Anda di halaman 1dari 4

Pengerian pasar oligopoli & monopoli

Filed under: Tugas Tinggalkan komentar

Januari 7, 2012

Pasar Oligopoli adalah suatu bentuk pasar yang terdapat beberapa penjual dimana salah satu atau
beberapa penjual bertindak sebagai pemilik pasar terbesar (price leader). Umumnya jumlah perusahaan
lebih dari dua tetapi kurang dari sepuluh.

Dalam pasar oligopoli, setiap perusahaan memposisikan dirinya sebagai bagian yang terikat dengan
permainan pasar, di mana keuntungan yang mereka dapatkan tergantung dari tindak-tanduk pesaing
mereka. Sehingga semua usaha promosi, iklan, pengenalan produk baru, perubahan harga, dan
sebagainya dilakukan dengan tujuan untuk menjauhkan konsumen dari pesaing mereka.

Di Indonesia pasar oligopoli dapat dengan mudah kita jumpai, misalnya pada pasar semen, pasar
layanan operator selular, pasar otomotif serta pasar yang bergerak dalam industri berat.

Ciri-ciri oligopoli

1. Terdapat beberapa penjual

2. Barang yang dijual homogen atau beda corak

3. Sulit dimasuki perusahaan baru

4. Membutuhkan peran iklan

5. Terdapat satu market leader (pemimpin pasar)

6. Harga jual tidak mudah berubah

Macam-macam Pasar Oligopoli

1. Oligopoli murni : menjual barang yang homogen. Biasanya banyak dijumpai dalam industri yang
menghasilkan bahan mentah.

Contoh : pasar semen, produsen bensin

2. Oligopoli diferensial : menjual barang berbeda corak. Barang seperti itu umumnya adalah barang
akhir.

Contoh : pasar mobil, pasar sepeda motor

Kebaikan Pasar Oligopoli

1. Memberi kebebasan memilih bagi pembeli.

2. Mampu melakukan penelitian dan

pengembangan produk.

3. Lebih memperhatikan kepuasan konsumen


karena adanya persaingan penjual.

4. Adanya penerapan teknologi

Keburukan Pasar Oligopoli

1. Menciptakan ketimpangan distribusi pendapatan

2. Harga yang stabil dan terlalu tinggi bisa mendorong

timbulnya inflasi

3. Bisa timbul pemborosan biaya produksi apabila ada

kerjasama antar oligopolis karena semangat

bersaing kurang

4. Bisa timbul eksploitasi terhadap pembeli dan pemilik

faktor produksi

5. Sulit ditembus/dimasuki perusahaan baru

6. Bisa berkembang ke arah monopoli

Contoh Perilaku Oligopoli pada Industri Telekomunikasi

Ada hal menarik yang dapat dicermati dari gencarnya perang tarif percakapan melalui telepon seluler
akhir-akhir ini, yaitu masing-masing provider mengklaim bahwa mereka telah memberikan harga
terbaik bagi para pelanggannya. Simak saja misalnya bagaimana perilaku tiga operator telepon seluler
terbesar di Indonesia (PT. Telkomsel, PT. Indosat, dan PT. Exelcomindo Pratama) dalam mengibarkan
bendera perang pemasaran dengan menawarkan tarif percakapan di bawah Rp1 per detik. Terlepas
dari iming-iming menarik yang ditawarkan, perang tarif yang diluncurkan para operator telepon
seluler kini sebenarnya sudah memasuki ranah yang mengusik perhatian kita kalau tidak mau
dikatakan sudah membingungkan atau bahkan menjebak bagi pelanggan individual.

Kreatifitas para operator dalam merumuskan skema tarif percakapan ternyata mampu
mengacak-acak perilaku pelanggan sehingga membuat pelanggan individual seringkali penasaran dan
terpancing emosinya. Simak saja bagaimana operator XL menawarkan tarif Rp 0,1 per detik ke
sesama operator; sementara Telkomsel Simpati PeDe menawarkan Rp 0,5 per detik. Indosat
Mentari menawarkan Rp 0 pada menit pertama ke sesama operator; dan IM3 menawarkan tarif Rp
0,01 per detik ke seluruh operator untuk percakapan 90 detik pertama dan selebihnya menggunakan
tarif Rp 15 per detik ke sesama operator dan Rp25 per detik ke operator lain. Belum lagi,
operator-operator lain kini juga mulai sibuk menawarkan tarif paling murah ke sesama pelanggan
dengan syarat dan kondisi tertentu.

Dengan perkembangan yang ada itu sebenarnya lumrah saja kalau kemudian ada yang bertanya
apakah memang pelanggan telepon seluler selama ini telah diperlakukan secara wajar oleh para
operator telepon? Pertanyaan ini muncul karena memang pelanggan tidak memiliki informasi yang
cukup mengenai berapa sebenarnya biaya produksi yang dikeluarkan oleh para operator untuk
menyediakan jasanya ke publik. Memang bukan menjadi kewajiban operator untuk mendeklarasi
urusan internal perusahaannya ke publik, tetapi persaingan tarif yang terjadi sebenarnya secara
implisit mengindikasi adanya ketidakwajaran perolehan manfaat antara produsen dan pelanggan
telekomunikasi. Pelanggan sebenarnya juga menyadari bahwa investasi di telekomunikasi tidak bisa
tergolong murah, terutama untuk mendapatkan lisensi, memilih platform teknologi, dan kemudian
membangun infrastruktur fisik yang tersebar di seluruh wilayah negeri. Masyarakat kemudian bisa
menerima berapa pun tarif berbicara via telepon seperti yang ditawarkan oleh para
operator. Pelanggan seolah tidak berdaya untuk menolak tawaran harga yang disampaikan para
operator karena masyarakat sendiri memang seolah terbuai dengan janji manis dalam mobilitas
berkomunikasi. Lebih dari itu, rasa haus berlebihan yang selama ini dirasakan masyarakat akibat
adanya kelangkaan akses dan koneksi telepon seolah terobati dengan pemunculan peranti komunikasi
bergerak, seperti halnya mobile phone atau di Indonesia lebih populer dengan sebutan hand phone.

Mobilitas berkomunikasi kini seolah menjadi kebutuhan masyarakat, dan bukan lagi barang mewah
yang didominasi oleh sekelompok orang berduit yang mampu membeli peranti telepon bergerak yang
sekaligus juga berfungsi sebagai simbol status seperti halnya yang terjadi pada era 1980-an yang
lalu. Masyarakat di negeri ini nampaknya kini lebih cenderung untuk memperhatikan pada berapa
besaran ongkos percakapan yang wajar dibanding dengan membuat kalkulasi bertelepon dalam satuan
waktu tarif percakapan per detik yang murah. Hampir semua operator memang memberi harga
penawaran yang relatif lebih murah untuk percakapan ke sesama operator dibanding tarif antar
operator. Satu hal yang perlu mendapat perhatian bersama adalah bahwa jebakan tarif seperti yang
terjadi ini sebenarnya mengingatkan masyarakat pengguna jasa telepon seluler untuk lebih
berhati-hati atau lebih pas untuk dikatakan lebih cermat terhadap tawaran telepon murah yang
diluncurkan oleh para operator.

Tesis yang diajukan dalam tulisan ini sebenarnya adalah bahwa kalau industri telekomunikasi di negeri
ini bergerak secara efisien, sudah semestinya pelanggan mendapat harga layanan yang wajar. Jadi,
pelanggan berhak mendapat kemanfaatan atas sejumlah sumberdaya yang telah dikeluarkannya. Itu
pula sebabnya, tulisan ini tidak dimaksudkan untuk menolak adanya kecenderungan penurunan tarif
telepon ke sesama operator, tetapi justru lebih sebagai upaya untuk menyadarkan pelanggan bahwa
tawaran harga yang wajar, yaitu harga yang mendekati daya-beli bagi pelanggan, sebenarnya adalah
hak dan merupakan suatu hal yang perlu didapat pelanggan dan bukan sekedar diberi iming-iming
yang diumbar oleh para operator telepon seluler.

Switching Behavior

Pada dasarnya iklim persaingan yang dihadapi oleh operator telepon seluler di Indonesia kini sudah
mendekati pada situasi yang bersifat oligopoly. Ada tiga karakteristik kunci yang melekat pada situasi
pasar oligopoly, yaitu: (1) pergerakan industri didominasi oleh kiprah beberapa operator dengan skala
besar; (2) masing-masing operator menjual atau menawarkan produk yang identik atau memiliki
pembedaan yang relatif terbatas; dan (3) industri memiliki barrier to entry yang signifikan besarannya
sehingga tidak mudah bagi pendatang baru untuk masuk ke dalam industri yang dimaksud. Dari
perspektif operator telepon seluler, penerapan strategi pemasaran pada situasi pasar yang bersifat
oligopoli tentu memerlukan upaya ekstra terutama dalam memaknai elastisitas harga terhadap
besaran permintaan pulsa oleh pelanggan.

Secara teoritis, elastisitas harga terhadap permintaan suatu produk akan sangat ditentukan oleh
karakteristik pasar, kategori produk, kategori branding yang melekat pada suatu produk, preferensi
terhadap waktu, dan kondisi perekonomian makro (lihat:Bijmolt, T.H.A., Van Heerde, J.H., dan
Pieters, G.M.R.,New Empirical Generalizations on the Determinants of Price Elasticity, Journal of
Marketing Research, Vol. XLII, May 2005, pp141-156). Satu hal penting dari temuan empiris itu
adalah bahwa upaya korporasi dalam mengakomodasi price endogeneity seperti yang dimaksudkan itu
ternyata mempunyai imbas yang kuat pada besaran elastisitas harga suatu produk. Itu artinya, bagi
kepentingan pelaku industri telekomunikasi, perang tarif yang selama ini telah berlangsung sebenarnya
hanya dapat dijustifikasi sampai pada suatu titik di mana kebijakan penurunan tarif per satuan waktu
akan berimbas pada penurunan jumlah permintaan pulsa telepon. Dengan kata lain, rasionalitas
ekonomis yang ada dalam benak pelanggan akan menentukan tingkat sensitifitas mereka terhadap
kebijakan agresif mengenai tarif telepon.

Dengan mencermati perkembangan pasar yang ada sekarang ini, sebenarnya masih ada peluang bagi
para operator untuk mendongkrak tingkat penetrasi pasar, terutama untuk segmen yang berpotensi
menjadi pengguna jasa telekomunikasi di masa datang. Hanya saja, hal yang mungkin perlu
diwaspadai oleh para operator adalah bahwa bisa saja, karena faktor emosi sesaat dalam menetapkan
tarif psikologis seperti yang diadopsi para operator selama ini, justru akan berpengaruh pada
pergeseran perilaku pelanggan untuk beralih operator (switching behavior). Kalau hal ini terjadi, maka
tidak mustahil kalau pada gilirannya nanti loyalitas pelanggan terhadap suatu produk atau operator
telepon tertentu menjadi sesuatu yang sulit dicapai. Pelanggan mungkin saja tetap mendapat
kepuasan terhadap suatu operator tertentu, namun tetap saja mereka beralih operator, karena alasan
satu dan lain hal.

Sebagai penutup, dalam jangka yang menengah, perilaku beralih akan memberi peluang bagi
munculnya perilaku oportunis yang hanya mementingkan kemanfaatan sesaat dan tidak
mempedulikan keberlanjutan layanan prima yang diberikan kepada pelanggan. Hal yang sudah jamak
dijumpai kalau sekarang ini seseorang memiliki dua atau lebih nomor telepon seluler. Hal ini tentu saja
bukan semata-mata untuk tujuan menghindar dari pelacakan terhadap suatu nomor, tetapi lebih
sebagai bentuk pencarian kenyamanan dalam melakukan percakapan melalui telepon seluler.
Harapannya adalah bahwa pelanggan, terutama pelanggan individual, akan mendapatkan nilai yang
optimal dari harga layanan telepon seluler yang diberikan oleh para operator. Semoga.

Anda mungkin juga menyukai