BAB I PENDAHULUAN I.1 LatarBelakang
BAB I PENDAHULUAN I.1 LatarBelakang
PENDAHULUAN
I.1 LatarBelakang
Bronkiliotis sering mengenai anak usia di bawah 2 tahun dengan insiden tertinggi
pada bayi umur 6 bulan.Pada daerah yang penduduknya padat insiden bronkiolitis oleh
karena RSV terbanyak pada usia 2 bulan.2. Makin muda umur bayi menderita bronkiolitis
biasanya akan makin berat penyakitnya. Bayi yang menderita bronkiolitis berat mungkin
terjadi oleh karena kadar antibodi maternal (maternal neutralizing antibody) yang rendah.
Selain usia, bayi dan anak dengan penyakit jantung bawaan, bronchopulmonary dysplasia,
prematuritas, kelainan neurologis dan immunocompromizedmempunyai resiko yang lebih
besar untuk terjadinya penyakit yang lebih berat. Penyakit ini menimbulkan morbiditas
infeksi saluran napas bawah terbanyak pada anak.
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu
rektal di atas 380C) Tanpa adanya infeksi susunan saraf pusat gangguan elektrolit atau
metabolik lain. Kejang disertai demam pada bayi berusia kurang dari 1bulan tidak termasuk
dalam kejang demam. Setiap kejang kemungkinan dapat menimbulkan epilepsi dan trauma
pada otak, sehingga mencemaskan orang tua. Kejang demam terjadi pada 2-4 % populasi
anak. Tidak ada batasan usia yang spesifik, sering terjadi pada usia 6 bulan 3 tahun dengan
puncak usia 18 bulan kejang demam yang jarang terjadi pada usia < 1 bulan dan > 7 tahun
sebagian besar kejang demam sederhana. Kejang demam kompleks hanya berkisar 35 % lama
kejang yang berlangsung >15 menit hanya ditemukan 9%, terjadi berulang dalam 24 jam:
16% kasus.
HSV-Tipe I biasanya menginfeksi daerah mulut dan wajah (Oral Herpes), sedangkan
HSV-Tipe II biasanyamenginfeksi daerah genital dan sekitar anus (Genital Herpes).HSV-1
menyebabkan munculnyagelembung berisi cairan yang terasa nyeri pada mukosa mulut, wajah,
dan sekitar mata. HSV-2 atau herpes genital ditularkan melalui hubungan seksual dan
menyebakan gelembung berisi cairan yang terasa nyeri pada membrane mukosaalat kelamin.
1
I.2 TUJUAN PENULISAN
1. Penulisan persentasi kasus ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami tentang
virus.
2. Memenuhi sebagian syarat mengikuti ujian Program Pendidikan Profesi di Bagian Ilmu
2
BAB II
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS
Nama : An.M Nama ayah : Tn.S
II. ANAMNESIS
(alloanamnesis terhadap: ibu pasien tanggal 3 April 2013)
Pasien datang ke UGD RSUD Arjawinangun dengan keluhan kejang sebanyak satu
kali dengan onset kurang lebih lima menit. Saat kejang, kedua tangan dan kaki kelojotan dan
mata mendelik ke atas. Setelah kejang, pasien langsung sadar. Sebelum kejang, pasien
mengalami demam di hari yang sama saat terjadinya kejang. Selain itu, pasien juga
mengalami mencret sebanyak 10 kali dalam 1 hari dengan konsistensi cair , berwarna kuning
dan berlendir. Tidak terdapat darah dan ampas. Pasien juga mengeluhkan flu dan batuk.
Setelah 3 hari menjalani perawatan di bangsal anak, pipi kanan pasien muncul koreng sebesar
biji jagung dengan pinggir aktif dan bagian tengah berwarna lebih terang dan bersisik.
3. Silsilah/Ikhtisar keturunan:
3
4. Riwayat Penyakit Dahulu:
Saat berusia 3 bulan pasien mengalami kejang sebanyak 1 kali kurang lebih selama 5
menit. Kedua tangan dan kaki kelojotan dan mata mendelik ke atas. Sebelum terjadinya
kejang, pasien mengalami demam dan batuk pilek satu hari sebelum terjadinya demam.
6. Riwayat Pribadi:
Riwayat kehamilan:
Riwayat persalinan:
Usia kehamilan antara 38 minggu, lahir spontan oleh bidan dengan berat bayi
lahir 3700grdengan panjang 45cm, nilai APGAR 10.
7. Riwayat Makanan:
(sejak lahir s/d sekarang, kualitas dan kuantitas)
4
8. Perkembangan:
(sejak lahir sampai sekarang)
9. Imunisasi:
(tempat imunisasi, berapa kali, pada usia berapa)
Pasien tinggal bersama ibu dan ayah kandung. Ayah seorang wiraswasta
dengan penghasilan yang tidak tentu, terbanyak Rp900.000,00 sebulan.
5
Lingkungan:
Ukuran rumah 95 m2, 2 kamar, ventilasi dan cahaya cukup, KM dan WC di
dalam rumah, sumber air sumur. Rumah berada di lingkungan padat
penduduk.
A. Pemeriksaan Umum:
2. Kesadaran : komposmentis
3. Tanda Utama :
Frekuensi nadi : 100x/menit, nadi teraba kuat, reguler, isi dan tegangan
cukup
4. Status Gizi :
Klinis :
Antropometris:
Lingkar kepala : 40 cm
BMI : 17,1
B. Pemeriksaan Khusus
1. Kulit : turgor baik
6
2. Kepala : rambut hitam, normocephal, kaku kuduk-
5. Telinga : otore -
9. Dada :
a. Jantung
Inspeksi : tidak terlihat iktus kordis
b. Paru
7
Auskultasi : rhonki (+/+)
wheezing (+/+)
10. Abdomen
Inspeksi : datar
Perkusi : timpani
11. Ekstremitas:
akral hangat, refleks dan kekuatan otot tidak diperiksa, refleks patologis -
tanda rangsang meningeal tidak diperiksa.
12. Anogenital
Laki-laki
(belum pubertas)
gambar I dan II. Terdapat Bintik merah pada bagian pipi kanan
1. Urine rutin
8
Makroskopis : warna kuning muda, jernih, bau khas urine, pH 6.5, sedimen (-)
Mikroskopis : leukosit (-), eritrosit (-), bakteri (-), sedimen (-), epitel (-)
2. Feses rutin
Mikroskopis : epitel (-), sisa makanan (+), lemak (-), eritrosit dan leukosit (-), benang
mukus (+)
A . ANAMNESIS
Seorang anak datang dengan keluhan kejang sejak 1 hari yang lalu, sebelum
kejang anak mengalami demam disertai mencret yang lebih dari 10 kali. Pasien juga
mengeluhkan flu dan batuk.
B. PEMERIKSAAN FISIS
Pada pemeriksaan fisik ditemukan ronki dan wheezing.
C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
-Suspect bronchiolitis
A. Rencana Pemeriksaan
1. Pemeriksaan elektrolit
9
2. hitung jenis darah
3. AGD (Analisa Gas Darah)
4. Rontgen
6. Suportif
C. Rencana Pemantauan
Melakukan pemeriksaan laboratorium ulang sampai keadaan anak membaik
selama menjalani perawatan. Pemberian cairan RL 35 tpm mikro untuk
maintenance. Pantau tanda vital,pastikan demam turun dan awasi kejang lanjutan.
D. Rencana Edukasi
Primer:
- Bila anak demam, segera beri obat penurun panas dan kompres dengan air
hangat
- Bila terjadi kejang, jauh kan barang-barang berbahaya dari jangkauan anak.
Saat kejang terjadi letakkan benda tumpul seperti sendok di mulut pasien agar
bibir tidak tergigit dan jangan beri minum sedikit sekalipun.
- Saat anak mengalami diare, beri oralit
Sekunder:
Saat terjadi kejang demam dan diare dengan dehidrasi ringan sedang
segeradibawa ke Rumah Sakit
Penderita banyak minum sekitar 1,5 sampai 2 liter air dalam 24 jam
10
IX. PROGNOSIS
Follow up I
Pasien masih dalam keadaan batuk disertai sesak nafas. Keadaan umum pasien
tampak sakit sedang, kesadaran komposmentis, frekuensi nadi 120x/menit, isi cukup dan
teratur, frekuensi nafas 22x/menit, suhu 36oC.
Follow up II
Pasien masih dalam keadaan batuk disertai sesak nafas, keadaan umum pasien tampak
sakit sedang, kesadaran komposmentis, frekuensi nadi 110x/menit, isi cukup dan teratur,
frekuensi nafas 20x/menit, suhu 36.50c.
Follow up III
11
Pasien masih dalam keadaan batuk tidak sesak nafas, keadaan umum pasien tampak
sakit sedang, kesadaran komposmentis, frekuensi nadi 110x/menit, isi cukup dan teratur,
frekuensi nafas 20x/menit, suhu 36.20c.
Follow up IV
Pasien sudah tidak ada batuk dan tidak ada sesak nafas, keadaan umum pasien sudah
membaik, kesadaran komposmentis, frekuensi nadi 120x/menit, isi cukup dan teratur,
frekuensi nafas 20x/menit, suhu 360c.
12
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
DEFINISI
Bronkiolitis adalah penyakit inflamasi akut dari saluran atas dan bawah menyebabkan
obstruksi dari saluran napas kecil.
ETIOLOGI
Respiratory Syncytial Virus (RSV) adalah agen yang paling sering yang ditemukan
dalam isolasi sebanyak 75% pada anak-anak kurang dari 2 tahun yang menderita bronkiolitis
dan dirawat di rumah sakit. Penyebab lain yang menyebabkan bronkiolitis termasuk di
dalamnya adalah virus parainfluenza tipe 1 dan 3, influenza B, parainfluenza tipe 2,
adenovirus tipe 1, 2, 5 dan micoplasma yang paling sering pada anak-anak usia sekolah.
Terdapat pembuktian bahwa komplek imunologis yang memainkan peranan penting dari
patogenesis bronkiolitis dengan RSV. Reaksi alergi tipe 1 dimediasi oleh antibodi IgE hal ini
dapat dihitung untuk signifikasi dari bronkiolitis. Bayi yang meminum ASI dengan kolustrum
tinggi yang di dalamnya terdapat IgA tampaknya lebih relatif terproteksi dari bronkiolitis.
Adenovirus dapat dihubungkan dengan komplikasi jangka lama, termasuk bronkiolitis
obliterans dan sindrom paru hiperlusen unilateral (sindrom Sywer-James).
Respiratory Syncytial Virus (RSV) adalah virus RNA terkat membran berukuran medium
yang berkembang dalam sitoplasma sel yang terinfeksi dan matang dengan pertunasan dari
membran plasma. Berbagai strain RSV emnunjukkan beberapa heterogenitas antigenik.
Variasi ini terutama ditemukan pada hanya satu dari dua glikoprotein permukaan dari virus
menunjukkan reaksi pada hospes manusia seperti satu serotip. RSV menghasilkan
sitopatologis sinsisial khas dalam biakan jaringan spesimen dikirim dengan cepat dalam es
basah karena labil.
Adenovirus
Adenovirus adalah virus DBA ukuran sedang, yang diklasifikasikan menjadi subgenus A
sampai G. Tipe 1-39 ada dalam subgenus A sampai E, tipe 40 adalah subgenus F dan tipe 41
adalah subgenus G, virion mempunyai pembungkus ikosahedral yang tersusun dari berbagai
protein, yang paling berlebihan darinya adalah hexon, antigen biasa yang bereaksi silang
dengan semua adenovirus mamalia. Penton memberi spesifisitas tipe dan antibodi
terhadapnya adalah protektif. Penton ini juga sitotoksik pada biakan jaringan dan sifat
sofatoksik telah dianggap berasalh darinya juga in vivo. Adenovirus dapat juga
diklasifikasikan dengan mencetakkan sidik jadi DNA-nya pada jelli sesudah terdigesti
dengan pembatasan endonuklease dan klasifikasi ini biasanya sesuai dengan tipe-tipe
antigeniknya.
13
Semua tipe adenovirus kecuali tipe 40 dan 41 tumbuh dalam sel ginjal embrional manusia
primer dan kebanyakan tumbuh pada sel Hep-2 atau HeLa, menghasilkan pengaruh sitopatik,
destruksi khas. Tipe 40 dan 41 (dan serotip lain juga), tumbuh pada 293 sel, deretan sel ginjal
embrional manusia yang kepadanya telah dimasukkan genus adenovirus awal tertentu.
Banyak tipe adenovirus tetapi terutama tipe anak biasa (1, 2 dan 5), dilepas selama masa
yang panjang dari saluran pernapasan maupun saluran cerna. Tipe ini juga menyebabkan
infeksi tonsil ringan dan kronik.
Virus parainflueza
Ada empat virus dalam famili parainfluenza yang menyebabkan sakit pada manusia
ditandai tipe 1-4. Virus ini mempunyai genom RNA helai tunggal, tidak bersegmen dengan
pembungkus mengandung lipid yang berasal dari pertunasan melalui membran sel. Bagian
antigenik utama adalah tonjolan-tonjolan protein pembungkus yang menunjukkan sifat-sifat
hemaglutinasi (protein HN) dan fusi sel (protein F).
KLASIFIKASI
Bronkiolitis akut
Bronkiolitis obliterans
Bronkiolitis akut dengan bronkiolitis obliterans dibedakan pada bronkiolus dan saluran
pernapasan yang lebih kecil terjejas karena upaya perbaikan menyebabkan sejumlah besar
jaringan granulasi yang menyababkan obstruksi jalan napas, lumen jalan napas terobliterasi
oleh masa noduler granulasi dan fibrosis. Bronkiolitis obliterans merupakan komplikasi yang
lazim pada transplantasi paru.
EPIDEMIOLOGI
Epidemi dari RSV berkembang pada iklim dengan musim hujan dan menjelang
kemarau dan biasanya juga muncul pada musim yang bersamaan dengan menjangkitnya
parainfluenza. Terdapat bukti bahwa RSV endemik di daerah subtropis dari Asia Tenggara
sepanjang tahun dan memuncak antara bulan Oktober sampai Februari dan berkurang pada
bulan Maret sampai Juli. Dua dari sub tipe RSV telah diketahui, yaitu tipe A dan tipe B,
dengan tipe yang paling sering menyebabkan infeksi yang berat. Tipe B biasanya
mendominasi apabila tipe A tidak dalam musim endemi. Penyakit ini sangat menular,
penularan disebarkan melalui sekresi hidung yang keluar dan sangat menular pada hari ke-6
sampai hari ke-21 setelah gejala muncul. Waktu intubasi antara 2 5 hari. Infeksi terjadi
pada anggota keluarga sebanyak 45% pada bayi yang dirawat di rumah sakit tetapi tidak
terinfeksi. Infeksi menyebar melalui muntahan dan penggunaan sarung tangan, sedangkan
baju khusus dapat mengurangi penyebaran infeksi nosokomial. Sebanyak 25% anak umur di
14
bawah 1 tahun dan 13% anak umur antara 1 sampai 2 tahun akan mendapatkan infeksi
saluran napas. Separuh dari angka tersebut didapatkan gejala bersin yang diasosiasikan
dengan infeksi saluran napas. RSV dapat ditemukan pada kultur pasien yang dirawat di
rumah sakit yang menderita infeksi tersebut dan 80%-nya berumur kurang dari 6 bulan. Di
antaranya bayi yang sehat 80% dirawat di rumah sakit pada tahun pertama kehidupannya dan
sekitar 50% perawatan di rumah sakit adalah bayi antara umur 1 -3 bulan. Kurang dari 5%
perawatan di rumah sakit pada neonatus, kemungkinan dengan adanya antibodi yang masih
terdapat dari tranplasental-maternal. Faktor penyebab untuk berat badan lahir rendah,
prematuritas, sosio-ekonomi rendah, hidup di daerah padat, orang tua perokok, tidak
diberikan ASI eksklusif dan perawatan harian.
Pada satu laporan, pemeriksaan fungsi paru yang canggih dilakukan terhadap populasi
besar bayi-bayi normal. Analisis tidak lanjut menunjukkan bahwa penyakit paru mengi secara
bermakna lebih lazim dijumpai pada bayi hantaran pernapasan total awalnya ada pada
sepertiga terendah dari mereka yang diuji. Penurunan fungsi paru dapat memainkan oeran
penting dalam menentukan bayi mana yang dengan infeksi virus yang akan berkembang
bronkiolitis.
PATOGENESIS
Bronkiolitis akut ditandai dengan obstruksi bronkiolus yang disebabkan oleh edema
dan kumpulan mukus dan oleh invasi bagian-bagian bronkus yang lebih kecil oleh virus.
Karena tahanan atau resistensi terjadap aliran udara di dalam saluran besarnya berbanding
terbalik dengan radius atau jari-jari pangkat empat, maka penebalan yang sedikit sekali pun
pada dinding bronkiolus bayi dapat sangat mempengaruhi aliran udara. Tahanan pada saluran
udara kecil bertambah selama fase inspirasi dan ekspirasi, namun karena selama ekspirasi
jalan napas menjadi lebih kecil, maka hasilnya adalah obstruksi pernapasan katup yang
menimbulkan udara terperangkap dan overinflasi. Atelektasis dapat terjadi ketika obstruksi
menjadi total dab ydara yang terperangkap diabsorpsi.
Beberapa fakta memberi kesan cidera imunologis sebagai faktor-faktor pada patogenesis
bronkiolitis yang disebabkan RSV:
a. Bayi yang sekarat karena bronkitis telah menunjukkan imunoglobin maupun virus
dala jaringan bronkiolus yang terjejas;
b. Anak yang mendapat vaksin RSV yang diberikan secara parenteral sangat antigenik,
inaktif pada pemajanan RSV berikutnya, penyakitnya menjadi lebih berat dan lebih
sering kambuh dibandingkan anak-anak lainnya;
c. Bronkiolitis yang bergabung dalam asma pada bayi yang lebih tua dan RSV seringkali
merupakan serangan asma akut yang dikenali pada anak usia 1 5 tahun; dan
d. Antibodi imunoglobin E (IgE) yang mengarah langsung ke RSV ditemukan pada
sekresi konvalesen pad abayi dengan bronkiolitis
15
Di samping pengaruh destruktif virus dan respon hospes yang menyertai, belum jelas
peran apa yang dimainkan oleh bakteri yang menumpanginya. Pada kebanyakan bayi dengan
bronkiolitis, dengan atau tanpa pneumonia interstitial, pengalaman klinis memberi kesan
bahwa bakteri memainkan peran yang tidak berarti.
Penyakit ini juga berkembang pada bayi-bayi yangbiasanya terdapat titer antibodi
maternal (IgG) menetralkan SCV tetapi tidak terdapat antibodi sekretorik (IgA) pada saluran
napas sehingga terdapat pada sekret hidung yang memproteksi terhadap infeksi RSV. Fakta
tersebut telah mengarah ke spekulasi bahwa fakta tersebut penyebab alamiah terjadinya
bronkiolitis.
Berbeda antara bayi, anak besar dan orang dewasa dapat mentoleransi edema saluran
napas dengan lebih baik. Oleh karena itu, pada anak besar dan orang dewasa jarang terjadi
bronkiolitis bila terkena infeksi oleh virus. Ada pendapat bahwa bronkiolitis merupakan hasil
dari reaksi kompleks imun antara antibodi dengan virus. Pendapat tersebut berdasarkan
pengamatan di mana terjadinya infeksi oleh virus ketika umur masih muda, terutama kurang
dari 6 bulan. Saat itu, antibodi yang secara pasif didapatkan dari ibu masih cukup tinggi.
MANIFESTASI KLINIK
Bronkiolitis Akut
Mula-mula bayi mendapatkan infeksi saluran napas ringan berupa pilek encer, batuk,
bersin-bersin dan kadang-kadang demam. Gejala ini berlangsung beberapa hari, kemudian
timbul distres respirasi yang ditandai oleh batuk paroksimal, mengi, dispneu dan iritabel.
Timbulnya kesulitan minum terjadi karena napas cepat sehingga menghalangi proses menelan
dan menghisap. Pada kasus ringan, gejala menghilang 1 3 hari. Pada kasus berat, gejalanya
dapat timbul beberapa hari dan perjalanannya sangat cepat. Kadang-kadang, bayi tidak
demam sama sekali, bahkan hipotermi. Terjadi distres pernapasan dengan frekuensi napas 60
kali per menit, terdapat napas cuping hidung, penggunaan otot pernapasan tambahan, retraksi
dan kadang-kadang sianosis. Retraksi biasanya tidak dalam karena adanya hiperinflasi paru
(terperangkapnya udara dalam paru). Hepar dan lien bisa teraba karena terdorong diafragma
akibat hiperinflasi paru. Mungkin terdengar ronki pada akhir inspirasi dan awal ekspirasi.
Ekspirasi memanjang dan mengi kadang-kadang terdengar dengan jelas.
16
Bronkiolitis Obliterans
FAKTOR RISIKO
Salah satu faktor risiko yang terbesar untuk menjadi bronkiolitis pada umur kurang dari 6
bulan sebab paru-paru dan sistem kekebalan tidak secara penuh berkembang dengan baik.
Anak laki-laki cenderung untuk mendapatkan brokiolitis lebih sering dibanding anak-anak
perempuan. Faktor lain yang telah dihubungkan dengan peningkatan risiko bronkiolitis pada
anak-anak meliputi:
A. Tidak pernah diberi air susu ibu sehingga tidak menerima perlindungan kekebalan
dari ibu
B. Kelahiran prematur
C. Pajanan asap rokok
D. Sering dititipkan pada tempat banyak bayi-bayi contoh tempat penitipan anak, panti
asuhan
E. Saudara kandung lebih tua dengan kontak infeksi dari sekolah atau tempat bermain
Bayi dengan ibu perokok pasif mempunyai peningkatan risiko infeksi RSV dengan suatu
perbandingan rintangan dilaporkan 3.87 untuk itu telah banyak studi atas efek dari perokok
pasif pada penyakit yang berhubungan dengan pernapasan di bayi dan anak-anak. Di dalam
suatu tinjauan ulang yang sistematis dari perokok pasif dan infeksi saluran napas bawah pada
bayi dan anak-anak, Strachan dan Cook menunjukkan suatu perbandingan digabungkan daro
1.57 jika kedua orang tua perokok dan suatu perbandingan dari 1.72 jika ibu yang merokok.
Air susu ibu (ASI) telah menunjukkan mempunyai faktor kebal terhadap RSV yang
mencakup immunoglobin G dan suatu antibodi 160 dan interferon-161. ASI telah pula
ditunjukkan untuk menetralkan aktivitas melawan terhadap RSV. Di satu studi merujukan ke
rumah sakit yang relatif dengan RSV adalah anak-anak yang tidak diberi ASI. Di dalam studi
17
lain, 8 (7%) dari 115 anak-anak diopname dengan infeksi RSV adalah disusui dan 46 (27%)
dari 167 pasien sebagai kendali disusui.
Suatu metaanalisis hubungan menyusui dengan opname untuk infeksi saluran napas
bawah di (dalam) awal kelahiran menguji 33 studi, semua dari yang menunjukkan suatu
asosiasi bersifat melindungi antara menyusui dan risiko opname untuk infeksi saluran napas
bawah. Sembilan studi dijumpai pada semua ukuran-ukuran pemasukan analisa. Kesimpulan
adalah bahwa bayi yang tidak disusui ASI hampir meningkatkan risiko tiga kali lipat lebih
besar diopname untuk infeksi saluran napas bawah dibanding yang disusui ASI eksklusif
untuk 4 bulan (perbandingan risiko: 0.28).
DIAGNOSIS
Bronkiolitis adalah diagnosa klinis. Keterlibatan RSV pada setiap penyakit anak
tertentu dapat dicurigai pada berbagai tingkat kepastian dari musim tahunan dan adanya
wabah khas pada saat tersebut. Tanda lain yang mungkin membantu adalah umur anak (selain
RSV, satu-satunya virus respiratori yang sering menyerang bayi umur beberapa bulan
pertama adalah virus parainfluenza tipe 3) dan epidemiologi keluarga.
Konsolidasi tanpa tanda-tanda lain atau dengan efusi pleura dianggap berasal dari
bakteri sampai terbukti lain. Tanda-tanda lain yang mengarah pada pneumonia bakteri adalah
kenaikan angka neutrofil, depresi jumlah sel darah putih bila ada penyakit berat, ileus atau
tanda-tanda perut lain, demam tinggi dan kolaps sirkulasi.
Diagnosis pasti infeksi RSV didasarkan pada deteksi virus atau antigen virus dalam
sekresi pernapasan. Spesimen harus diletakkan di atas es dan langsung dibawa ke
laboratorium untuk diproses dengan deteksi antigen atau ditanamkan pada suatu sek yang
rentan. Aspirat mukus dari lubang hidung posterior (nasal washing) merupakan spesimen
yang optimal. Pulasan nasofaring atau tenggorok juga dapat diterima, aspirat trakea tidak
perlu.
DIAGNOSIS BANDING
Keadaan yang paling lazim untuk diagnosis banding bronkiolitis akut adalah asma,
satu atau lebih dari yang berikut ini mendukung diagnosis asma, riwayat keluarga asma,
episod berulang kali pada bayi yang samam mulainya mendadak tanpa infeksi yang
18
mendahului, ekspirasi sangat memanjang, eosinofilia dan respons perbaikan segera pada
pemberian satu dosis albuterol aerosol. Serangan berulang menggambarkan titil pembeda
yang penting kurang dari 5% serangan berulang bronkiolitis klinis mempunyai penyebab
infeksi virus. Wujud lain yang dapat terancukan dengan bronkiolitis akut adalah gagal
jantung kongesif, benda asing di dalam trakea, pertusis, keracunan organofosfat, kistik
fibrosis dan bronkopneumonia bakteri yang disertai dengan overinflasi paru obstruktif
menyeluruh.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Darah lengkap
Dengan hitungan jumlah sel darah lengkap jarang bermanfaat karena sel darah putih pada
umumnya di dalam batas normal atau naik dan hitung jenis mungkin normal atau bergeser ke
kanan atau ke kiri
Urin
Berat jenis urin dapat menyediakan informasi bermanfaat mengenai keseimbangan cairan dan
kemungkinan dehidrasi
Serum darah
Kimia serum darah tidaklah terpengaruh secara langsung oleh infeksi atau peradangan tetapi
dapat membantu menebak beratnya derajar dehidrasi
Analisis gas darah mungkin diperlukan pada pasien yang sakitnya berat, terutama yang
menuntut ventilasi mekanik atau buatan
Radiologi
Foto sinar X dada cukup diperlukan meliputi foto anterior-posterior dan lateral, dapat terlihat
gambaran (tergantung berat ringannya penyakit)
o Hiperinflasi dan infiltrat yang tertutup, gambaran ini adalah nonspesifik dan mungkin
juga dapat pada gambaran pasien dengan sakit asma, pneumonia yang tidak lazim
atau karena virus dan aspirasi cairan
o Atelektasis fokal
o Gambaran udara yang terperangkap
o Gambaran sekat diafragma yang rata
o Peningkatan gambaran garis tengah antero-posterior
o Peribronchial Cuffing
o Foto sinar X dapat juga mengungkapkan bukti alternatif untuk diagnosa banding,
seperti pneumonia lobaris, gagal jantung kongetsif atau aspirasi benda asing
19
Pemeriksaan lainnya:
o Antigen Test pada nasal wash dapat mengungkap dengan cepat (pada umumnya di
dalam 30 menit) dan akurat (kepekaan 87% - 91%, ketegasan 96% - 100%) dalam
pendeteksian RSV
o Kultur positif dengan direct flourescent antibody, test hasil percobaan
mengkonfirmasikan infeksi karena RSV
o Nasal washing test harus diperoleh dari anak-anak yang diperlukan opname dan anak-
anak yang berhadapan dengan risiko berat
o Kultur RSV lebih sedikit sensitif (60%) tetapi spesifisitas mencapai 100%
o Panel karena virus yang berhubungan dengan pernapasan, kultur untuk RSV atau
virus lain atau pendeteksian dengan polymerase chain reaction mungkin bermanfaat
untuk pertimbangan yang berikut:
o Sebagai pemeriksaan konfirmasi lainnya
o Untuk mencari agen lain infeksius yang lain
o Karena tujuan epidemiologik
Penatalaksanaan
Bayi umur kurang dari 6 bulan dengan bronkiolitis akut dan distress pernapasan
sebaiknya dirawat di rumah sakit bila ditemukan kadar Sp02 kurang dari 92%, tidak dapat
mempertahankan hidrasi oral dan mengingkatkan angka respirasi atau mempunyai riwayat
penyakit kardio-respiratori yang kronik. Desaturasi di 40% 02 (3 4 l/menit) biasanya
muncul sianosis, gejala ekstra pulmonal, apnea dan asidosis merupakan tanda bayi di rawat di
ruang rawat intensif. Hipoksemia merupakan tanda kelainan laboratorium yang tampak untuk
itu diperlukan tambahan oksigen bagi pasien. Arah utama untuk pengobatan pasien dengan
bronkiolitis adalah dengan penggantian cairan dan suplemen cairan. Pada pasien tersebut
biasanya mengalami dehidrasi ringan dikarenakan berkurangnya asupan cairan dan banyak
kehilangan cairan melalui demam dan takipnea. Penggunaan cairan tambahan agar diawasi
agar tidak terbentuknya formasi edema paru. Terapi suportif adalah mendeteksi cepat bila ada
apnea dan memberikan perhatian khusus terhadap demam pada neonatus.
Pengobatan
Bronkodilator
Penggunaan bronkodilator merupakan kontroversi pada neonatus dan bayi. Pad atahun
1993 editorial dari Lancet masih tidak memperkenankan penggunaan bronkodilator pada
pasien-pasien bronkiolitis yang jelas tidak efektif. Kellner dkk, menyimpulkan bahwa
terdapat peningkatan ringan dari perbaikan sementara pada pasien dengan bronkiolitis sedang
sampai berat.
20
Kortikosteroid
Antikolinergik
Ipratropium bromide adalah zat antikolinergik dalam bentuk aerosol, tidak dapat
menunjukkan bukti dapat membantu dalam manajemen dari bayi yang sakit. Hal ini
menunjukkan tidak ada keuntungan klinis dibandingkan dengan pengobatan albuterol
tersendiri pada kasus bronkiolitis sedang sampai berat.
Antibiotik
Virus adalah etiologi utama pada bronkiolitis untuk itu penggunaan rutin dari
antibiotik sebaiknya dihindari untuk penyakit ini. Apabila bayi mengarah ke arah lebih buruk
dan menunjukkan kenaikkan dari hitung sel darah putih kedepannya menunjukkan tanda-
tanda sepsis, selanjutnya kultur bakteri dari darah, urin dan Liquor Cerebro Spinal (LCS)
sebaiknya diambil dan di follow up segera dengan pemberian antibiotik spektrum luas.
Penelitian yang dilakukan oleh Kupperman dkk, dari 156 bayi di bawah umur 24 bulan yang
sebelumnya sehat dengan sedikit demam dan menderita bronkiolitis, menunjukkan bahwa
bayi-bayi ini mau tidak mau menderita bakteremia dan menderita infeksi saluran kemih.
Penggunaan rutin dari antibiotik tidak menunjukkan perbaikan dari bronkiolitis.
Heliox
Heliox (campuran antara helium dengan oksigen) telah digunakan pada pasien asma
akut telah ada laporan kasus ang menyatakan dan menjelaskan tentang penggunaan heliox
pada bayi laki-laki umur 4 bulan dengan bronkiolitis positif RSV. Heliox mungkin
bermanfaat sebagai tambahan untuk terapi konvensional pada pasien bronkiolitis dalam
keadaan kritis. Bagaimana pun studi klinis dari terapi ini sangat diperlukan untuk mengetahui
keefektifan terapi ini. Hal ini dimungkinkan bahwa heliox dengan terapi nebulisasi dapat
sangat berguna pada bayi dengan bronkiolitis berat atau pasien terpasang intubasi dan tidak
merespon dengan terapi konvensional.
21
Ventilasi mekanik
Antivirus (Ribavirin)
Saat ini rekomendasi dari American Academy of Pediatrics (AAP) terapi dengan ribavirin
aerosol sedang didipertimbangkan untuk bayi-bayi dengan risiko tinggi penderita penyakit
karena RSV:
Kesimpulannya ribavirin merupakan terapi yang aman tetapi mahal, efisiensi dan
keefektifannya tidak tampak jelas menunjukkan dalam penelitian. Penggunaan ribavirin
secara rutin pada saat ini kurang direkomendasikan.
PENCEGAHAN
Penyebaran dari RSV kemungkinan terjadi karena kontak angsung dengan sekret
pasien yang terinfeksi. Pencegahan penting pada staf rumah sakit seperti perhatian khusus
terhadap kebersihan sekret pasien dan kebersihan badan petugas rumah sakit tampaknya
dapat mengurangi penyebaran RSV di rumah sakit. Saat ini menggunakan RSV
imunoglobulin intra vena pada dosis tinggi (500 750 mg/kgBB) tampaknya dapat mencegah
RSV pada pasien risiko tinggi sebagai tambahan RSV imunoglobulin intra venus dalam
22
bentuk aerosol dapat memberikan keuntungan pada pasien dengan bronkiolitis karena RSV.
Dalam penelitian baru oleh Rimensberger, dkk., menyimpulkan bahwa dosis tunggal RSV
imunoglobulin intra vena (0,1 gr/kgBB) tidak menunjukkan keuntungan untuk bronkiolitis
akut karena RSV. Saat ini tampaknya ada kerugian yang ditimbulkan oleh penggunaan
human polyclonal RSV imunoglobulin antibodi spesifik pada bayi. Hal ini meliputi
penggunaan secara intravena antara 2 4 jam. Insidensi tertinggi di rumah sakit pada kasus
bronkiolitis karena RSV terjadi pada bayi umur 2 5 bulan untuk itu vaksinasi dapat
menstimulasi keefektifan setelah bayi berumur 2 bulan.
PROGNOSIS
Bronkiolitis Akut
Fase penyakit yang paling kritis terjadi selama 48 72 jam pertama sesudah batuk
dan dispneu mulai. Selama masa ini, bayi tampak sangat sakit, serangan apneu terjadi pada
bayi yang sangat muda dan asidosis respiratorik mungkin ada. Sesudah periode klinis,
perbaikan terjadi dengan cepat dan seringkali secara drastis. Penyembuhan selesai dalam
beberapa hari. Angka fatalitas kasus di bawah 1%, kematian dapat merupakan akibat dari
serangan apneu yang lama, asidosis respiratorik berat yang tidak terkompensasi atau
dehidrasi berat akibat kehilangan penguapan air dan takipneu serta ketidakmampuan minum
cairan. Bayi yang memiliki keadaan-keadaan, misalnya penyakit jantung kongenital ,
displasia bronkopulmonal, penyakit imunodefisiensi atau kistik fibrosis mempunyai angka
morbiditas yang lebih besar dan mempunyai sedikit kenaikan angka mortalitas. Angka
mortalitasnya tidak sebesar pada bayi yang berisiko tinggi seperti di masa yang silam.
Perkiraan mortalitas pada bayi berisiko tinggi yang menderita bronkiolitis. RSV ini telah
menurun dari 37% pada tahun 1982 menjadi 3,5% pad atahun 1988. Komplikasi bakteri
seperti bronkopneumonia atau otitis media, tidak lazim terjadi. Kegagalan jantung selama
bronkiolitis jarang kecuali pada anak yang memiliki dasar penyakit jantung. Ada proporsi
yang bermakna bahwa bayi-bayi yang menderita bronkiolitis mengalami hipereaktivitas
saluran pernapasan selama akhir masa anak-anak, tetapi hubungan antara kedua hal ini, jika
belum ada dimengerti. Kesan bahwa satu episode bronkiolitis dapat mengakibatkan kelainan
seluran pernapasan kecil yang jangkanya sangat lama memerlukan pengamatan yang lebih
lanjut. Kelainan ini sebagian dapat dijelaskan melalui penemuan bahwa bayi yang memiliki
hantaran pernapasan total rendah lebih mungkin mengalami bronkiolitis dalam responnya
terhadap infeksi virus pernapasan. Bayi dengan bronkiolitis yang padanya
berkembangsaluran pernapasan reaktif kemungkinan besar mempunyai riwayat keluarga
asma dan alergi, episode bronkiolitis akut lama dan terpajan asap rokok.
Bronkiolitis Obliterans
23
KEJANG DEMAM
Definisi
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal
di atas 380C) Tanpa adanya infeksi susunan saraf pusat gangguan elektrolit atau metabolik
lain. Kejang disertai demam pada bayi berusia kurang dari 1bulan tidak termasuk dalam
kejang demam. Setiap kejang kemungkinan dapat menimbulkan epilepsi dan trauma
pada otak, sehingga mencemaskan orang tua.
Epidemiologi
Kejang demam terjadi pada 2-4 % populasi anak. Tidak ada batasan usia yang spesifik, sering
terjadi pada usia 6 bulan 3 tahun dengan puncak usia 18 bulan kejang demam yang jarang
terjadi pada usia < 1 bulan dan > 7 tahun sebagian besar kejang demam sederhana. Kejang
demam kompleks hanya berkisar 35 % lama kejang yang berlangsung >15 menit hanya
ditemukan 9%, terjadi berulang dalam 24 jam: 16% kasus.
Klasifikasi
1. Kejang demam sederhana (Simple febrile seizure) adalah kejang yang berlangsung
kurang dari 15 menit, bersifat umum serta tidak berulang dalam 24 jam. Kejang
demam sederhana merupakan 80 % diantara seluruh kejang demam.
2. Kejang demam kompleks (complex febrile seizure) jika kejang berlangsung lebih dari
15 menit, bersifat fokal atau parsial I sisi kejang umum didahului kejang fokal dan
berulang atau lebih dari I kali dalam 24 jam.
Faktor risiko kejang demam pertama yang penting adalah demam. Selain itu terdapat faktor
riwayat kejang demam pada orang tua atau saudara kandung, perkembangan terlambat,
problem pada masa neonatus, anak dalam perawatan khusus, dan kadar natrium rendah.
Setelah kejang demam pertama, kira-kira 33% anak akan mengalami satu kali rekurensi atau
24
lebih, dan kira-kira 9%anak akan mengalami 3 kali rekurensi atau lebih. Risiko rekurensi
meningkat dengan usia dini, cepatnya anak mendapat kejang setelah demam timbul,
temperatur yang rendah saat kejang, riwayat keluarga kejang demam, dan riwayat keluarga
epilepsi.
Etiologi
Patofisiologi
Sumber utama dari otak adalah glukosa yang melalui proses oksidasi dipecah menjadi CO2
dan air. Sel dikelilingi oleh suatu membran yang terdiri dari permukaan dalam adalah lipoid
dan permukaan luar adalah ionik. Dalam keadaaan normal sel neuron mudah dilewati oleh
kalium tetapi tidak mudah dilewati natrium akibatnya terdapat perbedaan potensial di luar sel
dan di dalam sel. Akibatnya konsentrasi K+ dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi Na+
rendah, sedangkan di luar sel neuron terdapat keadaan sebaliknya. Untuk menjaga
keseimbangan potensial membran ini diperlukan energi dan bantuan enzim Na K ATPase
yang terdapat pada permukaan sel.
Pada keadaan demam kenaikan suhu 1 C akan mengakibatkan kenaikan metabolisme basal
10 15 % dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20 %. Pada kenaikan suhu tubuh tertentu
dapat terjadi perubahan keseimbangan dari membran sel neuron dan dalam waktu yang
singkat terjadi difusi dari ion kalium maupun ion natrium melalui membran tadi, dengan
akibat terjadinya lepas muatan listrik. Lepasnya muatan listrik ini begitu besarnya sehingga
dapat meluas ke seluruh sel maupun ke membran sel melalui perantaraan neurotransmitter
dan terjadilah kejang. Tiap anak mempunyai ambang kejang yang berbeda dan tergantung
dari tinggi rendahnya ambang kejang, seorang anak dapat menderita kejang dengan kenaikan
suhu tertentu. Pada anak dengan ambang kejang yang rendah, kejang telah terjadi pada suhu
25
38 C sedangkan pada anak yang ambang kejangnya tinggi, kejang baru terjadi pada suhu 40
C atau lebih.
Diagnosis
Anamnesis
Pemeriksaan fisik
1. Kesadaran: apakah terdapat penurunan kesadaran, Suhu tubuh apakah terdapat
demam
2. Tanda rangsan meningeal: Kaku kuduk, Bruzinski I dan II, Kernique, Lasque
3. Pemeriksaan nervus kranial
4. Tanda peningkatan tekanan intrakranial: ubun ubun besar (UUB) membonjol,
papil edema
5. Tanda infeksi diluar SSP: ISPA, OMA, ISK, dll.
Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan penunjang dilakukan sesuai indikasi untuk mencari penyebab
demam atau kejang. Pemeriksaan dapat meliputi darah perifer lengkap, gula
darah, elektrolit, urinalisis dan biakan darah, urin, atau feses
2. Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk
menegakkan/menyingkirkan kemungkinan meningitis. Pada bayi kecil
seringkali sulit untuk menegakkan atau menyingkirkan diagnosis meningitis
karena manifetassi klinisnya tidak jelas, jika yakin bukan meningitis secara
klinis tidak perlu dilakukan pungsi lumbal.
26
- Bayi usia 12-18 bulan : dianjurkan
- Bayi usia > 18 bulan tidak rutin dilakukan.
Diagnosi Banding
Tabel. Diagnosis Banding pada anak dengan kondisi lemah/letargis, tidak sadar atau kejang
27
Penatalaksanaan
Medikamentosa
Pengobatan medikamentosa saat kejang dapat dilihat pada algoritme tataklasana
kejang. Saat ini lebih diutamakan pengobatan profilaksis intermitan pada saat demam
berupa :
- Antipiretik
Parasetamol 10-15 mg/kgBB/kall sehari dan tidak lebih dari 5 kall atau
ibuprofen 5-10 mg/kgBB/Kall, 3-4 kall sehari.
- Anti kejang
Diazepam oral dengan dosis 0.3 mg/kgBB setiap 8 jam atau diazepam rektal
dosis 0,5 mg/kgBB setiap 8 jam pada saat suhu tubuh > 38,50C. Terdapat efek
samping berupa ataksia, iritabel dan sedasi yang cukup berat pada 25-39 %
kasus.
- Pengobatan jangka panjang / rumatan
Pengobatan jangka panjang hanya diberikan jika kejang demam menunjukkan
ciri sebagai berikut:
a. Kejang lama > 15 menit
b. Kelainan neurologi yang nyata sebelum/sesudah kejang : hemiparesis,
paresis Todd, Palsi serebral, retradasi mental, hidrosefalus.
c. Kejang fokal
- Pengobatan jangka panjang dipertimbangkan jika :
a. Kejang berulang 2 kali/lebih dalam 24 jam
b. Kejang demam terjadi pada bayi kurang dari 12 bulan
c. Kejang demam > 4 kali per tahun.
Obat untuk pengobatan jangka panjang: Fenobarbital (dosis 3-4 mg/kgBB/hari dibagi
1-2 dosis) ata asam valproat (dosis15-40 mg/kgBB/hari di bagi 2-3 dosis) pemberian obat ini
efektif dalam menurunkan resiko berulangnya kejang (level 1). Pengobatan diberikan selama
1 tahun bebas kejang, kemudian dihentikan secara bertahap selama 1-2 bulan.
28
Tatalaksana kejang
KEJANG
DIAZEPAM
(iv) 0,3-0,5 MG/KG
(maks. 20 mg)
Atau
DIAZEPAM (rektal
5 mg (BB<10kg)
10 mg (BB>10kg)
0-5
menit______________________________________________________________________
5-10
menit______________________________________________________________________
KEJANG (+)
ICU
Midazolam: 0,2 mg/kgbb
Fenobarbital: 5-10 mg/kgbb
29
Indikasi rawat
Prognosis
Sekitar 1/3 anak dapat mengalami kejang demam berulang, 10 % dapat terjadi >3x
- Abnormalitas neurodevelopmental
- Kejang demam kompleks
- Lebih dari satu jenis bangkitan kejang
- Jenis kelamin
- Etnik
30
Herpes Simpleks
Definisi
infeksi akut yang disebabkan oleh virus herpes simpleks (virus hominis) tipe I atau tipe II
yang ditandai dengan adanya vesikel yang berkelompok di atas kulit yang sembab dan
eritematosa pada daerah dekat mukokutan, sedangkan infeksi dapat berlangsung baik primer
maupun rekurens.
Epidemiologi
Penyakit ini tersebar kosmopolit dan menyerang baik pria maupun wanita dengan frekuensi
yang tidak berbeda. Infeksi primer oleh virus herpes simpleks (V.H.S) tipe I biasanya dimulai
pada usia anak-anak, sedangkan infeksi VHS tipe II biasanya terjadi pada dekade II atau III,
dan berhubungan dengan peningkatan aktivitas seksual.
Etiologi
VHS tipe I dan II merupakan virus herpes hominis yang merupakan virus DNA. Pembagian
tipe I dan II berdasarkan karakteristik pertumbuhan pada media kultur, antigenic marker, dan
lokasi klinis (tempat predileksi)
Gejala klinis
2. Fase laten
3. infeksi rekurens
Infeksi primer
Tempat predileksi VHS tipe I di daerah pinggang ke atas terutama di daerah mulut dan
hidung, biasanya di mulai pada usia anak-anak. Inokulasi dapat terjadi secara kebetulan,
misalnya kontak kulit pada perawat, dokter gigi atau pada orang-orang yang suka menggigit
jari (herpetic Whitlow). Virus ini juga sebagai penyebab herpes ensefalitis. Infeksi primer
oleh HVS tipe II mempunyai tempat predileksi di daerah pinggang ke bawah, terutama di
daerah genital, juga dapa menyebebkan herpes meningitis dan infeksi neonatus.
Daerah predileksi ini sering kacau karena adanya cara hubungan seksual seperti oro-genital,
sehingga herpes yang terdapat di daerah genital kadang-kadang disebabkan oleh HVS tipe I
sedangkan di daerah mulut dapat disebabkan oleh HVS tipe II.
Infeksi primer berlangsung lebih lama dan lebih berat, kira-kira 3 minggu dan sering disertai
gejala sistemik, misalnya demam, malaise, anoreksia dan dapat ditemukan pembengkakan
kelenjar getah bening regional.
Kelainan klinis yang dijumpai berupa vesikel yang berkelompok di atas kulit yang sembab
dan eritematosa, berisi cairan jernih dan kemudian menjadi seropurulen, dapat menjadi krusta
31
dan kadang-kadang mengalami ulserasi yang dangkal, biasanya sembuh tanpa sikatriks. Pada
perabaan tidak terdapat indurasi. Kadang-kadang dapat timbul infeksi sekunder sehingga
memberi gambaran yang tidak jelas. Umumnya didapatkan pada orang yang kekurangan
antibodi virus herpes simples. Pada wanita ada laporan yang menyatakan bahwa 80% infeksi
HVS pada genitalia eksterna disertai infeksi pada serviks.
Fase laten
Fase ini berarti pada penderita tidak ditemukan gejala klinis, tetapi VHS dapat ditemukan
dalam keadaan tidak aktif pada ganglion dorsalis.
Infeksi rekurens
Infeksi ini berarti VHS pada ganglion dorsalis yang dalam keadaan tidak aktif, dengan
mekanisme pacu menjadi aktif dan mencapai kulit sehingga menimbulkan gejala klinis.
Mekanisme pacu ini dapat berupa trauma fisik (demam, infeksi, kurang tidur, hubungan
seksual dsb), trauma psikis (gangguan emosional, menstruasi), dan dapat pula timbul akibat
jenis makanan dan minuman yang merangsang.
Gejala klinis yang timbul lebih ringan dari pada infeksi primer dan berlangsung kira-kira 7
sampai 10 hari. Sering ditemukan gejala prodormal lokal sebelum timbul vesikel berupa rasa
panas, gatal dan nyeri. Infeksi rekurens ini dapat timbul pada tempat yang sama (loco) atau
tempat lain/tempat di sekitarnya (non loco)
Pemeriksaan Penunjang
Virus herpes ini dapat ditemukan pada vesikel dan dapat dibiak. Pada keadaan tidak ada lesi
dapat diperiksa antibodi VHS. Pada percobaan Tzank dengan pewarnaan giemsa dapat
ditemukan sel datia berinti banyak dan badan inklusi intranuklear.
Diagnosis banding
Herpes simpleks di daerah sekitar mulut dan hidung harus dibedakan dengan impetigo vesiko
bulosa. Pada daerah genitalia harus dibedakan dengan ulkus durum, ulkus mole dan ulkus
mikstum, maupun ulkus yang mendahului penyakitlimfogranuloma venereum.
Penatalaksanaan
Sampai saat ini belum ada terapi yang memberikan penyembuhan radikal, artinya tidak ada
pengobatan yang dapat mencegah episode rekurens secara tuntas. Pada lesi yang dini dapat
digunakan salap/krim yang mengandung preparat idoksuridin (stoxil, virunguent, viru
nguenrikant-P) dengan cara aplikasi, yang sering dengan interval beberapa jam. Preparat
asiklovir (zovirax) yang dipakai secara topikal tampaknya memberikan masa depan yang
lebih cerah. Asiklovir bekerja dengan mengganggu replikasi DNA virus. Klinis hanya
bermanfaat bila penyakit sedang aktif. Jika timbul ulserasi dapat dilakukan kompres.
Pengobatan oral berupa preparat asiklovir tampaknya memberikan hasil yang lebih baik,
penyakit berlangsung lebih singkat dan rekurent lebih panjang. Dosisnya 5 x 200mg sehari
selama 5 hari. Pengobatan parenteral dengan asiklovir terutama ditujukan kepada penyakit
32
yang lebih berat atau jika timbul komplikasi pada alat dalam. Begitu pula dengan preparat
adenin arabinosid (vitarabin). Interferon merupakan preparat glikoprotein yang dapat
menghambat reproduksi virus sehingga dapat digunakan secara parenteral.
Untuk mencegah rekuren, banyak usaha yang dapat dilakukan yang bertujuan untuk
meningkatkan imunitas seluler, misalnya pemberian preparat lupidon H (untuk HVS tipe I)
dan lupidon G (untuk HVS tipe II) dalam satu seri pengobatan. Pemberian levamisol dan
isoprinoson atau asiklovir secara berkala menurut beberapa peneliti memberikan efek yang
baik. Efek levamisol dan isoprinosin ialah sebagai immunostimulator.
Prognosis
Selama pencegahan rekurens masih merupakan masalah, hal tersebut secara psikologi akan
memberatkan penderita. Pengobatan secara dini dan tepat memberikan prognosis yang lebih
baik yakni, masa penyakit berlangsung lebih singkat dan rekurens lebih jarang.
Pada orang dengan gangguan imunitas, misalnya pda penyakit-penyakit dengan tumor di
sistem retikuloendotelial, pengobatan dengan immunosupresan yang lama atau fisik yang
sangat lemah, menyebabkan infeksi ini dapat menyebar ke organ-organ dalam dan dapat
berakibat fatal. Prognosis akan lebih baik deiring dengan meningkatnya usia seperti pada
orang dewasa.
33
BAB IV
KESIMPULAN
Pada pasien bronkhiolitis harus segera dilakukan penanganan agar tidak terjadi
sianosis, penanganan yang paling utama di berikan yaitu nasal oksigen dan disertai
pemberian obat.
Pada pasien kejang demam pertama kali, usia dibawah 6 bulan, Terdapat kelainan
neurologis, harus dilakukan indikasi rawat segera. Perlu diketahui jika pasien dalam
keadaan kejang jangan dilakukan pemberian cairan melalui oral, karena dapat terjadi
aspirasi pada pasien tersebut.
Pada pasien dermatitis harus segera dilakukan penanganan segera agar tidak terjadi
infeksi sekunder.
34
DAFTAR PUSTAKA
1. (Dr. Melda Deliana, Sp.A(K). Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK. USU/ RSUP H.
Adam Malik Medan)
2. Hawani, Dewi. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak. Edisi ke 4.
UNPAD. 2012
3. ( Behrman, et all. 2003. Nelson Textbook of Pediatrics 17th Edition. Philadelphia:
W.B Saunders )
4. Prof. DR.Dr.Sudigdo Sastroasmoro, SpA. Panduan Pelayanan Medis Departemen
Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta. 2007
5. Pudjiadi, Antonius H, dkk. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia
Jilid 1. Jakarta. 2010
6. Hasan R, Alatas H, Bronkiolitis Akut, dalam Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak,
Volume 3, Jakarta : Info Medika FK UI ; 1996. Hal. 1233.
7. Orenstein DM, Bronchiolitic. In Nelson WE, Editor Nelson, Textbook of Pediatric,
15th edition, Philadelphia, 1996, hal : 1484 1485.
8. Howard EW, Acute Viral Bronchiolitis, Respiratory Illness in Children. Oxford :
Blackwell Scientific Publication; 1998. P. 41 48.
9. Braunwald, Eugene, M.D., et al. Harrisons Principles of Internal Medicine 15th ed.
Volume 1. McGraw Hill Medical Publishing Division.
10. Djuanda.Adhi dkk.ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi ke 5. Fakultas kedokteran
UI. 2009. Jakarta
35