Anda di halaman 1dari 56

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Diabetes melitus (DM) merupakan kelompok penyakit metabolik, dimana

penyakit ini ditandai dengan adanya hiperglikemi (kadar glukosa darah yang

melebihi normal) akibat kelainan sekresi insulin. (Wiguna ,2014 )

Insulin adalah sejenis hormon yang di produksi oleh pankreas dan berfungsi

untuk mengendalikan kadar gula dalam darah. Penurunan sekresi insulin biasanya

di sebabkan oleh resistensi insulin dan kerusakan sel beta pankreas. Pada

penderita penyakit diabetes mellitus, tubuh pasien tidak dapat memproduksi atau

tidak dapat merespon hormon insulin yang dihasilkan oleh organ pankreas.

Kekurangan insulin membuat tubuh tidak mampu mengubah glukosa menjadi

sumber energi bagi sel, sehingga respon yang diterima tubuh adalah rasa lapar dan

haus ( Rating, 2013 ).

Penderita DM diklasifikasikan menjadi beberapa kelompok, kelompok-

kelompok yang banyak dijumpai di masyarakat yaitu Diabetes Mellitus Tipe 1

dan Diabetes Mellitus Tipe 2. Diabetes mellitus tipe 1 atau IDDM ( Insulin

Dependent Diabetes Mellitus ) yaitu kelompok penderita DM yang untuk

kehidupannya harus tergantung pada terapi insulin. Penderitanya tidak banyak,

kira-kira kurang dari 5 %, dan diabetes mellitus tipe 2 atu NIDDM (Non Insulin

Dependent Diabetes Mellitus) yaitu kelompok penderita diabetes mellitus dengan

pengobatan dan kehidupannya tidak tergantung pada insulin, kelompok ini di

1
2

Indonesia adalah yang terbanyak diduga jumlahnya mencapai 95 %. Kelompok

yang lain adalah diabetes kehamilan, diabetes yang berhubungan dengan

malnutrisi/ kurang gizi, diabetes yang disebabkan penyakit lain dan DM akibat

pemakaian obat-obatan tertentu . Jumlah penderitanya sangat sedikit ditemukan. (

Regina, 2012 )

Semua sel dalam tubuh manusia membutuhkan gula agar dapat bekerja

dengan normal. Gula dapat masuk ke dalam sel-sel tubuh dengan bantuan hormon

insulin. Jika jumlah insulin dalam tubuh tidak cukup, atau jika sel-sel tubuh tidak

memberikan respon terhadap insulin (resisten terhadap insulin), maka akan terjadi

penumpukan gula di dalam darah. Hal inilah yang terjadi pada pasien diabetes

melitus. Pada penderita diabetes melitus yang tidak terkontrol, akan terjadi

peningkatan kadar glukosa (gula) darah yang disebut hiperglikemia.

Hiperglikemia yang berlangsung dalam waktu lama akan menyebabkan kerusakan

serius pada sistem tubuh kita, terutama pada saraf dan pembuluh darah. ( Regina.

2012 ).

Menurut (Widowati, 2008) Pada umumnya masyarakat telah mengenal

bahwa mengonsumsi terung ungu (Solanum melongena L.) dan menggunakannya

secara empiris dalam pengobatan diabetes. Antosianin dari kulit terung ungu

termasuk dalam senyawa golongan flavonoid yang berperan sebagai antioksidan.

Senyawa antioksidan sintetik maupun alami mampu mengontrol kadar glukosa

darah dan mencegah komplikasi DM (Aer, 2013). Penelitian (Piao et al, 2014)

membuktikan bahwa terong ungu (Solanum Melongena L.) memiliki kandungan

flovanoid aglycones yaitu kaempferol.


3

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan (Aer et al ,2013) didapatkan

hasil ekstrak kulit terung ungu (Solanum melongena L.) memiliki efek penurunan

kadar gula darah pada tikus putih Rattus Norvegicus. Penilitian lain yang

dilakukan (Pereira et all, 2011) membuktikan zat flovanoid kaempferol terong

ungu (Solanum Melongena L.) memiliki efek menghambat enzim alfa glucosidase.

Usaha untuk pengobatan diabetes mellitus adalah dengan menginhibisi

kinerja enzim -glukosidase yang terletak pada dinding usus halus. Fungsi dari

enzim -glukosidase adalah sebagai pengurai karbohidrat dan gula lainnya

menjadi glukosa yang kemudian dapat diserap oleh usus halus. Enzim -

glukosidase berada di usus halus, setelah pancreatic -amylase melakukan

penguraian terhadap gula yang dicerna menjadi oligosakarida di lumen usus halus.

Enzim -glukosidase kemudian mengubah oligosakarida tersebut menjadi glukosa

dan monosakarida lainnya. Acarbose sendiri merupakan oligosakarida buatan

manusia yang bersifat kompetitif inhibitor yang menghambat kerja enzim -

glucosidase. Penghambatan enzim ini menyebabkan perlambatan pencernaan

senyawa karbohidrat (Gani, 2013),

Berdasarkan uraian diatas, maka penulis melakukan penilitan tentang

perbedaan efektifitas antara ekstrak terong ungu dengan obat yang bekerja sebagai

alpha-glucosidase inhibitor yaitu acarbose terhadap efeknya pada kadar gula darah

tikus putih rattus norvegicus.


4

B. Rumusan Masalah

Apakah ada perbedaan efektivitas antara ekstrak etanol terong ungu

(Solanum melongena L.) dan acarbose terhadap penurunan kadar gula darah tikus

putih ( Rattus Norvegicus )

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Mengetahui perbedaan efektivitas antara ekstrak etanol terong ungu dan

acarbose terhadap penurunan kadar gula darah tikus putih .

2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui pengaruh efektifitas ekstrak terong ungu terhadap

penurunan kadar gula darah tikus putih.

b. Mengetahui pengaruh efektifitas acarbose terhadap penurunan

kadar gula darah tikus putih.

D. Manfaat Penelitian

1. Penulis

Menambah wawasan dan pengetahuan dalam melakukan penelitian

pengaruh pemberian ekstrak etanol terong ungu (Solanum melongena

L.) dan acarbose terhadap kadar gula darah tikus putih ( Rattus

Norvegicus )
5

2. Masyarakat

Memberikan informasi kepada masyarakat tentang manfaat kulit terong

ungu yang dapat menurunkan kadar gula darah.

3. Pendidikan

Untuk menambah khasanah tentang manfaat kandungan terong ungu

dan manfaatnya serta sebagai pertimbangan pengembangan penelitian

selanjutnya.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Diabetes Mellitus

1. Klasifikasi Diabetes Melitus

a. Diabetes mellitus tipe 1

Adalah diabetes mellitus yang tergantung insulin (insulin-

dependent diabetes mellitus) adalah gangguan autoimun di mana

terjadi penghancuran sel-sel -pankreas penghasil insulin. Pasien

biasanya berusia dibawah 30 tahun, mengalami onset akut penyakit

ini, tergantung pada terapi insulin, dan cenderung lebih mudah

mengalami ketosis. (Rubenstein, Wayne, Bradley, 2007)

Pada kelompok besar diabetes melitus tipe 1 terdapat

hubungan dengan HLA (Human Leukosit Antigen) tertentu pada

kromosom 6 dan beberapa autoimunitas serologik dan cell-

mediated. Infeksi virus sebelum onset juga berhubungan dengan

patogenesis diabetes. (Gustaviani, 2008)

b. Diabetes mellitus tipe 2

Meliputi 90% pasien yang menyandang diabetes. Pasien

diabetes khasnya menderita obesitas ,dewasa dengan usia lebih tua

dengan gejala ringan sehingga penegakan diagnosis bisa saja baru

dilakukan pada stadium penyakit yang sudah lanjut, seringkali

setelah ditemukannya komplikasi seperti retinopati atau penyakit

6
7

kardiovaskular. Walaupun pada awalnya bisa dikendalikan dengan

diet dan obat hipoglikemik oral, banyak pasien akhirnya

memerlukan insulin tambahan, sehingga menjadi penyandang

diabetes tipe 2 yang membutuhkan insulin. (Rubenstein, Wayne,

Bradley, 2007)

Pada diabetes tipe 2, tubuh tidak mampu membuat cukup

banyak insulin atau bisa juga walau ada cukup insulin, tubuh

bermasalah dalam menggunakan insulin (resistensi insulin), atau

dua-duanya. (Waspadji et all, 2012)

Kelompok besar diabetes melitus tipe 2 tidak mempunyai

hubungan dengan HLA, virus atau autoimunitas dan biasanya masih

mempunyai sel beta yang masih berfungsi, sering memerlukan

insulin tetapi tidak bergantung insulin seumur hidup. (Gustaviani,

2008)

c. Diabetes gestasional

Sebagian besar wanita yang mengalami diabetes saat hamil

memiliki homeostasis glukosa yang normal pada paruh pertama

kehamilan dan berkembang menjadi defisiensi insulin relative

selama paruh kedua, sehingga terjadi hiperglikemia. Hiperglikemia

menghilang pada sebagian besar wanita setelah melahirkan, namun

memilki peningkatan risiko menyandang diabetes tipe 2.

(Rubenstein, Wayne, Bradley, 2007)


8

2. Fisologi

Pankreas manusia mempunyai hampir satu juta pulau langerhans,

setiap pulau langerhans hanya berdiameter seratus micron atau lebih

dan tersusun mengelilingi pembuluh kapiler kecil-kecil yang

merupakan tempat penampungan hormon yang disekresikan oleh sel-sel

tersebut. Pulau langerhans mengandung tiga jenis sel utama, yakni sel

alfa, beta, dan delta. Sel beta, yang merupakan kira-kira 60 persen dari

semua sel, mensekresi insulin. Hubungan yang erat antara berbagai

jenis sel yang terdapat dalam pulau langerhans menyebabkan timbulnya

pengaturan secara langsung sekresi beberapa jenis hormon oleh hormon

lain. Contohnya, insulin menghambat sekresi glucagon, dan

somastotatin menghambat sekresi hormon insulin dan glucagon.

(Guyton, 1994)

Secara historis, insulin dihubungkan dengan gula darah dan

ternyata insulin sangat berpengaruh terhadap metabolisme karbohidrat.

Namun, kematian pada pasien diabetes terutama kelainan metabolisme

lemak, yang menyebabkan keadaan seperti asidosis dan asterosklerosis.

Pada penderita yang mengidap diabetes dalam jangka waktu yang lama,

adanya ketidakmampuan untuk mensintesis protein akan menyebabkan

pemborosan jaringan mirip dengan sebagian besar kelainan fungsi sel.

(Guyton, 1994)

Insulin disintesis oleh sel-sel beta dengan cara yang mirip dengan

sintesis protein yang biasanya dipakai oleh sel, yakni dimulai dengan
9

pembentukan RNA (Ribonucleic Acid) insulin oleh ribosom yang

melekat pada retikulum endoplasma sehingga terbentuk preprohormon

insulin. Sebagian besar proinsulin ini lalu melekat erat pada alat golgi

untuk membentuk insulin sebelum terbungkus dalam granula

sekretorik. (Guyton, 1994)

Pada orang dewasa sehat tanpa DM, sekresi insulin oleh sel beta

pankreas terjadi secara kontinu dalam jumlah kecil yang disebut dengan

insulin basal. Sekresi insulin basal ini bervariasi antara 0,5 sampai 1

unit perjam. Sekresi insulin juga terjadi pada saat makan, dimana

influks glukosa post-prandial akan merangsang pelepasan insulin dalam

2 fase. Fase pertama pelepasan insulin berakhir dalam waktu 10 menit

dan berefek menekan produksi glukosa hepar serta mencetuskan

pelepasan insulin fase 2 yang berlangsung dalam waktu 2 jam dan

cukup memenuhi pemasukan karbohidrat pada saat makan (Pranoto,

2012)

Sewaktu insulin disekresikan ke dalam darah, hampir seluruhnya

beredar dalam bentuk yang tak terikat, waktu paruhnya dalam plasma

hanya kira-kira 6 menit lamanya sehingga dalam waktu 10 menit

sampai 15 menit akan dibersihkan dari sirkulasi. Kecuali sebagian

insulin yang berikatan dengan reseptor yang ada pada sel target, insulin

yang tersisa di dalam hati akan dipecah dan sebagian kecil dipecah

dalam ginjal. Pembuangan dari plasma yang cepat ini penting sebab
10

pada suatu saat berguna untuk mengatur fungsi sebaliknya dari insulin.

(Guyton, 1994)

Untuk memulai efeknya pada sel target, mula-mula insulin

berikatan dengan reseptor protein yang terdapat pada membrane yang

mempunyai berat molekul kira-kira 300.000. Insulin ini selanjutnya

mengaktifkan reseptor yang dapat memicu timbulnya efek insulin,

namun setelah ini mekanisme molecular dalam sel tidak jelas. Reseptor

yang sudah diaktifkan akan sedikit mengaktifkan system siklik AMP

(Adenosin Mono Phospat) dari sel, yang diduga selanjutnya akan

bekerja sebagai kurir kedua yang akan meningkatkan beberapa efek

insulin. (Guyton, 1994)

Sesudah makan makanan tinggi karbohidrat, glukosa yang

diabsorbsi darah menyebabkan timbulnya sekresi insulin yang cepat.

Insulin sebaliknya menyebabkan timbulnya pemasukan yang cepat,

penyimpanan, dan penggunaan glukosa oleh sebagian besar jaringan

tubuh, namun khususnya oleh hati, otot, dan jaringan lemak. (Guyton,

1994)

Pada nilai normal glukosa darah waktu puasa sebesar 80 sampai 90

mg/dl, maka kecepatan sekresi insulin minimum yakni 25 kg berat

badan. Bila kosentrasi glukosa dalam darah meningkat dua sampai tiga

kali dari kadar normal dan bila untuk selanjutnya kadar glukosa ini

dipertahankan pada kadar atau nilai ini, maka sekresi akan meningkat.

(Guyton, 1994)
11

3. Patofisiologi

a. Diabetes Melitus Tergantung Insulin (DMTI)

Diabetes melitus tergantung insulin (DMTI) adalah penyakit

autoimun yang ditentukan secara genetik dengan gejala-gejala yang

pada akhirnya menuju pada proses bertahap perusakan imunologik

sel-sel yang memproduksi insulin. Bukti determinan genetic dari

DMTI adalah adanya kaitan dengan histokompatibilitas (HLA)

spesifik. Tipe dari gen histokompatabilitas yang berkaitan dengan

DMTI adalah (DW3 dan DW4) adalah gen yang memberikan kode

kepada protein-protein yang berperanan penting dalam interaksi

monosit-limfosit. Jika terjadi kelainan, fungsi limfosit-T yang

terganggu akan berperanan penting dalam pathogenesis perusakan

sel-sel pulau langerhans. (Wilson, 2007)

b. Diabetes Melitus Tak Tergantung Insulin (DMTTI)

Pasien diabetes mellitus tak tergantung insulin (DMTTI),

mempunyai pola familial yang kuat. DMTTI ditandai dengan

kelainan dalam sekresi insuslin maupun dalam kerja insulin. Pada

awalnya tampak terdapat resistensi dari sel-sel sasaran terhadap

kerja insulin. Insulin mula-mula mengangkat dirinya kepada

reseptor-reseptor permukaan sel tertentu, kemudian terjadi reaksi

intraselular yang meningkatkan transport glukosa menembus

membrane sel. Pada pasien-pasien dengan DMTTI terdapat

kelainan dalam pengikatan insulin dengan reseptor. Ini dapat


12

disebabkan oleh berkurangnya jumlah tempat reseptor yang

responsife insulin pada membrane sel. Akibatnya terjadi

penggabungan abnormal antara kompeks reseptor insulin dengan

system transport glukosa. (Wilson, 2007)

Sekitar 80% pasien DMTTI mengalami obesitas. Karena

obesitas berkaitan dengan resistensi insulin, maka kemungkinan

besar gangguan toleransi glukosa dan diabetes melitus yang pada

akhirnya terjadi pada pasien DMTTI merupakan akibat dari

obesitasnya. (Wilson, 2007)

Pasien dengan diabetes tipe 2 umumnya juga mengalami

gangguan aksi insulin (resistensi insulin) pada sel-sel target.

Gangguan fungsi sekresi insulin dapat bermanifestasi melalui

mekanisme hilangnya respons insulin tahap pertama sehingga

sekresi insulin terlambat dan gagal untuk mengembalikan lonjakan

gula darah prandial pada waktu yang normal, penurunan

sensitivitas insulin dan penurunan kapasistas sekresi insulin terjadi

secara progresif. (Pranoto, 2012)

4. Komplikasi

Komplikasi diabetes secara umum terdiri dari dua jenis komplikasi

yaitu komplikasi jangka pendek (komplikasi akut) dan komplikasi

jangka panjang (komplikasi kronik). Komplikasi akut adalah

komplikasi yang dapat terjadi pada setiap saat sedangkan komplikasi

biasanya lebih serius terutana karena terjadi jangka panjang, kurang


13

disadari oleh penyandang diabetes sehingga sering terlambat diagnosis

(Waspadji et all, 2014)

a. Komplikasi vaskular

Komplikasi vaskular menyebabkan 75% kematian. Insidensi

oklusi arteri koroner yang ditemukan pada pemeriksaan

postmortem lima kali lebih tinggi pada penyandang diabetes

dibandingkan dengan non-diabetes, tanpa melihat usia atau jenis

kelamin. Terdapat peningkatan risiko penyakit jantung koroner 2-3

kali lipat. Oklusi arteri perifer pada tungkai 40 kali lebih sering

ditemukan pada penyandang diabetes, menyebabkan klaudikasio,

nyeri saat istirahat, pembentukan ulkus dan gangren. (Rubenstein,

Wayne, Bradley, 2007)

Kelainan pembuluh darah kecil (mikroangiopati diabetikum)

menyebabkan gagal ginjal, hampir selalu berhubungan dengan

retinopati, dan gangrene pada kulit serta kaki dan infark berbentuk

baji, nadi arteri pada kaki biasanya teraba dan kulit terasa hangat. (

Rubenstein, Wayne, Bradley, 2007)

Kardiomiopati diabetes tidak bergejala di awal fase.

Belakangan akan dirasakan lemah, nafas pendek, batuk berat, lelah,

bengkak pada kaki. Kardiomiopati diabetes adalah penyakit yang

merusak struktur dan fungsi jantung. Penyakit ini dapat menjurus

menjadi gagal jantung dan aritmia.(Waspadji, 2014)


14

b. Mata

Tiga masalah mata yang dapat terjadi pada diabetes dan perlu

diwaspadai adalah katarak, glaukoma dan retinopati. Dari 3

masalah mata tersebut yang paling umum adalah retinopati.

(Waspadji, et all 2014)

Lima puluh persen pasien mengalamai retinopati setelah 10

tahun menyandang diabetes. Gangguan penglihatan ini ditandai

oleh :

1) Mikroaneurisme atau dilatasi dikal dinding kapiler, tidak

terlihat dengan oftalmoskop

2) Titik atau bintik perdarahan intraretinal

3) Eksudat lunak (seperti kapas) yang disebabkan oleh

mikroinfark pada serabut saraf superfisial

4) Eksudat keras akibat kebocoran plasma ke retina

5) Edema retina

Pada retinopati proliferative terjadi proliferasi pembuluh darah

baru sebagai respon terhadap iskemia, terutama di dekat batas

diskus. Pembuluh darah yang rapuh ini mudah mengalami

perdarahan ke retina dan vitreus. Perdarahan vitreus menyebabkan

kebutaan mendadak, diikuti fibroisis dan kontraksi yan

menyebabkan ablasio retina dan glaucoma. Fotokoagulasi laser

menghancurkan pembuluh darah baru dan menurunkan kebutuhan


15

oksigen bagian retina, sehinga memperlambat proliferasi pembuluh

darah baru. (Rubenstein, Wayne, Bradley, 2007)

c. Ginjal

Tiga puluh persen pasien diabetes tipe 1 mengalami gagal

ginjal stadium akhir. Hiperfiltrasi dan peningkatan klirens kreatinin

terjadi dini setelah onset diabetes. Setelah beberapa tahun,

perubahan mikrovaskular (penebalan membrane basalis, degenerasi

hialin dari ateriol aferen dan eferean) dihubungkan dengan

meningkatnya permeabilitas glomerulus dan proteinuria. Noduln

Kimmelsteil-Wilson (gromerulosklerosis nodular) adalah tanda

patognomonik dari neprofati diabetikum. (Rubenstein, Wayne,

Bradley, 2007)

Mikroalbuminuria merupakan tanda onset penyakit ginjal

akibat diabetes, dan menunjukan adanya penyakit vaskular

progresif yang menyeluruh. Laju ekskresi albumin (albumin

excretion ratel/ AER) urin 24-jam yang normal adalah < 15 mg

(konsentrasi , 20-200mg/L). Begitu terjadi proteinuria persisten (>

300 mg dalam 24 jam), gagal ginjal stadium akhir biasanya terjadi

setelah 5 tahun. (Rubenstein, Wayne, Bradley, 2007)

Pielonefritis lebih sering ditemukan pada diabetes. Nekrosis

papiler ginjal bis terjadi akibat iskemia papilla, yang bisa terlepas

menyebabkan obstruksi. (Rubenstein, Wayne, Bradley, 2007)


16

Apabila terjadi gagal ginjal, maka ginjal tidak lagi dapat

menjalankan fungsinya menyaring racun keluar dari tubuh. Kondisi

ini dinamakan penyakit ginjal tahap akhir (Waspadji et all, 2014)

d. Komplikasi neuromuscular

Sampai 50% Pasien dengan diabetes yan sudahg berlangsung

lama mengalami komplikasi neuromuscular.

1) Neuropati perifer adalah komplikasi tersering, pada awalnya

menyebabkan hilangnya sentakan pergelangan kaki dan tidak

adanya sensasi gertar pada ekstresmitas bawah. Kemudian

sensasi raba dan nyeri menghilang. Pasien seringkali mengeluh

baal, dan rasa terbakar yang lebih berat di malam hari. Ulkus

kronis tanpa nyeri berkembang du tempat-tempat yang kena

trauma berulang (misalnya titik-titik tekanan pada penggunaan

sepatu yang tidak pas). Atropati neuropatik tanpa nyeri (sendi

Charcot) paling sering mengenai sendi tarsometatarsal

2) Neuropati perifer yang terasa mungkin merespons terhadap

pemberian gabapentin atau trisiklik (antideperesan oral) atau

pemberian krim capsaicin topical.

3) Mononeuritis diduga timbul akibat iskemia setelah terjadi

oklusi vasa nervosum. Saraf cranial III, nervus ulnaris, atau

nervus poplitealis lateralis adalah yang paling sering terkena.

Bisa mengenai lebih dari satu saraf. Seringkali transien, dan


17

biasanya terjadi pemulihan fungsi yang spontan dalam periode

berbulan-bulan.

4) Amiotrofi diabetikum biasanya terjadi pada penyandang

diabetes usia paruh baya yang mengalami kelemahan dan

pengecilan otot kuadriseps asimetris dan nyeri. Perbaikan

control diabetes seringkali berhubungan dengan pemulihan.

5) Neuropati otonom menyebabkan disfungsi ereksi (impotensi)

pada 25% pasien pria : diare seringkali nocturnal,

gastroparesis, hipotensi postular, berliur, dan gangguan

kandung kemih neuropatik (Rubenstein, Wayne, Bradley,

2007)

e. Kulit

Sensivitas insulin bisa terjadi pada bulan pertama terapi insulin

dengan timbulnya benjolan yang nyeri setelah tiap suntikan.

Terjadi penyembuhan spontan, dan bukan merupakan indikasi

untuk mengubah terapi.

1) Lipodistrofi adalah atrofi atau hipertrofi di tempat suntikan

tanpa disertai nyeri.

2) Nekrobiosis lipoidika (diabetikorum) yang tampak pada

patognomonik untuk diabetes, terjadi pada 1% kasus dan bisa

timbul sebelum terjaidnya diabetes. Ditandai dengan atrofi

kolagen subkutan, biasanya pada betis. Lesi berawal sebagai

bercak kecil berwarna kecoklatan dan mengkilat dan bisa


18

timbul cincin ungu dengan massa kunig di bagian perifer dan

terbentuk parut, atrofi, dan kadang-kadang ulserasi di bagian

tengah.

3) Fotosensitivitas bisa terjadi pada pemberian klorpropamid.

(Rubenstein, Wayne, Bradley, 2007)

f. Infeksi penyerta

Infeksi penyerta sering ditemukan pada penyandang diabetes,

khsuusnya infeksi dan daluran kemih dan kulit. Tuberkulosis dan

kandidiasis (vulvitis dan balanitis) lebih sering sering ditemukan

pada diabetes. (Rubenstein, Wayne, Bradley, 2007)

g. Koma

1) Keto Asidosis Diabetik (Koma Diabetik)

Merupakan defisiensi insulin berat dan akut dari suatu

perjalanan penyakit DM. Gambaran klinis berupa pernafasan

cepat dan dalam (kussmaul) dan dehidrasi (turgor kulit

bertambah, lidah dan bibir kering). Kadang-kadang disertai

dengan tekanan darah rendah, sehingga kesadaran dapat turun

sampai koma. (Rubenstein, Wayne, Bradley, 2007)

Patogenesis KAD pada dasarnya melalui 2 proses penting

yaitu Hiperglikemia dan Hipoglikemia. Kedua proses ini juga

diikuti oleh perubahan metabolik. (Tjokropawiro, 2007)


19

2) Koma Hiperosmolar Non-Ketotik

Faktor pencetus dari Non Ketotik Hiperosmolar (NKH)

adalah thiazide, minuman glucose, infeksi, corticosteroid,

phenytoin, cimilidine, chlorpomazine. Patofisiologinya NKH

disebabkan oleh grossly elevated glucagon, defisiensi insulin

relatif, dan Sufficient insulinto inhibit lipolysin.

(Tjokropawiro, 2007)

Secara klinis dari pemeriksaan fisik pada NKH ditemukan

pasien dalam keadaan apatis sampai koma, tanda-tanda

dehidrasi, tidak ada bau aseton yang tercium dari pernapasan,

dan tidak ada tanda pernapasan kussmaul. (Rubenstein,

Wayne, Bradley, 2007)

5. Pengobatan diabetes mellitus

a. Non-farmakologis

Perencanaan makanan adalah penatalaksanaan yang penting

bagi pasien diabetes mellitus. Makanan yang masuk harus dibagi

merata sepanjang hari. Gizi seimbang merupakan syarat utama

dalam menyusun menu untuk mencapai kesehatan yang optimal.

Susunan menu bagi pasien diabetes melitus sebaiknya memberikan

penampilan yang menarik dan memenuhi cita rasa disamping

memenuhi kebutuhan gizi. (Rahimy, 2009)

Anjuran makan untuk pasien diabetes sebenarnya sama dengan

anjuran makan sehat untuk semua orang termasuk yang tidak


20

diabetes yaitu makanan dengan gizi seimbang. Salah satu tujuan

khusus perencanaan makanan untuk pasien diabetes adalah

mencapai dan mempertahankan kadar glukosa darah dan lemak

darah (Sukardji, 2009)

b. Farmakologis

1) Pemicu sekresi insulin

Pemicu sekresi insulin terdiri dari :

a) Sulfonilurea

Tolbutamide, Chlorporamide, Glibenclamide, Glipizide-

GITS, Glicazide, Glicazide MR, Gliquidon, Glimepiride

b) Non Sulfonnilurea

Naglitinide, Repaglinde, GPL-1 analouges (Tjokoprawiro

et all, 2007).

2) Sulfonilurea

Golongan obat ini bekerja dengan menstimulasi sel beta

pankreas untuk melepaskan insulin yang tersimpan. Golongan

obat ini tidak dapat dipakai pada DM tipe 1.

Mekanisme kerja obat golongan sulfonilurea

a) menstimulasi pelepasan insulin yang tersimpan

(stored insulin)

b) menurunkan ambang sekresi insulin

c) meningkatkan sekresi insulin sebagai akibat

rangsangan glukosa
21

Pada pemakaian sulfonilurea, umumnya selalu dimulai

dengan dosis rendah, untuk menghindari kemungkinan

hipoglikemia. Pada keadaan tertentu di mana kadar glukosa

darah sangat tinggi, dapat pula diberikan sulfonilurea dengan

dosis yang lebih besar dengan perhatian bahwa dalam beberapa

hari sudah dapat diperoleh efek klinis yang jelas dan dalam 1

minggu sudah terjadi penurunan kadar glukosa darah yang

cukup bermakna. (Sidartawan, 2002)

3) Glinid

Glinid merupakan obat generasi baru yang cara kerjanya

sama dengan sulfoniluera, dengan meningkatkan sekresi

insulin pertama. Golongan ini terdiri dari 2 macam obat yaitu

Replaginid (derifat asam benzoate) dan Nateglinid (derifat

fenilalanin). Obat ini diabsorbsi dengan cepat setelah

pemberian secara oral dan diekskresi secara cepat melalui hati.

(Sidartawan, 2002)

4) Penambah sensitivitas terhadap insulin

Obat- obat ini terdiri dari

a) Thiazolidinediones

Ciglitazone, Englitazone, Troglitazone, Rosiglitazone,

Pioglitazone, Darglitazone

b) Non-TZDs : Muraglitazar, Ragaglitazar, Tesagliazar

c) Metaglidasen
22

d) Biguanides : Metformin, 3-Guanidinopropionic-acid

(Tjokoprawiro et all, 2007)

5) Biguanid

Saat ini dari golongan yang ini yang masih dipakai adalah

metformin. Fenformin dan Buformin tidak dipakai lagi karena

efek samping asidosis laktat, pada metformin kemungkinan

terjadinya asidosis laktat sangatlah kecil. (Sidartawan, 2002)

6) Metformin

Metformin menurunkan kadar glukosa darah melalui

pengaruhnya terhadap kerja insulin pada tingkat selular, distal

dari reseptor insulin serta juga pada efeknya efeknya

menurunkan produksi glukosa hati. Metformin meningkatkan

pemakian glukosa oleh sel usus sehingga menurnkan glukosa

darah dan juga disangka menghambat absorpsi glukosa dari

usus pada keadaan sesudah makan. Setelah diberikan secara

oral, metformin mencapai kadar puncak dalam darah setelah 2

jam dan diekskresi lewat urin dalam keadaan utuh dengan

waktu paruh 2-5 jam. (Sidartawan, 2002)

7) Tiazolindidion

Tianzolindidion adalah golongan obat baru yang

mempunyai efek farmakologis meningkatkan sensitivitas

insulin. Dapat diberikan secara oral. Golongan obat ini bekerja


23

meningkatkan glukosa dispospal pada sel dan mengurangi

produksi glukosa di hati. (Sidartawan, 2002)

Golongan obat baru ini diharapkan dapat lebih tepat

bekerja pada sasaran kelainan yaitu resistensi insulin dan dapat

pula dipakai untuk mengatasi berbagai manifestasi resistensi

insulin tanpa menyebabkan hipoglikemia dan juga tidak

menyebabkan kelelahan sel beta pankreas. (Sidartawan, 2002)

8) Penghambat Enzim Inhibitor

Obat- obat ini terdiri dari :

a) Alfa-glucosidase Inhibitor : Acarbose, Vigiblose, Miglitol,

Castanospermine

b) Alfa-amylase Inhibitor : Tendasmitase (Tjokoprawiro et

all, 2007)

Obat ini bekerja secara kompetitif menghambat kerja

enzim alfa glukosidase di dalam saluran cerna sehingga dapat

menurunkan menurunkan penyerapan glukosa dan

menurunkan hiperglikemia postprandial. Obat ini bekerja di

lumen usus dan tidak menyebabkan hiplogikemia dan juga

tidak berpengaruh pada kadar insulin. (Sidartawan, 2002)

Penghambat glukosidase alfa dapat menghambat

bioavailabilitas metformin jika diberikan bersamaan pada

orang normal. (Sidartawan, 2002)


24

B. Terong Ungu

Gambar II Terong Ungu (Solanum Melongena L.)

Sumber (Marmito, 2016)

1. Taksonomi Terong Ungu

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta

Sub Divisi : Angiospermae

Class : Magnoliopsida

Subclass : Asteridae

Order : Solanales

Family : Solanaceace

Genus : Solanum

Spesies : S. melongena

Nama binomial : Solanum melongena L. (Bisby, 2004)

2. Morfologi Terong Ungu

Karakteristik dari terong ungu (Solanum melongena L.) batang

bulat, berkayu, percabangan simpodial, berambut, berduri, putih kotor,

dan tumbuh hingga setinggi 40-150 cm (16-57 inci). Daun bulat besar,
25

ujung runcing, pangkal bertekuk, tepi berombak, pertulangan menyirip,

hijau, dan lobus yang kasar, ukuran panjangnya 10-20 cm (4-8 inci) dan

lebarnya 5-10 cm (2-4 inci). Bunga berwarna putih hingga ungu dengan

mahkota lima lobus. Benang sarinya berwarna kuning. Buah berisi

tepung, lonjong, diameter buah kurang dari 5 cm. Biji pipih, kecil,

kuning, dan licin. Akar tunggang dan berwarna cokelat muda (Herbst,

2001)

3. Kandungan Zat Gizi Terong Ungu

Selain mengandung vitamin dan mineral, terong ungu (Solanum

melongena L.) juga mengandung fitonutrien yang penting. Fitonutrien

ini memiliki efek antioksidan (Hanhineva et al., 2010). Kandungan gizi

pada terong cukup tinggi antara lain: Cu, Zn, Fe and Mn, minerals, P,

Ca, Mg, K and Na (Ayaz, et all, 2015)

4. Pengaruh terong ungu terhadap gula darah

Pembuatan ekstrak kulit terung ungu, simplisia dimaserasi

menggunakan pelarut etanol karena senyawa aktif dalam terung ungu

yaitu antosianin memiliki kepolaran yang sama dengan etanol

(Broillard, 1982). Antosianin dari kulit terung ungu termasuk dalam

senyawa golongan flavonoid (Widowati, 2008).

Terong ungu (solanum melongena l.) memiliki senyawa flovanoid

kaempferol sebanyak 70% (Paio et all, 2014). Penelitian yang dilakukan

membuktikan bawah flovanoid kaempferol (solanum melongena l.)

memiliki efek inhibitor terhadap enzim alfa glucosidase mencapai 20%.


26

Kaempferol memiliki efek inhibitor yang signifkan pada semua

konsetrasinya (Pereira, 2011)

C. Acarbose

1. Farmakodinamik

Acarbose bekerja secara kompetitif menghambat kerja enzim alfa

glukosidase di dalam saluran cerna sehingga dengan demikian dapat

menurunkan penyerapan glukosa dan menurunkan hiperglikemia

postprandial. Obat ini bekerja di lumen usus dan tidak menyebabkan

hiperglikemia postprandial. Mekanisme kerja, acarbose merupakan

penghambat kuat alpha glukosidase yang terdapat pada dinding

enterosit yang terletak pada bagian proksimal usus halus. Secara klinis

akan terjadi hambatan pembentukan monosakarida intraluminal,

menghambat dan memperpanjang peningkatan glukosa darah

postprandial, dan mempengaruhi respon insulin plasma. Sebagai

monoterapi tidak akan merangsang sekresi insulin dan tidak dapat

menyebabkan hipoglikemia. (Soegondo,2008)

2. Farmakokinetik

Acarbose hampir tidak diabsorpsi dan bekerja lokal pada saluran

pencernaan. Acarbose mengalami metabolisme didalam saluran

pencernaan, metabolisme terutama oleh flora mikrobiologis, hidrolisis

intestinal dan aktifitas system pencernaan. Waktu paruh eliminasi


27

plasma kira-kira 2 jam pada orang sehat dan sebagian besar diekskersi

melalui feses. (Soegondo, 2008)

3. Efek Samping

Efek samping akibat maldigesti karbohidrat akan berupa

gastrointestinal seperti ; meteorismus, flatulence, dan diare. Flatulence

merupakan efek yang tersering terjadi pada hampir 50% pengguna obat

ini. Penghambat Alfa glukosidase dapat menghambat bioavailabilitas

metformin jika diberikan bersamaan pada orang normal. (Soegondo,

2008)

D. Data Penilitan Sebelumnya

Telah dilakukan penelitian oleh (Aer et all ,2013 ) tentang pengaruh

ekstrak etanol terong ungu ( Solanum melongen L. ) terhadap gula darah

tikus putih (Rattus Noervegicus). Diperoleh data kelompok dengan

pemberian ekstrak kulit terung ungu (Solanum melongena L.) menunjukkan

adanya penurunan kadar gula darah.


BAB III

KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN

A. Kerangka Konsep
Lumen usus halus
Polikasarida dan disakarida

Dipecah melalui enzim-enzim brush border

Enzim Alfa Amilase Enzim Alfa Glucosidase Enzim Maltase

Di inhibisi oleh ekstrak terong ungu

Ekstrak etanol terong ungu


Di inhibisi olehs acarbose

Glucobay
Menyebabkan glukosa tidak Dipecah menjadi
dipecah Monosakarida

Glukosa tidak masuk Monosakarida masuk


kepembuluh darah kepembuluh darah

Kadar gula darah tidak


meningkat Kadar gula darah meningkat

Variabel yang diteliti

Variabel yang tidak diteliti

Gambar III Kerangka Konsep

28
29

B. Hipotesis Penelitian

Ada perbedaan efektivitas antara ekstrak etanol terong ungu dan

acarbose dalam menurunkan kadar gula darah tikus putih Rattus

norvegicus.
BAB IV

METODOLOGI PENELITIAN

A. Rancangan (desain) Penelitian

Rancangan penelitian yang dilakukan adalah eksperimental dengan

pretest-postest control group design. Pengambilan sampel diambil secara

random dan dibagi menjadi 5 kelompok dengan metode simple random

sampling.

B. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Hewan Coba Fakultas

Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya pada bulan Juli 2016,

penelitian ini dilakukan di Surabaya.

C. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Dalam penelitian ini, populasi yang akan dipelihara oleh peneliti

adalah tikus putih sebanyak 30 ekor tikus.

a. Kriteria Inklusi

1) Tikus putih jantan jenis rattus norvegicus

2) Umur 2 bulan

3) Berat badan 70-100 g

30
31

b. Kriteria Eksklusi

1) Tikus mengalami sakit

2) Tikus mati dalam penelitian

2. Sampel

Sampel yang dipakai dalam penelitian ini adalah tikus putih rattus

norvegicus sebanyak 30 tikus dengan pembagian 5 ekor tikus

perkelompok dan 1 ekor tikus sebagai cadangan perkelompok. Besar

sampel penelitian dibagj menjadi 5 kelompok, dan didapatkan jumlah

sampel perkelmpok sesuai rumus Frederer yaitu

Rumus Frederer : (t-1) (n-1) 15

(5-1) (n-1) 15

4n-4 15

4n 19

n 5

Keterangan :

t : Jumlah kelompok uji

n : jumlah hewan uji untuk setiap kelompok

Jadi jumlah sampel dalam setiap kelompok adalah 6 ekor tikus

putih dengan 1 tikus sebagai cadangan setiap kelompok. Setiap 5

kelompok dibagi menjadi 1 kelompok control dan 4 kelompok

perlakuan. Sehingga jumlah sampel keseluruhan adalah 30 ekor tikus

putih tikus.
32

Pemilihan sample dilakukan secara simple random sampling. Pada

simple random sampling, kita menghitung terlebih dahulu jumlah

subyek dalam populasi (terjangkau) yang akan dipilih sampelnya.

Kemudian tiap subyek diberi nomor, dan dipilih sebagian dari mereka

dengan bantuan tabel random (Sastroasmoro, 2002)

D. Variabel Penelitian

a. Variabel bebas: ekstrak terong ungu dengan dosis 100 mg/kggbb, 50

mg/kgbb, 25 mg/kgbb dan acarbose dengan dosis 4,5mg/kgbb

b. Variabel tergantung: kadar gula darah tikus putih.

c. Variabel terkendali: strain, jenis kelamin, berat badan tikus, umur tikus.

E. Definisi Operasional

a. Ekstrak etanol terong ungu adalah ekstrak etanol yang dibuat dari kulit

terong ungu yang dibagi menjadi 3 dosis, yaitu 25 mg/kgbb, 50

mg/kgbb dan 100 mg/kgbb. Pemberian ekstrak etanol kulit terong ungu

melalui injeksi peroral.

b. Dosis acarbose pada manusia ialah 50 mg, kemudian dosis

dikonversikan pada tikus putih adalah 50 X 0,09 = 4,5 mg/Kgbb (0.009

merupakan faktor konversi dosis manusia dewasa ke tikus berat badan

100g (Harmita, 2006). Dosis acarbose yang akan digunakan, dihitung

berdasarkan berat badan rata-rata hewan uji. Pemberian acarbose

melalui injeksi sonde peroral.


33

c. Dosis sukrosa dihitung berdasarkan dosis sukrosa pada kelinci yaitu 3

g/kgbb per oral (Widyastuti dan Suarsana, 2011) , maka perhitungan

dosis sukrosa untuk tikus adalah 1,5 X 3 X 0,25 = 1,125 g/200 gbb,

0,25 merupakan faktor konversi dosis kelinci ke tikus menurut

(Harmita, 2006). Dalam penelitian ini dosis sukrosa yang akan

digunakan dihitung berdasarkan berat badan rata-rata hewan uji coba

yaitu 100 g, sehingga 100g = 1,125 / 2 = 0,56 g. Sukrosa kemudian

dilarutkan dalam aquadest dan diaduk hingga homogen. Pemberian

sukrosa melalui injeksi peroral.

d. Menurut (Wulandari, 2011) kadar gula darah normal tikus putih adalah

<110

e. Hewan coba yang dipakai dalam penelitian ini adalah tikus putih jantan,

galur Wistar, berat 70-100 g, umur 30 hari.

F. Produser Penelitian

1. Penentuan Dosis dan Pembuatan Sediaan CMC Na 2%

a. Pembuatan larutan CMC Na 2 % b/v

Untuk larutan 100 ml diperlukan bubuk CMC Na = 100/100 x 2 = 2

g . CMC Na ditimbang sebanyak 2 g, kemudian dicampur dalam 2

ml air panas dan didiamkan hingga mengembang selama 15 menit

kemudian ditambah air hingga volume menjadi 100 ml. Larutan

CMC Na 2% digunakan pada larutan ekstrak etanol kulit terong

ungu.
34

2. Pembuatan sediaan dan dosis ekstrak etanol kulit terong ungu

Sampel kulit terong ungu sebanyak 190 g yang telah dihaluskan

dengan blender dimasukkan dalam erlenmeyer dan direndam dengan

etanol 95% sebanyak 1.425 ml pada suhu kamar selama 5 hari. Setiap

hari digojok kemudian pada hari ke 5 disaring menggunakan kertas

saring dan diperoleh hasil filtrat pertama. Residu direndam kembali

dengan etanol 95% sebanyak 475 ml selama 2 hari kemudian disaring

menggunakan kertas saring dan diperoleh hasil filtrat kedua.

Filtrat yang diperoleh dikumpulkan dan diuapkan dengan

menggunakan penguap putar vakum (Rotary vacuum evaporator) pada

tekanan rendah dan suhu 40C untuk menguapkan pelarut etanol yang

terdapat dalam filtrat. Hasil penguapan dengan menggunakan Rotary

vacum evaporator dikentalkan diatas waterbath pada suhu 60C dan

didapatkan ekstrak kental sebanyak 9,80 g. Ekstral etanol yang kental

akan diencerkan dengan larutan CMC Na 2%

Misal :

Kapasitas lambung tikus putih Rattus Norvegicus : 2,5 ml/100gbb

(Lingga, 2014). Dalam penelitian ini berat badan rata-rata kesluruhan

adalah 80 g sehingga kapasitas lambung yang dipakai adalah 2,3 ml/80

g, dalam perlakuan akan diberikan 2 larutan dalam waktu yang

bersamaan. Sehingga kapasitas lambung yang digunakan untuk ekstrak

etanol kulit terong ungu adalah 1 ml.


35

Dosis 100 mg = 10 mg , 10 mg = 1000 mg


kgBB 80 gBB 0.1 ml 100 ml

a. Berat badan seluruh tikus tikus rata-rata adalah 80g. Untuk dosis

100 mg/kgbb

= 80 / 1000 x 100 = 8 mg

b. Volume lambung tikus putih yang digunakan adalah 1 ml. Dalam 1

ml terdapat 8 mg ekstrak etanol kulit terong ungu.

c. Volume minimal larutan yang diperlukan untuk 15 tikus putih

adalah 15 ml

d. Untuk percobaan hingga mendapatkan dosis 50 mg/kgbb dan 25

mg/kgbb maka volume larutan induk yang digunakan adalah 100

ml.

e. Dalam 100 ml larutan terdapat = 100 / 1 x 10 = 1000 mg ekstrak

etanol kulit terong ungu

f. Untuk dosis ekstra kulit terong ke III : Timbang 1000 mg ekstrak

etanol terong ungu, masukkan dalam tabung. Tambahkan larutan

CMC Na 2% sampai dengan seluruh volumenya 100 ml ( Larutan

Induk)

g. Untuk dosis ekstrak kulit terong ke II : ambil 50 ml larutan induk

masukkan dalam tabung. Tambahkan larutan CMC Na 2% sampai

dengan seluruh volumenya 100 ml.

h. Untuk dosis ekstrak kulit terong ke ke I : ambil 50 ml larutan pada

dosis ke II masukkan dalam tabung. Tambahkan larutan CMC Na

2% sampai dengan seluruh volumenya 100 ml.


36

3. Pembuatan sediaan dan dosis sukrosa

Pada penelitian ini, dosis sukrosa yang digunakan adalah 0,56

g/100gbb.

a. Berat badan rata-rata tikus pada penelitian ini adalah 80g. Sehingga

dosis yang digunakan adalah 0,36g/80g.

b. Volume lambung tikus putih yang digunakan adalah 1 ml. Dalam 1

ml terdapat 0,36 g sukrosa.

c. Volume larutan yang diperlukan untuk 25 tikus putih = 25 x 1 = 25

ml.

d. Untuk mengantisipasi kesalahan dalam percobaan maka volume

larutan yang digunakan adalah 50 ml

e. Dalam 50 ml larutan terdapat = 50 / 1 x 0,36 = 18 g sukrosa.

f. Timbang sukrosa sebanyak 18 g, masukkan dalam tabung.

Tambahkan larutan aquadest sampai dengan seluruh volumenya 50

ml, kemudian dikocok hingga homogen.

4. Dosis Acarbose

Dosis acarbose yang digunakan adalah 4,5 mg/kgbb

a. Berat badan rata-rata tikus pada peneltian ini adalah 80 g. Sehingga

dosis 4,5 mg/kgbb = 80 / 1000 x 4,5 = 0,36 mg

b. Volume lambung tikus putih yang digunakan adalah 1 ml. Dalam 1

ml terdapat 0,36 mg acarbose.

c. Volume larutan yang diperlukan untuk 5 tikus putih = 5 x 1 = 1 ml


37

d. Untuk mengantisipasi kesalahan dalam percobaan maka volume

larutan yang digunakan adalah 50 ml

e. Dalam 50 ml larutan terdapat = 50 / 1 x 0,36 = 18 mg acarbose.

f. Obat yang digunakan dalam penelitian adalah obat tablet acarbose

dosis 50 mg.

g. Untuk mengkonversikan tablet acarbose 50mg menjadi 18 mg

maka perlu dilakukan konversi dengan rumus berikut :

KAW TP KAR = VKAW TP VKAR

50 mg 2.77 18 mg = 500g 2.77 VKAR

VKAR = 180 mg

Diket :

KAW = Kosentrasi Awal

KAR = Kosentrasi Akhir

TP = Total Pengenceran

VKAW= Volume kosentrasi Awal

VKA = Volume Kosentrasi Akhir

h. Haluskan 1 tablet acarbose 50 mg seberat 500 mg dan masukan

dalam tabung, tambahkan aquadest sebanyak 180 mg. Aduk hingga

larutan menjadi homogen. Tambahkan kembali aquadest 50 ml,

kocok hingga homogen kembali.

5. Hewan Coba

a. Hewan coba yang digunakan adalah tikus putih jantan genus Rattus

Norvegicus umur 2 bulan dengan berat 70-100 g.


38

b. Tikus putih ditempatkan pada kandang yang bersih dengan

ventilasi yang baik dengan ukuran panjang 50 cm, lebar 50 cm,

tinggi 40 cm.

c. Aklimatisasi hewan coba selama 7 hari terhadap air, makanan,

udara dan kondisi laboratorium. Pakan yang diberikan selama

aklimatisasi adalah pakan ternak standart dan pemberian minum

aquadest.

d. Tikus dipelihara dalam ruangan berventilasi cukup, suhu ruangan

berkisar antara 28-32C, dan siklus pencahayaan 12 jam.

e. Pada hari ke-8, tikus diberi makan pelet terlebih dahulu dan

dipuasakan selama 8 jam sebelum dilakukan percobaan dengan

tujuan agar tidak ada faktor makanan lain yang mengganggu saat

dilakukan percobaan. Tikus dibagi menjadi 5 kelompok secara acak

(simple random sampling).

f. Tikus putih jantan galur Wistar dibagi secara random menjadi 5

kelompok. Tikus dikelompokan secara simple random sampling

dan dilakukan pengambilan gula darah (t0) sebagai hasil pre-test ,

setelah itu diberikan sukrosa 0,36 g/80gbb terhadap seluruh

kelompok.

g. Setelah itu diberikan perlakuan dengan pemberian kelompok

kontrol (aquadest 1 ml), kelompok 1 (pemberian ekstrak etanol

kulit terong ungu dosis 25 mg/kgbb), kelompok 2 (pemberian

ekstrak etanol kulit terong ungu dosis 50 mg/kgbb dan kelompok 3


39

(pemberian ekstrak etanol kulit terong ungu dosis 100 mg/kgbb ),

Kelompok 4 (dengan acarbose 4,5 mg/kgBB )

h. Kemudian dilakukan pengukuran kadar gula darah melalui ekor

tikus menggunakan alat esy touch gcu pada menit ke 30 (t30),

menit ke 60 (t60), dan menit ke90 (t90) sebagai hasil post-test

penelitian.

6. Gambar Prosedur Penelitian

Tikus Sehat jantan 30 ekor BB 80-100 g umur 2 bulan diaklimitasi selama 7 hari

Hari ke-8 tikus di lakukan puasa makanan selama 8 jam sebelum perlakuan, lalu dibagi

menjadi 5 kelompok, masing-masing 5 ekor

Tikus dikelompokan secara simple random sampling dan dilakukan pengambilan gula

darah (t0) sebagai hasil pre-test

Seluruh tikus diberikan sukrosa 0,36 g/800 gbb

Kontrol Kelompok 1 Kelompok 2 Kelompok 3 Kelompok 4

(Aquadest 1 (Ekstrak etanol (Ekstrak etanol 50 (Ekstrak etanol (Acarbose 4,5


ml) 25 mg/ kgbb) mg/ kgbb) 100 mg/ kgbb) mg/ kgbb)

Diperiksa kadar glukosa darah menit ke-30 (t30), menit ke-60 (t60), dan menit ke-

90 (t90) setelah perlakuan sebagai hasil post test

Gambar IV Prosedur Penelitian


40

7. Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan adalah

a. Kandang tikus

b. Sonde lambung

c. Alat timbangan

d. Buku dan alat pencatatan data

e. Alat pemeriksa kadar gula darah easy touch GCU.

f. Gunting

G. Analisis data

Data yang dikumpulkan diolah menggunakan program SPSS dan

dilakukan uji One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test. Apabila hasiln

menunjukkan data berdistribusi normal (p 0,05) dilanjutkan dengan Uji One

Way Anova. Setelah itu dilakukan uji Post-Hoc untuk melihat perbedaan

signifikan antara kelompok kontrol dengan kelompok perlakuan, dan

kelompok ekstrak etanol kulit terong ungu dengan kelompok acarbose.


BAB V

HASIL PENELITIAN

A. Hasil Penelitian

GLUKOSA DARAH PERWAKTU


EEKT 100mg/kgbb EEKT 50mg/kgbb EEKT 25mg/kgbb
Acarbose Aquadest 1 ml
200

150

100

50

0
T0 T30 T60 T90

Gambar V.1 Deskripsi Glukosa Darah Perwaktu

Kelompok N Mean Std. Deviation

K 4 139.15 31.76
K1 4 111.50 17.06
K2 4 98.25 7.47
K3 4 101.40 7.72
K4 4 107.70 14.51
Sumber: Data diolah 2016

Tabel V.1 Deskripsi Glukosa Rata-Rata Darah Perkelompok

41
42

Gukosa Darah Rata-rata


160

140

120

100

80
Gukosa Darah
60

40

20

0
K K1 K2 K3 K4

Gambar V.2 Grafik Glukosa Darah Rata-Rata Perkelompok


Sumber: Data diolah 2016

Setiap data diolah dengan menghitung rata-rata kesuluruhan kadar


gula darah pada menit sebelum perlakuan (t0), menit ke30 setelah
perlakuan(t30), menit ke60 (t60), dan menit ke90 (t90) pada semua
kelompok sehingga didapatkan data tunggal.
Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa rata-rata nilai glukosa
darah tertinggi ada pada kelompok kontrol yaitu sebesar 139,15 dan nilai
glukosa darah terendah ada pada kelompok 2 yaitu sebesar 98,25

B. Analisis Data

1. Uji Normalitas Data

Data glukosa darah diuji normalitasnya dengan menggunakan uji

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test. Hasilnya menunjukkan data

berdistribusi normal (p 0,05), disajikan pada Tabel V.2.


43

Tabel V.2 Hasil Uji Normalitas


One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
Glukosa darah
N 20
Normal Parametersa Mean 111.6000
Std. Deviation 21.88833
Most Extreme Differences Absolute .232
Positive .232
Negative -.134
Kolmogorov-Smirnov Z 1.037
Asymp. Sig. (2-tailed) .233
a. Test distribution is Normal.
Sumber: Data diolah 2016

Tabel di atas menunjukan bahwa data berdistribusi normal dengan

nilai probabilitas 0,233 (p > 0,05). Apabila data berdistribusi normal

maka dilanjutkan dengan uji statistic One Way ANOVA. Tetapi,apabila

data berdistribusi tidak normal, maka dianalisi dengan uji statistic

Kruskal-Wallis.

2. Uji Homogenitas Data antar Kelompok

Data glukosa darah diuji homogenitasnya dengan menggunakan uji

Levenes test. Hasilnya menunjukkan data homogen (p 0,05),

disajikan pada Tabel V.3

Tabel V.3 Hasil Uji Homogenitas Data Glukosa Darah

Test of Homogeneity of Variances

Glukosa

Levene Statistic df1 df2 Sig.

2.312 4 15 .105

Sumber: Data diolah 2016


44

3. Uji Varians Satu Arah (One Way Anova)

Uji Varians Satu Arah (One Way Anova) digunakan untuk melihat

perbedaan efektivitas antara ekstrak etanol terong ungu (Solanum

melongena L.) dan acarbose terhadap penurunan kadar gula darah tikus

putih (Rattus Norvegicus).

Tabel V.4 Analisis Varians Satu Arah (One Way Anova)

Sum of Mean
Squares Df Square F Sig.

Between Groups 4225.940 4 1056.485 3.249 .042

Within Groups 4876.940 15 325.129

Total 9102.880 19

Sumber: Data diolah 2016

Dari hasil output di atas menunjukkan signifikansi p-value = 0,042

yaitu < (0.05) maka ada perbedaan efektivitas ekstrak etanol terong

ungu (Solanum melongena L.) dan Acarbose terhadap penurunan

kadar gula darah tikus putih (Rattus Norvegicus).

Selanjutnya dilakukan uji Post Hoc tukey untuk mengetahui lebih

rinci mengenai pasangan kelompok sampel yang saling berbeda secara

signifikan dan pasangan kelompok sampel yang tidak berbeda (Triton,

2006) maka akan diketahui perlakuan mana yang paling berpengaruh

terhadap penurunan kadar gula darah tikus putih (Rattus Norvegicus)

jantan yang diberi injeksi sukrosa peroral.


45

Tabel V.5 Uji Post-Hoc untuk Glukosa Darah

Mean Difference
(I) Kelompok (J) Kelompok Std. Error Sig.
(I-J)

K K1 27.65000* 12.75008 .047


K2 40.90000* 12.75008 .006
*
K3 37.75000 12.75008 .010
K4 31.45000* 12.75008 .026
*
K4 K -31.45000 12.75008 .026
K1 -3.80000 12.75008 .770
K2 9.45000 12.75008 .470
K3 6.30000 12.75008 .628
*. The mean difference is significant at the 0.05 level.

Sumber: Data diolah 2016

Tabel V.5 di atas menunjukkan bahwa ada perbedaan yang

signifikan antara kelompok kontrol dengan kelompok perlakuan

dengan kelompok perlakuan yang diberi ekstrak etanol terong ungu

(Solanum melongena L. ) dan acarbose. Namun tidak ada perbedaan

yang signifikan antara kelompok yang diberi ekstrak etanol terong

ungu (Solanum melongena L. ) dengan acarbose.


BAB VI

PEMBAHASAN

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan efektivitas antara

ekstrak etanol terong ungu dan acarbose terhadap penurunan kadar gula darah

pada tikus putih yang diberi injeksi sukrosa peroral, sampel penelitian adalah 25

ekor tikus diperoleh secara simple random sampling yang kemudian dibagi

menjadi 5 kelompok masing-masing berjumlah 5 ekor tikus.

Hasil yang diperoleh kemudian diolah dan analisis dengan menggunakan

program SPSS 16.0 for Windows.Uji hipotesis penelitian ini menggunakan uji

parametik One Way ANOVA untuk menguji perbedaan antar kelompok.

Pada penelitian ini setiap kelompok perlakuan diberi ekstrak etanol kulit

terong ungu (Solanum melongena L) dengan dosis 25mg/kgbb, 50mg/kgbb,

100mg/kgbb dan Acarbose 4,5 mg/kgbb.

Dalam penelitian dibagi dalam 5 kelompok, yaitu kelompok kontrol negatif

dengan pemberian aquadest dosis 1 ml, kelompok perlakuan 1 dengan dosis

ekstrak kulit terong ungu 25mg/kgbb, perlakuan 2 dengan dosis ekstrak kulit

terong ungu 50mg/kgbb, perlakuan 3 dengan dosis ekstrak kulit terong ungu

100mg/kgbb, dan perlakuan 4 dengan dosis acarbose 4,5 mg/kgbb. Dan sebelum

pengujian tikus dipuasakan 8 jam sebelum diberi minum, kemudian diukur kadar

gula puasa. Setelah dilakukan pengukuran gula darah puasa didapatkan hasil rata-

rata gula darah tikus <110mg/dl. Wulandari (2010) kadar gula darah puasa normal

<110 mg/dl. Kemudian masing-masing tikus diberikan larutan sukrosa dengan

46
47

dosis 0,36g/80gbb tikus untuk membuat kondisi hiperglikemia pada tikus. Setelah

30 menit pemberian larutan sukrosa, diukur kadar gula darah tikus. Hasil

pengukuran kadar gula darah setelah 30 menit pemberian larutan sukrosa terlihat

peningkatan kadar glukosa darah yang tinggi pada kelompok konntrol, ini

menunjukkan telah terjadi penyerapan sukrosa oleh tubuh tikus dikarenakan

pengaruh fisiologis dari tubuh tikus sendiri.

Hasil analisi deskriptif data dapat dilihat pada Tabel V.1, dimana diketahui

bahwa rata-rata nilai glukosa darah tertinggi ada pada kelompok kontrol yaitu

sebesar 139,15 dan nilai glukosa darah terendah ada pada kelompok 2 yaitu

sebesar 98,25.

Selanjutnya untuk uji normalitas data menggunakan uji Kolmogorov-

Smirnov. Hasil uji normalitas dapat dilihat pada Tabel V.2, dimana dikatakan

hasil dengan nilai probabilitas 0,233 (p > 0,05). Data dikatakan berdistribusi

normal apabila nilai p > 0,05 dan jika p < 0,05 maka data tidak berdistribusi

normal.

Karena p-value >0,05, maka H0 diterima, sehingga dapat disimpulkan bahwa

data berdistribusi normal. Kemudian dilanjutkan dengan uji homogenitas dengan

Levenes Test untuk menguji kesamaan varians dari kelima kelompok yang

diteliti.

Hasil uji homogenitas dapat dilihat pada Tabel V.3, dimana didapatkan nilai

p = 0,105 (p > 0,05) sehingga dapat disimpulkan bahwa varians data homogen.

Oleh karena data telah berdistribusi normal dan varians data homogen, analisis

data dilanjutkan dengan menggunakan uji One Way ANOVA.


48

Hasil uji One Way ANOVA dapat dilihat pada Tabel V.4, dimana ada

perbedaan efektivitas ekstrak etanol terong ungu (Solanum melongena L.) dan

acarbose terhadap penurunan kadar gula darah tikus putih (Rattus Norvegicus)

Selanjutnya dilakukan uji Post Hoc tukey untuk mengetahui lebih rinci

mengenai pasangan kelompok sampel yang saling berbeda secara signifikan dan

pasangan kelompok sampel yang tidak berbeda (Triton, 2006) maka akan

diketahui perlakuan mana yang paling berpengaruh terhadap penurunan kadar

gula darah tikus putih (Rattus Norvegicus) jantan yang diberi injeksi sukrosa

peroral.

Hasil uji Post-Hoc dapat dilihat pada Tabel V.5, dimana hasil tersebut

menunjukkan bahwa ada perbedaan yang signifikan antara kelompok kontrol

dengan kelompok perlakuan dengan kelompok perlakuan yang diberi ekstrak

etanol terong ungu (Solanum melongena L.) dan acarbose.

Setelah dilakukan uji Post-Hoc kelompok kontrol negatif dengan pemberian

suspensi aquadest 1 ml menunjukan perbedaan yang signifikan terhadap seluruh

kelompok perlakuan. Hal ini dikarenakan aquadest 1 ml tidak dapat menekan laju

kenaikan kadar gula darah dibandingkan kelompok perlakuan dengan pemberian

ekstrak etanol kulit terong ungu dan acarbose.

Dengan uji Post-Hoc pada tabel V5 menunjukan seluruh kelompok

perlakuan memiliki perbedaan yang signifikan. Hal ini menunjukan kelompok

ekstrak etanol kulit terong ungu dengan dosis 100 mg/kgbb, 50 mg/kgbb, 25

mg/kgbb dan Acarbose 4,5 mg/kgbb memiliki efek menghambat peningkatan

kadar gula darah tikus putih.


49

Kelompok perlakuan 1 dengan ekstrak etanol kulit terong ungu dosis

25mg/kgbb menunjukan efektivitas penurunan gula darah yang lebih rendah

dibandingkan kelompok 3 dan 4 tetapi tidak lebih tinggi dari kelompok 2 yaitu

sebesar 111.

Kelompok perlakuan 2 dengan ekstrak etanol kulit terong ungu dosis

50mg/kgbb menunjukan memiliki efektivitas yang lebih tinggi terhadap

penurunan gula darah tikus putih dibandingkan dengan kelompok perlakuan

lainnya yaitu sebesar 98,25. Hal ini membuktikan bahwa kelompok perlakuan 2

dengan dosis 50 mg/kgbb memiliki efektivitas yang paling tinggi.

Kelompok perlakuan 3 dengan ekstrak etanol kulit terong ungu dosis

100mg/kgbb menunjukan efektivitas yang lebih tinggi dibandingkan kelompok

perlakuan 1 dan kelompok perlakuan 4 tetapi tidak lebih tinggi dibandingkan

kelompok perlakuan 2 yaitu sebesar 101.

Kelompok 4 dengan pemberian acarbose 4,5 mg/kgbb menunjukan

perbedaan yang signifikan terhadap kelompok kontrol dan efektivitas yang lebih

tinggi dibanding kelompok perlakuan 1, tetapi efektivitasnya tidak lebih tinggi

dari pelakuan 2 dan 3 terhadap penurunan gula darah tikus putih yaitu sebesar

107.

Untuk membuktikan perbedaan yang signifikan antara kelompok 4 dengan

pemberian acarbose dan kelompok 1, 2, dan 3 dengan pemberian ekstrak kulit

terong ungu maka dilakukan uji Post-Hoc. Dari hasil uji Post-Hoc dapat dilihat

pada Tabel V.5 menunjukan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara

ekstrak etanol kulit terong ungu dan acarbose. Dapat disimpulkan bahwa ekstrak
50

etanol kulit terong ungu memiliki efektiftas yang hampir sama dengan acarbose

terhadap gula darah tikus putih. Dosis ekstrak etanol yang mendekati efektivitas

acarbose adalah dosis 50 mg/kgbb pada kelompok 1 yang mampu menurunkan

gula darah 111, dimana memiliki perbedaan tipis dengan kelompok acarbose yaitu

sebesar 107. Mekanisme kerja acarbose merupakan penghambat kuat alpha

glukosidase yang terdapat pada dinding enterosit yang terletak pada bagian

proksimal usus halus. (Soegondo,2008)

Ekstrak etanol kulit terong ungu terbukti dapat menghambat peningkatan

gula darah posprandial. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian (Aer et all,

2013) yang menunjukan adanya penurunan kadar gula darah yang signifikan pada

tikus putih (Rattus Norvegicus). Hal ini disebabkan karena kulit terong ungu

mengandung flavonoid yaitu antosianin, dimana antosianin juga berperan sebagai

senyawa antioksidan dan mampu mengontrol kadar glukosa darah dan mencegah

komplikasi DM (Widowati, 2008).

Ekstrak etanol kulit terong ungu dosis 25 mg/kgbb, 50 mg/kgbb, dan 100

mg/kgbb memiliki efektivitas yang hampir sama dengan acarbose 4,5mg/kgbb

dalam meunurunkan kadar gula darah. Hal ini diduga karena ekstrak etanol kulit

terong ungu memiliki efek menghambat enzim alfa glucosidase inhibitor, sesusai

dengan penelitian (Pereira, 2011) yang membuktikan bawah terong ungu

mempunyai kandungan flovanoid yang memiliki efek inhibitor pada enzim alfa-

glucosidase. Namun bagaimana toksisitas dan efektivitas ekstrak etanol kulit

terong ungu dengan dosis yang lebih tinggi dari penelitian ini secara pasti masih

belum diketahui dengan jelas, sehingga perlu dilakukan penelitian lebih lanjut.
51

BAB VII

PENUTUP

A. Kesimpulan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa :

1. Pemberian ekstrak etanol terong ungu cukup efektif dalam menurunkan

kadar gula darah tikus putih yang diberi injeksi sukrosa peroral.

2. Pemberian acarbose cukup efektif dalam menurunkan kadar gula darah

tikus putih yang diberi injeksi sukrosa peroral.

3. Tidak ada perbedaan yang signifikan antara efektifitas ekstrak etanol

kulit terong ungu dan acarbose dalam menurunkan kadar gula darah

tikus putih yang diberi injeksi sukrosa peroral.

4. Pemberian ekstrak etanol terong ungu dengan dosis 50mg/kgbb

menunjukan efektifitas terkuat dalam menurunkan gula darah pada tikus

putih dibandingkan acarbose dan dosis ekstrak etanol kulit terong ungu

lainnya.

B. Saran

1. Penggunaan ekstrak etanol terong ungu (Solanum melongena L.), lebih

diperhatikan lagi dengan meneliti variasi dosis yang lebih banyak

sekaligus mengkaji toksisitasnya.


52

2. Ekstrak etanol kulit terong ungu terbukti dapat menurunkan kadar gula

darah, sehingga masyarakat awam bisa mengkonsumsi terong ungu

sebagai pencegah kenaikan gula darah.


53

DAFTAR PUSTAKA

Agung Pranoto. 2012. Terapi Insulin. Pusat Penerbitan dan Percetakan Unair
(AUP). P-2

Arthur C. Guyton. 1994. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran (Textbook of Medical


Physiology) Jilid VII Bagian III, ECG, Jakarta, P-270-271-277

Bisby F. A. 2004. Plant names in botanical databases: Plant Taxonomic Database


Standards No. 3 Version 1.00. Published for The International Working
Group on Taxonomic Databases for Plant Sciences (TDWG) by the Hunt
Institute for Botanical Documentation. Pittsburgh: Carnegie Mellon
University

Brenda Natalia Aer et all. 2013. Uji Efek Ekstrak Etanol Kulit Terong Ungu
(Solanum melongena L.) Terhadap Kadar Gula Darah Pada Tikus Putih
Galur Wistar (Rattus norvegicus). Jurnal Ilmiah Farmasi UNSRAT Vol.2
No.4 2013

Candra Wiguna. 2012. Diabetes Mellitus ( Kencing Manis ).


http://candrawiguna.com/diabetes-mellitus-kencing-manis/ 2012. Diakses
pada 1 Juli 2014

Danielle Fontana Pereira et all. 2011. Effect of Flovanoids on Alfa-glucosidase


Activity : Potential Targets For Glucose Homeostasis. Journal Elsevier 2011

David Rubenstein, David Wayne, John Bradley. 2007. Kedokteran Klinis.


Penerbit Erlangga Jakarta. P-177-178

Enny Marmito. 2012. Si Ungu Yang Banyak Manfaat.


http://www.ennymamito.com/2012/09/si-ungu-yang-banyak-manfaat.html,
Diakses pada 13 September 2016

Faik Ahmad Ayaz et all. 2015. Comparison of Nutrient Content in Fruit


of Commercial Cultivars of Eggplant (Solanum melongena L.)

Harmita 2006. Buku Ajar Analisis Hayati Edisi III. Penerbit Buku Kedokteran
ECG. Jakarta P-122

Herbst, S. T. 2001. The New Food Lover's Companion: Comprehensive


Definitions of Nearly 6,000 Food, Drink, and Culinary Terms. In : Herbst,
S. T. Barron's Cooking Guide. New York: Barron's Educational Series.
54

Isna Rating, 2013 . Diabetes Mellitus adalah.


http://www.kamusq.com/2013/05/diabetes-mellitus-adalah-pengertian-
dan.html. Diakses pada 1 Juli 2014

Kartini Sukardji. 2009. Pedoman Diet Diabetes Mellitus. Balai Penerbit FK UI


Jakarta. P-25

Lorraine McCarty Wilson. 2007. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses


Penyakit Edisi IV. Penerbit Buku Kedokteran ECG Jakarta. P-111-113

Regina. 2012. Definisi dan Tipe Diabetes. http://diabetesmelitus.org/definisi-tipe-


diabetes/2012. Diakses pada 1 Juli 2014

Reno Gustaviani. 2005. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid III, Edisi IV.
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia Jakarta. P-1885

Roza Rahimy. 2009. Pedoman Diet Diabetes Mellitus. Balai Penerbit FK UI


Jakarta. P-49

Sarwono Waspadji dkk. 2012. Petunjuk Praktis Bagi Penyandang Diabetes Tipe
2. Badan Penerbit FK UI Jakarta. P-1

Sarwono Waspadji dkk. 2014. Komplikasi Diabetes Tipe 2 : Pencegahan dan


Penanganannya. Badan Penerbit FK UI. P-1-35-43-62

Sidartawan Soegondo. 2005. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid III, Edisi IV.
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia Jakarta. P-1885

Sudigdo Sastroasmoro, Sofyan Ismael. 2002. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian


Klinis. Sagung Seto. P-72

Tjokoprawiro Askandar et all. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Airlangga
University Press. P-67

Triton. 2006. Riset Statistik Parametrik. Penerbit Andi Yogyakarta

Wahyu Widowati. 2008. Potensi Antioksidan sebagai Antidiabetes, Laboratorium


Penelitian dan Pengembangan Ilmu Kedokteran Dasar. JKM Volume 7
Nomor 2 Bandung

Widyastuti, S., I Nyoman Suarsana. 2011. Ekstrak Air Tapak Dara Menurunkan
Kadar Gula dan Meningkatkan Jumlah Sel Beta Pankreas Kelinci
Hiperglikemia. Jurnal Veteriner. P 12(1): 7-12.
55

Wulandari. C.E. 2010. Pengaruh Pemberian Ekstrak Bawang Merah (Allium


ascalonicum) terhadap penurunan kadar glukosa darah pada tikus wistar
dengan hiperglikemia

Xiao-Min Piao. 2014. Variation In Antioxidant Activity and Flovanoid


Aglycones in Eggplant (Solanum Melongena L.) Germplasm. Korean
Society of Breeding Science Journal.

Yogi Ismail Gani. 2013. Acarbose Sebagai Obat Diabetes,


http://www.berbagimanfaat.com/2013/03/acarbose-sebagai-obat-
diabetes.html Diakses pada 29 November 2015
56

Anda mungkin juga menyukai