Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

Penyakit trofoblas ialah penyakit yang mengenai sel-sel trofoblas dimana

terjadi suatu keabnormalan konsepsi plasenta yang disertai sedikit atau bahkan tanpa

perkembangan janin (Sebire, 2008; Sumapraja,2005; Hadijanto, 2010). Di dalam

tubuh wanita sel trofoblas hanya ditemukan bila wanita itu hamil. Di luar kehamilan

sel-sel trofoblas dapat ditemukan pada teratoma dari ovarium, karena itu penyakit

trofoblas yang berasal dari kehamilan disebut sebagai Gestational Trophoblastic

Disease, sedangkan yang berasal dari teratoma disebut Non Gestational

Throphoblastic Disease.

Penyakit trofoblas mempunyai potensi yang cukup besar untuk menjadi ganas

dan menimbulkan berbagai bentuk metastase keganasan dengan berbagai variasi

(Manuaba, 2007). Prevalensi mola hidatidosa lebih tinggi di Asia, Afrika, dan Amerika

Latin dibandingkan dengan negara-negera Barat. Di negara-negara Barat dilaporkan

1:2000 kehamilan. Frekuensi mola umumnya pada wanita di Asia lebih tinggi sekitar

1: 120 kehamilan (Prawirohadjo, 2009). Di Amerika Serikat dilaporkan insidensi mola

sebesar 1 pada 1000-1200 kehamilan. Di Indonesia sendiri didapatkan kejadian mola

pada 1 : 85 kehamilan. Biasanya dijumpai lebih sering pada usia reproduktif (15-45

tahun); dan pada multipara. Jadi dengan meningkatnya paritas kemungkinan menderita

mola akan lebih besar. Mola hidatidosa terjadi pada 1-3 dalam setiap 1000 kehamilan.

Sekitar 10% dari seluruh kasus akan cenderung mengalami transformasi ke arah

keganasan, yang disebut sebagai gestational trophoblastic neoplasma.

1
2

Di negara maju, kematian karena mola hidatidosa hampir tidak ada, mortalitas

akibat mola hidatidosa ini mulai berkurang oleh karena diagnosis yang lebih dini dan

terapi yang tepat. Akan tetapi di negara berkembang kematian akibat mola masih cukup

tinggi yaitu berkisar antara 2,2% dan 5,7%. Kematian pada mola hidatidosa biasanya

disebabkan oleh karena perdarahan, infeksi, eklamsia, payah jantung dan tirotoksikosis.
3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Mola hidatidosa adalah suatu kehamilan yang berkembang tidak wajar

dimana terjadi keabnormalan dalam konsepsi plasenta yang disertai dengan

perkembangan parsial atau tidak ditemukan adanya pertumbuhan janin, hampir

seluruh vili korialis mengalami perubahan berupa degenerasi hidropobik. Janin

biasanya meninggal akan tetapi villus-villus yang membesar dan edematus itu

hidup dan tumbuh terus, gambaran yang diberikan adalah sebagai segugus buah

anggur. Jaringan trofoblast pada vilus berproliferasi dan mengeluarkan hormon

human chononic gonadotrophin (HCG) dalam jumlah yang lebih besar daripada

kehamilan biasa.

2.2 Epidemiologi

Frekuensi mola hidatidosa umumnya di wanita Asia lebih tinggi (1 per

120 kehamilan) daripada wanita di negara Barat (1 per 2.000 kehamilan). Di

Indonesia, mola hidatidosa dianggap sebagai penyakit yang penting dengan

insiden yang tinggi (data RS di Indonesia, 1 per 40 persalinan), faktor risiko

banyak, penyebaran merata serta sebagian besar data masih berupa hospital

based. Faktor risiko mola hidatidosa terdapat pada usia kurang dari 20 tahun dan

di atas 35 tahun, gizi buruk, riwayat obstetri, etnis dan genetik

2.3 Etiologi

Penyebab mola hidatidosa tidak diketahui secara pasti, namun faktor

penyebabnya yang kini telah diakui adalah:


4

1. Faktor ovum: ovum memang sudah patologik sehingga mati, tetapi terlambat

dikeluarkan.

2. Usia ibu yang terlalu muda atau tua (36-40 tahun) beresiko 50% terkena

penyakit ini.

3. Imunoselektif dari sel trofoblast

4. keadaan sosioekonomi yang rendah

5. paritas tinggi

6. defisiensi vitamin A

7. kekurangan protein

8. infeksi virus dan faktor kromosom yang belum jelas.

Berbagai teori telah diajukan, misalnya teori infeksi, defisiensi zat

makanan, terutama protein tinggi. Teori yang paling cocok dengan keadaan

adalah teori dari Acosta Sison, yaitu defisiensi protein, karena kenyataan

membuktikan bahwa penyakit ini lebih banyak ditemukan pada wanita dari

golongan sosio ekonomi rendah. Akhir-akhir ini dianggap bahwa kelainan

tersebut terjadi karena pembuahan sebuah sel telur dimana intinya telah hilang

atau tidak aktif lagi oleh sebuah sel sperma yang mengandung 23x (haploid)

kromosom, kemudian membelah menjadi 46xx, sehingga mola hidatidosa

bersifat homozigot, wanita dan androgenesis. Kadang-kadang terjadi pembuahan

oleh 2 sperma, sehingga terjadi 46xx atau 46xy.

Telah diketahui bahwa penyakit ini banyak ditemukan pada golongan sosio

ekonomi rendah, umur di bawah 20 tahun dan di atas 34 tahun, dan dengan paritas

tinggi. Insiden penyakit ini dapat diturunkan dengan suatu upaya preventif
5

berupa pencegahan kehamilan di bawah 20 tahun dan di atas 34 tahun dengan

jumlah anak tidak lebih dari tiga

Juga disebutkan defisiensi lemak hewani dan karotene, kebiasaan merokok,

pemakaian pil kontrasepsi kombinasi merupakan faktor resiko. Secara singkat

dapat disimpulkan bahwa peran graviditas, paritas, faktor reproduksi lain, status

estrogen, kontrasepsi oral dan faktor makanan dianggap sebagai faktor resiko

walaupun masih belum jelas hubungannya.

2.4 Klasifikasi

Mola hidatidosa dapat diklasifikasikan menjadi 2 yaitu bila tidak disertai

janin maka disebut mola hidatidosa atau Complete mole, sedangkan bila disertai

janin atau bagian dari janin disebut mola parsialis atau Parsials mole

Gambaran Mola Komplit Mola Parsial


Kariotipe 46,XX atau 46,XY Umumnya 69,XXX
atau 69,XXY (tripoid)
Patologi

Edema villus Difus Bervariasi,fokal


Proliferasi trofoblastik Bervariasi, ringan s/d berat Bervariasi, fokal,
ringan s/d sedang
Janin Tidak ada Sering dijumpai
Amnion, sel darah Tidak ada Sering dijumpai
merah janin
Gambaran klinis

Diagnosis Gestasi mola Missed abortion


6

Ukuran uterus 50% besar untuk masa Kecil untuk masa


kehamilan kehamilan
Kista teka-lutein 25-30% Jarang
Penyulit medis Sering jarang
Penyakit pascamola 20% <5-10%
Kadar hCG Tinggi Rendah tinggi

2.5 Patofisiologi

Menurut Sarwono, 2010, Patofisiologi dari kehamilan mola hidatidosa yaitu

karena tidak sempurnanya peredaran darah fetus, yang terjadi pada sel telur

patologik yaitu : hasil pembuahan dimana embrionya mati pada umur kehamilan 3

5 minggu dan karena pembuluh darah villi tidak berfungsi maka terjadi

penimbunan cairan di dalam jaringan mesenkim villi.

Analisis sitogenetik pada jaringan yang diperoleh dari kehamilan mola

memberikan beberapa petunjuk mengenai asal mula dari lesi ini. Kebanyakan mola

hidatidosa adalah mola lengkap dan mempunyai 46 kariotipe XX. Penelitian

khusus menunjukkan bahwa kedua kromosom X itu diturunkan dari ayah. Secara

genetik, sebagian besar mola hidatidosa komplit berasal dari pembuahan pada

suatu telur kosong (yakni, telur tanpa kromosom) oleh satu sperma haploid (23

X), yang kemudian berduplikasi untuk memulihkan komplemen kromosom diploid

(46 XX). Hanya sejumlah kecil lesi adalah 46 XY.


7

Pada mola yang tidak lengkap atau sebagian, kariotipe biasanya suatu

triploid, sering 69 XXY (80%). Kebanyakan lesi yang tersisa adalah 69 XXX atau

69 XYY. Kadang-kadang terjadi pola mozaik. Lesi ini, berbeda dengan mola

lengkap, sering disertai dengan janin yang ada secara bersamaan. Janin itu biasanya

triploid dan cacat.

Gambar Susunan sitogenetik dari mola hidatidosa. A. Sumber kromosom


dari mola lengkap. B. Sumber kromosom dari mola sebagian yang triploid

Ada beberapa teori yang diajukan untuk menerangkan patogenesis dari

penyakit trofoblas:

1. Teori missed abortion.

Teori ini menyatakan bahwa mudigah mati pada usia kehamilan 3-5 minggu

(missed abortion). Hal inilah yang menyebabkan gangguan peredaran darah

sehingga terjadi penimbunan cairan dalam jaringan mesenkim dari villi dan

akhirnya terbentuklah gelembung-gelembung. Menurut Reynolds, kematian

mudigah itu disebabkan karena kekurangan gizi berupa asam folik dan histidine

pada kehamilan hari ke 13 dan 21. Hal ini menyebabkan terjadinya gangguan

angiogenesis.

2. Teori neoplasma
8

Teori ini pertama kali dikemukakan oleh Park. Pada penyakit trofoblas,

yang abnormal adalah sel-sel trofoblas dimana fungsinya juga menjadi abnormal.

Hal ini menyebabkan terjadinya reabsorpsi cairan yang berlebihan kedalam villi

sehingga menimbulkan gelembung. Sehingga menyebabkan gangguan peredaran

darah dan kematian mudigah.

Secara makroskopik, mola hidatidosa mudah dikenal yaitu berupa

gelembung-gelembung putih, tembus pandang, berisi cairan jernih, sehingga

menyerupai buah anggur, atau mata ikan. Karena itu disebut juga hamil anggur atau

mata ikan. Ukuran gelembung-gelembung ini bervariasi dari beberapa milimeter

sampai 1-2 cm. Secara mikroskopik terlihat trias: (1) Proliferasi dari trofoblas; (2)

Degenerasi hidropik dari stroma villi dan kesembaban; (3) Hilangnya pembuluh

darah dan stroma. Sel-sel Langhans tampak seperti sel polidral dengan inti terang

dan adanya sel sinsitial giantik (syncytial giant cells). Pada kasus mola banyak

dijumpai ovarium dengan kista lutein ganda berdiameter 10 cm atau lebih (25-

60%). Kista lutein akan berangsur-angsur mengecil dan kemudian hilang setelah

mola hidatidosa sembuh.

2.6 Manifestasi Klinis

a. Perdarahan

Perdarahan uterus merupakan gejala mola hidatidosa yang paling umum

ditemui. Mulai dari sekedar spotting hingga perdarahan masif. Gejala

perdarahan biasanya terjadi antara bulan pertama sampai bulan ke tujuh dengan

rata-rata minggu ke 12-14. Dapat dimulai sesaat sebelum aborsi atau lebih

sering dapat muncul secara intermiten, sedikit-sedikit atau sekaligus banyak


9

hingga menyebabkan syok atau kematian. Sebagai akibat dari perdarahan

tersebut gejala anemia sering dijumpai terutama pada wanita malnutrisi. Efek

dilusi dari hipervolemia terjadi pada wanita dengan mola yang lebih besar.

Anemia defisiensi Fe sering ditemukan, demikian pula halnya dengan kelainan

eritropoiesis megaloblastik, diduga akibat asupan yang tidak mencukupi karena

adanya mual dan muntah disertai peningkatan kebutuhan asam folat karena

cepatnya proliferasi trofoblas. Perdarahan juga sering disertai pengeluaran

jaringan mola. Darah yang keluar berwarna kecoklatan.

b. Ukuran uterus bisa lebih besar atau lebih kecil (tidak sesuai usia kehamilan)

Pertumbuhan ukuran uterus sering lebih besar dan lebih cepat daripada

kehamilan normal, hal ini ditemukan pada setengah dari semua pasien mola.

Ada pula kasus-kasus yang uterusnya lebih kecil atau sama besarnya dengan

kehamilan normal, walaupun jaringannya belum dikeluarkan. Dalam hal ini

perkembangan trofoblas tidak terlalu aktif sehingga perlu dipikirkan

kemungkinan adanya dying mole. Uterus mungkin sulit untuk diidentifikasikan

secara pasti dengan palpasi, terutama pada wanita nullipara. Hal ini disebabkan

karena konsistensinya yang lembut di bawah dinding perut yang kaku.

Pembesaran uterus karena kista theca lutein multiple akan membuat sulit

perbedaaan dengan pembesaran uterus biasa.

c. Tidak adanya aktifitas janin

Walaupun pembesaran uterus mencapai bagian atas simfisis, tidak ditemukan

adanya denyut jantung janin. Meskipun jarang, mungkin terdapat plasenta

ganda dengan kehamilan mola komplet yang bertumbuh bersamaan, sementara


10

plasenta yang satu dan janin terlihat normal. Juga walaupun jarang, mungkin

terdapat mola inkomplet pada plasenta yang disertai janin hidup.

d. Eklamsia dan preeklamsia

Preeklampsia pada kehamilan mola timbul pada trisemester ke 2. Eklamsia atau

preeklamsia pada kehamilan normal jarang terlihat sebelum usia kehamilan 24

minggu. Oleh karenanya preeklamsia yang terjadi sebelum waktunya harus

dicurigai sebagai mola hidatidosa.

e. Hiperemesis

Mual dan muntah yang signifikan dapat timbul sebagai salah satu gejala mola

hidatidosa.

f. Tirotoksikosis

Kadar tiroksin plasma pada wanita dengan kehamilan mola sering meningkat,

namun gejala hipertiroid jarang muncul. Menurut Curry insidennya 1%, tetapi

Martaadisoebrata menemukan angka lebih tinggi yaitu 7,6%. Terjadinya

tirotoksikosis pada mola hidatidosa berhubungan erat dengan besarnya uterus.

Makin besar uterus makin besar kemungkinan terjadinya tirotoksikosis. Oleh

karena kasus mola dengan uterus besar masih banyak ditemukan, maka

Martaadisoebrata menganjurkan agar pada tiap kasus mola hidatidosa dicari

tanda-tanda tirotoksikosis secara aktif.

Mola yang disertai tirotoksikosis mempunyai prognosis yang lebih buruk, baik

dari segi kematian maupun kemungkinan terjadinya keganasan. Biasanya

penderita meninggal karena krisis tiroid. Peningkatan tiroksin plasma mungkin

karena efek dari estrogen seperti yang dijumpai pada kehamilan normal. Serum
11

bebas tiroksin yang meningkat sebagai akibat thyrotropin-like effect dari

Chorionic Gonadotropin hormone. Terdapat korelasi antara kadar hCG dan

fungsi endogen tiroid tapi hanya kadar hCG yang melebihi 100.000 iu/L yang

bersifat tirotoksis.

Mola hidatidosa komplet

- Perdarahan pervaginam : gejala umum dari mola komplet.

Jaringan mola terpisah dari desidua, menyebabkan perdarahan. Uterus

mungkin membesar karena sejumlah besar darah dan cairan gelap masuk ke

dalam vagina. Gejala ini muncul pada 97% kasus.

- Hiperemesis : karena peningkatan secara ekstrem kadar hCG

- Hipertiroidisme : kira-kira 7% pasien mengalami takikardi, tremor dan kulit

yang hangat.

Mola hidatidosa parsial

- Pasien dengan mola hidatidosa parsial tidak memiliki gejala yang sama

dengan mola komplet. Pasien ini biasanya mempunyai gejala dan tanda

seperti abortus inkomplet atau missed abortion.

- Perdarahan pervaginam

- Adanya denyut jantung janin

2.7 Diagnosis

2.7.1 Anamnesa
12

Ada kehamilan disertai gejala dan tanda kehamilan muda yang berlebihan,

perdarahan pervaginam berulang cenderung berwarna coklat dan kadang

bergelembung seperti busa.

- terdapat gejala-gejala hamil muda yang kadang-kadang lebih nyata dari

kehamilan biasa

- terdapat perdarahan yang sedikit atau banyak, tidak teratur, warna tengguli

tua atau kecoklatan

- pembesaran rahim yang tidak sesuai (lebih besar) bila dibandingkan

dengan usia kehamilan seharusnya

- keluar jaringan mola seperti buah anggur atau mata ikan (tidak selalu ada)

yang merupakan diagnosa pasti.

(1) Perdarahan vaginal. Gejala klasik yang paling sering pada mola komplet

adalah perdarahan vaginal. Jaringan mola terpisah dari desidua,

menyebabkan perdarahan. Uterus membesar (distensi) oleh karena jumlah

darah yang banyak, dan cairan gelap bisa mengalir melalui vagina. Gejala

ini terdapat dalam 97% kasus.

(2) Hiperemesis. Penderita juga mengeluhkan mual dan muntah yang berat. Hal

ini merupakan akibat dari peningkatan secara tajam hormon -HCG.

(3) Hipertiroid. Setidaknya 7% penderita memiliki gejala seperti takikardi,

tremor dan kulit yang hangat. Didapatkan pula adanya gejala preeklamsia

yang terjadi pada 27% kasus dengan karakteristik hipertensi ( TD > 140/90

mmHg), protenuria (>300 mg.dl), dan edema dengan hiperefleksia

2.7.2 Pemeriksaan Fisik


13

Inspeksi

Palpasi :

Uterus membesar tidak sesuai dengan tuanya kehamilan, teraba

lembek

Tidak teraba bagian-bagian janin dan ballotement dan gerakan janin.

Auskultasi : tidak terdengar bunyi denyut jantung janin

Pemeriksaan dalam :

Memastikan besarnya uterus

Uterus terasa lembek

Terdapat perdarahan dalam kanalis servikalis

2.7.3 Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan kadar B-hCG

BetaHCG urin > 100.000 mlU/ml

Beta HCG serum > 40.000 IU/ml

Berikut adalah gambar kurva regresi hCG normal yang menjadi parameter

dalam penatalaksanaan lanjutan mola hidatidosa.


14

Gambar : Nilai rata-rata dari 95 % confidence limit yang

menggambarkan kurva regresi normal gonadotropin korionik subunit

pasca mola (Cunningham, 2006).

Pemeriksaan kadar T3 /T4

B-hCG > 300.000 mIU/ml mempengaruhi reseptor thyrotropin,

mengakibatkan aktifitas hormon-hormon tiroid (T3/T4) meningkat.

Terjadi gejala-gejala hipertiroidisme berupa hipertensi, takikardia,

tremor, hiperhidrosis, gelisah, emosi labil, diare, muntah, nafsu makan

meningkat tetapi berat badan menurun dan sebagainya. Dapat terjadi

krisis hipertiroid tidak terkontrol yang disertai hipertermia, kejang, kolaps

kardiovaskular, toksemia, penurunan kesadaran sampai delirium-koma

(Cunningham, 2006).

2. Pemeriksaan Imaging

a. Ultrasonografi
Gambaran seperti sarang tawon tanpa disertai adanya janin

Ditemukan gambaran snow storm atau gambaran seperti badai


salju.

b. Plain foto abdomen-pelvis: tidak ditemukan tulang janin

2.8 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan mola hidatidosa terdiri dari 4 tahap, yaitu:

1. Perbaikan keadaan umum


15

Yang termasuk usaha ini misalnya transfusi darah pada anemia berat

dan srok hipovolemik karena perdarahan. Atau menghilangkan penyulit seperti

preeklamsia dan tirotoksikosis. Preeklamsia diobati seperti pada kehamilan

biasa, sedangkan untuk tirotoksikosis diobati sesuai protokol penyakit dalam,

antara lain dengan inderal.

2. Pengeluaran jaringan mola

Bila diagnosis telah ditegakkan, kehamilan mola harus segera diakhiri.

Ada dua cara evakuasi, yaitu: a) kuret hisap, b) histerektomi

a. Kuret hisap

Kuret hisap merupakan tindakan pilihan untuk mengevakuasi jaringan

mola, dan sementara proses evakuasi berlangsung berikan infus 10 IU oksitosin

dalam 500 ml NaCl atau RL dengan kecepatan 40-60 tetes/menit. Oksitosi

diberikan untuk menimbulkan kontraksi uterus mengingat isinya akan

dikeluarkan Tindakan ini dapat mengurangi perdarahan dari tempat

implantasidan dengan terjadinya retraksi miometrium, dinding uterus akan

menebal dan dengan demikian resiko perforasi dapat dikurangi. Bila sudah

terjadi abortus maka kanalis servikalis sudah terbuka. Bila belum terjadi

abortus, kanalis servikalis belum terbuka sehingga perlu dipasang laminaria

atau servikalis dilator (setelah 10 jam baru terbuka 2-5 cm). Setelah jaringan

mola dikeluarkan secara aspirasi dan miometrium memperlihatkan kontraksi

dan retraksi, biasanya dilakukan kuretase yang teliti dan hati-hati dengan

menggunakan alat kuret yang tajam dan besar. Jaringan yang diperoleh diberi

label dan dikirim untuk pemeriksaan. Kuretase kedua dilakukan apabila


16

kehamilan seusia lebih dari 20 minggu, atau tidak diyakini bersih. Kuret ke-2

dilakukan kira-kira 10-14 hari setelah kuret pertama. Pada waktu itu uterus

sudah mengecil sehingga lebih besar kemungkinan bahwa kuret betul-betul

menghasilkan uterus yang bersih.

Jika terdapat mola hidatidosa yang besar (ukuran uterus >12 minggu,

dan dievakuasi dengan kuret hisap, laparatomi harus dipersiapkan, atau

mungkin diperlukan ligasi arteri hipogastrika bilateral bila terjadi perdarahan

atau perforasi. Sebelum kuret sebaiknya disediakan persediaan darah untuk

menjaga kemungkinan terjadi perdarahan masif selama kuretase berlangsung.

b. Histerektomi

Sebelum kuret hisap digunakan, histerektomi sering dipakai untuk

pasien dengan ukuran uterus di luar 12-14 minggu. Namun histerektomi tetap

merupakan pilihan pada wanita yang telah cukup umur dan cukup mempunyai

anak.

Alasan untuk melakukan histerektomi ialah karena umur tua dan paritas

tinggi karena hal tersebut merupakan predisposisi timbulnya keganasan.

Batasan yang dipakai ialah umur 35 tahun dengan anak hidup tiga. Tidak jarang

bahwa pada sediaan histerektomi bila dilakukan pemeriksaan histopatologi

sudah tampak adanya tanda-tanda mola invasif.

Ada beberapa ahli yang menganjurkan agar pengeluaran jaringan

dilakukan melalui histerektomi. Tetapi cara ini tidak begitu populer dan sudah

ditinggalkan. Walau histerektomi tidak dapat mengeliminasi sel-sel tumor

trofoblastik, namun mampu untuk mengurangi kekambuhan penyakit ini.


17

2. Terapi profilaksis dengan sitostatika

Diberikan pada kasus mola dengan resiko tinggi akan terjadinya

keganasan di bawah pengawasan dokter. Misalnya umur tua dan paritas tinggi

yang menolak untuk dilakukan histerektomi, atau kasus dengan hasil

histopatologi yang mencurigakan. Biasanya diberikan Methotrexate atau

Actinomycin D. Tidak semua ahli setuju dengan cara ini, dengan alasan jumlah

kasus mola yang menjadi ganas tidak banyak dan sitostatika merupakan obat

yang berbahaya. Goldstein berpendapat bahwa pemberian sitostatika

profilaksis dapat menghindarkan keganasan metastasis, serta mengurangi

terjadinya koriokarsinoma di uterus sebanyak 3 kali. Kadar hCG >100.000 IU/L

praevakuasi dianggap sebagai resiko tinggi untuk perubahan ke arah keganasan,

pertimbangan untuk memberikan Methotrexate (MTX) 3-5 mg/kgBB atau 25

mg IM dosis tunggal. Metastasis yang hanya ke paru dapat diobati dengan agen

kemoterapi tunggal sedangkan metastasis lainnya memerlukan 3 agen

kemoterapi.

3. Pemeriksaan tindak lanjut (follow up)

Tujuan utama follow up untuk mendeteksi adanya perubahan yang

mengarah keganasan. Metode umum follow up adalah sebagai berikut:

- Mencegah kehamilan selama periode follow up, minimal 1 tahun, mematuhi

jadwal kontrol selama 2-3 tahun (1x pada triwulan pertama, tiap 2 minggu
18

pada triwulan kedua, tiap bulan pada 6 bulan berikutnya,tiap 2 bulan pada

tahun berikutnya, selanjutnya tiap 3 bulan

- Pengukuran kadar serum B-hCG setiap 2 minggu

- Mempertahankan terapi selama kadar serum menurun. Peningkatan atau

pendataran kadar membutuhkan evaluasi dan terapi lanjut

- Jika kadar normal (mencapai batas rendah dari pengukuran, dilakukan

pengukuran setiap bulan sekali selama 6 bulan dan tiap 2 bulan selama 1 tahun

- Follow up dapat dihentikan dan kehamilan diijinkan 1 tahun kemudian

Setiap periksa ulang penting diperhatikan:

1.Gejala klinik: keadaan umum, perdarahan, dan lain-lain

2.Lakukan pemeriksaan dalam dan pemeriksaan inspekulo: tentang keadaan

serviks, uterus cepat bertambah kecil atau tidak, dan lain-lain

3.Reaksi biologis atau imunologis air seni,

1x seminggu sampai hasil negatif, 1x2 minggu selama triwulan

selanjutnya, 1x sebulan dalam 6 bulan selanjutnya, 1x 3 bulan selama tahun

berikutnya. Kalau reaksi titer tetap (+) maka harus dicurigai adanya

keganasan. Keganasan masih dapat timbul setelah 3 tahun pasca terkenanya

mola hidatidosa. Menurut Harahap tumor timbul 34,5% dalam 6 minggu,

62,1% dalam 12 minggu, dan 79,4% dalam 24 minggu serta 97,2% dalam 1

tahun setelah mola keluar.

Lama pengawasan berkisar antara satu atau dua tahun, mengingat

kemungkinan terjadinkeganasan setelah mola hidatidosa (20%). Gejala-

gejala choriocarsinoma yang harus diwaspadai setelah dilakukan kuretase


19

mola: perdarahan yang terus menerus, involusi rahim tidak terjadi, kadang-

kadang malahan nampak metastasis di vagina berupa tumor-tumor yang biru

ungu, rapuh dan mudah berdarah.

Selama pengawasan, secara berkala dilakukan ginekologis, kadar -

hCG dan ultrasonografi. Cara yang paling peka saat ini adalah dengan

pemeriksaan -hCG yang menetap untuk beberapa lama. Jika masih

meninggi, hal ini berarti masih ada sel-sel trofoblas yang aktif. Cara yang

umum dipakai sekarang ini adalah dengan radioimmunoassay terhadap -

hCG sub-unit. Pemeriksaan kadar -hCG diselenggarakan setiap minggu

sampai kadar menjadi negatif selama 3 minggu dan selanjutnya setiap bulan

selama 6 bulan. Mungkin juga timbul metastasis di paru-paru yang

menimbulkan batuk dan haemoptoe, oleh karena itu bila ada gejala-gejala

yang mencurigakan harus dibuat foto rontgen paru.


20

Gambar 1. Skema tatalaksana mola hidatidosa

2.9 Komplikasi

Perforasi uterus selama kuret hisap sering muncul karena uterus yang

membesar. Jika hal ini terjadi prosedur penanganannya harus dalam bimbingan

laparaskopi.

Perdarahan sering pada evakuasi mola, karenanya oksitosin IV harus diberikan

sebelum prosedur dimulai. Methergin atau Hemabase dapat juga diberikan.


21

Penyakit trofoblastik ganas terjadi pada 20 % kehamilan mola, karenanya

pemeriksaan kuantitatif hCG serial dilakukan selama 1 tahun post evakuasi

sampai hasilnya negatif.

DIC, karena jaringan mola melepaskan faktor yang bersifat fibrinolitik. Semua

pasien harus diperiksa kemungkinan adanya koagulopati.

Emboli trofoblastik dapat menyebabkan insufisiensi pernafasan akut. Faktor

resiko terbesar ialah pada ukuran uterus yang lebih besar dari yang diharapkan

pada usia kehamilan 16 minggu. Kondisi ini dapat berakhir fatal.

kista lutein, baik unilateral maupun bilateral. Kista lutein dapat menyebabkan

pembesaran pada satu atau kedua ovarium dengan ukuran yang beragam, dari

diameter mikroskopik sampai ukuran 10 cm atau lebih. Hal ini terjadi pada 25-

60% penderita mola. Kista teka lutein multiple pada 15-30% penderita mola

menyebabkan pembesaran satu atau kedua ovarium dan menjadi sumber rasa

nyeri. Ruptur, perdarahan atau infeksi mudah terjadi.

Kista lutein ini diperkirakan terjadi akibat rangsangan elemen lutein yang

berlebihan oleh hormon korionik-gonadotropin dalam jumlah besar yang

disekresi oleh trofoblas yang berproliferasi dengan pemeriksaan klinis, insiden

kista lutein + 10,2%, tetapi bila menggunakan USG angkanya meningkat

sampai 50%. Kasus mola dengan kista lutein mempunyai resiko empat kali

lebih besar untuk mendapat degenerasi keganasan di kemudian hari daripada

kasus-kasus tanpa kista. Involusi dari kista terjadi setelah beberapa minggu

yang biasanya seiring dengan penurunan kadar B-hCG. Tindakan bedah hanya
22

dilakukan bila ada ruptur dan perdarahan atau ovarium yang membesar tadi

mengalami infeksi. umumnya ukuran kembali normal dalam 12 minggu.

Anemia, karena perdarahan yang berulang-ulang

Perdarahan dan syok. Penyebab perdarahan ini mungkin disebabkan oleh

pelepasan jaringan mola tersebut dengan lapisan desidua, perforasi uterus oleh

karena keganasan, atonia uteri atau perlukaan pada uterus karena evakuasi

jaringan mola.

Infeksi sekunder

2.10 Prognosis

_________________________________________________________________
Prognosis baik Prognosis buruk
Kehamilan terakhir < 4 bulan > 4 bulan
B-hCG < 40.000 > 40.000
Kehamilan sebelumnya mola term
Terapi sebelumnya tidak ada gagal
Metastase tidak ada, kadang paru otak, hati

WHO SCORING SYSTEM


Faktor prognosis 0 1 2 4
1. Usia < 35 th >35 th
2. Kehamilan sebelumnya mola aborsi term
3. Interval <4bln 4-6 bln 7-12 bln >12 bln
4. B-hCG <1000 <10.000 <100.000 >100000
5. ABO maternal-paternal OxA,AxO B,AB
6. Ukiran tumor terbesar 3-5 >5
7. Angka metastase 1-4 4-8 >8
8. Kemoterapi terdahulu tunggal multiple

Total score : 0-4 resiko rendah


5-7 resiko sedang; > 8 resiko tinggi
23

Data mortalitas berkurang secara drastis mencapai 0 dengan diagnose dini

dan terapi yang adekuat. Dengan kehamilan mola yang lanjut, pasien cenderung

untuk menderita anemia dan perdarahan kronis. Infeksi dan sepsis pada kasus-

kasus ini dapat menyebabkan tingkat morbiditas yang tinggi.

Evaluasi dini tidak menghilangkan kemungkinan berkembangnya tumor

persisten. Hampir 20% mola komplet berlanjut menjadi tumor gestasional

trofoblastik. Lurain and Colleagues (1987) melaporkan setelah evakuasi mola

hidatidosa, 81% mengalami regresi spontan dan 19% berlanjut menjadi tumor

trofolastik gestasional.

Pemantauan yang dilihat pada pasien mola hidatidosa yang telah menjalani

evakuasi mengindikasikan bahwa tindakan ini bersifat kuratif pada lebih dari

80% pasien. Mola hidatidosa yang berulang terjadi pada 0,5 2,6%, dengan

resiko yang lebih besar untuk menjadi mola invasif atau koriokarsinoma.

Terjadinya proses keganasan bisa berlangsung antara 7 hari sampai 3 tahun pasca

mola, tetapi yang paling banyak dalam 6 bulan pertama. Kurang lebih 10-20%

mola hidatidosa komplet menjadi metastastik koriokarsinoma yang potensial

invasif.

Kematian pada kasus mola disebabkan karena perdarahan, infeksi,

preeklamsia, payah jantung, emboli paru atau tirotoksikosis. Di negara maju,

kematian karena mola hampir tidak ada lagi, tetapi di negara berkembang masih

cukup tinggi, yaitu berkisar 2,2-5,7%.


24

BAB III

KESIMPULAN

Mola hidatidosa adalah suatu kehamilan yang berkembang tidak wajar dimana

terjadi keabnormalan dalam konsepsi plasenta yang disertai dengan perkembangan

parsial atau tidak ditemukan adanya pertumbuhan janin, hampir seluruh vili korialis

mengalami perubahan berupa degenerasi hidropobik. Penyebab mola hidatidosa belum

diketahui secara pasti Faktor penyebab yang diakui berhubungan dengan mola

hidatidosa adalah factor ovum, usia ibu, factor imun dan infeksi, sosioekonomi yang

rendah, parietas tinggi dan factor nutrisi. Mola hidatidosa diklasifikasikan menjadi

complete mole dan parsials mole. Manifestasi yang dapat terjadi yaitu perdarahan

pervaginal, hyperemesis, hipertiroid dan gejala preeklamsi seperti hipertensi, protenuri,

edema dan hiperefleksia. Penatalaksanaan mola terdiri atas 4 tahap yaitu perbaikan

keadaan umum, pengeluaran jaringan mola, terapi profilaksis dengan sitostatika dan

follow up. Komplikasi yang dapat terjadi pada pasien mola hidatidosa berupa perforasi

uterus, perdarahan, DIC, kista lutein, emboli trofoblastik dsb. Prognosis tergantung

pada kecepatan diagnose dan ketepatan terapi.


25

DAFTAR PUSTAKA

Cunninngham. F.G. dkk. 2006. Mola Hidatidosa Penyakit Trofoblastik Gestasional


Obstetri Williams. Edisi 21. Vol 2. EGC: Jakarta.

Departemen Obstetri & Ginekologi FK UNPAD. 2015. Panduan Praktik Klinis


Obstetri dan Ginekologi. FK UNPAD: Bandung.

Prawirohadjo S, Wiknjosastro H. 2009. Mola Hidatidosa. Ilmu Kandungan. Yayasan


Bina Pustaka Sarwono Prawirohadjo: Jakarta

Sumapraja S, Martaadisoebrata D. 2011. Penyakit Serta Kelainan Plasenta dan Selaput


Janin, dalam: Ilmu Kebidanan, Edisi ketiga, Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawiroharjo: Jakarta

Anda mungkin juga menyukai

  • Daftar Isi
    Daftar Isi
    Dokumen1 halaman
    Daftar Isi
    Lena Wahyu Setianingsih
    Belum ada peringkat
  • Bab 1 Pendahuluan
    Bab 1 Pendahuluan
    Dokumen1 halaman
    Bab 1 Pendahuluan
    Lena Wahyu Setianingsih
    Belum ada peringkat
  • Daftar Isi
    Daftar Isi
    Dokumen1 halaman
    Daftar Isi
    Lena Wahyu Setianingsih
    Belum ada peringkat
  • Bab Iv Kesimpulan PDF
    Bab Iv Kesimpulan PDF
    Dokumen1 halaman
    Bab Iv Kesimpulan PDF
    Lena Wahyu Setianingsih
    Belum ada peringkat
  • Daftar Isi
    Daftar Isi
    Dokumen1 halaman
    Daftar Isi
    Lena Wahyu Setianingsih
    Belum ada peringkat
  • Bab 1 Pendahuluan
    Bab 1 Pendahuluan
    Dokumen1 halaman
    Bab 1 Pendahuluan
    Lena Wahyu Setianingsih
    Belum ada peringkat
  • Pdrug Anak
    Pdrug Anak
    Dokumen24 halaman
    Pdrug Anak
    Lena Wahyu Setianingsih
    Belum ada peringkat
  • BAB I Referat
    BAB I Referat
    Dokumen1 halaman
    BAB I Referat
    Lena Wahyu Setianingsih
    Belum ada peringkat
  • Daftar Isi
    Daftar Isi
    Dokumen1 halaman
    Daftar Isi
    Lena Wahyu Setianingsih
    Belum ada peringkat
  • Bab Ii
    Bab Ii
    Dokumen35 halaman
    Bab Ii
    Lena Wahyu Setianingsih
    Belum ada peringkat
  • Manual CSL II KONSELING BERHENTI MEROKOK
    Manual CSL II KONSELING BERHENTI MEROKOK
    Dokumen8 halaman
    Manual CSL II KONSELING BERHENTI MEROKOK
    Keyzhia Chikita
    Belum ada peringkat
  • Bab Ii
    Bab Ii
    Dokumen35 halaman
    Bab Ii
    Lena Wahyu Setianingsih
    Belum ada peringkat
  • BAB I Referat
    BAB I Referat
    Dokumen1 halaman
    BAB I Referat
    Lena Wahyu Setianingsih
    Belum ada peringkat
  • Bab Iii
    Bab Iii
    Dokumen1 halaman
    Bab Iii
    Lena Wahyu Setianingsih
    Belum ada peringkat
  • Hifema
    Hifema
    Dokumen64 halaman
    Hifema
    Lena Wahyu Setianingsih
    Belum ada peringkat
  • BAB 4 Kesimpulan
    BAB 4 Kesimpulan
    Dokumen1 halaman
    BAB 4 Kesimpulan
    Lena Wahyu Setianingsih
    Belum ada peringkat
  • Responsi PPOK OO
    Responsi PPOK OO
    Dokumen14 halaman
    Responsi PPOK OO
    Lena Wahyu Setianingsih
    Belum ada peringkat
  • Bab 2 Crao
    Bab 2 Crao
    Dokumen17 halaman
    Bab 2 Crao
    Lena Wahyu Setianingsih
    Belum ada peringkat
  • Hifema
    Hifema
    Dokumen27 halaman
    Hifema
    Lena Wahyu Setianingsih
    Belum ada peringkat
  • Bab 1 Pendahuluan
    Bab 1 Pendahuluan
    Dokumen1 halaman
    Bab 1 Pendahuluan
    Lena Wahyu Setianingsih
    Belum ada peringkat
  • Bab 1 Crao
    Bab 1 Crao
    Dokumen1 halaman
    Bab 1 Crao
    Lena Wahyu Setianingsih
    Belum ada peringkat
  • Bab 3 Crao
    Bab 3 Crao
    Dokumen1 halaman
    Bab 3 Crao
    Lena Wahyu Setianingsih
    Belum ada peringkat
  • Katarak
    Katarak
    Dokumen42 halaman
    Katarak
    Zainoor 'Ain Jamil
    88% (8)
  • BAB I Referat
    BAB I Referat
    Dokumen1 halaman
    BAB I Referat
    Lena Wahyu Setianingsih
    Belum ada peringkat
  • Bab Iii
    Bab Iii
    Dokumen1 halaman
    Bab Iii
    Lena Wahyu Setianingsih
    Belum ada peringkat
  • Referat Abortus Obgyn
    Referat Abortus Obgyn
    Dokumen29 halaman
    Referat Abortus Obgyn
    Lena Wahyu Setianingsih
    Belum ada peringkat
  • Benda Asing Konjungtiva
    Benda Asing Konjungtiva
    Dokumen10 halaman
    Benda Asing Konjungtiva
    wn jihan
    Belum ada peringkat
  • Miopia & Anisometrop
    Miopia & Anisometrop
    Dokumen25 halaman
    Miopia & Anisometrop
    Lena Wahyu Setianingsih
    Belum ada peringkat
  • Keratitis
    Keratitis
    Dokumen30 halaman
    Keratitis
    widya melianita
    Belum ada peringkat