Pada hari ini tanggal 15 Mei 2017 telah dipresentasikan portofolio oleh :
Pendamping
1. SUBJEKTIF:
Seorang perempuan umur 42 tahun datang dengan keluhan lemas yang dialami 1
jam SMRS. Nyeri tengkuk (+), pusing (+), hoyong(+), pandangan mata terasa kabur
(+)
Riwayat Penyakit Dahulu :
- Hipertensi tak terkontrol
Riwayat Pemakaian Obat :
2. Objektif :
A. Status Generalis
Kepala
Mata : konjungtiva anemi (-/-) , ikterik (-/-)
Hidung : dalam batas normal
Telinga : dalam batas normal
Mulut : dalam batas normal
Leher : Pembesaran KGB (-)
Pulmo
Inspeksi : Pergerakan dada simetris
ketinggalan pernafasan (-)
retraksi dinding dada (-)
Palpasi : sterm fremitus ka = ki
Perkusi : sonor dikedua lapangan paru
Auskultasi : vesikuler , wheezing (-/-)
Jantung
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
Palpasi : ictus cordis tidak teraba
Perkusi : batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : S1 S2 reguler, gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : simetris
Palpasi : soepel, hepar dan lien tidak teraba
Auskultasi : bising usus (+ ) normal, undulasi (-)
Perkusi : timpani, shifting dullness (-)
Ekstremitas atas dan bawah :
Akral hangat, oedem (-)
B. Pemeriksaan Laboratorium
Darah Rutin
Darah Rutin
MCV 85,8 80 97 m3
Kimia Klinik
3. Diagnosis
4. Penatalaksanaan
Medikemantosa
- Tirang Baring
- IVFD Rsol 20 gtt/i
- amlodipin 1 x 10 mg
- inj. Ondansetron 4mg /8j
- captopril 25 mg (SL)
- inj. Citicolin 250mg / 8j
- inj. Ranitidine 1 amp / 12j
- furosemide 1x 40 mg
- Betahistin 1x 1
5. FOLLOW UP
Tanggal 25-5-2017
-S : lemas (+) pusing (+) nyeri tengkuk (+) pandangan kabur (+)
-O : TD : 210/120 mmHg HR : 84x/i RR: 20x/i T : 36,0 C
-A : Krisis hipertensi
-P : Tirah Baring
- IVFD Rsol 20 gtt/i
- amlodipin 1 x 10 mg
- inj. Ondansetron 4mg /8j
- captopril 25 mg (SL)
- inj. Citicolin 250mg / 8j
- inj. Ranitidine 1 amp / 12j
- furosemide 1x 40 mg
- Betahistin 1x 1
Tanggal 26-2-2017
-S : lemas (+) pusing (+) nyeri tengkuk (+) berkurang pandangan kabur
(+) berkurang
-O : TD : 180/100 mmHg HR : 88x/i RR: 22x/i T : 36,4 C
-A : Krisis hipertensi
-P : Tirah Baring
- IVFD Rsol 20 gtt/i
- amlodipin 1 x 10 mg
- inj. Ondansetron 4mg /8j
- captopril 25 mg (SL)
- inj. Citicolin 250mg / 8j
- inj. Ranitidine 1 amp / 12j
- furosemide 1x 40 mg
- Betahistin 1x 1
Tanggal 27-2-2017
-S : lemas (+) pusing (-) nyeri tengkuk (-) pandangan kabur (+)
berkurang
-O : TD : 180/100 mmHg HR : 84x/i RR: 22x/i T : 36,1 C
-A : Krisis hipertensi
-P : Tirah Baring
- IVFD Rsol 20 gtt/i
- amlodipin 1 x 10 mg
- inj. Ondansetron 4mg /8j
- captopril 25 mg (SL)
- inj. Citicolin 250mg / 8j
- inj. Ranitidine 1 amp / 12j
- furosemide 1x 40 mg
- Betahistin 1x 1
Tanggal 28-2-2017
-S : lemas (-) pusing (-) nyeri tengkuk (-) pandangan kabur (-)
-O : TD : 170/100 mmHg HR : 80x/i RR: 22x/i T : 36,9 C
-A : Krisis hipertensi
-P : - amlodipin 1 x 10 mg
- Ranitidine 2 x 1
- PCT 3x 500 mg
- Betahistin 1x 1
- B.comp 2x 1
A. DEFENISI
Tingginya TD yang dapat menyebabkan kerusakan organ sasaran tidak hany dari
tingkatan TD aktual, tapi juga dari tingginya TD sebelumnya, cepatnya kenaikan TD, bangsa,
seks dan usia penderita. Penderita hipertensi kronis dapat mentolelir kenaikan TD yang lebih
tinggi dibanding dengan normotensi, sebagai contoh : pada penderita hipertensi kronis, jarang
terjadi hipertensi ensefalopati, gangguan ginjal dan kardiovaskular dan kejadian ini dijumpai
bila TD Diastolik > 140 mmHg. Sebaliknya pada penderita normotensi ataupun pada
penderita hipertensi baru dengan penghentian obat yang tiba-tiba, dapat timbul hipertensi
ensefalopati demikian juga pada eklampsi, hipertensi ensefalopati dapat timbul walaupun TD
160/110 mmHg.
C. PATOFISIOLOGI
Ada 2 teori yang dianggap dapat menerangkan timbulnya hipertensi ensefalopati
yaitu:
Dengan kenaikan TD menyebabkan spasme yang berat pada arteriole mengurangi aliran
darah ke otak (CDF) dan iskemi. Meningginya permeabilitas kapiler akan menyebabkan
pecahnya dinding kapiler, udema di otak, petekhie, pendarahan dan mikro infark.
D. DIAGNOSA
Diagnosa krisis hipertensi harus ditegakkan sedini mungkin, karena hasil terapi
tergantung kepada tindakan yang cepat dan tepat. Tidak perlu menunggu hasil pemeriksaan
yang menyeluruh walaupun dengan data-data yang minimal kita sudah dapat mendiagnosa
1. Anamnesa : Sewaktu penderita masuk, dilakukan anamnesa singkat. Hal yang penting
ditanyakan:
Gejala sistem kardiovascular ( adanya payah jantung, kongestif dan oedem paru, nyeri
dada ).
2. Pemeriksaan fisik
ataupun payah jantung, kongestif dan oedema paru. Perlu dicari penyakit penyerta lain seperti
3. Pemeriksaan penunjang
d. Foto dada : apakah ada oedema paru ( dapat ditunggu setelah pengobatan
terlaksana ).
Pemeriksaan lanjutan ( tergantung dari keadaan klinis dan hasil pemeriksaan yang
pertama ) :
a. sangkaan kelainan renal : IVP, Renald angiography ( kasus tertentu ), biopsi
renald ( kasus tertentu ).
Dari anamnese dan pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang dapat dibedakan hipertensi
emergensi urgensi dan faktor-faktor yang mempresipitasi krisis hipertensi. Keadaan-keadaan
klinis yang sering mempresipitasi timbulnya krisis hipertensi, antara lain :
E. Difrensial diagnosa
Krisis hipertensi harus dibedakan dari keadaan yang menyerupai krisis hipertensi seperti :
- Hipertensi berat
Tekanan darah yang sedemikian tinggi haruslah segera diturunkan karena penundaan
akan memperburuk penyakit yang akan timbul baik cepat maupun lambat. Tetapi dipihak
lain, penurunan yang terlalu agresif juga dapat menimbulkan berkurangnya perfusi dan aliran
darah ke organ vital terutama otak, jantung, dan ginjal. Sampai sejauh mana tekanan darah
diturunkan ?. Untuk menurunkan TD sampai ke tingkat yang diharapkan perlu diperhaikan
berbagai faktor antara lain keadaan hipertensi sendiri ( TD segera diturunkan atau bertahap,
pengamatan problema yang menyertai krisis hipertensi perubahan dari aliran darah dan
autoregulasi TD pada organ vital dan pemilihan obat anti hipertensi yang efektif untuk krisis
hipertensi dan monitoring efek samping obat.
AUTOREGULASI
Yang dimaksud autoregulasi adalah penyesuaian fisiologis organ tubuh terhadap
kebutuhan dan pasokan darah dengan mengadakan perubahan pada resistensi terhadap aliran
darah dengan berbagai tingkatan perubahan kontriksi / dilatasi pembuluh darah. Dengan
pengetahuan autoregulasi dalam menurunkan TD secara mendadak dimaksudkan untuk
melindungi organ vital dengan tidak terjadi iskemi. Autoregulasi otak telah cukup luas diteliti
dan diterangkan. Bila TD turun, terjadi vasodilatasi, jika TD naik timbul vasokonstriksi. Pada
individu normotensi, aliran darah otak masih tetap pada fluktuasi Mean Arterial Pressure (
MAP ) 60 70 mmHg. Bila MAP turun dibawah batas autoregulasi, maka otak akan
mengeluarkan oksigen lebih banyak dari darah untuk kompensasi dari aliran darah yang
berkurang. Bila mekanisme ini gagal, maka dapat terjadi iskemi otak dengan manifestasi
klinik seperti mual, menguap, pingsan dan sinkope. Autoregulasi otak ini kemungkinan
disebabkan oleh mekanisme miogenic yang disebabkan oleh stretch receptors pada otot polos
arteriol otak, walaupun oleh Kontos dkk. Mengganggap bahwa hipoksia mempunyai peranan
dalam perubahan metabolisme di otak. Pada cerebrovaskuler yang normal penurunan TD
yang cepat sampai batas hipertensi, masih dapat ditolelir.
Pada penderita hipertensi kronis, penyakit cerebrovaskular dan usia tua, batas ambang
autoregulasi ini akan berubah dan bergeser ke kanan pada kurva, sehingga pengurangan
aliran darah terjadi pada TD yang lebih tinggi. Straagaard pada penelitiannya mendapatkan
MAP rata-rata 113 mmHg pada 13 penderita hipertensi tanpa pengobatan dibandingkan
dengan 73 mmHg pada orang normotensi. Penderita hipertensi dengan pengobatan
mempunyai nilai diantar group normotensi dan hipertensi tanpa pengobatan dan dianggap
bahwa TD terkontrol cenderung menggeser autoregulasi kearah normal.
Dari penelitian didapatkan bahwa baik orang yang normotensi maupun hipertensi,
ditaksir bahwa batas terendah dari autoregulasi otak adalah kira-kira 25% dibawah resting
MAP. Oleh karena itu dalam pengobatan krisis hipertensi, pengurangan MAP sebanyak 20
25% dalam beberapa menit/jam, tergantung dari apakah emergensi atau urgensi penurunan
TD pada penderita aorta diseksi akut ataupun oedema paru akibat payah jantung kiri
dilakukan dalam tempo 1530 menit dan bisa lebir rendah lagi dibandingkan hipertensi
emergensi lainnya. Penderita hipertensi ensefalopati, penurunan TD 25% dalam 23 jam.
Untuk pasien dengan infark cerebri akut ataupun pendarahan intrakranial, pengurangan TD
dilakukan lebih lambat (6 12 jam) dan harus dijaga agar TD tidak lebih rendah dari 170
180/100 mmHg.
2. Nitroglycerini : merupakan vasodilator vena pada dosis rendah tetapi bila dengan dosis
tinggi sebagai vasodilator arteri dan vena. Onset of action 2 5 menit, duration of
action 3 5 menit.
3. Diazolxide : merupakan vasodilator arteri direk yang kuat diberikan secara i. V bolus.
Efek samping : hipotensi dan shock, mual, muntah, distensi abdomen, hiperuricemia,
aritmia, dll.
Onset of action : oral 0,5 1 jam, i.v : 10 20 menit duration of action : 6 12 jam.
Pemberiannya bersama dengan alpha agonist central ataupun Beta Blocker untuk
mengurangi refleks takhikardi dan diuretik untuk mengurangi volume intravaskular.
Efeksamping : refleks takhikardi, meningkatkan stroke volume dan cardiac out put,
eksaserbasi angina, MCI akut dll.
Efek samping : opstipasi, ileus, retensia urine, respiratori arrest, glaukoma, hipotensi,
mulut kering.
Dosis : 20 80 mg secara i.v. bolus setiap 10 menit ; 2 mg / menit secara infus i.v.
Efek samping : hipotensi orthostatik, somnolen, hoyong, sakit kepala, bradikardi, dll.
Juga tersedia dalam bentuk oral dengan onset of action 2 jam, duration of action 10
jam dan efek samping hipotensi, respons unpredictable dan komplikasi lebih sering
dijumpai.
9. Methyldopa : termasuk golongan alpha agonist sentral dan menekan sistem syaraf
simpatis.
Onset of action 5 10 menit dan mencapai maksimal setelah 1 jam atau beberapa jam.
Efek samping : rasa ngantuk, sedasi, hoyong, mulut kering, rasa sakit pada parotis.
Bila dihentikan secara tiba-tiba dapat menimbulkan sindroma putus obat.
Walaupun akhir-akhir ini ada kecenderungan untuk memberikan obat-obat oral yang
cara pemberiannya lebih mudah tetapi pemberian obat parenteral adalah lebih aman. Dengan
Sodium nitrotprusside, Nitroglycirine, Trimethaphan TD dapat diturunkan baik secara
perlahan maupun cepat sesuai keinginan dengan cara menatur tetesan infus. Bila terjadi
penurunan TD berlebihan, infus distop dan TD dapat naik kembali dalam beberapa menit.
Hal yang kurang menguntungkan dengan obat parenteral adalah perlu pengawasan
yang tepat bagi pasien di ICU. Yang menjadi adalah kebanyakan obat-obat parenteral tidak
dapat diperoleh secara komersil di Indonesia. Obat parenteral yang tersedia adalah clonidine.
Pengguna clonidone untuk krisis hipertensi lebih banyak dipakai di Eropa, sedangkan di
Amerika bentuk injeksi clonidine tidak tersedia.
Van Der Hem di Belanda menggunakan clonidine intra vena 0,15 mg dan bagi pasien
yang tidak respons dengan satu kali injeksi, digunakan clonidine 0,9 1,05 mg dalam 500 ml
Dekstrose dan disis ditittrasi. Hasil yang diperoleh cukup baik dan efek samping yang
minimal. Penelitian lain di Australia menggunakan clonidine intra vena 150 mg atau 300 mg
dalam 10ml NaCl 0,9% secara i.v 5 menit dan mendapat respons yang baik dan efek samping
maksimum dalam 30-60 menit. Di bagian penyakit Dalam FK USU Medan, telah diteliti
pemakaian clonidine pada krisis hipertensi dengan cara : Dosis yang digunakan adalah
150mcg ( 1 ampul ) dalam 1000ml deksmenit 5% didalam mikrodrid dan dimulai dengan 12
tetes/menit. Setiap 15 menit dosis dititrasi dengan menaikkan tetesan dengan 4 tetes setiap
kalinya sampai TD yang diingini diperoleh. Bila TD ini telah dicapai diawasi selama 4 jam
dan selanjutnya dengan obat per oral. Dengan tetesan berkisar 12-104 tetes/menit dapat
dicapai TD yang diingini dan penderita tidak mengalami penurunan TD yang berlebihan.
Hasil yang diperoleh yaitu TD diastolik dapat diturunkan <120mmHg dalam 1 jam
dan respons yang baik pada 90,5% kasus. Kerugian obat ini adalah efek samping yang sering
timbul seperti mulut kering, mengantuk dan depresi. Pada hipertensi dengan tanda iskemi
cerebral ataupun stroke, obat ini akan memperberat gejala.
G. Prognosa
Sebelum ditemukannya obat anti hipertensi yang efektif survival penderita hanyalah
20% dalam 1 tahun.Kematian sebabkan oleh uremia (19%), payah jantung kongestif (13%),
cerebro vascular accident (20%),payah jantung kongestif disertai uremia (48%), infrak Mio
Card (1%), diseksi aorta (1%). Prognose menjadi lebih baik berkat ditemukannya obat yang
efektif dan penaggulangan penderita gagal ginjal dengan analysis dan transplantasi ginjal.
DAFTAR PUSTAKA
1. Alpert J. S, Rippe J.M ; 1980 : Hype tensive Crisis in manual of Cardiovascular
Diagnosis and Therapy, Asean Edition Little Brown and Coy Boston, 149-60.
2. Anavekar S.N. : Johns C.I; 1974 : Management of Acute Hipertensive Crissis with
Clonidine (catapres ), Med. J. Aust. 1 :829-831.
3. Angeli.P. Chiese. M, Caregaro,et al, 1991 : Comparison of sublingual Captopril and
Nifedipine in immediate Treatment of hypertensive Emergencies, Arch, Intren. Med,
151 : 678-82.
4. Anwar C.H. ; Fadillah. A ; Nasution M. Y ; Lubis H.R; 1991 : Efek akut obat anti
hipertensi (Nifedipine, Klonodin Metoprolol ) pada penderita hipertensi sedang dan
berat ; naskah lengkap KOPARDI VIII, Yogyakarta, 279-83.
5. Bertel. O. Conen D, Radu EW, Muller J, Lang C : 1983:Nifedipine in Hypertensive
Emergencies, BrMmmed J, 286; 19-21.
6. Calhoun D.A, Oparil . S ; 1990 : Treatmenet of Hypertensive Crisis, New Engl J Med,
323 : 1177-83.
7. Gifford R.W, 1991 : Mamagement of Hypertensivi Crisis, JAMA SEA,266; 39-45.
th
8. Kaplan N.M, 1986 : Clinical Hypertention, 4 Edition, William & Elkins, Baltimore,
2273-89.