Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Biasanya, yang menjual hasil coklat dari kebun ke pasar ya ibu-ibu, karena yang terima
uangnya ibu-ibu. Kalaupun bapaknya yang jual, ya uangnya harus diberikan ke ibu-ibu.
Begitu penjelasan ibu-ibu yang hadir dalam diskusi kelompok di Desa Campaga, Kabupaten
Bantaeng, Sulawesi Selatan. Sambil berseloroh, fasilitator diskusi bertanya, bagaimana jika
uangnya tidak diberikan kepada ibu-ibu? Ibu-ibu tersebut spontan merespons dengan
menjelaskan bahwa uang hasil penjualan coklat, kopi dan produk kebun harus diserahkan ke
ibu-ibu untuk dibelanjakan kebutuhan rumah tangga. Alasan mereka, karena ibu-ibu yang
tahu kebutuhan rumah tangga, maka ibu-ibulah yang menerima penghasilan tersebut.
Petikan di atas merupakan sebuah ilustrasi yang menggambarkan
bahwa perempuan memiliki peranan cukup besar dalam pemasaran
produk dari kebun mereka, disamping peran utamanya sebagai pengelola
uang hasil penjualan produk kebun untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa isu gender penting untuk
dipahami dan dipertimbangkan dalam pengembangan suatu kegiatan,
karena akan berpengaruh terhadap keberhasilan dari kegiatan yang
dikembangkan tersebut.
Gender seringkali disamakan maknanya dengan pembedaan jenis kelamin antara
perempuan dan laki-laki. Namun sejatinya, isu gender yang dalam beberapa tahun belakangan
ini banyak dibahas adalah berkaitan dengan peran, posisi dan tanggung jawab perempuan
maupun laki-laki di dalam masyarakat dan hubungan peran-peran tersebut. Peran antara laki-
laki dan perempuan dalam masyarakat dalam isu gender dapat dipertukarkan, contoh yang
paling mudah antara lain, seorang perempuan menduduki posisi sebagai kepala daerah,
bahkan sebagai presiden. Berbeda dengan gender dalam arti jenis kelamin, yang lebih
mencerminkan ciri biologis makhluk hidup dan tidak dapat dipertukarkan antar keduanya,
misalnya alat kelamin perempuan dan laki-laki, sperma, rahim, melahirkan, menyusui, haid
dan membuahi.
Gender merupakan suatu tafsir sosial yang sangat dipengaruhi oleh pemahaman
agama, budaya, kebijakan dan politik. Misalnya gender laki-laki seringkali dikaitkan sebagai
pencari nafkah utama, sedangkan perempuan lebih dilihat dalam peran reproduksi dan
domestiknya. Perbedaan gender sesungguhnya tidak menjadi masalah sepanjang tidak
1
melahirkan ketidakadilan gender (gender inequalities). Namun demikian, dengan semakin
terbukanya informasi dan komunikasi, ketidakadilan gender menjadi isu yang muncul di
berbagai belahan bumi dan menarik untuk dibahas. Ketidakadilan gender itu sendiri
merupakan sistem dan struktur yang mengakibatkan salah satu gender, apakah itu perempuan
ataupun laki-laki, menjadi korban.
Permasalahan dalam gender sering muncul lebih banyak dipengaruhi oleh tafsir sosial
itu sendiri. Dalam banyak hal, permasalahan gender seringkali lebih nampak saat perempuan
yang menjadi terpinggirkan, sehingga isu gender seolah-olah identik dengan permasalahan
perempuan. Sebagai contoh, dalam partisipasi ekonomi, kaum laki-laki memperoleh
kesempatan yang lebih besar daripada perempuan. Demikian pula dalam akses informasi dan
pasar, umumnya perempuan memiliki keterbatasan yang lebih besar daripada laki-laki.
Namun demikian, di beberapa negara terdapat kasus dimana laki-laki justru mengalami
ketidakadilan. Jadi gender bukanlah keberpihakan terhadap perempuan, tetapi lebih
menekankan terhadap pembagian peran secara adil antara laki-laki dan perempuan.
Bagaimana pola relasi antara perempuan dan laki-laki dalam unit rumah tangga, masyarakat
dan kelompok sosial yang lebih besar berpengaruh terhadap posisi dan status gender. Hal ini
juga yang kemudian berpengaruh pada kesempatan ikut serta dalam pembangunan dan
menikmasi hasil pembangunan apakah berlangsung secara adil atau tidak.
Bagi suatu negara, budaya merupakan suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki
bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung
menganggapnya diwariskan secara genetis. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku
sosial manusia, karena budaya adalah suatu pola menyeluruh dan bersifat kompleks, abstrak,
dan luas.
Budaya merupakan kepercayaan yang dipercayai secara turun-temurun. Salah satunya
adalah kepercayaan tentang adanya perbedaan gender. Isu tentang perbedaan gender telah
menjadi bahasan analisis sosial, menjadi pokok bahasan dalam wacana perdebatan mengenai
perubahan sosial dan juga menjadi topik utama dalam perbincangan mengenai pembangunan
dan perubahan social. Gender dipersoalkan karena secara social telah melahirkan perbedaan
peran, tanggung jawab, hak, dan fungsi serta ruang aktivitas laki-laki dan perempuan dalam
masyarakat (Anonim, 2012).
Perempuan selalu didentikkan dengan the scond man, the second creation, kaum
termarjinalkan, subordinasi dan istilah-istilah lain yang mengarah pada penjustifikasian
terhadap posisi perempuan yang serba lemah, tidak bredaya dan tidak mampu. Mengapa hal

2
itu terjadi ? sebuah pertanyaan besar yang harus kita pecahkan bersama. Ketidakadilan
tersebut terjadi sejak kita belum dilahirkan, orang tua kita telah memperkenalkan bagaimana
menjadi seorang laki-laki dan perempuan. Ketika janin yang di USG (Ultra Sonic General)
berjenis kelamin laki-laki, maka orang tua mempersiapkan peralatan pakaian , dan ruangan si
bayi mengarah pada menjadi seorang laki-laki begitu pula sebaliknya. Maka kemudian
tidak heran jika kita menjadi seorang harus tumbuh menjadi perempuan dan laki-laki dewasa
dengan diajar tentang sifat, sikap, aturan, kegiatan feminim atau maskulin.
Marwell (1975) seorang fungsionalis menjelaskakn peran yang didasarkan atas
perbedaan seksual selalu terjadi, ini sudah memjadi kenyataan yang tidak dapat di bantah ini
terjadi dimana-mana., meskipun bentuknya tidak selalu sama. Pada setiap kebudayaan
perempuan dan laki-laki di beri peran dan pola tingkah laku yang berbeda untuk saling
melengkapi perbedaan badaniah dari kedua makhluk ini pembagian peran ini berfungsi
melengkapi kekurangan kedua jenis manusia ini, supaya persoalan yang dihadapi oleh
masyarakat dapat dipecahkan dengan cara yang lebih baik (Elvi Ria, 2003).
Peran-peran gender untuk perempuan dan laki-laki sangat brevariasi dari budaya
kebudayaan lainnya dan dari satu kelompok soial ke kelompok sosial lainnya dalam
kebudayaan yang sama, ras, kelas lingkungan-lingkungannya, ekonomi, umur semuanya
berpengaruh terhadap apa yang dianggap sesuai untuk kondisi sosial budaya. Tidak heran
jika kemudian untuk menjadi seorang laki-laki, laki-laki lebih banyak meniru apa yang
dilakukan oleh ayah, kakek, paman dll yang kemudian melahirkan jenis pekerjaan, sifat,
kegiatan kelelakian (mainstream yang dibangun). Begitu pula dengan perempuan yang
diwajibkan untuk ngudi ilmu pawon seperti memasak, mencuci, menyapu dengan
mencontoh ibu, kakak perempuan, nenk, bibi dll. Meanstream feminis itulah yang harus
dibongkar dan kelepaskan dari benak semua orang. Lantas bagaimana caranya membongkar
mainstream seperti itu ? hal ini tak akan lepas dari sumber atau akar permasalahan yaitu
budaya yang telah mengurat akar dalam masyarakat yang telah memetak-metakan fungsi dan
peran laki-laki atau perempuan.
Dari kondisi yang ada saat ini, diamati bahwa masih terjadi ketidakjelasan dan
kesalahpahaman tentang pengertian gender. Harus diakui bahwa gender merupakan isu baru
bagi masyarakat. Dalam setiap masyarakat, kaum laki-laki dan perempuan memiliki peran
gender yang berbeda. Perbedaan jalan perkembangan peran gender dalam masyarakat
disebabkan oleh beberapa factor, mulai dari lingkungan alam hingga cerita yang digunakan
untuk memecahkan teka-teki perbedan jenis kelamin (Novy dkk, 2010). Peran gender
diajarkan secara turun temurun dari orang tua ke anaknya. Hal ini dimulai sejak anak berusia

3
muda, kadang tanpa disadari, orang tua telah memberlakukan anak perempuan dan laki-laki
berbeda. Oleh karena itu penulis merasa tertarik dengan adat budaya masyarakat yang masih
mempermasalahkan gender dalam konserfasi kehidupan sosial budaya dan alam/lingkungan.

B. Rumusan Masalah
Bagaimana peran gender menurut budaya?
1. Apa saja budaya yang mempengaruhi gender?
2. Apa saja isu gender dalam sektor lingkungan?
3. Bagaimana peran perempuan dalam pengelolaan sumber daya alam?
4. Bagaimana peran perempuan dalam pengelolaan lingkungan hidup menurut uu no. 32
tahun 2009?
5.
C. Tujuan Penulisan
1. Bagaimana peran gender menurut budaya?
2. Apa saja budaya yang mempengaruhi gender?
3. Apa saja isu gender dalam sektor lingkungan?
4. Bagaimana peran perempuan dalam pengelolaan sumber daya alam?
5. Bagaimana peran perempuan dalam pengelolaan lingkungan hidup menurut uu no. 32
tahun 2009?

4
BAB II
PEMBAHASAN

1. Peran Gender Menurut Budaya


Beberapa kecenderungan di masyarakat dan keluarga yang menyebabkan terjadinya
perbedaan peran gender adalah memposisikan peran anak laki-laki dan anak perempuan yang
berbeda, baik dalam status, peran yang melekat ataupun hak-hak yang sebanarnya merupakan
hak universal.
Anak perempuan harus bermain pasar-pasaran, boneka dan permainan yang identik
sebagai permainan perempuan, dan sebaliknya anak laki-laki dilarang melakukan hal serupa
seperti anak perempuan, atau jika ada anak laki-laki yang bermain seperti perempuan,
lingkungan sekitar menyebutnya (maaf) banci. Selain itu, dalam keluarga secara tidak sengaja
juga dilakukan sosialisasi pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin. Anak perempuan
membantu memasak, anak laki-laki membantu ayah mengerjakan pekerjaan ayah, tentunya
juga mengerjakan pekerjaan yang identik laki-laki.
Proses pewarisan nilai ini pada akhirnya akan menjadikan anak terus memegang
ajaran apa yang harus dilakukan oleh anak laki-laki dan apa yang tidak boleh dilakukannya,
demikian juga untuk anak perempuan ada seperangkat aturan yang tidak boleh dilanggarnya
karena budaya melarangnya, konsep ini belakang dikenal dengan ideologi peran gender
(gender role ideology).
Pada saat lahir, jenis kelamin menentukan dasar anatomis fisik. Pada fase kehidupan
selanjutnya pengalaman, perasaan dan tingkah laku yang diasosiasikan oleh orang dewasa,
masyarakat sekitarnya serta budaya, perbedaan biologis ini memberikan bias gender pada
individu tersebut. Banyak kenyataan mengenai bagaimana anak laki-laki dan perempuan
berbeda dan bagaimana sama, yang akan dipahami sebagai konstruksi budaya yang
didasarkan pada perbedaan biologis. Dalam konsep keseharian ada dua istilah yang kerap
saling tumpang tindih dalam memaknainya, yaitu peran gender dan peran jenis kelamin.
Makna peran gender (gender roles) sebagai derajat dimana seseorang mengadopsi perilaku
yang sesuai atau spesifik gender yang diberikan oleh budayanya. Lebih lanjut makna peran
jenis kelamin (sex roles) sebagai perilaku dan pola-pola aktivitas laki-laki dan perempuan
yang secara langsung dihubungkan dengan perbedaan biologis dan proses reproduksi. Maka
peran jenis kelamin merupakan satu aktivitas yang hanya mampu dilakukan oleh jenis
kelamin tertentu. Salah satu hasil temuan yang terpenting dari perbedaan gender yang

5
ditemukan dari banyak budaya di seluruh dunia adalah perempuan tinggal di rumah dan
merawat anak-anaknya,dan laki-laki meninggalkan rumah untuk bekerja.
Meski dipahami bahwa tidak semua aktivitas dapat bertukar peran antara laki-laki dan
perempuan, namun aktivitas tersebut tidak terkait dengan kondisi biologis jenis kelamin,
maka sebenarnya dapat terjadi tukar peran antara jenis kelamin yang berbeda. Kondisi inilah
yang tampak belum secara arif dipahami oleh seluruh lapisan masyarakat kita, dan budaya
pada akhirnya menguatkannya dan menjadikan sesuatu yang sakral. Hingga akhirnya, akan
terlihat canggung tatkala ada seorang bapak yang menggendong anaknya, sementara sang ibu
berjalan lenggang. Padahal kondisi itu telah secara empirik ada dalam masyarakat kita, meski
persentasenya belum banyak. Pada akhirnya disadari bahwa budaya memainkan peran penting
dalam kontruksi gender seseorang.
Dalam budaya, peran yang diberikan (roles ascribed ) bagi laki-laki dan perempuan
berlaku secara relatif fleksibel, sebagaimana anggota suatu budaya membentuk variasi tugas-
tugas yang berkaitan dengan kelangsungan hidup kelompok. Merujuk pada budaya yang di
Indonesia, tampak ada perbedaan peran gender antara suku bangsa yang ada. Sebagai contoh
beberapa suku di tanah Sumatra memposisikan perempuan begitu tinggi, sementara suku
lainnya justru sebaliknya. Begitu juga yang terjadi di Jawa, Kalimantan, ataupun daerah-
daerah lainnya di Indonesia. Secara umum sistem patrilinial lebih dominan dibanding
matrilinial, yang secara tidak langsung memposisikan jenis kelamin tertentu memiliki
kontruksi sosial yang lebih tinggi dibanding jenis kelamin lainnya. Pada giliran selanjutnya,
posisi tersebut menentukan peran jenis yang akhirnya terbentuklah konstruksi gender.
Dalam pandangan masyarakat secara umum, perempuan dicirikan lebih
memperlihatkan sikap patuh dan mengikuti norma yang berlaku dalam suatu masyarakat
dibandingkan laki-laki. Hal ini berkaitan dengan pandangan tradisional bahwa laki-laki
sebagai kepala keluarga dan pengambil keputusan utama, sedangkan peran perempuan lebih
banyak mengurus anak dan rumah tangga. Dengan demikian, perempuan diharapkan untuk
konform atas keputusan yang dibuat oleh laki-laki atau masyarakat. Persoalan yang menarik
dan harus ditanyakan adalah, apakah kepatuhan itu hanya keharusan miliki kelompok
perempuan? Tentunya jawaban pertanyaan ini adalah tidak. Artinya, apapun jenis kelaminnya
harus ada rasa kepatuhan pada hal-hal yang memang layak dipatuhi. Konform atas satu
keputusan yang disepakati bersama merupakan keharusan bagi siapa saja yang ada dalam
komunitas tersebut tanpa melihat sisi jenis kelaminnya.

6
2. Budaya yang Mempengaruhi Gender
1. Sebagian besar masyarakat banyak dianut kepercayaan yang salah tentang apa arti
menjadi seorang wanita, dengan akibat yang berbahaya bagi kesehatan wanita.
Dimana, dapat terjadi ekstramarital seks yang hal ini menimbulkan perilaku seksual
yang pada akhirnya berhubungan dengan transmisi dari penyakit seksual seperti
gonorhoe, syphilis, herpes genitalia, AIDS, kanker servik, hepatitis B, dan lainnya.
2. Setiap masyarakat mengharapkan wanita dan pria untuk berpikir, berperasaan dan
bertindak dengan pola-pola tertentu dengan alasan hanya karena mereka dilahirkan
sebagai wanita/pria. Contohnya wanita diharapkan untuk menyiapkan masakan,
membawa air dan kayu bakar, merawat anak-anak dan suami. Sedangkan pria bertugas
memberikan kesejahteraan bagi keluarga di masa tua serta melindungi keluarga dari
ancaman.
3. Gender dan kegiatan yang dihubungkan dengan jenis kelamin tersebut, semuanya
adalah hasil rekayasa masyarakat. Beberapa kegiatan seperti menyiapkan makanan
dan merawat anak adalah dianggap sebagai kegiatan wanita.
4. Kegiatan lain tidak sama dari satu daerah ke daerah lain diseluruh dunia, tergantung
pada kebiasaan, hukum dan agama yang dianut oleh masyarakat tersebut.
5. Peran jenis kelamin bahkan bisa tidak sama didalam suatu masyarakat, tergantung
pada tingkat pendidikan, suku dan umurnya, contohnya : di dalam suatu masyarakat,
wanita dari suku tertentu biasanya bekerja menjadi pembantu rumah tangga, sedang
wanita lain mempunyai pilihan yang lebih luas tentang pekerjaan yang bisa mereka
pegang.
6. Peran gender diajarkan secara turun temurun dari orang tua ke anaknya. Sejak anak
berusia muda, orang tua telah memberlakukan anak perempuan dan laki-laki berbeda,
meskipun kadang tanpa mereka sadari (Suryanti, 2009).
Berikut akan dipaparkan beberapa budaya yang mempengaruhi gender :
a) Budaya di Bali
Salah satu budaya yang mempengaruhi gender yaitu budaya patriaki atau patrilinial.
Budaya patriaki merupakan suatu budaya dimana yang dominan dan memegang
kekuasaan dalam keluarga berada di pihak ayah. Dalam sistem kekerabatan
masyarakat khususnya Bali, Bali termasuk dalam kelompok kekerabatan patrilinial
yang dianut oleh masyarakat yang sangat jelas menempatkan kaum laki-laki pada
kedudukan yang lebih tinggi. Laki-laki berkedudukan sebagai ahli waris, sebagai
pelanjut nama keluarga, sebagai penerus keturunan, sebagai anggota masyarakat

7
adat dan juga mempunyai peranan dalam pengambilan keputusan keluarga maupun
masyarakat luas. Dalam masyarakat yang menganut sistem kekerabatan partilinial
kaum perempuan justru sebaliknya yaitu mempunyai kedudukan yang sangat
rendah, tidak sebagai ahli waris, tidak sebagai pelanjut keturunan, tidak sebagai
penerus nama keluarga karena dalam perkawinan (pada umumnya) perempuan
mengikuti suami dan juga tidak menjadi anggota masyarakat adat.
b) Budaya di India
Salah satu budaya yang masih dianut di India sampai saat ini adalah budaya
Patriaki. Budaya patriaki adalah sebuah sistem sosial yang menempatkan laki-laki
sebagai sosok otoritas utama yang sentral dalam organisasi sosial. Dimana Ayah
memiliki otoritas terhadap perempuan, anak-anak dan harta benda. Secara tersirat
sistem ini melembagakan pemerintahan dan hak istimewa laki-laki dan menuntut
subordinasi perempuan.
Di india terdapat satu kepercayaan yang masih diyakini sampai saat ini terkait
dengan gender yaitu kepercayaan atau keyakinan bahwa anak laki-laki akan
memberikan kemakmuran kepada keluarga, sedangkan jika memiliki anak
perempuan akan menambah beban. Hal ini diperkuat dengan adat yang berlaku di
india yaitu adanya system pemberian mas kawin yang berlaku dalam tradisi india
dimana mempelai pria harus dibeli oleh mempelai wanita. Dibeli disini diartikan
setiap keluarga dari pihak anak perempuan wajib menyerahkan sejumlah besar uang
atau barang mewah kepada mempelai laki-laki dan keluarganya
c) Budaya di Sulawesi Selatan
Selain budaya patriaki, budaya yang dianut di Sulawesi Selatan yang terkait dengan
gender adalah budaya siri. Budaya siri berlaku di masyarakat pesisir Sulawesi
Selatan. Sebagian masyarakat pesisir di Sulawesi Selatan menilai perempuan
pekerja masih dianggap siri (tradisi malu).
Mereka beranggapan keterlibatan perempuan dalam bekerja melecehkan
tanggungjawab laki-laki yang dinilai tidak mampu lagi menghidupi kebutuhan
keluarga. Akibatnya, perempuan pesisir hanya bisa menunggu dan menaruh
harapan pada hasil tangkapan laki-laki yang sedang melaut. Hal ini masih
diturunkan turun-temurun sampai saat ini oleh masyarakat pesisir Sulawesi Selatan
(Aldito,2013).

8
3. Isu Gender Dalam Sektor Lingkungan
Manusia merupakan pelaku utama dalam pemanfaatan sumber daya alam, sehingga
perilaku manusia dalam mengekstraksi sumber daya alam hendaknya tetap
memperhatikan daya dukung lingkungan. Perilaku over-eksploitatif dalam
pemanfaatan hutan, laut, lahan, air berdampak pada kerusakan sumberdaya alam
termasuk pencemaran.
Pemeliharaan lingkungan merupakan tanggung jawab semua pihak, baik laki-laki
maupun perempuan. Program pemeliharan lingkungan sebagai investasi jangka
panjang bernilai ekonomi dan mengurangi kemiskinan.
Kebijakan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang berwawasan gender sudah dimulai
pada 1994 dengan adanya kerjasama Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup
dengan program EMDI 3 dalam kegiatan diskusi kelompok kecil dan menghadiri
beberapa seminar tentang pemberdayaan perempuan di Unit kerja . Asisten Menteri
bidang Perencanaan Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup.
Kebijakan untuk melakukan analisis Gender termuat dalam REPETA 2002 Kantor
Negara Lingkungan Hidup pada program peningkatan peran masyarakat dalam
pengelolaan sumberdaya alam dan pelestarian lingkungan hidup.

4. Peran Perempuan Dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam


Perempuan merupakan agen perubahan dan memberi pengaruh besar terhadap kualitas
lingkungan hidup. Banyak hal yang dapat dilakukan oleh perempuan terkait hubungannya
dengan pengelolaan lingkungan, seperti :
1. Mengurangi pemakaian kosmetik dalam skala besar. Selanjutnya, sisa-sisa dari bahan
kosmetik yang telah digunakan dibuang pada tempatnya atau didaur ulang.
2. Mengurangi pemakaian deterjen yang berlebihan dan mengontrol pembuangan air
limbah sabun dengan cara menampung di tempat tertentu agar tidak langsung dibuang
ke tanah.
3. Perempuan dapat melakukan perannya di rumah untuk mengendalikan produksi
sampah plastik dengan cara menghemat plastik saat berbelanja di pasar dengan cara
membawa tas yang bisa dipakai berulang-ulang untuk memasukkan barang atau bahan
belanjaan. Perempuan juga dapat mengurangi sampah botol plastik minum dengan
cara membawa bekal minuman kemanapun mereka pergi dan menjadikan itu sebagai
suatu kebiasaan untuk keluarganya.

9
4. Perempuan sebagai ibu yang mengatur segala urusan rumah tangga seperti
membersihkan rumah dan pekarangan, dapat membiasakan diri melakukan hal-hal
yang bermanfaat untuk lingkungan rumah dan akan diikuti oleh anggota keluarga
lainnya. Hal ini dapat dilakukan dengan membiasakan pembagian sampah berdasarkan
kategorinya seperti sampah basah dan sampah kering dengan cara menyediakan
tempat khusus untuk pembuangan sampah dengan jenis yang berbeda tersebut.
Misalnya, sampah basah dapat dikubur dalam tanah dan dijadikan kompos. Sedangkan
sampah-sampah kering seperti kertas bekas dan botol-botol dapat didaur ulang dan
digunakan lagi.
5. Perempuan sebagai ibu rumah tangga yang dapat menjadi pendidik bagi anak-anak
mereka. Dalam hal ini, seorang ibu bisa menanamkan nilai-nilai kepedulian
lingkungan kepada anak-anaknya dari kecil sehingga si anak terbiasa melakukan hal-
hal yang menjaga lingkungan dimanapun si anak berada.
6. Perempuan merupakan seseorang yang aktif melakukan penanaman di rumahnya
masing-masing. Setidaknya hal ini dapat menjadi pilar untuk gerakan penghijauan
lingkungan di sekitar tempat tinggal.
7. Perempuan dapat terlibat langsung melalui suatu organisasi lingkungan dan
melakukan sosialisasi langsung ke sesamanya. Hal ini dianggap lebih mudah untuk
dipahami dan diterima oleh perempuan lainnya.
8. Perempuan sebagai sosok yang teliti dan telaten, dapat menjadikan permasalahan
sampah menjadi peluang ekonomi dengan cara memanfaatkan sampah menjadi barang
yang dapat digunakan lagi setelah melalui proses daur ulang. Hal ini sangat
bermanfaat untuk mengatasi permasalahan sampah karena dapat mengendalikan dan
mengurangi sampah di lingkungan.
9. Perempuan dapat mendirikan komunitas lingkungan yang bergerak untuk mengajak
kaum perempuan lainnya agar peduli dan melestarikan lingkungan sekitar pemukiman
mereka. Hal ini dapat dilakukan dengan cara menyalurkan tulisan melalui media agar
penyebaran informasinya lebih meluas dan dapat dijangkau oleh masyarakat umum.
Dasar dari semua itu adalah untuk mewujudkan kesehatan, lingkungan yang bersih, air
yang bersih dan jauh dari limbah pencemaran, ventilasi, tumbuhan dan lain-lain. Peran
perempuan dalam rumah tangga, dalam masalah lingkungan di sekitar rumah di jelaskan oleh
KTT Bumi Rio de Jeneiro dalam prinsip ke 20 deklarasi Rio; Perempuan mempunyai peran
penting dalam pengelola lingkungan dan pembangunan. Partisipasi penuh mereka sangat
penting untuk meningkatkan pembangunan berkelanjutan. Hal lain dalam deklarasi itu

10
menjelaskan peran penting laki-laki dan peran perempuan yang bertuliskan Kami bertekat
untuk menjamin bahwa pemberdayaan dan emansipasi perempuan dan kesetaraangender
terintegrasi dalam segala aktivitas yang terdapat dalam Agenda 21, tujuan pembangunan
berkelanjutan dan rencana pelaksanaan Johannesberg.
Persoalan-persoalan yang dihadapi perempuan secara structural, berakar dari system
budaya patriarkis yang membuat hubungan laki-laki dan perempuan tidak setara. Hal ini
sangat nampak pada kebijakan yang tidak berpihak pada perempuan dan semakin lemahnya
peran Negara untuk melindungi warganya akibat tekanan globalisasi. Dalam sector ekonomi,
Negara lebih memberikan perlindungan kepada pemilik modal daripada menjaga sumber daya
alam dan mensejahterakan perempuan. Perempuan secara sistematis telah dikondisikan untuk
tidak berpeluang memikirkan wilayah publik dan mengambil keputusan yang sebenarnya juga
menentukan keberlangsungan hidupnya, serta tidak mempunyai posisi sebagai pengambil
keputusan bersama untuk sektor publik.
Berdasarkan persoalan-persoalan perempuan tersebut, maka berkumpullah perempuan
dalam Temu Nasional Aktivis Perempuan Indonesia pada tanggal 31 Agustus 2006 di Asrama
Pondok Haji Jakarta, sebagai ajang konsolidasi gerakan perempuan untuk menciptakan sinergi
antar organisasi perempuan sebagai peneguhan terhadap apa yang telah diperjuangkan selama
ini. Temu Nasional Aktivis Perempuan Indonesia telah menghasilkan 12 Agenda khusus
gerakan perempuan untuk tahun 2006-2011. Salah satu agenda yang terkait dengan
pengelolaan lingkungan hidup adalah agenda tentang perempuan dan Sumber Daya Alam
(SDA) yang meliputi:
a) Mengintegrasikan isu SDA dalam gerakan social lain
b) Mengkampanyekan hak asasi perempuan dalam pengelolaan SDA
c) Pengelolaan SDA berbasis komunitas yang responsive gender (misalnya petani,
nelayan, dll).
d) Menuntut tanggung jawab Negara dan korporasi yang merusak lingkungan hidup dan
melanggar hak asasi perempuan dan adapt.
e) Menolak pembayaran utang luar negeri yang bersumber dari eksploitasi SDA.
f) Advokasi kebijakan dan kasus pengelolaan SDA.
Menurut Vandana Shiva dalam perjuangan menyelamatkan lingkungan, perempuan
adalah korban sekaligus tokoh penggeraknya yang langsung berhadapan dengan kelompok
penguasa (penindas). Konsep ecofeminisme Shiva yaitu menawarkan pandangan atau jalan
keluar tentang masalah kehidupan manusia dan alam di masa mendatang. Ekofeminisme
seperti dalam buku Reclaim The Earth menawarkan analisis relasi perempuan dan alam dan

11
bagaimana perempuan sepanjang masa telah melindungi alam. Bagi Indonesia sebuah Negara
yang tingkat kemiskinan dan kerusakan potensi alamnya sama-sama luar biasa pada satu
dimensi, dan lemahnya posisi perempuan terutama pada dimensi kemiskinan, gagasan Shiva
akan menjadi wacana bagi pengambil kebijakan untuk memperhatikan peran perempuan
dalam pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya alam.

5. Peran Perempuan dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup menurut UU No. 32 Tahun


2009
Peran perempuan dalam pengelolaan lingkungan hidup sebagaimana menjadi agenda
tahun 2006-2011 temu nasional perempuan, maka diharapkan ada keikutsertaan perempuan
dalam pengambilan kebijakan terkait masalah pengelolaan lingkungan hidup. Seiring dengan
berkembangnya isu hak asasi manusia, demokrasi, lingkungan hidup, dan kesetaraan gender,
maka sedikit banyak telah mempengaruhi pemikiran pemerintah dan kalangan organisasi non
pemerintah di Negara maju maupun di Negara berkembang untuk meningkatkan manajemen
pengelolahan sumber daya alam dan lingkungan hidup yang mengedepankan prinsip-prinsip
keadilan, demokrasi, dan keberlanjutan fungsi sumber daya alam dan lingkungan hidup.
Prinsip keadilan merujuk pada kebijakan pengelolaan sumber daya alam harus
direncanakan, dilaksanakan, dimonitoring, dan dievaluasi secara berkelanjutan, agar dapat
memenuhi kepentingan pelestarian dan keberlanjutan fungsi sumber daya alam dan
lingkungan hidup dan juga kepentingan inter antar generasi maupun untuk keadilan gender.
Prinsip inilah yang ingin dipenuhi oleh pemerintah melalui perubahan undang-undang
linkungan hidup yaitu Undang-Undang No. 32 tahun 2009.
Jika kita meninjau UU No. 32 Tahun 2009, maka tidak ada pasal yang menunjukkan
pasal yang secara langsung menyebutkan perempuan sebagai subyek dalam lingkungan hidup.
Peran perempuan dalam lingkungan hidup dapat ditunjukan tersirat di dalam pasal 70 tentang
peran masyarakat, yang menyebutkan bahwa:
1) Masyarakat memiliki hak dan kesempatan pemikiran yang sama dan seluas-luasnya
untuk berperan aktif dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
2) Peran masyarakat dapat berupa:
a) pengawasan sosial;
b) pemberian saran, pendapat, usul, keberatan, pengaduan; dan/atau
c) penyampaian informasi dan/atau laporan.
3) Peran masyarakat dilakukan untuk:
a) meningkatkan kepedulian dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;

12
b) meningkatkan kemandirian, keberdayaan masyarakat, dan kemitraan;
c) menumbuhkembangkan kemampuan dan kepeloporan masyarakat;
d) menumbuhkembangkan ketanggapsegeraan masyarakat untuk melakukan
pengawasan sosial; dan
e) mengembangkan dan menjaga budaya dan kearifan lokal dalam rangka pelestarian
fungsi lingkungan hidup.
Berdasarkan pasal tersebut, maka beberapa hal yang dapat dilakukan perempuan
adalah sebagai berikut:
1. Peran Perempuan dalam Pengawasan Sosial
Perempuan sebagai bagian dari masyarakat harus mampu ikut berperan dalam
pengawasan timbulnya kerusakan lingkungan hidup yang dapat mengganggu
kesehatan masyarakat. Pencemaran lingkungan oleh pihak-pihak yang tidak
bertanggung jawab harus juga menjadi perhatian kaum perempuan. Pemahaman
perempuan tentang lingkungan hidup merupakan pengetahuan yang wajib dimiliki
oleh perempuan, sehingga perempuan dapat tanggap terhadap lingkungannya.
Perempuan diharapkan dapat proaktif jika telah terjadi ketidakadilan dalam bentuk
pencemaran dan kerusakan
lingkungan hidup. Melalui kelompok di luar pemerintah seperti NGO, perempuan
dapat aktif mengawasi terjadinya kerusakan lingkungan hidup.
Perempuan adalah bagian dalam keluarga yang mempunyai peran untuk menjadi
pendidik sekaligus pelaku pertama yang memahami bagaimana menjaga kwalitas
hidup melalui terciptanya lingkungan hidup yang sehat di lingkungan keluarga. Oleh
sebab itu pemberdayaan perempuan tentang lingkungan hidup perlu diberikan kepada
perempuan.
Berdasarkan beberapa penelitian tentang lingkungan (environmental sustainability)
perempuan dapat berperan sebagai agent of change yang dapat merespons perubahan
lingkungan dengan lebih baik daripada laki-laki karena sifat memeliharayang
dimiliki perempuan.
Perempuan yang berposisi sebagai decision makers atau leader berperan penting untuk
mendorong pengintegrasian perspektif perempuan dalam berbagai kebijakan terkait
dengan pemanasan global dan perubahan iklim. Penyataan akan pentingnya perspektif
gender telah muncul dalam the Hyogo Framework of Action sebagai hasil dari the
World Conference on Disaster Reduction States yang diselenggarakan PBB pada tahun
2005. Terdapat pernyataan yang menyebutkan bahwa a gender perspective should be

13
integrated into all disaster risk management policies, plans and decision-making
processes, including those related to risk assessment, early warning, information
management, and education and training.
Bentuk komitmen kaum perempuan adalah aktivitas kepedulian dalam menyelamatkan
dan melestarikan fungsi lingkungan hidup, dengan mencegah pencemaran dan
perusakan yang diakibatkan oleh kegiatan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya
alam. Di mana kegiatan tersebut secara langsung berdampak terhadap penurunan
kualitas lingkungan hidup. Beberapa perubahan perilaku dapat dilakukan misalnya,
upaya mitigasi terhadap
pemanasan global dengan penurunan emisi gas rumah kaca dan peningkatan kapasitas
penyerapan karbon, melalui gerakan penanaman pohon, penyelamatan ozon melalui
penggunaan kosmetik yang alami tanpa gas pendorong seperti misalnya hair spray dan
parfum.
2. Peran Perempuan dalam Kebijakan Pengelolaan Lingkungan Hidup di Daerah
Undang-Undang No. 10 tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif dan Undang-undang No.
2 tahun 2008 tentang Partai Politik (Parpol), kuota keterlibatan perempuan dalam
dunia politik adalah sebesar 30 persen, terutama untuk duduk di dalam parlemen.
Kuota tersebut dapat membantu perempuan di dalam perannya ikut serta dalam
pengambilan kebijakan.
Kuota perempuan dalam legislative telah memberi kesempatan pada perempuan dalam
menentukan arah kebijakan pembangunan. UUPPLH menunjukkan penguatan
demokrasi lingkungan melalui akses informasi, akses partisipasi, dan akses keadilan
serta penguatan hak-hak masyarakat dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup. Berdasarkan pada penguatan demokrasi tersebut, maka perempuan dapat ikut
berperan di dalam menentukan kebijakan lingkungan hidup melalui lembaga
legislative di daerah. Melalui Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup (RPPLH) bagian III UUPPLH dan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (pasal
15 UU No. 32 tahun 2009), perempuan dapat berperan ikut memastikan bahwa setiap
kebijakan pembangunan di daerah harus didasarkan pada prinsip pembangunan
berkelanjutan dan tidak berpotensi menimbulkan dampak risiko lingkungan hidup.
Berikut ini Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup diatur dalam
pasal 10 (4) UUPPLH :
RPPLH memuat rencana tentang :

14
a. pemanfaatan dan/atau pencadangan sumber daya alam;
b. pemeliharaan dan perlindungan kualitas dan/atau fungsi lingkungan hidup;
c. pengendalian, pemantauan, serta pendayagunaan dan pelestarian sumber daya
alam; dan
d. adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan iklim.
Sedangkan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) diatur di dalam pasal 16 UU
No. 32 tahun 2009 :
KLHS memuat kajian antara lain:
a. kapasitas daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup untuk pembangunan;
b. perkiraan mengenai dampak dan risiko lingkungan hidup;
c. kinerja layanan/jasa ekosistem ;
d. efisiensi pemanfaatan sumber daya alam;
e. tingkat kerentanan dan kapasitas adaptasi terhadap perubahan iklim; dan
f. tingkat ketahanan dan potensi keanekaragaman hayati.
Pasal tersebut menjadi pedoman bagi kebijakan lingkungan hidup di daerah dan dasar
penyusunan rencana pembangunan. Peran perempuan dalam hal ini tentunya mampu
ikut berperan dalam penyusunan rencana, program, atau kebijakan yang
mengutamakan keselamatan masyarakat, kelestarian lingkungan hidup, dan responsive
gender. Jumlah perempuan sebanyak 30 % di dalam DPR/DPRD diharapkan mampu
memberikan suara dan melakukan monitoring terhadap kebijakan pemerintah atau
pemerintah daerah yang harus terintegrasi dengan prinsip pembangunan berkelanjutan
dan sesuai dengan RPPLH dan KLHS yang sudah dibuat oleh pemerintah dan
pemerintah daerah.

15
BAB III
PENUTUP

1. Kesimpulan
Dalam budaya, peran yang diberikan (roles ascribed ) bagi laki-laki dan perempuan
berlaku secara relatif fleksibel, sebagaimana anggota suatu budaya membentuk variasi tugas-
tugas yang berkaitan dengan kelangsungan hidup kelompok. Merujuk pada budaya yang di
Indonesia, tampak ada perbedaan peran gender antara suku bangsa yang ada. Sebagai contoh
beberapa suku di tanah Sumatra memposisikan perempuan begitu tinggi, sementara suku
lainnya justru sebaliknya. Begitu juga yang terjadi di Jawa, Kalimantan, ataupun daerah-
daerah lainnya di Indonesia. Secara umum sistem patrilinial lebih dominan dibanding
matrilinial, yang secara tidak langsung memposisikan jenis kelamin tertentu memiliki
kontruksi sosial yang lebih tinggi dibanding jenis kelamin lainnya. Pada giliran selanjutnya,
posisi tersebut menentukan peran jenis yang akhirnya terbentuklah konstruksi gender.
Sumber daya alam adalah sesuatu yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan
dan kebutuhan hidup manusia agar hidup lebih sejahtera yang ada disekitar alam lingkungan
hidup kita. Sumber daya alam bisa terdapat di mana saja seperti di dalam tanah, air, permukaan
tanah, udara, dan lain sebagainya.
Peran perempuan dalam pengelolaan sumber daya alam penting dimasukkan karena
perempuan berpotensi besar dalam menyukseskan pengelolaan maupun pelestarian sumber daya
alam. Bila potensi perempuan ini dimanfaatkan maka akan membantu pelaksanaan program dan
kegiatan PSDA di Indonesia. Selain itu prespektif keadilan gender penting untuk dimasukkkan
dalam PSDA karena selama ini perempuan menjadi pihak yang dimarjinalisasi. Hal ini sebagai
akibat sistem patriarkis yang dianut oleh sebagian besar masyarakat Indonesia sehingga
perempuan kurang mendapat kesempatan berperan serta dalam pengelolaan sumber daya alam
(PSDA). Oleh karena itu, kesadaran dan kepekaan terhadap kesenjangan yang dihadapi
perempuan dan dampak lingkungan yang ditimbulkannya perlu diperhatikan.
Bentuk komitmen kaum perempuan adalah aktivitas kepedulian dalam menyelamatkan
dan melestarikan fungsi lingkungan hidup, dengan mencegah pencemaran dan perusakan yang
diakibatkan oleh kegiatan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam. Di mana kegiatan tersebut
secara langsung berdampak terhadap penurunan kualitas lingkungan hidup.

16
2. Saran
Dewasa ini kita diharapkan mampu menjalankan dan mengimplikasikan peran sesuai
dengan gender yang kita miliki, sehingga tidak menimbulkan penyimpangan dalam budaya.
Harapan lain yang muncul yaitu harus menumbuhkan keberanian dalam diri
perempuan untuk memerangi adat dan tradisi usang yang bertentangan dengan tujuan
pergerakan, untuk mengubur kebiasaan Jahiliyah dan mendorong untuk mengganti dengan
adat, tradisi, nilai-nilai baru yang sesuai dengan keadilan gender sehingga perempuan dapat
berpartisipasi dalam proses pembaharuan bukan malah berperan dalam menyebarkan
ketidakadilah gender perempuan juga harus dapat menampakkan perbedaan yang jelas antara
perempuan yang reformer dan perempuan yang hanya bersolek dan berpua-pura atau bahkan
status quo terhadap penindasan sistem patriarchal.
Selain itu harapan yang paling besar adalah dibutuhkan keaktifan dari semua gender
(terutama perempuan untuk lebih berperan dalam pelestarian budaya dan lingkungan.

17
DAFTAR PUSTAKA

Arifin Arief, Hutan: Hakikat dan Pengaruhnya terhadap Lingkungan. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 1994.
Budi Agus. Pengelolaan Sumber Daya Alam. http://budii-
agus.blogspot.com/2013/01/pengelolaan-sumber-daya-alam.html. Diakses tanggal 20
desember, 2014
Berita, Jurnal Perempuan No. 48 Tahun, Pengetahuan Perempuan, 2006.
Ifdhal Kasim, Hak atas Lingkungan Hidup dan Tanggung Gugat Korporasi Internasional,
SUAR, Volume 5 No. 10 & 11 Tahun 2004
Jurnal perempuan no.42 tahun 2005, Mariana amiruddin, Vandana Shiva Pembangunan
melahirkan Tunawisma di Kampung dunia, 2005
Jurnal Perempuan No. 48 Tahun 2006, Berita, Pengetahuan Perempuan, 2006.
Kompas, UU PPLH No.32 tahun 2009: Tonggak Baru Keberlanjutan LH, 14 Agustus 2010
Meentje Simatauw, Leonard Simanjuntak, Pantoro Tri Kuswardono, Gender & Pengelolaan
Sumber Daya Alam : Sebuah Panduan Analisis, Yayasan PIKUL, 2001
M. Ridha Saleh, Ecoside Politik Kejahatan lingkungan dan Pelanggaran Hak Asasi Manusia,
Jakarta: Walhi, 2005.
Mardiah Ainul, Pelibatan Perempuan Dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam Untuk
Meningkatkan Kualitas Lingkungan Hidup.
http://readersblog.mongabay.co.id/rb/2013/05/23/. Diakses tanggal 20 desember 2014
Risqha. 2011. Pengelolaan Sumber Daya Alam. http://risqha21.wordpress.com/2011/11/01/.
Diakses tanggal 20 desember 2014
Ridwan AZ., Pengertian Sumber Daya Alam, Macam Sumber Daya Alam Dan Jenisnya.
http://ridwanaz.com/umum/biologi/. Diakses tanggal 20 desember 2014
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup.
http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=PERBEDAAN perangender.html
http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=lsteorotip gender .html
http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=budaya dan gender.html
Sarwono .W S. Psikologin lintas budaya. PT. Raja Grafindo persada. Jakarta 2013
Scott. John . Sosiologi the key concepts. Rajawali pers : jakarta 2011

18

Anda mungkin juga menyukai