Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN

Refluks Gastro Esofagus (RGE) didefinisikan sebagai aliran retrogad isi


lambung ke dalam esophagus. Merupakan proses fisiologis yang terjadi secara
intermitten terutama setelah makan. Oleh sebab itu disebut juga refluks
gastroesofagus fisiologik atau refluks gastroesofagus asimtomatik.1
Penyakit Refluks Gastro Esofagus (PRGE) disebut sebagai refluks
gastroesofagus patologik atau refluks gastroesophagus simtomatik, merupakan
kondisi yang kronik dan berulang sehingga menimbulkan perubahan patologi
pada traktus aerodigestif atas dan organ lain di luar esophagus.1
Telah diketahui bahwa refluks kandungan lambung ke esophagus dapat
menimbulkan berbagai gejala di esophagus maupun ekstraesofagus, dapat
menyebabkan komplikasi yang berat seperti striktur, Barrets esophagus bahkan
adeno karsinoma di kardia dan esophagus. Banyak ahli yang menggunakan istilah
esophagitis refluks, yang merupakan keadaan terbanyak dari penyakit refluks
gastroesofageal.2

Keadaan ini umum ditemukan pada populasi di negara-negara barat,


namun dilaporkan relatif rendah insidennya di negara-negara Asia-Afrika. Banyak
penelitian pada populasi umum yang baru-baru ini dipublikasikan menunjukkan
kecenderungan peningkatan prevalensi GERD di Asia. Prevalensi di Asia Timur
5,2 %-8,5 % (tahun 2005-2010), sementara sebelum 2005 2,5%-4,8%; Asia
Tengah dan Asia Selatan 6,3%-18,3%, Asia Barat yang diwakili Turki menempati
posisi puncak di seluruh Asia dengan 20%. Asia Tenggara juga mengalami
fenomena yang sama. Di Singapura prevalensinya adalah 10,5%, di Malaysia
insiden GERD meningkat dari 2,7% (1991-1992) menjadi 9% (2000-2001),
sementara belum ada data epidemiologi di Indonesia (Jung, 2009), (Goh dan
Wong, 2006).

1
Di Amerika dilaporkan bahwa satu dari lima orang dewasa mengalami
gejala refluks (heartburn dan/atau regurgitasi) sekali dalam seminggu serta lebih
dari 40% mengalami gejala tersebut sekali dalam sebulan.2
Di Indonesia belum ada data epidemiologi mengenai penyakit ini, namun
di Divisi Gastroenterologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI-RSUPN Cipto
Mangunkusumo Jakarta didapatkan kasus esophagitis sebanyak 22,8% dari semua
pasien yang menjalani pemeriksaan endoskopi atas indikasi dyspepsia.2

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Penyakit refluks gastroesofageal (Gastroesofageal refluks
disease/GERD) adalah suatu keadaan patologis sebagai akibat refluks
kandungan lambung ke dalam esofagus, dengan berbagai gejala yang timbul
akibat keterlibatan esofagus, faring, laring dan saluran nafas.2
GERD didefinisikan sebagai suatu gangguan di mana isi lambung
mengalami refluks secara berulang ke dalam esofagus, yang menyebabkan
terjadinya gejala dan/atau komplikasi yang mengganggu. Pernyataan ini
diajukan oleh Konsensus Asia Pasifik mengenai GERD tahun 2008, di mana
penekanan diberikan kepada kata mengganggu, oleh karena menandakan
adanya gangguan terhadap kualitas hidup dan menyarikan pendapat umum
yang menyatakan bahwa apabila refluks esofageal ingin dinyatakan sebagai
penyakit, maka kelainan tersebut harus mempengaruhi kualitas hidup pasien.8

B. ETIOLOGI DAN PATOGENESIS

Penyakit refluks gastroesofageal bersifat multifaktorial.2 Dapat


berupa gangguan fungsional (90% kasus) atau gangguan struktural (10%

3
kasus).1Esofagitis dapat terjadi sebagai akibat dari refluks gastroesofageal
apabila :
1) Terjadi kontak dalam waktu yang cukup lama antara bahan refluksat
dengan mukosa esophagus
2) Terjadi penurunan resistensi jaringan mukosa esophagus, walaupun
kontak antara bahan refluksat dengan esophagus tidak cukup lama
3) Terjadi gangguan sensitivitas terhadap rangsangan isi lambung, yang
disebabkan adanya modulasi persepsi neural esophageal baik sentral
maupun perifer.2,8
Kandungan isi lambung yang menambah potensi daya rusak bahan
refluksat di antaranya adalah: asam lambung, pepsin, garam empedu, dan
enzim pankreas. Dari semua itu yang memiliki potensi daya rusak paling
tinggi adalah asam lambung. Beberapa hal yang berperan dalam patogenesis
GERD, di antaranya adalah: peranan infeksi Helicobacter pylori, peranan
kebiasaan/gaya hidup, peranan motilitas, dan hipersensitivitas viseral.8

Peranan Infeksi Helicobacter Pylori


Peranan infeksi Helicobacter Pylori I (HP) dalam patogenesis
GERD relatif kecil dan kurang didukung oleh data yang ada. Namun
demikian ada hubungan terbalik antara infeksi HP dengan strain virulensi
(Cag A positif) dengan kejadian esophagitis, Barrets esophagus dan
adenokarsinoma esophagus. Pengaruh dari infeksi HP terhadap GERD
merupakan konsekuensi logis dari gastritis serta pengaruhnya terhadap

4
sekresi asam lambung. Pengaruh eradikasi infeksi HP sangat tergantung
kepada distribusi dan lokasi gastritis. Pada pasien-pasien yang tidak
mengeluh gejala refluks pra-infeksi HP dengan predominant antral gastritis,
pengaruh eradikasi HP dapat menekan munculnya gejala GERD. Sementara
itu pada pasien-pasien yang tidak mengeluh gejala refluks pra-infeksi HP
dengan corpus predominant gastritis, pengaruh eradikasi HP dapat
meningkatkan sekresi asam lambung serta memunculkan gejala GERD. Pada
pasien-pasien dengan gejala GERD pra-infeksi HP dengan antral pre-
dominant gastritis, eradikasi HP dapat memperburuk keluhan GERD serta
meningkatkan sekresi asam lambung. Pengobatan PPI jangka panjang pada
pasien-pasien dengan infeksi HP dapat mempercepat terjadinya gastritis
atrofi. Oleh sebab itu, pemeriksaan serta eradikasi HP dianjurkan pada pasien
GERD sebelum pengobatan PPI jangka panjang.2
Walaupun belum jelas benar, akhir-akhir ini telah diketahui bahwa
non-acid reflux berperan dalam patogenesis timbulnya gejala GERD. Yang
dimaksud dengan non-acid reflux antara lain berupa bahan refluksat yang
tidak bersifat asam atau refluks gas. Dalam keadaan ini, timbulnya gejala
GERD diduga karena hipersensitivitas viseral.2

Peranan Kebiasaan/Gaya Hidup


Peranan alkohol, diet serta faktor psikis tidak bermakna dalam
patogenesis GERD, namun demikian khusus untuk populasi Asia-Pasifik ada
kemungkinan alkohol mempunyai peranan lebih penting sebagaimana
ditunjukkan dalam studi epidemiologi terkini dari Jepang.Beberapa studi
observasional telah menunjukkan bahwa pengaruh rokok dan berat badan
berlebih sebagai faktor risiko terjadinya GERD.Beberapa obat-obatan seperti
bronkodilator juga dapat mempengaruhi GERD.8

Ketahanan epitel esophagus. Berbeda dengan lambung dan duodenum,


esophagus tidak memiliki lapisan mucus yang melindungi mukosa
esophagus.2

5
Mekanisme ketahanan epitel esofagus terdiri atas :
Membran sel
Batas intraseluler (intracellular junction) yang membatasi difus H+ ke
jaringan esophagus
Aliran darah esophagus yang mensuplai nutrient, oksigen dan bikarbonat,
serta mengeluarkan ion H+ dan CO2
Sel-sel esophagus mempunyai kemampuan untuk mentranspor ion H+
dan Cl- intraseluler dengan Na+ dan bikarbonat ekstraseluler.2
Nikotin dapat menghambat transport ion Na+ melalui epitel
esophagus, sedangkan alcohol dan aspirin meningkatkan permeabilitas epitel
terhadap ion H. Yang dimaksud dengan faktor ofensif adalah potensi daya
rusak refluksat. Kandungan lambung yang menambah potensi daya rusak
refluksat terdiri dari HCl, pepsin, garam empedu, enzim pancreas.2
Faktor ofensif dari bahan refluksat bergantung pada bahan yang
dikandungnya. Derajat kerusakan mukosa esophagus makin meningkat pada
pH <2, atau adanya pepsin atau garam empedu. Namun dari kesemuanya itu
yang memiliki potensi daya rusak paling tinggi adalah asam.2
Faktor-faktor lain yang turut berperan dalam timbulnya gejala
GERD adalah kelainan di lambung yang meningkatkan terjadinya refluks
fisiologis, antara lain : dilatasi lambung atau obstruksi gastric outlet dan
delayed gastric emptying.2

Peranan Motilitas
Esofagus dan gaster dipisahkan oleh suatu zona tekanan tinggi
(high pressure zone) yang dihasilkan oleh kontraksi lower esophageal
sphincter (LES). Pada individu normal, pemisah ini akan dipertahankan
kecuali pada saat terjadinya aliran antegrad yang terjadi pada saat menelan,
atau aliran retrogard yang terjadi pada saat sendawa atau muntah. Aliran balik
dari gaster ke esophagus melalui LES hanya terjadi apabila tonus LES tidak
ada atau sangat rendah (<3 mmHg).2

6
Episode refluks bervariasi tergantung kandungan isinya, volume,
lamanya, dan hubungannya dengan makan. Pada proses terjadinya refluks,
sfingter esofagus bawah dalam keadaan relaksasi atau melemah oleh
peningkatan tekanan intraabdominal atau sebab lainnya sehingga terbentuk
rongga diantara esofagus dan lambung. Isi lambung mengalir atau terdorong
kuat ke dalam esofagus. Jika isi lambung mencapai esofagus bagian
proksimal dan sfingter esofagus atas berkontraksi, maka isi lambung tersebut
tetap berada di esofagus dan peristaltik akan mengembalikannya ke dalam
lambung. Jika sfingter esofagus atas relaksasi sebagai respon terhadap
distensi esofagus maka isi lambung akan masuk ke faring, laring, mulut atau
nasofaring.3
Refluks gastroesofageal pada pasien GERD terjadi melalui 3
mekanisme :
1. Refluks spontan pada saat relaksasi LES yang tidak adekuat
2. Aliran retrograde yang mendahului kembalinya tonus LES setelah
menelan
3. Meningkatnya tekanan intra abdominal.
Dengan demikian dapat diterangkan bahwa patogenesis terjadinya GERD
menyangkut keseimbangan antara defensif dari esophagus dan faktor ofensif
dari bahan refluksat.2

7
Pemisah antirefluks. Pameran terbesar pemisah antirefluks adalah tonus LES.
Menurunnya tonus LES dapat menyebabkan timbulnya refluks retrograd pada
saat terjadinya peningkatan tekanan intra abdomen.
Sebagian besar pasien GERD ternyata mempunya tonus LES yang
normal. Faktor-faktor yang dapat menurunkan tonus LES :
1. Adanya hiatus hernia
2. Panjang LES (makin pendek LES, makin rendah tonusnya)
3. Obat-obatan seperti antikolinergik, beta adrenergik, theofilin, opiat, dll
4. Faktor hormonal. Selama kehamilan peningkatan kadar progesterone
dapat menurunkan tonus LES.2,4
Namun dengan berkembangnya teknik pemeriksaan manometri,
tampak bahwa kasus-kasus GERD dengan tonus LES yang normal berperan
dalam terjadinya proses refluks ini adalah transient LES relaxation (TLESR),
yaitu relaksasi LES yang bersifat spontan dan berlangsung lebih kurang 5
detik tanpa didahului proses menelan. Belum diketahui bagaimana terjadinya
TLESR ini, tetapi pada beberapa individu diketahui ada hubungannya dengan
pengosongan lambung lambat (delayed gastric emptying) dan dilatasi
lambung.2
Sekuele yang terjadi akibat refluks adalah peradangan, perdarahan
dan pembentukan jaringan parut dan striktur. Esofagitis refluks kronis sering
dihubungkan dengan hernia hiatus. Terdapat sedikit hubungan antara
beratnya gejala dengan beratnya derajat esophagitis. Sebagian penderita nyeri
ulu hati hanya memiliki sedikit bukti adanya esophagitis, sementara penderita
lain dengan refluks kronis bisa saja asimtomatis sampai terbentuk striktur.5
Peranan hiatus hernia pada patogenesis terjadinya GERD masih
kontroversial. Banyak pasien GERD yang pada pemeriksaan endoskopi
ditemukan hiatus hernia, namun hanya sedikit yang memperlihatkan gejala
GERD yang signifikan. Hiatus hernia dapat memperpanjang waktu yang
dibutuhkan untuk bersihan asam dari esophagus serta menurunkan tonus
LES.2

8
Bersihan asam dari lumen esophagus. Faktor-faktor yang berperan pada
bersihan asam dari esophagus adalah gravitasi, peristaltik, eksresi air liur dan
bikarbonat.2
Setelah terjadi refluks, sebagian besar bahan refluksat akan
kembali ke lambung dengan dorongan peristaltik yang dirangsang oleh proses
menelan. Sisanya akan dinetralisir oleh bikarbonat yang disekresi oleh
kelenjar saliva dan kelenjar esophagus.2
Mekanisme bersihan ini sangat penting, karena makin lama kontak
antara bahan refluksat dengan esophagus (waktu transit esophagus) makin
besar terjadinya esophagitis. Pada sebagian pasien GERD memiliki waktu
transit esophagus yang normal sehingga kelainan yang timbul disebabkan
karena peristaltik esophagus yang minimal.2
Refluks malam hari (nocturnal reflux) lebih besar berpotensi
menimbulkan kerusakan esophagus karena selama tidur sebagian besar
mekanisme bersihan esophagus tidak aktif.2

Peran Sfingter Atas Esofagus.SEA merupakan pertahanan akhir untuk


mencegah refluksat masuk ke laringofaring. Studi menyatakan bahwa tonus
SEA yang meninggi sebagai reaksi terhadap refluksat menimbulkan distensi
pada esofagus. Relaksasi pada SEA menyebabkan terjadinya pajanan asam ke
faring atau laring.1

9
Hipersensitivitas Viseral
Akhir-akhir ini diketahui peranan refluks non-asam/gas dalam patogenesis
GERD yang didasarkan atas hipersensitivitas viseral. Sebagaimana telah
dijelaskan di atas, hipersensitivitas viseral memodulasi persepsi neural sentral
dan perifer terhadap rangsangan regangan maupun zat non-asam dari
lambung.8

Patofisiologi Refluks Ekstraesofagus (REE). Dua mekanisme yang


dianggap sebagai penyebab REE akibat PRGE ialah :
1. Kontak langsung refluks asam lambung dan pepsin ke esophagus
proksimal dan LES yang berlanjut dengan kerusakan mukosa faring,
laring dan paru
2. Pajanan asam esophagus distal akan merangsang reflex vagal yang
menyebabkan terjadinya spasme bronkus, batuk, sering meludah,
menyebabkan perubahan inflamasi pada laring dan faring.1

C. MANIFESTASI KLINIK
Manifestasi klinis PRGE sangat bervariasi dan gejalanya sering
sukar dibedakan dengan kelainan fungsional lain dari traktus gastrointestinal.
Gejala refluks gastroesofagus dapat tipikal dan atipikal.1
Gejala klinik yang khas daru GERD adalah nyeri/rasa tidak enak di
epigastrium atau retrosternal bagian bawah. Rasa nyeri biasanya
dideskripsikan sebagai rasa terbakar (heartburn), kadang-kadang bercampur
dengan gejala disfagia (kesulitan menelan makanan), mual atau regurgitasi
dan rasa pahit di lidah. Walau demikian derajat berat ringannya keluhan
heartburn ternyata tidak berkolerasi dengan temuan endoskopik. Kadang-
kadang timbul rasa tidak enak retrosternal yang mirip dengan keluhan pada
serangan angina pectoris. Disfagia yang timbul saat makan makanan padat
mungkin terjadi karena striktur atau keganasan yang berkembang dari
Barrets esophagus. Odinofagia (rasa sakit pada waktu menelan makanan)
bisa timbul jika sudah terjadi ulserasi esophagus yang berat.2

10
GERD dapat juga menimbulkan manifestasi gejala esktra
esophageal yang atipik dan sangat bervariasi mulai dari nyeri dada non-
kardiak (non-cardiac chest pain/NCCP), suara sesak, laryngitis, batuk karena
aspirasi sampai timbulnya bronkiektasis atau asma.2
Di lain pihak, beberapa penyakit paru dapat menjadi faktor
predisposisi untuk timbulnya GERD karena timbulnya perubahan anatomis di
daerah gastroesophageal high pressures zone akibat penggunaan obat-obatan
yang menurunkan tonus LES (misalnya theofilin).2
Gejala GERD biasanya berjalan perlahan-lahan, sangat jarang
terjadi episode akut atau keadaan yang sangat bersifat mengancam nyawa.
Oleh sebab itu, umumnya pasien dengan GERD memerlukan penatalaksanaan
secara medik.2

D. DIAGNOSIS
Diagnosis PRGE umumnya didasarkan pada kombinasi riwayat
penyakit, pemeriksaan fisik, tes diagnostik yang tepat. Pasien yang datang
pada ahli THT seringkali tidak disertai gejala refluks tipikal, seperti dada
panas dam regurgitasi. Jika pasien datang dengan gejala tipikal PRGE disertai
gejala THT seperti suara serak pagi hari, mulut berbau (halitosis), lendir
kental, mulut kering, sering meludah, dapat dicoba pemberian obat anti
refluks Proton Pump Inhibitor (PPI) seperti omeprazole atau lanzoprazole,
H2 antagonist, obat-obat prokinetik untuk 8 minggu. Bila gejala hilang
maka dapat diduga gejala THT disebabkan sekunder dari PRGE. Menentukan
tes yang potensial untuk menegakkan diagnosis PRGE dengan gejala tipikal
atau atipikal, ada 3 kategori tujuan pemeriksaan : 1) menentukan ada/tidaknya
refluks, 2) menentukan ada/tidaknya kerusakan esophagus akibat refluks, 3)
mengukur refluks secara tepat.1
Disamping anamnesis dan pemeriksaan fisik yang seksama,
beberapa pemeriksaan penunjang dapat dilakukan untuk menegakkan
diagnosis GERD yaitu :

11
Gerd-Q. Kuesioner GERD (GERD-Q) merupakan suatu perangkat kuesioner
yang dikembangkan untuk membantu diagnosis GERD dan mengukur
respons terhadap terapi. Kuesioner ini dikembangkan berdasarkan data-data
klinis dan informasi yang diperoleh dari studi- studi klinis berkualitas dan
juga dari wawancara kualitatif terhadap pasien untuk mengevaluasi
kemudahan pengisian kuesioner. Kuesioner GERD merupakan kombinasi
kuesioner tervalidasi yang digunakan pada penelitian DIAMOND. Tingkat
akurasi diagnosis dengan mengkombinasi beberapa kuesioner tervalidasi akan
meningkatkan sensitivitas dan spesifisitas diagnosis.8
Cobalah mengingat apa yang Anda rasakan dalam 7 hari terakhir.
Berikan tanda centang (v) hanya pada satu tempat untuk setiap pertanyaan dan hitunglah
poin GERD-Q Anda dengan menjumlahkan poin pada setiap pertanyaan.
Frekuensi skor (poin) untuk
gejala
No. Pertanyaan
2-3 4-7
0 hari 1 hari
hari hari
Seberapa sering Anda mengalami perasaan terbakar di bagian
1. 0 1 2 3
belakang tulang dada Anda (heartburn)?
Seberapa sering Anda mengalami naiknya isi lambung ke arah
2. 0 1 2 3
tenggorokan/mulut Anda (regurgitasi)?
3. Seberapa sering Anda mengalami nyeri ulu hati? 3 2 1 0
4. Seberapa sering Anda mengalami mual? 3 2 1 0
Seberapa sering Anda mengalami kesulitan tidur malam oleh
5. karena rasa terbakar di dada (heartburn) dan/atau naiknya isi 0 1 2 3
perut?
Seberapa sering Anda meminum obat tambahan untuk rasa
terbakar di dada (heartburn) dan/atau naiknya isi perut
6. 0 1 2 3
(regurgitasi), selain yang diberikan oleh dokter Anda? (seperti
obat maag yang dijual bebas)
Bila poin GerdQ Anda 7,
kemungkinan Anda tidak
menderita GERD
Hasil
Bila poin GerdQ Anda 8-18,
kemungkinan Anda menderita
GERD

12
Endoksopi saluran cerna bagian atas. Pemeriksaan endoskopi saluran
cerna bagian atas merupakan standar baku untuk diagnosis GERD dengan
ditemukannya mucosal break di esophagus (esophagitis refluks).2
Dengan melakukan pemeriksaan endoskopi dapat dinilai
perubahan makroskopik dari mukosa esophagus serta dapat menyingkirkan
keadaan patologis lain yang dapat menimbulkan gejala GERD. Jika tidak
ditemukan mucosal break pada pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian
atas pada pasien dengan gejala khas GERD, keadaan ini disebut sebagai non-
erosive reflux disease (NERD).2
Ditemukannya kelainan esophagitis pada pemeriksaan endoskopi
yang dipastikan dengan pemeriksaan histopatologi (biposi), dapat
mengkonfirmasikan bahwa gejala heartburn atau regurgitasi tersebut
disebabkan oleh GERD.2
Pemeriksaan histopatologi juga dapat memastikan adanya Barrets
esophagus, dysplasia atau keganasan. Tidak ada bukti yang mendukung
perlunya pemeriksaan histopatologi/biopsi pada NERD.2
Terdapat beberapa klasifikasi kelainan esophagitis pada
pemeriksaan endoskopi dari pasien GERD, antara lain klasifikasi Los
Angeles dan klasifikasi Savarry-Miller.2
Klasifikasi Los Angeles2
Derajat
Gambaran Endoskopi
Kerusakan
Erosi kecil-kecil pada mukosa esophagus dengan diameter
A
< 5 mm
Erosi pada mukosa/lipatan mukosa dengan diameter > 5
B
mm tanpa saling berhubungan
Lesi yang konfluen tetapi tidak mengenai/mengelilingi
C
seluruh lumen
Lesi mukosa esophagus yang bersifat sirkumferensial
D
(mengelilingi seluruh lumen esophagus)

13
Pemeriksaan histopatologi. Pemeriksaan histopatologi dalam diagnosis
GERD adalah untuk menentukan adanya metaplasia, displasia, atau
keganasan. Tidak ada bukti yang menunjang diperlukannya pengambilan
sampel biopsi pada kasus NERD. Di masa yang akan datang, diperlukan studi
lebih lanjut mengenai peranan pemeriksaan endoskopi resolusi tinggi
(magnifying scope) pada NERD.8

Pemeriksaan pH metri 24 jam. Episode refluks gastroesofageal


menimbulkan asidifikasi bagian distal esophagus. Episode ini dapat dimonitor
dan direkam dengan menempatkan mikroelektroda pH pada bagian distal
esophagus. Pengukuran pH pada esophagus bagian distal dapat memastikan
ada tidaknya refluks gastroesofageal. pH dibawah 4 pada jarak 5 cm diatas
LES dianggap diagnostik untuk refluks gastroesofageal.2

Tes penghambat pompa proton (proton pump inhibitor/PPI test)/(tes


supresi asam) acid suppression test. Pada dasarnya tes ini merupakan terapi
empirik untuk menilai gejala dari GERD dengan memberikan PPI dosis
tinggi selama 1-2 minggu sambil melihat respon yang terjadi. Tes ini
terutama dilakukan jika tidak tersedia modalitas diagnostik seperti endoskopi,
pH metri dll. Tes ini dianggap postif jika terdapat perbaikan dari 50%-75%
gejala yang terjadi. Dewasa ini terapi empirik/PPI test merupakan salah satu
langkah yang dianjurkan dalam alogaritma tatalaksana GERD pada pelayanan
kesahatan lini pertama untuk pasien-pasien yang tidak disertai dengan gejala
alarm (yang dimaksud dengan gejala alarm adalah : berat badan turun,
anemia, hematemesis/melena, disfagia, odinofagia, riwayat keluarga dengan
kanker esophagus/lambung) dan umur > 40 tahun.2

14
Terduga kasus
Gejala peringatan/usia
GERD
> 40 tahun

Tidak diselidik Diselidik


Keluhan menetap

Terapi Terapi awal


empiris/tes PPI

Esofagitis
PPI test 1- sedang
2 minggu Esofagitis ringan
dan berat
dosis NERD
gejala
ganda berulang
(sensitivit
as 68-
80%)

Terapi pemeliharaan
(maintenance
Terapi bila therapy)
perlu (On
demand therapy)

Penunjang diagnosis lain :


Esofagografi dengan barium. Dibandingkan dengan endoskopi,
pemeriksaan ini kurang peka dan seringkali tidak menunjukkan kelainan,
terutama pada kasus esophagitis ringan. Pada keadaan yang lebih berat,
gambar radiologi dapat berupa penebalan dinding dan lipatan mukosa, ulkus
atau penyempitan lumen. Walaupun pemeriksaan ini sangat tidak sensitive
untuk diagnosis GERD, namun pada keadaan tertentu pemeriksaan ini
mempunyai nilai lebih dari endoskopi, yaitu pada stenosis esophagus derajat
ringan akibat esophagitis peptic dengan gejala disfagia ataupun hiatus hernia.2

Manometri esophagus. Tes manometri akan memberi manfaat yang berarti


jika pada pasien-pasien dengan gejala nyeri epigastrium dan regurgitasi yang
nyata didapatkan esofagografi barium dan endoskopi yang normal.2

15
Tes Impedans. Metode baru ini dapat mendeteksi adanya refluks
gastroesofageal melalui perubahan resistensi terhadap aliran listrik diantara 2
elektroda, pada saat cairan dan/atau gas bergerak diantaranya. Pemeriksaan
ini terutama berguna untuk evaluasi pada pasien NERD yang tidak membaik
dengan terapi PPI, dimana dokumentasi adanya refluks non-asam akan
merubah tatalaksana.8

Tes Bilitec. Tes ini dapat mendeteksi adanya refluks gastroesofageal dengan
menggunakan sifat-sifat optikal bilirubin. Pemeriksaan ini terutama untuk
evaluasi pasien dengan gejala refluks persisten, meskipun dengan paparan
asam terhadap distal esophagus dari hari pH-metri adalah normal.8

Tes Bernstein. Tes ini mengukur sensitivitas mukosa dengan memasang


selang transnasal dan melakukan perfusi bagian distal esophagus dengan HCl
0,1 M dalam waktu kurang dari satu jam. Tes ini bersifat pelengkap terhadap
monitoring pH 24 jam pada pasien-pasien dengan gejala yang tidak khas. Bila
larutan ini menimbulkan rasa nyeri dada seperti yang biasanya dialami
pasien, sedangkan larutan NaCl tidak menimbulkan rasa nyeri, maka tes ini
dianggap positif. Tes Bernstein yang negatif tidak menyingkirkan adanya
nyeri yang berasal dari esophagus.2

Sintigrafi gastroesofageal. Pemeriksaan ini menggunakan cairan atau


campuran makanan cair dan padat yang dilabel dengan radioisotope yang
tidak diarbsorpsi, biasanya technetium. Selanjutnya sebuah penghitung
gamma (gamma counter) eksternal akan memonitor transit dari
cairan/makanan yang dilabel tersebut. Sensitivitas dan spesifitas tes ini masih
diragukan.2

16
E. PENATALAKSANAAN
Walaupun keadaan ini jarang sebagai penyebab kematian,
mengingat kemungkinan timbulnya komplikasi jangka panjang berupa
ulserasi, striktur esophagus, ataupun esophagus Barrets yang merupakan
keadaan premaligna, maka seyongyanya penyakit ini mendapat
penatalaksanaan yang adekuat.2
Pada prinsipnya, penatalaksanaan GERD terdiri dari modifikasi
gaya hidup, terapi medikamentosa, terapi bedah serta akhir-akhir ini mulai
dilakukan terapi endoskopik.2
Target penatalaksanaan GERD adalah : a) menyembuhkan lesi
esophagus, b) menghilangkan gejala/keluhan, c) mencegah kekambuhan, d)
memperbaiki kualitas hidup, e) mencegah timbulnya komplikasi.2

Modifikasi Gaya Hidup


Modifikasi gaya hidup merupakan salah satu bagian dari
penatalaksanaan GERD, namun bukan merupakan pengobatan primer.
Walaupun belum ada studi yang dapat memperlihatkan kemaknaannya,
namun pada dasarnya usaha ini bertujuan untuk mengurangi frekuensi refluks
serta mencegah kekambuhan.2
Hal-hal yang perlu dilakukan dalam modifikasi gaya hidup adalah
sebagai berikut :
1. Meninggikan posisi kepala pada saat tidur serta menghindari makan
sebelum tidur dengan tujuan untuk meningkatkan bersihan asam selama
tidur serta mencegah refluks asam dari lambung ke esophagus
2. Berhenti merokok dan mengkonsumsi alkohol karena keduanya dapat
menurunkan tonus LES sehingga secara langsung mempengaruhi sel-sel
epitel
3. Mengurangi konsumsi lemak serta mengurangi jumlah makanan yang
dimakan karena keduanya dapat menimbulkan distensi lambung

17
4. Menurunkan berat badan pada pasien kegemukan serta menghindari
pakaian ketat sehingga dapat mengurangi tekanan intra abdomen
5. Menghindari makanan/minuman seperti coklat, teh, peppermint, kopi dan
minuman bersoda karena dapat menstimulasi sekresi asam
6. Jika memungkinkan menghindari obat-obat yang dapat menurunkan
tonus LES seperti anti kolinergik, teofilin, diazepam, opiat, antagonis
kalsium, agonist beta adrenergik, progesterone.2

Terapi Medikamentosa
Terdapat berbagai tahap perkembangan terapi medikamentosa pada
penatalaksanaan GERD ini. Dimulai dengan dasar pola pikir bahwa sampai
saat ini GERD merupakan atau termasuk dalam kategori gangguan motilitas
saluran cerna bagian atas. Namun dalam perkembangannya sampai saat ini
terbukti bahwa terapi supresi asam lebih efektif daripada pemberian obat-obat
prokinetik untuk memperbaiki gangguan motilitas.
Terdapat dua alur pendekatan terapi medikamentosa, yaitu step up
dan step down. Pada pendekatan step up pengobatan dimulai dengan obat-
obat yang tergolong kurang kuat dalam menekan sekresi asam (antagonis
reseptor H2) atau golongan prokinetik, bila gagal diberikan obat golongan
penekan sekresi asam yang lebih kuat dengan masa terapi lebih lama
(penghambat pompa proton/PPI). Sedangkan pada pendekatan step down
pengobatan dimulai dengan PPI dan setelah berhasil dapat dilanjutkan dengan
terapi pemeliharaan dengan menggunakan dosis yang lebih rendah atau
antagonis reseptor H2 atau prokinetik atau bahkan antasid.2
Dari berbagai studi dilaporkan bahwa pendekatan terapi step down
ternyata lebih ekonomis (dalam segi biaya yang dikeluarkan pasien)
dibandingkan dengan pendekatan terapi step up.2
Menurut Genval Statement (1999) serta Konsensus Asia Pasifik
tentang penatalaksanaan GERD (2003) telah disepakati bahwa terapi lini
pertama untuk GERD adalah golongan PPI dan digunakan pendekatan terapi
step down.2

18
Pada umumnya studi pengobatan memperlihatkan hasil tingkat
kesembuhan diatas 80% dalam waktu 6-8 minggu. Untuk selanjutnya dapat
diteruskan dengan terapi pemeliharaan (maintenance therapy) atau bahkan
terapi bila perlu (on demand therapy) yaitu pemberian obat-obatan selama
beberapa hari sampai dua minggu jika ada kekambuhan sampai gejala
hilang.2
Pada berbagai penelitian terbukti bahwa respon perbaikan gejala
menandakan adanya respon perbaikan lesi organiknya (perbaikan
esofagitisnya). Hal ini tampaknya lebih praktis bagi pasien dan cukup efektif
dalam mengatasi gejala pada tatalaksana GERD.2

Gejala khas GERD


Heartburn
Regurgitasi

Gejala peringatan Gejala peringatan


umur > 40 tahun umur < 40 tahun

Gejala Terapi empirik


menetap/berulang

Respon baik

Endoskopi
Terapi minimal 4
minggu

On-demand
Kekambuhan
therapy

19
Berikut ini adalah obat-obatan yang dapat digunakan dalam terapi
medikamentosa GERD :
Antasid
Golongan obat ini cukup efektif dan aman dalam menghilangkan
gejala GERD tetapi tidak menyembuhkan lesi esophagitis.2
Selain sebagai buffer terhadap HCl, obat ini dapat memperkuat
tekanan sfingter esophagus bagian bawah. Kelemahan golongan ini
adalah rasanya kurang menyenangkan, dapat menimbulkan diare
terutama yang mengandung magnesium serta konstipasi terutama antacid
yang mengandung aluminium, penggunannya sangat terbatas pada pasien
dengan gangguan fungsi ginjal.2
Dosis : 4x1 sendok makan/hari
Antagonis Reseptor H2
Termasuk dalam golongan ini adalah simetidin, ranitidine,
farmotidin dan nitazidin. Sebagai penekan sekresi asam, golongan obat
ini efektif dalam pengobatan penyakit refluks gastroesofageal jika
diberikan dosis 2 kali lebih tinggi dan dosis untuk terapi ulkus.2
Golongan obat ini hanya efektif pada pengobatan esophagitis
derajat ringan sampai sedang serta tanpa komplikasi.2
Dosis pemberian :
Simetidin : 3x800mg atau 4x400mg
Ranitidin : 4x150mg
Famotidin : 2x20mg
Nizatidin : 2x150mg
Obat-Obatan Prokinetik
Secara teoritis, obat ini paling sesuai untuk pengobatan GERD karena
penyakit ini dianggap lebih condong kearah gangguan motilitas. Namun
pada prakteknya, pengobatan GERD sangat bergantung kepada
penekanan sekresi asam.2
Metoklopramid :

20
a. Obat ini berkerja sebegai antagonis reseptor dopamin
b. Efektivitasnya rendah dalam mengurangi gejala serta tidak berperan
dalam penyembuhan lesi di esophagus kecuali dalam kombinasi
dengan antagonis reseptor H2 atau penghambat pompa proton.
c. Karena melalui sawar darah otak, maka dapat tumbuh efek terhadap
susunan darah pusat berupa mengantuk, pusing, agitasi, tremor dan
dyskinesia
d. Dosis : 3x10mg
Domperidon :
a. Golongan obat ini adalah antagonis reseptor dopamine dengan efek
samping yang lebih jarang dibanding metoklopramid karena tidak
melalui sawar darah otak
b. Walaupun efektifitasnya dalam mengurangi keluhan dan
penyumbahan lesi esophageal belum banyak dilaporkan, golongan
obat ini dapat diketahui dapat meningkatkan tonus LES serta
mempercepat pengosongan lambung
c. Dosis : 3x10-20mg/hari
Cisapride:
a. Sebagai suatu antagonis reseptor 5 HT4, obat ini dapat mempercepat
pengosongan lambung serta meningkatkan tekanan tonus LES.
b. Efektifitasnya dalam menghilangkan gejala serta penyembuhan lesi
esophagus lebih baik dibanding domperidon
c. Dosis : 3x10mg/hari
Sukralfat (Aluminium Hidroksia + Sukrosa Oktasulfat)
Berbeda dengan antasid dan penekan sekresi asam, obat ini tidak
memiliki efek langsung terhadap asam lambung.2
Obat ini bekerja dengan cara meningkatkan pertahanan mukosa
esophagus, sebagai buffer terhadap HCl di esophagus serta dapat
mengikat pepsin dan garam empedu. Golongan obat ini cukup aman
diberikan karena bekerja secara topikal (sitoproteksi).2
Dosis : 4x1gram

21
Penghampat Pompa Proton (Proton Pump Inhibitor/PPI)
a. Golongan ini merupakan drug of choice dalam pengobatan GERD
b. Golongan obat-obatan ini bekerja langsung pada pompa proton sel
parietal dengan mempengaruhi enzim H, K ATP-ase yang dianggap
sebagai tahap akhir proses pembentukan asam lambung
c. Obat-obatan ini sangat efektif dalam menghilangkan keluhan serta
penyembuhan lesi esophagus, bahkan pada esophagitis erosive
derajat berat serta yang refrakter dengan golongan antagonis reseptor
H2
d. Dosis yang diberikan untuk GERD adalah dosis penuh yaitu :
Omeprazole : 2x20mg
Lansoprazole : 2x30mg
Pantoprazole : 2x40mg
Rabeprazole : 2x10mg
Esomeprazole : 2x40mg
Umumnya pengobatan diberikan selama 6-8 minggu (terapi
inisial) yang dapat dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan
(maintenance therapy) selama 4 bulan atau on demand therapy,
tergantung dari derajat esofagitisnya.2
Efektivitas golongan obat ini semakin bertambah jika
dikombinasi dengan golongan prokinetik.2
e. Untuk pengobatan NERD diberikan dosis standar, yaitu :
Omeprazole : 1x20mg
Lansoprazole : 1x30mg
Pantoprazol : 1x40mg
Rabeprazol : 1x10mg
Esomeprazol : 1x40mg
Umumnya pengobatan diberikan selama minimal 4 minggu,
dilanjutkan dengan on demand therapy.2

22
Terdapat beberapa algoritme dalam penatalaksanaan GERD
pada pelayanan kesehatan lini pertama, salah satu diantaranya adalah
yang direkomendasikan dalam Konsensus Nasional untuk
Penatalaksanaan GERD di Indonesia (2004).2
Efektifitas Terapi Obat-Obatan
Penyembuhan
Mengurangi Mencegah Mencegah
Golongan Obat Lesi
Gejala Komplikasi Kekambuhan
Esofagitis
Antasid +1 0 0 0
Prokinetik +2 +1 0 +1
Antagonis
+2 +2 +1 +1
Reseptor H2
Antagonis
Reseptor H2 + +3 +3 +1 +1
Prokinetik
Antagonis
Reseptor H2 +3 +3 +2 +2
Dosis Tinggi
Penghambat
+4 +4 +3 +4
Pompa Proton
Pembedahan +4 +4 +3 +4

Pembedahan
Penatalaksanaan bedah mencakup tindakan pembedahan antirefluks
(fundoplikasi Nissen, perbaikan hiatus hernia, dll) dan pembedahan untuk
mengatasi komplikasi. Pembedahan antirefluks (fundoplikasi Nissen) dapat
disarankan untuk pasien-pasien yang intoleran terhadap terapi pemeliharaan,
atau dengan gejala mengganggu yang menetap (GERD refrakter). Studi-studi
yang ada menunjukkan bahwa, apabila dilakukan dengan baik, efektivitas
pembedahan antirefluks ini setara dengan terapi medikamentosa, namun

23
memiliki efek samping disfagia, kembung, kesulitan bersendawa dan
gangguan usus pascapembedahan.8

F. KOMPLIKASI
PRGE dapat menimbulkan komplikasi ke esophagus dan ekstra esophagus.
Komplikasi berat ke dalam esophagus antara lain Esofagus Barret, striktur
peptik. Komplikasi ekstra esophagus antara lain kelainan laringofaring, asma
yang disebabkan refluks.1
1. Striktur esophagus
Striktur esophagus disebabkan karena ulkus-ulkus yang terdapat pada
esophagus telah pulih namun membentuk suatu jaringan fibrosis.
Selanjutnya jaringan fibrosis tersebut lama kelamaan akan menyusut dan
menyempit sehingga lumen esophagus pun ikut menyempit. Penyempitan
ini disebut dengan striktur. Apabila penyempitan ini semakin parah, hal
ini dapat menyebabkan makanan yang masuk ke dalam esophagus tidak
dapat sampai ke lambung karena adanya obstruksi yang disebabkan oleh
penyempitan/striktur pada lumen esophagus tersebut.
2. Barret esophagus
Merupakan bentuk komplikasi dari GERD derajat berat dimana terjadi
metaplasia dari sel epitel squamous berubah menjadi esophagus
columnar. Barret merupakan faktor resiko terjadinya adenoca esophagus.
Perubahan epitel dari squamous menjadi columnar pada esophagus
terjadi pada saat proses penyembuhan dari esofagitis erosive namun
selama dalam masa proses pemulihan tersebut, refluks asam lambung ke
esophagus juga terus berlangsung. Akibat adanya paparan yang berulang-
ulang terhadap asam lambung tersebut maka sel epitel squamous
esophagus tersebut lama kelamaan bermetaplasia jadi epitelsel
columnar.6

G. PROGNOSIS

24
Pada umumnya studi pengobatan memperlihatkan hasil tingkat
kesembuhan diatas 80% dalam waktu 6-8 minggu. Untuk selanjutnya dapat
diteruskan dengan terapi pemeliharaan (maintenance therapy) atau bahkan
terapi bila perlu (on-demand therapy) yaitu pemberian obat-obatan selama
beberapa hari sampai dua minggu jika ada kekambuhan sampai gejala
hilang.7
Pada berbagai penelitian terbukti bahwa respons perbaikan gejala
menandakan adanya respons perbaikan lesi organiknya (perbaikan
esofagitisnya). Hal ini tampaknya lebih praktis bagi pasien dan cukup efektif
dalam mengatasi gejala pada tatalaksana GERD.7

25
DAFTAR PUSTAKA

1. Soepardi E.A, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti R.D. Penyakit Refluks


Gastroesofagus dengan Manifestasi Otolaringologi. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala, dan Leher. Edisi Ketujuh.
Jakarta : Balai Penerbit FKUI. 2014.
2. Setiati Siti. Penyakit Refluks Gastroesofageal. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jilid II. Edisi VI. Jakarta : InternaPublishing. 2014.
3. Asroel H. Penyakit Refluks Gastroesofagus. Universitas Sumatera Utara.
Cited July 18 2011.
4. Robbins. Esofagitis. Buku Ajar Patologi. Volume 2. Edisi 7. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2012.
5. Price S.A, Wilson L.M. Esofagitis. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. Volume 1. Edisi 6. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2012.
6. Triadafilopoulos M.D. Endoscopic Therapies for Gastroesophageal Reflux
Disease. Current Gastroenterology Reports. 2002; 4: 200-204.
7. Orienstein S.R, Peters J, Khan S, Youssef N, Hussain Z. The Esophagus.
Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia : Sounders. 2004.
h.1217-27.
8. Syam Ari Fahrial, dkk. Revisi Konsensus Nasional Penatalaksanaan Penyakit
Refluks Gastroesofageal di Indonesia. Perkumpulan Gastroenterologi
Indonesia. 2013.

26
BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM Makassar, 18 April 2017
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

REFARAT
GERD

DISUSUN OLEH:
Ayuni Warhamni Muniruddin
111 2016 2044

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2017

27

Anda mungkin juga menyukai