Anda di halaman 1dari 35

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 LatarBelakang

Bronkiliotis sering mengenai anak usia di bawah 2 tahun dengan insiden tertinggi
pada bayi umur 6 bulan.Pada daerah yang penduduknya padat insiden bronkiolitis oleh
karena RSV terbanyak pada usia 2 bulan.2. Makin muda umur bayi menderita bronkiolitis
biasanya akan makin berat penyakitnya. Bayi yang menderita bronkiolitis berat mungkin
terjadi oleh karena kadar antibodi maternal (maternal neutralizing antibody) yang rendah.
Selain usia, bayi dan anak dengan penyakit jantung bawaan, bronchopulmonary dysplasia,
prematuritas, kelainan neurologis dan immunocompromizedmempunyai resiko yang lebih
besar untuk terjadinya penyakit yang lebih berat. Penyakit ini menimbulkan morbiditas
infeksi saluran napas bawah terbanyak pada anak.
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu
rektal di atas 380C) Tanpa adanya infeksi susunan saraf pusat gangguan elektrolit atau
metabolik lain. Kejang disertai demam pada bayi berusia kurang dari 1bulan tidak termasuk
dalam kejang demam. Setiap kejang kemungkinan dapat menimbulkan epilepsi dan trauma
pada otak, sehingga mencemaskan orang tua. Kejang demam terjadi pada 2-4 % populasi
anak. Tidak ada batasan usia yang spesifik, sering terjadi pada usia 6 bulan 3 tahun dengan
puncak usia 18 bulan kejang demam yang jarang terjadi pada usia < 1 bulan dan > 7 tahun
sebagian besar kejang demam sederhana. Kejang demam kompleks hanya berkisar 35 % lama
kejang yang berlangsung >15 menit hanya ditemukan 9%, terjadi berulang dalam 24 jam:
16% kasus.
HSV-Tipe I biasanya menginfeksi daerah mulut dan wajah (Oral Herpes), sedangkan
HSV-Tipe II biasanyamenginfeksi daerah genital dan sekitar anus (Genital Herpes).HSV-1
menyebabkan munculnyagelembung berisi cairan yang terasa nyeri pada mukosa mulut, wajah,
dan sekitar mata. HSV-2 atau herpes genital ditularkan melalui hubungan seksual dan
menyebakan gelembung berisi cairan yang terasa nyeri pada membrane mukosaalat kelamin.

1
I.2 TUJUAN PENULISAN

1. Penulisan persentasi kasus ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami tentang

penatalaksanaan kejang demam dengan bronkiolitis disertai dermatitis akibat infeksi

virus.

2. Memenuhi sebagian syarat mengikuti ujian Program Pendidikan Profesi di Bagian Ilmu

Kesehatan Anak RSUD Arjawinangun

2
BAB II

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS
Nama : An.M Nama ayah : Tn.S

Tempat dan : 9 bulan Umur : 24 tahun


tanggal lahir/Umur

Jenis kelamin : Laki-laki Pendidikan : SMP

Alamat : Tegal Karang Pekerjaan : wiraswasta

Nama ibu : Ny. T

Masuk RS : 03 April 2013 Umur : 20 tahun

No. CM : Pendidikan : SMP

Tgl. diperiksa : 03 April 2013 Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

II. ANAMNESIS
(alloanamnesis terhadap: ibu pasien tanggal 3 April 2013)

1. Keluhan Utama: kejang 1 kali

2. Riwayat Penyakit Sekarang:

Pasien datang ke UGD RSUD Arjawinangun dengan keluhan kejang sebanyak satu
kali dengan onset kurang lebih lima menit. Saat kejang, kedua tangan dan kaki kelojotan dan
mata mendelik ke atas. Setelah kejang, pasien langsung sadar. Sebelum kejang, pasien
mengalami demam di hari yang sama saat terjadinya kejang. Selain itu, pasien juga
mengalami mencret sebanyak 10 kali dalam 1 hari dengan konsistensi cair , berwarna kuning
dan berlendir. Tidak terdapat darah dan ampas. Pasien juga mengeluhkan flu dan batuk.
Setelah 3 hari menjalani perawatan di bangsal anak, pipi kanan pasien muncul koreng sebesar
biji jagung dengan pinggir aktif dan bagian tengah berwarna lebih terang dan bersisik.

3. Silsilah/Ikhtisar keturunan:

3
4. Riwayat Penyakit Dahulu:
Saat berusia 3 bulan pasien mengalami kejang sebanyak 1 kali kurang lebih selama 5
menit. Kedua tangan dan kaki kelojotan dan mata mendelik ke atas. Sebelum terjadinya
kejang, pasien mengalami demam dan batuk pilek satu hari sebelum terjadinya demam.

5. Riwayat Penyakit Keluarga:


Sepupu pasien juga pernah mengalami kejang demam.

6. Riwayat Pribadi:
Riwayat kehamilan:

Pemeriksaan kehamilan ke bidan secara teratur

Riwayat persalinan:

Usia kehamilan antara 38 minggu, lahir spontan oleh bidan dengan berat bayi
lahir 3700grdengan panjang 45cm, nilai APGAR 10.

Riwayat pasca lahir

Kontrol tumbuh kembang oleh anggota keluarga

7. Riwayat Makanan:
(sejak lahir s/d sekarang, kualitas dan kuantitas)

0-3 hari (susu formula)

3 hari-3 bulan (susu formula+pisang)

3-4 bulan (susu formula + makanan lunak)

4 bulan-6 bulan (makanan biasa yang dilumatkan)

6 bulan-9 bulan (makanan biasa)

4
8. Perkembangan:
(sejak lahir sampai sekarang)

Usia Motorik kasar Motorik halus Bicara Sosial

2 bulan Miring Belajar Tertawa Melihat sekitar


mengangkat
kepala

6 bulan Tengkurap Menggenggam Mengucap Memasukkan


suku kata- biskuit ke
belum jelas dalam mulut

7 bulan Mulai duduk Memegang Sudah bisa Berinteraksi


benda kecil mengucapkasu dengan orang
dengan ibu jari ku kata sekitar

9 bulan Mulai berdiri


sendiri Memegang mengucapkan Bermain
benda kecil papa-mama dengan orang
dengan ibu jari sekitarnya

9. Imunisasi:
(tempat imunisasi, berapa kali, pada usia berapa)

Belum pernah diimunisasi

10. Sosial Ekonomi dan Lingkungan


Sosial Ekonomi:
(penghasilan keluarga dan jumlah anggota keluarga yang dihidupi)

Pasien tinggal bersama ibu dan ayah kandung. Ayah seorang wiraswasta
dengan penghasilan yang tidak tentu, terbanyak Rp900.000,00 sebulan.

5
Lingkungan:
Ukuran rumah 95 m2, 2 kamar, ventilasi dan cahaya cukup, KM dan WC di
dalam rumah, sumber air sumur. Rumah berada di lingkungan padat
penduduk.

III. PEMERIKSAAN FISIS:

A. Pemeriksaan Umum:

1. Kesan Umum : tampak sakit sedang

2. Kesadaran : komposmentis

3. Tanda Utama :
Frekuensi nadi : 100x/menit, nadi teraba kuat, reguler, isi dan tegangan
cukup

Frekuensi napas : 35x/menit

Suhu : 38,50C per axilla

Tekanan darah : 90/70 mmHg

4. Status Gizi :

Klinis :

Antropometris:

Berat Badan (BB) : 8,4 kg

Tinggi/Panjang Badan(TB/PB) : 0,74 m

Lingkar kepala : 40 cm

Lingkar lengan atas : 17 cm

BB/U : 8,4/9 bulan = 10 %

TB/U : 74 cm/9 bulan = 90 %

BB/TB : 8,4 kg/9 bulan = 91 %

BMI : 17,1

Simpulan status gizi: Gizi baik

B. Pemeriksaan Khusus
1. Kulit : turgor baik

6
2. Kepala : rambut hitam, normocephal, kaku kuduk-

3. Mata : Konjungtiva anemis -/- , sklera ikterik -/-

4. Leher : tidak ada pembesaran kelenjar getah bening

5. Telinga : otore -

6. Hidung : discharge -/-

7. Tenggorok: tidak ditemukan tanda-tanda peradangan

8. Mulut : bibir kering, gusi berdarah

9. Dada :

a. Jantung
Inspeksi : tidak terlihat iktus kordis

Palpasi : teraba iktus kordis

Perkusi : terdengar suara redup

Auskultasi : bunyi jantung murni regular

Bunyi jantung I= Bunyi jantung II

Tidak terdapat suara tambahan seperti murmur ataupun gallop

b. Paru

Inspeksi : bentuk dada normal cembung, simetris saat statis dan


dinamis

Palpasi : fremitus taktil kanan dan kiri simetris, ketinggalan gerak(-)

Perkusi : paru pekak (dull)

7
Auskultasi : rhonki (+/+)
wheezing (+/+)

10. Abdomen

Inspeksi : datar

Palpasi : tidak terdapat nyeri tekan di 4 kuadran ,tidak terdapat


pembesaran hepar

Auskultasi : bising usus (+) Normal

Perkusi : timpani

11. Ekstremitas:

akral hangat, refleks dan kekuatan otot tidak diperiksa, refleks patologis -
tanda rangsang meningeal tidak diperiksa.

12. Anogenital

Laki-laki

(belum pubertas)

gambar I dan II. Terdapat Bintik merah pada bagian pipi kanan

IV. DATA LABORATORIUM


1. Darah rutin
1. Angka Leukosit : 15.000/ul
2. Hb : 12,1 g/dl
3. Ht : 38,1 %84 x 106/ul
4. Angka trombosit : 370.000/u

1. Urine rutin

8
Makroskopis : warna kuning muda, jernih, bau khas urine, pH 6.5, sedimen (-)

Mikroskopis : leukosit (-), eritrosit (-), bakteri (-), sedimen (-), epitel (-)

2. Feses rutin

Makroskopis : warna coklat, lunak, berlendir, bau khas feses

Mikroskopis : epitel (-), sisa makanan (+), lemak (-), eritrosit dan leukosit (-), benang
mukus (+)

V. RINGKASAN DATA DASAR

A . ANAMNESIS

Seorang anak datang dengan keluhan kejang sejak 1 hari yang lalu, sebelum
kejang anak mengalami demam disertai mencret yang lebih dari 10 kali. Pasien juga
mengeluhkan flu dan batuk.

B. PEMERIKSAAN FISIS
Pada pemeriksaan fisik ditemukan ronki dan wheezing.

C. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan darah tepi, pemeriksaan gula darah,

VI. DIAGNOSIS KERJA

-Kejang demam kompleks

-Suspect bronchiolitis

-Diare dengan dehidrasi ringan sedang

VII. DIAGNOSIS BANDING


-Meningitis
-Meningoensefalitis
-Bronkopneumoni

VIII. RENCANA PENGELOLAAN

A. Rencana Pemeriksaan

1. Pemeriksaan elektrolit

9
2. hitung jenis darah
3. AGD (Analisa Gas Darah)
4. Rontgen

B. Rencana Pengobatan dan diit


5. Medikamentosa
KAEN 3B 32 tpm
Antrain 3 x 90
Diazepam 3mg (kalo perlu)
Puyer batuk
Acyclovir
Cefotaxim 2 x 450

6. Suportif

a) Beri minum secukupnya atau oralit untuk mencegah dehidrasi


b) Berikan makanan lunak yang mudah dicerna
c) Tirah baring
7. Diit (Kebutuhan cairan, kalori, jenis makanan)
Kebutuhan cairan = 8,4 kg x 100kal = 840kkal makanan lunak

C. Rencana Pemantauan
Melakukan pemeriksaan laboratorium ulang sampai keadaan anak membaik
selama menjalani perawatan. Pemberian cairan RL 35 tpm mikro untuk
maintenance. Pantau tanda vital,pastikan demam turun dan awasi kejang lanjutan.

D. Rencana Edukasi
Primer:

- Bila anak demam, segera beri obat penurun panas dan kompres dengan air
hangat
- Bila terjadi kejang, jauh kan barang-barang berbahaya dari jangkauan anak.
Saat kejang terjadi letakkan benda tumpul seperti sendok di mulut pasien agar
bibir tidak tergigit dan jangan beri minum sedikit sekalipun.
- Saat anak mengalami diare, beri oralit
Sekunder:

Saat terjadi kejang demam dan diare dengan dehidrasi ringan sedang
segeradibawa ke Rumah Sakit
Penderita banyak minum sekitar 1,5 sampai 2 liter air dalam 24 jam

10
IX. PROGNOSIS

Quo ad vitam : dubia ad bonam


Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad sanactionam : dubia ad bonam

Follow up I

Tanggal 8 April 2013

Pasien masih dalam keadaan batuk disertai sesak nafas. Keadaan umum pasien
tampak sakit sedang, kesadaran komposmentis, frekuensi nadi 120x/menit, isi cukup dan
teratur, frekuensi nafas 22x/menit, suhu 36oC.

Pada pemeriksaan fisik, kepala normocephale, tidak terdapat konjungtiva anemis,


tidak terdapat sklera ikterik. Pada pipi kanan terdapat kelainan kulit sebesar biji jagung yang
berisi cairan jernih. Leher tidak ada pembesaran kelenjar getah bening. Thorakx cembung
normal, simetris dalam keadaan statis dan dinamis. Bunyi jantung I=bunyi jantung II tidak
terdengar murmur dan tidak ada gallop. Pulmonal terdengar bunyi ronki dan wheezing.
Abdomen datar lembut, bising usus + normal dan tidak terdapat nyeri tekan. Genitalia tidak
ada kelainan. Ekstremitas akral teraba hangat dan tidak ada edeme.

Follow up II

Tanggal 9 April 2013

Pasien masih dalam keadaan batuk disertai sesak nafas, keadaan umum pasien tampak
sakit sedang, kesadaran komposmentis, frekuensi nadi 110x/menit, isi cukup dan teratur,
frekuensi nafas 20x/menit, suhu 36.50c.

Pada pemeriksaan fisik, kepala normocephale, tidak terdapat konjungtiva anemis,


tidak terdapat sklera ikterik. Pada pipi kanan terdapat kelainan kulit sebesar biji jagung yang
berisi cairan jernih. Leher tidak ada pembesaran kelenjar getah bening. Thorakx cembung
normal, simetris dalam keadaan statis dan dinamis. Bunyi jantung I=bunyi jantung II tidak
terdengar murmur dan tidak ada gallop. Pulmonal terdengar bunyi ronki dan wheezing.
Abdomen datar lembut, bising usus + normal dan tidak terdapat nyeri tekan. Genitalia tidak
ada kelainan. Ekstremitas akral teraba hangat dan tidak ada edeme.

Follow up III

Tanggal 10 April 2013

11
Pasien masih dalam keadaan batuk tidak sesak nafas, keadaan umum pasien tampak
sakit sedang, kesadaran komposmentis, frekuensi nadi 110x/menit, isi cukup dan teratur,
frekuensi nafas 20x/menit, suhu 36.20c.

Pada pemeriksaan fisik, kepala normocephale, tidak terdapat konjungtiva anemis,


tidak terdapat sklera ikterik. pada pipi kanan terdapat kelainan kulit sebesar biji jagung yang
berisi cairan jernih. Leher tidak ada pembesaran kelenjar getah bening. Thorakx cembung
normal, simetris dalam keadaan statis dan dinamis. Bunyi jantung I=bunyi jantung II tidak
terdengar murmur dan tidak ada gallop. Pulmonal tidak terdengar bunyi ronki dan
wheezing. Abdomen datar lembut, bising usus + normal dan tidak terdapat nyeri tekan.
Genitalia tidak ada kelainan. Ekstremitas akral teraba hangat dan tidak ada edeme.

Follow up IV

Tanggal 11 April 2013

Pasien sudah tidak ada batuk dan tidak ada sesak nafas, keadaan umum pasien sudah
membaik, kesadaran komposmentis, frekuensi nadi 120x/menit, isi cukup dan teratur,
frekuensi nafas 20x/menit, suhu 360c.

Pada pemeriksaan fisik, kepala normocephale, tidak terdapat konjungtiva anemis,


tidak terdapat sklera ikterik. pada pipi kanan terdapat kelainan kulit sebesar biji jagung yang
berisi cairan jernih. Leher tidak ada pembesaran kelenjar getah bening. Thorakx cembung
normal, simetris dalam keadaan statis dan dinamis. Bunyi jantung I=bunyi jantung II tidak
terdengar murmur dan tidak ada gallop. Pulmonal tidak terdengar bunyi ronki dan
wheezing. Abdomen datar lembut, bising usus + normal dan tidak terdapat nyeri tekan.
Genitalia tidak ada kelainan. Ekstremitas akral teraba hangat dan tidak ada edeme.

12
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

DEFINISI

Bronkiolitis adalah penyakit inflamasi akut dari saluran atas dan bawah menyebabkan
obstruksi dari saluran napas kecil.

ETIOLOGI

Respiratory Syncytial Virus (RSV) adalah agen yang paling sering yang ditemukan
dalam isolasi sebanyak 75% pada anak-anak kurang dari 2 tahun yang menderita bronkiolitis
dan dirawat di rumah sakit. Penyebab lain yang menyebabkan bronkiolitis termasuk di
dalamnya adalah virus parainfluenza tipe 1 dan 3, influenza B, parainfluenza tipe 2,
adenovirus tipe 1, 2, 5 dan micoplasma yang paling sering pada anak-anak usia sekolah.
Terdapat pembuktian bahwa komplek imunologis yang memainkan peranan penting dari
patogenesis bronkiolitis dengan RSV. Reaksi alergi tipe 1 dimediasi oleh antibodi IgE hal ini
dapat dihitung untuk signifikasi dari bronkiolitis. Bayi yang meminum ASI dengan kolustrum
tinggi yang di dalamnya terdapat IgA tampaknya lebih relatif terproteksi dari bronkiolitis.
Adenovirus dapat dihubungkan dengan komplikasi jangka lama, termasuk bronkiolitis
obliterans dan sindrom paru hiperlusen unilateral (sindrom Sywer-James).

Virus sinsisial respiratorik

Respiratory Syncytial Virus (RSV) adalah virus RNA terkat membran berukuran medium
yang berkembang dalam sitoplasma sel yang terinfeksi dan matang dengan pertunasan dari
membran plasma. Berbagai strain RSV emnunjukkan beberapa heterogenitas antigenik.
Variasi ini terutama ditemukan pada hanya satu dari dua glikoprotein permukaan dari virus
menunjukkan reaksi pada hospes manusia seperti satu serotip. RSV menghasilkan
sitopatologis sinsisial khas dalam biakan jaringan spesimen dikirim dengan cepat dalam es
basah karena labil.

Adenovirus

Adenovirus adalah virus DBA ukuran sedang, yang diklasifikasikan menjadi subgenus A
sampai G. Tipe 1-39 ada dalam subgenus A sampai E, tipe 40 adalah subgenus F dan tipe 41
adalah subgenus G, virion mempunyai pembungkus ikosahedral yang tersusun dari berbagai
protein, yang paling berlebihan darinya adalah hexon, antigen biasa yang bereaksi silang
dengan semua adenovirus mamalia. Penton memberi spesifisitas tipe dan antibodi
terhadapnya adalah protektif. Penton ini juga sitotoksik pada biakan jaringan dan sifat
sofatoksik telah dianggap berasalh darinya juga in vivo. Adenovirus dapat juga
diklasifikasikan dengan mencetakkan sidik jadi DNA-nya pada jelli sesudah terdigesti
dengan pembatasan endonuklease dan klasifikasi ini biasanya sesuai dengan tipe-tipe
antigeniknya.

13
Semua tipe adenovirus kecuali tipe 40 dan 41 tumbuh dalam sel ginjal embrional manusia
primer dan kebanyakan tumbuh pada sel Hep-2 atau HeLa, menghasilkan pengaruh sitopatik,
destruksi khas. Tipe 40 dan 41 (dan serotip lain juga), tumbuh pada 293 sel, deretan sel ginjal
embrional manusia yang kepadanya telah dimasukkan genus adenovirus awal tertentu.

Banyak tipe adenovirus tetapi terutama tipe anak biasa (1, 2 dan 5), dilepas selama masa
yang panjang dari saluran pernapasan maupun saluran cerna. Tipe ini juga menyebabkan
infeksi tonsil ringan dan kronik.

Virus parainflueza

Ada empat virus dalam famili parainfluenza yang menyebabkan sakit pada manusia
ditandai tipe 1-4. Virus ini mempunyai genom RNA helai tunggal, tidak bersegmen dengan
pembungkus mengandung lipid yang berasal dari pertunasan melalui membran sel. Bagian
antigenik utama adalah tonjolan-tonjolan protein pembungkus yang menunjukkan sifat-sifat
hemaglutinasi (protein HN) dan fusi sel (protein F).

KLASIFIKASI

Bronkiolitis dapat diklasifikasikan menjadi:

Bronkiolitis akut
Bronkiolitis obliterans

Bronkiolitis akut dengan bronkiolitis obliterans dibedakan pada bronkiolus dan saluran
pernapasan yang lebih kecil terjejas karena upaya perbaikan menyebabkan sejumlah besar
jaringan granulasi yang menyababkan obstruksi jalan napas, lumen jalan napas terobliterasi
oleh masa noduler granulasi dan fibrosis. Bronkiolitis obliterans merupakan komplikasi yang
lazim pada transplantasi paru.

EPIDEMIOLOGI

Epidemi dari RSV berkembang pada iklim dengan musim hujan dan menjelang
kemarau dan biasanya juga muncul pada musim yang bersamaan dengan menjangkitnya
parainfluenza. Terdapat bukti bahwa RSV endemik di daerah subtropis dari Asia Tenggara
sepanjang tahun dan memuncak antara bulan Oktober sampai Februari dan berkurang pada
bulan Maret sampai Juli. Dua dari sub tipe RSV telah diketahui, yaitu tipe A dan tipe B,
dengan tipe yang paling sering menyebabkan infeksi yang berat. Tipe B biasanya
mendominasi apabila tipe A tidak dalam musim endemi. Penyakit ini sangat menular,
penularan disebarkan melalui sekresi hidung yang keluar dan sangat menular pada hari ke-6
sampai hari ke-21 setelah gejala muncul. Waktu intubasi antara 2 5 hari. Infeksi terjadi
pada anggota keluarga sebanyak 45% pada bayi yang dirawat di rumah sakit tetapi tidak
terinfeksi. Infeksi menyebar melalui muntahan dan penggunaan sarung tangan, sedangkan
baju khusus dapat mengurangi penyebaran infeksi nosokomial. Sebanyak 25% anak umur di
14
bawah 1 tahun dan 13% anak umur antara 1 sampai 2 tahun akan mendapatkan infeksi
saluran napas. Separuh dari angka tersebut didapatkan gejala bersin yang diasosiasikan
dengan infeksi saluran napas. RSV dapat ditemukan pada kultur pasien yang dirawat di
rumah sakit yang menderita infeksi tersebut dan 80%-nya berumur kurang dari 6 bulan. Di
antaranya bayi yang sehat 80% dirawat di rumah sakit pada tahun pertama kehidupannya dan
sekitar 50% perawatan di rumah sakit adalah bayi antara umur 1 -3 bulan. Kurang dari 5%
perawatan di rumah sakit pada neonatus, kemungkinan dengan adanya antibodi yang masih
terdapat dari tranplasental-maternal. Faktor penyebab untuk berat badan lahir rendah,
prematuritas, sosio-ekonomi rendah, hidup di daerah padat, orang tua perokok, tidak
diberikan ASI eksklusif dan perawatan harian.

Pada satu laporan, pemeriksaan fungsi paru yang canggih dilakukan terhadap populasi
besar bayi-bayi normal. Analisis tidak lanjut menunjukkan bahwa penyakit paru mengi secara
bermakna lebih lazim dijumpai pada bayi hantaran pernapasan total awalnya ada pada
sepertiga terendah dari mereka yang diuji. Penurunan fungsi paru dapat memainkan oeran
penting dalam menentukan bayi mana yang dengan infeksi virus yang akan berkembang
bronkiolitis.

PATOGENESIS

Bronkiolitis akut ditandai dengan obstruksi bronkiolus yang disebabkan oleh edema
dan kumpulan mukus dan oleh invasi bagian-bagian bronkus yang lebih kecil oleh virus.
Karena tahanan atau resistensi terjadap aliran udara di dalam saluran besarnya berbanding
terbalik dengan radius atau jari-jari pangkat empat, maka penebalan yang sedikit sekali pun
pada dinding bronkiolus bayi dapat sangat mempengaruhi aliran udara. Tahanan pada saluran
udara kecil bertambah selama fase inspirasi dan ekspirasi, namun karena selama ekspirasi
jalan napas menjadi lebih kecil, maka hasilnya adalah obstruksi pernapasan katup yang
menimbulkan udara terperangkap dan overinflasi. Atelektasis dapat terjadi ketika obstruksi
menjadi total dab ydara yang terperangkap diabsorpsi.

Beberapa fakta memberi kesan cidera imunologis sebagai faktor-faktor pada patogenesis
bronkiolitis yang disebabkan RSV:

a. Bayi yang sekarat karena bronkitis telah menunjukkan imunoglobin maupun virus
dala jaringan bronkiolus yang terjejas;
b. Anak yang mendapat vaksin RSV yang diberikan secara parenteral sangat antigenik,
inaktif pada pemajanan RSV berikutnya, penyakitnya menjadi lebih berat dan lebih
sering kambuh dibandingkan anak-anak lainnya;
c. Bronkiolitis yang bergabung dalam asma pada bayi yang lebih tua dan RSV seringkali
merupakan serangan asma akut yang dikenali pada anak usia 1 5 tahun; dan
d. Antibodi imunoglobin E (IgE) yang mengarah langsung ke RSV ditemukan pada
sekresi konvalesen pad abayi dengan bronkiolitis

15
Di samping pengaruh destruktif virus dan respon hospes yang menyertai, belum jelas
peran apa yang dimainkan oleh bakteri yang menumpanginya. Pada kebanyakan bayi dengan
bronkiolitis, dengan atau tanpa pneumonia interstitial, pengalaman klinis memberi kesan
bahwa bakteri memainkan peran yang tidak berarti.

Penyakit ini juga berkembang pada bayi-bayi yangbiasanya terdapat titer antibodi
maternal (IgG) menetralkan SCV tetapi tidak terdapat antibodi sekretorik (IgA) pada saluran
napas sehingga terdapat pada sekret hidung yang memproteksi terhadap infeksi RSV. Fakta
tersebut telah mengarah ke spekulasi bahwa fakta tersebut penyebab alamiah terjadinya
bronkiolitis.

Berbeda antara bayi, anak besar dan orang dewasa dapat mentoleransi edema saluran
napas dengan lebih baik. Oleh karena itu, pada anak besar dan orang dewasa jarang terjadi
bronkiolitis bila terkena infeksi oleh virus. Ada pendapat bahwa bronkiolitis merupakan hasil
dari reaksi kompleks imun antara antibodi dengan virus. Pendapat tersebut berdasarkan
pengamatan di mana terjadinya infeksi oleh virus ketika umur masih muda, terutama kurang
dari 6 bulan. Saat itu, antibodi yang secara pasif didapatkan dari ibu masih cukup tinggi.

MANIFESTASI KLINIK

Bronkiolitis Akut

Mula-mula bayi mendapatkan infeksi saluran napas ringan berupa pilek encer, batuk,
bersin-bersin dan kadang-kadang demam. Gejala ini berlangsung beberapa hari, kemudian
timbul distres respirasi yang ditandai oleh batuk paroksimal, mengi, dispneu dan iritabel.
Timbulnya kesulitan minum terjadi karena napas cepat sehingga menghalangi proses menelan
dan menghisap. Pada kasus ringan, gejala menghilang 1 3 hari. Pada kasus berat, gejalanya
dapat timbul beberapa hari dan perjalanannya sangat cepat. Kadang-kadang, bayi tidak
demam sama sekali, bahkan hipotermi. Terjadi distres pernapasan dengan frekuensi napas 60
kali per menit, terdapat napas cuping hidung, penggunaan otot pernapasan tambahan, retraksi
dan kadang-kadang sianosis. Retraksi biasanya tidak dalam karena adanya hiperinflasi paru
(terperangkapnya udara dalam paru). Hepar dan lien bisa teraba karena terdorong diafragma
akibat hiperinflasi paru. Mungkin terdengar ronki pada akhir inspirasi dan awal ekspirasi.
Ekspirasi memanjang dan mengi kadang-kadang terdengar dengan jelas.

Gambaran radiologik biasanya normal atau hiperinflasi paru, diameter anteroposterior


meningkat pada foto lateral. Kadang-kadang ditemukan bercak-bercak pemadatan akibat
atelektasis sekunder terhadap obstruksi atau inflamasi alveolus. Leukosit dan hitung jenis
biasanya dalam batas normal. Limfopenia yang sering ditemukan pada infeksi virus lain
jarang ditemukan pada bronkiolitis. Pada keadaan yang berat, gambaran analisis gas darah
akan menunjukkan hiperkapnia karena karbondioksida tidak dapat dikeluarkan akibat edema
dan hipersekresi bronkiolus.

16
Bronkiolitis Obliterans

Bronkiolitis obliterans adalah suatu peradangan kronik pada bronkiolitis dimana


sudah terjadi obliterasi pada bronkiolus. Pada mulanya dapat terjadi batuk, kegawatan
pernapasan, sianosis dan disertai dengan periode perbaikan nyata dan singkat. Penyakit yang
progresif terlihat dengan bertambahnya dispneu, batuk, produksi sputum dan mengi. Polanya
dapat menyerupai bronkitis, bronkiolitis atau pneumonia. Temuan rontgenografi dada
berkisar dari normal sampai pola yang memberi kesan tuberkulosis milier. Sindrom Swyer
James dapat berkembangnya dengan dijumpainya hiperlusensi unilateral dan pengurangan
corak pembuluh darah paru pada sekitar 10% kasus. Bronkografi menunjukkan obstruksi
bronkiolus dengan sedikit atau tidak ada bahan kontras yang mencapai perifer paru.
Tomografi terkomputasi dapat menunjukkan bronkietasia yang terjadi pada banyak penderita.
Temuan-temuan uji fungsi paru bervariasi, yang paling sering adalah obstruksi berat, namun
demikian retraksi atau kombinasi obstruksi dan retraksi dapat ditemukan. Diagnosis dapat
dikonfirmasikan melalui biopsi paru.

FAKTOR RISIKO

Salah satu faktor risiko yang terbesar untuk menjadi bronkiolitis pada umur kurang dari 6
bulan sebab paru-paru dan sistem kekebalan tidak secara penuh berkembang dengan baik.
Anak laki-laki cenderung untuk mendapatkan brokiolitis lebih sering dibanding anak-anak
perempuan. Faktor lain yang telah dihubungkan dengan peningkatan risiko bronkiolitis pada
anak-anak meliputi:

A. Tidak pernah diberi air susu ibu sehingga tidak menerima perlindungan kekebalan
dari ibu
B. Kelahiran prematur
C. Pajanan asap rokok
D. Sering dititipkan pada tempat banyak bayi-bayi contoh tempat penitipan anak, panti
asuhan
E. Saudara kandung lebih tua dengan kontak infeksi dari sekolah atau tempat bermain

Bayi dengan ibu perokok pasif mempunyai peningkatan risiko infeksi RSV dengan suatu
perbandingan rintangan dilaporkan 3.87 untuk itu telah banyak studi atas efek dari perokok
pasif pada penyakit yang berhubungan dengan pernapasan di bayi dan anak-anak. Di dalam
suatu tinjauan ulang yang sistematis dari perokok pasif dan infeksi saluran napas bawah pada
bayi dan anak-anak, Strachan dan Cook menunjukkan suatu perbandingan digabungkan daro
1.57 jika kedua orang tua perokok dan suatu perbandingan dari 1.72 jika ibu yang merokok.

Air susu ibu (ASI) telah menunjukkan mempunyai faktor kebal terhadap RSV yang
mencakup immunoglobin G dan suatu antibodi 160 dan interferon-161. ASI telah pula
ditunjukkan untuk menetralkan aktivitas melawan terhadap RSV. Di satu studi merujukan ke
rumah sakit yang relatif dengan RSV adalah anak-anak yang tidak diberi ASI. Di dalam studi

17
lain, 8 (7%) dari 115 anak-anak diopname dengan infeksi RSV adalah disusui dan 46 (27%)
dari 167 pasien sebagai kendali disusui.

Suatu metaanalisis hubungan menyusui dengan opname untuk infeksi saluran napas
bawah di (dalam) awal kelahiran menguji 33 studi, semua dari yang menunjukkan suatu
asosiasi bersifat melindungi antara menyusui dan risiko opname untuk infeksi saluran napas
bawah. Sembilan studi dijumpai pada semua ukuran-ukuran pemasukan analisa. Kesimpulan
adalah bahwa bayi yang tidak disusui ASI hampir meningkatkan risiko tiga kali lipat lebih
besar diopname untuk infeksi saluran napas bawah dibanding yang disusui ASI eksklusif
untuk 4 bulan (perbandingan risiko: 0.28).

DIAGNOSIS

Bronkiolitis adalah diagnosa klinis. Keterlibatan RSV pada setiap penyakit anak
tertentu dapat dicurigai pada berbagai tingkat kepastian dari musim tahunan dan adanya
wabah khas pada saat tersebut. Tanda lain yang mungkin membantu adalah umur anak (selain
RSV, satu-satunya virus respiratori yang sering menyerang bayi umur beberapa bulan
pertama adalah virus parainfluenza tipe 3) dan epidemiologi keluarga.

Masalah terbesar dalam diagnostik bronkiolitis adalah adanya kemungkinan


keterlibatan infeksi bersama dengan bakteri atau klamidia. Bila bronkiolitis ringan atau
infiltrat tidak tampak pada rontgen, ada kemungkinan infeksi komponen dengan bakteri. Pada
bayi usia 1 4 bulan, pneumonitis interstisial dapat disebabkan oleh klamidia trakhomatis.
Pada keadaan ini mungkin riwayat konjunctivitis dan penyakit cenderung subakut. Terdapat
keluhan batuk sering tetapi tidak ada mengi dan tanpa demam.

Konsolidasi tanpa tanda-tanda lain atau dengan efusi pleura dianggap berasal dari
bakteri sampai terbukti lain. Tanda-tanda lain yang mengarah pada pneumonia bakteri adalah
kenaikan angka neutrofil, depresi jumlah sel darah putih bila ada penyakit berat, ileus atau
tanda-tanda perut lain, demam tinggi dan kolaps sirkulasi.

Diagnosis pasti infeksi RSV didasarkan pada deteksi virus atau antigen virus dalam
sekresi pernapasan. Spesimen harus diletakkan di atas es dan langsung dibawa ke
laboratorium untuk diproses dengan deteksi antigen atau ditanamkan pada suatu sek yang
rentan. Aspirat mukus dari lubang hidung posterior (nasal washing) merupakan spesimen
yang optimal. Pulasan nasofaring atau tenggorok juga dapat diterima, aspirat trakea tidak
perlu.

DIAGNOSIS BANDING

Keadaan yang paling lazim untuk diagnosis banding bronkiolitis akut adalah asma,
satu atau lebih dari yang berikut ini mendukung diagnosis asma, riwayat keluarga asma,
episod berulang kali pada bayi yang samam mulainya mendadak tanpa infeksi yang

18
mendahului, ekspirasi sangat memanjang, eosinofilia dan respons perbaikan segera pada
pemberian satu dosis albuterol aerosol. Serangan berulang menggambarkan titil pembeda
yang penting kurang dari 5% serangan berulang bronkiolitis klinis mempunyai penyebab
infeksi virus. Wujud lain yang dapat terancukan dengan bronkiolitis akut adalah gagal
jantung kongesif, benda asing di dalam trakea, pertusis, keracunan organofosfat, kistik
fibrosis dan bronkopneumonia bakteri yang disertai dengan overinflasi paru obstruktif
menyeluruh.

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Darah lengkap

Dengan hitungan jumlah sel darah lengkap jarang bermanfaat karena sel darah putih pada
umumnya di dalam batas normal atau naik dan hitung jenis mungkin normal atau bergeser ke
kanan atau ke kiri

Urin

Berat jenis urin dapat menyediakan informasi bermanfaat mengenai keseimbangan cairan dan
kemungkinan dehidrasi

Serum darah

Kimia serum darah tidaklah terpengaruh secara langsung oleh infeksi atau peradangan tetapi
dapat membantu menebak beratnya derajar dehidrasi

Analisis gas darah

Analisis gas darah mungkin diperlukan pada pasien yang sakitnya berat, terutama yang
menuntut ventilasi mekanik atau buatan

Radiologi

Foto sinar X dada cukup diperlukan meliputi foto anterior-posterior dan lateral, dapat terlihat
gambaran (tergantung berat ringannya penyakit)

o Hiperinflasi dan infiltrat yang tertutup, gambaran ini adalah nonspesifik dan mungkin
juga dapat pada gambaran pasien dengan sakit asma, pneumonia yang tidak lazim
atau karena virus dan aspirasi cairan
o Atelektasis fokal
o Gambaran udara yang terperangkap
o Gambaran sekat diafragma yang rata
o Peningkatan gambaran garis tengah antero-posterior
o Peribronchial Cuffing
o Foto sinar X dapat juga mengungkapkan bukti alternatif untuk diagnosa banding,
seperti pneumonia lobaris, gagal jantung kongetsif atau aspirasi benda asing

19
Pemeriksaan lainnya:
o Antigen Test pada nasal wash dapat mengungkap dengan cepat (pada umumnya di
dalam 30 menit) dan akurat (kepekaan 87% - 91%, ketegasan 96% - 100%) dalam
pendeteksian RSV
o Kultur positif dengan direct flourescent antibody, test hasil percobaan
mengkonfirmasikan infeksi karena RSV
o Nasal washing test harus diperoleh dari anak-anak yang diperlukan opname dan anak-
anak yang berhadapan dengan risiko berat
o Kultur RSV lebih sedikit sensitif (60%) tetapi spesifisitas mencapai 100%
o Panel karena virus yang berhubungan dengan pernapasan, kultur untuk RSV atau
virus lain atau pendeteksian dengan polymerase chain reaction mungkin bermanfaat
untuk pertimbangan yang berikut:
o Sebagai pemeriksaan konfirmasi lainnya
o Untuk mencari agen lain infeksius yang lain
o Karena tujuan epidemiologik

PENATALAKSANAAN DAN PENGOBATAN

Penatalaksanaan

Bayi umur kurang dari 6 bulan dengan bronkiolitis akut dan distress pernapasan
sebaiknya dirawat di rumah sakit bila ditemukan kadar Sp02 kurang dari 92%, tidak dapat
mempertahankan hidrasi oral dan mengingkatkan angka respirasi atau mempunyai riwayat
penyakit kardio-respiratori yang kronik. Desaturasi di 40% 02 (3 4 l/menit) biasanya
muncul sianosis, gejala ekstra pulmonal, apnea dan asidosis merupakan tanda bayi di rawat di
ruang rawat intensif. Hipoksemia merupakan tanda kelainan laboratorium yang tampak untuk
itu diperlukan tambahan oksigen bagi pasien. Arah utama untuk pengobatan pasien dengan
bronkiolitis adalah dengan penggantian cairan dan suplemen cairan. Pada pasien tersebut
biasanya mengalami dehidrasi ringan dikarenakan berkurangnya asupan cairan dan banyak
kehilangan cairan melalui demam dan takipnea. Penggunaan cairan tambahan agar diawasi
agar tidak terbentuknya formasi edema paru. Terapi suportif adalah mendeteksi cepat bila ada
apnea dan memberikan perhatian khusus terhadap demam pada neonatus.

Pengobatan

Bronkodilator

Penggunaan bronkodilator merupakan kontroversi pada neonatus dan bayi. Pad atahun
1993 editorial dari Lancet masih tidak memperkenankan penggunaan bronkodilator pada
pasien-pasien bronkiolitis yang jelas tidak efektif. Kellner dkk, menyimpulkan bahwa
terdapat peningkatan ringan dari perbaikan sementara pada pasien dengan bronkiolitis sedang
sampai berat.

20
Kortikosteroid

Di samping aturan utama inflamasi sebagai patogenesis terjadinya sumbatan saluran


napas, kortikosteroid sebagai anti inflamasi tidak terbukti menguntungkan untuk
meningkatkan statusklinis pada studi klinis multi-instusional. Dibuktikan dalam penelitian
yang ada maka penggunaan dexamethasone atau glukokortikosteroid lain pada anak-anak
tidak dapat didukung. Nebulasi epinefrin (0.1 g/kgBB) ditemukan leih efektif daripada B-
agonis salbutamol pad abayi dengan bronkiolitis akut. Pada studi yang dilakukan Henderson
dkk, tidak ditemukannya peningkatan signifikan fungsi respirasi pada penggunaan inhalasi
adrenalin. Kesimpulan yang didapat bahwa adrenalin inhalasi tidak mengurangi obstruksi
saluran napas. Berdasarkan percobaan acak terkontrol untuk membandingkan subkutaneus
epinefrin dan nebulisasi epinefrin dengan plasebo ditemuakn peningkatan yang signifikan
pada pasien yang diterapi dengan epinefrin dalam hal peningkatan perbaikan oksigenasi dan
tanda klinis

Antikolinergik

Ipratropium bromide adalah zat antikolinergik dalam bentuk aerosol, tidak dapat
menunjukkan bukti dapat membantu dalam manajemen dari bayi yang sakit. Hal ini
menunjukkan tidak ada keuntungan klinis dibandingkan dengan pengobatan albuterol
tersendiri pada kasus bronkiolitis sedang sampai berat.

Antibiotik

Virus adalah etiologi utama pada bronkiolitis untuk itu penggunaan rutin dari
antibiotik sebaiknya dihindari untuk penyakit ini. Apabila bayi mengarah ke arah lebih buruk
dan menunjukkan kenaikkan dari hitung sel darah putih kedepannya menunjukkan tanda-
tanda sepsis, selanjutnya kultur bakteri dari darah, urin dan Liquor Cerebro Spinal (LCS)
sebaiknya diambil dan di follow up segera dengan pemberian antibiotik spektrum luas.
Penelitian yang dilakukan oleh Kupperman dkk, dari 156 bayi di bawah umur 24 bulan yang
sebelumnya sehat dengan sedikit demam dan menderita bronkiolitis, menunjukkan bahwa
bayi-bayi ini mau tidak mau menderita bakteremia dan menderita infeksi saluran kemih.
Penggunaan rutin dari antibiotik tidak menunjukkan perbaikan dari bronkiolitis.

Heliox

Heliox (campuran antara helium dengan oksigen) telah digunakan pada pasien asma
akut telah ada laporan kasus ang menyatakan dan menjelaskan tentang penggunaan heliox
pada bayi laki-laki umur 4 bulan dengan bronkiolitis positif RSV. Heliox mungkin
bermanfaat sebagai tambahan untuk terapi konvensional pada pasien bronkiolitis dalam
keadaan kritis. Bagaimana pun studi klinis dari terapi ini sangat diperlukan untuk mengetahui
keefektifan terapi ini. Hal ini dimungkinkan bahwa heliox dengan terapi nebulisasi dapat
sangat berguna pada bayi dengan bronkiolitis berat atau pasien terpasang intubasi dan tidak
merespon dengan terapi konvensional.

21
Ventilasi mekanik

Bayi dengan bronkiolitis kadang-kadang memerlukan ventilasi mekanik khususnya


pada kasus apneu berulang atau peningkatan usaha napas gagal napas. Terapi pada pasien
seperti ini adalah terapi suportif dengan pemberian oksigen yang adekuat baik Continous
Positive Airway Pressure (CPAP) dan Intermitent Mandattory Ventilation (IMV) dengan
Possitive End-distending Pressure (PEEP) telah digunakan dan sukses sebagai terapi pada
bayi tersebut. Pemberian susu pada hari ke-2 sampai ke-3 biasanya tidak suskes setelah
kesakitan berkurang, untuk itu pemberian susu dilakukan segera. Bayi dengan hipeksemia
progresif tidak merespon ventilasi konvensional biasanya merespon penggunaan ventilasi
frekuensi tinggi. Eksperimen terapi terkini untuk bayi dengan insufisiensi pulmonal dari
bronkiolitis meliputi surfaktan dan nitrit oksida.

Antivirus (Ribavirin)

Ribavirin (1 beta-D-ribafuranosyl-1,2,4-triazole-3-carbox-amide) adalah analog


nuklrosida sintetik yang menggabungkan guanosin dan inosin tampaknya dibuat untuk
mempengaruhi RNA massenger dan menghambat sintesis protein virus. Ribavirin
mempunyai spektrum luas aktivitas antiviral in vitro. Terapi ribavirin untuk infeksi RSV
masih kontroversial dikarenakan msaih ada penggunaan aerosol, harga yang relatif mahal,
toksisitas dan efek sampingnya.

Saat ini rekomendasi dari American Academy of Pediatrics (AAP) terapi dengan ribavirin
aerosol sedang didipertimbangkan untuk bayi-bayi dengan risiko tinggi penderita penyakit
karena RSV:

a. Di antara pasien dengan komplikasi penyakit jantung kongenitak termasuk di


dalamnya hipertensi portal, displasia bronkopulmonar, kistik fibrosis dan penyakit
paru kronik lainnya
b. Pasien yang menderita penyakit yang didasari oleh penyakit imun
c. Pasien yang dirawat di rumah sakit dengan umur kurang dari 6 minggu dengan
penyakit penyerta seperti anomali kongenital multipel atau penyakit neurologi
metabolik

Kesimpulannya ribavirin merupakan terapi yang aman tetapi mahal, efisiensi dan
keefektifannya tidak tampak jelas menunjukkan dalam penelitian. Penggunaan ribavirin
secara rutin pada saat ini kurang direkomendasikan.

PENCEGAHAN

Penyebaran dari RSV kemungkinan terjadi karena kontak angsung dengan sekret
pasien yang terinfeksi. Pencegahan penting pada staf rumah sakit seperti perhatian khusus
terhadap kebersihan sekret pasien dan kebersihan badan petugas rumah sakit tampaknya
dapat mengurangi penyebaran RSV di rumah sakit. Saat ini menggunakan RSV
imunoglobulin intra vena pada dosis tinggi (500 750 mg/kgBB) tampaknya dapat mencegah
RSV pada pasien risiko tinggi sebagai tambahan RSV imunoglobulin intra venus dalam

22
bentuk aerosol dapat memberikan keuntungan pada pasien dengan bronkiolitis karena RSV.
Dalam penelitian baru oleh Rimensberger, dkk., menyimpulkan bahwa dosis tunggal RSV
imunoglobulin intra vena (0,1 gr/kgBB) tidak menunjukkan keuntungan untuk bronkiolitis
akut karena RSV. Saat ini tampaknya ada kerugian yang ditimbulkan oleh penggunaan
human polyclonal RSV imunoglobulin antibodi spesifik pada bayi. Hal ini meliputi
penggunaan secara intravena antara 2 4 jam. Insidensi tertinggi di rumah sakit pada kasus
bronkiolitis karena RSV terjadi pada bayi umur 2 5 bulan untuk itu vaksinasi dapat
menstimulasi keefektifan setelah bayi berumur 2 bulan.

PROGNOSIS

Bronkiolitis Akut

Fase penyakit yang paling kritis terjadi selama 48 72 jam pertama sesudah batuk
dan dispneu mulai. Selama masa ini, bayi tampak sangat sakit, serangan apneu terjadi pada
bayi yang sangat muda dan asidosis respiratorik mungkin ada. Sesudah periode klinis,
perbaikan terjadi dengan cepat dan seringkali secara drastis. Penyembuhan selesai dalam
beberapa hari. Angka fatalitas kasus di bawah 1%, kematian dapat merupakan akibat dari
serangan apneu yang lama, asidosis respiratorik berat yang tidak terkompensasi atau
dehidrasi berat akibat kehilangan penguapan air dan takipneu serta ketidakmampuan minum
cairan. Bayi yang memiliki keadaan-keadaan, misalnya penyakit jantung kongenital ,
displasia bronkopulmonal, penyakit imunodefisiensi atau kistik fibrosis mempunyai angka
morbiditas yang lebih besar dan mempunyai sedikit kenaikan angka mortalitas. Angka
mortalitasnya tidak sebesar pada bayi yang berisiko tinggi seperti di masa yang silam.
Perkiraan mortalitas pada bayi berisiko tinggi yang menderita bronkiolitis. RSV ini telah
menurun dari 37% pada tahun 1982 menjadi 3,5% pad atahun 1988. Komplikasi bakteri
seperti bronkopneumonia atau otitis media, tidak lazim terjadi. Kegagalan jantung selama
bronkiolitis jarang kecuali pada anak yang memiliki dasar penyakit jantung. Ada proporsi
yang bermakna bahwa bayi-bayi yang menderita bronkiolitis mengalami hipereaktivitas
saluran pernapasan selama akhir masa anak-anak, tetapi hubungan antara kedua hal ini, jika
belum ada dimengerti. Kesan bahwa satu episode bronkiolitis dapat mengakibatkan kelainan
seluran pernapasan kecil yang jangkanya sangat lama memerlukan pengamatan yang lebih
lanjut. Kelainan ini sebagian dapat dijelaskan melalui penemuan bahwa bayi yang memiliki
hantaran pernapasan total rendah lebih mungkin mengalami bronkiolitis dalam responnya
terhadap infeksi virus pernapasan. Bayi dengan bronkiolitis yang padanya
berkembangsaluran pernapasan reaktif kemungkinan besar mempunyai riwayat keluarga
asma dan alergi, episode bronkiolitis akut lama dan terpajan asap rokok.

Bronkiolitis Obliterans

Beberapa minggu setelah mulainya gejala-gejala awal, keadaan penderita pada


umumnya memburuk sampai meninggal tetapi kebanyakan bertahan hidup, beberapa anak
menderita kecacatan kronis

23
KEJANG DEMAM

Definisi

Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal
di atas 380C) Tanpa adanya infeksi susunan saraf pusat gangguan elektrolit atau metabolik
lain. Kejang disertai demam pada bayi berusia kurang dari 1bulan tidak termasuk dalam
kejang demam. Setiap kejang kemungkinan dapat menimbulkan epilepsi dan trauma
pada otak, sehingga mencemaskan orang tua.

Epidemiologi

Kejang demam terjadi pada 2-4 % populasi anak. Tidak ada batasan usia yang spesifik, sering
terjadi pada usia 6 bulan 3 tahun dengan puncak usia 18 bulan kejang demam yang jarang
terjadi pada usia < 1 bulan dan > 7 tahun sebagian besar kejang demam sederhana. Kejang
demam kompleks hanya berkisar 35 % lama kejang yang berlangsung >15 menit hanya
ditemukan 9%, terjadi berulang dalam 24 jam: 16% kasus.

Klasifikasi

Klasifikasi kejang demam di bagi menjadi dua :

1. Kejang demam sederhana (Simple febrile seizure) adalah kejang yang berlangsung
kurang dari 15 menit, bersifat umum serta tidak berulang dalam 24 jam. Kejang
demam sederhana merupakan 80 % diantara seluruh kejang demam.
2. Kejang demam kompleks (complex febrile seizure) jika kejang berlangsung lebih dari
15 menit, bersifat fokal atau parsial I sisi kejang umum didahului kejang fokal dan
berulang atau lebih dari I kali dalam 24 jam.

Umumnya kejang demam berlangsung singkat, berupa kejang klonik atau


tonik klonik bilateral. Bentuk kejang yang lain dapat juga terjadi seperti mata
terbalik keatas, dengan disertai kekakuan atau kelemahan, gerakan sentakan
berulang tanpa didahuluui kekakuan atau hanya sentakan atau kekakuan fokal.
Sebagian besar kejang berlangsung kurang dari 6 menit dan kurang dari 8%
berlangsung lebih dari 15 menit. Jika lebih dari 15 menit menunjukkan
penyebab organik, seperti proses infeksi atau toksik dan memerlukan
pengamatan menyeluruh. Seringkali kejang berhenti sendiri. Setelah kejang
berhenti anak tidak memberi reaksi apapun untuk sejenak, tetapi setelah
beberapa detik atau menit anak terbangun dan tersadar kembali tanpa deficit
neurologist.

Faktor resiko kejang demam

Faktor risiko kejang demam pertama yang penting adalah demam. Selain itu terdapat faktor
riwayat kejang demam pada orang tua atau saudara kandung, perkembangan terlambat,
problem pada masa neonatus, anak dalam perawatan khusus, dan kadar natrium rendah.
Setelah kejang demam pertama, kira-kira 33% anak akan mengalami satu kali rekurensi atau

24
lebih, dan kira-kira 9%anak akan mengalami 3 kali rekurensi atau lebih. Risiko rekurensi
meningkat dengan usia dini, cepatnya anak mendapat kejang setelah demam timbul,
temperatur yang rendah saat kejang, riwayat keluarga kejang demam, dan riwayat keluarga
epilepsi.

Etiologi

1. Imaturitas otak dan termoregulator


2. Demam, dimana kebutuhan oksigen meningkat
3. Predisposisi genetik > 7 lokus kromosom (poligenik, autosomal dominan).

Patofisiologi

Sumber utama dari otak adalah glukosa yang melalui proses oksidasi dipecah menjadi CO2
dan air. Sel dikelilingi oleh suatu membran yang terdiri dari permukaan dalam adalah lipoid
dan permukaan luar adalah ionik. Dalam keadaaan normal sel neuron mudah dilewati oleh
kalium tetapi tidak mudah dilewati natrium akibatnya terdapat perbedaan potensial di luar sel
dan di dalam sel. Akibatnya konsentrasi K+ dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi Na+
rendah, sedangkan di luar sel neuron terdapat keadaan sebaliknya. Untuk menjaga
keseimbangan potensial membran ini diperlukan energi dan bantuan enzim Na K ATPase
yang terdapat pada permukaan sel.

Keseimbangan potensial membran ini dapat dirubah oleh adanya :


1. perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraseluler.
2. rangsangan yang datangnya mendadak misalnya mekanis, kimiawi atau aliran listrik
dari sekitarnya.
3. perubahan patofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau keturunan.

Pada keadaan demam kenaikan suhu 1 C akan mengakibatkan kenaikan metabolisme basal
10 15 % dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20 %. Pada kenaikan suhu tubuh tertentu
dapat terjadi perubahan keseimbangan dari membran sel neuron dan dalam waktu yang
singkat terjadi difusi dari ion kalium maupun ion natrium melalui membran tadi, dengan
akibat terjadinya lepas muatan listrik. Lepasnya muatan listrik ini begitu besarnya sehingga
dapat meluas ke seluruh sel maupun ke membran sel melalui perantaraan neurotransmitter
dan terjadilah kejang. Tiap anak mempunyai ambang kejang yang berbeda dan tergantung
dari tinggi rendahnya ambang kejang, seorang anak dapat menderita kejang dengan kenaikan
suhu tertentu. Pada anak dengan ambang kejang yang rendah, kejang telah terjadi pada suhu

25
38 C sedangkan pada anak yang ambang kejangnya tinggi, kejang baru terjadi pada suhu 40
C atau lebih.
Diagnosis

Anamnesis

1. Adanya kejang, jenis kejang, kesadaran, lama kejang


2. Suhu sebelum/ saat kejang, frekuensi dalam 24 jam, interval, keadaan anak
pasca kejang. Penyebab demam diluar infeksi susunan saraf pusat (gejala
infeksi saluran napas akut/ ISPA, infeksi saluran kemih/ISK, Otitis Media
Akut/OMA)
3. Riwayat perkembangan, riwayat kejang demam dan epilepsi dalam keluarga
4. Singkirkan penyebab kejang yang lain (contoh: diare/muntah yang
mengakibatkan gangguan elektrolit, sesak yang menyebabkan hipoksemia,
asupan kurang yang dapat menyebabkan hipoglikemia)

Pemeriksaan fisik
1. Kesadaran: apakah terdapat penurunan kesadaran, Suhu tubuh apakah terdapat
demam
2. Tanda rangsan meningeal: Kaku kuduk, Bruzinski I dan II, Kernique, Lasque
3. Pemeriksaan nervus kranial
4. Tanda peningkatan tekanan intrakranial: ubun ubun besar (UUB) membonjol,
papil edema
5. Tanda infeksi diluar SSP: ISPA, OMA, ISK, dll.

Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan penunjang dilakukan sesuai indikasi untuk mencari penyebab
demam atau kejang. Pemeriksaan dapat meliputi darah perifer lengkap, gula
darah, elektrolit, urinalisis dan biakan darah, urin, atau feses
2. Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk
menegakkan/menyingkirkan kemungkinan meningitis. Pada bayi kecil
seringkali sulit untuk menegakkan atau menyingkirkan diagnosis meningitis
karena manifetassi klinisnya tidak jelas, jika yakin bukan meningitis secara
klinis tidak perlu dilakukan pungsi lumbal.

Pungsi lumbal dianjurkan pada:


- Bayi usia kurang dari 12 bulan : sangat dianjurkan

26
- Bayi usia 12-18 bulan : dianjurkan
- Bayi usia > 18 bulan tidak rutin dilakukan.

3. Pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) tidak dapat memprediksi berulangnya


kejang demam, ataupun memperkirakan kemungkinan terjadinya epilepsi di
kemudian hari pada pasien kejang demam. Oleh karenanya pemeriksaan EEG
tidak dianjurkan unntuk dilakukan pada anak kejang demam.
Peran skenning CT atau MRI pada pengamatan kejang adalah kontroversial. Hasilnya
pada penggunaan rutin tindakan ini pada penderita dengan kejang tanpa demam
pertama dan pemeriksaan neurologis normal adalah dapat diabaikan, pada
pemeriksaan anak dengan gangguan kejang kronis, hasilnya adalah serupa. Meskipun
sekitar 30% anak ini menunjukkan kelainan struktural (misal atrofi korteks setempat
atau ventrikel dilatasi), hanya sedikit sekali manfaat dari intervensi aktif akibat dari
skenning CT. Dengan demikian skenning CT atau MRI harus dicadangkan untuk
penderita yang padanya dicurigai lesi intrakranial atas dasar riwayat atau pemeriksaan
neurologis abnormal. Kejang sebagian yang lama, tidak mempan dengan terapi
anikonvulsan, defisit neurologis setempat, dan bukti adanya kenaikan intrakranial
merupakan indikasi untuk pemeriksaan pencitraan saraf.

Diagnosi Banding

Tabel. Diagnosis Banding pada anak dengan kondisi lemah/letargis, tidak sadar atau kejang

DIAGNOSIS ATAU PENYEBAB YANG GEJALA ATAU TANDA KLINIS


MENDASARI

Meningitis Sangat gelisah atau iritabel


Kaku kuduk atau ubun ubun cembung

Hipoglikemia Glukosa darah rendah


Cedera kepala Ada gejala dan riwayat trauma kepala
Keracunan Riwayat terpajan bahan beracun
Syok Perfusi yang jelek
Glomerulonefritis akut dengan ensefalopati TD meningkat
Edema perifer atau wajah
Hematuria
Produksi urin menurun atau anuria

Ketoasidosis Diabetikum Kadar gula darah tinggi


Riwayat polidipsi atau poliuria
Pernafasan kussmaul

27
Penatalaksanaan
Medikamentosa
Pengobatan medikamentosa saat kejang dapat dilihat pada algoritme tataklasana
kejang. Saat ini lebih diutamakan pengobatan profilaksis intermitan pada saat demam
berupa :
- Antipiretik
Parasetamol 10-15 mg/kgBB/kall sehari dan tidak lebih dari 5 kall atau
ibuprofen 5-10 mg/kgBB/Kall, 3-4 kall sehari.
- Anti kejang
Diazepam oral dengan dosis 0.3 mg/kgBB setiap 8 jam atau diazepam rektal
dosis 0,5 mg/kgBB setiap 8 jam pada saat suhu tubuh > 38,50C. Terdapat efek
samping berupa ataksia, iritabel dan sedasi yang cukup berat pada 25-39 %
kasus.
- Pengobatan jangka panjang / rumatan
Pengobatan jangka panjang hanya diberikan jika kejang demam menunjukkan
ciri sebagai berikut:
a. Kejang lama > 15 menit
b. Kelainan neurologi yang nyata sebelum/sesudah kejang : hemiparesis,
paresis Todd, Palsi serebral, retradasi mental, hidrosefalus.
c. Kejang fokal
- Pengobatan jangka panjang dipertimbangkan jika :
a. Kejang berulang 2 kali/lebih dalam 24 jam
b. Kejang demam terjadi pada bayi kurang dari 12 bulan
c. Kejang demam > 4 kali per tahun.

Obat untuk pengobatan jangka panjang: Fenobarbital (dosis 3-4 mg/kgBB/hari dibagi
1-2 dosis) ata asam valproat (dosis15-40 mg/kgBB/hari di bagi 2-3 dosis) pemberian obat ini
efektif dalam menurunkan resiko berulangnya kejang (level 1). Pengobatan diberikan selama
1 tahun bebas kejang, kemudian dihentikan secara bertahap selama 1-2 bulan.

28
Tatalaksana kejang

KEJANG
DIAZEPAM
(iv) 0,3-0,5 MG/KG
(maks. 20 mg)
Atau
DIAZEPAM (rektal
5 mg (BB<10kg)
10 mg (BB>10kg)
0-5
menit______________________________________________________________________

KEJANG (-) KEJANG (+)

(A) Diulang interval 5 menit

5-10
menit______________________________________________________________________
KEJANG (+)

KEJANG (-) Fenitoin bolus IV 15-20


mg/kgBB
Fenitoin: 12 jam kemudian Kecepatan: 25mg/menit
5-7 mg/kgbb KEJANG (+)
10-
15menit____________________________________________________________________
Fenobarbital IV/IM
10-20 mg/kgbb
KEJANG (-)
Fenobarbital 12 jam kemudian
3-4 mg/kgbb KEJANG (+)

ICU
Midazolam: 0,2 mg/kgbb
Fenobarbital: 5-10 mg/kgbb

29
Indikasi rawat

- Kejang demam kompleks


- Hiperpireksia
- Usia dibawah 6 bulan
- Kejang demam pertama kali
- Terdapat kelainan neurologis

Prognosis

Resiko berulangnya kejang demam

Sekitar 1/3 anak dapat mengalami kejang demam berulang, 10 % dapat terjadi >3x

Faktor risiko yang tetap :

- Riwayat kejang demam dikeluarga


- Usia saat kejang demam pertama <18 bl
- Tingginya suhu tubuh saat kejang
- Lamanya demam hingga terjadi kejang

Faktor risiko yang possible:

- Riwayat keluarga yang mengalami epilepsi

Bukan faktor resiko

- Abnormalitas neurodevelopmental
- Kejang demam kompleks
- Lebih dari satu jenis bangkitan kejang
- Jenis kelamin
- Etnik

Rekurensi kejang demam

- 50 % dalam 6 bulan pertama


- 75 % dalam tahun pertama
- 90 % dalam tahun ke dua
- KD pertama <1 tahun : 50 %
- KD pertama >1 tahun : 28 %
Lebih banyak faktor risiko yang didapatkan, lebih besar juga kemungkinan terjadi
rekurensi.

30
Herpes Simpleks

Definisi

infeksi akut yang disebabkan oleh virus herpes simpleks (virus hominis) tipe I atau tipe II
yang ditandai dengan adanya vesikel yang berkelompok di atas kulit yang sembab dan
eritematosa pada daerah dekat mukokutan, sedangkan infeksi dapat berlangsung baik primer
maupun rekurens.

Epidemiologi

Penyakit ini tersebar kosmopolit dan menyerang baik pria maupun wanita dengan frekuensi
yang tidak berbeda. Infeksi primer oleh virus herpes simpleks (V.H.S) tipe I biasanya dimulai
pada usia anak-anak, sedangkan infeksi VHS tipe II biasanya terjadi pada dekade II atau III,
dan berhubungan dengan peningkatan aktivitas seksual.

Etiologi

VHS tipe I dan II merupakan virus herpes hominis yang merupakan virus DNA. Pembagian
tipe I dan II berdasarkan karakteristik pertumbuhan pada media kultur, antigenic marker, dan
lokasi klinis (tempat predileksi)

Gejala klinis

Infeksi VHS ini berlangsung dalam 3 tingkat: 1. Infeksi primer

2. Fase laten

3. infeksi rekurens

Infeksi primer

Tempat predileksi VHS tipe I di daerah pinggang ke atas terutama di daerah mulut dan
hidung, biasanya di mulai pada usia anak-anak. Inokulasi dapat terjadi secara kebetulan,
misalnya kontak kulit pada perawat, dokter gigi atau pada orang-orang yang suka menggigit
jari (herpetic Whitlow). Virus ini juga sebagai penyebab herpes ensefalitis. Infeksi primer
oleh HVS tipe II mempunyai tempat predileksi di daerah pinggang ke bawah, terutama di
daerah genital, juga dapa menyebebkan herpes meningitis dan infeksi neonatus.

Daerah predileksi ini sering kacau karena adanya cara hubungan seksual seperti oro-genital,
sehingga herpes yang terdapat di daerah genital kadang-kadang disebabkan oleh HVS tipe I
sedangkan di daerah mulut dapat disebabkan oleh HVS tipe II.

Infeksi primer berlangsung lebih lama dan lebih berat, kira-kira 3 minggu dan sering disertai
gejala sistemik, misalnya demam, malaise, anoreksia dan dapat ditemukan pembengkakan
kelenjar getah bening regional.

Kelainan klinis yang dijumpai berupa vesikel yang berkelompok di atas kulit yang sembab
dan eritematosa, berisi cairan jernih dan kemudian menjadi seropurulen, dapat menjadi krusta

31
dan kadang-kadang mengalami ulserasi yang dangkal, biasanya sembuh tanpa sikatriks. Pada
perabaan tidak terdapat indurasi. Kadang-kadang dapat timbul infeksi sekunder sehingga
memberi gambaran yang tidak jelas. Umumnya didapatkan pada orang yang kekurangan
antibodi virus herpes simples. Pada wanita ada laporan yang menyatakan bahwa 80% infeksi
HVS pada genitalia eksterna disertai infeksi pada serviks.

Fase laten

Fase ini berarti pada penderita tidak ditemukan gejala klinis, tetapi VHS dapat ditemukan
dalam keadaan tidak aktif pada ganglion dorsalis.

Infeksi rekurens

Infeksi ini berarti VHS pada ganglion dorsalis yang dalam keadaan tidak aktif, dengan
mekanisme pacu menjadi aktif dan mencapai kulit sehingga menimbulkan gejala klinis.
Mekanisme pacu ini dapat berupa trauma fisik (demam, infeksi, kurang tidur, hubungan
seksual dsb), trauma psikis (gangguan emosional, menstruasi), dan dapat pula timbul akibat
jenis makanan dan minuman yang merangsang.

Gejala klinis yang timbul lebih ringan dari pada infeksi primer dan berlangsung kira-kira 7
sampai 10 hari. Sering ditemukan gejala prodormal lokal sebelum timbul vesikel berupa rasa
panas, gatal dan nyeri. Infeksi rekurens ini dapat timbul pada tempat yang sama (loco) atau
tempat lain/tempat di sekitarnya (non loco)

Pemeriksaan Penunjang

Virus herpes ini dapat ditemukan pada vesikel dan dapat dibiak. Pada keadaan tidak ada lesi
dapat diperiksa antibodi VHS. Pada percobaan Tzank dengan pewarnaan giemsa dapat
ditemukan sel datia berinti banyak dan badan inklusi intranuklear.

Diagnosis banding

Herpes simpleks di daerah sekitar mulut dan hidung harus dibedakan dengan impetigo vesiko
bulosa. Pada daerah genitalia harus dibedakan dengan ulkus durum, ulkus mole dan ulkus
mikstum, maupun ulkus yang mendahului penyakitlimfogranuloma venereum.

Penatalaksanaan

Sampai saat ini belum ada terapi yang memberikan penyembuhan radikal, artinya tidak ada
pengobatan yang dapat mencegah episode rekurens secara tuntas. Pada lesi yang dini dapat
digunakan salap/krim yang mengandung preparat idoksuridin (stoxil, virunguent, viru
nguenrikant-P) dengan cara aplikasi, yang sering dengan interval beberapa jam. Preparat
asiklovir (zovirax) yang dipakai secara topikal tampaknya memberikan masa depan yang
lebih cerah. Asiklovir bekerja dengan mengganggu replikasi DNA virus. Klinis hanya
bermanfaat bila penyakit sedang aktif. Jika timbul ulserasi dapat dilakukan kompres.
Pengobatan oral berupa preparat asiklovir tampaknya memberikan hasil yang lebih baik,
penyakit berlangsung lebih singkat dan rekurent lebih panjang. Dosisnya 5 x 200mg sehari
selama 5 hari. Pengobatan parenteral dengan asiklovir terutama ditujukan kepada penyakit

32
yang lebih berat atau jika timbul komplikasi pada alat dalam. Begitu pula dengan preparat
adenin arabinosid (vitarabin). Interferon merupakan preparat glikoprotein yang dapat
menghambat reproduksi virus sehingga dapat digunakan secara parenteral.

Untuk mencegah rekuren, banyak usaha yang dapat dilakukan yang bertujuan untuk
meningkatkan imunitas seluler, misalnya pemberian preparat lupidon H (untuk HVS tipe I)
dan lupidon G (untuk HVS tipe II) dalam satu seri pengobatan. Pemberian levamisol dan
isoprinoson atau asiklovir secara berkala menurut beberapa peneliti memberikan efek yang
baik. Efek levamisol dan isoprinosin ialah sebagai immunostimulator.

Prognosis

Selama pencegahan rekurens masih merupakan masalah, hal tersebut secara psikologi akan
memberatkan penderita. Pengobatan secara dini dan tepat memberikan prognosis yang lebih
baik yakni, masa penyakit berlangsung lebih singkat dan rekurens lebih jarang.

Pada orang dengan gangguan imunitas, misalnya pda penyakit-penyakit dengan tumor di
sistem retikuloendotelial, pengobatan dengan immunosupresan yang lama atau fisik yang
sangat lemah, menyebabkan infeksi ini dapat menyebar ke organ-organ dalam dan dapat
berakibat fatal. Prognosis akan lebih baik deiring dengan meningkatnya usia seperti pada
orang dewasa.

33
BAB IV

KESIMPULAN

Pada pasien bronkhiolitis harus segera dilakukan penanganan agar tidak terjadi
sianosis, penanganan yang paling utama di berikan yaitu nasal oksigen dan disertai
pemberian obat.
Pada pasien kejang demam pertama kali, usia dibawah 6 bulan, Terdapat kelainan
neurologis, harus dilakukan indikasi rawat segera. Perlu diketahui jika pasien dalam
keadaan kejang jangan dilakukan pemberian cairan melalui oral, karena dapat terjadi
aspirasi pada pasien tersebut.
Pada pasien dermatitis harus segera dilakukan penanganan segera agar tidak terjadi
infeksi sekunder.

34
DAFTAR PUSTAKA

1. (Dr. Melda Deliana, Sp.A(K). Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK. USU/ RSUP H.
Adam Malik Medan)
2. Hawani, Dewi. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak. Edisi ke 4.
UNPAD. 2012
3. ( Behrman, et all. 2003. Nelson Textbook of Pediatrics 17th Edition. Philadelphia:
W.B Saunders )
4. Prof. DR.Dr.Sudigdo Sastroasmoro, SpA. Panduan Pelayanan Medis Departemen
Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta. 2007
5. Pudjiadi, Antonius H, dkk. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia
Jilid 1. Jakarta. 2010
6. Hasan R, Alatas H, Bronkiolitis Akut, dalam Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak,
Volume 3, Jakarta : Info Medika FK UI ; 1996. Hal. 1233.
7. Orenstein DM, Bronchiolitic. In Nelson WE, Editor Nelson, Textbook of Pediatric,
15th edition, Philadelphia, 1996, hal : 1484 1485.
8. Howard EW, Acute Viral Bronchiolitis, Respiratory Illness in Children. Oxford :
Blackwell Scientific Publication; 1998. P. 41 48.
9. Braunwald, Eugene, M.D., et al. Harrisons Principles of Internal Medicine 15th ed.
Volume 1. McGraw Hill Medical Publishing Division.
10. Djuanda.Adhi dkk.ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi ke 5. Fakultas kedokteran
UI. 2009. Jakarta

35

Anda mungkin juga menyukai