BAB 1. PENDAHULUAN
progresifitas retinopati diabetik dapat diturunkan secara efektif (90 %), sehingga
kehilangan tajam penglihatan berat dapat dihindari (Rumelt, 2012).
Terdapat tiga metoda fotokoagulasi Laser pada retinopati diabetik.
Pertama adalah Scatter (panretinal) yang dapat memperlambat perkembangan
serta meregresi neovaskularisasi pada diskus optikus dan permukaan retina.
Kedua fotokoagulasi fokal yang ditujukan langsung pada kebocoran di fundus
posterior retina untuk mengurangi edema makula. Ketiga adalah fotokoagulasi
grid, yang ditujukan pada daerah edema yang terjadi akibat kebocoran kapiler
yang difus (Rumelt, 2012).
3
b. Epidemiologi
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tahun 2010 melaporkan, sekitar 3%
penduduk di seluruh dunia mengalami kebutaan akibat retinopati DM. Dalam
urutan penyebab kebutaan secara global, retinopati DM menempati urutan ke-4
setelah katarak, glaukoma, dan degenerasi makula.
Diperkirakan bahwa jumlah penderita diabetes di seluruh dunia akan
meningkat dari 117 juta pada tahun 2000 menjadi 366 juta tahun 2030. Di Asia
diramalkan diabetes akan menjadi epidemi, disebabkan pola makan masyarakat
Asia yang tinggi karbohidrat dan lemak disertai kurangnya berolahraga.
4
c. Etiopatogenesis
Penyebab pasti DR belum diketahui. Tetapi diyakini bahwa lamanya terpapar
terhadap keadaan hiperglikemia dapat menyebabkan perubahan fisiologis dan
biokimia yang akhirnya menyebabkan kerusakan endotel pembuluh darah.
Perubahan abnormalitas sebagian besar anatomis, hematologi dan biokimia telah
dihubugkan dengan prevalensi dan beratnya retinopati antara lain:
Perubahan anatomis
o Capilaropathy
Degenerasi dan hilangnya sel-sel perisit.
Proliferasi sel endotel.
Penebalan membrana basalis.
o Sumbatan mikrovaskuler
Arteriovenous shunts
Intraretinal microvaskular abnormalities (IRMA).
Neovaskularisasi
Angiogenic growth factor yang menyebabkan pembentukan
pembuluh darah baru pada retina dan diskus optikus (pada
proliferative DR) atau pada iris (rubeosis iridis).
Perubahan hematologi:
o Peningkatan sifat agregasi trombosit dan peningkatan agregasi
eritrosit yang meningkatkan abnormalitas serum dan viskositas
darah.
o Abnormalitas lipid serum
5
d. Patofisiologi
Retina, atau disebut juga tunica nervosa bulbi adalah lapisan terdalam dari
bola mata. Merupakan lapisan yang tipis, halus, bening dan tembus pandang.
Menurut fungsinya retina dibagi menjadi:
Pars optika retinae, merupakan bagian retina yag mempunyai sel khusus
penerima rangsang cahaya
Pars coeca retinae, merupakan bagian dari retina yang tidak mempunyai
sel khusus. Termasuk disini yaitu:
o Pars ciliaris retinae
o Pars iridis retinae
Batas antara pars optika dan pars coeca adalah ora serata.
Retina dibagi menjadi 10 lapisan, tetapi hanya 3 lapisan neuron retina
yang menerima, mengintegrasikan dan meneruskan signal visual ke otak sebagai
impuls, yaitu sel fotoreseptor (sel kerucut dan batang), sel bipolar, dan sel
ganglion.
Epithelium pigmentalis atau stratum pigmenti retinae
Stratum coni at bacilli
Membrana limitans externa
Stratum granularis externa
Stratum plexiformis externa
Stratum granularis interna
Stratum plexiformis interna
Stratum ganglionaris
Stratum N.optikus
Membrana limitans interna (Price, 2006).
Kesehatan dan aktivitas metabolisme retina sangat tergantung pada jaringan
kapiler retina. Kapiler retina membentuk jaringan yang menyebar keseluruh
7
permukaan retina kecuali pada fovea. Kelainan dasar dari berbagai bentuk DR
terletak pada kapiler retina tersebut (Crick, 2003).
Dinding kapiler retina terdiri dari tiga lapisan dari luar ke dalam yaitu sel
perisit, membrana basalis dan sel endotel. Sel perisit dan sel endotel dihubungkan
oleh pori yang terdapat pada membrana sel yang terletak diantara keduanya.
Dalam keadaan normal, perbandingan jumlah sel perisit dan sel endotel kapiler
retina adalah 1:1, sedangkan pada kapiler perifer yang lain perbandingan tersebut
mencapai 20:1 (Crick, 2003).
Sel perisit berfungsi untuk mempertahankan struktur kapiler, mengatur
kontraktilitas, membantu mempertahankan fungsi barier dan transportasi kapiler
serta mengendalikan proliferasi endotel. Membrana basalis berfungsi sebagai
barier dengan mempertahankan permeabilitas kapiler agar tidak terjadi kebocoran.
Sel endotel saling berikatan erat satu sama lain dan bersama-sama dengan matriks
ekstrasel membentuk barier yang bersifat selektif terhadap beberapa jenis protein
dan molekul kecil termasuk bahan kontras fluorosensi yang digunakan untuk
diagnosis penyakit kapiler retina (Crick, 2003).
Perubahan histopatologis kapiler retina pada DR dimulai dari penebalan
membrana basalis, hilangnya perisit dan proliferasi endotel dimana pada keadaan
lanjut perbandingan antara sel endotel dan sel perisit dapat mencapai 10:1 (Crick,
2003).
Patofisiologi DR melibatkan 5 proses dasar yang terjadi di tingkat kapiler
(Ilyas 2014 dan Sudoyo 2009):
Pembentukan mikroaneurisma
Peningkatan permeabilitas pembuluh darah
Penyumbatan pembuluh darah
Proliferasi pembuluh darah baru (neovaskularisasi) dan jaringan fibrosa di
retina
Kontraksi dan jaringan fibrosis kapiler dan jaringan vitreus.
Penyumbatan dan hilangnya perfusi menyebabkan iskemia retina,
sedangkan kebocoran dapat terjadi karena peningkatan permeabilitas kapiler itu
sendiri.
8
e. Klasifikasi
Berkaitan dengan prognosis dan pengobatan, DR dibagi menjadi (menurut
Early Treatment Diabetik Retinopati Study):
10
f. Gejala Klinis
Gejala subjektif yang dapat ditemui berupa:
Kesulitan membaca
Penglihatan kabur
Penglihatan tiba-tiba menurun pada satu mata
Melihat lingkaran cahaya
Melihat bintik gelap dan kelap-kelip (Price, 2006).
12
g. Pemeriksaan Klinis
Anamnesis:
Pada tahap awal retinopati DM tidak didapatkan keluhan. Pada tahap
lanjut dari perjalanan penyakit ini, pasien dapat mengeluhkan penurunan
ketajaman penglihatan serta pandangan yang kabur (Ilyas, 2014).
Pemeriksaan oftalmologi:
Temuan pemeriksaan oftalmologi pada retinopati DM dapat dibagi menurut
Diabetik Retinopathy Severity Scale :
Tidak tampak adanya tanda-tanda retinopati
Nonproliferative retinopati
Retinopati DM merupakan progressive microangiopathy yang
mempunyai karakteristik pada kerusakan pembuluh darah kecil dan oklusi.
Kelainan patologis yang tampak pada awalnya berupa penebalan membran
basement endotel kapiler dan reduksi dari jumlah perisit.
o Mild nonproliferative retinopati ditandai dengan ditemukannya
minimal 1 mikroaneurisma. Pada moderate nonproliferative
retinopati terdapat mikroaneurisma ekstensif, perdarahan intra
retina, venous beading, dan/ atau cotton wool spots (Crick,
2003).
o Severe nonproliferative retinopati ditandai dengan
ditemukannya cotton-wool spots, venous beading, dan
intraretinal microvaskular abnormalities (IRMA). Hal tersebut
didiagnosis pada saat ditemukan perdarahan retina pada 4
kuadran, venous beading dalam 2 kuadran atau IRMA pada 1
kuadran (Crick, 2003).
Proliferative Retinopati
Komplikasi yang terberat dari DM pada mata pada proliferative
diabetik retinopati. Iskemia retina yang progresif menstimulasi
pembentukan pembuluh darah baru yang menyebabkan kebocoran serum
protein yang banyak. Early proliferative diabetik retinopati memiliki
karakteristik munculnya pembuluh darah baru pada papila nervi optikus
14
h. Diagnosis Banding
Diagnosis banding harus menyingkirkan penyakit vaskular retina lainnya:
Retinopati hipertensi adalah suatu kondisi dengan karakteristik perubahan
vaskularisasi retina pada populasi yang menderita hipertensi. Tanda-tanda
pada retina yang diobservasi adalah penyempitan arteriolar secara general
dan fokal, perlengketan atau nicking arteriovenosa, perdarahan retina
dengan bentuk flame-shape dan blot-shape, cotton-wool spots, dan edema
papilla (Ilyas 2014 dan Crick 2003).
i. Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium:
Glukosa puasa dan Hemoglobin A1c (HbA1c) merupakan tes laboratorium
yang sangat penting yang dilakukan untuk membantu mendiagnosis diabetes.
Kadar HbA1c juga penting pada monitor jangka panjang perawatan pasien dengan
diabetes dan retinopati diabetik. Mengontrol diabetes dan mempertahankan level
HbA1c pada kisaran 6-7% merupakan sasaran pada manajemen optimal diabetes
dan retinopati diabetik. Jika kadar normal dipertahankan, maka progresi dari
retinopati diabetik bisa berkurang secara signifikan (Bhavsar, 2015)
Pencitraan:
Angiografi fluoresensi fundus (Fundus Fluorescein Angiography (FFA))
merupakan pemeriksaan tambahan yang tidak terhingga nilainya dalam diagnosis
dan manajemen retinopati DM :
o Mikroaneurisma akan tampak sebagai hiperfluoresensi pinpoint
yang tidak membesar tetapi agak memudar pada fase akhir tes.
o Perdarahan berupa noda dan titik bisa dibedakan dari
mikroaneurisma karena mereka tampak hipofluoresen.
o Area yang tidak mendapat perfusi tampak sebagai daerah gelap
homogen yang dikelilingi pembuluh darah yang mengalami oklusi
(Ryder 1995 dan Ilyas 2014)
17
j. Tatalaksana
Prinsip penatalaksanaan yang utama adalah pengendalian glukosa secara
intensif pada pasien dengan DM tergantung insulin (IDDM) menurunkan
insidensi dan progresi retinopati DM. Faktanya, ADA menyarankan bahwa semua
diabetes (NIDDM dan IDDM) harus mempertahankan level hemoglobin
terglikosilasi kurang dari 7% untuk mencegah atau paling tidak meminimalkan
komplikasi jangka panjang dari DM termasuk retinopati DM (Bhavsar, 2015)
Terapi Bedah Fotokoagulasi
Diperkenalkannya fotokoagulasi laser pada tahun 1960an dan awal 1970an
menyediakan modalitas terapi noninvasif yang memiliki tingkat komplikasi yang
relatif rendah dan derajat kesuksesan yang signifikan. Metodenya adalah dengan
mengarahkan energi cahaya dengan fokus tinggi untuk menghasilkan respon
koagulasi pada jaringan target. Fotokoagulasi laser dilakukan untuk mengurangi
risiko penurunan penglihatan yang disebabkan oleh retinopati diabetik, dan
bertujuan untuk membatasi kebocoran vaskular pada daerah retina yang
mengalami kerusakan, dapat dilakukan pada edema makula dan daerah yang
mengalami kebocoran yang difus. Pasien dengan NPDR tanpa edema makula
bukan indikasi terapi fotokoagulasi laser. Hal terpenting pada pasien pasien ini
adalah disiplin dalam memonitor kadar gula darah secara teratur tiap 4 6 bulan
sekali (AAO, 2003)
Vitrektomi
Vitrektomi dini perlu dilakukan pada pasien yang mengalami kekeruhan
vitreus dan yang mengalami neovaskularisasi aktif. Vitrektomi dapat juga
membantu bagi pasien dengan neovaskularisasi yang ekstensif atau yang
mengalami proliferasi fibrovaskular serta pada pasien dengan ablasio retina, RDP
berat, dan perdarahan vitreus yang tidak mengalami perbaikan (Sudoyo, 2009)
Kontrol Hipertensi
Untuk mengetahui pengaruh hipertensi terhadap retinopati diabetik, UK
Prospective Diabetes Study (UKPDS) menganalisis pasien diabetes tipe 2 yang
dilakukan kontrol tekanan darah secara ketat dibanding dengan kontrol tekanan
darah sedang melalui pengamatan selama 8 tahun. Kelompok pasien dengan
18
cermin pemantul parsial di ujung yang lain. Terdapat suatu sumber energi
optis atau listrik di sekeliling batang atau rongga yang akan menaikkan
tingkat energi atom di dalam batang atau rongga ke tingkat yang tinggi dan
tidak stabil, suatu proses yang dikenal sebagai inversi populasi. Saat atom -
atom yang telah tereksitasi tersebut secara spontan meluruh kembali k e
tingkat energi yang lebih rendah, kelebihan energinya akan dikeluarkan
dalam bentuk sinar. Sinar ini dapat dipancarkan ke segala arah. Namun, di
dalam rongga laser, sinar yang dipancarkan sepanjang sumbu panjang
rongga dapat memantul bolak-balik di antara dua cermin, menghasilkan
suatu gelombang tegak yang merangsang atom-atom lain untuk melepaskan
energinya ke dalam gelombang tegak tersebut sehingga tercipta berkas
sinar kuat yang keluar dari rongga melalui cermin pemantul parsial.
Berkasi sinar yang dihasilkan memiliki panjang gelombang yang sama
(monokromatik) dan semua gelombang sinar memiliki fase yang sama satu
sama lain (koheren). Gelombang sinar mengikuti lintasan yang sejajar,
dengan hampir tanpa kecenderungan untuk menyebar. Energi sinar laser in i
dapat dipancarkan secara kontinue atau pulsasi (in pulse), dengan durasi
pulsasi dalan nanodetik atau kurang (Reird, 2011; Vaughan dan Asbury,
2014).
Tabel 2.1. Penyerapan energi berbagai jenis laser oleh jaringan yang berbeda
(Vaughan dan Asbury, 2014)
suatu program skrining yang efektif untuk mendeteksi lesi yang dapat
diterapi (Vaughan dan Asbury, 2014).
b. Oklusi Vena Sentralis Retina
Penyakit ini menimbulkan gambaran fundus klasik berupa edema
diskus, dilatasi vena yang mencolok dan perdarahan retina yang hampir
konfluens. Walaupun perubahan ini dapat berkembang menjadi
neovaskularisasi retina, perdarahan vitreus dan fibrosis, komplikasi yang
lebih umum adalah terjadinya rubeosis iridis dengan glaukoma
neovaskular. Apabila angiografi fluoresen mempelihatkan iskemia retina
yang parah, kemungkinan terjadinya komplikasi ini adalah sebesar 60%.
Pada glaukoma neovaskular, zat-zat yang dihasilkan oleh retina iskemik
berdifusi ke depan dan merangsang pembentukan suatu membran
fibrovaskular yang tumbuh melintasi permukaan iris dan menutupi
anyaman trabekular. Akibatnya, terjadi glaukoma yang ditandai teka nan
yang sangat tinggi, nyeri dan sangat resisten terhadap terapi medis dan
bedah sehingga mungkin diperlukan tindakan enukleasi mata yang buta dan
nyeri tersebut, PRP seperti yang dijelaskan sebelumnya pada terapi RDP
lebih disukai dengan laser kriptom merah atau laser dioda inframerah untuk
menghindari fibrosis praretina yang terjadi akibat penyerapan panas oleh
perdarahan dapat sangat mengurangin insiden glaukoma neovaskular pada
oklusi vena sentralis iskemik. PRP paling efektif dilakukan setelah adanya
neovaskularisasi iris, tetapi sebelum glaukoma neovaskular terjadi. Bila
glaukoma neovaskular sudah terjadi, fotokoagulasi panretina yang adekuat
biasanya akan menyebabkan regresi neovaskularisasi di segmen anterior,
memungkinkan glaukoma untuk dikontrol secara medis atau dengan
tindakan bedah. Terlebih jika glaukoma diukuti dengan edema kornea,
miosis atau hifema maka PRP tidak dapat dilakukan dan hanya dapat
digunakan sitofotokoagulasi atau enukleasi. Karena alasan ini, PRP
profilaksis mungkin dianjurkan pada semua kasus oklusi vena sentralis
retina iskemik. Defek pupil aferen relatif, visus 20/200 atau kurang, dan
adanya bercak cotton wool multipel di retina merupakan tanda kuat adanya
27
BAB 3. KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Ilyas, S. 2010. Penuntun Ilmu Penyakit Mata Edisi Ketiga. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Uiversitas Indonesia.
Ilyas SH. Penglihatan Turun Perlahan Tanpa Mata Merah. Ilmu Penyakit Mata.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2014.
Vaughan dan Absury. 2014. Oftalmologi Umum Edisi 17. Jakarta: EGC.