Anda di halaman 1dari 34

REFERAT

Abses Leher Dalam

Disusun Oleh:

Natalia Nagan (406162096)

Pembimbing:

dr. Yohanis Yan Runtung Sp.THT

KEPANITERAAN ILMU TELINGA, HIDUNG, TENGGOROK, DAN GIGI MULUT

RUMAH SAKIT PELABUHAN - JAKARTA

PERIODE 17 JULI 2017 19 AGUSTUS 2017


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TARUMANAGARA

LEMBAR PENGESAHAN

Nama Lengkap : Natalia Nagan

NIM : 406162096

Universitas : Universitas Tarumanagara

Fakultas : Kedokteran

Tingkat : Program Pendidikan Profesi Dokter

Bagian : Ilmu Telinga, Hidung, Tenggorok, dan Gigi Mulut

Periode Kepaniteraan : 17 Juli 2017 19 Agustus 2017

Judul Referat : Abses Leher Dalam

Diajukan : Agustus 2017

Pembimbing : dr. Yohanis Yan Runtung ,Sp. THT

Telah diperiksa dan disetujui pada

Pembimbing

Bagian Ilmu Telinga, Hidung, Tenggorok, dan Gigi Mulut

2
dr. Yohanis Yan Runtung, Sp. THT

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus, akhirnya referat
dengan judul Abses Leher Dalam ini dapat terselesaikan dengan baik. Referat ini
disusun dalam rangka memenuhi tugas Kepaniteraan Klinik Ilmu Telinga, Hidung,
Tenggorok, dan Gigi Mulut Fakultas Kedokteran Tarumanagara di Rumah Sakit Pelabuhan
Jakarta pada periode 17 Juli 2017 19 Agustus 2017. Penulis hendak mengucapkan
terima kasih yang sebanyak-banyaknya kepada:

1. dr. Yohanis Yan Runtung, Sp. THT selaku kepala bagian, pembimbing referat,
pembimbing Kepaniteraan Klinik Ilmu Telinga, Hidung, Tenggorok, dan Gigi
Mulut di Rumah Sakit Pelabuhan - Jakarta
2. dr. Arroyan Wardhana, Sp.THT selaku pembimbing Kepaniteraan Klinik Ilmu
Telinga, Hidung, Tenggorok, dan Gigi Mulut di Rumah Sakit Pelabuhan -
Jakarta
3. Direktur Rumah Sakit Pelabuhan Jakarta yang telah memberikan
kesempatan kepada penulis untuk menjalankan kepaniteraan.
4. Staf dan perawat Rumah Sakit Pelabuhan Jakarta
5. Rekan anggota Kepaniteraan Klinik Ilmu Telinga, Hidung, Tenggorok, dan Gigi
Mulut di Rumah Sakit Pelabuhan Jakarta.
Penulis menyadari bahwa referat ini masih terdapat banyak kekurangan. Oleh
karena itu, kritik dan saran sangat penulis harapkan untuk perbaikan di masa
mendatang. Akhir kata, semoga Tuhan Yesus membalas kebaikan semua pihak yang telah
membantu referat ini dan semoga referat ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang
membutuhkannya.

Jakarta, Agustus 2017

Penulis

3
DAFTAR ISI

COVER....................................................................................................................1
LEMBAR PENGESAHAN.....................................................................................2
KATA PENGANTAR...............................................................................................3
DAFTAR ISI............................................................................................................4
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................5
1.1 Latar Belakang...........................................................................................5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.............................................................................6
2.1 Anatomi Leher...........................................................................................7
2.2 Definisi....................................................................................................15
2.3 Epidemiologi...........................................................................................15
2.4 Etiologi & Patogenesis............................................................................16
2.5 Gambaran Klinis & Diagnosis.................................................................22
2.6 Pemeriksaan Penunjang...........................................................................28
2.7 Penatalaksanaan.......................................................................................29
BAB III PENUTUP...............................................................................................32
3.1 Rangkuman..............................................................................................32
3.2 Saran........................................................................................................33
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................34

4
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

Abses leher dalam terbentuk dalam ruang potensial diantara fasia leher
dalam sebagai akibat dari penjalaran infeksi dari berbagai sumber, seperti gigi,
mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga tengah dan leher tergantung ruang mana
yang terlibat. Penyebab paling sering dari abses leher dalam adalah infeksi gigi
(43%) .1

Abses leher dalam merupakan suatu kondisi yang mengancam jiwa


akibat komplikasi-komplikasinya yang serius seperti obstruksi jalan napas,
kelumpuhan saraf kranial, mediastinitis, dan kompresi hingga ruptur arteri karotis
interna. Lokasinya terletak di dasar mulut dan dapat menjadi ancaman yang sangat
serius. Etiologi infeksi di daerah leher dapat bermacam-macam. Kuman penyebab
abses leher dalam biasanya terdiri dari campuran kuman aerob, anaerob maupun
fakultatif anaerob. Asmar dikutip Murray dkk, mendapatkan kultur dari abses
retrofaring 90 % mengandung kuman aerob, dan 50% pasien ditemukan kuman
anaerob. Adapun abses leher dalam dapat berupa: 1,2,3

Abses peritonsil (quinsy)

Abses retrofiring

Abses parafaring

Abses submandibular

Angina Ludovici ( Ludwigs Angina)


Infeksi kepala dan leher yang mengancam jiwa ini sudah jarang terjadi
sejak diperkenalkannya antibiotik dan angka kematiannya menjadi lebih rendah.
Disamping itu higiene mulut yang meningkat juga berperan dalam hal ini.

5
Sebelum era antibiotik, 70 % infeksi leher dalam berasal dari penyebaran infeksi
di faring dan tonsil ke parafaring.4

Disamping drainase abses yang optimal, pemberian antibiotik diperlukan


untuk terapi yang adekuat. Untuk mendapatkan antibiotik yang efektif terhadap
pasien, diperlukan pemeriksaan kultur kuman dan uji kepekaan antibiotik terhadap
kuman. Namun ini memerlukan waktu yang cukup lama, sehingga diperlukan
pemberian antibiotik secara empiris. Berbagai kepustakaan melaporkan pemberian
terapi antibiotik spektrum luas secara kombinasi. Kombinasi yang diberikan pun
bervariasi.

Meluasnya penggunaan antibiotik tidak hanya menurunkan angka


kejadian infeksi yang mengancam jiwa, tetapi juga mengubah gambaran klinis
penyakit ini. Hal ini ditambah juga dengan semakin meningkatnya jumlah pasien
dengan status immunosupresi berat, menjadi tantangan bagi para dokter untuk
memahami gambaran klinis penyakit ini yang dapat memicu terjadinya
komplikasi yang mengancam jiwa. Pengetahuan anatomi fasia dan ruang-ruang
potensial leher secara baik, serta penyebab abses leher dalam mutlak diperlukan
untuk dapat memperkirakan perjalanan penyebaran infeksi dan penatalaksanaan
yang adekuat.

6
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. ANATOMI LEHER

Anatomi Leher

Pada daerah leher terdapat beberapa ruang potensial yang dibatasi oleh
fasia servikal. Fasia servikal dibagi menjadi dua yaitu fasia superfisial dan fasia
profunda. Kedua fasia ini dipisahkan oleh otot platisma yang tipis dan meluas ke
anterior leher. Otot platisma sebelah inferior berasal dari fasia servikal profunda
dan klavikula serta meluas ke superior untuk berinsersi di bagian inferior
mandibula.7,9

Gambar 1. Potongan aksial leher setinggi orofaring

7
Gambar 2. Potongan oblik leher

Fasia superfisial terletak dibawah dermis. Ini termasuk sistem


muskuloapenouretik, yang meluas mulai dari epikranium sampai ke aksila dan
dada, dan tidak termasuk bagian dari daerah leher dalam. Fasia profunda
mengelilingi daerah leher dalam dan terdiri dari 3 lapisan, yaitu:6,7

- lapisan superfisial
- lapisan tengah
- lapisan dalam.

Ruang Faringeal

Ada dua ruang yang berhubungan dengan faring yang secara klinik
mempunyai arti penting, yaitu ruang retrofaring, dan ruang parafaring.

1. Ruang retrofaring (retropharyngeal space)


Dinding anterior ruang ini adalah dinding belakang faring yang terdiri
dari mukosa faring, fasia faringobasilaris, dan otot-otot faring. Ruang ini berisi

8
jaringan ikat jarang dan fasia prevertebralis. Serat-serat jaringan ikat di garis
tengah mengikatnya pada vertebra.
Ruang retrofaring terdapat pada bagian posterior dari faring, yang
dibatasi oleh :
- anterior : fasia bukkofaringeal ( divisi viscera lapisan media fasia
servikalis profunda ) yang mengelilingi faring, trakea, esofagus dan tiroid
- posterior : divisi alar lapisan profunda fasia servikalis profunda
- lateral : selubung karotis ( carotid sheath ) dan daerah parafaring (fosa
faringomaksila).
Daerah ini meluas mulai dari dasar tengkorak sampai ke mediastinum
setinggi bifurkasio trakea ( vertebra torakal I atau II ) dimana divisi viscera dan
alar bersatu. Abses retrofaring sering ditemukan pada bayi atau anak. Kejadiannya
ialah karena di ruang retrofaring terdapat kelenjar-kelenjar limfa. Daerah
retrofaring terbagi menjadi 2 daerah yang terpisah di bagian lateral oleh midline
raphe . Tiap tiap bagian mengandung 2 5 buah kelenjar limfe retrofaring yang
biasanya menghilang setelah berumur 4 5 tahun. Kelenjar ini menampung aliran
limfe dari rongga hidung, sinus paranasal, nasofaring, faring, tuba Eustakius dan
telinga tengah. Pada peradangan kelenjar limfa itu, dapat terjadi supurasi, yang
bilamana pecah, nanahnya akan tertumpah di dalam ruang retrofaring. Daerah ini
disebut juga dengan ruang retroviscera, retroesofagus dan ruang viscera posterior.
2. Ruang parafaring (fosa faringomaksila : pharyngomaxillary
fossa)
Ruang ini berbentuk kerucut dengan dasarnya yang terletak pada dasar
tengkorak dekat foramen jugularis dan puncaknya pada kornu mayus os hioid.
Ruang ini dibatasi di bagian dalam oleh m.konstriktor faring superior, batas
luarnya adalah ramus asendens mandibula yang melekat dengan m.pterigoideus
interna dan bagian posterior kelenjar parotis.
Fosa ini dibagi menjadi dua bagian yang tidak sama besarnya oleh os
stiloid dengan otot yang melekat padanya. Bagian anterior (prestiloid) adalah
bagian yang lebih luas dan dapat mengalami proses supuratif sebagai akibat tonsil
yang meradang, beberapa bentuk mastoiditis atau petrositis, atau dari karies
dentis.
Bagian yang lebih sempit di bagian posterior (post stiloid) berisi a.karotis
interna, v.jugularis interna, n.vagus, yang dibungkus dalam suatu sarung yang

9
disebut selubung karotis (carotid sheath). Bagian ini dipisahkan dari ruang
retrofaring oleh suatu lapisan fasia yang tipis.

Gambar 3. Potongan axial orofaring menunjukkan ruang retrofaring dan


parafaring

10
Gambar 4. Penampang sagital leher memperlihatkan posisi spatium
retropharyngeum dan submandibularis.

Gambar 5. Potongan oblik leher menunjukkan ruang faringomaksila (parafaring),


ruang submaksila, dan ruang potensial lainnya.

11
Gambar 6. Potongan koronal ruang parafaring.

Selain itu juga dijumpai daerah potensial lainnya di leher yaitu :


- danger space : dibatasi oleh divisi alar pada bagian anterior dan divisi
prevertebra pada bagian posterior ( tepat di belakang ruang retrofaring ).
- prevertebral space : dibatasi oleh divisi prevertebra pada bagian
anterior dan korpus vertebra pada bagian posterior ( tepat di belakang danger
space ). Ruang ini berjalan sepanjang kollumna vertebralis dan merupakan jalur
penyebaran infeksi leher dalam ke daerah koksigeus.

12
Gambar 7. Potongan sagital faring menunjukkan ruang retrofaring,
danger space, dan prevertebral space.

Ruang submandibula

Ruang submandibula terdiri dari ruang sublingual dan ruang submaksila.


Ruang sublingual dipisahkan dari ruang submaksila oleh otot milohioid.

Ruang submaksila selanjutnya dibagi lagi atas ruang submental dan


ruang submaksila (lateral) oleh otot digastrikus anterior.
Ruang mandibular dibatasi pada bagian lateral oleh garis inferior dari
badan mandibula, medial oleh perut anterior musculus digastricus, posterior oleh
ligament stylohyoid dan perut posterior dari musculus digastricus, superior oleh
musculus mylohyoid dan hyoglossus, dan inferior oleh lapisan superficial dari
deep servikal fascia. Ruang ini mengandung glandula saliva sub mandibular dan
sub mandibular lymphanodes.

13
Namun ada pembagian lain yang tidak menyertakan ruang sublingual ke
dalam ruang submandibula, dan membagi ruang submandibula atas ruang
submental dan ruang submaksila saja.

Gambar 8. Ruang sublingual dan ruang submandibula yang dibagi oleh


m.mylohyoideus.

Gambar 9. Ruang sublingual di bagian superior dari m. mylohyoid. Ruang


submandibular di inferior dari m. mylohyoid.

14
2.2. DEFINISI

Abses adalah kumpulan nanah (netrofil yang telah mati) yang


terakumulasi di sebuah kavitas jaringan karena adanya proses infeksi (biasanya
oleh bakteri atau parasit) atau karena adanya benda asing (misalnya serpihan, luka
peluru, atau jarum suntik). Proses ini merupakan reaksi perlindungan oleh
jaringan untuk mencegah penyebaran/perluasan infeksi ke bagian lain dari tubuh.

Abses leher dalam adalah terkumpulnya nanah (pus) di dalam ruang


potensial di antara fasia leher dalam sebagai akibat penjalaran dari berbagai
sumber infeksi, seperti gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga dan leher.

2.3. EPIDEMIOLOGI

Huang dkk, dalam penelitiannya pada tahun 1997 sampai 2002,


menemukan kasus infeksi leher dalam sebanyak 185 kasus. Abses submandibula
(15,7%) merupakan kasus terbanyak ke dua setelah abses parafaring (38,4),
diikuti oleh Ludwigs angina (12,4%), parotis (7%) dan retrofaring (5,9%).

Yang dkk, pada 100 kasus abses leher dalam yang diteliti April 2001
sampai Oktober 2006 mendapatkan perbandingan antara laki-laki dan perempuan
3:2. Lokasi abses lebih dari satu ruang potensial 29%. Abses submandibula 35%,
parafaring 20%, mastikator 13%, peritonsil 9%, sublingual 7%, parotis 3%, infra
hyoid 26%, retrofaring 13%, ruang karotis 11%.

Di Bagian THT-KL Rumah Sakit dr. M. Djamil Padang selama 1 tahun


terakhir (Oktober 2009 sampai September 2010) didapatkan abses leher dalam
sebanyak 33 orang, abses peritonsil 11 (32%) kasus, abses submandibula 9 (26%)
kasus, abses parafaring 6 (18%) kasus, abses retrofaring 4 (12%) kasus, abses
mastikator 3(9%) kasus, abses pretrakeal 1 (3%) kasus.

15
2.4. ETIOLOGI DAN PATOGENESIS

Pembentukan abses merupakan hasil perkembangan dari flora normal


dalam tubuh. Flora normal dapat tumbuh dan mencapai daerah steril dari tubuh
baik secara perluasan langsung maupun melalui laserasi atau perforasi.
Berdasarkan kekhasan flora normal yang ada di bagian tubuh tertentu, maka
kuman dari abses yang terbentuk dapat diprediksi berdasar lokasinya. Sebagian
besar abses leher dalam disebabkan oleh campuran berbagai kuman, baik kuman
aerob, anaerob, maupun fakultatif anaerob.

Pada kebanyakan membran mukosa, kuman anaerob lebih banyak


dibanding dengan kuman aerob dan fakultatif, dengan perbandingan mulai 10:1
sampai 10000:1. Bakteriologi dari daerah gigi, oro-fasial, dan abses leher, kuman
yang paling dominan adalah kuman anaerob yaitu, Prevotella, Porphyromonas,
Fusobacterium spp, dan Peptostreptococcus spp. Bakteri aerob dan fakultatif
adalah Streptococcus pyogenic dan Stapylococcus aureus.

Sumber infeksi paling sering pada abses leher dalam berasal dari infeksi
tonsil dan gigi. Infeksi gigi dapat mengenai pulpa dan periodontal. Penyebaran
infeksi dapat meluas melalui foramen apikal gigi ke daerah sekitarnya. Apek gigi
molar I yang berada di atas mylohyoid menyebabkan penjalaran infeksi akan
masuk terlebih dahulu ke daerah sublingual, sedangkan molar II dan III apeknya
berada di bawah mylohyoid sehingga infeksi akan lebih cepat ke daerah
submaksila.

Parhischar dkk mendapatkan, dari 210 abses leher dalam, 175 (83,3%)
dapat diidentifikasi penyebabnya (tabel 1). Penyebab terbanyak infeksi gigi 43%.
Tujuh puluh enam persen Ludwigs angina disebabkan infeksi gigi, abses
submandibula 61% disebabkan oleh infeksi gigi.

Yang dkk melaporkan dari 100 orang abses leher dalam, 77 (77%) pasien
dapat didentifikasi sumber infeksi sebagai penyebab. Penyebab terbanyak berasal
dari infeksi orofaring 35%, odontogenik 23%. Penyebab lain adalah infeksi kulit,
sialolitiasis, trauma, tuberkulosis, dan kista yang terinfeksi.

16
Tabel 1. Sumber infeksi penyebab abses leher dalam.

Penyebab Jumlah %
Gigi 77 43
Penyalahgunaan obat suntik 21 12
Faringotonsilitis 12 6,7
Fraktur mandibula 10 5,6
Infeksi kulit 9 5,1
Tuberculosis 9 5,1
Benda asing 7 3,9
Peritonsil abses 6 3,4
Trauma 6 3,4
Sialolitiasis 5 2,8
Parotis 3 1,7
Lain-lain 10 5,6
Tidak diketahui 35

Pola kuman penyebab abses leher dalam berbeda sesuai dengan sumber
infeksinya. Infeksi yang berasal dari orofaring lebih banyak disebabkan kuman
flora normal di saluran nafas atas seperti streptokokus dan stafilokokus. Infeksi
yang berasal dari gigi biasanya lebih dominan kuman anaerob seperti, Prevotella,
Fusobacterium spp,.

Penyebaran abses leher dalam dapat melalui beberapa jalan yaitu


hematogen, limfogen, dan celah antar ruang leher dalam. Beratnya infeksi
tergantung dari virulensi kuman, daya tahan tubuh dan lokasi anatomi.

Infeksi dari submandibula dapat meluas ke ruang mastikor kemudian ke


parafaring. Perluasan infeksi ke parafaring juga dapat langsung dari ruang
submandibula. Selanjutnya infeksi dapat menjalar ke daerah potensial lainnya.

Pola kuman

17
Pada umumnya abses leher dalam disebabkan oleh infeksi campuran
beberapa kuman. Baik kuman aerob, anaerob maupun kuman fakultatif anaerob.
Kuman aerob yang sering ditemukan adalah stafilokokus, Streptococcus sp,
Haemofilus influenza, Streptococcus Peneumonia, Moraxtella catarrhalis,
Klebsiell sp, Neisseria sp. Kuman anaerob yang sering adalah
Peptostreptococcus, Fusobacterium dan bacteroides sp. Pseudomanas aeruginosa
merupakan kuman yang jarang ditemukan.

Kuman anaerob yang sering ditemukan pada abses leher dalam adalah
kelompok batang gram negatif, seperti Bacteroides, Prevotella, maupun
Fusobacterium. Gejala klinis yang menandakan adanya infeksi anaerob adalah:

1. Sekret yang berbau busuk akibat produk asam lemak rantai pendek dari
metabolisme anaerob.

2. Infeksi di proksimal permukaan mukosa.

3. Adanya gas dalam jaringan.

4. Hasil biakan aerob negatif.

Infeksi yang penting secara klinis akibat kuman anaerob sering terjadi.
Infeksi sering bersifat polimikroba yaitu bersamaan dengan kuman anaerob
lainnya, fakultatif anaerob, dan aerob. Bakteri anaerob ditemukan hampir disemua
bagian tubuh. Infeksi terjadi ketika bakteri anaerob dan bakteri flora normal
lainnya mengontaminasi yang secara normal steril.

Berbagai penelitian tentang kuman penyebab abses leher dalam telah


banyak dilakukan. Botin dkk mendapatkan Peptostreptococus, Streptococus
viridan, Streptococus intermedius berkaitan dengan infeksi gigi sebagai sumber
infeksi abses leher dalam. El-Sayed dan Al-daurosy, Botin dkk mendapatkan
kuman aerob terbanyak adalah stafilokokus dan streptokokus.

Abshirini H dkk, pada 40 hasil kultur dari abses leher dalam


mendapatkan; stafilokokus 77%, Streptococcus -haemolitycus 12,5%,

18
Entrobacter 12,5%, Streptococcus -haemolyticus 7,5%, Klebsiella sp 5%,
Streptococcus non haemolyticus 5%, Pseudomonas aeruginosa 2,5%. Parhiscar
dkk, dari 210 pasien abses leher dalam (1981-1998), dilakukan kultur terhadap
186 (88%) pasien, dan pada 162 (87%) pasien ditemukan pertumbuhan kuman,
24(13%) pasien tidak terdapat pertumbuhan kuman. Kuman terbanyak
Streptococcus viridan 39%, Staphylococcus epidermidis 28%. Kuman anaerob
terbanyak adalah bacteroides sp 14%. (Tabel 2)

Tabel. 2. Kuman Penyebab Abses leher dalam

Jumlah %
Jenis Kuman pasien kultur
+
Streptococcus viridans 63 39
Staphylococcus 46 28
epidermidis
Staphylococcus aureus 35 22
Bactroides Sp 22 14
Streptococcus - 34 21
haemolyticus
Klebsiella pneumonia 11 6,8
Streptococcus pneumonia 10 6,2
Mycobacterium tb 10 6,2
Anaerob gram negatif 9 5,5
Neisseria sp 8 4,9
Peptostreptococcus 8 4,9
Jamur 8 4,9
Enterobacter 7 4,3
Bacillus sp 6 3,7
Propionibacterium 6 3,7
Acinetobacter 5 3,1
Actinimicosis israelii 3 1,9
Proteus sp 3 1,9
Klepsiella sp 3 1,9
Bifidobacterium 3 1,9
Microaerophilic 3 1,9
streptococcus
Enterococcus sp 3 1,9
Moraxtella catarrhalis 2 1,2
Dan lain-lain 6,8
Brook menemukan kuman yang tumbuh pada 201 spesimen dari abses
kepala dan leher, hanya kuman aerob sebanyak 65 spesimen, hanya kuman
anaerob 65 spesimen, dan campuran keduanya 71 spesimen. Yang dkk dari 100

19
pasien abses leher dalam yang dilakukan kultur kuman didapatkan 89%, ada
pertumbuhan kuman. Kuman aerob dominan ialah Streptococcus viridan,
Klebsiella pneumonia, Stapylococcus aureus. Kuman anaerob dominan
Prevotella, Peptostreptococcus, dan Bacteroides. (Tabel 3).

Tabel 3. Pola kelompok kuman pada abses leher dalam

Hasil jumlah kasus


Positif kuman 89
Kuman tunggal 38(42,7%)
Gram positif aerob 14
Gram negatif aerob 21
Anaerob 3
Kuman campuran 51 (57,3%)
Aerob saja 13
Gram positif saja 5
Gram negatif saja 1
Kedua gram 7
Anaerob saja 2
Campuran aerob-anaerob 36

Di Bagian THT-KL Rumah Sakit dr. M. Djamil Padang, periode April


2010 sampai dengan Oktober 2010 terdapat sebanyak 22 pasien abses leher
dalam dan dilakukan kultur kuman penyebab, didapatkan 16 (73%) spesimen
tumbuh kuman aerob, 6 (27%) tidak tumbuh kuman aerob dan 2 (9%) tumbuh
jamur yaitu Candida sp. Kuman aerob yang tumbuh yaitu; Streptocccus
haemoliticus 6 (37%), Klepsiella sp 4 (25%), Enterobacter sp 3 (19%),
Staphylococcus aureus 2 (12,5%), Staphilococcus epidermidis 1 (6%). E. Coli 1
(6%), Proteus vulgaris 1 (6%). Dua spesimen tumbuh 2 macam kuman aerob
yaitu campuran Streptocccus haemoliticus dengan Klebsiella sp. Pada
pemeriksaan ini tidak dilakukan kultur pada kuman anaerob. (Tabel 4)

20
Tabel 4. Hasil kultur abses leher dalam Bagian THT-KL dr. M.Djamil Padang periode April
2010-Oktober 2010

Jenis Kuman Jumlah %


Streptocccus haemoliticus 6 37
Klepsiella sp 4 25
Enterobacter sp 3 19
Staphylococcus aureus 2 12,5
Staphilococcus epidermidis 1 6
E. Coli 1 6
Proteus vulgaris 1 6

Infeksi leher dalam ditemukan 88 (74,6%) spesimen mengandung kuman


anaerob. Kuman anaerob saja 19,5%, kuman aerob dan fakultatif saja 16,9%,
campuran kuman aerob dan anaerob 55,1%, dan 8,5% tidak tumbuh kuman. Dari
kuman anaerob tumbuh didapatkan gram negatif anaerob 50,8%, yaitu;
Bacteroides fragillis 3,9%, Fusobacterium sp 9,4%, Prevotella spp 30,5%, lain-
lain 7%, gram positif anaerob 49,2%, yaitu: Actinomycess spp 11,7%,
Eubacterium spp 11,7%, lactobacillus spp 6,2%, propionibacterium spp 4,7%,
kokus gram positif 10,9%.

2.5 GAMBARAN KLINIS DAN DIAGNOSIS

Gejala klinis abses leher dalam secara umum sama dengan gejala infeksi
pada umumnya yaitu demam, nyeri, pembengkakan, dan gangguan fungsi.
Abshirini H, dkk melaporkan gejala klinis dari abses leher dalam pada 147 kasus

21
didapatkan: bengkak pada leher 87%, trismus 53%, disfagia 45%, dan odinofagia
29,3%. Berdasarkan ruang yang dikenai akan menimbulkan gejala spesifik yang
sesuai dengan ruang potensial yang terlibat.5,6,7

2.5.1 Abses peritonsil

Abses peritonsil merupakan terkumpulnya material purulen yang


terbentuk di luar kapsul tonsil dekat kutub atas tonsil.10

Etiologi

Abses peritonsil merupakan abses yang paling banyak ditemukan, dan


biasanya merupakan komplikasi tonsilitis akut atau infeksi yang bersumber dari
kelenjar mukus Weber di kutub atas tonsil. Biasanya kuman penyebab sama
dengan penyebab tonsilitis, dapat ditemukan kuman aerob dan anaerob.7,10

Patologi

Daerah superior dan lateral fossa tonsilaris merupakan jaringan ikat


longgar, oleh karena itu infiltrasi supurasi ke ruang potensial pritonsil tersering
menempati daerah ini, sehingga tampak palatum mole membengkak.7

Pada stadium permulaan (stadium infiltrat), selain pembengkakan tampak


permukaannya hiperemis. Bila proses berlanjut, terjadi supurasi sehingga daerah
tersebut lebih lunak. Pembengkakan peritonsil akan mendorong tonsil dan uvula
ke arah kontralateral. Bila proses berlanjut terus, peradangan jaringan di
sekitarnya akan menyebabkan iritasi pada M. Pterygoideus interna, sehingga
timbul trismus. Abses dapat pecah spontan, mungkin dapat terjadi aspirasi ke
paru.7

Diagnosis

Pada abses peritonsil didapatkan gejala demam, nyeri tenggorok, nyeri


menelan (odinofagia), hipersalivasi, nyeri telinga (otalgia) dan suara bergumam
(hot potato voice). Rasa nyeri di telinga ini karena nyeri alih melalui saraf N.

22
Glossopharyngeus (N.IX). Mungkin terdapat muntah (regurgitasi), mulut berbau
(foetor ex ore) dan kadang-kadang sukar membuka mulut (trismus). Pada
pemeriksaan fisik didapatkan palatum mole tampak membengkak dan menonjol
ke depan, dapat teraba fluktuasi, arkus faring tidak simetris, pembengkakan di
daerah peritonsil, uvula terdorong ke sisi yang sehat, dan trismus. Tonsil bengkak,
hiperemis, mungkin banyak detritus dan terdorong ke sisi kontra lateral. Kadang-
kadang sukar memeriksa seluruh faring karena trismus. Abses ini dapat meluas ke
daerah parafaring. Untuk memastikan diagnosis dapat dilakukan pungsi aspirasi
dari tempat yang paling fluktuatif.6,7,8

Terapi

Pada stadium infiltrasi, diberikan antibiotika dosis tinggi dan obat


simtomatik. Juga perlu kumur-kumur dengan air hangat dan kompres dingin pada
leher.7

Bila telah terbentuk abses, memerlukan pembedahan drainase, baik


dengan teknik aspirasi jarum atau dengan teknik insisi dan drainase. Tempat insisi
ialah di daerah yang paling menonjol dan lunak, atau pada pertengahan garis yang
menghubungkan dasar uvula dengan geraham atas terakhir. Intraoral incision dan
drainase dilakukan dengan mengiris mukosa overlying abses, biasanya diletakkan
di lipatan supratonsillar. Drainase atau aspirate yang sukses menyebabkan
perbaikan segera gejala-gejala pasien.7,11

Bila terdapat trismus, pembedahan drainase dilakukan setelah pemberian


cairn kokain 4% pada daerah insisi dan daerah ganglion sfenopalatina pada fosa
nasalis.11

Kemudian pasien dinjurkan untuk operasi tonsilektomi a chaud. Bila


tonsilektomi dilakukan 3-4 hari setelah drainase abses disebut tonsilektomi a
tiede, dan bila tonsilektomi 4-6 minggu sesudah drainase abses disebut
tonsilektomi a froid. Pada umumnya tonsilektomi dilakukan sesudah infeksi
tenang, yaitu 2-3 minggu sesudah drainase abses.

23
Tonsilektomi merupakan indikasi absolut pada orang yang menderita
abses peritonsilaris berulang atau abses yang meluas pada ruang jaringan
sekitarnya. Abses peritonsil mempunyai kecenderungan besar untuk kambuh.
Sampai saat ini belum ada kesepakatan kapan tonsilektomi dilakukan pada abses
peritonsil. Sebagian penulis menganjurkan tonsilektomi 68 minggu kemudian
mengingat kemungkinan terjadi perdarahan atau sepsis, sedangkan sebagian lagi
menganjurkan tonsilektomi segera.

Komplikasi

Abses pecah spontan dapat mengakibatkan perdarahan, aspirasi paru atau


piemia. Penjalaran infeksi dan abses ke daerah parafaring sehingga terjadi abses
parafaring. Pada penjalaran selanjutnya, masuk ke mediastinum sehingga terjadi
mediastinitis. Bila terjadi penjalaran ke daerah intrakrnial, dapat mengakibatkan
trombus sinus kavernosus, meningitis dan abses otak.

2.5.2 Abses retrofaring

Etiologi dan Patologi

Merupakan abses leher dalam yang jarang terjadi, terutama terjadi pada
bayi atau anak di bawah dua tahun dan merupakan abses leher dalam yang
terbanyak pada anak. Kelenjar getah bening ini biasanya mengalami atropi pada
usia 3-4 tahun. Pada anak biasanya abses terjadi mengikuti infeksi saluran nafas
atas dengan supurasi pada kelenjar getah bening yang terdapat pada daerah
retrofaring. Pada orang dewasa abses retrofaring sering terjadi akibat adanya
trauma tumpul pada mukosa faring, perluasan abses dari struktur yang berdekatan.

Diagnosis

Gejala utama berupa rasa nyeri (odinofagia) dan sukar menelan (disfagia)
di samping juga gejala-gejala lain berupa demam, pergerakan leher terbatas, dan
sesak nafas. Sesak nafas timbul jika abses sudah menimbulkan sumbatan jalan
nafas, terutama di hipofaring. Bila peradangan sudah sampai laring, dapat timbul

24
stridor. Abses retrofaring sebaiknya dicurigai jika pada bayi atau anak kecil
terdapat demam yang tidak dapat dijelaskan setelah infeksi pernapasan bagian atas
dan terdapat gejala-gejala hilangnya nafsu makan, perubahan dalam berbicara, dan
kesulitan menelan. Pada pemeriksaan didapatkan pembengkakan dinding posterior
faring.

Terapi

Terapi dengan medikamentosa, yakni antibiotika dosis tinggi untuk


kuman aerob dan anaerob, dan tindakan bedah. Pungsi dan insisi abses dilakukan
melalui laringoskop langsung dalam posisi pasien Trendelenburg. Pus yang keluar
segera diisap agar tidak terjadi aspirasi. Tindakan dapat dilakukan dalam analgesia
lokal atau umum.

Komplikasi

Komplikasi yang mungkin terjadi ialah penjalaran ke ruang parafaring,


ruang vaskuler visera, mediastinitis, obstruksi jalan nafas sampai asfiksia, bila
pecah spontan dapat menyebabkan penummonia aspirasi dan abses paru.

2.5.3 Abses Parafaring

Etiologi dan patologi

Abses parafaring dapat terjadi setelah infeksi faring, tonsil, adenoid, gigi,
parotis, atau kelenjar limfatik. Pada banyak kasus abses parafaring merupakan
perluasan dari abses leher dalam yang berdekatan seperti; abses peritonsil, abses
submandibula, abses retrofaring maupun mastikator.

Gejala dan tanda

Gejala utama abses parafaring berupa demam, trismus, nyeri tenggorok,


odinofagi dan disfagia. Pada pemeriksaan fisik didapatkan pembengkakan di
daerah parafaring, pendorongan dinding lateral faring ke medial, dan angulus

25
mandibula tidak teraba. Pada abses parafaring yang mengenai daerah prestiloid
akan memberikan gejala trismus yang lebih jelas.6,8,9

Terapi

Selain pemberian antibiotika dosis tinggi, evakuasi abses harus segera


dilakukan bila tidak ada perbaikan dengan antibiotika dalam 24-48 jam dengan
cara eksplorasi dalam narkosis. Drainase sebaiknya dilakukan melalui insisi
servikal pada 2 jari di bawah dan sejajar mandibula. Secara tumpul eksplorasi
dilanjutkan dari batas anterior M. Sternocleidomastoideus ke arah atas belakang
menyusuri bagian medial mandibula dan M. Pterigoideus interna mencapai
mencapai ruang parafaring dengan terabanya prosesus stiloid. Bila nanah terdapat
di dalam selubung karotis, insisi dilanjutkan vertikal dari pertengahan insisi
horizontal ke bawah di depan M. Sternocleidomastoideus (cara Mosher).

Komplikasi

Proses peradangan dapat menjalar secara hematogen, limfogen atau


langsung (per kontinuitatum) ke daerah sekitarnya. Penjalaran ke atas dapat
mengakibatkan peradangan intrakranial, ke bawah menyusuri selubung karotis
mencapai mediastinum. Abses juga dapat menyebabkan kerusakan dinding
pembuluh darah. Bila pembuluh karotis mengalami nekrosis, dapat terjadi ruptur,
sehingga terjadi perdarahan hebat. Bila terjadi periflebitis atau endoflebitis, dapat
timbul tromboflebitis dan septikemia.

2.5.4 Abses Submandibula

Etiologi dan patologi

Infeksi dapat bersumber dari gigi, dasar mulut, faring, kelenjar liur atau
kelenjar limfe submandibula. Mungkin juga sebagian kelanjutan infeksi infeksi
ruang leher dalam lain.

Diagnosis

26
Pasien biasanya akan mengeluh nyeri di rongga mulut dan leher, air liur
banyak. Pada pemeriksaan fisik didapatkan pembengkakan di daerah
submandibula, fluktuatif, lidah terangkat ke atas dan terdorong ke belakang,
angulus mandibula dapat diraba. Pada aspirasi didapatkan pus.

2.5.5 Angina Ludovici (Ludwigs Angina)

Angina Ludwig merupakan peradangan selulitis atau flegmon dari bagian


superior ruang suprahioid atau di daerah sub mandibula, dengan tidak ada fokal
abses. Ruang potensial ini berada antara otot-otot yang melekatkan lidah pada
tulang hioid dan ototmilohioideus.

Etiologi

Angina Ludwig paling sering terjadi sebagai akibat infeksi yang berasal
dari gigi geligi, tetapi dapat berasal dari proses supuratif nodi limfatisi servikalis
pada ruang submaksilaris.

Diagnosis

Biasanya akan mengenai kedua sisi submandibula, air liur yang banyak,
trismus, nyeri, disfagia, massa di submandibula yang tampak hiperemis dan keras
pada perabaan. Kekerasan yang berlebihan pada jaringan dasar mulut mendorong
lidah ke atas dan ke belakang dan dengan demikian dapat menyebabkan obstruksi
jalan napas secara potensial sehingga timbul sesak napas.7,10

Terapi

Diberikan antibiotika dengan dosis tinggi, untuk kuman aerob dan


anaerob, dan diberikan secara parenteral. Kemudian dilakukan eksplorasi dengan
pembedahan insisi melalui garis tengah, dengan demikian menghentikan
ketegangan (dekompresi) yang terbentuk pada dasar mulut. Karena ini merupakan
selulitis, maka sebenarnya pus jarang diperoleh. Sebelum insisi dan drainase
dilakukan, sebaiknya dilakukan persiapan terhadap kemungkinan trakeostomi

27
karena ketidakmampuan melakukan intubasi pada pasien, seperti lidah yang
mengobstruksi pandangan laring dan tidak dapat ditekan oleh laringoskop.

Komplikasi

Komplikasi yang sering terjadi ialah sumbatan jalan nafas, penjalaran


abses ke ruang leher dalam lain dan mediastinum, dan sepsis.

2.6 PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Rontgen servikal lateral

Dapat memberikan gambaran adanya pembengkakan jaringan lunak pada


daerah prevertebra, adanya benda asing, gambaran udara di subkutan, air fluid
levels, erosi dari korpus vertebre. Penebalan jaringan lunak pada prevertebre
setinggi servikal II (C2), lebih 7mm, dan setinggi servikal VI yang lebih 14mm
pada anak, lebih 22mm pada dewasa dicurigai sebagai suatu abses retrofaring.

2. Rontgen Panoramiks

Dilakukan pada kasus abses leher dalam yang dicurigai berasal dari gigi.

3. Rontgen toraks

Perlu dilakukan untuk evaluasi mediastinum, empisema subkutis,


pendorongan saluran nafas, pneumonia yang dicurigai akibat aspirasi dari abses.

4. Tomografi Komputer (TK/ CT Scan)

Tomografi komputer dengan kontras merupakan pemeriksaan baku emas


pada abses leher dalam. Berdasarkan penelitian Crespo dkk, seperti dikutip
Murray AD dkk, bahwa dengan hanya pemeriksaan klinis tanpa tomografi
komputer mengakibatkan estimasi terhadap luasnya abses yang terlalu rendah
pada 70% pasien. TK memberikan gambaran abses berupa lesi dengan hipodens

28
(intensitas rendah), batas yang lebih jelas, kadang ada air fluid levels. Kirse dan
Robenson, mendapatkan ada hubungan antara ketidakteraturan dinding abses
dengan adanya pus pada rongga tersebut. Pemeriksaan TK toraks diperlukan jika
dicurigai adanya perluasan abses ke mediastinum.

5. Pemeriksaan Bakteriologi

Pemeriksaan bakteriologi pus dari lesi yang dalam atau tertutup harus
meliputi biakan metoda anaerob. Setelah desinfeksi kulit, pus dapat diambil
dengan aspirasi memakai jarum aspirasi atau dilakukan insisi. Pus yang diambil
sebaiknya tidak terkontaminasi dengan flora normal yang ada di daerah saluran
nafas atas atau rongga mulut. Aspirasi dilakukan dari daerah yang sehat dan
dilakukan lebih dalam.

2.7 PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan abses leher dalam adalah dengan evakuasi abses baik


dilakukan dengan anestesi lokal maupun dengan anestesi umum. Antibiotik dosis
tinggi terhadap kuman aerob dan anaerob harus diberikan secara parenteral. Hal
yang paling penting adalah terjaganya saluran nafas yang adekuat dan drainase
abses yang baik.
Menurut Poe dkk penatalaksanaan abses leher dalam meliputi operasi
untuk evakuasi dan drainase abses, identifikasi kuman penyebab dan pemberian
antibiotik. Hal ini akan mengurangi komplikasi dan mempercepat perbaikan.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemilihan antibiotika adalah
efektifitas obat terhadap kuman target, risiko peningkatan resistensi kuman
minimal, toksisitas obat rendah, stabilitas tinggi dan masa kerja yang lebih lama.
Pemberian antibiotik berdasarkan hasil biakan kuman dan tes kepekaan
antibiotik terhadap kuman penyebab infeksi. Biakan kuman membutuhkan waktu
yang lama untuk mendapatkan hasilnya, sedangkan pengobatan harus segera
diberikan. Sebelum hasil kultur kuman dan uji sensitifitas keluar, diberikan
antibiotik kuman aerob dan anaerob secara empiris. Yang SW, dkk melaporkan

29
pemberian antibiotik kombinasi pada abses leher dalam, yaitu; Kombinasi
penesilin G, klindamisin dan gentamisin, kombinasi ceftriaxone dan klindamisin,
kombinasi ceftriaxone dan metronidazole, kombinasi cefuroxime dan klindamisin,
kombinasi pinisilin dan metronidazole, masing-masing didapatkan angka
perlindungan (keberhasilan) 67,4%, 76,4%, 70,8%, 61,9%. Avest ET, dkk,
memberikan antibiotik empiris, kombinasi metronidazole dengan ceftriaxone.
Penesilin G merupakan obat terpilih untuk infeksi kuman streptokokus dan
stafilokokus yang tidak menghasilkan enzim penecilinase. Gentamisin
menunjukkan efek sinergis dengan pinisilin. Klindamisin efektif terhadap
streptokokus, pneumokokus dan stafilokokus yang resisten terhadap penisilin.
Lebih khusus pemakaian klindamisin pada infeksi polimicrobial termasuk
Bacteroides sp maupun kuman anaerob lainnya pada daerah oral.
Berbagai kombinasi pemberian antibiotik secara empiris sebelum
didapatkan hasil kepekaan terhadap kuman penyebab, dianjurkan berbagai ahli
seperti terlihat pada (tabel 6).
Tabel 6. Antibiotik yang dianjurkan beberapa penulis secara empiris.

Penulis Antibiotik Umur


Sakaguchi dkk (97) Penisilin & Klindamisin D
Parhischar, Har-El (01) Penisilin G & Oxacillin atau A&D
Nafcilin
Gates (83) Penisilin, lactamase DTV
resistant drug
Chen dkk (98) PenisilinG, Klindamisin, D
Gentamisin
Plaza, Mayor (01) Cefotaxime, Metronidazole D
Simo dkk (98) Flucloxacine, Metronidazole A
Nagy dkk Ceftriaxone , Klindamisin A&D
(97)
Mc Clay dkk (03) Cefuroxime, Klindamisin A
Sichel dkk (02) Amoksillin-Asam klavulanik A&D
Brondbo dkk (83) Penesilin G, Metronidazole A
A=Anak, D=Dewasa DTV=Data tidak valid

30
Pada kultur didapatkan kuman anaerob, maka antibiotik metronidazole,
klindamisin, carbapenem, sefoxitin, atau kombinasi penisilin dan -lactam
inhibitor merupakan obat terpilih.
Metronidazole juga efektif sebagai amubisid. Aminoglikosida, quinolone
atau cefalosforin generasi ke III dapat ditambahkan jika terdapat kuman enterik
gram negatif. Cefalosporin generasi III mempunyai efektifitas yang lebih baik
terhadap gram negatif enterik. Dibanding dengan cefalosporin generasi I, generasi
III kurang efektif terhadap kokus gram positif, tapi sangat efektif terhadap
Haemofillus infeluenza, Neisseria sp dan Pneumokokus. Ceftriaxone dan
cefotaxime mempunyai efektifitas terhadap streptokokus. Ceftriaxone sangat
efektif terhadap gram negatif dan Haemofillus sp, kebanyakan Streptococcus
pneumonia dan Neisseriae sp yang resisiten terhadap penesilin.
Di Bagian THT-KL RS. Dr. M. Djamil Padang pemberian antibiotik secara
empiris diberikan berupa antibiotik kombinasi ceftriaxone dan metronidazole. Ini
berdasarkan kuman penyebab terbanyak abses leher dalam yaitu jenis
streptokokus, stafilokokus dan kuman anaerob. Penambahan gentamisin
(aminoglikosid) dapat diberikan jika dicurigai kuman penyebab termasuk kuman
entrik seperti Klebsiella, proteus, Enterobacter.
Setelah keluar hasil uji kepekaan antibiotik terhadap kuman penyebab
diberikan antibiotik yang sesuai. Pada pemberian kombinasi antibiotik secara
empiris jika terdapat perbaikan, antibiotik dapat diteruskan, jika tidak maka
antibiotik diganti sesuai uji kepekaan.5
BAB III

PENUTUP

3.1 RANGKUMAN

Abses leher dalam merupakan suatu kondisi yang mengancam jiwa


akibat komplikasi-komplikasinya yang serius seperti obstruksi jalan napas,
kelumpuhan saraf kranial, mediastinitis, dan kompresi hingga ruptur arteri karotis

31
interna. Lokasinya terletak di dasar mulut dan dapat menjadi ancaman yang sangat
serius. Oleh karena itu, penatalaksanaan abses leher dalam meliputi operasi untuk
evakuasi dan drainase abses, identifikasi kuman penyebab dan pemberian
antibiotik. Hal ini akan mengurangi komplikasi yang mengancam jiwa dan
mempercepat perbaikan.

Untuk identifikasi kuman penyebab membutuhkan pemeriksaan biakan


kuman. Biakan kuman membutuhkan waktu yang lama untuk mendapatkan
hasilnya, sedangkan pengobatan harus segera diberikan. Oleh karena kuman
penyebab abses leher dalam biasanya terdiri dari campuran kuman aerob, anaerob
maupun fakultatif anaerob, maka sebelum hasil kultur kuman dan uji sensitifitas
keluar, diberikan antibiotik untuk kuman aerob dan anaerob secara empiris.
Pemberian antibiotik secara empiris dapat berupa antibiotik kombinasi ceftriaxone
dan metronidazole. Ini berdasarkan kuman penyebab terbanyak abses leher dalam
yaitu jenis streptokokus, stafilokokus dan kuman anaerob. Penambahan
gentamisin (aminoglikosid) dapat diberikan jika dicurigai kuman penyebab
termasuk kuman entrik seperti Klebsiella, proteus, Enterobacter.
Setelah keluar hasil uji kepekaan antibiotik terhadap kuman penyebab
diberikan antibiotik yang sesuai. Pada pemberian kombinasi antibiotik secara
empiris jika terdapat perbaikan, antibiotik dapat diteruskan, jika tidak maka
antibiotik diganti sesuai uji kepekaan.

3.2 SARAN

Abses leher dalam merupakan suatu keadaan yang dapat mengancam


jiwa. Oleh karena itu dibutuhkan pengetahuan dan keterampilan dokter dalam
mengenali tanda-tanda suatu kegawatan dan cara mengatasinya dalam segala
keterbatasan.

32
DAFTAR PUSTAKA

1. Andrina YMR. Abses retrofaring. Fakultas Kedokteran Bagian Ilmu Penyakit


Telinga Hidung Tenggorokan Universitas Sumatera Utara. 2003. Diunduh
dari: repository.usu.ac.id pada tanggal 6 Agustus 2017.
2. Baba Y, Kato Y, Saito H, Ogawa K. Management of deep neck infection by a
transnasal approach: a case report. Journal of Medical Case Report. 3: 7317,

33
2009. Diunduh dari: www.jmedicalcasereports.com pada tanggal 6 Agustus
2017.

3. Berger TJ, Shahidi H. Retropharyngeal Abscess. Emedicine Journal. 2001,


Volume 2, Number 8. Diunduh dari:
author.emedicine.com/PED/topic2682.html pada tanggal 6 Agustus 2017

4. Schreiner C, Quinn FB. Deep Neck Abscesses and Life-Threatening Infections


of the Head and Neck. Dept of Otolaryngology UTMB. 1998. Diunduh dari:
www.otohns.net pada tanggal 6 Agustus 2017

5. Gadre AK, Gadre KC. Infection of the deep Space of the neck. Dalam: Bailley
BJ, Jhonson JT, editors. Otolaryngology Head and neck surgery. Edisi ke-4.
Philadelphia: JB.Lippincott Company 2006.p.666-81
6. Fachruddin D. Abses leher dalam. Dalam: Iskandar M, Soepardi AE editor.
Buku ajar ilmu penyakit telinga hidung tenggorok. Edisi ke 6. Jakarta: Balai
Penerbit FK-UI. 2007:p. 185-8
7. Murray A.D. MD, Marcincuk M.C. MD. Deep neck infections. [Diperbaharui
Juli 2009] Diunduh dari: www.eMedicine Specialties//Otolaringology and
facial plastic surgery.com pada tanggal 6 Agustus 2017
8. Edinger JT, Hilal EY, Dastur KJ. Bilateral Peritonsillar Abscesses: A
Challenging Diagnosis. Ear, Nose & Throut Journal. 86(3):162-3. 2007.
Diunduh dari: www.entjournal.com pada tanggal 6 Agustus 2017
9. Scott BA, Stiernberg CM. Deep neck space infections. Dalam : Bailey BJ, Ed.
Head and neck surgery otolaryngology, Vol 1. Philadelphia: JB Lippincott
Company , 1993 . h.738-49
10. Adams GL, Boies LR, Higler PA. Penyakit-penyakit Nasofaring dan
Orofaring. Dalam: Adams, Boies, dan Higler, editors. Boies: Buku ajar
penyakit THT Edisi VI. Jakarta: EGC Penerbit Buku Kedokteran; 1997. hal.
320-355.
11. Hatmansjah. Tonsilektomi. Cermin Dunia Kedokteran Vol. 89, 1993. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, hal : 19-21.

34

Anda mungkin juga menyukai