Anda di halaman 1dari 44

Evlin Kohar

04011181419064
Kelas Beta 2014

SKENARIO B BLOK 28 TAHUN 2017

Satu jam sebelum masuk RS, Mr. X, 20 tahun dianiaya oleh tetangganya dengan
menggunakan sepotong kayu. Mr. X pingsan kurang lebih 5 menit kemudian sadar kembali
dan melaporkan kejadian ini ke kantor polisi terdekat. Polisi mengantar Mr. X ke RSUD
untuk dibuatkan visum et repertum, di RSUD, Mr. X mengeluh luka dan memar dikepala
sebelah kanan disertai nyeri kepala hebat dan muntah.
Dari hasil pemeriksaan didapatkan:
- Kesadaran : GCS (E4 M6 V5), tekanan darah :130/90 mmHg, frekuensi nafas :
28x/menit, denyut nadi : 50x/menit, pupil isokor, reflex cahaya : pupil kanan reaktif,
pupil kiri reaktif.
- Regio orbita: dekstra et sinistra tampak hematom, sub-conjungtiva bleeding (-)
- Region temporal dekstra: tampak luka ukuran 6x1 cm, tepi tidak rata, sudut tumpul
dengan dasar fraktur tulang.
- Region nasal : tampak darah segar mengalir dari kedua lubang hidung.
Tak lama setelah selesai dilakukan pemeriksaan, tiba-tiba pasien tidak sadarkan diri. Dari
hasil pemeriksaan pada saat penurunan kesadaran didapatkan :
- Pasien ngorok, RR 24x/menit, Nadi 50x/menit, tekanan darah 140/90 mmHg,
- Pasien membuka mata dengan rangsang nyeri, melokalisir nyeri, dan mengerang
dalam bentuk kata-kata.
- Pupil anisokor dekstra, reflex cahaya pupil kanan negative, reflex cahaya pupil kiri
reaktif/normal.
Pada saat itu anda merupakan dokter jaga UGD di RSUD tersebut dibantu oleh 3 orang
perawat.
ANALISIS MASALAH
1. Satu jam sebelum masuk RS, Mr.20 tahun dianiaya oleh tetangganya dengan
menggunakan sepotong kayu. Mr. X pingsan kurang lebih 5 menit kemudian sadar
kembali.
a. Apa saja kemungkinan jenis luka yang disebabkan oleh sepotong kayu?
Cedera primer merupakan cedera pada kepala sebagai akibat langsung dari suatu
ruda paksa, dapat disebabkan benturan langsung kepala dengan suatu benda keras
maupun oleh proses akselarasi deselarasi gerakan kepala. Dalam mekanisme cedera
kepala dapat terjadi peristiwa coup dan contrecoup. Cedera primer yang diakibatkan
oleh adanya benturan pada tulang tengkorak dan daerah sekitarnya disebut lesi coup.
Pada daerah yang berlawanan dengan tempat benturan akan terjadi lesi yang disebut
contrecoup. Akselarasi-deselarasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara
mendadak dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang tengkorak
(substansi solid) dan otak (substansi semisolid) menyebabkan tengkorak bergerak
lebih cepat dari muatan intrakranialnya. Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa
otak membentur permukaan dalam tengkorak pada tempat yang berlawanan dari
benturan (contrecoup).
Mr. X mengalami trauma benda tumpul di bagian temporal dextra. Trauma ini
sudah terjadi fraktur basis cranii dimana ditandai dengan adanya hematom pada
region orbita dextra et sinistra, dan adanya epistaksis anterior. Disertai dengan
adanya peningkatan tekanan intrakranial yang akhirnya menjadi penurunan
kesadaran, tekanan darah meningkat, penurunan laju pernapasan, dan herniasi otak.
Pada kasus, cedera yang ditimbulkan bergantung pada lokasi penganiayaan. Cedera
yang mungkin terjadi yaitu cedera kepala (trauma kapitis) serta traumatic brain
injury (TBI).

b. Apa makna klinis pingsan kurang lebih 5 menit?


Trauma tumpul temporal fraktur pada os. temporal ruptur a.meningea
media hematoma epidural tekanan intrakranial meningkat mendadak
gangguan aliran darah ke otak Mr.X pingsan beberapa saat ( 5 menit)/
commotio cerberi terjadi mekanisme kompensasi intrakranial dengan cara
membuang CSF dan darah vena keluar dari ruang intrakranial dengan volume
yang sama TIK menurun ke keadaan normal Mr.X sadar kembali
Pada saat terjadi pukulan, energi kinetik yang tinggi akan dihantarkan ke kepala.
Getaran hebat dan tiba-tiba akan diteruskan ke otak, yang dapat menyebabkan
gangguan impuls sensori aferen yang menstimulasi ARAS (Ascending
Reticular Activating System) menuju korteks serebri yang dapat
menyebabkan penurunan aktivitas korteks yang menurunkan kesadaran.
Penurunan kesadaran dapat juga disebabkan karena perdarahan yang timbul
dapat mengurangi aliran darah ke otak sehingga suplai oksigen dan glukosa
menurun yang menyebabkan aktivitas otak berkurang yang disertai penurunan
kesadaran.

c. Bagaimana mekanisme pingsan pada kasus?

Gambar 1. Epidural Hematoma dan Arteri pada Daerah Temporal


Diawali dari adanya benturan kayu pada os temporal dextra ruptur a. meningea
media (arteri yang terdapat di antara tulang os temporal dan durameter yang masuk
melalui foramen spinosum) terjadinya kekurangan darah yang bersifat cepat
(akselarasi) kehilangan darah dalam jangka waktu yang cepat terjadinya
pingsan.

d. Apa dampak pingsan pada kasus?

2. Polisi mengantar Mr.X ke RSUD untuk dibuatkan visum et repertum, di RSUD Mr. X.
a. Apa saja jenis visum?
1. Visum et repertum korban hidup
- Visum et Repertum: Diberikan bila korban setelah diperiksa atau diobati,
tidak terhalangmenjalankan jabatan/ mata pencaharian.
- Visum et Repertum sementara
Diberikan apabila setelah diperiksa, ternyata:
a) Korban perlu dirawat/ diobservasi
b) Korban terhalang menjalankan pekerjaan jabatan/mata pencaharian
c) Visum et repertum sementara ini dipergunakan sebagai bukti untuk
menahan terdakwa.
Dan karena belum sembuh, maka visum et repertum-nya tidak memuat
kualifikasi luka.
- Visum et Repertum lanjutan
Diberikan apabila setelah dirawat/ diobservasi, ternyata:
a) Korban sembuh
b) Korban belum sembuh, pindah rumah sakit atau dokter lain
c) Korban belum sembuh, kemudian pulang paksa atau melarikan diri
d) Korban meninggal dunia
Kualifikasi luka dalam visum et repertum lanjutan dibuat setelah korban selesai
dirawat.
a) Visum et repertum mayat
b) Visum et repertum pemeriksaan TKP
c) Visum et repertum penggalian mayat
d) Visum et repertum mengenai umur
e) Visum et repertum psikiatrik
f) Visum et repertum mengenai bukti lain
b. Bagaimana prosedur melakukan visum et repertum?
Tahapan-tahapan dalam pembuatan visum et repertum pada korban hidup
1) Penerimaan korban yang dikirim oleh Penyidik.
Yang berperan dalam kegiatan ini adalah dokter, mulai dokter umum
sampai dokter spesialis yang pengaturannya mengacu pada S.O.P. Rumah Sakit
tersebut. Yang diutamakan pada kegiatan ini adalah penanganan kesehatannya
dulu, bila kondisi telah memungkinkan barulah ditangani aspek medikolegalnya.
Tidak tertutup kemungkinan bahwa terhadap korban dalam penanganan medis
melibatkan berbagai disiplin spesialis.
2) Penerimaan surat permintaan keterangan ahli/ visum et revertum
Adanya surat permintaan keterangan ahli/ visum et repertum merupakan
hal yang penting untuk dibuatnya visum et repertum tersebut. Dokter sebagai
penanggung jawab pemeriksaan medikolegal harus meneliti adanya surat
permintaan tersebut sesuai ketentuan yang berlaku. Hal ini merupakan aspek
yuridis yang sering menimbulkan masalah, yaitu pada saat korban akan
diperiksa surat permintaan dari penyidik belum ada atau korban datang sendiri
dengan membawa surat permintaan keterangan ahli/ visum et repertum . Untuk
mengantisipasi masalah tersebut maka perlu dibuat kriteria tentang
pasien/korban yang pada waktu masuk Rumah Sakit/UGD tidak membawa SpV.
Sebagai berikut :
- Setiap pasien dengan trauma
- Setiap pasien dengan keracunan/diduga keracunan
- Pasien tidak sadar dengan riwayat trauma yang tidak jelas
- Pasien dengan kejahatan kesusilaan/perkosaan
- Pasien tanpa luka/cedera dengan membawa surat permintaan visum
Kelompok pasien tersebut di atas untuk dilakukan kekhususan dalam hal
pencatatan temuan-temuan medis dalam rekam medis khusus, diberi tanda pada
map rekam medisnya (tanda VER), warna sampul rekam medis serta
penyimpanan rekam medis yang tidak digabung dengan rekam medis pasien
umum.
3) Pemeriksaan korban secara medis
Tahap ini dikerjakan oleh dokter dengan menggunakan ilmu forensik yang
telah dipelajarinya. Namun tidak tertutup kemungkinan dihadapi kesulitan yang
mengakibatkan beberapa data terlewat dari pemeriksaan.
4) Pengetikan surat keterangan ahli/ visum et repertum
Pengetikan berkas keterangan ahli/ visum et repertum oleh petugas
administrasi memerlukan perhatian dalam bentuk/formatnya karena ditujukan
untuk kepentingan peradilan. Misalnya penutupan setiap akhir alinea dengan
garis, untuk mencegah penambahan kata-kata tertentu oleh pihak yang tidak
bertanggung jawab. Contoh :Pada kepala sebelah kanan ditemukan luka dan
memar, tapi tidak rata ukuran 6x1cm
5) Penandatanganan surat keterangan ahli / visum et repertum
Dalam hal korban ditangani oleh hanya satu orang dokter, maka yang
menandatangani visum yang telah selesai adalah dokter yang menangani
tersebut (dokter pemeriksa). Dalam hal korban ditangani oleh beberapa orang
dokter, maka idealnya yang menandatangani visumnya adalah setiap dokter
yang terlibat langsung dalam penanganan atas korban. Dokter pemeriksa yang
dimaksud adalah dokter pemeriksa yang melakukan pemeriksaan atas korban
yang masih berkaitan dengan luka/cedera/racun/tindak pidana.
6) Penyerahan benda bukti yang telah selesai diperiksa
Benda bukti yang telah selesai diperiksa hanya boleh diserahkan pada
penyidik saja dengan menggunakan berita acara.
7) Penyerahan surat keterangan ahli/visum et repertum
Surat keterangan ahli/ visum et repertum juga hanya boleh diserahkan
pada pihak penyidik yang memintanya saja.

Empat kelompok perkara pidana yang menyangkut tubuh, kesehatan dan nyawa
yang mutlak perlu VeR :
1) Tindak pidana kesusilaan:
Perkosaan. Perkosaaan ialah tindakan menyetubuhi wanita yang bukan istrinya
dengan kekerasan atau ancaman kekerasan. Dalam penanganan korban (hidup)
perkosaan, dokter memiliki peran ganda yaitu sebagai pemerkosaan yang
membuat VeR serta tenaga medis yang mengobati dan merawat korban. Tugas
dokter hukum menentukan apakah korban telah diperkosa, melainkan mencari
ada/tidaknya bukti berupa tanda-tanda persetubuhan, kekerasan dan jenis
kekerasan yang menyebabkannya
2) Tindak pidana penganiayaan :
Penganiayaan adalah suatu bentuk perbuatan yang mengakibatkan perasaan
tidak enak (penderitaan) rasa sakit atau luka bagi orang lain yang dilakukan
dengan melampaui batas-batas yang diizinkan.
Penganiayaan ringan
Menghasilkan luka ringan yang tidak menghalangi seseorang melakukan
pekerjaannya
Penganiayaan sedang
Menghasilkan luka sedang yang menyebabkan gangguan sementara pada
pekerjaan
Penganiayaan berat
Menghasilkan luka berat yang menghalangi seseorang melakukan
pekerjaannya selamanya atau permanen
3) Tindak pidana pembunuhan
Sengaja menghilangkan nyawa orang lain. Korban tindak pidana pembunuhan,
ada yang ditemukan telah beberaoa hari meninggal dunia sehingga korban
sangat susah dikenali karena telah terjadi perubahan pada korban. VeR yang
dilakukan dokter forensic dapat menyimpulkan sebab kematian selain jenis
luka atau kelainan, jenis kekerasan, dan surat kematian, serta mengungkap
pelaku tindak pidana.
4) Penyalahgunaan obat-obatan :
Pemeriksaan toksikologi dilakukan untuk mencari penyebab kematian
apakah kematian tersebut akibat dari keracunan (mis, kematian karena
keracunan morfin,karbon monoksida, sianida keracunan insektisida dan
lain-lain) diharapkan dapat ditemukan racun/obat dalam dosis yang
mematikan.
Pemeriksaan toksikologi juga untuk mengetahui mengapa suatu peristiwa
terjadi ( misalnya : peristiwa pembunuhan,laka lantas,perkosaan,bunuh diri
) dengan kata lain bertujuan untuk membuat rekaan /rekontruksi atas
peristiwa yang terjadi . Diharapkan dapat ditemukan korelasi sampai sejauh
mana racun/obat tersebut berperan dalam memungkinkan terjadinya
peristiwa tersebut.

Pasal 133 KUHAP menyebutkan:


a) Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban
baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang
merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli
kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya.
b) Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan
secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan
luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat. Yang
berwenang meminta keterangan ahli adalah penyidik dan penyidik pembantu
sebagaimana bunyi pasal 7(1) butir h dan pasal 11 Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Penyidik yang dimaksud adalah penyidik sesuai dengan pasal 6(1) butir a, yaitu
penyidik yang pejabat Polisi Negara RI. Penyidik tersebut adalah penyidik tunggal
bagi pidana umum, termasuk pidana yang berkaitan dengan kesehatan dan jiwa
manusia. Oleh karena VeR adalah keterangan ahli mengenai pidana yang berkaitan
dengan kesehatan jiwa manusia, maka penyidik pegawai negeri sipil tidak
berwenang meminta VeR, karena mereka hanya mempunyai wewenang sesuai
dengan undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing (Pasal 7(2)
KUHAP).
c. Bagaimana cara melakukan tindakan visum et repertum?
(sama dengan prosedur)
d. Bagaimana cara penulisan laporan visum et repertum?
Projustisia
Demi keadilan dan ditulis di kiri atas sebagai pengganti materai.
Pendahuluan
Berisi tentang : identitas pemohon visum et repertum, tanggal dan pukul
diterimanya permohonan visum et repertum, dentitas dokter yang melakukan
pemeriksaan, identitas objek yang diperiksa : nama, jenis kelamin, umur, bangsa,
alamat, pekerjaan, kapan dilakukan pemeriksaan, dimana dilakukan pemeriksaan,
alasan dimintakannya visum et repertum, rumah sakit tempat korban dirawat
sebelumnya, pukul korban meninggal dunia, keterangan mengenai orang yang
mengantar korban ke rumah sakit
Pemberitaan (pemeriksaan luar, dalam, dan ringkasan pemeriksaan luar dan
dalam)
Memuat hasil pemeriksaan yang objektif sesuai dengan apa yang diamati
terutama dilihat dan ditemukan pada korban atau benda yang diperiksa. Pemeriksaan
dilakukan dengan sistematis dari atas ke bawah sehingga tidak ada yang tertinggal.
Deskripsinya juga tertentu yaitu mulai dari letak anatomisnya, koordinatnya (absis
adalah jarak antara luka dengan garis tengah badan, ordinat adalah jarak antara luka
dengan titik anatomis permanen yang terdekat), jenis luka atau cedera,
karakteristiknya serta ukurannya. Rincian ini terutama penting pada pemeriksaan
korban mati yang pada saat persidangan tidak dapat dihadirkan kembali.
Pada pemeriksaan korban hidup, bagian ini terdiri dari :
1. Hasil pemeriksaan yang memuat seluruh hasil pemeriksaan, baik pemeriksaan
fisik maupun pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang lainnya.
Uraian hasil pemeriksaan korban hidup berbeda dengan pada korban mati, yaitu
hanya uraian tentang keadaan umum dan perlukaan serta hal-hal lain yang
berkaitan dengan tindak pidananya (status lokalis).
2. Tindakan dan perawatan berikut indikasinya, atau pada keadaan sebaliknya,
alasan tidak dilakukannya suatu tindakan yang seharusnya dilakukan. Uraian
meliputi juga semua temuan pada saat dilakukannya tindakan dan perawatan
tersebut. Hal ini perlu diuraikan untuk menghindari kesalahpahaman tentang
tepat tidaknya penanganan dokter dan tepat -tidaknya kesimpulan yang diambil.
3. Keadaan akhir korban, terutama tentang gejala sisa dan cacat badan merupakan
hal penting guna pembuatan kesimpulan sehingga harus diuraikan dengan jelas.
Pada bagian pemberitaan memuat 6 unsur yaitu anamnesis, tanda vital, lokasi
luka pada tubuh, karakteristik luka, ukuran luka, dan tindakan pengobatan atau
perawatan yang diberikan.
Kesimpulan
Memuat hasil interpretasi yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah
dari fakta yang ditemukan sendiri oleh dokter pembuat visum et repertum,
dikaitkan dengan maksud dan tujuan dimintakannya visum et repertum tersebut.
Pada bagian ini harus memuat minimal 2 unsur yaitu jenis luka dan kekerasan dan
derajat kualifikasi luka.
Penutup
Memuat pernyataan bahwa keterangan tertulis dokter tersebut dibuat dengan
mengingat sumpah atau janji ketika menerima jabatan atau dibuat dengan
mengucapkan sumpah atau janji lebih dahulu sebelum melakukan pemeriksaan.
Dibubuhi tanda tangan dokter pembuat visum et repertum.
3. Mengeluh luka dan memar dikepala sebelah kanan disertai nyeri kepala hebat dan
muntah.
a. Bagaimana makna klinis dan mekanisme luka dan memar dikepala sebelah kanan?
Perdarahan bisa bermanifestasi pada terjadinya memar. Memar merupakan
suatu keadaan dimana terjadi penggumpalan darah dalam jaringan interstisium. Hal
ini dikarenakan pecahnya pembuluh darah kapiler akibat kekerasan benda tumpul
yang menyebabkan darah terkumpul di daerah interstisial, menyebabkan radang.
Komponen darah yang terakumulasi terdiri dari eritrosit, leukosit, trombosit, dan
plasma darah. Proses inflamasi yang terjadi pada daerah memar menyebabkan
pergerakan makrofag ke daerah memar, kemudian makrofag akan memfagosit
eritrosit. Kemudian, makrofag akan memproses hemoglobin dengan cara yang sama
seperti yang digunakan pada resiklus normal eritrosit, tapi lebih cepat dan terpusat.
Hal ini mengakibatkan hemoglobin dimetabolisme dan akan menghasilkan
hemosiderin, biliversin, danhematoidin. Pigmen pigmen ini berperan dalam
perubahan warna biru pada memar.

b. Bagaimana makna klinis dan mekanisme nyeri kepala hebat?


Fraktur di os temporal dextra rupture arteri meningea media
hematomepidural darah di dalam arteri memiliki tekanan lebih tinggi sehingga
lebih cepat memancar setelah hematom bertambah besar terlihat tanda
pendesakan dan peningkatan TIK penderita akan mengalami sakit kepala, mual
dan muntah dan diikuti oleh penurunan kesadaran.

c. Bagaimana makna klinis dan mekanisme muntah?


Hematom epidural akan menyebabkan penekanan pada pusat muntah karena
bertambahnya volume darah sesuai hukum Monroe-Kellie sehingga bisa
menyebabkan muntah, khasnya bersifat proyektil.
Gambar 2. Monroe-Kellie Doctrine

4. Dari hasil pemeriksaan didapatkan:


- Kesadaran: GCS (E4 M6 V5), tekanan darah: 130/90 mmHg, RR: 28x/menit, denyut
nadi : 50x/menit, pupil isokor, reflex cahaya : pupil kanan reaktif, pupil kiri reaktif.
- Regio orbita: dekstra et sinistra tampak hematom, sub-conjungtiva bleeding (-)
- Region temporal dekstra: tampak luka ukuran 6x1 cm, tepi tidak rata, sudut tumpul
dengan dasar fraktur tulang.
- Region nasal: tampak darah segar mengalir dari kedua lubang hidung.
a. Bagaimana interpretasi dan patofisiologi hasil pemeriksaan pada kasus?
No Pemeriksaan fisik Normal Interpretasi
1 RR : 28 x/mnt 16-24 Takipneu, merupakan kompensasi dari perfusi otak
x/menit untuk menjaga perfusi otak adekuat.
2 TD 130/90 mmHg 120/80 Hipertensi, kompensasi iskemik otak.
mmHg Dengan rumus:
CPP = MAP - ICP
Jika tekanan intracranial meningkat maka MAP juga
harus meningkat agar perfusi otak tetap adekuat.
Peningkatan MAP menyebabkan peningkatan
tekanan darah.
TIK (ICP) kompensasi untuk mempertahankan
CPP peningkatan MAP hipertensi
3 Nadi 50 x/mnt 60-100 Bradikardi, akibat penekanan pada medulla
mmHg oblongata yang selanjutnya merangsang pusat
inhibisi jantung.
4 GCS E4M6V5 E4M6V5 Normal
5 pupil isokor Isokor Normal, N. III normal
6 reflex cahaya : pupil Reaktif Normal, N. III normal
kanan reaktif, pupil
kiri reaktif
7. Regio Orbita Tidak ada
hematom

Darah dari epidural hematom menuju rongga orbita


hematom orbita bilateral
8. Regio Temporal Tidak ada Vulnus laseratum atau luka robek adalah luka
hematom dengan tepi yang tidak beraturan atau compang
camping biasanya karena tarikan atau goresan
benda tumpul, kedalaman luka bisa menembus
lapisan mukosa hingga lapisan otot. Pada kasus,
Mr. X dipukul menggunakan sepotong kayu
sehingga goresan dari kayu tersebut mengenai
kepala Mr. X dan menyebabkan laserasi tersebut.
Pukulan ini juga menyebabkan fraktur tulang, yang
kemungkinan pada kasus merupakan fraktur fossa
anterior basis cranii yang terletak di regio temporal.
9. Regio Nasal Tidak ada
cairan
keluar

Darah segar mengalir menandakan adanya perdarahan


pada bagian anterior nasal. Akibat dari benturan kayu
yang mengenai bagian wajah (Fossa cranii anterior)
rupturnya plexus kiesselbach terjadi pendarahan dari
hidung.

b. Bagaimana cara pemeriksaan GCS?

Gambar 3. Skor GCS


5. Tak lama setelah selesai dilakukan pemeriksaan, tiba-tiba pasien tidak sadarkan diri
Dari hasil pemeriksaan pada saat penurunan kesadaran didapatkan:
Pasien ngorok, RR 24x/menit, Nadi 50x/menit, tekanan darah 140/90 mmHg, pasien
membuka mata dengan rangsang nyeri, melokalisir nyeri, dan mengerang dalam bentuk
kata-kata. Pupil anisokor dekstra, reflex cahaya pupil kanan negative, reflex cahaya pupil
kiri reaktif/normal.
a. Bagaimana interpretasi dan patofisiologi hasil pemeriksaan pada saat penurunan
kesadaran?
Keadaan Abnormal Mekanisme Abnormal
Mengorok Akibat dari kesadaran yang menurun tonus otot lidah akan
menurun lidah terjatuh kebelakang saat melakukan inspirasi
terjadi turbulensi timbulnya mengorok
RR Meningkat lalu Merupakan mekanisme kompensasi akibat peningkatan TIK
menurun, HR Sesuai rumus: CPP = MAP ICP
menurun, dan TD Sehingga bila terjadi peningkatan ICP akibat adanya epidural
meningkat hematom kompensasi dengan peningkatan TD melalui
peningkatan MAP dan HR mengalami penurunan karena memiliki
hubungan terbalik dengan TD, sedangkan RR mengalami
peningkatan yang merupakan respon dari Peningkatan CPP
Peningkatan dan Penurunan RR
Awalnya : TIK perfusi otak inadekuat tubuh melakukan
kompensasi dengan RR
Kemudian, TIK yang meningkat secara progresif herniasi
uncus menekan pusat nafas di batang otak RR
Penurunan HR
TIK herniasi uncus menekan batang otak merangsang
pusat inhibisi jantung bradikardi
Peningkatan TD
Trauma tumpul temporal a. meningea media robek
perdarahan epidural (perlu pemeriksaan CT scan untuk
memastikan) volume intracranial compliance pertama
oleh otak mengeluarkan CSF ke ruang spinal perdarahan
masih berlangsung compliance pertama tidak adekuat
volume intracranial Tekanan intracranial terus Cerebral
Perfusion Pressure CBF kompensasi peningkatan
tekanan sistemik peningkatan tekanan darah (140/90 mmHg)
Pasien membuka mata Pasien membuka mata dengan rangsang nyeri: 2 (Eye)
dengan rangsang Melokalisir nyeri: 5 (Motoric response)
nyeri, melokalisir Mengerang dalam bentuk kata-kata: 3 (Verbal response)
nyeri, dan mengerang GCS = E+V+M = 2+3+5 = 10.
dalam bentuk kata- Skor GCS 10 menandakan pasien mengalami cedera kepala
kata sedang.

Pupil anisokor dekstra


dan reflex cahaya
pupil dekstra negatif

Akibat proses herniasi unkus menekan saraf parasimpatis n. III


tidak terjadi vasokonstriksi pupil tidak ada hambatan
terhadap saraf simpatis midriasis ipsilateral (mata kanan)
pupil anisokor dextra dan reflex cahaya pupil kanan negatif

b. Apa saja kemungkinan cedera yang dialami Mr. X?


Pada kasus, cedera yang ditimbulkan bergantung pada lokasi penganiayaan. Cedera
yang mungkin terjadi yaitu cedera kepala (trauma kapitis) serta traumatic brain
injury (TBI).
c. Apa hubungan keluhan Mr. X dengan penurunan kesadaran tak lama setelah
dilakukan pemeriksaan?
Diawali dari benturan kayu ruptur a. meningea media proses pendarahan cepat
(akselarasi) Terjadi pingsan yang pertama tubuh melakukan kompensasi
(mengikuti hukum Monroe-kellie) akan terjadi proses kembali sadar kemudian
pendarahan semakin parah (jarak durameter dengan tengkorak semakin menjauh)
terjadi herniasi yang bersifat uncal/uncus penekanan pada daerah batang otak
dimana terdapat formation reticularis di bagian medulla oblongata (sebagai pengatur
kesadaran) ARAS mengalami gangguan Terjadi pingsan kedua kalinya yang
ditandai juga dengan tubuh mengalami dekompensasi (terjadi peningkatan TIK).

Pasien yang awalnya sadar menjadi tidak sadarkan diri mengalami lucid interval.
Lucid Interval
Trauma tumpul dapat menimbulkan energi kinetik yang akan dihantarkan ke kepala.
Energi ini akan diteruskan ke otak yang dapat menyebabkan gangguan ARAS yang
menurunkan kesadaran. Saat energi kinetik telah diteruskan ke seluruh bagian,
blokade dari lintasan retikularis asenden akan hilang sehingga pasien akan kembali
sadar ataupun disebabkan oleh mekanisme kompensasi lainnya. Namun pada saat
terjadi trauma, fraktur yang timbul akan menyebabkan ruptur pembuluh darah yang
perlahan-lahan akan berakumulasi di daerah epidural dan membentuk hematom. Saat
hematom yang terbentuk cukup luas untuk meningkatkan ICP di atas MAP atau
melebihi kompensasi tubuh, hal ini akan menyebabkan penurunan CPP (monro kellie
doctrine) yang menyebabkan otak iskemik. Peningkatan ICP juga akan
menyebabkan herniasi otak apabila komponen darah dan CSF telah dikeluarkan
sebagai kompensasi. Hematom di bagian temporal cenderung menyebabkan Uncal
Herniation di bagian ipsilateral yang dapat menekan batang otak. Hal ini akan
menyebabkan kembalinya blokade lintasan retikularis asenden (ARAS) sehingga
pasien kembali tidak sadar. Periode sadar di antara fase tidak sadar inilah yang
disebut sebagai lucid interval.

d. Apa saja pemeriksaan yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis pada Mr. X?
Dengan CT-scan dan MRI, perdarahan intrakranial akibat trauma kepala lebih mudah
dikenali.
1. Foto Polos Kepala
Pada foto polos kepala, kita tidak dapat mendiagnosa pasti sebagai epidural
hematoma. Dengan proyeksi Antero-Posterior (A-P), lateral dengan sisi yang
mengalami trauma pada film untuk mencari adanya fraktur tulang yang
memotong sulcus arteria meningea media.
2. Computed Tomography (CT-Scan)
Pemeriksaan CT-Scan dapat menunjukkan lokasi, volume, efek, dan potensi
cedara intracranial lainnya. Pada epidural biasanya pada satu bagian saja
(single) tetapi dapat pula terjadi pada kedua sisi (bilateral), berbentuk
bikonfeks, paling sering di daerah temporoparietal. Densitas darah yang
homogen (hiperdens), berbatas tegas, midline terdorong ke sisi kontralateral.
Terdapat pula garis fraktur pada area epidural hematoma, Densitas yang
tinggi pada stage yang akut (60-90 HU), ditandai dengan adanya peregangan
dari pembuluh darah.
3. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
MRI akan menggambarkan massa hiperintens bikonveks yang menggeser
posisi duramater, berada diantara tulang tengkorak dan duramater. MRI juga
dapat menggambarkan batas fraktur yang terjadi.MRI merupakan salah satu
jenis pemeriksaan yang dipilih untuk menegakkan diagnosis.

6. Pada saat itu anda merupakan dokter jaga UGD di RSUD tersebut dibantu oleh 3 orang
perawat.
a. Bagaimana tatalaksana Mr. X pada saat di UGD?
Penilaian awal pada kasus adalah sebagai berikut.
Airway
Menilai jalan napas: bersihkan jalan napas, lepaskan gigi palsu, pertahankan
tulang servikal segaris dengan badan, pasang guedel, bila perlu intubasi.
Breathing
Menilai pernapasan: tentukan apakah pasien bernapas spontan atau tidak.
Circulations
Menilai sirkulasi: otak yang rusak tidak mentolerir hipotensi. Hentikan semua
perdarahan. Pasang jalur intravena yang besar, ambil darah vena untuk
pemeriksaan darah perifer lengkap, ureum, elektrolit, glukosa, dan analisis gas
darah arteri. Berikan larutan koloid, larutan kristaloid (dekstrosa atau dekstrosa
dalam salin) dapat menimbulkan eksaserbasi edema otak pasca cedera kepala.
Disabillity
Pencegahan dari kecacatan yang mungin terjadi pada kasus.
Exposure
Menilai tingkat keparahan dengan GCS dan menilai trauma yang mungkin
terjadi pada lokasi lain.

Cedera kepala sedang (GCS=9-12) Pasien dalam kategori ini bisa mengalami
gangguan kardiopulmoner, oleh karena itu urutan tindakannya sebagai berikut:
1) Periksa dan atasi gangguan jalan nafas, pernafasan dan sirkulasi
2) Periksa singkat atas kesadaran, pupil, tanda fokal serebral dan cedera organ
lain. Fiksasi leher dan patah tulang ekstrimitas
3) Foto kepala dan bila perlu bagiann tubuh lain
4) CT Scan kepala bila curiga adanya hematom intrakranial
5) Observasi fungsi vital, kesadaran, pupil, defisit fokal serebral.
Urutan tindakan menurut prioritas adalah sebagai berikut:
1) Resusitasi jantung paru (airway, breathing, circulation=ABC)
Pasien dengan cedera kepala berat ini sering terjadi hipoksia, hipotensi dan
hiperkapnia akibat gangguan kardiopulmoner. Oleh karena itu tindakan
pertama adalah:
o Jalan nafas (Air way)
Jalan nafas dibebaskan dari lidah yang turun ke belakang dengan posisi
kepala ekstensi,kalau perlu dipasang pipa orofaring atau pipa
endotrakheal, bersihkan sisa muntahan, darah, lendir atau gigi palsu. Isi
lambung dikosongkan melalui pipa nasograstrik untuk menghindarkan
aspirasi muntahan
o Pernafasan (Breathing)
Gangguan pernafasan dapat disebabkan oleh kelainan sentral atau
perifer. Kelainan sentral adalah depresi pernafasan pada lesi medula
oblongata, pernafasan cheyne stokes, ataksik dan central neurogenik
hyperventilation. Penyebab perifer adalah aspirasi, trauma dada, edema
paru, DIC, emboli paru, infeksi. Akibat dari gangguan pernafasan dapat
terjadi hipoksia dan hiperkapnia. Tindakan dengan pemberian oksigen
kemudian cari danatasi faktor penyebab dan kalau perlu memakai
ventilator.
o Sirkulasi (Circulation)
Hipotensi menimbulkan iskemik yang dapat mengakibatkan kerusakan
sekunder. Jarang hipotensi disebabkan oleh kelainan intrakranial,
kebanyakan oleh faktor ekstrakranial yakni berupa hipovolemi akibat
perdarahan luar atau ruptur alat dalam, trauma dada disertai tamponade
jantung atau peumotoraks dan syok septik. Tindakannya adalah
menghentikan sumber perdarahan, perbaikan fungsi jantung
danmengganti darah yang hilang dengan plasma, hydroxyethyl starch
atau darah
2) Pemeriksaan fisik
Setelah ABC, dilakukan pemeriksaan fisik singkat meliputi kesadaran,
pupil, defisit fokal serebral dan cedera ekstra kranial. Hasil pemeriksaan
fisik pertama ini dicatat sebagai data dasar dan ditindaklanjuti, setiap
perburukan dari salah satu komponen diatas bis adiartikan sebagai adanya
kerusakan sekunder dan harus segera dicari dan menanggulangi
penyebabnya.
3) Pemeriksaan radiolog
Dibuat foto kepala dan leher, sedangkan foto anggota gerak, dada
danabdomen dibuat atas indikasi. CT scan kepala dilakukan bila ada fraktur
tulang tengkorak atau bila secara klinis diduga ada hematom intrakranial
4) Tekanan tinggi intrakranial (TIK)
Peninggian TIK terjadi akibat edema serebri, vasodilatasi, hematom
intrakranial atau hidrosefalus. Untuk mengukur turun naiknya TIK
sebaiknya dipasang monitor TIK. TIK yang normal adalah berkisar 0-15
mmHg, diatas 20 mmHg sudah harus diturunkan dengan urutan sebagai
berikut:
Hiperventilasi
Setelah resusitas ABC, dilakukan hiperventilasi dengan ventilasi yang
terkontrol, dengan sasaran tekanan CO2 (pCO2) 27-30 mmHg dimana
terjadi vasokontriksi yang diikuti berkurangnya aliran darah serebral.
Hiperventilasi dengan pCO2 sekitar 30 mmHg dipertahankan selama
48-72 jam, lalu dicoba dilepas dgnmengurangi hiperventilasi, bila TIK
naik lagi hiperventilasi diteruskan lagi selama 24-48 jam. Bila TIK
tidak menurun dengan hiperventilasi periksa gas darah dan lakukan CT
scan ulang untuk menyingkirkan hematom
Drainase
Tindakan ini dilakukan bil ahiperventilasi tidak berhasil. Untuk jangka
pendek dilakukan drainase ventrikular, sedangkan untuk jangka
panjang dipasang ventrikulo peritoneal shunt, misalnya bila terjadi
hidrosefalus
Terapi diuretik
- Diuretik osmotik (manitol 20%)
Cairan ini menurunkan TIK dengan menarik air dari jaringan otak
normal melalui sawar otak yang masih utuh kedalam ruang
intravaskuler. Bila tidak terjadi diuresis pemberiannya harus
dihentikan.
Cara pemberiannya :
Bolus 0,5-1 gram/kgBB dalam 20 menit dilanjutkan 0,25-0,5
gram/kgBB, setiap 6 jam selama 24-48 jam. Monitor osmolalitas
tidak melebihi 310 mOSm
- Loop diuretik (Furosemid)
Frosemid dapat menurunkan TIK melalui efek menghambat
pembentukan cairan cerebrospinal dan menarik cairan interstitial
pada edema sebri. Pemberiannya bersamaan manitol mempunyai
efek sinergik dan memperpanjang efek osmotik serum oleh
manitol. Dosis 40 mg/hari/iv
Terapi barbiturat (Fenobarbital)
Terapi ini diberikan pada kasus-ksus yang tidak responsif terhadap
semua jenis terapi yang tersebut diatas.
Cara pemberiannya:
Bolus 10 mg/kgBB/iv selama 0,5 jam dilanjutkan 2-3 mg/kgBB/jam
selama 3 jam, lalu pertahankan pada kadar serum 3-4 mg%, dengan
dosis sekitar 1 mg/KgBB/jam. Setelah TIK terkontrol, 20 mmHg
selama 24-48 jam, dosis diturunkan bertahap selama 3 hari.
Steroid
Berguna untuk mengurangi edema serebri pada tumor otak. Akan tetapi
menfaatnya pada cedera kepala tidak terbukti, oleh karena itu sekarang
tidak digunakan lagi pada kasus cedera kepala
Posisi Tidur
Penderita cedera kepala berat dimana TIK tinggi posisi tidurnya
ditinggikan bagian kepala sekitar 20-30, dengan kepala dan dada pada
satu bidang, jangan posisi fleksi atau leterofleksi, supaya pembuluh
vena daerah leher tidak terjepit sehingga drainase vena otak menjadi
lancar.
5) Keseimbangan cairan elektrolit
Pada saat awal pemasukan cairan dikurangi untuk mencegah bertambahnya
edema serebri dengan jumlah cairan 1500-2000 ml/hari diberikan
perenteral, sebaiknya dengan cairan koloid seperti hydroxyethyl starch,
pada awalnya dapat dipakai cairan kristaloid seperti NaCl 0,9% atau ringer
laktat, jangan diberikan cairan yang mengandung glukosa oleh karena
terjadi keadaan hiperglikemia menambah edema serebri. Keseimbangan
cairan tercapai bila tekanan darah stabil normal, yang akan takikardia
kembali normal dan volume urin normal >30 ml/jam. Setelah 3-4 hari dapat
dimulai makanan peroral melalui pipa nasogastrik. Pada keadaan tertentu
dimana terjadi gangguan keseimbangan cairan eletrolit, pemasukan cairan
harus disesuaikan, misalnya pada pemberian obat diuretik, diabetes
insipidus, syndrome of inappropriate anti diuretic hormon (SIADH). Dalam
keadaan ini perlu dipantau kadar eletrolit, gula darah, ureum, kreatinin dan
osmolalitas darah.
6) Nutrisi
Pada cedera kepala berat terjadi hipermetabolisme sebanyak 2-2,5 kali
normal dan akan mengakibatkan katabolisme protein. Proses ini terjadi
antara lain oleh karena meningkatnya kadar epinefrin dan norepinefrin
dalam darah danakan bertambah bila ada demam. Setekah 3-4 hari dengan
cairan perenterai pemberian cairan nutrisi peroral melalui pipa nasograstrik
bisa dimulai, sebanyak 2000-3000 kalori/hari
7) Epilepsi/kejang
Epilepsi yang terjadi dalam minggu pertama setelah trauma disebut early
epilepsi dan yang terjadi setelah minggu pertama disebut late epilepsy.
Early epilelpsi lebih sering timbul pada anak-anak dari pada orang dewasa,
kecuali jika ada fraktur impresi, hematom atau pasien dengan amnesia post
traumatik yang panjang.
Pengobatan:
- Kejang pertama: Fenitoin 200 mg, dilanjutkan 3-4 x 100 mg/hari
- Status epilepsi: diazepam 10 mg/iv dapat diulang dalam 15 menit. Bila
cendrung berulang 50-100 mg/ 500 ml NaCl 0,9% dengan tetesan <40
mg/jam. Setiap 6 jam dibuat larutan baru oleh karena tidak stabil. Bila
setelah 400 mg tidak berhasil, ganti obat lain misalnya Fenitoin.
Cara pemberian Fenitoin, bolus 18 mg/KgB/iv pelan-pelan paling cepat 50
mg/menit. Dilanjutkan dengan 200-500 mg/hari/iv atau oral Profilaksis:
diberikan pada pasien cedera kepala berat dengan resiko kejang tinggi,
seperti pada fraktur impresi, hematom intrakranial dan penderita dengan
amnesia post traumatik panjang
8) Komplikasi sistematik
- Infeksi: profilaksis antibiotik diberikan bila ada resiko tinggi infeksi
seperti: pada fraktur tulang terbuka, luka luar dan fraktur basis kranii
- Demam: kenaikan suhu tubuh meningkatkan metabolisme otak dan
menambah kerusakan sekunder, sehingga memperburuk prognosa.
Oleh karena itu setiap kenaikan suhu harus diatasi dengan
menghilangkan penyebabnya, disamping tindakan menurunkan suhu
dengan kompres
- Gastrointestinal: pada penderita sering ditemukan gastritis erosi dan
lesi gastroduodenal lain, 10-14% diantaranya akan berdarah. Keadan
ini dapat dicegah dengan pemberian antasida atau bersamaan dengan
H2 reseptor bloker.
- Kelainan hematologi: kelainan bisa berupa anemia, trombosiopenia,
hipo hiperagregasi trombosit, hiperkoagilasi, DIC. Kelainan tersebut
walaupun ada yang bersifat sementara perlu cepat ditanggulangi agar
tidak memperparah kondisi pasien.
9) Neuroproteksi
Adanya waktu tenggang antara terjadinya trauma dengan timbulnya
kerusakan jaringan saraf, memberi waktu bagi kita untuk memberikan
neuroprotektan. Manfaat obat-obat tersebut masih diteliti pada penderita
cedera kepala berat antara lain, antagonis kalsium, antagonis glutamat dan
asetilkolin

Tujuan utama dari pengobatan pada cedera kepala adalah menghilangkan


atau meninimalkan kelainan sekunder, karena itu pengendalian klinis dan
penanggulannya sangat penting. Adanya jarak walaupun singkat antara proses
primer dansekunder harus digunakan sebaik mungkin, waktu tersebut dinamakan
jendela terapi.

b. Bagaimana prognosis pada Mr. X?


- Vitam : dubia ad bonam
- Fungsionam : dubia ad malam

c. Bagaimana SKDI pada kasus ini?


SKDI 2. Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik terhadap penyakit
tersebut dan menentukan rujukan yang paling tepat bagi penanganan pasien
selanjutnya. Lulusan dokter juga mampu menindaklanjuti sesudah kembali dari
rujukan.
LEARNING ISSUES
ANATOMI KEPALA

Gambar 4. Tulang Tengkorak tampak Lateral

Tulang tengkorak terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis Craniii. Tulang tengkorak
terdiri dari beberapa tulang yaitu: Os frontal, Os Ethmoidal, Os sphenoidal, Os occipital dan
Os temporal, pada regio temporal strukturnya lebih tipis, namun pada bagian ini dilindungi
oleh otot-otot temporalis.
Basis cranii memiliki bentuk yang tidak rata sehingga dapat melukai bagian dasar
otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan deselerasi. Rogga tengkorak dasar dibagi atas
3 fossa yaitu fossa cranii anterior, Fossa cranii media, fossa cranii posterior.

Gambar 5. Pembagian Basis Cranii

Fossa crania anterior: Melindungi lobus frontal cerebri, dibatasi di anterior oleh
permukaan dalam os frontale, batas superior adalah ala minor ossis spenoidalis. Dasar fossa
dibentuk oleh pars orbitalis ossis frontale di lateral dan oleh lamina cribiformis os etmoidalis
di media. Permukaan atas lamina cribiformis menyokong bulbus olfaktorius, dan lubang-
lubang halus pada lamini cribrosa dilalui oleh nervus olfaktorius.
Fossa Cranii media :Terdiri dari bagian medial yang dibentuk oleh corpus os sphenoidalis
dan bagian lateral yang luas membentuk cekungan kanan dan kiri yang menampung lobus
temporalis cerebri. Di anterior dibatasi oleh ala minor os sphenoidalis dan terdapat canalis
opticus yang dilalui oleh n.opticus dan a.oftalmica, sementara bagian posterior dibatasi oleh
batas atas pars petrosa os temporal. Dilateral terdapat pars squamous pars os temporal.
Fissura orbitalis superior, yang merupakan celah antara ala mayor dan minor os sphenoidalis
dilalui oleh n.lacrimalis, n.frontale, n.trochlearis, n.occulomotorius dan n.abducens.
Fossa Cranii posterior melindungi otak otak belakang, yaitu cerebellum, pons dan medulla
oblongata. Di anterior fossa di batasi oleh pinggir superior pars petrosa os temporal dan di
posterior dibatasi oleh permukaan dalam pars squamosa os occipital. Dasar fossa Cranii
posterior dibentuk oleh pars basilaris, condylaris, dan squamosa os occipital dan pars
mastoiddeus os temporal.
Foramen magnum menempati daerah pusat dari dasar fossa dan dilalui oleh medulla
oblongata dengan meningens yang meliputinya, pars spinalis assendens n. accessories dan
kedua a.vertebralis.

Kebutuhan energy oksigen jaringan otak adalah sangat tinggi oleh karena itu aliran
darah ke otak absolute harus selalu berjalan mulus. Suplai darah ke otak seperti organ lain
pada umumnya disusun oleh arteriarteri dan vena-vena.

Gambar 6. Sirkulus Willisi


TRAUMA KEPALA (PENINGKATAN TIK)

Fisiologi Tekanan Intrakranial


Tekanan intrakranial (TIK) merupakan tekanan dalam kranium termasuk otak dan
cairan serebrospinal (CSF), yang menggambarkan tekanan pembuluh darah intrakranial.
TIK dipertahankan secara dinamis melalui produksi dan absorpsi CSF. Tekanan CSF
dipengaruhi oleh perubahan tekanan intratorakal dan intra abdominal secara tiba-tiba,
misalnya ketika seseorang batuk ataupun pada manuver valsava. Satuan TIK diukur dalam
millimeter air raksa (mmHg). Saat istirahat dengan posisi supinasi, nilai TIK pada orang
dewasa normal berkisar antara 4 - 15 mmHg (50 200 mmH20) dan menjadi lebih negatif
pada posisi vertikal.
Tulang tengkorak merupakan suatu struktur yang rigid dan berisi tiga komponen
utama yang terdiri dari ; otak (mencakup elemen neuroglia dan cairan interstitiel) 80 % dari
volume total intrakranial, darah (arteri & vena) 10 % dari volume total intrakranial dan
cairan serebrospinal fluid yg merupakan 10 % dari volume total intrakranial. Perubahan TIK
dipengaruhi oleh perubahan volume satu atau lebih unsur-unsur yang ada dalam kranium.
Ada beberapa istilah yang perlu diketahui sehubungan dengan tekanan intrakranial
yaitu komplians dan elastan. Komplians adalah nilai perubahan volume akibat adanya
perubahan tekanan. Nilai ini menggambarkan potensi akomodasi dari rongga intrakranial.
Nilai komplians disebut tinggi bila kavitas kranium dapat mengakomodasi suatu tambahan
massa yang besar hanya dengan sedikit perubahan tekanan saja. Elastan adalah kebalikan
dari komplians. Elastan merupakan nilai perubahan tekanan akibat adanya perubahan
volume. Elastan menggambarkan resistensi terhadap adanya suatu massa intrakranial.
Elastan dapat diukur dengan menyuntikan 1 cc larutan salin steril ke dalam kateter ventrikel
dalam satu detik dan kemudian dipantau perubahan tekanan yang terjadi. Peningkatan < 2
mmHg menandakan elastan yang rendah dan komplians yang tinggi (Satyanegara, 1998).
Doktrin Monro-Kellie menyatakan bahwa volume total dalam kranium selalu tetap
karena tulang tengkorak tidak elastis sehingga tidak bisa mengembang jika ada penambahan
volume. Pada kondisi normal, volume intrakranial terdiri dari 80% jaringan otak, 10% CSF,
dan 10% darah. Peningkatan volume dari salah satu komponen ini, atau adanya tambahan
komponen patologis (misalnya hematom intrakranial), akan menimbulkan kompensasi
melalui penurunan volume dari komponen lainnya untuk mempertahankan tekanan.
Bila terdapat penambahan masa seperti hematoma akan menyebabkan tergesernya
CSF akan terdesak melaui foramen magnum ke arah rongga subarakhnoid spinalis dan vena
akan segera mengempis/kolaps, dimana darah akan diperas ke keluar dari ruangan
intrakranial melalui vena jugularis atau melalui vena emisaria dan kulit kepala. Mekanisme
kompensasi ini hanya berlangsung sampai batas tertentu saja. Namun jika mekanisme
kompensasi ini terlampaui maka kenaikan volume sedikit saja akan menyebabkan kenaikan
TIK yang tajam.
Otak yang normal mempunyai kemampuan melakukan autoregulasi aliran darah
serebral. Autoregulasi menjamin aliran darah konstan melalui pembuluh serebral di atas
rentang tekanan perfusi dengan mengubah diameter pembuluh darah dalam berespon
terhadap tekanan perfusi serebral. Faktor-faktor yang mengubah kemampuan pembuluh
darah serebral untuk berkontraksi dan berdilatasi, seperti iskemia, hipoksia, hiperkapnea,
dan trauma otak dapat mengganggu autoregulasi. Karbon dioksida merupakan vasodilator
yang paling poten pada pembuluh serebral, menyebabkan kenaikan aliran darah serebral
yang mengakibatkan peningkatan volume intrakranial, mengarah pada peningkatan tekanan
intrakranial. Agar autoregulasi berfungsi, kadar karbon dioksida harus dalam batasan yang
dapat diterima dan tekanannya dalam batasan : (1) Tekanan perfusi serebral di atas 60
mmHg, (2) tekanan arteri rata-rata dibawah 160 mmHg dan tekanan sistolik antara 60 160
mmHg dan (3) TIK di bawah 30 mmHg. Cedera otak juga dapat merusak autoregulasi. Bila
autoregulasi mengalami kerusakan, alirah darah serebral berfluktuasi berkaitan dengan
tekanan darah sistemik. Pada pasien dengan kerusakan autoregulasi, setiap aktivitas yang
menyebabkan tekanan darah, seperti batuk, suksion, dan ansietas dapat menyebabkan
peningkatan aliran darah serebral yang dapat meningkatkan tekanan intrakranial.
Otak mampu mengkompensasi atau menerima perubahan minimal pada tekanan
intrakranial dengan cara pengalihan CSS ke dalam spasium subaraknoid spinal, peningkatan
absorbsi CSS, penurunan pembentukan CSS dan pengalihan darah vena ke luar dari tulang
tengkorak (Hudak. CM & Gallo. BM, 2010).

Gambar 7. Tekanan intrakranial akan tetap normal dengan peningkatan volume sampai
titik dekompensasi tercapai. Di atas volume kritis ini, TIK akan meningkat dengan cepat
Trauma Kepala
Definisi
Trauma kapitis atau cedera kepala adalah trauma mekanik terhadap kepala, baik
secara langsung maupun tidak langsung, yang menyebabkan gangguan fungsi neurologis
(gangguan fisik, kognitif, fungsi psikososial) baik temporer maupun permanen.

Klasifikasi
Trauma kapitis diklasifikasikan menggunakan GCS.
trauma kepala berat jika GCS 3-8
trauma kepala sedang jika GCS 9-12
trauma kepala ringan jika GCS 13-15

Patologi
1. Hematoma epidural, memiliki tanda-tanda sebagai berikut:
hilangnya kesadaran (menurun dengan cepat) setelah suatu masa bebas
(lucid interval)
perdarahan arteria meningea media dengan peningkatan cepat dari tekanan
intrakranial
timbulnya kelumpuhan (hemiparesis) pada sisi yang berlawanan dengan sisi
trauma
timbulnya pupil yang fixed (tidak ada reaksi cahaya) pada sisi yang sama
dengan tempat trauma.
Pada CT scan, tampak lesi hiperdens berbentuk bikonveks.
2. Hematoma subdural, terjadi akibat robeknya vena yang melintang antara korteks
dan dura. Bekuan darah dalam rongga subdural disertai dengan kontusio jaringan
otak di bawahnya.
Kedua keadaan tersebut diatas memerlukan pembedahan dan harus diupayakan
dekompresi dengan burr-hole.
3. Perdarahan subarakhnoid, terjadi pada ruang subarakhnoid (antara piamater dan
arakhnoid).
4. Perdarahan intraserebral dan kontusio
5. Diffuse axonal injury
Keadaan di bawah ini memerlukan pengelolaan medik konservatif, karena pembedahan
tidak akan membawa hasil lebih baik.
Fraktura basis cranii - ditandai adanya memar biru hitam pada kelopak mata
(Racoon eyes) atau memar diatas prosesus mastoid (Battles sign) dan atau
kebocoran
cairan serebrospinalis yang menetes dari telinga atau hidung.
Comotio cerebri - ditandai dengan gangguan kesadaran temporer
Fraktura depresi tulang tengkorak - dimana mungkin ada pecahan tulang yang
menembus dura dan jaringan otak
Hematoma intracerebral - dapat disebabkan oleh kerusakan akut atau progresif
akibat contusio.

Diagnosis
1. Anamnesis
Mekanisme trauma, jenis trauma apakah tembus atau tidak, waktu
terjadinya trauma
Riwayat kejang, penurunan kesadaran, serta mual dan muntah
Apakah terdapat kelemahan pada salah satu sisi tubuh
2. Pemeriksaan Fisik
ABC dan GCS
Pemeriksaan neurologis lengkap setelah stabil
- Kesadaran
-Pemeriksaan n.cranialis: lebar pupil, rangsang cahaya, pergerakan bola
mata.
Pada pasien koma, respons okulosefalik dan okulovestibular dilakukan
Periksa apakah ada:
- Otorea Otorea tandanya fraktur basis cranii media
- Racoon eye (ekimosis periorbita bilateral) atau rinorea tanda dari
fraktur
basis cranii anterior
- Battles sign (ekimosis mastoid bilateral) tanda fraktur basis cranii
posterior
3. Pemeriksaan penunjang
Radiologi: CT scan tanpa kontras atau foto polos kepala posisi AP, lateral, dan
tangensial
Laboratorium: darah lengkap, urinalisis, gula darah, ureum, kreatinin, AGD
Tatalaksana Awal (di IGD)
1. Primary Survey: untuk stabilisasi pasien
a. Airway (dengan cervical spine control)
Pastikan tidak ada benda asing atau cairan yang menghalangi jalan
napas
Lakukan intubasi jika diperlukan (awas cedera servikal)
Cervical spine control dengan memasang collar neck (bila curiga
fraktur cervical) kemudian pasien diletakkan di atas long spine board
b. Breathing Berikan O2 dengan target saturasi O2 >92%
c. Circulation Pasang IV line dan infus NaCL 0,9% atau RL. Hindari cairan
hipotonis. Pertahankan tekanan darah sistolik >90 mmHg.
d. Disability penilaian status neurologis dengan metode AVPU atau GCS
e. Environment cegah terjadinya hipothermia
2. Secondary Survey: dilakukan setelah ABC pasien stabil
a. Anamnesis dan pemeriksaan fisik lebih lanjut
b. Pemeriksaan penunjang
c. Penentuan apakah pasien harus menjalani operasi, dirawat di ruang rawat
intensif, ruang rawat biasa, atau boleh rawat jalan
Tatalaksana Pasien Cedera Kepala Ringan tanpa Defisit Neurologis
1. Pasien dirawat selama 2x24 jam, apabila terdapat indikasi berikut:
a. Ada gangguan orientasi waktu atau tempat
b. Sakit kepala dan muntah
c. Tidak ada pengawas di rumah
d. Letak rumah jauh dan sulit untuk kembali ke RS
2. Posisi kepala ditinggikan 30 derajat.
3. Perawatan luka-luka.
4. Pemberian obat-obatan simtomatik seperti analgetik, anti-emetik, dll bila
diperlukan.
5. Apabila pasien mengalami sakit kepala yang semakin berat, muntah proyektil, atau
cenderung semakin mengantuk, keluarga dianjurkan untuk membawa pasien ke RS.
Tatalaksana Pasien Cedera Kepala Berat (dirawat di ruang rawat intensif)
1. Intubasi dan hiperventilasi agar tercapai hipokapnia sedang (pCO2 33 -35 mmHg)
hingga volume darah di otak menurun dan tekanan intrakranial juga menurun untuk
sementara
2. Obat sedatif dan mungkin disertai obat pelumpuh otot
3. Cairan infus dibatasi, jangan sampai overload, kalau perlu diberikan diuretika.
4. Posisi head up 20
5. Cegah hipertermia

FRAKTUR BASIS KRANII

Tengkorak adalah kerangka tulang kepala. Tengkorak terdiri dari dua bagian yang
terpisah: tengkorak dan rahang bawah. Mandibula adalah rahangbawah atau rahang, dan
tempurung kepala adalah sisa tengkorak. Mandibula adalah satu-satunya bagian dari
tengkorak yang tidak bergabung dengan sutura.
Tengkorak bertanggung jawab untuk berbagai macam fungsi penting termasuk:
mendukung struktur wajah (seperti hidung dan mata), membentuk jarak antara mata,
membentuk posisi telinga untuk membantu otak menentukan arah dan jarak suara dan
menjaga serta membentuk rongga/cavitas otak.
Fraktur berarti bahwa telah ada kerusakan baik satu atau lebih tulang pada
tengkorak. Meskipun dalam hal ini sangat menyakitkan, ancaman yang lebih besar
adalah bahwa membran, pembuluh darah, dan bahkan otak, yang berada di dalam
tengkorak dapat terlindungi. Fragmen kecil dari tengkorak juga bisa pecah dan
menyebabkan kerusakan tambahan pada otak. Selain itu, energi yang dipakai dalam
benturan tengkorak bisa melukai jaringan otak.
Fraktur tulang tengkorak dapat diklasifikasikan dalam salah satu dari dua cara,
baik dengan jenis cedera yang diderita atau lokasi dari cederanya. Sebuah fraktur
tengkorak basilar terjadi di dasar tengkorak. Ini adalah cedera yang sangat jarang terjadi
hanya dalam 4% dari semua kasus fraktur. Fraktur ini pada dasarnya adalah fraktur
linear, atau retak garis lurus di dasar tengkorak. Patah tulang tengkorak basilar bisa
sangat berbahaya karena batang otak dapat terluka, yang antara lain mengirimkan pesan
dari otak ke sumsum tulang belakang. Jika otak atau batang otak terluka maka kematian
seringkali sangat mungkin terjadi.
Fraktur basis Cranii terjadi karena adanya trauma tumpul yang menyebabkan
kerusakan pada tulang dasar tengkorak. Ini sering dikaitkan dengan perdarahan di
sekitar mata (raccoon eyes) atau di belakang telinga (Battle sign). Garis fraktur dapat
meluas ke sinus wajah yang memungkinkan bakteri dari hidung dan mulut untuk masuk
keadalam dan kontak dengan otak, menyebabkan infeksi yang potensial.

Epidemiologi
Fraktur basis Cranii terjadi sekitar 20-24% dari semua kasus cedera kepala. Pada
studi retrospective yang dilakukan oleh Behbahani dkk pada tahun 2013, mengatakan
bahwa Dalam hal ini kejadian fraktur basis Cranii hanya terdapat 2% dari seluruh kasus
kejadian trauma. Dalam sebuah studi dari Behbahani et al in 2013, sebuah studi
retrospektif tentang trauma kepala. Mereka menemukan bahwa dari 1060 pasien dengan
trauma kepala. 965 pasien mengalami fraktur tulang kepala dengan 220 diantaranya
frakturnya berada pada dasar tengkorak. Dari 220 fraktur ini diantaranya 78 fraktur os
temporal, 47 orbital superior, 44 sphenoid, 30 os occipitalis, 21 ethmoidal, dan 2 clivus.

Patofisiologi
Fraktur basis cranii merupakan fraktur akibat benturan langsung pada daerah-
daerah dasar tulang tengkorak (oksiput, mastoid, supraorbita); transmisi energy yang
berasal dari benturan pada wajah atau mandibula, atau efek remote dari benturan pada
kepala (gelombang tekanan yang dipropagasi dari titik benturan atau perubahan
bentuk tengkorak).
Tipe dari fraktur basis cranii yang parah adalah jenis ring fracture, karena area ini
mengelilingi foramen magnum, apertura di dasar tengkorak di mana spinal cord lewat.
Ring fracture komplit biasanya segera berakibat fatal akibat cedera batang otak. Ring
fracture in komplit lebih sering dijumpai (Hooper et al. 1994). Kematian biasanya
terjadi seketika karena cedera batang otak disertai dengan avulsi dan laserasi dari
pembuluh darah besar pada dasar tengkorak.
Fraktur basis Cranii telah dikaitkan dengan berbagai mekanisme termasuk
benturan dari arah mandibula atau wajah dan kubah tengkorak, atau akibat beban inersia
pada kepala (sering disebut cedera tipe whiplash). Terjadinya beban inersia, misalnya,
ketika dada pengendara sepeda motor berhenti secara mendadak akibat mengalami
benturan dengan sebuah objek misalnya pagar. Kepala kemudian secara tiba tiba
mengalami percepatan gerakan namun pada area medulla oblongata mengalami tahanan
oleh foramen magnum, beban inersia tersebut kemudian meyebabkan ring fracture.Ring
fracture juga dapat terjadi akibat ruda paksa pada benturan tipe vertikal, arah benturan
dari inferior diteruskan ke superior (daya kompresi) atau ruda paksa dari arah superior
kemudian diteruskan ke arah occiput atau mandibula.

Jenis Fraktur Basis Cranii

Fraktur Temporal, dijumpai pada 75% dari semua fraktur basis Cranii. Terdapat 3
suptipe dari fraktur temporal berupa longitudinal, transversal dan mixed. Tipe
transversal dari fraktur temporal dan type longitudinal fraktur temporal ditunjukkan
di bawah ini.

A B
(A)Transverse temporal bone fracture and (B)Longitudinal temporal bone
fracture (courtesy of Adam Flanders, MD, Thomas Jefferson University, Philadelphia,
Pennsylvania)
Fraktur longitudinal terjadi pada regio temporoparietal dan melibatkan bagian
squamousa pada os temporal, dinding superior dari canalis acusticus externus dan
tegmen timpani. Tipe fraktur ini dapat berjalan dari salah satu bagian anterior atau
posterior menuju cochlea dan labyrinthine capsule, berakhir pada fossa Cranii media
dekat foramen spinosum atau pada mastoid air cells. Fraktur longitudinal merupakan
yang paling umum dari tiga suptipe (70-90%). Fraktur transversal dimulai dari
foramen magnum dan memperpanjang melalui cochlea dan labyrinth, berakhir pada
fossa cranial media (5-30%). Fraktur mixed memiliki unsur unsur dari kedua fraktur
longitudinal dan transversal.
Namun sistem lain untuk klasifikasi fraktur os temporal telah diusulkan. Sistem ini
membagi fraktur os temporal kedalam petrous fraktur dan nonpetrous fraktur, yang
terakhir termasuk fraktur yang melibatkan mastoid air cells. Fraktur tersebut tidak
disertai dengan deficit nervus cranialis.
Fraktur condylar occipital (Posterior), adalah hasil dari trauma tumpul energi
tinggi dengan kompresi aksial, lateral bending, atau cedera rotational pada pada
ligamentum Alar.Fraktur tipe ini dibagi menjadi 3 jenis berdasarkan morfologi dan
mekanisme cedera. Klasifikasi alternative membagi fraktur ini menjadi displaced
dan stable, yaitu, dengan dan tanpa cedera ligamen. Tipe I fraktur sekunder akibat
kompresi aksial yang mengakibatkan kombinasi dari kondilus oksipital. Ini
merupakan jenis cedera stabil. Tipe II fraktur yang dihasilkan dari pukulan langsung
meskipun fraktur basioccipital lebih luas, fraktur tipe II diklasifikasikan sebagai
fraktur yang stabil karena ligament alar dan membrane tectorial tidak mengalami
kerusakan. Tipe III adalah cedera avulsi sebagai akibat rotasi paksa dan lateral
bending. Hal ini berpotensi menjadi fraktur tidak stabil.

Manifestasi
Pasien dengan fraktur pertrous os temporal dijumpai dengan otorrhea dan
memar pada mastoids (battle sign). Presentasi dengan fraktur basis Cranii fossa
anterior adalah dengan rhinorrhea dan memar di sekitar palpebra (raccoon eyes).
Kehilangan kesadaran dan Glasgow Coma Scale dapat bervariasi, tergantung pada
kondisi patologis intrakranial.
Fraktur longitudinal os temporal berakibat pada terganggunya tulang
pendengaran dan ketulian konduktif yang lebih besar dari 30 dB yang berlangsung
lebih dari 6-7 minggu. Tuli sementara yang akan baik kembali dalam waktu kurang
dari 3 minggu disebabkan karena hemotympanum dan edema mukosa di fossa
tympany. Facial palsy, nystagmus, dan facial numbness adalah akibat sekunder dari
keterlibatan nervus cranialis V, VI, VII.
Fraktur tranversal os temporal melibatkan saraf cranialis VIII dan labirin,
sehingga menyebabkan nystagmus, ataksia, dan kehilangan pendengaran permanen
(permanent neural hearing loss).
Fraktur condylar os oksipital adalah cedera yang sangat langka dan serius.
Sebagian besar pasien dengan fraktur condylar os oksipital, terutama dengan tipe III,
berada dalam keadaan koma dan terkait cedera tulang belakang servikalis. Pasien ini
juga memperlihatkan cedera lower cranial nerve dan hemiplegia atau guadriplegia.
Sindrom Vernet atau sindrom foramen jugularis adalah keterlibatan nervus
cranialis IX, X, dan XI akibat fraktur. Pasien tampak dengan kesulitan fungsi fonasi
dan aspirasi dan paralysis ipsilateral dari pita suara, palatum mole (curtain sign),
superior pharyngeal constrictor, sternocleidomastoid, dan trapezius. Collet-Sicard
sindrom adalah fraktur condylar os oksipital dengan keterlibatan nervus cranial IX,
X, XI, dan XII.

Penanganan
Penananganan Khusus
Penanganan khusus dari fraktur basis Cranii terutama untuk mengatasi
komplikasi yang timbul, meliputi : fistula cairan serebrospinal, infeksi, dan
pneumocephalus dengan fistula.
a) Fistula cairan serebrospinal:
Mengakibatkan kebocoran cairan dari ruang subarachnoid ke ruang
extraarachnoid, duramater, atau jaringan epitel.Yang terlihat sebagai rinore dan
otore.Sebagian besar rinore dan otore baru terlihat satu minggu setelah terjadinya
trauma.Kebocoran cairan ini membaik satu minggu setelah dilakukan terapi
konservatif. Penatalaksanaan secara konservatif dapat dilakukan secara bed rest
dengan posisi kepala lebih tinggi.Hindari batuk, bersin, dan melakukan aktivitas
berat.Dapat diberikan obat-obatan seperti laxantia, diuretic dan steroid.
Rinore
Terjadi pada sekitar 25 persen pasien dengan fraktura basis anterior.CSS
mungkin bocor melalui sinus frontal (melalui pelat kribrosa atau pelat orbital dari
tulang frontal), melalui sinus sfenoid, dan agak jarang melalui klivus.Kadang-
kadang pada fraktur bagian petrosa tulang temporal, CSS mungkin memasuki tuba
Eustachian dan bila membran timpani intak, mengalir dari hidung. Pengaliran
dimulai dalam 48 jam sejak cedera pada hampir 80 persen kasus
Penatalaksanaan secara konservatif dapat dilakukan secara bed rest dengan
posisi kepala lebih tinggi. Hindari batuk, bersin, meniup hidung dan melakukan
aktivitas berat. Dapat diberikan obat-obatan seperti laxantia, diuretic dan steroid.
Dilakukan punksi lumbal secara serial dan pemasangan kateter sub-rachnoid secara
berkelanjutan. Disamping itu diberikan antibiotik untuk mencegah infeksi.
Pendekatan pembedahan dapat secara intrakranial, ekstrakranial dan secara bedah
sinus endoskopi. Pendekatan intrakranial yaitu dengan melakukan kraniotomi
melalui daerah frontal (frontal anterior fossa craniotomi), daerah temporal (temporal
media fossa craniotomi) atau daerah oksipital (ocsipital posterior fossa craniotomi)
tergantung dari lokasi kebocoran. Keuntungan teknik ini dapat melihat langsung
robekan dari dura dan jaringan sekitarnya. Bila dilakukan tampon pada kebocoran
akan berhasil baik dan berguna bagi pasien yang tidak dapat diketahui lokasi
kebocoran atau fistel yang abnormal. Kerugian teknik ini adalah angka kematian
yang tinggi, terjadi retraksi dari otak seperti edema, hematoma dan perdarahan.
Disamping itu dapat terjadi anosmia yang permanen. Sering terjadi kebutaan
terutama pada pembedahan didaerah fossa Craniii anterior. Kerugian lain adalah
waktu operasi dan perawatan yang lama. Pendekatan Ekstra Craniial dilakukan
dengan cara eksternal sinus dan bedah sinus endoskopi. Pendekatan eksternal sinus
yaitu melakukan flap osteoplasti anterior dengan sayatan pada koronal dan alis mata.
Disamping itu dapat juga dengan pendekatan eksternal etmoidektomi, trans-etmoidal
sfenoidotomi, trans-septal sfenoidotomi atau trans antral, tergantung dari lokasi
kebocoran. Keuntungan teknik ini adalah memiliki lapangan pandang yang baik,
angka kematian yang rendah, tidak terdapat anosmia dan angka keberhasilan 80%.
Kerugian teknik ini adalah cacat pada wajah dan tidak dapat mengatasi fistel yang
abnormal. Disamping itu sulit menangani fistel pada sinus frontal dan sfenoid.
Pendekatan bedah Sinus
Endoskopi merupakan tehnik operasi yang lebih disukai dengan angka
keberhasilan yang tinggi (83% - 94%) dan angka kematian yang rendah. Pada fistel
yang kecil (<3mm) dapat diperbaiki dengan free graft mukoperikondrial yang
diletakkan diatas fistel. Pada fistel yang besar (>3mm) digunakan graft dari tulang
rawan dan tulang yang diletakkan dibawah fistel dan dilapisi dengan flap local atau
free graft. Keuntungan teknik ini adalah lapangan pandang yang jelas sehingga
memberikan lokasi kebocoran yang tepat. Mukosa dapat dibersihkan dari kerusakan
tulang tanpa memperbesar ukuran dan kerusakan dari tulang. Disamping itu graft
dapat ditempatkan lebih akurat pada kerusakannya.
Otore
Terjadi bila tulang petrosa mengalami fraktura, duramater dibawahnya serta
arakhnoid robek, serta membran timpanik perforasi.Fraktura tulang petrosa
diklasifikasikan menjadi longitudinal dan transversal, berdasar hubungannya
terhadap aksis memanjang dari piramid petrosa; namun kebanyakan fraktura adalah
campuran.Pasien dengan fraktura longitudinal tampil dengan kehilangan
pendengaran konduktif, otore, dan perdarahan dari telinga luar.Pasien dengan
fraktura transversal umumnya memiliki membran timpanik normal dan
memperlihatkan kehilangan pendengaran sensorineural akibat kerusakan labirin,
kokhlea, atau saraf kedelapan didalam kanal auditori.Paresis fasial tampil hingga
pada 50 persen pasien.Fraktura longitudinal empat hingga enam kali lebih sering
dibanding yang transversal, namun kurang umum menyebabkan cedera saraf
fasial.Otore CSS berhenti spontan pada kebanyakan pasien dalam seminggu.Insidens
meningitis pasien dengan otore mungkin sekitar 4 persen, dibanding 17 persen pada
rinore CSS. Pada kejadian jarang, dimana ia tidak berhenti, diperlukan pengaliran
lumbar dan bahkan operasi.
Infeksi
Meningitis merupakan infeksi tersering pada fraktur basis Cranii.Penyebab
paling sering dari meningitis pada fraktur basis Cranii adalah S.
Pneumoniae.Profilaksis meningitis harus segera diberikan, mengingat tingginya
angka morbiditas dan mortalitas walaupun terapi antibiotic telah
digunakan.Pemberian antibiotic tidak perlu menunggu tes diagnostic.Karena
pemberian antinbiotik yang terlambat berkaitan erat dengan tingkat morbiditas dan
mortalitas yang tinggi.Profilaksis antibiotic yang diberikan berupa kombinasi
vancomycin dan ceftriaxone.Antiobiotik golongan ini digunakan mengingat
tingginya angka resistensi antibiotic golongan penicillin, cloramfenikol, maupun
meropenem.
Pnemocephalus
Adanya udara pada cranial cavity setelah trauma yang melalui menings.
Meningkatnya tekanan di nasofaring menyebabkan udara masuk melalui cranial
cavity melalui defek pada duramater dan menjadi terperangkap. TIK yang meningkat
dapat memperbesar defek yang ada dan menekan otak dan udara yang terperangkap.
Terapi dapat berupa kombinasi dari operasi untuk membedakan udara intracranial.
Serta memperbaiki defek yang ada, dan tredelegburg positif.
Adapun penangannan umum dari trauma kepala sendiri, meliputi:
1) Pengendalian Tekanan IntraCraniial
Manitol efektif untuk mengurangi edem serebral dan TIK. Selain karena
efek osmotik, manitol juga dapat mengurangi TIK dengan meningkatkan arus
microcirculatory otak dan pengiriman oksigen. Efek pemberian bolus manitol
tampaknya sama selama rentang 0,25 sampai 1,0 g / kg.
2) Mengontrol tekanan perfusi otak
Tekanan perfusi otak harus dipertahankan antara 60 dan 70 mmHg , baik
dengan mengurangi TIK atau dengan meninggikan MAP . Rehidrasi secara
adekuat dan mendukung kardiovaskular dengan vasopressors dan inotropik
untuk meningkatkan MAP dan mempertahankan tekanan perfusi otak > 70
mmHg.
3) Mengontrol hematokrit
Aliran darah otak dipengaruhi oleh hematokrit.Viskositas darah
meningkat sebanding dengan semakin meningkatnya hematokrit dan tingkat
optimal sekitar 35%.Aliran darah otak berkurang jika hematokrit meningkat
lebih dari 50% dan meningkat dengan tingkat hematokrit di bawah 30.
4) Obat obatan
Pemberian rutin obat sedasi, analgesik dan agen yang memblokir
neuromuscular. Propofol telah menjadi obat sedative pilihan. Fentanil dan
morfin sering diberikan untuk membatasi nyeri, memfasilitasi ventilasi
mekanis dan mempotensiasi efek sedasi. Obat yang memblokir neuromuscular
mencegah peningkatan TIK yang dihasilkan oleh batuk dan penegangan pada
endotrachealtube.
5) Pengaturan suhu
Demam dapat memperberat defisit neurologis yang ada dan dapat
memperburuk kondisi pasien. Metabolisme otak akan oksigen meningkat
sebesar 6-9 % untuk itu harus diterapi karena akan memperburuk iskemik otak.
6) Mengontrol bangkitan
Bangkitan terjadi terutama di mereka yang telah menderita hematoma,
menembus cedera, termasuk patah tulang tengkorak dengan penetrasi dural,
adanya tanda fokal neurologis dan sepsis. Antikonvulsan harus diberikan
apabila terjadi bangkitan.
7) Kontrol cairan
NaCl 0,9%, dengan osmolaritas 308 mosm / l, telah menjadi kristaloid
pilihan dalam manajemen dari cedera otak. Resusitasi dengan 0,9 % saline
membutuhkan 4 kali volume darah yang hilang untuk memulihkan parameter
hemodinamik.
8) Posisi kepala
Menaikkan posisi kepala dengan sudut 15-300 dapat menurunkan TIK
dan meningkatkan venous return ke jantung.
9) Merujuk ke dokter bedah saraf
Rujukan ke seorang ahli bedah saraf:
- GCS kurang dari atau sama dengan setelah resusitasi awal
- Disorientasi yang berlangsung lebih 4 jam
- penurunan skor GCS terutama respon motoric
- tanda-tanda neurologis fokal progresif
- kejang tanpa pemulihan penuh
- cedera penetrasi
- kebocoran cairan serebrospinal

VISUM ET REPERTUM

Ketentuan umum pembuatan visum et repertum:


- Diketik di atas kertas berkepala surat instansi pemeriksa.
- Bernomor dan bertanggal.
- Mencantumkan kata "Pro justitia" di bagian atas (kiri atau tengah).
- Menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar.
- Tidak menggunakan singkatan - terutama pada waktu mendeskripsikan temuan
pemeriksaan
- Tidak menggunakan istilah asing.
- Ditandatangani dan diberi nama jelas.
- Berstempel instansi pemeriksa tersebut
- Diperlakukan sebagai surat yang harus dirahasiakan
- Hanya diberikan kepada penyidik peminta visum et repertum (instansi).
- Salinannya diarsipkan dengan mengikuti ketentuan arsip pada umumnya, dan
disimpan sebaiknya hingga 30 tahun.

Pihak yang bisa mengajukan dan membuat visum et repertum


1. Pihak yang berwenang meminta keterangan ahli menurut KUHAP pasal 133 ayat
(1) adalah penyidik yang menurut PP 27/1983 adalah Pejabat Polisi Negara RI.
Sedangkan untuk kalangan militer maka Polisi Militer (POM) dikategorikan
sebagai penyidik.
2. Pihak yang berwenang membuat keterangan ahli menurut KUHAP pasal 133 ayat
(1) adalah dokter dan tidak dapat didelegasikan pada pihak lain.
3. Prosedur permintaan keterangan ahli kepada dokter telah ditentukan bahwa
permintaan oleh penyidik harus dilakukan secara tertulis yang secara tegas telah
diatur dalam KUHAP pasal 133 ayat (2).
4. Penyerahan surat keterangan ahli hanya boleh dilakukan pada Penyidik yang
memintanya sesuai dengan identitas pada surat permintaan keterangan ahli. Pihak
lain tidak dapat memintanya.

Kebijakan Visum et Repertum


Melalui pendekatan yuridis visum et repertum di dalam Undang-Undang No 8
tahun 1981 tentang hukum acara pidana, menunjukkan terdapat masalah mendasar yaitu
kedudukan visum et repertum masuk dalam alat bukti keterangan ahli atau alat bukti surat
yang kedua alat bukti ini sah menurut hukum sesuai pasal 184 KUHAP. Berikut analisis
yuridis peraturan perundang-undangan pidana di indonesia :
1. Pasal 120 KUHAP
Dalam hal penyidik menganggap perlu, ia dapat minta pendapat orang ahli atau
orang yang memiliki keahlian khusus.
2. Pasal 133 KUHAP
1) Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang
korban baik luka,keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa
yang merupakan tindak pidana,ia berwenang mengajukan permintaan
2) Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas
untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan
bedah mayat.
3. Pasal 179 KUHAP
1) Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran
kehakiman atau dokter atau ahli lainnya wajib memberikan keterangan
ahli demi keadilan.
2) Semua ketentuan tersebut diatas untuk saksi berlaku juga bagi saksi yang
memberikan keterangan ahli, dengan ketentuan bahwa mereka
mengucapkan sumpah atau janji akan memberikan keterangan yang
sebaik-baiknya dan yang sebenar-benarnya menurut pengetahuan dalam
bidang keahliannya.
4. Pasal 180 KUHAP
1) Dalam hal diperlukan untuk menjernihkan duduknya persoalan yang
timbul di sidang pengadilan, hakim ketua sidang dapat minta keterangan
ahli dan dapat pula minta agar diajukan bahan baru oleh yang
berkepentingan.
2) Dalam hal timbul keberatan yang beralasan dari terdakwa atau penasihat
hukum terhadap hasil keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) hakim memerintahkan agar hal itu dilakukan penelitian ulang.
3) Hakim karena jabatannya dapat memerintahkan untuk dilakukan
penelitian ulang sebagaimana tersebut pada ayat (2)
4) Penelitian ulang sebagaimana tersebut pada ayat (2) dan ayat (3) dilakukan
oleh instansi semula dengan komposisi personil yang berbeda dan instansi
lain yang mempunyai wewenang untuk itu.
5. Pasal 184 KUHAP ayat 1 huruf b
1) Alat bukti yang sah ialah :
1. Keterangan saksi
2. Keterangan ahli
3. Surat
4. Petunjuk
5. Keterangan terdakwa
6. Pasal 186 KUHAP
Keterangan ahli sidang pengadilan ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang
pengadilan.
7. Pasal 187 KUHAP
Surat sebagaimana tersebut pada pasal 184 ayat (1) huruf c, dibuat atas sumpah
jabatan atau dikuatkan dengan sumpah adalah:
a. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat
umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya, yang memuat
keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau
yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas
tentang keterangannya itu;
b. Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan
atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam
tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan
bagi pembuktian sesuatu keadaan;
c. Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan
keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta
secara resmi daripadanya;
d. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi
dari alat pembuktian yang lain.
8. Pasal 216 KUHAP
1) Barangsiapa dengan sengaja tidak menuruti perintah atau permintaan yang
dilakukan menurut undang-undang oleh pejabat yang tugasnya mengawasi
sesuatu, atau oleh pejabat berdasarkan tugasnya, demikian pula yang diberi
kuasa untuk mengusut atau memeriksa tindak pidana; demikian pula
barangsiapa dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi atau
menggagalkan tindakan guna menjalankan ketentuan, diancam dengan
pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau denda paling
banyak sembilan ribu rupiah.
DAFTAR PUSTAKA

Adams RD. Principles of neurology. 6thed vol.2 New York: McGraw Hill, 1997:874-901
American Chollage of Surgeon Committe on Trauma. 2004. Advance Trauma Life Support
for Doctors.
Anderson S. McCarty L., Cedera Susunan Saraf Pusat, Patofisiologi, edisi 4, Anugrah P.
EGC, Jakarta,1995, 1014-1016
Andradi S. Simposium cedera kranio serebral, 199
Cohadon F. The concept of secondary damage inbrain trauma, in ischemia inhead injury.
Proceedings of 10th Europe Congress of Neurosurgery, 1995:1-7
De Jong, Wim. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah Ed.2. Jakarta: EGC.
Graham DI. Neuropathology of brain injury in neurology and trauma.
Philadelphia: WB Sounders, 1996: 53-90
Jenneth B. management of head ijnury. Philadelphia; FA Davis, 1981
Judson JA. Management of severe and multiple trauma, in TE Oh(ed). Sydney:
Butterworth, 1990: 422-426
Kelly DF. General principles of head injury management. New York: McGraw Hill,1996
Listiono L D. Ilmu Bedah Saraf Satyanegara, edisi III; Cedera Kepala Bab 6. Penerbit PT
Gramedia Pustaka Utama. Jakarta
Marshall SB. Neuroscience and critical care, pathophysiology and management.
Philadelphia: WB Sounders, 1990: 169-213
Riana, Meiby, dan Kabhithra Thiayagarajan. 2014. Fraktur Basis Cranii. Bagian Ilmu SMF
Bedah RSUP. Dr. M. Djamil. Padang.

Anda mungkin juga menyukai