Laporan Kunjungan Lapangan B-9
Laporan Kunjungan Lapangan B-9
LATAR BELAKANG
Area Masalah
Masalah non- medis Masalah medis
Kurang minum air putih Nyeri otot (pegal)
Kurang waktu istirahat (tidur) Tenggorokan kering ketika bangun pagi
Kebiasaan merokok
Kebiasaan minum kopi
Area Masalah
Masalah non- medis Masalah medis
Kebiasaan minum kopi Nyeri otot (pegal)
Kurang waktu istirahat (tidur) Sakit kepala dan tidak hilang dengan istirahat
Area Masalah
Masalah non- medis Masalah medis
Kebiasaan makan yang tidak teratur Nyeri otot (pegal)
Kesemutan ketika perjalanan jauh
Area Masalah
- Tidur sejenak
- -
Area Masalah
Kebiasaan merokok
Area Masalah
Masalah Non-Medis Masalah Medis
- Sakit kepala
- Sakit pinggang
Area Masalah
Masalah Non-Medis Masalah Medis
DATA PRIMER
No NAMA PENGETAHUAN SIKAP PERILAKU
1 Bapak Vino baik baik Buruk
2 Bapak Burlan sedang baik Buruk
3 Bapak Zainal sedang baik Buruk
4 Bapak Budi baik buruk Baik
5 Bapak Anton baik baik Baik
6 Bapak Hendra baik buruk Buruk
7 Bapak Agus baik baik Buruk
8 Bapak Solihin baik baik Buruk
9 Bapak Priyotomo sedang baik Baik
*Pengetahuan BAIK = 66,67% (6 dari 9 orang)
Pengetahuan SEDANG = 33,33% (3 dari 9 orang)
Sikap BAIK = 77,78% (7 dari 9 orang)
Sikap BURUK = 22,22% (2 dari 9 orang)
Perilaku BAIK = 33,33% (3 dari 9 orang)
Perilaku BURUK = 66,67% (6 dari 9 orang)
DATA SEKUNDER
DATA KECELAKAAN LALU LINTAS 2010-2012
120,000
100,000
80,000
60,000
40,000
20,000
0
2010 2011 2012
Jumlah
Dalam dua tahun terakhir ini, kecelakaan lalu lintas di Indonesia oleh Badan Kesehatan
Dunia (WHO) dinilai menjadi pembunuh terbesar ketiga, di bawah penyakit jantung koroner dan
tuberculosis/TBC. Data WHO tahun 2011 menyebutkan, sebanyak 67 persen korban kecelakaan
lalu lintas berada pada usia produktif , yakni 22 50 tahun.
Data Kepolisian RI menyebutkan, pada 2012 terjadi 109.038 kasus kecelakaan dengan
korban meninggal dunia sebanyak 27.441 orang, dengan potensi kerugian sosial ekonomi sekitar
Rp 203 triliun - Rp 217 triliun per tahun (2,9% - 3,1 % dari Pendapatan Domestik Bruto/PDB
Indonesia). Sedangkan pada 2011, terjadi kecelakaan sebanyak 109.776 kasus, dengan korban
meninggal sebanyak 31.185 orang.
DATA TERSIER
Ketika orang tidak mendapatkan tidur yang cukup, kecelakaan di jalan raya dan tempat kerja
berpotensi besar untuk terjadi (Coren, 1996; Maas, 1998)
Jangan mengemudi dalam keadaan lelah. Kondisi lelah dapat menimbulkan kecelakaan karena
kelelahan dapat mengurangi konsentrasi kita dalam berkendara selain itu juga dapat
menyebabkan kita kurang waspada terhadap hal yang terjadi di jalan. Tindakan yang tepat yang
seharusnya kita lakukan adalah tidur sejenak. (Hildiario, 2010)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. POLA TIDUR
1.1 DEFINISI
Tidur didefinisikan sebagai suatu keadaan bawah sadar dimana seseorang masih dapat
dibangunkan dengan pemberian rangsang sensorik atau dengan rangsang lainnya (Guyton & Hall,
1997). Menurut Potter & Perry (2005), Tidur merupakan proses fisiologis yang bersiklus
bergantian dengan periode yang lebih lama dari keterjagaan. Tidur merupakan kondisi tiak sadar
dimana induvidu dapat dibangunkan oleh stimulasi atau sensorang sesuai (Guyton dalam Aziz
Alimul H) atau juga dapat dikatakan sebagai keadaan tidak sadarkan diri yang relatif, bukan hanya
keadaan penuh ketenangan tanpa kegiatan, tetapi lebih merupakan suatu urutan siklus yang
berulang, dengan ciri adanya aktifitas yang minim, memiliki kesadaran yang bervariasi terhadap
perubahan fisiologis dan terjadi penurunan respon terhadap rangsangan dari luar.
Tidur adalah suatu keadaan relative tanpa sadar yang penuh ketengan tanpa kegiatan yang
erupakan urutan siklus yang berulan-ulang dan masing-masing menyatakan fase kegiatan otak dan
badanlah yang berbeda.
Tanda tanda kehidupan seperti kesadaran, puls, dan frekuensi pernapasan mengalami
perubahan. Dalam tidur normal biasanya fungsi saraf motorik juga saraf sensorik untuk kegiatan
yang memerlukan koordinasi dengan sistem saraf pusat akan diblokade, sehingga pada saat tidur
cenderung tidak bergerak dan daya tanggap pun berkurang.
Fase peralihan dari sadar ke tidur disebut sebagai pradormitium dan fase peralihan dari
tidur kembali ke sadar disebut sebagai postdormitium. Di dalam ilmu kedokteran ilmu yang
mempelajari gangguan tidur disebut sebagai somnologie.
Kebutuhan tidur dan istirahat yang sesuai sama pentingnya dengan kebutuhan nutrisi dan
olahraga yang cukup bagi kesehatan. Menurut Hodgson (1991) dalam Potter & Perry (2005),
kegunaan tidur masih belum jelas, namun diyakini tidur diperlukan untuk menjaga keseimbangan
mental, emosional dan kesehatan.
Tidur diperlukan untuk memperbaiki proses biologis secara rutin, selama tidur gelombang
rendah yang dalam (NREM tahap IV), tubuh melepaskan hormon pertumbuhan manusia untuk
memperbaiki dan memperbaharui sel epitel dan sel khusus seperti sel otak. Sintesa protein dan
pembagian sel untuk pembaharuan jaringan seperti pada kulit, sumsung tulang, mukosa lambung
terjadi juga selama tidur dan istirahat Oswold (1984) dalam Potter & Perry (2005) kegunaan tidur
yang lain adalah selama tidur tubuh akan menyimpan energi.
Menurut penelitian, orang yang tidur selama 6,5 sampai 7,5 jam dalam sehari akan
memiliki hidup yang lebih panjang dari pada yang tidurnya hanya memakan waktu kurang dari 6,5
jam atau lebih dari 8 jam perhari (Japan Epidemiology Association). Pada tidur REM terjadi
perubahan dalam aliran darah serebral, peningkatan aktivitas kortikal, peningkatan konsumsi
oksigen dan pelepasan epinefrin, sehingga membantu penyimpanan memori dan pembelajaran
maka tidur REM penting untuk pemulihan kognitif. Tanpa kebutuhan tidur dan istirahat yang
cukup, konsentrasi dan pengambilan keputusan akan menurun (Potter & Perry, 2005).
1.2 FISIOLOGI
Fisiologi tidur merupakan sebuah mekanisme yang kompleks. Tidur melibatkan suatu
urutan keadaan fisiologis yang dipertahankan oleh integrasi tinggi aktivitas sistem saraf pusat yang
berhubungan dengan perubahan dalam sistem saraf peripheral, endokrin, kardiovaskular,
pernafasan, dan muskular. Tiap rangkaian diidentifikasi dengan respon fisik tertentu dan pola
aktivitas otak. Peralatan elektroensefalogram (EEG), yang mengukur aktivitas listrik dalam
korteks serebral, elektromiogram (EMG), yang mengukur tonus otot dan elektrookulogram (EOG)
yang mengukur gerakan mata, memberikan informasi struktur aspek fisiologis tidur. Kontrol dan
pengaturan tidur tergantung pada hubungan antara dua mekanisme serebral yang mengaktivasi
secara intermiten dan menekan pusat otak tertinggi untuk mengontrol tidur dan terjaga. Sebuah
mekanisme menyebabkan terjaga dan yang lain menyebabkan tidur.
System aktivasi reticular (SAR) berlokasi pada batang otak teratas. SAR dipercaya terdiri
dari sel khusus yang mempertahankan kewaspadaan dan terjaga. SAR menerima stimulus sensori
visual, auditori, nyeri, dan taktil. Aktivitas korteks serebral (mis.proses emosi atau pikiran) juga
menstimulasi SAR. Saat terbangun merupakan hasil dari neuron dalam SAR yang mengeluarkan
katekolamin seperti norepinephrin. Tidur dapat dihasilkan dari pengeluaran serotonin dari sel
tertentu dalam sistem tidur raphe pada pons dan otak depan bagian tengah. Daerah otak juga
disebut daerah sinkronisasi bulbar (bulbar synchronizing region, BSR).
Apakah seseorang tetap terjaga atau tertidur tergantung pada keseimbangan impuls yang
diterima dari pusat yang lebih tinggi (mis.pikiran), reseptor sensori perifer (mis.stimulus bunyi
atau cahaya) dan system limbic (cahaya). Ketika orang mencoba tertidur, mereka akan menutup
mata dan berada dalam posisi relaks. Stimulus ke SAR menurun. Jika ruangan gelap dan tenang,
maka aktivasi SAR selanjutnya menurun. Pada beberapa bagian, BSR mengambil alih yang
menyebabkan tidur (Potter & Perry, 2006).
Tidur NREM
Tidur NREM disebabkan oleh penurunan kegiatan dalam sistem pengaktifan retikularis. Tahapan
tidur ini disebut juga tidur gelombang lambat (slow wave sleep), karena gelombang otak
bergerak dengan sangat lambat. Tidur NREM ditandai dengan penurunan
sejumlah fungsi fisiologis tubuh termasuk juga metobolisme, kerja otot dan tanda-tanda vital. Hal
lain yang terjadi pada saat tidur NREM adalah pergerakan bola mata melambat dan mimpi
berkurang. Tidur NREM dibagi menjadi empat tahap, yaitu sebagai berikut:
- Tahap I
Tahap I merupakan tahapan paling dangkal dari tidur dan merupakan tahap transisi antara
bangun dan tidur. Tahap ini ditandai dengan individu cenderung rileks, masih sadar dengan
lingkungan sekitarnya, merasa mengantuk, bola mata bergerak, frekuensi nadi dan napas
sedikit menurun, serta mudah dibangunkan. Tahap ini normalnya berlangsung sekitar 5
menit atau sekitar 5% dari total tidur.
- Tahap II
Tahap II merupakan tahap ketika individu masuk pada tahap tidur, tetapi masih dapat dengan
mudah dibangunkan. Tahap I dan tahap II termasuk dalam tahap tidur ringan (light sleep).
Pada tahap II, otot mulai relaksasi, mata pada umumnya menetap, terjadi penurunan
denyut jantung, frekuensi napas, suhu tubuh dan metabolisme. Tahap II normalnya
berlangsung selama 10-20 menit dan merupakan 50-55% dari total tidur
- Tahap III
Tahap III merupakan awal dari tahap tidur dalam atau tidur nyenyak (deep sleep).
Tahap ini dicirikan dengan relaksasi
otot menyeluruh serta pelambatan denyut nadi, frekuensi
napas, dan proses tubuh lainnya. Pelambatan tersebut
disebabkan oleh dominasi sistem saraf parasimpatetik.
Tahap III, individu cenderung sulit dibangunkan dan normalnya berlangsung selama 25-
30 menit dan merupakan 10% dari total tidur.
- Tahap IV
Tahap IV tidur semakin dalam (delta sleep) yang ditandai dengan perubahan fisiologis,
yaitu gelombang otak melemah serta penurunan denyut jantung, tekanan darah, tonus otot,
metabolisme, dan suhu tubuh. Pada tahap ini individu sulit
dibangunkan dan normalnya berlangsung selama 15-30 menit dan merupakan 10% dari
total tidur.
Tidur REM
Tidur REM disebut juga tidur paradoks. Tahapan ini biasanya terjadi rata-rata 90
menit dan berlangsung selama 5-20 menit. Tidur REM tidak senyenyak tidur NREM karena
pada tahap ini biasanya terjadi mimpi. Tidur REM penting untuk
keseimbangan mental dan emosi. Selain itu, tahapan tidur ini
juga berperan dalam proses belajar, memori dan adaptasi.
Selama tidur individu mengalami siklus tidur yang berulang antara tahap tidur NREM dan
REM.
Di Indonesia, jumlah kendaraan bermotor yang meningkat setiap tahunnya dan kelalaian manusia,
menjadi faktor utama terjadinya peningkatan kecelakaan lalu lintas. Data Kepolisian RI
menyebutkan, pada 2012 terjadi 109.038 kasus kecelakaan dengan korban meninggal dunia
sebanyak 27.441 orang, dengan potensi kerugian sosial ekonomi sekitar Rp 203 triliun - Rp 217
triliun per tahun (2,9% - 3,1 % dari Pendapatan Domestik Bruto/PDB Indonesia). Sedangkan pada
2011, terjadi kecelakaan sebanyak 109.776 kasus, dengan korban meninggal sebanyak 31.185
orang.
Selain korban kecelakaan lalu lintas lebih didominasi oleh usia muda dan produktif, sebagian besar
kasus kecelakaan itu terjadi pada masyarakat miskin sebagai pengguna sepeda motor, dan
transportasi umum. Data yang berbeda dari Kementerian Kesejahteraan Rakyat (Menkokesra)
menyebutkan, kecelakaan pengendara sepeda motor mencapai 120.226 kali atau 72% dari seluruh
kecelakaan lalu lintas dalam setahun, Dengan korban yang demikian, dampak sosial kecelakaan
lalu lintas adalah akan menciptakan manusia miskin baru di Indonesia, terutama terjadi pada
keluarga yang ditinggal suami dan atau orang yang sebelumnya menjadi penopang hidup keluarga.
Pada perspektif lain, kecelakaan lalu lintas juga dapat dijadikan bahan komodifikasi isu untuk
memicu konflik sosial. Pada awal 2013, konflik yang terjadi di Kabupaten Sumbawa, Pulau
Sumbawa, Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) dipicu oleh isu yang yang berawal dari
kecelakaan lalu lintas biasa. Persoalan semakin membesar ketika isu tersebut disebarkan melalui
pesan singkat kepada masyarakat. Bahkan, konflik di Lampung Selatan, yang mengakibatkan
pengerusakan parah terhadap pemukiman warga transmigrasi asal Bali, di Desa Bali Nuraga,
Kecamatan Sidomulyo, Kabupaten Lampung Selatan, juga berawal dari kecelakaan lalu lintas
antara sepeda dan sepeda motor. Pada konteks ini, kasus kecelakaan lalu lintas dapat membawa
derivasi korban yang lebih banyak lagi.
Secara umum kecelakaan lalu lintas yang terjadi disebabkan oleh beberapa faktor, seperti kelalaian
manusia, kondisi jalan, kelaikan kendaraan dan belum optimalnya penegakan hukum lalu lintas.
Berdasarkan Outlook 2013 Transportasi Indonesia, terdapat empat faktor penyebab kecelakaan,
yakni kondisi sarana dan prasarana transportasi, faktor manusia dan alam. Namun demikian, di
antara keempat faktor tersebut, kelalaian manusia menjadi faktor utama penyebab tingginya angka
kecelakaan lalu lintas. Oleh karena itu, diperlukan kesadaran berlalu lintas yang baik bagi
masyarakat, terutama kalangan usia produktif.
Pemerintah sebagai penyelenggara negara, turut berupaya untuk meminimalisir tingginya angka
kecelakaan di Indonesia. Melalui program Dekade Keselamatan Jalan 2011-2020, yang
dicanangkan oleh Wakil Presiden di Jakarta pada 20 Juni 2011 lalu, pemerintah menargetkan
penurunan fatalitas hingga 50 persen pada 2020. Dengan tahun basis 2010 yang menelan 31.234
korban jiwa, pada 2020 fatalitas atau korban jiwa kecelakaan lalu lintas seharusnya sekitar 15.000
jiwa. Untuk mewujudkan Dekade Keselamatan Jalan Indonesia pada 2020, diperlukan langkah-
langkah konkrit pihak-pihak terkait dalam mengimplementasikan UU Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan. Terlebih untuk ikut mewujudkan zero accident pada 2015 yang dicanangkan PBB.
Penilaian WHO bahwa kecelakaan lalu lintas sudah menjadi pembunuh terbesar ketiga di
Indonesia, perlu menjadi perhatian bersama. Masyarakat, pengusaha angkutan, pemerintah dan
pemangku kepentingan lainnya perlu waspada atas peringatan tersebut. (*/Dari berbagai sumber).
3. PERILAKU
A. Teori Lawrence Green
Promosi kesehatan sebagai pendekatan terhadap kesehatan terhadap faktor perilaku kesehatan,
maka kegiatannya tidak terlepas dari faktor-faktor yang menenrukan perilaku tersebut. Dengan
perkataan lain, kegiatan promosi kesehatan harus disesuaikan dengan determinan (faktor yang
mempengaruhi perilaku itu sendiri).
Dan menurut Lawrence Green, perilaku ini ditentukan oleh 3 faktor utama, yakni :
a. Faktor pendorong (predisposing factors)
Faktor-faktor yang mempermudah atau mempredisposisi terjadinya perilaku seseorang,
antara lain pengetahuan, sikap, keyakinan, kepercayaan, nilai-nilai, tradisi, dan
sebagainya. Contohnya seorang ibu mau membawa anaknya ke Posyandu, karena tahu
bahwa di Posyandu akan dilakukan penimbangan anak untuk mengetahui
pertumbuhannya. Tanpa adanya pengetahuan-pengetahuan ini ibu tersebut mungkin tidak
akan membawa anaknya ke Posyandu.
b. Faktor pemungkin (enabling factors)
Faktor-faktor yang memungkinkan atau memfasilitasi perilaku atau tindakan. Yang
dimaksud dengan faktor pemungkin adalah sarana dan prasarana atau fasilitas untuk
terjadinya perilaku kesehatan, misalnya : Puskesmas, Posyandu, Rumah Sakit, tempat
pembuangan air, tempat pembuangan sampah, tempat olahraga, makanan bergizi, uang dan
sebagainya. Contohnya sebuah keluarga yang sudah tahu masalah kesehatan,
mengupayakan keluarganya untuk menggunakan air bersih, buang air di WC, makan
makanan yang bergizi dan sebagainya. Tetapi apakah keluarga tersebut tidak mampu untuk
mengadakan fasilitas itu semua, maka dengan terpaksa buang air besar di kali/kebun,
menggunakan air kali untuk keperluan sehari-hari dan sebagainya.
c. Faktor penguat (reinforcing factors)
Faktor yang mendorong atau memperkuat terjadinya perilaku, kadang-kadang meskipun
orang tahu dan mampu untuk berperilaku sehat, tetapi tidak melakukannya. Contohnya
seorang ibu hamil dan di dekat rumahnya ada Polides, dekat dengan bidan, tetapi ia tidak
mau melaksanakan periksa hamil karena ibu lurah dan ibu tokoh-tokoh lain tidak pernah
periksa hamil namun anaknya tetap sehat. Hal ini berarti bahwa untuk berperilaku sehat
memerlukan contoh dari para tokoh masyarakat.
Faktor Predisposisi
Pengetahuan
Sikap
Keyakinan
Kepercayaan
Nilai nilai
tradisi
Faktor Pemungkit
Sarana PERILAKU
Prasarana
Faktor Penguat
Contoh dari
tokoh
masyarakat
KERANGKA KONSEP
Perilaku Pola Istirahat Pada Komunitas Supir
Perilaku Pribadi di Sekitar Yarsi
DAFTAR PUSTAKA
Kecelakaan Lalu Lintas Menjadi Pembunuh Terbesar Ketiga -
http://www.bin.go.id/awas/detil/197/4/21/03/2013/kecelakaan-lalu-lintas-menjadi-pembunuh-
terbesar-ketiga . Diakses pada Selasa, 26 Mei 2015
Lanywati, Endang. 2008. Insomnia Gangguan Sulit Tidur. PENERBIT KANISIUS : Yogyakarta
Notoatmodjo, Soekidjo,2007. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta: Rineka Cipta