda pada beta-oksidasi
dan enzim-enzim rantai respirasi. Metabolit-metabolit toksis yang
dikeluarkan dalam empedu dapat merusak epitel saluran empedu.9
Kerusakan dari sel hepar terjadi pada pola spesifik dari organella
intraseluler yang terpengaruh. Hepatosit normal terlihat di tengah-tengah
gambar yang dipengaruhi melalui 6 cara.1,9

a. Kerusakan hepatosit

Ikatan kovalen dari obat ke protein intraseluler dapat menyebabkan


penurunan ATP, menyebabkan gangguan aktin. Kegagalan perakitan
benang-benang aktin di permukaan hepatosit menyebabkan rupturnya
membran hepatosit.

b. Gangguan protein transport

Obat yang mempengaruhi protein transport di membran kanalikuli


dapat mengganggu aliran empedu. Hilangnya proses pembentukan vili
dan gangguan pompa transport misal multidrug resistanceassociated
protein 3 (MRP3) menghambat ekskresi bilirubin, menyebabkan
kolestasis.

c. Aktivasi sel T sitolitik

Ikatan kovalen dari obat pada enzim P-450 dianggap imunogen,


mengaktifkan sel T dan sitokin dan menstimulasi respon imun
multifaset.

d. Apoptosis hepatosit

Aktivasi jalur apoptosis oleh reseptor Fas TNF-? menyebabkan


berkumpulnya caspase interseluler, yang berakibat pada kematian sel
terprogram (apoptosis).

14
Yesterday we learn...Today we practice and Tomorrow we achieve...
e. Gangguan mitokondria

Beberapa obat menghambat fungsi mitokondria dengan efek ganda


pada -oksidasi (mempengaruhi produksi energi dengan cara
menghambat sintesis dinucleotide adenine nicotinamide dan
dinucleotide adenine flavin, yang menyebabkan menurunnya produksi
ATP) dan enzim rantai respirasi.

f. Kerusakan duktus biliaris

Metabolit racun yang diekskresikan di empedu dapat menyebabkan


kerusakan epitel duktus biliaris.

Gambar 5. Mekanisme Hepatotoksisitas11

15
Yesterday we learn...Today we practice and Tomorrow we achieve...
Secara patofisiologik, obat yang dapat menimbulkan kerusakan pada
hati dibedakan atas dua golongan yaitu hepatotoksin yang predictable dan
yang unpredictable.1,2

1. Predictable Drug Reactions (intrinsik) : merupakan obat yang dapat


dipastikan selalu akan menimbulkan kerusakan sel hepar bila diberikan
kepada setiap penderita dengan dosis yang cukup tinggi. Dari golongan
ini ada obat yang langsung merusak sel hati, ada pula yang merusak
secara tidak langsung yaitu dengan mengacaukan metabolisme atau faal
sel hati. Obat hepatotoksik predictable yang langsung merusak sel hati
umumnya tidak digunakan lagi untuk pengobatan. Contohnya ialah
karbon tetraklorid dan kloroform. Hepatotoksin yang predictable yang
merusak secara tidak langsung masih banyak yang dipakai misalnya
parasetamol, tetrasiklin, metotreksat, etanol, steroid kontrasepsi dan
rifampisin. Tetrasiklin, etanol dan metotreksat menimbulkan steatosis
yaitu degenerasi lemak pada sel hati. Parasetamol menimbul kan
nekrosis, sedangkan steroid kontrasepsi dan steroid yang mengalami
alkilasi pada atom C--17 menimbulkan ikterus akibat terhambatnya
pengeluaran empedu. Rifampisin dapat pula menimbulkan ikterus
karena mempengaruhi konjugasi dan transpor bilirubin dalam hati.2

2. Unpredictable Drug Reactions/Idiosyncratic drug reactions:


kerusakan hati yang tim bul disini bukan disebabkan karena toksisitas
intrinsik dari obat, tetapi karena adanya reaksi idiosinkrasi yang hanya
terjadi pada orang-orang tertentu. Ciri dari kelainan yang bersifat
idiosinkrasi ini ialah timbulnya tidak dapat diramalkan dan biasanya
hanya terjadi pada sejumlah kecil orang yang rentan.
Menurut sebab terjadinya, reaksi yang berdasarkan idiosinkrasi ini
dapat dibedakan dalam dua golongan yaitu karena reaksi
hipersensitivitas dan karena kelainan metabolisme. 2

16
Yesterday we learn...Today we practice and Tomorrow we achieve...
Tabel 3. Reaksi Obat Idiosinkrasi dan Sel-Sel yang dipengaruhinya11

Reaksi Hipersensitivitas
Biasanya terjadi setelah satu sampai lima minggu dimana terjadi proses
sensitisasi. Biasanya dijumpai tanda-tanda sistemik berupa demam, ruam
kulit, eosinofilia dan kelainan histologik berupa peradangan
granulomatosa atau eosinofilik pada hati. Dengan memberikan satu atau
dua challenge dose, gejala-gejala di atas biasanya segera timbul lagi.

Reaksi idiosinkrasi karena kelainan metabolisme (Metabolic-


idiosyncratic)
Mempunyai masa laten yang sangat bervariasi yaitu antara satu minggu
sampai lebih dari satu tahun. Biasanya tidak disertai demam, ruam kulit,
eosinofilia maupun kelainan histopatologik yang spesifik seperti di atas.
Dengan memberikan satu atau dua challenge dose kelainan ini tidak dapat
diinduksi untuk timbul lagi ; untuk ini obat perlu diberikan lagi selama
beberapa hari sampai beberapa minggu. Hal ini menunjukkan bahwa
diperlukan waktu yang cukup lama agar penumpukan metabolit

17
Yesterday we learn...Today we practice and Tomorrow we achieve...
hepatotoksik dari obat sampai pada taraf yang memungkinkan terjadinya
kerusakan hati.2

Gambar 6. Mekanisme terjadinya kerusakan hati yang dimediasi oleh


sistem imun12

2.6 Klasifikasi Drug-Induced Liver Injury

Berdasarkan The Councils for International Organizations of Medical


Scinces (CIOMS) DILI dibagi menjadi tiga tipe, yaitu:6,13
1. Tipe Hepatoseluler/Parenkimal
Tipe hepatoseluler didefinisikan sebagai peningkatan alanine
aminotranferase (ALT) > 2 kali batas atas nilai normal (ULN=upper
Limit of Normal) atau R 5, dimana R adalah rasio aktivitas serum
ALT/aktivitas alkaline phosphatase (ALP), yang keduanya terjadi
peningkatan terhadap batas atas nilai normal. Kerusakan hati lebih berat
terjadi pada tipe hepatoseluler daripada tipe kolestasis atau campuran,
dan pasien dengan peningkatan bilirubin level pada kerusakan hati
hepatoseluler mengindikasikan kerusakan hati yang serius dengan tingkat
kematian yang tinggi. Tipe ini ditemukan rata-rata 0,7 sampai 1,3 dari
100.000 individu yang menerima pemberian obat.

18
Yesterday we learn...Today we practice and Tomorrow we achieve...
2. Tipe Kolestasis
Tipe kolestasis didefinisikan sebagai peningkatan ALP > 2 kali ULN atau
R 2.
3. Tipe Campuran
Tipe campuran didefinisikan sebagai peningkatan ALT > 2 kali ULN dan
2<R<5. Pasien dengan tipe kolestasis atau campuran lebih sering
berkembang menjadi penyakit kronik daripada tipe hepatoseluler.

Drug-Induced Liver Injury Network (DILIN) mengembangkan sistem


penilaian untuk menentukan derajat berat Drug-Induced Liver Injury
berdasarkan gejala, ikterik, membutuhkan perawatan rumah sakit, tanda-tanda
gagal hati dan kematian atau membutuhkan transplantasi hati.5

Tabel 4. Derajat Berat DILI berdasarkan DILIN Prospective Study5

2.7 Manifestasi Klinis

Gambaran klinis hepatotoksisitas karena obat sulit dibedakan secara


klinis dengan penyakit hepatitis atau kolestasis dengan etiologi lain. Riwayat
pemakaian obat-obatan atau substansi hepatotoksik lain harus dapat diungkap.
Onset umumnya cepat, gejala berupa malaise dan ikterus, serta dapat terjadi

19
Yesterday we learn...Today we practice and Tomorrow we achieve...
gagal hati akut berat terutama bila pasien masih meminum obat tesebut
setelah awitan hepatotoksisitas. Apabila jejas hepatosit lebih dominan maka
konsentrasi aminotransferase dapat meningkat hingga paling tidak lima kali
batas atas normal, sedangkan kenaikan konsentrasi alkali fosfatase dan
bilirubin menonjol pada kolestasis. Mayoritas reaksi obat idiosikratik
melibatkan kerusakan hepatosit seluruh lobus hepatik dengan derajat nekrosis
dan apoptosis bervariasi. Pada kasus ini gejala hepatitis biasanya muncul
dalam beberapa hari atau minggu sejak mulai minum obat dan mungkin terus
berkembang bahkan sesudah obat penyebab dihentikan pemakaiannya.9

2.8. Diagnosis

Terdapat beberapa metode diagnostik yang digunakan untuk membantu


di dalam mendiagnosis DILI diantaranya adalah The Naranjo Adverse Drug
Reactions Probability Scale (NADRPS) yang digunakan untuk menilai reaksi
efek samping obat, The Council for International Organizations of Medical
Sciences or Roussel Uclaf Causality Assessment Method (CIOMS/RUCAM),
Maria and Victorino (M&V), dan di Jepang terdapat skala diagnostik yang
digunakan untuk mendiagnosis DILI berdasarkan kriteria CIOMS/RUCAM
dengan menambahkan Drug-lymphocyte stimulation test (DLST) yang
disebut Digestive Disease Week Japan (DDW-J). Skala DDW-J telah
dilaporkan mempunyai nilai sensitivitas yang lebih tinggi bila dibandingkan
dengan CIOMS/RUCAM (93,8% vs 77,8%) pada analisis terhadap 127
pasien di Jepang. Bagaimanapun, skala ini harus dievaluasi pada pasien non-
Jepang untuk melihat efektivitas penggunaannya secara universal.6 Diantara
semua kriteria yang ada, CIOMS/RUCAM merupakan metode diagnostik
yang paling banyak digunakan dan baru-baru ini menjadi metode standar
untuk diagnosis DILI.6

20
Yesterday we learn...Today we practice and Tomorrow we achieve...
Tabel 5. Skala kriteria CIOMS/RUCAM Scale14

Type of liver
Hepatocellular Cholestatic/Mixed Points
injury
Time of onset of the First Second Second
First exposure
event exposure exposure exsposure

Time from drug 5 to 90 days 1 to 15 days 5 to 90 days >90 days +2


intake until reaction <5 or >90
> 15 days <5 or >90 days >90 days +1
onset days

Time from drug


withdrawal until 15 days 15 days 30 days 30 days +1
reaction onset
Alcohol Alcohol or pregnancy +1
Risk factor
Age 55 years Age 55 years +1
> 50% improvement 8 days +3
> 50% improvement 30 days > 50% improvement 180 days +2
< 50% improvement 180 days +1
Course of the
Lack information or no Lack information or no
reaction 0
improvement improvement
Worsening or < 50%
1
improvement 30 days

Score Analysis : > 8 (definitive/highly probable), 68 (probable), 35 (possible), 12 (unlikely), 0


(excluded)

Pada gambar 7 di bawah ini menunjukkan Review terhadap 61 laporan


kasus DILI yang telah dikumpulkan selama dekade terakhir dengan
membandingkan beberapa skala kriteria yang ada. Tampak bahwa
CIOMS/RUCAM merupakan metode diagnostik yang paling banyak
digunakan (16,4%), diikuti oleh NADPRS (13,1%), M&V (CDS) (3,3%),
WHO Database (3,3%), Medline (1,6%), Original (1,6%), DDW-J (1,6%) dan
none (62,3%).6

21
Yesterday we learn...Today we practice and Tomorrow we achieve...
Gambar 7. Perbandingan metode penilaian untuk diagnosis DILI di
antara berbagai metode diagnostik yang ada6

Berdasarkan international concensus criteria maka diagnosis


hepatotoksisitas karena obat berdasarkan :15

1. Waktu dari mulai minum obat dan penghentian obat sampai awitan reaksi
nyata adalah sugestif (5-90 hari dari awal minum obat) atau kompatibel
(kurang dari lima hari atau lebih dari 90 hari sejak mulai minum obat dan
tidak lebih 15 hari dari penghentian obat untuk reaksi hepatoseluler dan
tidak lebih dari 30 hari dari penghentian obat untuk reaksi kolestatik)
dengan hepatotoksisitas obat.
2. Perjalanan reaksi sesudah penghentian obat adalah sangat sugestif
(penurunan enzim hati paling tidak 50% dari konsentrasi di atas batas atas
normal dalam 8 hari) atau sugestif (penurunan enzim hati paling tidak 50%
dari konsentrasi di atas batas atas normal dalam 30 hari untuk reaksi
hepatoseluler dan 180 hari untuk reaksi kolestatik) dari reaksi obat.
3. Alternatif sebab lain telah dieksklusi dengan pemeriksaan teliti, termasuk
biopsi hati tiap kasus.
4. Dijumpai respons positif pada pemaparan ulang dengan obat yang sama
paling tidak kenaikan dua kali lipat enzim hati.

22
Yesterday we learn...Today we practice and Tomorrow we achieve...
Dikatakan reaksi drugs related jika semua ketiga kriteria terpenuhi atau
jika dua dari tiga kriteria pertama terpenuhi dengan respons positif pada
pemaparan ulang obat.

Tabel 6. Elemen yang diperlukan untuk pelaporan kasus DILI5

Mengidentifikasi reaksi obat dengan pasti adalah hal yang sulit tetapi
kemungkinan sekecil apapun adanya reaksi terhadap obat harus
dipertimbangkan pada setiap pasien dengan disfungsi hati. Riwayat

23
Yesterday we learn...Today we practice and Tomorrow we achieve...
pemakaian obat harus diungkap dengan seksama termasuk di dalamnya obat
herbal atau obat alternatif lainnya. Obat harus selalu menjadi diagnosis
banding pada setiap abnormalitas tes fungsi hati dan/atau histologi.
Keterlambatan penghentian obat yang menjadi penyebab berhubungan
dengan resiko tinggi kerusakan hati persisten. Bukti bahwa pasien tidak sakit
sebelum minum obat, menjadi sakit selama minum obat dan membaik secara
nyata setelah penghentian obat merupakan hal esensial dalam diagnosis
15
hepatotoksisitas karena obat.

Tabel 7. Elemen pendukung untuk menilai dan membantu di dalam


melaporkan beberapa kasus DILI5

24
Yesterday we learn...Today we practice and Tomorrow we achieve...
2.9 Penatalaksanaan

Kecuali penggunaan N-acetylcysteine untuk keracunan asetaminofen


(parasetamol), tidak ada antidotum spesifik terhadap setiap obat. Terapi efek
hepatotoksik obat terdiri dari penghentian segera obat-obatan yang dicurigai.
Jika dijumpai reaksi alergi berat dapat diberikan kortikosteroid, meskipun
belum ada bukti penelitian klinis dengan kontrol. Demikian juga penggunaan
ursodiol pada keadaan kolestatik. Pada obat-obatan tertentu seperti
amoksisilin, asam klavulanat dan fenitoin berhubungan dengan sindrom
dimana kondisi pasien memburuk dalam beberapa minggu sesudah
pengobatan dihentikan dan perlu waktu berbulan-bulan untuk pulih seperti
sedia kala. Prognosis gagal hati akut karena reaksi idiosinkratik obat buruk,
dengan angka mortalitas lebih dari 80%.9

Gambar 8 . Algoritme penatalaksanaan DILI6

25
Yesterday we learn...Today we practice and Tomorrow we achieve...
2.10 Beberapa Obat yang Dapat Mengakibatkan DILI

2.10.1 Hepatotoksisitas obat anti tuberkulosis (OAT)

Obat anti tuberculosis terdiri dari isoniazid, rifampisin, pirazinamid,


dan etambutol/streptomisin, dan tiga obat yang disebut pertama bersifat
hepatotoksik. Faktor-faktor resiko hepatotoksisitas yang pernah dilaporkan
adalah usia lanjut, pasien perempuan, status nutrisi buruk, konsumsi tinggi
alkohol, memiliki dasar penyakit hati, karier hepatitis B, prevalensi hepatitis
viral yang meningkat di negara sedang berkembang, hipoalbuminemia,
tuberculosis lanjut, serta pemakaian obat yang tidak sesuai aturan dan status
asetilatornya. Telah dibuktikan secara meyakinkan adanya keterkaitan HLA-
DR2 dengan tuberkulosis paru pada berbagai populasi dan keterkaitan varian
gen NRAMP1 dengan kerentanan terhadap tuberkulosis, sedangkan resiko
hepatotoksisitas karena obat anti tuberkulosis berkaitan juga dengan tidak
adanya HLA-DQA1*0102 dan adanya HLA-DQB1*0201 disamping usia
lanjut, albumin serum < 3,5 gram/dl dan tingkat penyakit yang moderat atau
tingkat lanjut berat. Dengan demikian resiko hepatotoksisitas pada pasien
dengan obat anti tuberkulosis dipengaruhi faktor-faktor klinis dan genetik.
Pada pasien TBC dengan hepatitis C atau HIV mempunyai resiko
hepatotoksisitas terhadap obat anti tuberkulosis lima dan empat kali lipat.
Sementara pasien tuberkulosis dengan karier HbsAg-positif dan HbeAg-
negatif yang inaktif dapat diberikan obat standar jangka pendek INH,
rifampisin, etambutol dan/atau pirazinamid dengan syarat pengawasan tes
fungsi hati paling tidak dilakukan setiap bulan. Sekitar 10% pasien
tuberkulosis yang mendapatkan isoniazid mengalami kenaikan konsentrasi
aminotransferase serum dalam minggu-minggu pertama terapi yang
nampaknya menunjukkan respons adaptif terhadap metabolit toksik obat.
Isoniazid dilanjutkan atau tidak tetap akan terjadi penurunan konsentrasi
aminotransferase sampai batas normal dalam beberapa minggu. Hanya sekitar
1% yang berkembang menjadi seperti hepatitis viral; 50% kasus terjadi pada
2 bulan pertama dan sisanya baru muncul beberapa bulan kemudian.9,15

26
Yesterday we learn...Today we practice and Tomorrow we achieve...
2.10.2 Hepatotoksisitas obat kemoterapi

Jejas hati yang timbul selama kemoterapi kanker tidak selalu


disebabkan oleh kemoterapi itu sendiri. Klinisi harus memperhatikan faktor-
faktor lain seperti reaksi obat terhadap antibiotik, analgesik, antiemetik, atau
obat lainnya. Problem-problem medis yang sudah ada sebelumnya, tumor,
imunosupresi, virus hepatitis dan infeksi lain, serta defisiensi nutrisi atau
nutrisi parenteral total, semuanya mungkin mempengaruhi kerentanan hospes
terhadap terjadinya jejas hati. Sebagian besar reaksi hepatotoksisitas obat
bersifat idiosinkratik, melalui mekanisme imunologik atau variasi pada
respons metabolik pejamu. Siklofosfamid, suatu alkylating agent, diubah oleh
sistem sitokrom P-450 di hati menjadi 4-hydroxycyclophosphamide.
Meskipun mengalami metabolism di hati, siklofosfamid dapat diberikan pada
keadaan enzim hati dan/atau bilirubin yang meningkat. Melfalan dengan
cepat dihidrolisis dalam plasma dan sekitar 15% diekskresi tanpa perubahan
dalam urin. Pada dosis yang dianjurkan tidak bersifat hepatotoksisitas, hanya
menimbulkan abnormalitas tes fungsi hati sementara pada dosis tinggi pada
transplantasi sumsum tulang otology. Klorambusil berhubungan dengan
kerusakan hati. Busulfan, kelas alkilsulfonat, cepat hilang dari darah dan
diekskresikan lewat urin. Metabolisme lewat hati tidak begitu penting
sehingga pada dosis standar tidak menimbulkan hepatotoksisitas. Cytosine
Arabinoside (Ara-C) efek hepatotoksisitasnya belum jelas. 5-FU tidak
menimbulkan kerusakan hati bila diberikan secara per oral dan jarang
dilaporkan menimbulkan hepatotoksisitas pada pemberian intravena. Akan
tetapi berbeda bila diberikan secara intraarterial dengan pompa infuse untuk
terapi metastasis hepar karena kanker kolorektal dimana terjadi
hepatotoksisitas berupa jejas hepatoseluler dengan peningkatan
aminotransferase, alkali fosfatase, dan bilirubin serum, atau terjadinya striktur
duktus biliaris intrahepatik atau ekstrahepatik dengan peningkatan bilirubin
dan alkali fosfatase. 6-mercaptopurine (6-MP) bersifat hepatotoksik terutama
bila dosis melebihi dosis yang biasa digunakan (dosis dewasa 2 mg/kg) dan

27
Yesterday we learn...Today we practice and Tomorrow we achieve...
dapat berupa hepatoseluler atau kolestatik. Perbedaan rute obat oral atau
parenteral tidak mengubah sifat hepatotoksisitasnya. Azatioprin (AZ)
memiliki sifat hepatotoksisitas meskipun jarang terjadi. Hepatotoksisitas
berupa peningkatan konsentrasi bilirubin serum dan alkali fosfatase dengan
peningkatan sedang konsentrasi aminotransferase dan secara histologik
berupa kolestasis dengan nekrosis parenkim hati yang bervariasi. 6-
thioguanine dikenal menyebabkan penyakit oklusi vena. Metotreksat (MTX)
pada dosis standar diekskresi tanpa perubahan melalui urin. Pada dosis tinggi
sebagian dimetabolisir oleh hati menjadi 7-hydroxymethotrexate. Pada terapi
rumatan leukemia akut anak-anak, metotreksat dapat menimbulkan fibrosis
dan sirosis hati. Pada pemakaian dosis tinggi, MTX meningkatkan
aminotransferase dan lactate dehydrogenase (LDH). Pasien arthritis rematoid
atau psoriasis dengan MTX dosis kumulatif kurang dari 2 gram mempunyai
insidens hepatotoksisitas yang rendah meskipun durasi terapinya lama, 24-48
bulan. Dengan demikian pemakaian MTX dosis rendah jangka panjang dapat
menimbulkan fibrosis/sirosis, sementara dosis tinggi menyebabkan perubahan
tes fungsi hati. Gemcitabine sering menyebabkan kenaikan transaminase
sementara tetapi tidak bermakna. Mitoksantron mempunyai insidens
toksisitas serius lebih rendah dibandingkan obat-obat kanker antrasiklin yang
lain, dan hanya menimbulkan kenaikan konsentrasi AST dan ALT sementara
saja. Insidensi disfungsi hati karena pemakaian bleomycin sangat rendah.
Hepatotoksisitas mitomysin belum jelas, tetapi ditemukan dalam konsentrasi
tinggi dalam empedu. Paclitaxel dan docetaxel sebagian besar diekskresi
melalui hati dan perlu hati-hati pada pasien dengan gangguan fungsi hati.
Etoposide tidak menimbulkan hepatotoksisitas pada dosis standar meskipun
diekskresikan terutama dalam empedu. Cisplatin jarang menyebabkan
hepatotoksisitas pada dosis standar tetapi kadang-kadang dijumpai kenaikan
AST. Pada dosis tinggi cisplatin menimbulkan kenaikan AST dan ALT.
Procarbazine dikenal dapat menyebabkan hepatitis granulomatosa.
Hydroxyurea dapat menimbulkan toksisitas hati dan pernah dilaporkan
9,15
sebagai penyebab peliosis hepatis.

28
Yesterday we learn...Today we practice and Tomorrow we achieve...
2.10.3 Hepatotoksisitas obat anti inflamasi non steroid

Obat anti inflamasi nonsteroid (OAINS) merupakan salah satu obat


yang sering diresepkan meskipun penggunaannya tidak selalu tepat sasaran.
Resiko epidemiologik hepatotoksisitas golongan obat ini rendah (1-8 kasus
per 100.000 pasien pengguna OAINS). Hepatotoksisitas karena OAINS dapat
terjadi kapan saja setelah obat diminum, tetapi efek samping berat sangat
sering terjadi dalam 6-12 minggu dari awal pengobatan. Ada dua pola klinis
utama hepatotoksisitas karena OAINS. Pertama, adalah hepatitis akut dengan
ikterus, demam, mual, transaminase naik sangat tinggi, dan kadang-kadang
dijumpai eosinofilia. Pola yang lain adalah dengan gambaran serologik (Anti
Nuclear Factor positif) dan histologik (inflamasi periportal dengan infiltrasi
plasma dan limfosit serta fibrosis yang meluas ke dalam lobul hepatik) dari
hepatitis kronik aktif. Tes fungsi hati dapat kembali normal dalam 4-8
minggu sejak penghentian obat penyebab. Dua mekanisme utama
bertanggungjawab atas jejas hati oleh OAINS, yaitu hipersensitivitas dan
aberasi metabolik. Meskipun masih perlu diteliti lebih lanjut, faktor-faktor
resiko hepatotoksisitas idiosinkratik karena OAINS meliputi perempuan,
umur >50 tahun, dan penyakit autoimun yang mendasari. Faktor resiko lain
adalah paparan obat lain yang juga bersifat hepatotoksik pada saat bersamaan.
Reaksi hipersensitivitas sering mengalami titer anti-nuclear factor atau
antibodi anti smooth-muscle yang bermakna, limfadenopati, dan eosinofilia.
Aberasi metabolik dapat terjadi karena polimorfisisme genetic yang dapat
mengubah kerentanan terhadap bermacam-macam obat. Pasien yang
mengalami hepatotoksisitas karena OAINS harus dianjurkan untuk tidak
minum OAINS lagi selamanya. Parasetamol merupakan obat pilihan untuk
analgesic sedangkan aspirin dapat digunakan sebagai pengganti OAINS,
karena toksisitas OAINS berhubungan dengan struktur molekul cincin
diphenylamine yang tidak dimiliki aspirin.9,15

29
Yesterday we learn...Today we practice and Tomorrow we achieve...
2.11 Prognosis

Prognosis pada pasien Drug Induced Liver Injury akan semakin baik
apabila penetapan diagnosis dilakukan seawal mungkin.

30
Yesterday we learn...Today we practice and Tomorrow we achieve...
BAB III
KESIMPULAN

Kerusakan hati akibat obat (Drug Induced Liver Injury) adalah kerusakan
hati yang berkaitan dengan gangguan fungsi hati yang disebabkan oleh karena
terpajan obat atau agen non-infeksius lainnya. Lebih dari 900 jenis obat,
toksin dan herbal telah dilaporkan dapat mengakibatkan kerusakan pada sel-
sel hati. Kerusakan hati akibat obat (Drugs Induced Liver Injury) adalah
alasan paling banyak dimana suatu obat dapat ditarik dari peredarannya
ataupun dibatasi di dalam penggunaannya.
Manifestasi dari kerusakan hati yang diinduksi oleh obat sangat
bervariasi, mulai dari peningkatan enzim-enzim hati yang tanpa gejala
(asimptomatik) sampai terjadinya gagal hati fulminan.
Terdapat banyak metode diagnostik yang dapat digunakan untuk
mendiagnosis Drug Induced Liver Injury. Akan tetapi kriteria
CIOMS/RUCAM merupakan metode diagnostik yang paling banyak dan luas
di dalam penggunaannya dan saat ini merupakan metode diagnostik standar
yang dianjurkan.
Mengidentifikasi reaksi obat dengan pasti adalah hal yang sulit tetapi
kemungkinan sekecil apapun adanya reaksi terhadap obat harus
dipertimbangkan pada setiap pasien dengan disfungsi hati. Riwayat
pemakaian obat harus diungkap dengan seksama termasuk di dalamnya obat
herbal atau obat alternatif lainnya. Obat harus selalu menjadi diagnosis
banding pada setiap abnormalitas tes fungsi hati.
Terapi efek hepatotoksik obat terdiri dari penghentian segera obat-obatan
yang dicurigai. Jika dijumpai reaksi alergi berat dapat diberikan
kortikosteroid, meskipun belum ada bukti penelitian klinis dengan kontrol

31
Yesterday we learn...Today we practice and Tomorrow we achieve...
DAFTAR PUSTAKA

1. Mehta N. Drug-Induced Hepatotoxicity. Tersedia pada


http://www.emedicine.medscape.com/article/169814-overview. Updates
26 maret 2010 diakses pada tanggal 2 Juni 2011
2. Setiabudy R. Hepatitis Karena Obat. Bagian Farmakologi Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Cermin Dunia Kedokteran 1979; 15:
812
3. Dhingra MS. Drug Induced Liver Injury. 2006.
4. Kaplowitz N. Drug Induced Liver Injury. Clinical Infectious Diseases
2004; 38(2): 448
5. Fontana RJ, Seeff LB, Andrade RJ, Msson EB, Day CP, Serrano C, et al.
Meeting report: Standardization of Nomenclature and Causality
Assessment in Drug-Induced Liver Injury: Summary of a Clinical
Research Workshop. Hepatology 2010; 52:730742
6. Tajiri K and Shimizu Y. Practical Guidelines for Diagnosis and Early
Management of Drug-Induced Liver Injury. World J Gastroenterol 2008;
14(44): 67746785
7. Chau TN. Drug Induced Liver Injury: An Update. The Hongkong Medical
Diary 2008; 13(3): 2326
8. Dienstag JL and Isselbacher KJ. Toxic and Drug Induced Hepatitis. In
Harrisons: Principles of Internal Medicine 16th Edition. Editors: Kasper
DL, Fauci AS, Longo DL, et al. 2005;18381844
9. Benvie. Hepatoksisitas Obat. 2009. Tersedia pada
http://doctorology.net/?p=31. Diakses pada tanggal 2 Juni 2011.
10. Holt MP and Ju C. Mechanisms of Drug-Induced Liver Injury. The AAPS
Journal 2006; 8(1): 4854
11. Lee WM. Drug Induced Hepatotoxicity. N Engl J Med 2003; 349:474485
12. Adams DH, Ju C, Ramaiah SK, Uetrecht J, and Jaeschke H. Mechanisms
of Immune-Mediated Liver Injury. Toxicological Sciences 2010; 115(2):
307321.
13. Bnichou C. Criteria of Drug-Induced Liver Disorders. Report of An
International Consensus Meeting. J Hepatol. 1990;11:272276.
14. Anonymous. CIOMS/RUCAM Scale. Tersedia pada http://wikipedia.com.
Diakses pada tanggal 2 Juni 2011.
15. Bayupurnama P. Hepatoksisitas Imbas Obat. Dalam Buku ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Editor Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I

32
Yesterday we learn...Today we practice and Tomorrow we achieve...
dkk. 2006. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.

33
Yesterday we learn...Today we practice and Tomorrow we achieve...

Anda mungkin juga menyukai