Anda di halaman 1dari 32

1

BAB 1. PENDAHULUAN

Retinopati diabetik merupakan salah satu penyebab berkurangnya tajam


penglihatan pada 90% penderita dengan diabetes melitus tipe 1 atau tipe 2 (WHO,
2015). Diabetes mellitus tipe 1 merupakan kelainan dimana pankreas berhenti
meproduksi insulin sehingga glukosa tetap berada dalam darah, pada umumnya
terjadi pada usia sebelum 30 tahun. Diabetes mellitus tipe 2, pankreas tidak dapat
memproduksi cukup insulin sehingga tubuh tidak bisa menggunakan insulin
secara maksimal, biasa terjadi pada usia lebih dari 40 tahun. Resiko penurunan
tajam penglihatan pada penderita diabetes dapat dikurangi dengan cara deteksi
dini retinopati, rutin kontrol kadar gula darah dan keadaan mata, serta
penatalaksanaan yang efektif. Salah satu penatalaksanaannya adalah dengan
fotokoagulasi laser (Ilyas, 2014).
Laser merupakan akronim dari Light Amplification of Stimulated
Emission of Radiation yang berarti menghasilkan sumber cahaya dengan
intensitas yang besar dan fase koheren. Laser memiliki intensitas sinar yang
tinggi, dengan pulse energies sebesar 104 joule dan pulse durations 6 x 10-15
detik. Penggunaan laser dalam bidang oftamologi dimulai sejak tahun 1963, C.
Zweng melakukan percobaan laser medis pertama yaitu pada koagulasi retina.
Selanjutnya pada tahun 1965, W.Z Yarn melakukan operasi laser klinis pertama
(Rumelt, 2012).
Jenis laser yang digunakan dalam bidang oftamologi dibedakan
berdasarkan tujuan dan fungsi terapeutik masing-masing laser. Aplikasi laser
dalam bidang oftamologi secara garis besar dibedakan menjadi tiga bagian yakni
fotokoagualasi, fotodisrupsi dan fotorefraksi. Aplikasi dalam bidang fotokoagulasi
contohnya adalah penggunaan laser dalam terapi perdarahan retina (Rumelt,
2012).
Fotokuagulasi laser telah memberikan hasil yang baik pada retinopati
diabetik yang disertai clinically significant macular edema (CSME),
neovaskularisasi pada retina dan pada penderita dengan resiko tinggi proliferative
disease (retinopati diabetic preproliferatif). Dengan fotokoagulasi laser,
2

progresifitas retinopati diabetik dapat diturunkan secara efektif (90 %), sehingga
kehilangan tajam penglihatan berat dapat dihindari (Rumelt, 2012).
Terdapat tiga metoda fotokoagulasi Laser pada retinopati diabetik.
Pertama adalah Scatter (panretinal) yang dapat memperlambat perkembangan
serta meregresi neovaskularisasi pada diskus optikus dan permukaan retina.
Kedua fotokoagulasi fokal yang ditujukan langsung pada kebocoran di fundus
posterior retina untuk mengurangi edema makula. Ketiga adalah fotokoagulasi
grid, yang ditujukan pada daerah edema yang terjadi akibat kebocoran kapiler
yang difus (Rumelt, 2012).
3

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Retinopati Diabetik


a. Definisi
Diabetik retinopati (DR) adalah suatu mikroangiopati progresif yang
ditandai oleh kerusakan dan sumbatan pembuluh darah halus yang meliputi
arteriol prekapiler retina, kapiler, dan vena (Crick, 2003). Keadaan ini merupakan
komplikasi dari penyakit diabetes melitus yang menyebabkan kerusakan pada
mata dimana secara perlahan terjadi kerusakan pembuluh darah retina atau lapisan
saraf mata.

Gambar 2.1 Retina normal dibandingkan retinopati diabetik

b. Epidemiologi
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tahun 2010 melaporkan, sekitar 3%
penduduk di seluruh dunia mengalami kebutaan akibat retinopati DM. Dalam
urutan penyebab kebutaan secara global, retinopati DM menempati urutan ke-4
setelah katarak, glaukoma, dan degenerasi makula.
Diperkirakan bahwa jumlah penderita diabetes di seluruh dunia akan
meningkat dari 117 juta pada tahun 2000 menjadi 366 juta tahun 2030. Di Asia
diramalkan diabetes akan menjadi epidemi, disebabkan pola makan masyarakat
Asia yang tinggi karbohidrat dan lemak disertai kurangnya berolahraga.
4

Akibatnya, kebutaan akibat retinopati DM juga diperkirakan meningkat secara


dramatis (WHO, 2010).
Data Poliklinik Mata RS. Cipto Mangunkusumo (RSCM) yang tidak
dipublikasikan menunjukkan bahwa retinopati DM merupakan kasus terbanyak
yang dilayani di klinik vitreo-retina. Dari seluruh kunjungan pasien Poliklinik
Mata RSCM, jumlah kunjungan pasien dengan retinopati diabetik meningkat dari
2,4 persen tahun 2005 menjadi 3,9 persen tahun 2006 (Victor, 2008).

c. Etiopatogenesis
Penyebab pasti DR belum diketahui. Tetapi diyakini bahwa lamanya terpapar
terhadap keadaan hiperglikemia dapat menyebabkan perubahan fisiologis dan
biokimia yang akhirnya menyebabkan kerusakan endotel pembuluh darah.
Perubahan abnormalitas sebagian besar anatomis, hematologi dan biokimia telah
dihubugkan dengan prevalensi dan beratnya retinopati antara lain:
Perubahan anatomis
o Capilaropathy
Degenerasi dan hilangnya sel-sel perisit.
Proliferasi sel endotel.
Penebalan membrana basalis.
o Sumbatan mikrovaskuler
Arteriovenous shunts
Intraretinal microvaskular abnormalities (IRMA).
Neovaskularisasi
Angiogenic growth factor yang menyebabkan pembentukan
pembuluh darah baru pada retina dan diskus optikus (pada
proliferative DR) atau pada iris (rubeosis iridis).
Perubahan hematologi:
o Peningkatan sifat agregasi trombosit dan peningkatan agregasi
eritrosit yang meningkatkan abnormalitas serum dan viskositas
darah.
o Abnormalitas lipid serum
5

o Fibrinolisis yang tidak sempurna


o Abnormalitas dari sekresi growth hormone
Perubahan biokimia
o Jalur poliol
Hiperglikemia yang berlangsung lama akan menyebabkan produksi
berlebihan serta akumulasi dari poliol, yaitu senyawa gula dan
alkohol, dalam jaringan termasuk di lensa dan saraf optik. Salah
satu sifat dari senyawa poliol adalah tidak dapat melewati
membrana basalis sehingga akan tertimbun dalam jumlah banyak
di dalam sel. Senyawa poliol menyebabkan peningkatan tekanan
osmotik sel dan menimbulkan gangguan morfologi maupun
fungsional sel (Sudoyo, 2009).
o Glikasi nonenzimatik
Glikasi nonenzimatik terhadap protein dan DNA yang terjadi
selama hiperglikemi dapat menghambat aktivitas enzim dan
keutuhan DNA. Protein yang terglikosilasi membentuk radikal
bebas dan akan menyebabkan perubahan fungsi sel (Sudoyo,
2009).
o Protein kinase C
Protein kinase C (PKC) diketahui memiliki pengaruh terhadap
pemeabilitas vaskular, kontraktilitas, sintesis membrana basalis dan
proliferasi sel vaskular. Dalam kondisi hiperglikemia aktivitas
PKC di retina dan sel endotel meningkat akibat peningkatan sintesi
de novo dari diasilgliserol, suatu regulator PKC yang berasal dari
glukosa (Sudoyo, 2009).
Faktor lain yang terkait dengan diabetes mellitus yang dapat
mempengaruhi prognosis dari retinopati diabetik seperti;
Arteriosklerosis dan hipertensi
Hipoglikemia atau trauma yang dapat menimbulkan perdarahan mendadak
Hiperlipoproteinemi, mempengaruhi arteriosklerosis, sehingga
mempercapat perjalanan penyakit
6

Kehamilan pada penderita diabetes juvenile yang tergantung pada insulin


dapat menimbulkan perdarahan dan proliferasi (Bhavsar, 2015).

d. Patofisiologi
Retina, atau disebut juga tunica nervosa bulbi adalah lapisan terdalam dari
bola mata. Merupakan lapisan yang tipis, halus, bening dan tembus pandang.
Menurut fungsinya retina dibagi menjadi:
Pars optika retinae, merupakan bagian retina yag mempunyai sel khusus
penerima rangsang cahaya
Pars coeca retinae, merupakan bagian dari retina yang tidak mempunyai
sel khusus. Termasuk disini yaitu:
o Pars ciliaris retinae
o Pars iridis retinae
Batas antara pars optika dan pars coeca adalah ora serata.
Retina dibagi menjadi 10 lapisan, tetapi hanya 3 lapisan neuron retina
yang menerima, mengintegrasikan dan meneruskan signal visual ke otak sebagai
impuls, yaitu sel fotoreseptor (sel kerucut dan batang), sel bipolar, dan sel
ganglion.
Epithelium pigmentalis atau stratum pigmenti retinae
Stratum coni at bacilli
Membrana limitans externa
Stratum granularis externa
Stratum plexiformis externa
Stratum granularis interna
Stratum plexiformis interna
Stratum ganglionaris
Stratum N.optikus
Membrana limitans interna (Price, 2006).
Kesehatan dan aktivitas metabolisme retina sangat tergantung pada jaringan
kapiler retina. Kapiler retina membentuk jaringan yang menyebar keseluruh
7

permukaan retina kecuali pada fovea. Kelainan dasar dari berbagai bentuk DR
terletak pada kapiler retina tersebut (Crick, 2003).
Dinding kapiler retina terdiri dari tiga lapisan dari luar ke dalam yaitu sel
perisit, membrana basalis dan sel endotel. Sel perisit dan sel endotel dihubungkan
oleh pori yang terdapat pada membrana sel yang terletak diantara keduanya.
Dalam keadaan normal, perbandingan jumlah sel perisit dan sel endotel kapiler
retina adalah 1:1, sedangkan pada kapiler perifer yang lain perbandingan tersebut
mencapai 20:1 (Crick, 2003).
Sel perisit berfungsi untuk mempertahankan struktur kapiler, mengatur
kontraktilitas, membantu mempertahankan fungsi barier dan transportasi kapiler
serta mengendalikan proliferasi endotel. Membrana basalis berfungsi sebagai
barier dengan mempertahankan permeabilitas kapiler agar tidak terjadi kebocoran.
Sel endotel saling berikatan erat satu sama lain dan bersama-sama dengan matriks
ekstrasel membentuk barier yang bersifat selektif terhadap beberapa jenis protein
dan molekul kecil termasuk bahan kontras fluorosensi yang digunakan untuk
diagnosis penyakit kapiler retina (Crick, 2003).
Perubahan histopatologis kapiler retina pada DR dimulai dari penebalan
membrana basalis, hilangnya perisit dan proliferasi endotel dimana pada keadaan
lanjut perbandingan antara sel endotel dan sel perisit dapat mencapai 10:1 (Crick,
2003).
Patofisiologi DR melibatkan 5 proses dasar yang terjadi di tingkat kapiler
(Ilyas 2014 dan Sudoyo 2009):
Pembentukan mikroaneurisma
Peningkatan permeabilitas pembuluh darah
Penyumbatan pembuluh darah
Proliferasi pembuluh darah baru (neovaskularisasi) dan jaringan fibrosa di
retina
Kontraksi dan jaringan fibrosis kapiler dan jaringan vitreus.
Penyumbatan dan hilangnya perfusi menyebabkan iskemia retina,
sedangkan kebocoran dapat terjadi karena peningkatan permeabilitas kapiler itu
sendiri.
8

Kebutaan akibat DR dapat terjadi melalui beberapa mekanisme berikut:


Edema makula atau nonperfusi kapiler.
Pembentukan pembuluh darah baru pada DR proliferative dan kontraksi
jaringan fibrosis yang menyebabkan ablatio retina (retinal detachment).
Pembuluh darah baru yang terbentuk menimbulkan perdarahan preretina
dan vitreus.
Pembentukan pembuluh darah baru dapat menimbulkan glaukoma.
Mula-mula didapatkan kelainan pada kapiler vena, dimana dindingnya
menebal dan mempunyai afinitas yang besar terhadap fluoresein. Keadaan ini
terjadi dalam waktu yang lama tanpa keluhan mengganggu penglihatan. Dengan
melemahnya dinding kapiler, maka akan mudah terbentuk mikroaneurisma. Mula-
mula keadaan ini terlihat pada daerah kapiler vena sekitar makula, yang tampak
sebagai titik-titik merah (dots) pada oftalmoskopi. Adanya 1-2 mikroaneurisma
sudah cukup untuk mendiagnosis DR. Pada keadaan lanjut mikroaneurisma
didapatkan sama banyak pada kapiler retina maupun arteri. Mikroaneurisma
tersebut menimbulkan kebocoran, yang tampak sebagai edema, eksudat,
perdarahan (dots/ blots) (Ilyas 2014 dan Sudoyo 2009).
Adanya edema dapat mengancam ketajaman penglihatan jika terdapat
pada daerah makula. Edema yang ringan dapat diabsorbsi, tetapi yang hebat dan
lama dapat menimbulkan degenerasi kistoid. Bila degenerasi kistoid ini ditemukan
pada makula (cystoid macular edema) maka kebutaan yang terjadi adalah
ireversibel (Ilyas 2014 dan Sudoyo 2009).
Perdarahan selain akibat kebocoran juga disebabkan oleh karena pecahnya
mikroaneurisma. Kebocoran akibat mikroaneurisma dapat disertai dengan
bocornya lipoprotein, yang tampak sebagai eksudat keras (hard exudates),
menyerupai lilin putih kekuning-kuningan berkelompok seperti lingkaran atau
cincin disekitar makula (Ilyas 2014 dan Sudoyo 2009).
Akibat dari perubahan isi dan dinding pembuluh darah, dapat
menimbulkan penyumbatan yang dimulai di kapiler, ke arteriol, dan pembuluh
darah besar. Akibat dari penyumbatan dapat timbul hipoksia diikuti dengan
adanya iskemi kecil, dan timbulnya pembuluh darah kolateral. Hipoksia
9

mempercepat timbulnya kebocoran, neovaskularisasi, dan mikroaneurisma yang


baru. Akibat hipoksia, timbul eksudat lunak yang disebut cotton wool spots/ patch
yang merupakan bercak nekrosis (Ilyas 2014 dan Sudoyo 2009).
Pembuluh darah vena melebar dengan lumen dan diameter yang tidak
teratur. Disini juga terjadi kebocoran dan penyumbatan, sehingga dapat ditemukan
perdarahan disepanjang pembuluh darah vena. Gangguan aliran darah vena juga
merangsang timbulnya pembuluh darah baru yang dapat timbul dari pembuluh
darah yang ada di papil atau lengkung pembuluh darah, tetapi selanjutnya dapat
timbul dimana saja. Bentuknya dapat berupa gulungan atau berupa rete mirabile.
Letaknya intraretina, menjalar menjadi preretina, intravitreal. Neovaskularisasi
preretina dapat diikuti oleh proliferasi sel glia. Dapat juga timbul arterio-venous
shunts yang abnormal akibat pengurangan aliran darah arteri karena obstruksi
arteriol (Ilyas 2014 dan Sudoyo 2009).
Neovaskularisasi disertai dengan tingkat kebocoran yang tinggi, kemudian
diikuti dengan jaringan proliferasi. Bila jaringan fibrovaskuler ini mengkerut
dapat menimbulkan perdarahan dan juga tarikan pada retina sehingga dapat
menyebabkan ablasi retina tipe tarikan, dengan atau tanpa robekan. Hal ini dapat
menimbulkan penurunan ketajaman penglihatan sampai kebutaan (Ilyas 2014 dan
Sudoyo 2009).
Perdarahan yang timbul dalam badan kaca dapat menyebabkan glaukoma
hemoragikum, yang sangat sakit dan cepat menimbulkan kebutaan.
Neovaskularisasi dapat timbul pada iris yang disebut dengan rubeosis iridis, yang
dapat menimbulkan glaukoma sudut terbuka akibat tertutupnya sudut iris oleh
pembuluh darah baru atau dapat juga karena pecahnya rubeoisis iridis (Ilyas 2014
dan Sudoyo 2009).

e. Klasifikasi
Berkaitan dengan prognosis dan pengobatan, DR dibagi menjadi (menurut
Early Treatment Diabetik Retinopati Study):
10

Gambar 2.2 Stadium Retinopati Diabetik

1. Retinopati Diabetik Non Proliferatif, atau dikenal juga dengan


Background Diabetik retinopathy. Ditandai dengan: mikroaneurisma,
perdarahan retina, eksudat, IRMA, dan kelainan vena
a. Minimal: terdapat 1 tanda berupa dilatasi vena, mikroaneurisma,
perdarahan intraretina yang kecil atau eksudat keras.
b. Ringan-sedang: terdapat 1 tanda berupa dilatasi vena derajat
ringan, perdarahan, eksudat keras, cotton wool spots, IRMA.
c. Berat: terdapat 1 tanda berupa perdarahan dan mikroaneurisma
pada 4 kuadran retina, dilatasi vena pada 2 quadran atau IRMA
pada 1 quadran.
d. Sangat berat: ditemukan 2 tanda pada derajat berat.
2. Retinopati Diabetik Proliferatif. Ditandai dengan neovaskularisasi.
a. Ringan (tanpa risiko tinggi): bila ditemukan minimal adanya
neovaskular pada diskus (NVD) yang mencakup < dari daerah
diskus tanpa disertai perdarahan preretina atau vitreus, atau
11

neovaskularisasi dimana saja di retina (NVE) tanpa disertai


perdarahan preretina atau vitreus.
b. Berat (risiko tinggi): apabila ditemukan 3 atau 4 dari faktor risiko
sebagai berikut
i. Ditemukan NVE.
ii. Ditemukan NVD.
iii. Pembuluh darah baru yang tergolong sedang atau berat
yang mencakup > daerah diskus.
iv. Perdarahan vitreus
Adanya pembuluh darah baru yang jelas pada diskus optikus
atau setiap adanya pembuluh darah baru yang disertai perdarahan,
merupakan 2 gambaran yang paling seing ditemukan pada
retinopati proliferatif risiko tinggi (Wu 2013 dan Sudoyo 2009).

Klasifikasi menurut FKUI


Derajat I: terdapat mikroaneurisma dengan atau tanpa fatty exudates pada
fundus okuli.
Derajat II: terdapat mikroaneurisma, perdarahan bintik dan bercak dengan
atau tanpa fatty exudates pada fundus okuli.
Derajat III: terdapat mikroaneurisma, perdarahan bintik dan bercak,
neovaskularisasi, proliferasi pada fundus okuli.
Jika gambaran fundus di kedua mata tidak sama, maka penderita tergolong
pada derajat berat (Ilyas 2014).

f. Gejala Klinis
Gejala subjektif yang dapat ditemui berupa:
Kesulitan membaca
Penglihatan kabur
Penglihatan tiba-tiba menurun pada satu mata
Melihat lingkaran cahaya
Melihat bintik gelap dan kelap-kelip (Price, 2006).
12

Gejala objektif yang dapat ditemukan pada retina:


Mikroaneurisma, merupakan penonjololan dinding kapiler terutama daerah
vena dengan bentuk berupa bintik merah kecil yang terletak dekat
pembuluh darah.
Perdarahan dapat dalam bentuk titik, garis dan bercak yang biasanya
terletak dekat mikroaneurisma di fovea centralis.
o Retinal nerve fiber layer haemorrhage (flame shapped). Terletak
superfisial, searah dengan nerve fiber.
o Intraretinal haemorrhages. Dot-blot haemorrhage terletak pada
end artery, dilapisan tengah.
Dilatasi pembuluh darah dengan lumen yang irreguler dan berkelok-kelok.
Hard exudates yang merupakam infiltrasi lipid kedalam retina.
Gambarannya kekuning-kuningan, pada permulaan eksudat pungtata,
membesar kemudian bergabung. Eksudat ini dapat muncul dan hilang
dalam beberapa minggu.
Soft exudates (cotton wool patches). Pada pemeriksaan oftalmoskopi akan
terlihat becak kuning bersifat difus dan berwarna putih. Biasanya terletak
di bagian tepi daerah nonirigasi dan dihubungkan dengan iskemia retina.
Neovaskularisasi. Terletak pada permukaan jaringan. Tampak sebagai
pembuluh yang berkelok-kelok, dalam, berkelompok, dan irreguler. Mula-
mula terletak pada jaringan retina, kemudian berkembang kearah
preretinal, ke badan kaca. Jika pecah dapat menimbulkan perdarahan
retina, perdarahan subhialoid (preretinal) maupun perdarahan badan kaca.
Edema retina dengan tanda hilangnya gambaran retina terutama daerah
makula sehingga sangat mengganggu tajam pengelihatan (Crick 2003 dan
Bhavsar 2015)
13

g. Pemeriksaan Klinis
Anamnesis:
Pada tahap awal retinopati DM tidak didapatkan keluhan. Pada tahap
lanjut dari perjalanan penyakit ini, pasien dapat mengeluhkan penurunan
ketajaman penglihatan serta pandangan yang kabur (Ilyas, 2014).
Pemeriksaan oftalmologi:
Temuan pemeriksaan oftalmologi pada retinopati DM dapat dibagi menurut
Diabetik Retinopathy Severity Scale :
Tidak tampak adanya tanda-tanda retinopati
Nonproliferative retinopati
Retinopati DM merupakan progressive microangiopathy yang
mempunyai karakteristik pada kerusakan pembuluh darah kecil dan oklusi.
Kelainan patologis yang tampak pada awalnya berupa penebalan membran
basement endotel kapiler dan reduksi dari jumlah perisit.
o Mild nonproliferative retinopati ditandai dengan ditemukannya
minimal 1 mikroaneurisma. Pada moderate nonproliferative
retinopati terdapat mikroaneurisma ekstensif, perdarahan intra
retina, venous beading, dan/ atau cotton wool spots (Crick,
2003).
o Severe nonproliferative retinopati ditandai dengan
ditemukannya cotton-wool spots, venous beading, dan
intraretinal microvaskular abnormalities (IRMA). Hal tersebut
didiagnosis pada saat ditemukan perdarahan retina pada 4
kuadran, venous beading dalam 2 kuadran atau IRMA pada 1
kuadran (Crick, 2003).
Proliferative Retinopati
Komplikasi yang terberat dari DM pada mata pada proliferative
diabetik retinopati. Iskemia retina yang progresif menstimulasi
pembentukan pembuluh darah baru yang menyebabkan kebocoran serum
protein yang banyak. Early proliferative diabetik retinopati memiliki
karakteristik munculnya pembuluh darah baru pada papila nervi optikus
14

atau pada tempat lain di retina. Kategori high-risk ditandai dengan


pembuluh darah baru pada papila yang meluas melebihi satu per tiga dari
diameter papila, pembuluh darah tersebut berhubungan dengan perdarahan
vitreus atau pembuluh darah baru manapun di retina yang meluas melebihi
setengah diameter papila dan berhubungan dengan perdarahan vitreus.
Pembuluh darah baru yang rapuh berproliferasi pada sisi posterior
dari vitreus dan tampak terangkat ketika vitreus mulai menarik retina.
Apabila terjadi perdarahan maka perdarahan vitreus yang masif akan
menyebabkan hilangnya penglihatan yang mendadak. Perkembangan
selanjutnya dari DM pada mata yaitu dapat terjadi kompllikasi: iris
neovaskularization (rubeosis iridis) dan neovaskular glaukoma.
Proliferative diabetik retinopati berkembang pada 50% penderita diabetes
tipe I dalam waktu 15 tahun sejak timbulnya penyakit sistemik. Hal ini
kurang lazim pada penderita diabetes tipe II, tetapi karena ada lebih
banyak pasien dengan diabetes tipe II, lebih banyak pasien dengan
proliferative diabetik retinopati memiliki tipe II dari tipe I diabetes (Crick,
2003).

Gambar 2.3 Moderate nonproliferative diabetik retinopati dengan


mikroaneurisma dan cotton-wool spots
15

Gambar 2.4 Proliferative Diabetik Retinopati dengan neovaskularisasi dan


scattered microaneurysm

Gambar 2.5 Proliferative Diabetik Retinopathy dengan neovaskularisasi pada


diskus optikus

Gambar 2.6 Nonproliferative Diabetik Retinopathy dengan edema makula


signifikan
16

h. Diagnosis Banding
Diagnosis banding harus menyingkirkan penyakit vaskular retina lainnya:
Retinopati hipertensi adalah suatu kondisi dengan karakteristik perubahan
vaskularisasi retina pada populasi yang menderita hipertensi. Tanda-tanda
pada retina yang diobservasi adalah penyempitan arteriolar secara general
dan fokal, perlengketan atau nicking arteriovenosa, perdarahan retina
dengan bentuk flame-shape dan blot-shape, cotton-wool spots, dan edema
papilla (Ilyas 2014 dan Crick 2003).

i. Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium:
Glukosa puasa dan Hemoglobin A1c (HbA1c) merupakan tes laboratorium
yang sangat penting yang dilakukan untuk membantu mendiagnosis diabetes.
Kadar HbA1c juga penting pada monitor jangka panjang perawatan pasien dengan
diabetes dan retinopati diabetik. Mengontrol diabetes dan mempertahankan level
HbA1c pada kisaran 6-7% merupakan sasaran pada manajemen optimal diabetes
dan retinopati diabetik. Jika kadar normal dipertahankan, maka progresi dari
retinopati diabetik bisa berkurang secara signifikan (Bhavsar, 2015)
Pencitraan:
Angiografi fluoresensi fundus (Fundus Fluorescein Angiography (FFA))
merupakan pemeriksaan tambahan yang tidak terhingga nilainya dalam diagnosis
dan manajemen retinopati DM :
o Mikroaneurisma akan tampak sebagai hiperfluoresensi pinpoint
yang tidak membesar tetapi agak memudar pada fase akhir tes.
o Perdarahan berupa noda dan titik bisa dibedakan dari
mikroaneurisma karena mereka tampak hipofluoresen.
o Area yang tidak mendapat perfusi tampak sebagai daerah gelap
homogen yang dikelilingi pembuluh darah yang mengalami oklusi
(Ryder 1995 dan Ilyas 2014)
17

j. Tatalaksana
Prinsip penatalaksanaan yang utama adalah pengendalian glukosa secara
intensif pada pasien dengan DM tergantung insulin (IDDM) menurunkan
insidensi dan progresi retinopati DM. Faktanya, ADA menyarankan bahwa semua
diabetes (NIDDM dan IDDM) harus mempertahankan level hemoglobin
terglikosilasi kurang dari 7% untuk mencegah atau paling tidak meminimalkan
komplikasi jangka panjang dari DM termasuk retinopati DM (Bhavsar, 2015)
Terapi Bedah Fotokoagulasi
Diperkenalkannya fotokoagulasi laser pada tahun 1960an dan awal 1970an
menyediakan modalitas terapi noninvasif yang memiliki tingkat komplikasi yang
relatif rendah dan derajat kesuksesan yang signifikan. Metodenya adalah dengan
mengarahkan energi cahaya dengan fokus tinggi untuk menghasilkan respon
koagulasi pada jaringan target. Fotokoagulasi laser dilakukan untuk mengurangi
risiko penurunan penglihatan yang disebabkan oleh retinopati diabetik, dan
bertujuan untuk membatasi kebocoran vaskular pada daerah retina yang
mengalami kerusakan, dapat dilakukan pada edema makula dan daerah yang
mengalami kebocoran yang difus. Pasien dengan NPDR tanpa edema makula
bukan indikasi terapi fotokoagulasi laser. Hal terpenting pada pasien pasien ini
adalah disiplin dalam memonitor kadar gula darah secara teratur tiap 4 6 bulan
sekali (AAO, 2003)
Vitrektomi
Vitrektomi dini perlu dilakukan pada pasien yang mengalami kekeruhan
vitreus dan yang mengalami neovaskularisasi aktif. Vitrektomi dapat juga
membantu bagi pasien dengan neovaskularisasi yang ekstensif atau yang
mengalami proliferasi fibrovaskular serta pada pasien dengan ablasio retina, RDP
berat, dan perdarahan vitreus yang tidak mengalami perbaikan (Sudoyo, 2009)
Kontrol Hipertensi
Untuk mengetahui pengaruh hipertensi terhadap retinopati diabetik, UK
Prospective Diabetes Study (UKPDS) menganalisis pasien diabetes tipe 2 yang
dilakukan kontrol tekanan darah secara ketat dibanding dengan kontrol tekanan
darah sedang melalui pengamatan selama 8 tahun. Kelompok pasien dengan
18

kontrol tekanan darah secara ketat mengalami penurunan risiko progresifitas


retinopati sebanyak 34% (Sudoyo, 2009)
Diet
Diet makan yang sehat dengan makanan yang seimbang penting untuk
semua orang dan terutama untuk pasien diabetes. Diet seimbang bisa membantu
mencapai pengontrolan berat badan yang lebih baik dan juga pengontrolan
diabetes (Bhavsar, 2015)
Aktivitas
Mempertahankan gaya hidup sehat dengan olah raga yang teratur penting
untuk semua individu, terutama individu dengan diabetes. Olah raga bisa
membantu dengan menjaga berat badan dan dengan absorpsi glukosa perifer. Hal
ini dapat membantu meningkatkan kontrol terhadap diabetes, dan dapat
menurunkan komplikasi dari diabetes dan retinopati DM (Bhavsar, 2015).

2.2 Definisi Laser


Laser adalah singkatan dari kata Light Amplification by Stimulated
Emission of Radiation yang berarti menghasilkan sumber cahaya dengan
intensitas yang besar dan fase koheren. Laser memiliki sinar yang tinggi
dengan pulse energies sebesar 10 4 Joule dan pulse durations 6 x 10 -15
detik (Kaparang et al., 2012). Sebuah laser berisi materi yang melepaskan
foton. Proses ini diperkuat sehingga foton yang dipancarkan berada dalam fase
dan menghasilkan cahaya koheren monokromatik terpolarisasi dengan intensitas
tinggi. Kekuatan dimodulasi dengan mengubah energi atau waktu ( P = E / t ) . Q -
switching dan modus-locking mengacu pada metode meningkatkan daya laser
dengan menggunakan celah yang menyinkronkan fase cahaya, mengompresi
output dalam waktu (Lang, 2006).

2.3 Sistem Laser Mata


Suatu laser terdiri atas sebuah batang kristal transparan (solid state
laser) atau rongga/tabung berisi gas atau cairan (laser gas atau cairan) yang
dibuat dengan sebuah cermin pemantul total di salah satu ujung dan sebuah
19

cermin pemantul parsial di ujung yang lain. Terdapat suatu sumber energi
optis atau listrik di sekeliling batang atau rongga yang akan menaikkan
tingkat energi atom di dalam batang atau rongga ke tingkat yang tinggi dan
tidak stabil, suatu proses yang dikenal sebagai inversi populasi. Saat atom -
atom yang telah tereksitasi tersebut secara spontan meluruh kembali k e
tingkat energi yang lebih rendah, kelebihan energinya akan dikeluarkan
dalam bentuk sinar. Sinar ini dapat dipancarkan ke segala arah. Namun, di
dalam rongga laser, sinar yang dipancarkan sepanjang sumbu panjang
rongga dapat memantul bolak-balik di antara dua cermin, menghasilkan
suatu gelombang tegak yang merangsang atom-atom lain untuk melepaskan
energinya ke dalam gelombang tegak tersebut sehingga tercipta berkas
sinar kuat yang keluar dari rongga melalui cermin pemantul parsial.
Berkasi sinar yang dihasilkan memiliki panjang gelombang yang sama
(monokromatik) dan semua gelombang sinar memiliki fase yang sama satu
sama lain (koheren). Gelombang sinar mengikuti lintasan yang sejajar,
dengan hampir tanpa kecenderungan untuk menyebar. Energi sinar laser in i
dapat dipancarkan secara kontinue atau pulsasi (in pulse), dengan durasi
pulsasi dalan nanodetik atau kurang (Reird, 2011; Vaughan dan Asbury,
2014).

2.4 Fotokoagulasi Laser


Fotokoagulasi laser dilakukan untuk mengurangi resiko penurunan
penglihatan yang disebabkan oleh retinopati diabetik, dan bertujuan untuk
membatasi kebocoran vaskular pada daerah retina yang mengalami
kerusakan, dapat dilakukan pada edema makula dan daerah yang
mengalami kebocoran yang difus. Pasien dengan NPDR tanpa edema
makula bukan indikasi terapi fotokoagulasi laser. Hal terpenting pada
pasienpasien ini adalah disiplin dalam memonitor kadar gula darah secara
teratur tiap 46 bulan sekali (Vaughan dan Asbury, 2014).
Laser-laser utama yang digunakan dalam terapi oftalmologi adalah
laser termal; pigmen jaringan menyerap sinar laser dan mengubahnya
20

menjadi panas sehingga terjadi peningkatan suhu jaringan sasaran yang


cukup untuk menyebabkan koagulasi dan denaturasi komponen-komponen
selular (Vaughan dan Asbury, 2014).
Laser-laser ini digunakan untuk fotokoagulasi retina, untuk
pengobatan retinopati diabetik, oklusi vena retina dan retinopati
prematuritas; untuk menutup lubang-lubang retina; untuk fotokagulasi
anyaman trabekular, iris dan corpus ciliare dalam terapi glaukoma, dan
untuk terapi tumor intraokular baik jinak (hemangioma koroid) maupun
ganas (melanoma koroid dan retinoblastoma) (Vaughan dan Asbury,
2014)..
Laser fotokoagulator tersebut bekerja dalam mode kontinu atau
pulsasi yang sangat cepat. Laser argon hijau merupakan andalan golongan
ini. Lainnya adalah laser kripton merah, laser dioda solidstate, yang
menghasilkan panjang gelombang yang mendekati inframerah; tunable dye
laser, yang menghasilkan panjang gelombang dari hijau sampai merah;
frequency-doubled Nd:YAG laser, yang menghasilkan sinar hijau dan
thermal mode Nd:YAG laser yang menghasilkan sinar inframerah. Karena
sinar laser yang bersifat monokromatik, dapat terjadi penyerapan yang
selektif- panjang gelombang tertentu oleh jaringan tertentu, sementara
jaringan di sekitarnya tidak terganggu. Penyerapan sinar laser oleh jaringan
tertentu ditingkatkan dengna penyuntikan intravena zat-zat warna
penyerap, misalnya fluoresein untuk laser gelombang pendek atau hijau
indosianin untuk laser gelombang panjang (Vaughan dan Asbury, 2014).
21

Tabel 2.1. Penyerapan energi berbagai jenis laser oleh jaringan yang berbeda
(Vaughan dan Asbury, 2014)

LASER Panjang Gelombang Epitel Pigmen Darah Xantofil


(nm) Retina
Hijau 514 ++++ ++ +
Double 532 ++++ ++ +/--
frequency
YAQ
Kuning 570 +++ ++ --
Merah 647 ++ -- --
Dioda 810 + -- --

Terdapat beberapa teknik fotokoagulasi laser, yaitu :


a. Panretinal photocoagulation (PRP)/ Scatter
Pada retinopati diabetik, fotokoagulasi yang digunakan adalah PRP
(Panretinal photocoagulation), yang dilakukan dalam pola menyebar
(scatter) pada retina, yang berguna untuk regresi neovaskularisasi, tetapi
intensitas dan besarnya bakaran pada PRP bervariasi tergantung dari setiap
kasus dan protokol yang ditetapkan (Vaughan dan Asbury, 2014).
b. Focal dan Grid Laser Photocoagulation
Penatalaksanaan edema makula pada retinopati diabetik dapat
menggunakan dua metoda yang berbeda dengan PRP (Vaughan dan
Asbury, 2014), yaitu:
1) Focal laser photocoagulation
diarahkan langsung pada pembuluh darah yang abnormal dengan
tujuan mengurangi kebocoran cairan yang kronis.
2) Grid laser Photocoagulation
digunakan pada kebocoran difus, dan dilakukan dengan pola grid
pada area yang edema.
22

Indikasi tindakan fotokoagulasi laser yaitu:


a. NPDR yang disertai dengan CSME.
Pada dasarnya semua pasien dengan CSME memerlukan terapi
fotokoagulasi untuk melindungi makula dan penglihatan sentral
(Vaughan dan Asbury, 2014)..
b. PPDR (preproliferative retinopathy)
merupakan indikasi terapi laser, karena resiko perkembangan
penyakit kearah PDR tinggi (1050 % dalam 1 tahun kecuali
diterapi dengan laser). Keadaan ini mengindikasikan iskemi retina
yang progresif, ditandai dengan perdarahan di seluruh kuadran
retina, atau didapatkan kaliber vena yang abnormal (beading) di dua
kuadran atau setidaknya terdapat IRMA (intraretinal microvascular
abnormalities) di satu kuadran, dan cotton wool spot (Vaughan dan
Asbury, 2014)..
c. Early/moderate PDR ( proliferative diabetic retinopathy )
Penderita early/moderate PDR merupakan indikasi terapi laser,
karena sudah didapatkan pertumbuhan neovaskularisasi yang tidak
normal sehingga fotokoagulasi laser dapat meregresi
neovaskularisasi ini. Keadaan ini ditandai dengan perdarahan luas,
eksudat lunak, cotton wool spot, dan perdarahan intraretina angy
multiple disertai NVE (neovascularization elsewhere) (Vaughan dan
Asbury, 2014).
d. PDR dengan CSME
Keadaan ini merupakan indikasi fotokoagulasi laser untuk meregresi
neovaskularisasi yang tidak normal dan untuk melindungi makula
juga penglihatan sentral. Keadaan ini ditandai dengan perdarahan
subretinal yang luas disertai eksudat. Focal/grid dan PRP (panretinal
photocoagulation) merupakan pilihan terapi pada keadaan ini
(Vaughan dan Asbury, 2014).
23

e. PDR lanjut yang disertai neovaskularisasi


Keadaan ini merupakan stadium lanjut retinopati diabetik, biasanya
ditandai dengan neovaskularisasi pada diskus (NVD) pada area yang
lebih besar dari ukuran diskus, atau perdarahan vitreus dan
perdarahan preretina yang disertai NVD, atau perdarahan vitreus
dan preretina yang disertai neovaskularisasi lebih besar dari
diameter diskus tetapi jauh dari diskus optikus (NVE) (Vaughan dan
Asbury, 2014).
Pada keadaan ini, laser merupakan pilihan terapi untuk meregresi
neovaskularisasi yang tidak normal dengan syarat, operator dapat
melihat fundus retina secara adekuat, karena jika terjadi perdarahan
vitreus yang hebat, akan sulit bagi operator untuk melakukan laser,
sehingga pada keadaan ini perlu dipertimbangkan untuk dilakukan
vitrektomi (Vaughan dan Asbury, 2014).

2.5 Penerapan Laser untuk Terapi


a. Retinopati Diabetik
Pada RDNP, penglihatan dapat terganggu oleh edema makula dan
eksudat yang terbentuk akibat rusaknya sawar retina-darah bagian dalam di
tingkat endotel kapiler retina. Penderita diabetes melitus dalam jangka
waktu lama akan mengalami obliterasi difus mikrosirkulasi retina secara
bertahap, terutama kapiler, sehingga terjadi iskemia retina generali sata.
Keadaan iskemik ini mendorong terjadinya neovaskularisasi retina dan iris
yang diperantai sebagian oleh faktor-faktor vasoproliferatif yang
dikeluarkan oleh retina iskemik untuk berdifusi ke dalam cairan mata.
Neovaskularisasi retina yang tidak diterapi menyebabkan perdarahan
vitreus dan ablasio retina traksional. Neovaskularisasi iris yang
menimbulkan glaukoma neovaskular jarang terjadi, kecuali bila pasien
telah menjadi bedah vitreoretina (Crick et al., 2003; Vaughan dan Asbury,
2014).
24

Makulopati diabetik diterapi dengan fotokoagulasi laser fokal atau


grid pattern yang terutama bekerja dengna cara meningkatkan fungsi epitel
pigmen retina. Konsep dasar berupa penutupan langsung mikroaneurisma
dengan sinar laser kurang mendapat dukungan ilmiah. Dibuat bakaran
berdiameter 50-100m tanpa mengenai daerah avaskular fovea yang
berdiameter sekitar 500m. Daerah-daerah kebocoran yang akan diterapi
dapat diidentifikasi dengan angiografi fluoresein (daerah daerah
kebocoran fluoresein diskret atau difus, dan daerah-daerah nonperfusi
kapiler akibat menebalnya retina) atau melalui pemeriksaan klinis (daerah
dengan penebalan retina). Intensitas bakaran (pengaturan kekuatan laser)
tergantung pada jenis laser yang dipakai. Dengan laser yang gelombangnya
lebih pendek (hijau atau kuning) dilakukan hingga terjadi sedikit
perubahan warna. Dengan laser yang gelombangnya lebih panjang (dioda),
bakaran yang dihasilkan harus nyaris tak terlihat. Laser dioda dapat
diprogram untuk mengirimkan pulsasi energi laser yang sangat pen dek
(mikropulsasi). Setiap pulsasi terdiri atas mode on yang singkat untuk
menyalurkan energi dan mode off yang lebih lama sehingga memberikan
kesempatan pada jaringan sasaran untuk mendingin. Untuk makulopati
diabetik, terapi laser mikropulsasi sama efektifnya dengan laser hijau. Pada
kebanyakan kasus tidak ada jaringan parut yang terlihat, membuat terapi
ini semakin sulit dikerjakan. Secara teori, daerah-daerah yang rusak
cenderung menurun progresivitas perluasannya, tetapi hal ini masih harus
dipastikann (Crick et al., 2003).
Terapi yang paling efektif untuk neovaskularisasi iris dan retina
adalah fotokoagulasi panretina (PRP) yang biasanya mencakup seluruh
retina, kecuali daerah di dalam jalur vaskular temporal, dengan bakaran
diameter 200-500m terpisah sejarak 5 -1 kali diameter gambaran. PRPR
memerlukan sedikitnya 2000 dan terkadang 6000 atau bakaran lebih,
biasanya diberikan dalam dua sesi atau lebih dengan selang waktu 1 -2
minggu. Kadang diperlukan anestesi retrobulbar, peribulbar atau subtenon
25

terutama bila daerah-daerah retina harus dilaser ulang akibat


neovaskularisasi rekuren atau sulit ditangani.
Terapi dibuat bertahap untuk mengurangi insidens, uveitis, edema
makula, ablasio retina eksudatif dan bahkan mendangkalnya BMD yan g
menyebabkan penutupan sudut sekunder. Jika edema makula cukup besar,
biasanya dilakukan fotokoagulasi makula fokal sebelum atau bersama
dengan PRP untuk menghindari bertambahnya edema. Penyuntikan
triamcinolone intravitreal atau ke dasar orbita dapat men cegah edema
makula rebound setelah PRP. Saat ini penggunaanya hanya terbatas untuk
pasien yang dilakukan PRP dan laser makula pada waktu bersamaan
(Vaughan dan Asbury, 2014).
Penggunaan PRP yang tepat sangat efektif dalam menimbulkan
regresi neovaskulariasi. Mekanisme kerja yang pasti masih belum
ditetapkan, tetapi penurunan derajat iskemia retina dan bekurangnya
pembentukan zat vasostimulatif yang berdifusi diduga berperan penting.
Setelah dilakukan PRP, didapatkan penunrunan aliran darah mata, yang
mengisyaratkan adanya penurunan kebutuhan oksigen di retina. Jenis laser
yang digunakan tampaknya tidak mempengaruhi efikasi PRP, tetapi sifat -
sifat tertentu dapat berguna dalam pengobatan, misalnya penggunaan laser
inframerah dioida lebih mudah pada perdarahan vitreus (Vaughan dan
Asbury, 2014).
PRP tidak menyebabkan regresi pada fibrosis yang menyertai
neovaskularisasi retina, fibrosis ini dapat menyebabkan ablasio retina
traksional. Lebih lanjut, PRP dapat dihambat oleh perdarahan vitreus.
Dengan demikian, PRP harus dilakukan segera setelah tanda-tanda risiko
tinggi timbul. Tanda-tanda ini mencakup setiap neovaskulariasi diskus
yang disertai perdarahan vitreus atau praretina, neovaskularisasi diskus
yang signifikan, dan neovaskularisasi yang signifikan di bagia n retina
mana pun dengan perdarahan vitreus atau praretina. Terapi laser sangat
efektif dalam mencegah kebutaan pada pasien diabetes sehingga diperlukan
26

suatu program skrining yang efektif untuk mendeteksi lesi yang dapat
diterapi (Vaughan dan Asbury, 2014).
b. Oklusi Vena Sentralis Retina
Penyakit ini menimbulkan gambaran fundus klasik berupa edema
diskus, dilatasi vena yang mencolok dan perdarahan retina yang hampir
konfluens. Walaupun perubahan ini dapat berkembang menjadi
neovaskularisasi retina, perdarahan vitreus dan fibrosis, komplikasi yang
lebih umum adalah terjadinya rubeosis iridis dengan glaukoma
neovaskular. Apabila angiografi fluoresen mempelihatkan iskemia retina
yang parah, kemungkinan terjadinya komplikasi ini adalah sebesar 60%.
Pada glaukoma neovaskular, zat-zat yang dihasilkan oleh retina iskemik
berdifusi ke depan dan merangsang pembentukan suatu membran
fibrovaskular yang tumbuh melintasi permukaan iris dan menutupi
anyaman trabekular. Akibatnya, terjadi glaukoma yang ditandai teka nan
yang sangat tinggi, nyeri dan sangat resisten terhadap terapi medis dan
bedah sehingga mungkin diperlukan tindakan enukleasi mata yang buta dan
nyeri tersebut, PRP seperti yang dijelaskan sebelumnya pada terapi RDP
lebih disukai dengan laser kriptom merah atau laser dioda inframerah untuk
menghindari fibrosis praretina yang terjadi akibat penyerapan panas oleh
perdarahan dapat sangat mengurangin insiden glaukoma neovaskular pada
oklusi vena sentralis iskemik. PRP paling efektif dilakukan setelah adanya
neovaskularisasi iris, tetapi sebelum glaukoma neovaskular terjadi. Bila
glaukoma neovaskular sudah terjadi, fotokoagulasi panretina yang adekuat
biasanya akan menyebabkan regresi neovaskularisasi di segmen anterior,
memungkinkan glaukoma untuk dikontrol secara medis atau dengan
tindakan bedah. Terlebih jika glaukoma diukuti dengan edema kornea,
miosis atau hifema maka PRP tidak dapat dilakukan dan hanya dapat
digunakan sitofotokoagulasi atau enukleasi. Karena alasan ini, PRP
profilaksis mungkin dianjurkan pada semua kasus oklusi vena sentralis
retina iskemik. Defek pupil aferen relatif, visus 20/200 atau kurang, dan
adanya bercak cotton wool multipel di retina merupakan tanda kuat adanya
27

iskemia yang cukup parah yang mengindikasikan PRP profilaksis.


Elektroretinografi dan angiografi fluoresein dapat memberi lebih banyak
petunjuk jika diperlukan (Vaughan dan Asbury, 2014).
Terapi laser pada edema makula akibat oklusi vena sentralis retina
biasanya tidak efektif, tetapi dipertimbangkan bagi pasien yang berusia
<50 tahun. Terapi laser macular grid setelah terapi antiangiogenesis atau
streoid intravitreal mungkin bermanfaat (Vaughan dan Asbury, 2014).
c. Oklusi Vena Retina Cabang
Kelainan ini bervariasi mulai dari daerah kongesti dan perdarahan
vena setempat sampai kelainan hemiretina akibat oklusi bagian superior
dan inferior vena sentralis. Komplikasi utamanya adalah edema makula
kronik (dengan atau tanpa eksudat) dan neovaskularisasi retina yang diikuti
oleh perdarahan vitreus. Karena risiko terjadinya glaukoma n eovaskular
sangat kecil, tidak ada bukti yang membenarkan tindakan PRP profilaksis,
akan tetapi bila nanti timbul neovaskularisasi retina, terapi laser harus
segera dilakukan, sebelum perdarahan vitreus (Vaughan dan Asbury,
2014).
Fotokoagulasi laser argon hijau fokal dan grid-pattern, dengan
mengobliterasi daerah-daerah kebocoran di retina seperti yang
diperlihatkan oleh angiografi fluoresein, digunakan untuk mengatasi edema
makula saat visus pasien < 20/40 dan telah lewat 3 bulan sejak terjadinya
oklusi vena (Vaughan dan Asbury, 2014).
d. Robekan Retina
Robekan retina perifer biasanya diakibatkan pelepasan vitreus
posterior yang menyebabkan traksi vitreus. Pasien akan mengeluh melihat
benda melayang (floaters) seperti titik secara mendadak. Robekan ini dapat
menyebabkan ablasi retina, tapi bila terdeteksi sebelum terjadi penimbunan
cairan subretina, kelainan ini dapat dibatasi dengan menempatkan bakaran
laser berbentuk cincin ganda di sekelilingnya sehingga terbentuk adhesi
retina sekitarnya ke epitel pigmen retina. Dengan lensa kontak modern,
misalnya Superquad 160, adhesi ini dapat dicapai pada kebanyakan kasus
28

dengan suatu sistem penyalur laser menggunakan slitlamp. Pada sebagian


kecil sisanya, perlu dipertimbangkan terapi laser yang indirek. Tindakan
bedah diperlukan bila telah terjadi ablasi retina (Vaughan dan Asbury,
2014).
e. Degenerasi Makula dan Penyakit Terkait
Membran Bruch membentuk lapisan sawar antara epitel pigmen
retina dan koriokapilaris. Jika membran Bruch mengalami gangguan atau
kerusakan, neovaskular koroid dapat tumbuh di sepanjang celah di bawah
epitel pigmen retina, mula-mula menyebabkan pelepasan epitel pigmen
eksudatif disertai distorsi dan edema retina di atasnya yang kemudian
menyebabkan perdarahan dan fibrosis di sertai destruksi fungsi retina di
bagian tersebut (Vaughan dan Asbury, 2014).
Terapi fotodinamik dapat digunakan pada neovaskularisasi koroid
klasik yang ditemukan di daerah subfovea. Penyuntikan intravena zat
warna (verteporfin), yang diyakinin terlokalisasi di dalam neovaskular
koroid, diikuti dengan sinar laser yang membantu mengaktifkan zat warna
tersebut, akan menyebabkan trombosis pada pembuluh darah yang
abnormal. Termoterapi transpupillar merupakan pilihan alternatif yang
masih diteliti untuk mengatasi neovaskularisasi koroid subfoveal. Dengan
menggunakan suatu laser dioda, energi yang relatif rendah ditembakkan ke
seluruh lesi secara perlahan dalam 60 detik. (Vaughan dan Asbury, 2014).
f. Glaukoma
1) Glaukoma Sudut Tertutup
Iridotomi laser dibuat menjadi lebih efektif dengan lensa kontak
Abraham dan lensa iridotomi-sfingterotomi Wise yang meningkatkan
kepadatan energi laser dan memperbaiki visualisasi iris. Dengan densitas
energi yang tinggi tersebut, iridotomi laser sering berhasil baik dengan
laser argon maupun laser Q-switched Nd:YAG dan hanya gagal jika kornea
telah keruh. Pada kasus kornea keruh maka diperlukan terapi laser lain
(Vaughan dan Asbury, 2014).
29

Dengan laser argon, berkas difokuskan melalui lensa iridotomi pada


serat iris perifer yang dipotong dalam bentuk garis sejajar limbus dengan
tembakan 0,01-0,02 detik dan tingkat energi 1-2 W. Laser argon lebih
dianjurkan untuk iris yang berwarna coklat tua dan tebal yang cenderung
mengalami perdarahan dengan laser Nd:YAG, sedangkan iris berwarna biru
muda kurang efektif menyerap energi laser argon dan lebih mudah
dilubangi dengan laser Nd:YAG. Jika kornea keruh, dapat dicoba irdopasti
perifer dengan laser argon (Vaughan dan Asbury, 2014).
2) Glaukoma Sudut Terbuka
Trabekuloplasti laser selektif (STL) mengirimkan energi sangat
tinggi dalam waktu yang sangat singkat diarahkan pada anyaman
trabekular. Pada terapi STL ini hanya dapat merusak sedikit
anyaman trabekular sehingga dibutuhkan berulang.
Siklofotokoagulasi melalui konjungtiva dan sklera dilakukan dengan
penyaluran laser dioda atau laser Nd:YAG thermal-node melalui
probe fiberoptic yang menyentuh bagian mata. Efek samping berupa
nyeri, inflamasi, dan penurunan visus yang ditimbulkan jauh lebih
ringan dibandingkan efek samping cryosurgery (Vaughan dan
Asbury, 2014).
30

BAB 3. KESIMPULAN

Retinopati diabetik merupakan salah satu penyebab berkurangnya tajam


penglihatan pada 90% penderita yang telah menderita diabetes melitus tipe 1 atau
tipe 2 selama 15 20 tahun. Salah satu penatalaksanaannya adalah dengan
fotokoagulasi laser.Terapi dengan menggunakan laser merupakan terapi yang
meminimalisir terhadap insisi pada pembedahan. Metode laser dalam terapi di
bidang oftalmologi adalah metode fotokoagulasi, fotodistrupsi, fotoevaporasi, dan
fotodekomposisi. Penggunaan terapi laser pada kelainan dalam bidang oftalmologi
yaitu dapat digunakan pada retinopati diabetikum, oklusi vena sentralis retina,
oklusi vena cabang retina, robekan retina, degenerasi macula, glaucoma baik
glaucoma sudut tertutup maupun sudut terbuka.

Laser dirancang untuk menghindari komplikasi bedah tradisional.


Meskipun demikian, ada masalah yang terkait dengan penggunaan laser. Salah
satu masalah tersebut adalah kerusakan pada jaringan yang berdekatan dengan
area target karena terlalu banyak energi atau kehilangan fokus. Komplikasi
lainnya termasuk perdarahan, kekeruhan cairan-gel di dalam mata, stimulasi
formasi baru pembuluh. Laser femtosecond adalah laser inframerah (panjang
gelombang: 1.053 nm) dengan durasi pulsa ultra-pendek (10-15 s). Mengingat
durasi pulsa pendek, laser femtosecond memiliki kemampuan untuk memberikan
energi laser dengan jaminan kerusakan minimal pada jaringan yang berdekatan.
Laser femtosecond adalah unik karena dapat difokuskan di mana saja dalam atau
di belakang kornea dan mampu lewat melalui media optik kabur, seperti edema
kornea.
31

DAFTAR PUSTAKA

American Academy of Ophthalmology. Preferred practice pattern : Diabetic


Retinopathy. San Fransisco. 2003; 2-33

Bhavsar AR. 2015 Diabetik Retinopathy. Available at:


http://emedicine.medscape.com/article/1225122-overview.
rd
Crick, R. P. dan P. T. Khaw. 2003. A Textbook of Clinical Ophthalmology.3
edition. Singapura : World Scientific Publishing.

Ilyas, S. 2010. Penuntun Ilmu Penyakit Mata Edisi Ketiga. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Uiversitas Indonesia.

Ilyas SH. Penglihatan Turun Perlahan Tanpa Mata Merah. Ilmu Penyakit Mata.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2014.

Lang, G. K. 2006. Opthamology A Pocket Textbook Atlas. 2nd ed. Germany:


University Eye Hospital.

Price,S, Lorraine MW. Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.


Edisi ke-6. Jakarta; EGC; 2006.

Reird, T. 2011. Laser Vision Correction: A Tutorial for Medical Students.


http://webeye.ophth.uiowa.edu/eyeforum/tutorials/laser-vision-correction-
tutorial/laser-vision-correction-tutorial.pdf. [ Diakses pada tanggal 3
Mei 2017].

Rumelt, Shimon. 2012. Lasers in Opthalmology. Advance in


Opthalmology.1(1):1-24.

Ryder B. Combined Modalities Seem To Provide The Best Opinion. Screening


for Diabetik Retinopathy 1995 Jul 22 (Citied 2011 Des 22). Available
from: http://www.bmj.com/content/311/6999/207.extract.

Sudoyo AW, Setiyohadi B, Idrus A, Simadibrata MK, Setiati S. Retinopati


Diabetik. Ilmu Penyakit Dalam. Edisi Kelima. Jakarta : Interna Publishing
2009;p. 1930-1936.

Vaughan dan Absury. 2014. Oftalmologi Umum Edisi 17. Jakarta: EGC.

Victor, Arus, Andi., 2008, Retinopati Diabetik Penyebab Kebutaan Utama


Penderita Diabetes, Departemen Mata FKUI/RSCM, Jakarta.
32

World Health Organization. Global Data On Visual Impairments 2010. Available


at: http://www.who.int/blindness/GLOBALDATAFINALforweb.pdf.
Accessed June 13, 2015.

Wu L, Loaiza PF, Sauma J, Bogantes EH, Masis M. Classification of diabetik


retinopathy and diabetik makular edema. World J Diabetes. 2013;4(6):290
294.

Anda mungkin juga menyukai