Anda di halaman 1dari 22

BERITA ACARA PRESENTASI PORTOFOLIO

Pada hari ini tanggal 15 Mei 2017 telah dipresentasikan portofolio oleh :

Nama Peserta : dr. Elaysa Irwanda

Judul : Asma Bronkial

Nama Pendamping : dr. Saidi Maghfur Ginting

Nama Wahana : RSUD Sultan Sulaiman Serdang Bedagai

NO. Nama Peserta Presentasi Tanda tanga


1. dr. Cut Nabila Azhar

2. dr. Dara anda Fitra

3. dr. Glory Valentina Purba

4. dr. Halpy Karlin

5. dr. Lisa Yunita

Pendamping

dr. Saidi Maghfur Ginting


PORTOFOLIO

Topik : Krisis Hipertensi


Tanggal : 24 2 2017 Presenter : dr. Elaysa Irwanda

Tanggal Presentasi : Pendamping : dr. Saidi Maghfur Ginting


dr. Pipin Andriyani

Tempat Presentasi : Ruang Rapat RSUD Sultan Sulaiman Serdang Bedagai


Objektif Presentasi :
Keilmuan Ketrampilan Penyegaran Tinjauan Pustaka
Diagnostik Manajemen Masalah Istimewa
Bayi Anak Dewasa Lansia Bumil
Neonatus Remaja
Deskripsi : Seorang laki laki umur 54 tahun dating dengan keluhan sesak nafas yang
dialami 1 hari SMRS.
Tujuan : Mendiagnosis dan memberikan tatalaksana yang tepat sesuai dengan penyakit
yang dialami pasien
Bahan Bahasan Tinjaun Pustaka Riset Kasus Audit
Cara Diskusi Presentasi dan Email Pos
Membahas diskusi

Data Pasien Nama : Ny.SD No. RM : 03.82.09


Alamat : kampong Pon
Agama : Islam
Bangsa : Indonesia
Nama RS : RSUD Sultan Telp : Terdaftar Sejak :
Sulaiman
Data utama untuk bahan diskusi
1. Diagnosis / Gambaran klinis :
Deskripsi : Krisis Hipertensi .lemas, nyeri tengkuk, pusing, pandangan kabur
2. Riwayat Pengobatan : Pasien sebelumnya pernah menderita dengan keluhan sama
3. Riwayat Kesehatan / penyakit :
4. Riwayat keluarga : Hipertensi pada ibu
5. Riwayat Pekerjaan : PNS
Daftar Pustaka
1. Alpert J. S, Rippe J.M ; 1980 : Hype tensive Crisis in manual of Cardiovascular
Diagnosis and Therapy, Asean Edition Little Brown and Coy Boston, 149-60.
2. Anavekar S.N. : Johns C.I; 1974 : Management of Acute Hipertensive Crissis with
Clonidine (catapres ), Med. J. Aust. 1 :829-831.
3. Angeli.P. Chiese. M, Caregaro,et al, 1991 : Comparison of sublingual Captopril and
Nifedipine in immediate Treatment of hypertensive Emergencies, Arch, Intren. Med,
151 : 678-82.
4. Anwar C.H. ; Fadillah. A ; Nasution M. Y ; Lubis H.R; 1991 : Efek akut obat anti
hipertensi (Nifedipine, Klonodin Metoprolol ) pada penderita hipertensi sedang dan
berat ; naskah lengkap KOPARDI VIII, Yogyakarta, 279-83.
5. Bertel. O. Conen D, Radu EW, Muller J, Lang C : 1983:Nifedipine in Hypertensive
Emergencies, BrMmmed J, 286; 19-21.
Hasil Pembelajaran
1. Etiologi dan Patogenesis Krisis Hipertensi
2. Gejala Klinis dan Pemeriksaan Krisis Hipertensi
3. Penegakan Diagnosa Krisis Hipertensi
4. Penatalaksanaan dan Prognosa Krisis Hipertensi

1. SUBJEKTIF:
Seorang perempuan umur 42 tahun datang dengan keluhan lemas yang dialami 1
jam SMRS. Nyeri tengkuk (+), pusing (+), hoyong(+), pandangan mata terasa kabur
(+)
Riwayat Penyakit Dahulu :
- Hipertensi tak terkontrol
Riwayat Pemakaian Obat :

2. Objektif :

Keadaan Umum : Tampak sakit


Kesadaran : Komposmentis
Tanda Vital
TD : 210/130 mmHg
Suhu : 36,1 C
HR : 90 x/i
RR : 22 x /i

A. Status Generalis
Kepala
Mata : konjungtiva anemi (-/-) , ikterik (-/-)
Hidung : dalam batas normal
Telinga : dalam batas normal
Mulut : dalam batas normal
Leher : Pembesaran KGB (-)
Pulmo
Inspeksi : Pergerakan dada simetris
ketinggalan pernafasan (-)
retraksi dinding dada (-)
Palpasi : sterm fremitus ka = ki
Perkusi : sonor dikedua lapangan paru
Auskultasi : vesikuler , wheezing (-/-)
Jantung
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
Palpasi : ictus cordis tidak teraba
Perkusi : batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : S1 S2 reguler, gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : simetris
Palpasi : soepel, hepar dan lien tidak teraba
Auskultasi : bising usus (+ ) normal, undulasi (-)
Perkusi : timpani, shifting dullness (-)
Ekstremitas atas dan bawah :
Akral hangat, oedem (-)

B. Pemeriksaan Laboratorium

Darah Rutin

Tanggal 24 februari 2017

Jenis Pemeriksaan Hasil Normal Unit

Darah Rutin

Leukosit 9.400 4.000 10.000 /mm3

Eritrosit 4,38 3,8 5,8 Juta/mm3

Hemaglobin (HB) 12,6 12,0 16, 0 gr/ dL

Hematokrit 39,5 35,0 50,0 %

Trombosit 240.000 150 450 Ribu/mm3

PCT 0,269 0,100 0,500 %

MCV 85,8 80 97 m3

MCH 29,8 26,5 33,5 Pg

MCHC 34,0 31,5 35,0 gr/dL

RDW 12,7 10,0 15,0 %

MPV 9,2 6,5 11,0 m3


PDW 14,7 10,0 18,0 %

Kimia Klinik

Glukosa Ad Random 105 200 mg/dL

3. Diagnosis

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang diagnosis


kasus ini adalah : Krisis Hipertensi.

4. Penatalaksanaan

Medikemantosa
- Tirang Baring
- IVFD Rsol 20 gtt/i
- amlodipin 1 x 10 mg
- inj. Ondansetron 4mg /8j
- captopril 25 mg (SL)
- inj. Citicolin 250mg / 8j
- inj. Ranitidine 1 amp / 12j
- furosemide 1x 40 mg
- Betahistin 1x 1

Konsul Spesialis Penyakit Dalam

5. FOLLOW UP

Tanggal 25-5-2017
-S : lemas (+) pusing (+) nyeri tengkuk (+) pandangan kabur (+)
-O : TD : 210/120 mmHg HR : 84x/i RR: 20x/i T : 36,0 C
-A : Krisis hipertensi
-P : Tirah Baring
- IVFD Rsol 20 gtt/i
- amlodipin 1 x 10 mg
- inj. Ondansetron 4mg /8j
- captopril 25 mg (SL)
- inj. Citicolin 250mg / 8j
- inj. Ranitidine 1 amp / 12j
- furosemide 1x 40 mg
- Betahistin 1x 1

Tanggal 26-2-2017
-S : lemas (+) pusing (+) nyeri tengkuk (+) berkurang pandangan kabur
(+) berkurang
-O : TD : 180/100 mmHg HR : 88x/i RR: 22x/i T : 36,4 C
-A : Krisis hipertensi
-P : Tirah Baring
- IVFD Rsol 20 gtt/i
- amlodipin 1 x 10 mg
- inj. Ondansetron 4mg /8j
- captopril 25 mg (SL)
- inj. Citicolin 250mg / 8j
- inj. Ranitidine 1 amp / 12j
- furosemide 1x 40 mg
- Betahistin 1x 1

Tanggal 27-2-2017
-S : lemas (+) pusing (-) nyeri tengkuk (-) pandangan kabur (+)
berkurang
-O : TD : 180/100 mmHg HR : 84x/i RR: 22x/i T : 36,1 C
-A : Krisis hipertensi
-P : Tirah Baring
- IVFD Rsol 20 gtt/i
- amlodipin 1 x 10 mg
- inj. Ondansetron 4mg /8j
- captopril 25 mg (SL)
- inj. Citicolin 250mg / 8j
- inj. Ranitidine 1 amp / 12j
- furosemide 1x 40 mg
- Betahistin 1x 1

Tanggal 28-2-2017
-S : lemas (-) pusing (-) nyeri tengkuk (-) pandangan kabur (-)
-O : TD : 170/100 mmHg HR : 80x/i RR: 22x/i T : 36,9 C
-A : Krisis hipertensi
-P : - amlodipin 1 x 10 mg
- Ranitidine 2 x 1
- PCT 3x 500 mg
- Betahistin 1x 1
- B.comp 2x 1

Pasien Berobat Jalan


KRISIS HIPERTENSI

A. DEFENISI

Dikenal beberapa istilah berkaitan dengan krisis hipertensi antara lain :


1. Hipertensi refrakter : respons pengobatan tidak memuaskan dan TD > 200/110 mmHg,
walaupun telah diberikan pengobatan yang efektif (triple drug) pada penderita dan
kepatuhan pasien.
2. Hipetensi akselerasi : TD meningkat (Diastolik) > 120 mmHg disertai dengan kelainan
funduskopi KW III. Bila tidak diobati dapat berlanjut ke fase maligna.
3. Hipertensi maligna : penderita hipertensi akselerasi dengan TD Diastolik > 120 130
mmHg dan kelainan funduskopi KW IV disertai papiledema, peniggian tekanan
intrakranial kerusakan yang cepat dari vaskular, gagal ginjal akut, ataupun kematian
bila penderita tidak mendapat pengobatan. Hipertensi maligna, biasanya pada
penderita dengan riwayat hipertensi essensial ataupun sekunder dan jarang terjadi
pada penderita yang sebelumnya mempunyai TD normal.
4. Hipertensi ensefalopati : kenaikan TD dengan tiba-tiba disertai dengan keluhan sakit
kepala yang sangat, perubahan kesadaran dan keadaan ini dapat menjadi reversible
bila TD diturunkan.

B. KLASIFIKASI KRISIS HIPERTENSI


Secara praktis krisis hipertensi dapat diklasifikasikan berdasarkan perioritas pengobatan,
sebagai berikut :
1. Hipertensi emergensi (darurat) ditandai dengan TD Diastolik > 120 mmHg, disertai
kerusakan berat dari organ sasaran yag disebabkan oleh satu atau lebih
penyakit/kondisi akut (tabel I). Keterlambatan pengobatan akanmenyebebabkan
timbulnya sequele atau kematian. TD harus diturunkan sampai batas tertentu dalam
satu sampai beberapa jam. Penderita perlu dirawat di ruangan intensive care unit atau
(ICU).
2. Hipertensi urgensi (mendesak), TD diastolik > 120 mmHg dan dengan tanpa
kerusakan/komplikasi minimum dari organ sasaran. TD harus diturunkan dalam 24
jam sampai batas yang aman memerlukan terapi parenteral.
Tabel I : Hipertensi emergensi ( darurat )
TD Diastolik > 120 mmHg disertai dengan satu atau lebih kondisi akut.
Pendarahan intra pranial, ombotik CVA atau pendarahan subarakhnoid.
Hipertensi ensefalopati.
Aorta diseksi akut.
Oedema paru akut.
Eklampsi.
Insufisiensi ginjal akut.
Infark miokard akut, angina unstable.
Sindroma kelebihan Katekholamin yang lain :
- Sindrome withdrawal obat anti hipertensi.
- Cedera kepala.
- Luka bakar.
- nteraksi obat.

Tabel II : Hipertensi urgensi ( mendesak )


Hipertensi berat dengan TD Diastolik > 120 mmHg, tetapi dengan minimal
atau tanpa kerusakan organ sasaran dan tidak dijumpai keadaan pada tabel I
Hipertensi post operasi.
Hipertensi tak terkontrol / tanpa diobati pada perioperatif.

Tingginya TD yang dapat menyebabkan kerusakan organ sasaran tidak hany dari
tingkatan TD aktual, tapi juga dari tingginya TD sebelumnya, cepatnya kenaikan TD, bangsa,
seks dan usia penderita. Penderita hipertensi kronis dapat mentolelir kenaikan TD yang lebih
tinggi dibanding dengan normotensi, sebagai contoh : pada penderita hipertensi kronis, jarang
terjadi hipertensi ensefalopati, gangguan ginjal dan kardiovaskular dan kejadian ini dijumpai
bila TD Diastolik > 140 mmHg. Sebaliknya pada penderita normotensi ataupun pada
penderita hipertensi baru dengan penghentian obat yang tiba-tiba, dapat timbul hipertensi
ensefalopati demikian juga pada eklampsi, hipertensi ensefalopati dapat timbul walaupun TD
160/110 mmHg.
C. PATOFISIOLOGI
Ada 2 teori yang dianggap dapat menerangkan timbulnya hipertensi ensefalopati

yaitu:

1. Teori Over Autoregulation

Dengan kenaikan TD menyebabkan spasme yang berat pada arteriole mengurangi aliran
darah ke otak (CDF) dan iskemi. Meningginya permeabilitas kapiler akan menyebabkan
pecahnya dinding kapiler, udema di otak, petekhie, pendarahan dan mikro infark.

2. Teori Breakthrough of Cerebral Autoregulation bila TD mencapai threshold tertentu


dapat mengakibtakan transudasi, mikoinfark dan oedema otak, petekhie, hemorhages,
fibrinoid dari arteriole.
Aliran darah ke otak pada penderita hipertensi kronis tidak mengalami perubahan bila
Mean Arterial Pressure ( MAP ) 120 mmHg 160 mmHg, sedangkan pada penderita
hipertensi baru dengan MAP diantara 60 120 mmHg. Pada keadaan hiper kapnia,
autoregulasi menjadi lebih sempit dengan batas tertinggi 125 mmHg, sehingga perubahan
yang sedikit saja dari TD menyebabkan asidosis otak akan mempercepat timbulnya oedema
otak.

D. DIAGNOSA
Diagnosa krisis hipertensi harus ditegakkan sedini mungkin, karena hasil terapi

tergantung kepada tindakan yang cepat dan tepat. Tidak perlu menunggu hasil pemeriksaan

yang menyeluruh walaupun dengan data-data yang minimal kita sudah dapat mendiagnosa

suatu krisis hipertensi.

1. Anamnesa : Sewaktu penderita masuk, dilakukan anamnesa singkat. Hal yang penting

ditanyakan:

Riwayat hipertensi : lama dan beratnya.

Obat anti hipertensi yang digunakan dan kepatuhannya.

Usia : sering pada usia 40 60 tahun.


Gejala sistem syaraf ( sakit kepala, hoyong, perubahan mental, ansietas ).

Gejala sistem ginjal ( gross hematuri, jumlah urine berkurang ).

Gejala sistem kardiovascular ( adanya payah jantung, kongestif dan oedem paru, nyeri

dada ).

Riwayat penyakit : glomerulonefrosis, pyelonefritis.

Riwayat kehamilan : tanda eklampsi.

2. Pemeriksaan fisik

Pada pemeriksaan fisik dilakukan pengukuran TD ( baring dan berdiri ) mencari

kerusakan organ sasaran ( retinopati, gangguan neurologi, payah jantung kongestif,

altadiseksi ). Perlu dibedakan komplikasi krisis hipertensi dengan kegawatan neurologi

ataupun payah jantung, kongestif dan oedema paru. Perlu dicari penyakit penyerta lain seperti

penyakit jantung koroner.

3. Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan penunjang dilakukan dua cara yaitu :

Pemeriksaan yang segera seperti :

a. darah : rutin, BUN, creatirine, elektrolik, KGD.

b. urine : Urinelisa dan kultur urine.

c. EKG : 12 Lead, melihat tanda iskemi.

d. Foto dada : apakah ada oedema paru ( dapat ditunggu setelah pengobatan

terlaksana ).

Pemeriksaan lanjutan ( tergantung dari keadaan klinis dan hasil pemeriksaan yang
pertama ) :
a. sangkaan kelainan renal : IVP, Renald angiography ( kasus tertentu ), biopsi
renald ( kasus tertentu ).

b. menyingkirkan kemungkinan tindakan bedah neurologi : Spinal tab, CAT Scan.

c. Bila disangsikan Feokhromositoma : urine 24 jam untuk Katekholamine,


metamefrin, venumandelic Acid ( VMA ).

4. Faktor presifitasi pada krisis hipertensi

Dari anamnese dan pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang dapat dibedakan hipertensi
emergensi urgensi dan faktor-faktor yang mempresipitasi krisis hipertensi. Keadaan-keadaan
klinis yang sering mempresipitasi timbulnya krisis hipertensi, antara lain :

Kenaikan TD tiba-tiba pada penderita hipertensi kronis essensial ( tersering ).


Hipertensi renovaskular.
Glomerulonefritis akut.
Sindroma withdrawal anti hypertensi.
Cedera kepala dan ruda paksa susunan syaraf pusat.
Renin-secretin tumors.
Pemakaian prekusor katekholamine pada pasien yang mendapat MAO. Inhibitors.
Penyakit parenkhim ginjal.
Pengaruh obat : kontrasepsi oral, anti depressant trisiklik, MAO Inhibitor,
simpatomimetik ( pil diet, sejenis Amphetamin ), kortikosteroid, NSAID, ergotalk.
Luka bakar.
Progresif sistematik sklerosis, SLE.

E. Difrensial diagnosa

Krisis hipertensi harus dibedakan dari keadaan yang menyerupai krisis hipertensi seperti :

- Hipertensi berat

- Emergensi neurologi yang dapat dikoreksi dengan pembedahan.

- Ansietas dengan hipertensi labil.

- Oedema paru dengan payah jantung kiri.


F. PENGOBATAN KRISIS HIPERTENSI
I. Dasar-dasar penanggulangan krisis HT

Tekanan darah yang sedemikian tinggi haruslah segera diturunkan karena penundaan
akan memperburuk penyakit yang akan timbul baik cepat maupun lambat. Tetapi dipihak
lain, penurunan yang terlalu agresif juga dapat menimbulkan berkurangnya perfusi dan aliran
darah ke organ vital terutama otak, jantung, dan ginjal. Sampai sejauh mana tekanan darah
diturunkan ?. Untuk menurunkan TD sampai ke tingkat yang diharapkan perlu diperhaikan
berbagai faktor antara lain keadaan hipertensi sendiri ( TD segera diturunkan atau bertahap,
pengamatan problema yang menyertai krisis hipertensi perubahan dari aliran darah dan
autoregulasi TD pada organ vital dan pemilihan obat anti hipertensi yang efektif untuk krisis
hipertensi dan monitoring efek samping obat.

AUTOREGULASI
Yang dimaksud autoregulasi adalah penyesuaian fisiologis organ tubuh terhadap
kebutuhan dan pasokan darah dengan mengadakan perubahan pada resistensi terhadap aliran
darah dengan berbagai tingkatan perubahan kontriksi / dilatasi pembuluh darah. Dengan
pengetahuan autoregulasi dalam menurunkan TD secara mendadak dimaksudkan untuk
melindungi organ vital dengan tidak terjadi iskemi. Autoregulasi otak telah cukup luas diteliti
dan diterangkan. Bila TD turun, terjadi vasodilatasi, jika TD naik timbul vasokonstriksi. Pada
individu normotensi, aliran darah otak masih tetap pada fluktuasi Mean Arterial Pressure (
MAP ) 60 70 mmHg. Bila MAP turun dibawah batas autoregulasi, maka otak akan
mengeluarkan oksigen lebih banyak dari darah untuk kompensasi dari aliran darah yang
berkurang. Bila mekanisme ini gagal, maka dapat terjadi iskemi otak dengan manifestasi
klinik seperti mual, menguap, pingsan dan sinkope. Autoregulasi otak ini kemungkinan
disebabkan oleh mekanisme miogenic yang disebabkan oleh stretch receptors pada otot polos
arteriol otak, walaupun oleh Kontos dkk. Mengganggap bahwa hipoksia mempunyai peranan
dalam perubahan metabolisme di otak. Pada cerebrovaskuler yang normal penurunan TD
yang cepat sampai batas hipertensi, masih dapat ditolelir.

Pada penderita hipertensi kronis, penyakit cerebrovaskular dan usia tua, batas ambang
autoregulasi ini akan berubah dan bergeser ke kanan pada kurva, sehingga pengurangan
aliran darah terjadi pada TD yang lebih tinggi. Straagaard pada penelitiannya mendapatkan
MAP rata-rata 113 mmHg pada 13 penderita hipertensi tanpa pengobatan dibandingkan
dengan 73 mmHg pada orang normotensi. Penderita hipertensi dengan pengobatan
mempunyai nilai diantar group normotensi dan hipertensi tanpa pengobatan dan dianggap
bahwa TD terkontrol cenderung menggeser autoregulasi kearah normal.

Dari penelitian didapatkan bahwa baik orang yang normotensi maupun hipertensi,
ditaksir bahwa batas terendah dari autoregulasi otak adalah kira-kira 25% dibawah resting
MAP. Oleh karena itu dalam pengobatan krisis hipertensi, pengurangan MAP sebanyak 20
25% dalam beberapa menit/jam, tergantung dari apakah emergensi atau urgensi penurunan
TD pada penderita aorta diseksi akut ataupun oedema paru akibat payah jantung kiri
dilakukan dalam tempo 1530 menit dan bisa lebir rendah lagi dibandingkan hipertensi
emergensi lainnya. Penderita hipertensi ensefalopati, penurunan TD 25% dalam 23 jam.
Untuk pasien dengan infark cerebri akut ataupun pendarahan intrakranial, pengurangan TD
dilakukan lebih lambat (6 12 jam) dan harus dijaga agar TD tidak lebih rendah dari 170
180/100 mmHg.

GANGGUAN HEMODINAMIK PADA KRISIS HIPERTENSI


Tekanan darah ditentukan oleh 2 faktor utama yaitu : Cardiac output ( C.O ) dan
systemic vasculer resistance ( SVR ). Cardiac output ditentukan oleh Stroke Volume ( SV )
dan Hearth Rate ( HR ). Resistensi perifer terjadi akibat peripheral vascular resistensi (
PVRB) dan renal vascular resistence ( RVR ).
Pada HT primer, CO berkurang 25% dan VR bertambah 20 25%. Pada hipertensi
maligna, SVR bertambah akibat sekunder dari perubahan struktur hipertensi kronis dan
perubahan perubahan vasekonstriksi akut.
Secara logika disukai obat anti hipertensi yang dapat memperbaiki gangguan hemodinamik
pada krisis hipertensi. Obat yang mengurangi SVR tanpa mengurangi CO lebih disukai oleh
sebagian besar penderita krisis hipertensi dengan kekcualian bagi disecting aneurysma aorta.
Obat yang menambah SVR dan mengurangi CO seperti beta blocker tanpa intrinsic
sympathomimetic activity ( ISA ) haruslah dihindari karena akan menyebabkan eksaserbasi
gangguan hemodinanamik seperti payah jantung, kongestive dan oedem paru.

STATUS VOLUME CAIRAN


Umumnya kebanyakan penderita krisis hipertensi mempunyai intravaskuler volume
depletion, oleh karena itu jangan diberi terapi diuretika, kecuali bila secara klinis dibuktikan
adanya volume over load seperti payah jantung kongestif atau oedema paru. Perlu diketahui
bahwa pembatasan cairan dan garam ( natrium ) serta diretika pada hipertensi maligna akan
menyebabkan bertambahnya volume depletion sehingga bukannya menurunkan TD malah
meningkatkan TD. Pemberian diuretika dapat dilakukan bila setelah diberikan obat anti
hipertensi non diuretikal beberapa hari dan telah terjadi reflex volume retention.

Penanggulangan Hipertensi Emergensi


Bila diagnosa hipertensi emergensi telah ditegakkan maka TD perlu segera diturunkan.
Langkah-langkah yang perlu diambil adalah :
Rawat di ICU, pasang femoral intraarterial line dan pulmonari arterial catether (bila
ada indikasi ). Untuk menentukan fungsi kordiopulmonair dan status volume
intravaskuler.
Anamnese singkat dan pemeriksaan fisik.
- tentukan penyebab krisis hipertensi
- singkirkan penyakit lain yang menyerupai krisis HT
- tentukan adanya kerusakan organ sasaran
Tentukan TD yang diinginkan didasari dari lamanya tingginya TD sebelumnya,
cepatnya kenaikan dan keparahan hipertensi, masalah klinis yang menyertai dan usia
pasien.
- penurunan TD diastolik tidak kurang dari 100 mmHg, TD sistolik tidak kurang dari
160 mmHg, ataupun MAP tidak kurang dari 120 mmHg selama 48 jam pertama,
kecuali pada krisis hipertensi tertentu ( misal : disecting aortic aneurysm ). Penurunan
TD tidak lebih dari 25% dari MAP ataupun TD yang didapat.
- Penurunan TD secara akut ke TD normal / subnormal pada awal pengobatan dapat
menyebabkan berkurangnya perfusike ke otak, jantung dan ginjal dan hal ini harus
dihindari pada beberapa hari permulaan, kecuali pada keadaan tertentu, misal :
dissecting anneurysma aorta.
- TD secara bertahap diusahakan mencapai normal dalam satu atau dua minggu.
Pemakaian obat-obat untuk krisis hipertensi
Obat anti hipertensi oral atau parenteral yang digunakan pada krisis hipertensi tergantung dari
apakah pasien dengan hipertensi emergensi atau urgensi. Jika hipertensi emergensi dan
disertai dengan kerusakan organ sasaran maka penderita dirawat diruangan intensive care
unit, ( ICU ) dan diberi salah satu dari obat anti hipertensi intravena ( IV ).
1. Sodium Nitroprusside : merupakan vasodelator direkuat baik arterial maupun venous.
Secara i. V mempunyai onsep of action yang cepat yaitu : 1 2 dosis 1 6 ug / kg /
menit.

Efek samping : mual, muntah, keringat, foto sensitif, hipotensi.

2. Nitroglycerini : merupakan vasodilator vena pada dosis rendah tetapi bila dengan dosis
tinggi sebagai vasodilator arteri dan vena. Onset of action 2 5 menit, duration of
action 3 5 menit.

Dosis : 5 100 ug / menit, secara infus i. V.

Efek samping : sakit kepala, mual, muntah, hipotensi.

3. Diazolxide : merupakan vasodilator arteri direk yang kuat diberikan secara i. V bolus.

Onset of action 1 2 menit, efek puncak pada 3 5 menit, duration of action 4 12


jam.

Dosis permulaan : 50 mg bolus, dapat diulang dengan 25 75 mg setiap 5 menit


sampai TD yang diinginkan.

Efek samping : hipotensi dan shock, mual, muntah, distensi abdomen, hiperuricemia,
aritmia, dll.

4. Hydralazine : merupakan vasodilator direk arteri.

Onset of action : oral 0,5 1 jam, i.v : 10 20 menit duration of action : 6 12 jam.

Dosis : 10 20 mg i.v bolus : 10 40 mg i.m

Pemberiannya bersama dengan alpha agonist central ataupun Beta Blocker untuk
mengurangi refleks takhikardi dan diuretik untuk mengurangi volume intravaskular.

Efeksamping : refleks takhikardi, meningkatkan stroke volume dan cardiac out put,
eksaserbasi angina, MCI akut dll.

5. Enalapriat : merupakan vasodelator golongan ACE inhibitor. Onsep on action 15 60


menit.

Dosis 0,625 1,25 mg tiap 6 jam i.v.


6. Phentolamine ( regitine ) : termasuk golongan alpha andrenergic blockers. Terutama
untuk mengatasi kelainan akibat kelebihan ketekholamin.

Dosis 5 20 mg secar i.v bolus atau i.m.

Onset of action 11 2 menit, duration of action 3 10 menit.

7. Trimethaphan camsylate : termasuk ganglion blocking agent dan menginhibisi sistem


simpatis dan parasimpatis.

Dosis : 1 4 mg / menit secara infus i.v.

Onset of action : 1 5 menit.

Duration of action : 10 menit.

Efek samping : opstipasi, ileus, retensia urine, respiratori arrest, glaukoma, hipotensi,
mulut kering.

8. Labetalol : termasuk golongan beta dan alpha blocking agent.

Dosis : 20 80 mg secara i.v. bolus setiap 10 menit ; 2 mg / menit secara infus i.v.

Onset of action 5 10 menit

Efek samping : hipotensi orthostatik, somnolen, hoyong, sakit kepala, bradikardi, dll.
Juga tersedia dalam bentuk oral dengan onset of action 2 jam, duration of action 10
jam dan efek samping hipotensi, respons unpredictable dan komplikasi lebih sering
dijumpai.

9. Methyldopa : termasuk golongan alpha agonist sentral dan menekan sistem syaraf
simpatis.

Dosis : 250 500 mg secara infus i.v / 6 jam.

Onset of action : 30 60 menit, duration of action kira-kira 12 jam.

Efek samping : Coombs test ( + ) demam, gangguan gastrointestino, with drawal


sindrome dll. Karena onset of actionnya bisa takterduga dan kasiatnya tidak konsisten,
obat ini kurang disukai untuk terapi awal.

10.Clonidine : termasuk golongan alpha agonist sentral.


Dosis : 0,15 mg i.v pelan-pelan dalam 10 cc dekstrose 5% atau i.m.150 ug dalam 100
cc dekstrose dengan titrasi dosis.

Onset of action 5 10 menit dan mencapai maksimal setelah 1 jam atau beberapa jam.

Efek samping : rasa ngantuk, sedasi, hoyong, mulut kering, rasa sakit pada parotis.
Bila dihentikan secara tiba-tiba dapat menimbulkan sindroma putus obat.

Walaupun akhir-akhir ini ada kecenderungan untuk memberikan obat-obat oral yang
cara pemberiannya lebih mudah tetapi pemberian obat parenteral adalah lebih aman. Dengan
Sodium nitrotprusside, Nitroglycirine, Trimethaphan TD dapat diturunkan baik secara
perlahan maupun cepat sesuai keinginan dengan cara menatur tetesan infus. Bila terjadi
penurunan TD berlebihan, infus distop dan TD dapat naik kembali dalam beberapa menit.

Demikian juga pemberian labetalol ataupun Diazoxide secara bolus intermitten


intravena dapat menyebabkan TD turun bertahap. Bila TD yang diinginkan telah dicapai,
injeksi dapat di stop, dan TD naik kembali. Perlu diingat bila digunakan obat parenteral yang
long acting ataupun obat oral, penurunan TD yang berlebihan sulit untuk dinaikkan kembali.

Hal yang kurang menguntungkan dengan obat parenteral adalah perlu pengawasan
yang tepat bagi pasien di ICU. Yang menjadi adalah kebanyakan obat-obat parenteral tidak
dapat diperoleh secara komersil di Indonesia. Obat parenteral yang tersedia adalah clonidine.
Pengguna clonidone untuk krisis hipertensi lebih banyak dipakai di Eropa, sedangkan di
Amerika bentuk injeksi clonidine tidak tersedia.

Van Der Hem di Belanda menggunakan clonidine intra vena 0,15 mg dan bagi pasien
yang tidak respons dengan satu kali injeksi, digunakan clonidine 0,9 1,05 mg dalam 500 ml
Dekstrose dan disis ditittrasi. Hasil yang diperoleh cukup baik dan efek samping yang
minimal. Penelitian lain di Australia menggunakan clonidine intra vena 150 mg atau 300 mg
dalam 10ml NaCl 0,9% secara i.v 5 menit dan mendapat respons yang baik dan efek samping
maksimum dalam 30-60 menit. Di bagian penyakit Dalam FK USU Medan, telah diteliti
pemakaian clonidine pada krisis hipertensi dengan cara : Dosis yang digunakan adalah
150mcg ( 1 ampul ) dalam 1000ml deksmenit 5% didalam mikrodrid dan dimulai dengan 12
tetes/menit. Setiap 15 menit dosis dititrasi dengan menaikkan tetesan dengan 4 tetes setiap
kalinya sampai TD yang diingini diperoleh. Bila TD ini telah dicapai diawasi selama 4 jam
dan selanjutnya dengan obat per oral. Dengan tetesan berkisar 12-104 tetes/menit dapat
dicapai TD yang diingini dan penderita tidak mengalami penurunan TD yang berlebihan.
Hasil yang diperoleh yaitu TD diastolik dapat diturunkan <120mmHg dalam 1 jam
dan respons yang baik pada 90,5% kasus. Kerugian obat ini adalah efek samping yang sering
timbul seperti mulut kering, mengantuk dan depresi. Pada hipertensi dengan tanda iskemi
cerebral ataupun stroke, obat ini akan memperberat gejala.

Pilihan obat-obatan pada hipertensi emergensi :


Dari berbagai jenis hipertensi emergensi, obat pilihan yang dianjurkan maupun yang
sebaiknya dihindari adalah sbb :
1. Hipertensi ensenpalopati : Anjuran : Sodium nitroprusside, Labetalol, diazoxide.
Hindarkan : B-antagonist, Methyidopa, Clonidine.
2. Cerebral infark : Anjuran : Sodium nitropsside, Labetalol,
Hindarkan : B-antagonist, Methydopa, Clonidine.
3. Perdarahan intacerebral, perdarahan subarakhnoid :
Anjuran : Sodiun nitroprusside Labetalol,.
Hindarkan : B-antagonist, Methydopa, Clonodine.
4. Miokard iskemi, miokrad infark :
Anjuran : Nitroglycerine, Labetalol, Caantagonist, Sodium Nitroprusside dan
loopdiuretuk.
Hindarkan : Hyralazine, Diazoxide, Minoxidil.
5. Dedem paru akut : Anjuran : Sodium nitroroprusside dan loopdiuretik.
Hindarkan : Hydralacine, Diazoxide, B-antagonist, Labeta Lol.
6.Aorta disseksi : Anjuran :Sodium nitroprussidedan B-antagonist, Trimethaohaan dan B-
antagonist, labetalol.
Hindarkan : Hydralazine, Diaozoxide, Minoxidil
7. Eklampsi : anjuran : Hydralazine, Diazoxxide, labetalol,cantagonist, sodium nitroprusside.
Hindarkan: Trimethaphan, Diuretik, B-antagonist
8.Renal insufisiensi akut : anjuran : Sodium nitroprusside, labetalol, Ca-antagonist
Hindarkan : B- antagonist, Trimethaphan
9. Mikroaangiopati hemolitik anemia :
Anjuran : Sodium nitroprosside, Labetalol, Caantagonist.
Hindarkan : B-antagonist.
Dari berbagai sediaan obat antu hipertensi parenteral yang tersedia, Sodium
nitroprusside merupakan drug of choice pada kebanyakan hipertensi emergensi. Karena
pemakaian obat ini haruslah dengan cara tetesan intravena dan harus dengan monitoring
ketat, penderita harus dirawat di ICU karena dapat menimbulkan hipotensi berat.
Alternatif obat lain yang cukup efektif adalah Labetalol, Diazoxide yang dapat memberikan
bolus intravena. Phentolamine, Nitroglycerine Hidralazine diindikasikanpada kondisi
tertentu.
Nicardipine suatu calsium channel antagonist merupakan obat baru yang diperlukan secara
intravena, telah diteliti untuk kasus hipertensi emergensi (dalam jumlah kecil) dan tampaknya
memberikan harapan yang baik.
Obat oral untuk hipertensi emergensi
Dari berbagai penelitian akhir-akhir ini ada kecenderungan untuk menggunakan obat
oral seperti Nifedipine ( Ca antagonist ) Captopril dalam penanganan hipertensi emergensi.
Captoprial 25mg atau Nifedipine 10mg digerus dan diberikan secara sublingual kepada
pasien. TD dan tanda Vital dicatat tiap lima menit sampai 60 menit dan juga dicatat tanda-
tanda efek samping yang timbul. Pasien digolongkan nonrespons bila penurunan TD diastolik
<10mmHg setelah 20 menit pemberian obat. Respons bila TD diastolik mencapai
<120mmHg atau MAP <150mmHg dan adanya perbaikan simptom dan sign dari gangguan
organ sasaran yang dinilai secara klinis setelah 60 menit pemberian obat. Inkomplit respons
bila setelah 60 menit pemberian obat. Inkomplit respons bila setelah 60 menit TD masih
>120mmHg atau MAP masih >150mmHg, tetapi jelas terjadi perbaikan dari simptom dan
sign dari organ sasaran.

Penaggulangan hipertensi urgensi


Penderita dengan hipertensi urgensi tidak memerlukan rawat inap di rumah sakit.
Sebaiknya penderita ditempatkan diruangan yang tenang, tidak terang dan TD diukur kembali
dalam 30 menit. Bila TD tetap masih sangat meningkat, maka dapat dimulai pengobatan.
Umumnya digunakan obat-obat oral anti hipertensi dalam menggulangi hipertensi urgensi ini
dan hasilnya cukup memuaskan.
Obat-obat oral anti hipertensi yang digunakan a.l :
1. Nifedipine : pemberian bisa secara sublingual (onset 5-10 menit).Buccal (onset 5 10
menit),oral (onset 15-20 menit),duration 5 15 menit secara sublingual/buccal). Efek
samping : sakit kepala, takhikardi, hipotensi, flushing, hoyong.
2. Clondine : Pemberian secara oral dengan onset 30 60 menit Duration of Action 8-12
jam. Dosis : 0,1-0,2 mg,dijutkan 0,05mg-0,1 mg setiap jam s/d 0,7mg.
nd rd
Efek samping : sedasi,mulut kering.Hindari pemakaian pada 2 degree atau 3
degree, heart block, brakardi,sick sinus syndrome.Over dosis dapat diobati dengan
tolazoline.
3. Captopril : pemberian secara oral/sublingual. Dosis 25mg dan dapat diulang setiap 30
menit sesuai kebutuhan.
Efek samping : angio neurotik oedema, rash, gagal ginjal akut pada penderita bilateral
renal arteri sinosis.
4. Prazosin : Pemberian secara oral dengan dosis 1-2mg dan diulang perjam bila
perlu.Efek samping : first dosyncope, hiponsi orthostatik, palpitasi, takhikaro sakit
kepala.
Dengan pemberian Nifedipine ataupun Clonidine oral dicapai penurunan MAP sebanyak
20 % ataupun TD<120 mmHg. Demikian juga Captopril, Prazosin terutama digunakan pada
penderita hipertensi urgensi akibat dari peningkatan katekholamine.
Perlu diingat bahwa pemberian obat anti hipertensi oral/sublingual dapat menyebabkan
penurunan TD yang cepat dan berlebihan bahkan sampai kebatas hipotensi (walaupun hal ini
jarang sekali terjadi).
Dikenal adanya first dose effek dari Prozosin. Dilaporkan bahwa reaksi hipotensi
akibat pemberian oral Nifedifine dapat menyebabkan timbulnya infark miokard dan stroke.
Dengan pengaturan titrasi dosis Nifedipine ataupun Clonidin biasanya TD dapat
diturunkan bertahap dan mencapai batas aman dari MAP.
Penderita yang telah mendapat pengobatan anti hipertensi cenderung lebih sensitive terhadap
penambahan terapi.Untuk penderita ini dan pada penderita dengan riwayat penyakit
cerebrovaskular dan koroner, juga pada pasien umur tua dan pasien dengan volume depletion
maka dosis obat Nifedipine dan Clonidine harus dikurangi.Seluruh penderita diobservasi
paling sedikit selama 6 jam setelah TD turun untuk mengetahui efek terapi dan juga
kemungkinan timbulnya orthotatis. Bila ID penderita yang obati tidak berkurang maka
sebaiknya penderita dirawat dirumah sakit.

G. Prognosa

Sebelum ditemukannya obat anti hipertensi yang efektif survival penderita hanyalah

20% dalam 1 tahun.Kematian sebabkan oleh uremia (19%), payah jantung kongestif (13%),

cerebro vascular accident (20%),payah jantung kongestif disertai uremia (48%), infrak Mio
Card (1%), diseksi aorta (1%). Prognose menjadi lebih baik berkat ditemukannya obat yang

efektif dan penaggulangan penderita gagal ginjal dengan analysis dan transplantasi ginjal.
DAFTAR PUSTAKA
1. Alpert J. S, Rippe J.M ; 1980 : Hype tensive Crisis in manual of Cardiovascular
Diagnosis and Therapy, Asean Edition Little Brown and Coy Boston, 149-60.
2. Anavekar S.N. : Johns C.I; 1974 : Management of Acute Hipertensive Crissis with
Clonidine (catapres ), Med. J. Aust. 1 :829-831.
3. Angeli.P. Chiese. M, Caregaro,et al, 1991 : Comparison of sublingual Captopril and
Nifedipine in immediate Treatment of hypertensive Emergencies, Arch, Intren. Med,
151 : 678-82.
4. Anwar C.H. ; Fadillah. A ; Nasution M. Y ; Lubis H.R; 1991 : Efek akut obat anti
hipertensi (Nifedipine, Klonodin Metoprolol ) pada penderita hipertensi sedang dan
berat ; naskah lengkap KOPARDI VIII, Yogyakarta, 279-83.
5. Bertel. O. Conen D, Radu EW, Muller J, Lang C : 1983:Nifedipine in Hypertensive
Emergencies, BrMmmed J, 286; 19-21.
6. Calhoun D.A, Oparil . S ; 1990 : Treatmenet of Hypertensive Crisis, New Engl J Med,
323 : 1177-83.
7. Gifford R.W, 1991 : Mamagement of Hypertensivi Crisis, JAMA SEA,266; 39-45.
th
8. Kaplan N.M, 1986 : Clinical Hypertention, 4 Edition, William & Elkins, Baltimore,
2273-89.

Anda mungkin juga menyukai