Disusun Oleh:
Pembimbing:
LEMBAR PENGESAHAN
NIM : 406162096
Fakultas : Kedokteran
Pembimbing
2
dr. Yohanis Yan Runtung, Sp. THT
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus, akhirnya referat
dengan judul Abses Leher Dalam ini dapat terselesaikan dengan baik. Referat ini
disusun dalam rangka memenuhi tugas Kepaniteraan Klinik Ilmu Telinga, Hidung,
Tenggorok, dan Gigi Mulut Fakultas Kedokteran Tarumanagara di Rumah Sakit Pelabuhan
Jakarta pada periode 17 Juli 2017 19 Agustus 2017. Penulis hendak mengucapkan
terima kasih yang sebanyak-banyaknya kepada:
1. dr. Yohanis Yan Runtung, Sp. THT selaku kepala bagian, pembimbing referat,
pembimbing Kepaniteraan Klinik Ilmu Telinga, Hidung, Tenggorok, dan Gigi
Mulut di Rumah Sakit Pelabuhan - Jakarta
2. dr. Arroyan Wardhana, Sp.THT selaku pembimbing Kepaniteraan Klinik Ilmu
Telinga, Hidung, Tenggorok, dan Gigi Mulut di Rumah Sakit Pelabuhan -
Jakarta
3. Direktur Rumah Sakit Pelabuhan Jakarta yang telah memberikan
kesempatan kepada penulis untuk menjalankan kepaniteraan.
4. Staf dan perawat Rumah Sakit Pelabuhan Jakarta
5. Rekan anggota Kepaniteraan Klinik Ilmu Telinga, Hidung, Tenggorok, dan Gigi
Mulut di Rumah Sakit Pelabuhan Jakarta.
Penulis menyadari bahwa referat ini masih terdapat banyak kekurangan. Oleh
karena itu, kritik dan saran sangat penulis harapkan untuk perbaikan di masa
mendatang. Akhir kata, semoga Tuhan Yesus membalas kebaikan semua pihak yang telah
membantu referat ini dan semoga referat ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang
membutuhkannya.
Penulis
3
DAFTAR ISI
COVER....................................................................................................................1
LEMBAR PENGESAHAN.....................................................................................2
KATA PENGANTAR...............................................................................................3
DAFTAR ISI............................................................................................................4
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................5
1.1 Latar Belakang...........................................................................................5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.............................................................................6
2.1 Anatomi Leher...........................................................................................7
2.2 Definisi....................................................................................................15
2.3 Epidemiologi...........................................................................................15
2.4 Etiologi & Patogenesis............................................................................16
2.5 Gambaran Klinis & Diagnosis.................................................................22
2.6 Pemeriksaan Penunjang...........................................................................28
2.7 Penatalaksanaan.......................................................................................29
BAB III PENUTUP...............................................................................................32
3.1 Rangkuman..............................................................................................32
3.2 Saran........................................................................................................33
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................34
4
BAB I
PENDAHULUAN
Abses leher dalam terbentuk dalam ruang potensial diantara fasia leher
dalam sebagai akibat dari penjalaran infeksi dari berbagai sumber, seperti gigi,
mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga tengah dan leher tergantung ruang mana
yang terlibat. Penyebab paling sering dari abses leher dalam adalah infeksi gigi
(43%) .1
Abses retrofiring
Abses parafaring
Abses submandibular
5
Sebelum era antibiotik, 70 % infeksi leher dalam berasal dari penyebaran infeksi
di faring dan tonsil ke parafaring.4
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Anatomi Leher
Pada daerah leher terdapat beberapa ruang potensial yang dibatasi oleh
fasia servikal. Fasia servikal dibagi menjadi dua yaitu fasia superfisial dan fasia
profunda. Kedua fasia ini dipisahkan oleh otot platisma yang tipis dan meluas ke
anterior leher. Otot platisma sebelah inferior berasal dari fasia servikal profunda
dan klavikula serta meluas ke superior untuk berinsersi di bagian inferior
mandibula.7,9
7
Gambar 2. Potongan oblik leher
- lapisan superfisial
- lapisan tengah
- lapisan dalam.
Ruang Faringeal
Ada dua ruang yang berhubungan dengan faring yang secara klinik
mempunyai arti penting, yaitu ruang retrofaring, dan ruang parafaring.
8
jaringan ikat jarang dan fasia prevertebralis. Serat-serat jaringan ikat di garis
tengah mengikatnya pada vertebra.
Ruang retrofaring terdapat pada bagian posterior dari faring, yang
dibatasi oleh :
- anterior : fasia bukkofaringeal ( divisi viscera lapisan media fasia
servikalis profunda ) yang mengelilingi faring, trakea, esofagus dan tiroid
- posterior : divisi alar lapisan profunda fasia servikalis profunda
- lateral : selubung karotis ( carotid sheath ) dan daerah parafaring (fosa
faringomaksila).
Daerah ini meluas mulai dari dasar tengkorak sampai ke mediastinum
setinggi bifurkasio trakea ( vertebra torakal I atau II ) dimana divisi viscera dan
alar bersatu. Abses retrofaring sering ditemukan pada bayi atau anak. Kejadiannya
ialah karena di ruang retrofaring terdapat kelenjar-kelenjar limfa. Daerah
retrofaring terbagi menjadi 2 daerah yang terpisah di bagian lateral oleh midline
raphe . Tiap tiap bagian mengandung 2 5 buah kelenjar limfe retrofaring yang
biasanya menghilang setelah berumur 4 5 tahun. Kelenjar ini menampung aliran
limfe dari rongga hidung, sinus paranasal, nasofaring, faring, tuba Eustakius dan
telinga tengah. Pada peradangan kelenjar limfa itu, dapat terjadi supurasi, yang
bilamana pecah, nanahnya akan tertumpah di dalam ruang retrofaring. Daerah ini
disebut juga dengan ruang retroviscera, retroesofagus dan ruang viscera posterior.
2. Ruang parafaring (fosa faringomaksila : pharyngomaxillary
fossa)
Ruang ini berbentuk kerucut dengan dasarnya yang terletak pada dasar
tengkorak dekat foramen jugularis dan puncaknya pada kornu mayus os hioid.
Ruang ini dibatasi di bagian dalam oleh m.konstriktor faring superior, batas
luarnya adalah ramus asendens mandibula yang melekat dengan m.pterigoideus
interna dan bagian posterior kelenjar parotis.
Fosa ini dibagi menjadi dua bagian yang tidak sama besarnya oleh os
stiloid dengan otot yang melekat padanya. Bagian anterior (prestiloid) adalah
bagian yang lebih luas dan dapat mengalami proses supuratif sebagai akibat tonsil
yang meradang, beberapa bentuk mastoiditis atau petrositis, atau dari karies
dentis.
Bagian yang lebih sempit di bagian posterior (post stiloid) berisi a.karotis
interna, v.jugularis interna, n.vagus, yang dibungkus dalam suatu sarung yang
9
disebut selubung karotis (carotid sheath). Bagian ini dipisahkan dari ruang
retrofaring oleh suatu lapisan fasia yang tipis.
10
Gambar 4. Penampang sagital leher memperlihatkan posisi spatium
retropharyngeum dan submandibularis.
11
Gambar 6. Potongan koronal ruang parafaring.
12
Gambar 7. Potongan sagital faring menunjukkan ruang retrofaring,
danger space, dan prevertebral space.
Ruang submandibula
13
Namun ada pembagian lain yang tidak menyertakan ruang sublingual ke
dalam ruang submandibula, dan membagi ruang submandibula atas ruang
submental dan ruang submaksila saja.
14
2.2. DEFINISI
2.3. EPIDEMIOLOGI
Yang dkk, pada 100 kasus abses leher dalam yang diteliti April 2001
sampai Oktober 2006 mendapatkan perbandingan antara laki-laki dan perempuan
3:2. Lokasi abses lebih dari satu ruang potensial 29%. Abses submandibula 35%,
parafaring 20%, mastikator 13%, peritonsil 9%, sublingual 7%, parotis 3%, infra
hyoid 26%, retrofaring 13%, ruang karotis 11%.
15
2.4. ETIOLOGI DAN PATOGENESIS
Sumber infeksi paling sering pada abses leher dalam berasal dari infeksi
tonsil dan gigi. Infeksi gigi dapat mengenai pulpa dan periodontal. Penyebaran
infeksi dapat meluas melalui foramen apikal gigi ke daerah sekitarnya. Apek gigi
molar I yang berada di atas mylohyoid menyebabkan penjalaran infeksi akan
masuk terlebih dahulu ke daerah sublingual, sedangkan molar II dan III apeknya
berada di bawah mylohyoid sehingga infeksi akan lebih cepat ke daerah
submaksila.
Parhischar dkk mendapatkan, dari 210 abses leher dalam, 175 (83,3%)
dapat diidentifikasi penyebabnya (tabel 1). Penyebab terbanyak infeksi gigi 43%.
Tujuh puluh enam persen Ludwigs angina disebabkan infeksi gigi, abses
submandibula 61% disebabkan oleh infeksi gigi.
Yang dkk melaporkan dari 100 orang abses leher dalam, 77 (77%) pasien
dapat didentifikasi sumber infeksi sebagai penyebab. Penyebab terbanyak berasal
dari infeksi orofaring 35%, odontogenik 23%. Penyebab lain adalah infeksi kulit,
sialolitiasis, trauma, tuberkulosis, dan kista yang terinfeksi.
16
Tabel 1. Sumber infeksi penyebab abses leher dalam.
Penyebab Jumlah %
Gigi 77 43
Penyalahgunaan obat suntik 21 12
Faringotonsilitis 12 6,7
Fraktur mandibula 10 5,6
Infeksi kulit 9 5,1
Tuberculosis 9 5,1
Benda asing 7 3,9
Peritonsil abses 6 3,4
Trauma 6 3,4
Sialolitiasis 5 2,8
Parotis 3 1,7
Lain-lain 10 5,6
Tidak diketahui 35
Pola kuman penyebab abses leher dalam berbeda sesuai dengan sumber
infeksinya. Infeksi yang berasal dari orofaring lebih banyak disebabkan kuman
flora normal di saluran nafas atas seperti streptokokus dan stafilokokus. Infeksi
yang berasal dari gigi biasanya lebih dominan kuman anaerob seperti, Prevotella,
Fusobacterium spp,.
Pola kuman
17
Pada umumnya abses leher dalam disebabkan oleh infeksi campuran
beberapa kuman. Baik kuman aerob, anaerob maupun kuman fakultatif anaerob.
Kuman aerob yang sering ditemukan adalah stafilokokus, Streptococcus sp,
Haemofilus influenza, Streptococcus Peneumonia, Moraxtella catarrhalis,
Klebsiell sp, Neisseria sp. Kuman anaerob yang sering adalah
Peptostreptococcus, Fusobacterium dan bacteroides sp. Pseudomanas aeruginosa
merupakan kuman yang jarang ditemukan.
Kuman anaerob yang sering ditemukan pada abses leher dalam adalah
kelompok batang gram negatif, seperti Bacteroides, Prevotella, maupun
Fusobacterium. Gejala klinis yang menandakan adanya infeksi anaerob adalah:
1. Sekret yang berbau busuk akibat produk asam lemak rantai pendek dari
metabolisme anaerob.
Infeksi yang penting secara klinis akibat kuman anaerob sering terjadi.
Infeksi sering bersifat polimikroba yaitu bersamaan dengan kuman anaerob
lainnya, fakultatif anaerob, dan aerob. Bakteri anaerob ditemukan hampir disemua
bagian tubuh. Infeksi terjadi ketika bakteri anaerob dan bakteri flora normal
lainnya mengontaminasi yang secara normal steril.
18
Entrobacter 12,5%, Streptococcus -haemolyticus 7,5%, Klebsiella sp 5%,
Streptococcus non haemolyticus 5%, Pseudomonas aeruginosa 2,5%. Parhiscar
dkk, dari 210 pasien abses leher dalam (1981-1998), dilakukan kultur terhadap
186 (88%) pasien, dan pada 162 (87%) pasien ditemukan pertumbuhan kuman,
24(13%) pasien tidak terdapat pertumbuhan kuman. Kuman terbanyak
Streptococcus viridan 39%, Staphylococcus epidermidis 28%. Kuman anaerob
terbanyak adalah bacteroides sp 14%. (Tabel 2)
Jumlah %
Jenis Kuman pasien kultur
+
Streptococcus viridans 63 39
Staphylococcus 46 28
epidermidis
Staphylococcus aureus 35 22
Bactroides Sp 22 14
Streptococcus - 34 21
haemolyticus
Klebsiella pneumonia 11 6,8
Streptococcus pneumonia 10 6,2
Mycobacterium tb 10 6,2
Anaerob gram negatif 9 5,5
Neisseria sp 8 4,9
Peptostreptococcus 8 4,9
Jamur 8 4,9
Enterobacter 7 4,3
Bacillus sp 6 3,7
Propionibacterium 6 3,7
Acinetobacter 5 3,1
Actinimicosis israelii 3 1,9
Proteus sp 3 1,9
Klepsiella sp 3 1,9
Bifidobacterium 3 1,9
Microaerophilic 3 1,9
streptococcus
Enterococcus sp 3 1,9
Moraxtella catarrhalis 2 1,2
Dan lain-lain 6,8
Brook menemukan kuman yang tumbuh pada 201 spesimen dari abses
kepala dan leher, hanya kuman aerob sebanyak 65 spesimen, hanya kuman
anaerob 65 spesimen, dan campuran keduanya 71 spesimen. Yang dkk dari 100
19
pasien abses leher dalam yang dilakukan kultur kuman didapatkan 89%, ada
pertumbuhan kuman. Kuman aerob dominan ialah Streptococcus viridan,
Klebsiella pneumonia, Stapylococcus aureus. Kuman anaerob dominan
Prevotella, Peptostreptococcus, dan Bacteroides. (Tabel 3).
20
Tabel 4. Hasil kultur abses leher dalam Bagian THT-KL dr. M.Djamil Padang periode April
2010-Oktober 2010
Gejala klinis abses leher dalam secara umum sama dengan gejala infeksi
pada umumnya yaitu demam, nyeri, pembengkakan, dan gangguan fungsi.
Abshirini H, dkk melaporkan gejala klinis dari abses leher dalam pada 147 kasus
21
didapatkan: bengkak pada leher 87%, trismus 53%, disfagia 45%, dan odinofagia
29,3%. Berdasarkan ruang yang dikenai akan menimbulkan gejala spesifik yang
sesuai dengan ruang potensial yang terlibat.5,6,7
Etiologi
Patologi
Diagnosis
22
Glossopharyngeus (N.IX). Mungkin terdapat muntah (regurgitasi), mulut berbau
(foetor ex ore) dan kadang-kadang sukar membuka mulut (trismus). Pada
pemeriksaan fisik didapatkan palatum mole tampak membengkak dan menonjol
ke depan, dapat teraba fluktuasi, arkus faring tidak simetris, pembengkakan di
daerah peritonsil, uvula terdorong ke sisi yang sehat, dan trismus. Tonsil bengkak,
hiperemis, mungkin banyak detritus dan terdorong ke sisi kontra lateral. Kadang-
kadang sukar memeriksa seluruh faring karena trismus. Abses ini dapat meluas ke
daerah parafaring. Untuk memastikan diagnosis dapat dilakukan pungsi aspirasi
dari tempat yang paling fluktuatif.6,7,8
Terapi
23
Tonsilektomi merupakan indikasi absolut pada orang yang menderita
abses peritonsilaris berulang atau abses yang meluas pada ruang jaringan
sekitarnya. Abses peritonsil mempunyai kecenderungan besar untuk kambuh.
Sampai saat ini belum ada kesepakatan kapan tonsilektomi dilakukan pada abses
peritonsil. Sebagian penulis menganjurkan tonsilektomi 68 minggu kemudian
mengingat kemungkinan terjadi perdarahan atau sepsis, sedangkan sebagian lagi
menganjurkan tonsilektomi segera.
Komplikasi
Merupakan abses leher dalam yang jarang terjadi, terutama terjadi pada
bayi atau anak di bawah dua tahun dan merupakan abses leher dalam yang
terbanyak pada anak. Kelenjar getah bening ini biasanya mengalami atropi pada
usia 3-4 tahun. Pada anak biasanya abses terjadi mengikuti infeksi saluran nafas
atas dengan supurasi pada kelenjar getah bening yang terdapat pada daerah
retrofaring. Pada orang dewasa abses retrofaring sering terjadi akibat adanya
trauma tumpul pada mukosa faring, perluasan abses dari struktur yang berdekatan.
Diagnosis
Gejala utama berupa rasa nyeri (odinofagia) dan sukar menelan (disfagia)
di samping juga gejala-gejala lain berupa demam, pergerakan leher terbatas, dan
sesak nafas. Sesak nafas timbul jika abses sudah menimbulkan sumbatan jalan
nafas, terutama di hipofaring. Bila peradangan sudah sampai laring, dapat timbul
24
stridor. Abses retrofaring sebaiknya dicurigai jika pada bayi atau anak kecil
terdapat demam yang tidak dapat dijelaskan setelah infeksi pernapasan bagian atas
dan terdapat gejala-gejala hilangnya nafsu makan, perubahan dalam berbicara, dan
kesulitan menelan. Pada pemeriksaan didapatkan pembengkakan dinding posterior
faring.
Terapi
Komplikasi
Abses parafaring dapat terjadi setelah infeksi faring, tonsil, adenoid, gigi,
parotis, atau kelenjar limfatik. Pada banyak kasus abses parafaring merupakan
perluasan dari abses leher dalam yang berdekatan seperti; abses peritonsil, abses
submandibula, abses retrofaring maupun mastikator.
25
mandibula tidak teraba. Pada abses parafaring yang mengenai daerah prestiloid
akan memberikan gejala trismus yang lebih jelas.6,8,9
Terapi
Komplikasi
Infeksi dapat bersumber dari gigi, dasar mulut, faring, kelenjar liur atau
kelenjar limfe submandibula. Mungkin juga sebagian kelanjutan infeksi infeksi
ruang leher dalam lain.
Diagnosis
26
Pasien biasanya akan mengeluh nyeri di rongga mulut dan leher, air liur
banyak. Pada pemeriksaan fisik didapatkan pembengkakan di daerah
submandibula, fluktuatif, lidah terangkat ke atas dan terdorong ke belakang,
angulus mandibula dapat diraba. Pada aspirasi didapatkan pus.
Etiologi
Angina Ludwig paling sering terjadi sebagai akibat infeksi yang berasal
dari gigi geligi, tetapi dapat berasal dari proses supuratif nodi limfatisi servikalis
pada ruang submaksilaris.
Diagnosis
Biasanya akan mengenai kedua sisi submandibula, air liur yang banyak,
trismus, nyeri, disfagia, massa di submandibula yang tampak hiperemis dan keras
pada perabaan. Kekerasan yang berlebihan pada jaringan dasar mulut mendorong
lidah ke atas dan ke belakang dan dengan demikian dapat menyebabkan obstruksi
jalan napas secara potensial sehingga timbul sesak napas.7,10
Terapi
27
karena ketidakmampuan melakukan intubasi pada pasien, seperti lidah yang
mengobstruksi pandangan laring dan tidak dapat ditekan oleh laringoskop.
Komplikasi
2. Rontgen Panoramiks
Dilakukan pada kasus abses leher dalam yang dicurigai berasal dari gigi.
3. Rontgen toraks
28
(intensitas rendah), batas yang lebih jelas, kadang ada air fluid levels. Kirse dan
Robenson, mendapatkan ada hubungan antara ketidakteraturan dinding abses
dengan adanya pus pada rongga tersebut. Pemeriksaan TK toraks diperlukan jika
dicurigai adanya perluasan abses ke mediastinum.
5. Pemeriksaan Bakteriologi
Pemeriksaan bakteriologi pus dari lesi yang dalam atau tertutup harus
meliputi biakan metoda anaerob. Setelah desinfeksi kulit, pus dapat diambil
dengan aspirasi memakai jarum aspirasi atau dilakukan insisi. Pus yang diambil
sebaiknya tidak terkontaminasi dengan flora normal yang ada di daerah saluran
nafas atas atau rongga mulut. Aspirasi dilakukan dari daerah yang sehat dan
dilakukan lebih dalam.
2.7 PENATALAKSANAAN
29
pemberian antibiotik kombinasi pada abses leher dalam, yaitu; Kombinasi
penesilin G, klindamisin dan gentamisin, kombinasi ceftriaxone dan klindamisin,
kombinasi ceftriaxone dan metronidazole, kombinasi cefuroxime dan klindamisin,
kombinasi pinisilin dan metronidazole, masing-masing didapatkan angka
perlindungan (keberhasilan) 67,4%, 76,4%, 70,8%, 61,9%. Avest ET, dkk,
memberikan antibiotik empiris, kombinasi metronidazole dengan ceftriaxone.
Penesilin G merupakan obat terpilih untuk infeksi kuman streptokokus dan
stafilokokus yang tidak menghasilkan enzim penecilinase. Gentamisin
menunjukkan efek sinergis dengan pinisilin. Klindamisin efektif terhadap
streptokokus, pneumokokus dan stafilokokus yang resisten terhadap penisilin.
Lebih khusus pemakaian klindamisin pada infeksi polimicrobial termasuk
Bacteroides sp maupun kuman anaerob lainnya pada daerah oral.
Berbagai kombinasi pemberian antibiotik secara empiris sebelum
didapatkan hasil kepekaan terhadap kuman penyebab, dianjurkan berbagai ahli
seperti terlihat pada (tabel 6).
Tabel 6. Antibiotik yang dianjurkan beberapa penulis secara empiris.
30
Pada kultur didapatkan kuman anaerob, maka antibiotik metronidazole,
klindamisin, carbapenem, sefoxitin, atau kombinasi penisilin dan -lactam
inhibitor merupakan obat terpilih.
Metronidazole juga efektif sebagai amubisid. Aminoglikosida, quinolone
atau cefalosforin generasi ke III dapat ditambahkan jika terdapat kuman enterik
gram negatif. Cefalosporin generasi III mempunyai efektifitas yang lebih baik
terhadap gram negatif enterik. Dibanding dengan cefalosporin generasi I, generasi
III kurang efektif terhadap kokus gram positif, tapi sangat efektif terhadap
Haemofillus infeluenza, Neisseria sp dan Pneumokokus. Ceftriaxone dan
cefotaxime mempunyai efektifitas terhadap streptokokus. Ceftriaxone sangat
efektif terhadap gram negatif dan Haemofillus sp, kebanyakan Streptococcus
pneumonia dan Neisseriae sp yang resisiten terhadap penesilin.
Di Bagian THT-KL RS. Dr. M. Djamil Padang pemberian antibiotik secara
empiris diberikan berupa antibiotik kombinasi ceftriaxone dan metronidazole. Ini
berdasarkan kuman penyebab terbanyak abses leher dalam yaitu jenis
streptokokus, stafilokokus dan kuman anaerob. Penambahan gentamisin
(aminoglikosid) dapat diberikan jika dicurigai kuman penyebab termasuk kuman
entrik seperti Klebsiella, proteus, Enterobacter.
Setelah keluar hasil uji kepekaan antibiotik terhadap kuman penyebab
diberikan antibiotik yang sesuai. Pada pemberian kombinasi antibiotik secara
empiris jika terdapat perbaikan, antibiotik dapat diteruskan, jika tidak maka
antibiotik diganti sesuai uji kepekaan.5
BAB III
PENUTUP
3.1 RANGKUMAN
31
interna. Lokasinya terletak di dasar mulut dan dapat menjadi ancaman yang sangat
serius. Oleh karena itu, penatalaksanaan abses leher dalam meliputi operasi untuk
evakuasi dan drainase abses, identifikasi kuman penyebab dan pemberian
antibiotik. Hal ini akan mengurangi komplikasi yang mengancam jiwa dan
mempercepat perbaikan.
3.2 SARAN
32
DAFTAR PUSTAKA
33
2009. Diunduh dari: www.jmedicalcasereports.com pada tanggal 6 Agustus
2017.
5. Gadre AK, Gadre KC. Infection of the deep Space of the neck. Dalam: Bailley
BJ, Jhonson JT, editors. Otolaryngology Head and neck surgery. Edisi ke-4.
Philadelphia: JB.Lippincott Company 2006.p.666-81
6. Fachruddin D. Abses leher dalam. Dalam: Iskandar M, Soepardi AE editor.
Buku ajar ilmu penyakit telinga hidung tenggorok. Edisi ke 6. Jakarta: Balai
Penerbit FK-UI. 2007:p. 185-8
7. Murray A.D. MD, Marcincuk M.C. MD. Deep neck infections. [Diperbaharui
Juli 2009] Diunduh dari: www.eMedicine Specialties//Otolaringology and
facial plastic surgery.com pada tanggal 6 Agustus 2017
8. Edinger JT, Hilal EY, Dastur KJ. Bilateral Peritonsillar Abscesses: A
Challenging Diagnosis. Ear, Nose & Throut Journal. 86(3):162-3. 2007.
Diunduh dari: www.entjournal.com pada tanggal 6 Agustus 2017
9. Scott BA, Stiernberg CM. Deep neck space infections. Dalam : Bailey BJ, Ed.
Head and neck surgery otolaryngology, Vol 1. Philadelphia: JB Lippincott
Company , 1993 . h.738-49
10. Adams GL, Boies LR, Higler PA. Penyakit-penyakit Nasofaring dan
Orofaring. Dalam: Adams, Boies, dan Higler, editors. Boies: Buku ajar
penyakit THT Edisi VI. Jakarta: EGC Penerbit Buku Kedokteran; 1997. hal.
320-355.
11. Hatmansjah. Tonsilektomi. Cermin Dunia Kedokteran Vol. 89, 1993. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, hal : 19-21.
34