Anda di halaman 1dari 7

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Proses menua merupakan proses sepanjang hidup, tidak hanya dimulai

dari suatu waktu tertentu tetapi dimulai sejak permulaan kehidupan (Maryam,

2011). Menurut Undang Undang Nomor 13 tahun 1998 tentang lanjut usia

menyebutkan bahwa umur 60 tahun adalah usia tua (Nugroho, 2008). Proses

menua dan usia lanjut merupakan proses alami yang dialami setiap (Atun,

2008). Lanjut usia adalah orang yang mengalaami perubahan struktur dan

fungsi serta sistem biologisnya dikarenakan usia yang sudah lanjut. Perubahan

ini dapat berlangsung mulus jika mengalami perubahan yang normal atau

semestinya, sehingga tidak menimbulkan gangguan sistem atau fungsi baik

sebagian bahkan total. Menua dalam proses biologis adalah proses terkait

waktu yang berkesinambungan, sangat bervariasi dan bersifat individual

(Aswin, 2003).

Saat ini di seluruh dunia jumlah lanjut usia diperkirakan mencapai 500

juta dan diperkirakan pada tahun 2025 akan mencapai 1,2 milyar. Di Indonesia

sendiri pada tahun 2006 sebesar kurang lebih 19 juta (8,9%) dengan usia

harapan hidup 66,2 tahun, tahun 2010 sebesar 23,9 juta (9,77%) dengan usia

harapan hidup 67,4 tahun dan pada tahun 2020 diperkirakan sebesar 28,8 juta

(11,34%) dengan usia harapan hidup 71,1 tahun (Badan Pusat Statistika,

2010).

1
2

Proses penuaan penduduk tentunya berdampak pada berbagai aspek

kehidupan, baik sosial, ekonomi, dan terutama kesehatan, karena dengan

semakin bertambahnya usia, fungsi organ tubuh akan semakin menurun baik

karena faktor alamiah maupun karena penyakit (Mubarak dkk, 2010). Penyakit

yang diderita manusia saat ini khususnya pada lansia, sebagian besar

merupakan penyakit tidak menular (PTM), tergolong sebagai penyakit kronis,

misalnya diabetes, osteoporosis, hipertensi, jantung koroner, stroke, dan

kanker. Munculnya penyakit-penyakit modern tersebut merupakan akibat dari

gaya hidup modern, khususnya pada pola makan yang tidak sehat yang banyak

mengandung zat purin seperti jeroan, daging, kacang-kacangan, dan seafood

sehingga dapat terjadi meningkatknya kadar asam urat dalam darah (Rukmini,

2011).

Penyakit asam urat merupakan salah satu tanda dari penyakit tidak

menular yang di sebabkan oleh perubahan pola hidup dan pola makan

tersebut. Pola hidup dengan mengkonsumsi makanan berkadar protein tinggi

atau berkadar alkohol merupakan pemicu meningkatnya kadar asam urat

dalam darah sebagai penyebab utama penyakit asam urat. Penyakit asam urat

disebabkan meningkatnya asam urat dalam darah. Kadar asam urat meningkat

atau abnormal ketika ginjal tidak snggup mengeluarkannya melaui air kemih.

Peningkatan asam urat dalam darah disebut dengan hiperurisemia (Utami,

2008).
3

Hasil riset kesehatan dasar (Riskesdas) tahun 2013 menunjukkan

bahwa penyakit sendi di Indonesia berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan

(nakes) sebesar 11.9% dan berdasarkan diagnosis dan gejala sebesar 24.7%,

sedangkan berdasarkan daerah diagnosis nakes tertinggi di Provinsi Bali

sebesar 19.3% dan berdasarkan diagnosis dan gejala tertinggi yaitu di Nusa

Tenggara Timur sebesar 31.1%. Prevalensi penyakit sendi di Jawa Tengah

tahun 2013 berdasarkan diagnosis nakes sebesar 11.2% ataupun berdasarkan

diagnosis dan gejala sebesar 25.5% (Riskesdas, 2013). Di Jawa Tengah

prevalensi penyakit gout belum diketahui secara pasti. Namun dari suatu

survei epidemiologik yang dilakukan di Jawa Tengah atas kerjasama WHO

terhadap 4683 sampel berusia 15-45 tahun, didapatkan prevalensi artritis gout

sebesar 24,3% (Dinkes, 2014).

Gout adalah suatu penyakit yang ditandai dengan serangan mendadak,

berulang dan disertai dengan arthritis yang terasa sangat nyeri karena adanya

endapan Kristal monosodium urat atau asam urat yang terkumpul di dalam

sendi sebagai akibat dari tingginya kadar asam urat di dalam darah

(hiperurisemia) (Junaidi, 2013).

Gejala yang muncul sangat khas, yaitu radang sendi yang sangat akut

dan timbul sangat cepat dalam waktu singkat. Pasien tidur tanpa ada gejala

apapun, kemudian bangun tidur terasa sakit yang hebat dan tidak dapat

berjalan. Keluhan monoartikuler berupa nyeri, bengkak, merah dan hangat,

disertai keluhan sistemik berupa demam, menggigil dan merasa lelah, disertai

lekositosis dan peningkatan laju endap darah. Adapun gambaran radiologis


4

hanya didapatkan pembengkakan pada jaringan lunak periartikuler. Keluhan

cepat membaik setelah beberapa jam bahkan tanpa terapi sekalipun (Sudoyo,

2010). Tampilan klinis penyakit gout yang kadang mirip dengan penyakit

reumatik lainnya sebaiknya tidak membuat klinisi bingung dalam menegakkan

diagnosis penyakit gout, sebab ada kriteria yang bias dipakai pegangan dalam

menegakkan diagnosis penyakit gout akut

Dari fase-fase ini, ternyata gejala yang sering menyiksa penderita

adalah rasa nyeri yang timbul saat fase akut, sehingga hal ini perlu untuk

diteliti. Rasa nyeri dinyatakan dalam derajat nyeri yaitu beratnya nyeri yang

dirasakan penderita, merupakan suatu hal yang penting dalam evaluasi

penderita artritis gout, walaupun hal ini merupakan salah satu aspek nyeri

yang sulit dinilai karena tidak dapat dilakukan secara pasti (Hidayat, 2009).

Penurunan kemampuan musculoskeletal karena nyeri sendi dapat

berdampak pada penurunan aktivitas pada lansia. Aktivitas yang dimaksud

antara lain makan, minum, berjalan, mandi, buang air besar, dan buang air

kecil. Kemandirian pada lansia dinilai dari bagaimana lansia mampu

melakukan aktivitas fisik secara mandiri tanpa bergantung pada orang lain

(Chintyawati, 2014).

Penanganan penderita gout arthritis difokuskan pada cara mengontrol

rasa sakit, mengurangi kerusakan sendi dan meningkatkan atau

mempertahankan fungsi dan kualitas hidup. Penanganan untuk gout arthritis

meliputi terapi farmakologis dan non farmakologis. Obat-obatan yang biasa

digunakan untuk menghilangkan rasa nyeri seringkali memberikan efek


5

samping yang cukup serius sebagai contoh aspirin dan piroksikam, sehingga

perlu dicari alternatif lain pengobatan untuk mengurangi rasa nyeri akibat

serangan artritis gout fase akutTindakan non farmakologis untuk penderita

gout arthritis diantaranya adalah kompres, baik itu kompres hangat dan

kompres dingin. Kompres merupakan tindakan mandiri perawat dalam upaya

menurunkan suhu tubuh (Potter, 2010)

Berdasarkan hasil studi pendahuluan diketahui bahwa banyak

penderita hiperurisemia di Desa Leyangan, Kec. Ungaran Timur, Kab.

Semarang yaitu sebanyak 37 orang (Hasil catatan rekam medis di Posyandu

Desa Mijen tahun 2013-2014). Berdasarkan uraian dan studi pendahuluan

tersebut maka peneliti tertarik untuk mencoba melakukan penelitian

Perbedaan efektivitas pemberian air rebusan daun salam dan jus buah sirsak

dalam menurunkan kadar asam urat pada penderita hiperuisemia di Desa

Leyangan, Kec. Ungaran Timur, Kab. Semarang

B. Tujuan Penulisan

1. Tujuan Umum

Memberikan penatalaksanaan nyeri pada asuhan keperawatan

keluarga tn.X dengan Gout di Desa Leyangan, Kec. Ungaran Timur, Kab.

Semarang.

2. Tujuan khusus

a. Penulis mampu melakukan pengkajian pada Tn. X dengan Gout di

Desa Leyangan, Kec. Ungaran Timur, Kab. Semarang.


6

b. Penulis mampu merumuskan diagnosa keperawatan pada Tn. X

dengan Gout di Desa Leyangan, Kec. Ungaran Timur, Kab.

Semarang.

c. Penulis mampu menyusun rencana asuhan Keperawatan pada

Tn.X Gout di Desa Leyangan, Kec. Ungaran Timur, Kab. Semarang.

d. Penulis mampu melakukan implementasi pada Tn. X dengan Gout di

Desa Leyangan, Kec. Ungaran Timur, Kab. Semarang.

e. Penulis mampu melakukan evaluasi pada Tn. X Gout di Desa

Leyangan, Kec. Ungaran Timur, Kab. Semarang.

f. Penulis mampu menganalisa hasil penatalaksanaan nyeri pada tn.X

dengan Gout di Desa Leyangan, Kec. Ungaran Timur, Kab.

Semarang.

C. Manfaat Penelitian

1. Bagi penderita hiperurisemia

Penelitian ini diharapkan sebagai bahan alternatif dalam

menggunakan obat-obatan alami yang tidak mempunyai efek samping

yang merugikan untuk mengobati penyakit Gout.

2. Bagi peneliti

Sebagai penerapan dan perkuliahan yang telah didapatkan, serta

untuk mendapat informasi yang jelas mengenai penatalaksanaan nyeri

pada penderita Gout sehingga dapat memberikan informasi untuk

penelitian lebih lanjut.


7

3. Bagi peneliti selanjutnya

Sebagai bahan awal dalam melakukan penelitian selanjutnya yang

berhubungan dengan hiperurisemia, sehingga dapat menambah

pengetahuan dan wawasan dalam bidang penelitian serta sebagai

penerapan ilmu yang didapat selama studi.

4. Bagi tenaga kesehatan

Sebagai bahan masukan bagi tenaga kesehatan, sehingga dapat

membantu meningkatkan pengetahuan masyarakat khususnya penderita

hiperurisemia untuk menggunakan obat-obatan alami yang tidak

mempunyai efek samping terhadap kesehatannya.

Anda mungkin juga menyukai