Anda di halaman 1dari 48

DRESS (Drug Reaction Eosinophillia Systemic Symptoms)

Kemajuan dalam bidang farmasi dan meningkatnya penggunaan obat-obatan,


menyebabkan semakin banyaknya kejadian efek samping obat. Adverse Drug
Reaction (ADR) merupakan suatu kondisi terjadinya efek obat yang tidak diharapkan.
Efek samping obat dapat berupa gangguan fungsi organ atau perubahan pada kulit.
Perubahan pada kulit dikenal sebagai erupsi obat atau drug eruption. Bentuk erupsi
obat yang paling sering didapatkan adalah gambaran eksanthema (makulopapular-
morbiliformis). Drug Reaction with Eosinophilia and Systemic Symptom

DEFINISI
(DRESS Syndrome) atau sindroma DRESS yang sering juga dikenal sebagai Drug
Hypersensitivity Syndrome, atau Hypersensitivity Syndrome Reaction (HSR) adalah
kumpulan gejala dan merupakan reaksi idiosinkratik yang terjadi pada pemberian obat
dalam dosis terapi, yang ditandai adanya erupsi eritematous, demam, kelainan
hematologi terutama adanya eosinofilia dan adanya keterlibatan organ dalam seperti:
1,2,3
limfadenopati, hepatitis, pneumonitis, miokarditis, nefritis. Istilah sindroma
DRESS lebih sering digunakan karena dinilai dapat lebih menggambarkan apa yang
terjadi pada penderita. Beberapa ahli kadang menyebut sindroma DRESS berdasarkan
obat penyebabnya seperti sindroma hipersensitivitas antikonvulsan (Anticonvulsant
Hypersensitivity Syndrome), sindroma hipersensitivitas allopurinol (Allopurinol
1
Hypersensitivity Syndrome).

EPIDEMIOLOGI

Sindroma DRESS mempunyai potensi mengancam jiwa terutama apabila terlambat


dalam terapi. Angka mortalitas sebesar 10%, terutama disebabkan kerusakan hati dan
komplikasi lainnya seperti eritrodermi dan sepsis. Insidensi sindroma DRESS
diperkirakan 1 per 1000 sampai 1 per 10000 paparan.

ETIOLOGI

Penyebab utama sindroma DRESS adalah obat seperti sulfonamid, trimetropim,


metronidazol, minosiklin, allopurinol, dapson dan abakavir dan juga karena reaksi
silang obat, di antaranya adalah obat antikonvulsan (fenitoin, karbamazepin,
fenobarbital), dan obat anti-inflamasi non steroid (piroksikam, teniksikam). Pasien
yang mengalami hipersensitivitas pada salah satu dari ke-3 obat ini, mempunyai
kemungkinan sebesar 75% untuk bereaksi terhadap obat yang lainnya. 4 Selain itu,
diduga adanya keterlibatan ko-infeksi virus yakni reaktivasi dari HHV6 juga
mendasari sindroma ini.2 Faktor genetik diduga merupakan faktor predisposisi.
Sindroma DRESS dilaporkan pada kembar identik yang diterapi dengan
karbamazepin. Mekanisme dasar dari predisposisi genetik ini dilaporkan oleh Gennis
dan kawan-kawan. HLA-*5701, HLA-DR 27, HLA-DQ3 berperan pada terjadinya
sindroma DRESS yang disebabkan karena pemberian terapi dengan abacavir, HLA-
DR3 berperan pada pemberian karbamazepin.7

KLASFIFIKASI
Reaksi Hipersensitivitas terhadap obat dapat dibagi menjadi 4 kategori berdasarkan
klasifikasi Coombs dan Gell. Tipe I berhubungan dengan reaksi Ig E, seperti urtikaria,
anafilaksis dan asma. Tipe II berhubungan dengan immunoglobulin yang
berhubungan dengan reaksi sitotoksik, seperti diskrasia sel darah. Tipe III
berhubungan dengan kompleks imun, seperti vaskulitis. Dan tipe IV behubungan
dengan sel T yang dikenal dengan reaksi Hipersensitivitas tipe lambat. Klasifikasi ini
membantu menghubungkan antara gejala klinis dengan mekanisme imun.

PATOGENESIS

Patogenesis terjadinya sindroma DRESS belum diketahui secara pasti, tetapi diduga
faktor farmakologi, imunologi dan genetik ikut berpengaruh. Penelitian
imunohistologi terbaru menunjukkan peran utama sel T pada reaksi kulit yang
dicetuskan oleh obat. Penelitian tersebut menunjukkan fungsi sel T yang berbeda
dapat dikaitkan dengan gambaran klinis yang berbeda dari alergi obat. Sel T
mengenali antigen dalam bentuk peptida yang kecil yang disajikan oleh MHC I atau
II. Obat dapat bersifat imunogenik berdasarkan 3 mekanisme:

Obat bereaksi secara kimiawi dan mengikat seperti hapten pada


ikatan sel yang lebih besar, seperti penisilin, sefalosporin.

Obat yang lain tidak bereaksi secara kimiawi namun


dimetabolisme menjadi senyawa reaktif (konsep prohapten).
Interaksi farmakologi dengan reseptor imun atau
pharmacological interaction of drugs with immune receptors (p-i-concept).

Sel T yang spesifik untuk obat tertentu dapat menginduksi dan merangsang pelepasan
sitokin dan kemokin yang berbeda. Pada suatu keadaan respons sel T spesifik, baik Th
1 dan Th 2 dapat ditemukan, berdasarkan analisis secara in vitro ditemukan gambaran
sel Th 2 lebih menonjol. Pada lesi kulit terlihat adanya Interferon-g dan IL-5.
Peningkatan IL-5 merupakan faktor yang berperan pada pertumbuhan, diferensiasi
dan aktivasi dari eosinofil. Pada reaksi ini biasanya terdapat peningkatan dari
eosinofil.

Pandangan baru mengenai konsep biologi sel T dan heterogenitasnya membagi tipe
IV reaksi hipersensitivitas tipe lambat berdasarkan produksi sitokin yakni, Th 1 untuk
tipe IVa, Th 2 untuk tipe IV b dan sel T sitotoksik untuk tipe IVc. Sel T
mengakibatkan aktivasi monosit/makrofag, dikenal dengan reaksi tipe IVa. Respons
imun ini mungkin berhubungan dengan reaksi Th 1, yang mengarah ke reaksi tipe
lambat. Keadaan ini berbeda dengan peradangan yang didominasi oleh eosinofil yang
disebabkan oleh respons Th 2 di mana produksi IL-5 meningkat (tipe IVb). Sel T
sitotoksik (CD4 dan CD8) mempunyai peranan yang penting pada respons imun dan
eksantem yang diinduksi oleh obat (tipe IVc).
MANIFESTASI KLINIS
8,9
Sindroma DRESS seringkali terjadi pada paparan pertama kali dengan obat. Pada
sindroma DRESS dikenal trias yaitu: 1) demam, 2) erupsi kulit, 3) keterlibatan organ
internal/kelainan sistemik.4 Demam dan malaise biasanya merupakan tanda yang
pertama kali muncul. Demam dapat terjadi 23 hari sebelum atau bersamaan dengan
erupsi kulit. Demam berkisar antara 3839 C. Erupsi kulit muncul antara 18
2,4,5
minggu setelah terpapar dengan obat penyebab atau 2 bulan pertama. Erupsi kulit
bervariasi, dapat menyerupai makulopapular pada hampir 95% kasus, vesikobulosa,
papulopustular, eritroderma atau dermatitis eksfoliatif dan biasanya selalu disertai
gejala gatal.2 Keterlibatan mukosa jarang ditemukan, tetapi seandainya ada biasanya
hanya berupa stomatitis atau faringitis yang ringan. Gejala yang lain adalah adanya
limfadenopati (> 2 cm), biasanya di daerah servikal, tetapi dapat juga menyeluruh.
Kelainan sistemik/keterlibatan organ internal pada sindroma DRESS dapat
asimtomatik atau dapat timbul reaksi setelah 12 minggu. Kelainan sistemik yang
sering ditemukan adalah gangguan pada hati, berupa hepatitis, nekrosis hati dan gagal
hati.2 Ginjal merupakan organ kedua yang sering terkena setelah hati dengan kelainan
berupa nefritis interstisial.

PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk membedakan sindroma DRESS dengan
reaksi alergi obat lainnya dan juga untuk mengidentifikasi keterlibatan organ dalam
yang bersifat asimtomatik. Pada pemeriksaan laboratorium darah, ditemukan kelainan
hematologi berupa eosinofilia (90%), limfosit atipik dan terkadang leukositosis.4
Eosinofilia biasanya lebih dari 1,5109/L. Pada pemeriksaan fungsi hati. Aspartate
Transaminase (AST) ditemukan nilai AST 2x normal. Pada pemeriksaan fungsi
ginjal, urinalisis dan serum kreatinin ditemukan adanya sel darah merah dan sel darah
putih pada urin.

Pemeriksaan biopsi kulit biasanya didapatkan gambaran yang tidak spesifik. Pada
pemeriksaan terlihat adanya infiltrat limfosit non-spesifik pada papilla dermis yang
mungkin mengandung eosinofil dan pada umumnya terlihat lebih tebal dibandingkan
dengan reaksi alergi obat lainnya.3 Pada pemeriksaan mikroskopik dari biopsi kulit,
pada seorang penderita sindroma Hipersensitivitas dapson, terlihat adanya infiltrasi
sel inflamasi terutama sel mononuklear, terutama di perivaskular, interstisial dan area
periadneksal dari dermis. Sel inflamasi ini banyak mengandung limfosit dan eosinofil.
Pada epidermis terlihat adanya akantosis fokal dan iregular, spongiosis sedang,
parakeratosis fokal dan perubahan vakuolar fokal pada lapisan basal. Pada lapisan
dermis terlihat adanya kongesti kapiler dan ekstravasasi eritrosit. Biopsi pada ginjal
dilakukan untuk melihat adanya nefritis intertisial.

DIAGNOSIS BANDING

Beberapa penyakit yang merupakan diagnosis banding sindroma DRESS antara lain:
Stevens Johnson Syndrome (SJS)/Toxic Epidermal Necrolycis (TEN), sindroma
hipereosinofilia dan penyakit Kawasaki.

TATALAKSANA

Penatalaksanaan utama pada sindroma DRESS adalah segera mengenali dan


menghentikan obat penyebab.2 Fitzpatrick dan kawan-kawan menyarankan pemberian
prednison dengan dosis 0,51 mg/kgBB. Dosis ini dipertahankan sampai tidak ada
perburukan yang lebih lanjut dari penyakit ini. Setelah itu dosis dapat diturunkan
perlahan-lahan dengan dosis penurunan rata-rata 20% per hari.8 Beberapa ahli yang
menyarankan untuk menggunakan dosis prednisolon 12 mg/kgBB/hari bila
manifestasi
klinis memburuk. Keluhan simptomatik dapat dikurangi dengan pemberian terapi
simptomatik seperti antihistamin dan topikal kortikosteroid. Follow-up dilakukan 3
minggu setelah munculnya reaksi awal dan selanjutnya setelah 3 bulan. Oleh karena
sindroma DRESS ini berhubungan dengan faktor genetik, maka beberapa ahli
menyarankan untuk melakukan konseling keluarga. Selain itu juga perlu dilakukan
lymphocyte toxicity assays untuk mengetahui agen penyebab dan agen yang
memberikan reaksi silang. Pada lymphocyte toxicity assays dilakukan inkubasi pada
limfosit dengan atau tanpa mikrosom murin hepatik. Viabilitas limfosit tergantung
pada aktivitas dari mitochondrial succinate dehydrogenase (SDH), yang dipastikan
dengan spectrophotometrically.9
James WD, Berger TG, Elston DM. Andrews Diseases of the
skin: Clinical Dermatology. 10 th ed. Philadelphia: WB Saunders Company;
2006.
Arthur CH, Hypersensitivity Syndrome (DRESS). Dermatol
Online J 8(1), 2002. Available from URL:
www.medscape.com/viewarticle/440404_3.

McKenna JK, Leiferman KM. Dermatologic Drug Reactions.


Philadelphia: WB Saunders Company; 2004.

Rademaker M. Drug Hypersensitivity Syndrome. Prescriber


Update Articles; 2003:

Obermoser G, Zelger B. Fever, Eosinophilia, Rash. Jurnal of


the American Academy of Dermatology; 2006: Vol. 54. P. 9134. Available
from URL: http:// www.eblue.org/article/S0190-9622(05)04953-4/fulltext.

Kano Y, Seishima M, Shiohara T. Hypogamma- globulinemia


as an early sign of drug-induced hypersensitivity syndrome. Jurnal of the
American Academy of Dermatology; 2006: Vol 55. P. 7278. Available from
URL: http://www.eblue.org/article/ S0190-9622(06)00566-4/fulltext.

Pirmohamed M. Genetic Factor in the Predisposition to Drug-


induced Hypersensitivity Reaction. The AAPS Journal; 2006. Available from
URL: http://www.aapsj. org.

Shear NH, Knowles SR, Shapiro L. Cutaneous Reactions to


Drugs. In: Freedberg IM, Eisen AZ, Walff K, Ansten KF, Goldsmith, LA,
Katz SI, editor. 7th ed. New York: McGraw-Hill; 2003. p. 35561.

Harper J, Oranje A, Prose N. Exanthematous eruptions, Drug


Hypersensitivity Symdrome (DHS). Textbook of Pediatric Dermatology. 2nd
ed. Oxford: Blackwell; 2006.

AGEP (Acute Generalized Exanthematous Pustulosis)

DEFINISI

Acute Generalized Exanthematous Pustulosis (AGEP) atau Pustulosis eksantematosa


generalisata akut pustuloderma adalah suatu keadaan (PEGA) atau dikenal sebagai
pustular drug inflamasi pada kulit dan membran mukosa rash, pustular eruption, atau
toxic yang jarang terjadi, ditandai oleh onset yang akut dari pustul-pustul steril non-
folikular dan disertai resolusi yang cepat.

EPIDEMIOLOGI

Insidens PEGA lebih sedikit dibandingkan reaksi alergi obat lainnya. Data dari studi
retrospektif tahun 1992- 2007 yang dilakukan di satu pusat kesehatan di Taiwan
mendapatkan 16 pasien yang memenuhi kriteria EuroSCAR scoring system dan
dibagi menjadi 2 kelompok berdasarkan etiologinya; 10 pasien diduga disebabkan
oleh obat sistemik dan 6 pasien yang bukan disebabkan karena obat. Semua pasien
tersebut diterapi dengan kortikosteroid sistemik, baik oral maupun injeksi. Tahun
2009 ditemukan 7 kasus PEGA yang disebabkan kombinasi obat parasetamol
dilaporkan dalam database WHO Global Individual Case Safety Reports (ICSR).
Meskipun kasus PEGA jarang ditemukan pada anak tetapi sebuah studi retrospektif
dari Cina menemukan 20 kasus selama periode tahun 1990-2008. Data karakteristik
demografik dari populasi studi yang dilakukan oleh EuroSCAR tahun 2007
menunjukkan bahwa pasien PEGA lebih banyak ditemukan pada perempuan
dibandingkan laki-laki dengan rerata usia 56 tahun.

ETIOLOGI

Sekitar 90% kasus PEGA disebabkan oleh reaksi hipersensitifitas terhadap obat.
Berdasarkan hasil penelitian EuroSCAR, obat-obatan dibagi atas yang berisiko tinggi,
kurang berisiko, maupun yang tidak berhubungan dengan PEGA. Obat-obatan yang
berisiko paling tinggi untuk menyebabkan PEGA meliputi pristinemisin,
aminopenisilin, kuinolon, hidroksiklorokuin, golongan sulfonamide, terbinafrin, dan
diltiazem. Obat yang kurang berisiko antara lain ialah kortikosteroid, antibiotik
golongan makrolid, oxicam anti-inflammasi non- steroid (AINS), dan semua
antiepilepsi kecuali valproic acid. Dilaporkan pula obat-obatan yang sering digunakan
atau diketahui berisiko menimbulkan sindrom Steven-Johnson/nekrolisis epidermal
toksik (NET) tetapi tidak berhubungan secara bermakna terhadap angka kejadian
PEGA ialah asetaminofen, benzodiasepin, inhibitor ACE, beta bloker, asam
asetilsalisilat, calcium channel blocker (CCB), diuretik golongan tiazid, alopurinol,
dansefalosporin.

Reaksi sensitivitas terhadap merkuri, pemberian vaksinasi pada populasi pediatri serta
gigitan laba-laba juga diduga menjadi faktor penyebab PEGA. Infeksi diduga dapat
menyebabkan terjadinya PEGA namun belum didapatkan banyak bukti, tetapi
beberapa laporan menyebutkan bahwa infeksi virus (infeksi parvovirus,
sitomegalovirus, dan coxackie B4 virus) berhubungan dengan PEGA. Infeksi saluran
kemih berulang serta pneumonia juga pernah dilaporkan sebagai penyebab PEGA.
Pada analisis multivariat yang dilakukan oleh EuroSCAR tahun 2007 tidak ditemukan
faktor risiko yang bermakna terhadap infeksi yang dapat menyebabkan PEGA. Reaksi
tersebut diduga kuat karena penggunaan terapi anti- infeksi yang diresepkan untuk
penanganan penyakit dan bukan karena infeksi tersebut.

PATOFISIOLOGI

Patofisiologi erupsi obat pada kulit belum diketahui secara jelas namun dapat
disebabkan oleh proses imunologik, klasifikasi mekanisme imun dari Gell dan
Coombs, maupun non imunologik. Salah satu yang melibatkan proses imunologik
ialah PEGA dan dikategorikan dalam reaksi hipersensitifitas tipe IV Gell dan Coombs
yaitu reaksi hipersensitifitas yang tertunda (delayed hypersensitivity) karena
dimediasi oleh sel T. Setelah konsumsi obat, antigen-presenting cells (APCs)
mengakti- vasi sel T reaktif spesifik obat yaitu major histocompatibility complex
(MHC) kelas I (CD4+) dan MHC kelas II (CD8+) di kelenjar getah bening. Obat akan
terikat secara kovalen pada kompleks peptida/ MHC dan non-kovalen, diikuti dengan
migrasi ke dermis dan epidermis. Fase II, drug-presenting keratinocytes di MHC kelas
I dan sel-sel Langerhans (di MHC kelas I dan II) menstimulasi sel T untuk
memroduksi kemokin poten CXCL8 (interleukin 8) yang bertanggung jawab untuk
mengawali proses aktivasi dan perekrutan neutrofil dalam proses peradangan
dimediasi oleh nerofil pada kulit yang disebabkan oleh sitotoksisitas obat dan sitokin
inflamasi serta faktor kemotaktik seperti IL-5, interferon-gamma (IFN-),
granulocyte-macrophage colony- stimulating factor (GM-CSF), yang akan mengubah
faktor pertumbuhan (TGF-) dan regulated on activation, normal T cell expressed and
secreted (RANTES). Sel T spesifik obat baik CD4(+) maupun CD8(+) keduanya
bersifat sitotoksik dan akan mengakibatkan sekresi sitokin. Sel T menghasilkan
perforin/granzyme B dan mengaktifkan mekanisme Fas/FasL-killing yang akan
mengakibatkan kematian keratinosit sehingga terjadi kerusakan jaringan dan
memungkinkan pembentukan vesikel subkorneal yang berisi sel CD4+. Fase lanjut
ditandai dengan peningkatan jumlah neutrofil di lokasi peradangan ke molekul adesi
(misalnya ICAM-1). Migrasi neutrofil polimorfonuklear (PMN) ini bersamaan dengan
meningkatnya CXCL8 melewati dermis dan epidermis masuk ke dalam dan mengisi
vesikel sehingga terbentuk pustul yang steril.

Studi akhir-akhir ini menyatakan kemungkinan keterlibatan IL-8 keratinosit dan obat
yang dapat mengaktivasi sel Th17 pada patogenesis PEGA. Sel Th17 dan IL- 22
sebagai produk utamanya ditemukan meningkat nilainya pada pasien PEGA bila
dibandingkan kelompok kontrol. Interleukin-17 dan IL-22 menstimulasi keratinosit
untuk memroduksi IL-8 sehingga terbentuk infiltrat subkorneal berisi neutrofil yang
merupakan karakteristik dari PEGA.

Predisposisi genetik juga diduga menjadi dasar pemicu reaksi serta perubahan
neutrofil tetapi masih sedikit data yang mendukung hal ini. Bernhard et al.
menemukan peningkatkan ekspresi HLA pada pasien dengan PEGA bila
dibandingkan dengan populasi umum.

GAMBARAN KLINIS

Gambaran klinis yang khas dari PEGA berupa erupsi akut pustul steril non- folikular
diatas kulit yang eritematosa, diawali ataupun disertai keluhan pruritus dan demam
(>38C). Timbul pustul kecil seperti kepala peniti berukuran <5 mm, berwarna putih,
di atas dasar kulit yang eritema edematous dan kadang-kadang didapatkan gambaran
seperti tanda Nikolsky yang positif. Predileksi lesinya pada area lipatan tetapi pada
umumnya tersebar. Walaupun jarang, lesi PEGA bisa atipikal termasuk edema wajah,
purpura, blister, maupun menyerupai lesi target. Kelainan PEGA dapat sembuh
sendiri namun erupsi pustular pada kulit dapat bertahan hingga 9 hari (rerata 4-14
hari) kemudian diikuti oleh resolusi spontan yang disertai deskuamasi. Keterlibatan
membran mukosa ditemukan pada 20% kasus, umumnya ringan dan hanya mengenai
salah satu area mukosa (kebanyakan berupa erosi di mulut dan lidah). Limfadenopati
dilaporkan pada beberapa kasus. Periode waktu setelah minum obat sampai timbul
kelainan kulit bervariasi. Sidorof et al. membagi dalam dua kelompok berdasarkan
pola reaksi PEGA: kelompok pertama dengan onset yang cepat yaitu hanya dalam
beberapa jam hingga 2-3 hari setelah minum obat (terutama antibiotik) dan kelompok
kedua dengan interval waktu yang lebih lambat yaitu 1-3 minggu. Pada onset yang
cepat diduga akibat sensitisasi yang pernah terjadi sebelumnya dan pola reaksi yang
lebih lambat merupakan hasil dari sensitisasi primer.

Skor validasi dari studi EuroSCAR


digunakan untuk membantu penegakan diagnosis PEGA.

PEMERIKSAAN HISTOPATOLOGIS

Pemeriksaan histopatologik diambil dengan cara biopsi dari pustul kecil kemerahan
yang umumnya subkorneal sampai intraepidermal. Pemeriksaan histopatologik
menunjukkan gambaran khas pustul spongiformis sub/intrakorneal, intraepidermal
maupun gabungan keduanya yang ditemukan lebih dari 90% kasus. Meskipun pustul
umumnya non-folikular namun pada sekitar seperempat pasien PEGA didapatkan
pustul folikular. Gambaran utama dari epidermis berupa keratinosit nekrotikan dan
spongiosis yang disertai eksositosis neutrofil, sedangkan pada dermis didapatkan
edema papila. Daerah superfisial, intersisial, mid/deep dermis dipenuhi oleh infiltrat
berisi campuran neutrofil dan eosinofil. Meskipun tidak khas tetapi bisa ditemukan
gambaran vaskulitis leukositoklastik.

PEMERIKSAAN LABORATORIUM

Abnormalitas hasil laboratorium pada pasien PEGA umumnya tidak spesifik.


Kenaikan hitung neutrofil (>7.109/l) dari pemeriksaan laboratorium ditemukankan
pada 90% kasus. Adanya peningkatan eosinofilia ringan di sekitar 30% kasus PEGA.
Fungsi renal sedikit menurun (bersihan kreatinin <60 mL/min) pada 30% kasus,
dengan gambaran pre-renal azotemia. Hipokalsemi dan peningkatan ringan dari
aminotransferase (<2x nilai tertinggi normal). Pada umumnya tidak didapatkan
keterlibatan organ internal. Pada beberapa studi didapatkan HLA B 51, DRB 107, DR
11, dan DQ 3 lebih banyak pada pasien PEGA dibandingkan populasi umum sehingga
diduga terdapat hubungan antara kejadian PEGA dengan genetik tertentu.

DIAGNOSIS BANDING

Diagnosis banding pada kasus PEGA meliputi psoriasis pustulosa tipe Von
Zumbusch, subkorneal pustular dermatosis, vaskulitis pustular, sindroma reaksi
hipersensitifitas, atau pada kasus PEGA yang berat dapat menyerupai NET. Diagnosis
banding yang paling mendekati yaitu psoriasis pustulosa tipe Von Zumbusch dan
subkorneal pustular dermatosis.

Psoriasis pustulosa tipe Von Zumbusch

Psoriasis pustulosa tipe Von Zumbusch atau psoriasis pustulosa generalisata akut
(PPGA) memiliki gambaran lesi kulit berupa pustul steril dengan diameter 2-3 mm
yang timbul diatas plak eritematosa tersebar merata dari batang tubuh, ekstremitas,
dan seluruh tubuh. Perbedaan gambaran klinis yaitu pada PPGA, pustul berkonfluen
membentuk formasi lake of pus berukuran beberapa sentimeter. Sebelum timbul lesi
kulit dapat diawali dengan keluhan sistemik yaitu demam, menggigil, nyeri kepala,
malaise, dan anoreksia. Perubahan gambaran histopatologik seperti hiperkeratosis,
para- keratosis, stratum granulosum menipis, pemanjangan rete ridge, indeks mitosis
tinggi, dan penipisan suprapapillary plate jauh lebih menonjol pada PPGA.

Subkorneal pustular dermatosis

Subkorneal pustular dermatosis (SPD) adalah penyakit inflamasi kulit yang jarang
terjadi dan bersifat kronik-rekuren. Penyakit ini umumnya didapatkan pada jenis
kelamin perempuan berusia di atas 40 tahun dengan etiologi belum diketahui.
Gambaran klinis yang khas berupa pustul ataupun vesikel yang dengan cepat berubah
menjadi pustul di atas dasar kulit eritematosa, menyebar ke perifer, central healing,
dan menyembuh meninggalkan area eritematosa berbentuk polisiklik disertai
munculnya lesi baru. Lesi mengenai area intertriginosa, batang tubuh, dan daerah
fleksural ekstremitas. Pemeriksaan histopatologik ditemukan pustul subkorneal
dengan neutrofil dan sedikit eosinofil. Pada epidermis hampir tidak didapatkan
adanya perubahan, bila ada hanya berupa edema intresel ringan. Pada lesi yang
matang didapatkan akatolitik, pembuluh darah superfisial disertai infiltrasi sel radang
berisi neutrofil polimorfik dan sel mononuklear di dermis.
TATALAKSANA

Pengobatan spesifik pada PEGA umumnya tidak diperlukan dikarenakan karakter


penyakit yang dapat sembuh sendiri. Tidak ada terapi yang tersedia untuk mencegah
perluasan lesi dan penurunan lebih lanjut dari kondisi umum pasien.

Penghentian terapi obat yang diduga penyebab merupakan pilihan utama. Pengobatan
simtomatis seperti antipiretik maupun antihistamin dapat digunakan untuk
meringankan keluhan pasien. Antibiotik harus digunakan ketika terdapat diagnosis
infeksi yang jelas. Pada kebanyakan kasus dapat digunakan kortikosteroid sistemik,
dan kasus yang jarang dapat diberikan infliximab dan etanercept yang dapat dengan
cepat menghentikan terbentuknya pustul dan mempercepat resolusi putul.

PROGNOSIS

Prognosis PEGA umumnya baik dan dapat sembuh sendiri, terutama setelah
penghentian obat yang diduga sebagai penyebab, kecuali bila didapatkan adanya
infeksi sekunder pada lesi atau pasien usia lanjut dengan demam tinggi.
TEN (TOXIC EPIDERMAL NECROLYSIS)
DEFINISI

Nekrolisis epidermal toksik ialah penyakit berat, gejala kulit yang terpenting ialah
epidermolisis generalisata dapat disertai kelainan pada selaput lendir di orifisium dan
mata.(2)Nekrosis epidermal toksik dan Steven-Johnson sindrom merupakan reaksi
akut mukokutaneus yang mengancam berupa nekrosis dan pelepasan epidermis yang
luas.(1)

EPIDEMIOLOGI

Penyakit NET ini bisa terjadi pada segala kelompok umur, dan meningkat pada usia
kepala empat, dan wanita lebih sering terkena. Tingkat kematian rata-rata pada NET
adalah 20-25%. Usia yang lebih tua, kelainan yang bermakna, dan daerah kulit yang
lebih banyak terlibat berhubungan dengan prognosis yang buruk. Kelompok pasien
yang berisiko, yaitu pasien dengan imunitas yang rendah (HIV, Limfoma) dan pasien
dengan tumor otak yang menjalani radioterapi dan menerima anti epilepsi.(1, 3)

Diseluruh dunia insidens NET mencapai 0,4-1,3 kasus per 1 juta populasi, di Perancis
survei yang dilakukan oleh dermatologists melaporkan insidens NET mencapai 1
kasus per 1 juta penduduk. Di amerika serikat kejadian NET dilaporkan sekitar 0,22-
1,23 kasus per 100,000 populasi.(7)

Djuanda dkk dalam bukunya dikatakan jika dibandingkan dengan Sindrom Stevens-
Johnson (SSJ), penyakit Nekrolisis epidermal toksik lebih jarang. Hanya ada 2-3
kasus setiap tahun. (2)

Tingkat mortalitas NET mencapai 34% sampai 40%. Tingkat mortalitas ini tidak
dipengaruhi oleh jenis obat. Saat ini tingkat kejadian NET meningkat sekitar 1 kasus
per seribu populasi per tahun pada populasi HIV-positif. Peningkatan insiden NET
pada penderita HIV disebabkan penggunaan sulfonamid pada penderita.(8)

ETIOLOGI

Penyebab dari NET masih belum jelas, namun ditemukan bahwa obat-obatan
merupakan salah satu faktor penting. Obat-obatan yang beresiko tinggi yaitu
sulfonamid, antikonvulsan aromatik, allopurinol, anti inflamasi non-steroid,
lamotrigin, dan nevirapin. Ada juga obat dengan resiko lebih rendah yang dilaporkan
jenis antibiotik non-sulfonamid seperti aminopenicilin, kuinolon, sepalosporin, dan
tetrasiklin. Mekanisme fisik seperti radioterapi dalam hal ini penangan dengan obat
anti-epilepsi seperti phenytoin, fenobarbital, atau karbamazepin dapat menimbulkan
NET dengan cara radiasi.(1)
Penyebab utama NET yang ditemukan yaitu allergi obat yang berjumlah 80-95% dari
semua pasien. Pada penelitian yang dilakukan selama lima tahun (1998-2002)
penyebab utama ialah derivat pensilin (24%), disusul oleh parasetamol (17%), dan
karbamazepin (24%). Penyebab yang lain adalah analgetik/antipiretik, yang lain,
kotrimokzasol, dilantin, klorokuin, seftriakson, jamu dan aditif.(2)
Selain karena obat, NET dapat pula diinduksi oleh infeksi atau bersifat idiopatik.
Namun obat merupakan penyebab tersering, dilaporkan bahwa lebih dari 100 jenis
obat dapat menyebabkan terjadinya NET..(9)

Tabel 1. Jenis dan nama obat yang sering menyebabkan NET.


Jenis Obat
Nama Obat
Antibiotik
Sulfonamides 94,5 kasus per 1 juta pengguna per minggu
Chloramphenicol
Macrolides (eritromisin)
Penisilin
Quinolon (ciprofloxacin, trovafloxacin)

Anticonvulsan

Phenobarbital
Phenytoin
Carbamazepin
Valproic acid
Lamotrigine
NSAIDs
Phenylbutazone dan oxybutazone
Oxicams

Ibuprofen
Indomethacin
Sulindac
Tolmetin

PATOGENESIS

Mekanisme yang jelas sehingga obat dapat menyebabkan timbulnya NET belum
diketahi secara pasti. Tetapi, mekanisme imunologis, metabolit obat yang mengalami
reaktivasi dan interaksi diantara keduanya diduga merupakan patogenesis timbulnya
NET.(10)

Meskipun rangkaian yang tepat dari peristiwa molekul dan seluler belum di mengerti
secara lengkap, beberapa studi telah memberikan petunjuk penting tentang
patogenesis dari NET. Menurut Adhi djuanda dan Mochtar Hamzah (2009), NET
ialah bentuk parah dari SSJ. Sebagian kasus-kasus SSJ berkembang menjadi NET.
Imunopatogenesis yakni merupakan reaksi tipe II (sitolitik). Studi immunopatologik
mendemonstrasikan kemunculan dari CD8+ limposit T pada epidermis dan dermis
dalam reaksi bentuk bulla, dengan ciri-ciri sel yang mirip natural killers pada fase
awal, dimana monosit akan muncul pada fase akhir. Beberapa sitokin penting yaitu
interleukin 6, TNF-, dan Fas-L juga muncul pada lesi kulit pasien NET. TNF
mungkin juga berperan penting. Molekul ini muncul pada lesi epidermis, cairan
lepuh, dan dalam sel mononuclear perifer dan makrofag. Sekarang ditemukan teori
genetika yang juga berperan penting. Penemuan di Han cina antara NET-
carbamazepine dengan HLA-B1502 sangat berhubungan, meskipun tidak muncul
pada pasien Eropa yang tidak memiliki keturunan Asia.(1, 2)

Pada penderita NET ditemukan, keratinosit mengalami apoptosis yang luas. Kondisi
ini dipicu oleh adanya gangguan detoksifikasi metabolit obat yang bersifat reaktif.
Hal ini kemudian menginisiasi respon sistem imun tubuh membentuk kompleks
antigen yang kemudian menghasilakn sitokin-sitokin seperti interleukin (IL)-6, TNF-
, interferon-, IL-18 dan Fas Ligand (FasL). Pada kondisi normal, apoptosis sel
segera dieliminasi pada tahap awal oleh fagosit. Namun, pada kondisi seperti NET
apoptosis yang luas terjadi sehingga kemampuan fagosit untuk mengeliminasi sel
yang apoptosis terbatas sehingga sel menjadi nekrosis dan menghasilkan komponen
intraseluler, yang menyebabkan respon inflamasi.(3)

Pada kulit yang normal FasL yang disajikan oleh keratinosit sangat rendah dan
terlokalisir di dalam sel (intraseluller). Pada lesi akibat NET, ditemukan level FasL
yang disajikan oleh kratinosit tinggi dan terletak dipermukaan luar sel (ekstraseluler)
sehingga terjadi interaksi antara Fas dan FasL. Setelah kontak terjadi FasL
menginduksi Fas multimerasi dan mengirimkan signal yang cepat sehingga terjadi
kematian cell akibat apoptosis. Semakin lausnya apoptosis semakin menyebabkan
destruksi epidermis yang luas pula.(3)

GAMBARAN KLINIS
NET merupakan penyakit yang berat dan sering menyebabkan kematian karena
gangguan keseimbangan cairan/elektrolit atau karena sepsis. NET mulai dalam 8
minggu atau biasanya 4-30 hari setelah terpapar oleh obat.(1, 2)

Gambar 1. Kematian pada kasus NET.


(dikutip dari kepustakaan no 8)

Penyakit ini dimulai secara akut dengan gejala prodromal. Pasien tampak sakit berat
dengan demam tinggi, kesadaran menurun (soporokomatosa). Gejala lain berupa sakit
kepala, rhinitis, dan myalgia muncul lebih awal 1 sampai 3 hari dari lesi kulitnya.
Kelainan kulit mulai dengan eritema generalisata kemudian timbul banyak vesikel
dan bula, dapat pula disertai purpura. Lesi pada kulit dapat disertai lesi pada bibir dan
selaput lendir mulut berupa erosi, ekskoriasi, dan pendarahan sehingga terbentuk
krusta berwarna merah hitam pada bibir.(1, 2)

TEN yang biasa juga disebut sindrom Lyells, memiliki karakteristik sebagai
berikut(11):
Nekrosis epidermis yang tebal disertai lepuhan, tanpa disertai
inflamasi dari dermis yang mengenai >30% permukaan tubuh.

Terdapat dua atau lebih mukosa yang erosi (orofaring, hidung,


mata, traktus genitalia, dan traktus respiratoris)

Pada NET yang terpenting ialah terjadinya epidermolisis, yaitu epidermis yang
terlepas dari dasarnya yang kemudian menyeluruh. Adanya epidermolisis
menyebabkan tanda Nikolsky positif pada kulit yang eritematosa, yaitu jika kulit
ditekan dan digeser, maka kulit akan terkelupas. Pada sebagian para pasien kelainan
kulit hanya berupa epidermolisis dan purpura, tanpa disertai erosi, vesikel, dan bula,
kuku dapat pula terkelupas (onikolisis).(2)

Gambar 2. Epidermiolisis yang luas pada kasus peralihan sindrom Steven-Johnson dan
NET

(diambil dari kepustakaan no.5)

DIAGNOSIS

Diagnosis dapat ditegakkan dengan melihat gambaran klinik dan histopatologi.


Gambaran klinik meliputi eritema dan makula yang luas. Disertai tanda Nikolsky
positif yang dapat timbul jika dilakukan penekanan pada kulit.(12)
Gambar 3: Gambar histopatologi nekrolisis epidermal toksik. A: nekrosis
epidermisdengan sedikit reaksi dilapisan dermis pada stadium puncak. B. Pelepasan
epidermis dari dermis yang menyerupai lembaran

(diambil dari kepustakaan no. 1)

Biopsi dapat membantu dalam menegakkan diagnosis dengan melihat pemisahan


yang terjadi pada subepidermis dan seluruh epidermis menjadi nekrosis. Frozen
section juga dapat membatu dengan cepat membedakan antara NET dengan scalded
skin syndrom.(13)
Tidak ada pemeriksaan yang dengan pasti dapat membantu untuk mengetahui obat
mana yang menyebabkan timbulnya NET karena cara provokasi yang dianggap dapat
menentukan penyebab NET sangat berbahaya jika dilakukan. Namun, dilaporkan
teknik mengeliminasi obat yang dikonsumsi pasien tanpa harus diprovokasi terbukti
berhasil membantu mengeetahui penyebab NET. Teknik eliminasi obat tersebut
dilakukan dengan memenuhi syarat sebagai berikut:(11)
Kebanyakan obat yang menyebabkan NET
diberikan dalam kurun waktu 1-3 minggu sebelum terjadi
reaksi.

Obat-obat yang diberikan 48-72 jam terakhir


dicatat dapat menyebabkan NET

Obat yang tercatat diberikan kurang dari 24 jam


terakhir tetapi dikonsumsi dalam 3 minggu terakhir tidak
termasuk penyebab NET

DIAGNOSIS BANDING

Sindrom Steven-Johnson (SSJ)

Pada SSJ terlihat trias kelainan berupa: kelainan kulit, kelainan selaput lendir
diorifisium dan kelainan mata. Karena NET dianggap bentuk parah dari SSJ,
makanya hendak dicari apakah terdapat epidermolisis. Pada NET terdapat
epidermolisis generalisata yang tidak terdapat pada SSJ.(14)

Gambar 4 : makula eritem disertai pelepasan kulit pada beberapa area


yang ditemukan pada sindrom Steven-Johnson
(diambil dari kepustakan no.11)

Staphylococcus scalded skin syndrome

Staphylococcus scalded skin syndrome (SSSS) merupakan penyakit yang


ditandai dengan munculnya lepuhan-lepuhan pada kulit yang disebabkan racun
yang dihasilkan oleh Staphylococcus aureus.(15)
Epidermolisis yang terjadi pada Staphylococcus scalded skin syndrome mirip
dengan nekrolisis epidermal toksis, hanya saja pada Staphylococcus scalded
skin syndrom epidermolisis hanya terbatas pada stratum korneum. Dari segi
usia, nekrolisis epidermal toksik muncul pada usia dewasa sedangkan
staphylococcus scalded skin syndrom muncul pada bayi dan anak-anak.(15)

Gambar 5: SSSS yang terjadi generalisata pada neonatus.


(diambil dari kepustakaan No.14)

Pemfigus

Berdasarkan gambaran histopatologinya dapat didefersiasi dengan penyakit


pemfigus. Pemfigus nampak sama dengan NET hanya saja pada pemfigus
perjalanan penyakitnya lambat dan lebih terlokalisasi.(13)

Pemfigus merupakan suatu penyakit serius yang bersifat akut maupun kronik,
yang disebabkan oleh proses autoimun. Keadaan umum biasanya buruk, lesi
biasanya dimulai pada mukosa mulut, lesi tersebut biasanya berlangsung
berbulan-bulan sebelum timbul bulla generalisata. Penyakit ini tidak disertai
gatal tetapi nyeri dan rasa terbakar sering dikeluhkan oleh penderita pada
daerah yang mengalami erosi dan bulla.(16)

Bulla yang timbul berdinding kendur, mudah pecah, dengan meninggalkan


kulit terkelupas dan diikuti oleh pembentukan krusta yang lama bertahan di
atas kulit yang terkelupas tersebut. Bulla dapat timbul di atas kulit yang
tampak normal atau yang eritematous. Tanda nikolskiy positif disebabkan oleh
adanya akantolisis.(17)

Gambar 6: Bulla dan erosi yang luas pada pasien pemfigus vulgaris

(diambil dari kepustakaan no 16)

Sistemik Lupus eritematous

Penyakit vesickobulosa yang mirip dengan NET juga ditemukan pada pasien
Lupus eritematous akut dan subakut yang tidak diobati. Sontheimer dkk
memperkenalkan acute syndrome of apoptotic pan-epidermolysis untuk
menggambarkan sindrom klinis ini. (3)

Gambar 7: Subakut kutaneus Lupus eritematous. Berupa plak eritematous pada


badan dan leher penderita
(dikutip dari kepustakaan no. (18))
Luka bakar dan foto toksik

Luka bakar dan foto toksik dapat dihubungkan dengan NET jika dilihat dari
nekrosis epidermal yang terjadi. Tetapi, jika dilihat dari gambaran klinik
secara keseluruhan dan riwayat serta distribusi lesinya sebenarnya berbeda. (3)

Gambar 8. Gambaran Nekrolsis epidermal toksik yang menyerupai


luka bakar. Tampak kemerahan dan terdapat lepuhan.
(diambil dari kepustakaan 11)

TATALAKSANA

Jika NET disebabkan oleh pengunaan obat, maka obat yang diberikan tersebut
dihentikan penggunaanya. Selain itu, penatalaksanaan dilakukan secara simptomatik.
Perawatan yang intensif dan dukungan medis dibutuhkan, seperti pemasangan central
venous line, pemberian cairan intravena dan elektrolit. Beberapa pasien memerlukan
perawatan seperti layaknya luka bakar. Beberapa pendapat tidak menganjurkan
penggunaan kortikosteroid, tetapi jika diberikan hanya boleh diberikan dalam jangka
waktu yang singkat. Pemberian IgG dapat dipertimbangkan.(13)

Terapi Topikal
Meskipun lepuhannya sangat mudah pecah tapi jika belum juga pecah dapat kita
pecahkan dan kemudian diberi salep clorheksadine, octenisept atau polyhexadine
solution. Selain itu, penggunaan disinfektan yang digunakan untuk berkumur juga
dibutuhkan pada pasien NET untuk mengobati erosi pada mukosa mulut dan juga
dibutuhkan dexphantenol untuk mengobati erosi dan krusta yang ada di derah bibir.
Penanganan multidisiplin dibutuhkan pada lesi yang mengenai mukosa uretra ataupun
mata. Oleh karena itu pasien juga dikonsul pada bagian lain, yaitu spesialis urologi
dan spesialis mata.(19)
Perawatan Supportif
Pasien ditempatkan pada suhu kamar (30-320C) dan dibaringkan di atas matras yang
mudah ditukar (alternating matrass). Pasien NET membutuhkan penggantian cairan
elektrolit (0,7/kgBB/% area tubuh yang terkena) dan albumin (5% human albumin, 1
ml/kgBB/% daerah yang terkena). Jika pasien tidak dapat makan secara langsung,
harus diberikan makanan melalui selang nasogastrik (1500 kalori dalam 1500 ml pada
24 jam pertama, dan dinaikkan 500 kalori hingga mencapai 3500-4000 kalori per
hari). Monitoring untuk pencegahhan infeksi diperlukan, jika terdapat tanda infeksi
pemeberian antibiotik dianjurkan dan menunggu hingga hasil kultur dan sensitivitas
keluar. Pemberian sedasi dan analgesik dianjurkan berdasrkan tingkat keparahan.(19)
Pemberian Immunoglobulin dan kortikosteroid
Djuanda (2009) mengatakan dalam bukunya, pengobatan yang dilakukan yaitu
dengan kortikosteroid. Cara pengobatan mirip dengan pengobatan pada Sindrom
Stevens Johnson (SSJ). Perbedaannya mengenai dosisnya, Nekrolisis epidermal
toksik (NET) lebih parah daripada SSJ sehingga dosis kortikosteroid lebih tinggi,
umumnya deksametason 40 mg sehari Intra vena dosis terbagi. Bila setelah dua hari
diobati dengan cara tersebut, masih juga timbul lesi baru hendaknya dipikirkan
kemungkinan alergi terhadap obat yang diberikanpada waktu rawat inap.(2)
Penggantian plasma menghasilkan remisi yang komplit dalam dua kali pemberian.
Plasmaparesis merupakan intervensi yang aman bagi pasien yang parah dan
menurunkan tingkat mortalitas. Intravena immunoglobulin G merupakan
penalatalaksanaan yang aman dan efektif untuk penderita NET dewasa dan anak-
anak. Penatalaksanaan dengan IVIG 3g/Kg dalam 3 hari atau 1g/Kg perhari untuk 3
hari direkomendasikan. Untuk mendapatkan hasil yang baik beberapa penulis
melaporkan dengan dosis maksimal 4g/Kg dalam 4 hari.(3, 8)

KOMPLIKASI
Toksik epeidermal nekrolisis merupakan kondisi kegawatdaruratan yang dapat
berakibat fatal. Infeksi dan kehilangan cairan serta elektrolit merupakan keadaan yang
mengancam. Nyeri yang dirasakan hampir di seluruh tubuh membuat pasien
menderita. Setelah fase akut terlewati kemungkinan menyebabkan timbulnya skar
pada kornea. Pasien NET juga sangat berisiko terkena hipotermi.(13, 20) Satu diantara
komplikasi yang parah adalah terkenanya epitel trakea dan bronkial yang tejadi pada
20% pasien. Hipoksemia, hipocapnia dan alkalosis metabolik adalah tanda penting
dibutuhkannya ventilasi mekanik, ketiga kondisi tersebut juga meningkatkan resiko
kematian.(19) Komplikasi pada ginjal berupa nekrosis tubular akut akibat terjadinya
ketidakseimbangan cairan bersama-sama dengan glomerulonefritis.(2)

PROGNOSIS
Jika penyebabnya infeksi, maka prognosisnya lebih baik daripada jika disebabkan
alergi terhadap obat. Kalau kelainan kulit meliputi 50-70% permukaan kulit,
prognosisnya buruk. Jadi luas kulit yang terkena mempengaruhi prognosisnya. Juga
bila terdapat purpura yang luas dan leukopenia. Angka kematian antara tahun 1999-
2004 (selama 5 tahun) hanya 16,0% jadi lebih tinggi dari pada SSJ yang hanya 1 %
karena NET memang lebih berat. Tingkat mortalitas pada pasien NET meningkat
pada pasien yang berusia lebih tua dan mengenai area tubuh yang luas. (2)
Lebih dari 50% pasien yang pernah menderita NET memiliki gejala sisa, meliputi
konjutiva sinekia, entropion, skar pada kulit, pigmentasi yang irreguler, nevus yang
eruptif, phimosis, vaginal sinekia, distrofi kuku, rambut rontok yang difus.(2,!2)

Untuk memprediksi tingkat mortalitas dilihat berdasarkan tujuh factor resiko


SCORTEN, yaitu:(21)
Umur > 40 tahun

Frekuensi nadi 120/menit

Riwayat keganasan

Meliputi >10% permukaan tubuh

Serum nitrogen urea >10 mmol/L

Serum bicarbonat< 20 mmol/L

Serum glukosa >14 mmol/L

Tiap poin di atas bernilai 1 point. Dan berdasrkan penilain diatasa prognosis
mortalitasnya yaitu; Skor 0-1, mortalitasnya 3,2%. Skor 2, mortalitasnya 12,1%, skor
3 mortalitasnya 35,8%, skor 4, mortalitasnya 58,3% dan skor =5 mortalitasnya 90%.(3)

DAFTAR PUSTAKA

1. Veleyrie-Allanore L, Roujeau J-C. Epidermal Necrolysis In: WOLFF


K, GOLDSMITH LA, KATZ SI, GILCHREST BA, PALLER AS, LEFFELL
DJ, editors. Fitzpatrick's Dermatology in General Medicine. 7th ed. New York:
McGraw.Hill; 2008. p. 349-55.

2. Djuanda A, Hamzah M. Nekrolisis Epidermal Toksis. In: Djuanda A,


Hamzah M, Aisah S, editors. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. kelima ed.
Jakarta: FKUI; 2009. p. 166-8.

3. Steven johnson sindrom dan Necrolysis epidermal toxic. 2 ed.


Bolognia JL, LJorizzo J, Rapini RP, editors: Mosby; 2008.
4. Breathnach SM. Erythema multiformis, Steven Jhonson sindrom,
Necrolysis epidermal toxic. In: Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffiths C,
editors. Rooks' Text of Dermatology. 7 ed. Australia: Blackwell; 2004. p. 74.1-
11.

5. Daili ESS, Menaldi SL, Wisnu IM. Penyakit Kulit Yang Umum Di
Indonesia. Eritema multiforme/Sindrom Steven-Johnson/Nekrolisis epidermal
toksik. 2005.

6. DO SJP. Steven Jhonson Sindrom and Toxic Epidermolysis. 2007;


Available from: http://link.springer.com/article.

7. Klein PA. Toxic Epidermal Necrolysis. 2011 [cited 2012 10 november


2012]; Available from: http://emedicine.com/article.

8. The Stevens-Johnson Syndrome/Toxic Epidermal Necrolysis Spectrum


of Disease. In: Habif TP, editor. Clinical Dermatology: A Color Guide to
Diagnosis and Therapy. 4 ed. Philadelphia, Pennsylvania: Mosby; 2004. p.
630-4.

9. Bullous Drug Reactions (Stevens-Johnson Syndrome and Toxic


Epidermal Necrolysis). In: William D James M, Timothy G Berger M, Dirk M
Elston M, editors. Andrews' Disease of The Skin Clinical Dermatology. 10 ed.
Philadelphia, USA: Saunders ELsevier; 2000. p. 129-30.

10. George J, Sharma A, Dixit R, Chhabara N, Sharma S. Toxic epidermal


necrolysis caused by fluconazole in a patient with human immunodeficiency
virus infection. Journal of Pharmacology and Pharmachotherapeutics.
2012;3(3):276-8.

11. Das SK, Jana PK, Bandyopadhyay AK, Biswas I. Ethambutol and
pyrazinamide-induced toxic epidermal necrolysis in an immunocompetent
adult with tuberculosis. Lung India. [case report]. 2012:1-2.
12. Harr T, Lars E F. Toxic Epidermal Necrolysis and Stevens-Johnson
Syndrome. Orphaned Journal of Rare Disease. 2010:1-12.

13. Bullous disease. 3 ed. Hunter J, Savin J, Dahl M, editors. Victoria:


Blackwell; 2002.
14. Hamzah M. Sindrom Steven-Johnson. In: Djuanda A, Hamzah M,
Aisah S, editors. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 5 ed. Jakarta: FKUI; 2007.
p. 163-4.

15. Ladhani S, Joannou CL, Lochrie DP, Evans RW, Poston SM. Clinical,
Mikrobial and Biochemical Aspects of the Exfoliative Toxins causing
Staphylococcal Scalded Skin Syndrome. Clinical Microbiology Reviews.
1999;12:224-37.

16. Bullous disease. In: Wolff K, Johnson RA, editors. Fitzpatrick's Color
Atlas &Synopsis of Clinical Dermatology. 6 ed. New York: McGraw Hill;
2009. p. 106-9.

17. Wiryadi BE. Dermatosis vesikobulosa kroni. In: Djuanda A, Hamzah


M, Aisah S, editors. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 5th ed. Jakarta: FKUI;
2007. p. 204-5.

18. Wolff K, Johnson RA, Suurmond D. Skin sign immune, autoimmune,


and rheumatic disease. Fitzpatrick's Color Atlas & Synopsis of Clinical
Dermatology. 5th ed. New York: McGraw Hill; 2003.

19. Mockenhaupt M. The current understanding of Steven-Johnson


syndrome and toxic epidermal necrolysis. Expert-Review. 2011:803-15.

20. Vern-Gross TZ, Kowal-Vern A, Poulakidas SJ. Toxic Epidermal


Necrolysis in an irradiated Patient Treated with a Nanocrystalline Seilver
Dressing. KARGER. 2012.

21. Kim H-I, Kim S-W, Park G-Y, Kwon E-G, Kim H-H, Jeong J-y, et al.
Causes and Treatment Outcomes of Stevens-Johnson Syndrome and Toxic
Epidermal Necrolysis in 82 Adult Patients. Korean Journal of Internal
Medicine. 2012.

Erupsi Makulopapular atau Morbiliformis


Erupsi makulopapular atau morbiliformis atau disebut juga erupsi eksantematosa
merupakan EOA yang paling sering dijumpai dan dapat diinduksi oleh hampir semua
obat. Erupsi ini timbul generalisata dan simetris, dan dapat terdiri atas eritema,
makula yang berkonfluens, dan/atau papul yang tersebar di wajah, telapak tangan dan
kaki. Membran mukosa tidak terkena. Lesi biasanya mucul dalam 1 2 minggu
setelah inisial terapi, tapi kadang-kadang dapat muncul setelah obat dihentikan. Lesi
selalu diikuti dengan gejala pruritus, dapat pula diikuti demam, edema fasial / kelopak
mata, malaise, dan nyeri sendi yang biasanya hilang dalam beberapa hari sampai
minggu setelah obat dihentikan. Erupsi dapat hilang tanpa penghentian obat, namun
hal ini sangat jarang terjadi. Sebaliknya, ruam dapat berkembang progresif menjadi
eritroderma atau dermatitis eksfoliativa dengan melanjutkan terapi.1,2,3

Gambar 1. Erupsi Eksantematosa

Sumber: Revus J, Allanore AV. Drugs Reaction. In: Bolognia Dermatology. Volume One.
2nd edition. Elserve limited, Philadelphia. United States of America. 2003. p: 333-352

Tipe khusus erupsi ini adalah pustulosa eksantematosa generalisata akut (PEGA) yang
ditandai dengan erupsi bulosa yang muncul mendadak diikuti malaise dan demam
tinggi. Lesi kulit berupa vesikopapula, pustul, dan bula yang terjadi harnpir diseluruh
tubuh. Mernbran mukosa jarang terlibat. Gambaran klinis menyerupai psoriasis
pustular.1,4
Mekanisme terjadinya erupsi makulopapular yang diinduksi obat belum diketahui
dengan jelas, nampaknya melibatkan lebih dari satu mekanisme, yaitu mekanisme
reaksi tipe III dan tipe IV. Reaksi ini terjadi setelah beberapa hari pemberian obat dan
tidak terjadi setelah pemberian dosis pertama, hal ini menunjukkan perlunya periode
sensitisasi sebelum reaksi terjadi. Beberapa erupsi makulopapular diperantarai oleh
sel T. Baru-baru ini dilaporkan keterlibatan sel T CD8+ dalam mekanisme terjadinya
erupsi obat morbiliformis dan bulosa. Keterlibatan limfosit CD8+ dalam erupsi obat
dihasilkan dari bioaktivasi obat menjadi intemediate reaktif. Intemediate reaktif
intraseluler ini mengikat protein sitoplasma secara kovalen, kemudian dipresentasikan
oleh MHC kelas I kepada sel T CD8+.3,4
Erupsi makulopapular sering dikaitkan dengan penggunaan ampisillin, NSAID,
sulfonamid, antikonvulsan, allopurinol, tetrasiklin, eritromisis, fenobarbital, dan
bahkan retinoid.1,6 Penyebab utama adalah antibiotika laktam, dan arti epilepsi.
Harus diingat bahwa tidak semua eksantem morbiliformis atau makulopapular
diinduksi oleh obat. Infeksi tertentu khususnya virus dapat menginduksi eksantem
yang sukar dibedakan dengan yang diinduksi oleh obat. Kasus PEGA kebanyakan
dihubungkan dengan penggunaan antibiotika terutama kelompok penisilin.3
DAFTAR PUSTAKA

Hamzah, M., 2010, Erupsi Obat Alergik, dalam Djuanda dkk,


Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, edk. 6, Jakarta, Badan Penerbit FKUI, hh.
154-158.
Cahyanur R, Kosnoe S, Sukmana N. Sindrom Hipersensitivitas
Obat. J Indon Med Assoc, Volum: 61, Nomor: 4, April 2011
Blume JE, Elston DM. Drug Eruption. New York : Emedicine
(Updated 2013 April 8; cited 2016 April 19).
Thong, BY. Update on the Management of Antibiotic Allergy.
Allergy Asthma Immunol Res. 2010 April;2(2):77-86

SINDROM STEVENS JOHNSON

TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Definisi

Sindrom Steven-Johnson (SSJ) merupakan suatu kumpulan gejala klinis


erupsi mukokutaneus yang ditandai oleh trias kelainan pada kulit berupa
eritema, vesikel/ bula, dapat disertai purpura yang mengenai kulit, selaput
lendir orifisium serta mata disertai gejala umum bervariasi dari ringan sampai
berat.[3]
Menurut Websters New World Medical Dictionary, SSJ didefinisikan sebagai
reaksi alergi sistemik (sistemik = menyerang keseluruhan tubuh) dengan
karakteristik berupa rash atau kemerahan yang mengenai kulit dan selaput
lendir, termasuk selaput lendir mulut. Penyakit ini disebabkan oleh reaksi
hipersensitif (alergi) terhadap obat atau virus tertentu.[3]
Nama ini berasal dari Dr. Albert Mason Stevens dan Dr. Frank Chambliss
Johnson, dokter anak di Amerika pada tahun 1922 bersama-sama
mempublikasikan kumpulan gejala ini dalam American Journal Penyakit
Anak.[4]
Sinonimnya antara lain : sindrom de Friessinger- Rendu [3], eritema poliform
bulosa [3], sindrom mukokutaneo-okular [3] , dermatostomatitis [3], eritema
eksudativum multiform mayor [5], eritema multiformis tipe Herba [6], dan
ektodermosis erosiva pluriorifisialis [6].

II.2. Epidemiologi

Sindrom Stevens-Johnson adalah suatu kondisi yang jarang terjadi, di


Amerika Serikat, terdapat 300 kejadian melaporkan sekitar 2,6 menjadi 6,1
kasus per juta orang per tahun.[4] Kondisi ini sering terjadi pada orang dewasa
dibandingkan pada anak-anak.[4] Sebagian besar terjadi pada dekade ke 2
dan ke 4 kehidupan, namun kasus ini telah dilaporkan terjadi pada anak-anak
berumur 3 bulan.[7] Perempuan lebih sering terkena daripada pria dengan
rasio 2:3.[4] SSJ juga telah dilaporkan lebih sering terjadi pada ras Kaukasia. [7]
Suatu studi di Jerman barat melaporkan insiden SSJ dan NET 0,93 dan 1,1
kasus perjuta populasi pertahun.[8] SSJ dan NET dapat terjadi pada semua
ras. Studi epidemiologi menunjukkan bahwa wanita lebih banyak dari pria,
dengan rasio pria dibanding wanita berkisar antara 0,5:0,7
(Mockenhaupt,1998; Klein, 2006). [8]

Di Indonesia jarang terjadi, hanya sekitar 1-6 per juta orang. Dengan kata
lain, rata-rata jumlah kasus sindrom ini hanya sekitar 0,03%.[3] Penelitian
menunjukkan bahwa SSJ adalah kasus yang langka. Hanya 1 dari 2000
orang yang mengkonsumsi antibiotik penisilin yang terkena SSJ.[3]

II. 3. Etiologi

Terdapat empat kategori etiologi yaitu (1) infeksi, (2) drug-induced, (3)
keganasan, dan (4) idiopatik.[7]

Obat dan keganasan yang paling sering terlibat sebagai


etiologi pada orang dewasa dan orang tua.[7]
Pada anak-anak lebih sering disebabkan karena infeksi
daripada keganasan atau reaksi terhadap suatu obat.[7]
Oxicam NSAID dan sulfonamides yang paling sering
terlibat di negara-negara barat. Di Asia Tenggara, allopurinol adalah
yang paling sering.[7]
Obat seperti sulfa, fenitoin, atau penisilin telah ditentukan
sebelumnya, ditemukan lebih dari dua pertiga dari semua pasien
dengan sindrom Stevens-Johnson (SSJ). Antikonvulsi karbamazepin,
asam valproat, lamotrigin, dan barbiturat juga telah terlibat.
Mockenhapupt et al menekankan bahwa antikonvulsi-induced SSJ
terjadi pada 60 hari pertama penggunaan. Hallgren et al melaporkan
ciprofloxacin dapat menginduksi sindrom Stevens Johnson pada
pasien muda di Swedia. Metry et al melaporkan sindrom Stevens
Johnson terjadi pada 2 pasien HIV yang diobati dengan nevirapine.
Para penulis berspekulasi bahwa masalah ini dapat juga disebabkan
oleh non nukleosida reverse transcriptase inhibitor yaitu indinavir. [7]
Infeksi virus yang telah dilaporkan menyebabkan SSJ
adalah herpes simplex virus (HSV), AIDS, infeksi virus coxsackie,
influenza, hepatitis, gondok, venereum lymphogranuloma (LGV),
infeksi rickettsia, dan variola.[7]
Penyebab bakteri adalah grup A beta streptokokus,
difteri, brucellosis, mikobakteri, Mycoplasma pneumoniae, tularemia,
dan tifus. Sebuah kasus baru-baru ini dilaporkan SSJ timbul setelah
infeksi Mycoplasma pneumoniae.[7]
Coccidioidomycosis, dermatofitosis, dan histoplasmosis
adalah kemungkinan yang disebabkan oleh jamur.[7]
Malaria dan trikomoniasis telah dilaporkan sebagai
penyebab protozoa.[7]
Pada anak-anak, Epstein-Barr virus dan enterovirus telah
diidentifikasi.[7]

Berbagai karsinoma dan limfoma telah dikaitkan.[7]


Sindrom Stevens-Johnson (SSJ) adalah idiopatik pada
25-50% kasus.[7]
Sumber:http://www.ebmedicine.net/topics.php?paction=showTopicSeg&topic
_id=54&seg_id=1021 [9]

II.3. Patogenesis

Patogenesisnya masih belum jelas walaupun sering dihubungkan dengan


reaksi alergi tipe III dan IV.[3] Reaksi alergi tipe III terjadi akibat terbentuknya
kompleks antigen-antibodi yang membentuk mikropresipitasi sehingga terjadi
aktivasi sistem komplemen.[3] Akibatnya terjadi akumulasi neutrofil yang
kemudian melepaskan lisozim dan menyebabkan kerusakan jaringan pada
organ sasaran (target organ). [3] Reaksi alergi tipe IV terjadi akibat limfosit T
yang tersensitisasi oleh suatu antigen, berkontak kembali dengan antigen
yang sama kemudian limfokin dilepaskan sehingga terjadi reaksi radang. [3]
Reaksi Hipersensitivitas Tipe III (Reaksi Kompleks Imun)
Antibodi yang berikatan dengan antigen akan membentuk kompleks
antigen antibodi. Kompleks antigen antibodi ini mengendap pada salah
satu tempat dalam jaringan tubuh. Akibat endapan kompleks antigen-
antibodi dalam jaringan atau pembuluh darah maka kompleks tersebut
mengaktifkan komplemen yang kemudian melepas berbagai mediator
terutama macrophage chemotactic factor. Makrofag yang dikerahkan
ke tempat tersebut akan merusak jaringan di sekitarnya dan
mengakibatkan reaksi radang.[10]
Reaksi Hipersensitivitas Tipe IV (Reaksi Alergi Seluler
Tipe Lambat)
Reaksi ini melibatkan limfosit. Limfosit T yang tersensitasi mengadakan
reaksi dengan antigen. Reaksi ini disebut reaksi tipe lambat karena
baru timbul 12-48 jam setelah terpajan antigen. Dalam hal ini tidak ada
peran antibodi. Akibat sensitisasi tersebut sel Th1 melepaskan limfokin
antara lain MIF, MAF. Makrofag yang diaktifkan melepas berbagai
mediator (sitokin, enzim, dsb) sehingga dapat menyebabkan
kerusakan jaringan.[10].[11]
Stevens-Johnson Syndrome merupakan penyakit hipersensitivitas yang
diperantarai oleh kompleks imun yang mungkin disebabkan oleh beberapa
jenis obat, infeksi virus, dan keganasan. Kokain saat ini ditambahkan dalam
daftar obat yang mampu menyebabkan sindroma ini. Hingga sebagian kasus
yang terdeteksi, tidak terdapat etiologi spesifik yang dapat diidentifikasi. [7]
Di Asia Timur, sindroma yang disebabkan carbamazepine dan fenitoin
dihubungkan erat dengan (alel B*1502 dari HLA-B). Sebuah studi di Eropa
menemukan bahwa petanda gen hanya relevan untuk Asia Timur.
Berdasarkan dari temuan di Asia, dilakukan penelitian serupa di Eropa, 61%
SJS/TEN yang diinduksi allopurinol membawa HLA-B58 (alel B*5801
frekuensi fenotif di Eropa umumnya 3%), mengindikasikan bahwa resiko alel
berbeda antar suku/etnik, lokus HLA-B berhubungan erat dengan gen yang
berhubungan.[7]

II.4. Gejala klinis

Sindrom ini jarang dijumpai pada usia 3 tahun ke bawah karena imunitas
belum begitu berkembang.[12] Keadaan umumnya bervariasi dari ringan
sampai berat. Pada yang berat kesadarannya menurun, pasien dapat
soporous sampai koma.[12] Mulainya penyakit akut dapat disertai gejala
prodormal berkisar antara 1-14 hari berupa demam tinggi, malese, nyeri
kepala, batuk, pilek, nyeri tenggorokan, sakit menelan, nyeri dada, muntah,
pegal otot, dan atralgia yang sangat bervariasi.[3]
Pada SSJ ini terlihat trias kelainan berupa : kelainan kulit, kelainan selaput
lendir di orifisium, dan kelainan mata.[12]
Kelainan kulit
Lesi dimulai sebagai makula yang berkembang menjadi papula, vesikula,
bullae, dan plak urtikaria. Pusat lesi ini mungkin vesikel, purpura, atau
nekrotik. Lesi memiliki gambaran yang khas, dianggap patognomonik.
Namun, berbeda dengan erythema multiforme, lesi ini hanya memiliki dua
zona warna. Inti lesi dapat berupa vesikel, purpura, atau nekrotik,
dikelilingi oleh eritema macular. Lesi ini di sebut lesi targetoid. Lesi
mungkin menjadi bulosa dan kemudian pecah menyebabkan erosi yang
luas, meninggalkan kulit yang gundul sehingga terjadi peluruhan yang
ekstensif. Sehingga kulit menjadi rentan terhadap infeksi sekunder.[7]
Pada bentuk yang berat kelainannya generalisata.[12] Kulit lepuh sangat
longgar dan mudah lepas bila digosok. Pada sindrom Stevens-Johnson,
kurang dari 10% dari permukaan tubuh yang mengelupas. Sedangkan
pada necrolysis epidermis toksik, 30% atau lebih dari permukaan tubuh
yang mengelupas. Daerah kulit yang terkena akan terasa sakit. Pada
beberapa orang, rambut dan kuku rontok.[13]

Peluruhan luas epidermis dari sindrom Stevens-Johnson.


Sumber : http://emedicine.medscape.com/article/756523-overview [7]
Gambar 1 Gambar 2 Gambar 3
Keterangan : eritema-deskuamasi (gb.1), eritema-erosi-krusta-hemoragic
(gb.2) , dan plak(gb.3).
Sumber : http://www.dermis.net/dermisroot/en/30254/diagnose.htm [6]

Kelainan selaput lendir di orifisium


Kelainan selaput lendir yang tersering adalah mukosa mulut (100%),
kemudian disusul oleh kelainan di lubang alat genital (50%), sedangkan di
lubang hidung (8%), dan anus (4%).[12] Kelainannya berupa vesikel dan
bula yang cepat memecah hingga menjadi erosi dan ekskoriasi dan krusta
kehitaman.[13] Di mukosa mulut dapat terbentuk pseudomembran. Di bibir
kelainan yang sering tampak ialah krusta hitam yang tebal. Stomatitis
ulseratif dan krusta hemoragis merupakan gambaran utama.[12] Kerusakan
pada lapisan mulut biasanya sangat menyakitkan dan mengurangi
kemampuan pasien untuk makan atau minum dan sulit menutup mulut
sehingga air liurnya menetes.[13] Lesi di mukosa mulut dapat juga terdapat
di faring, traktus respiratorius bagian atas, dan esofagus. Adanya
pseudomembran di faring dapat menyebabkan keluhan sukar bernafas. [12]
Kelainan pada lubang alat genital akan menyebabkan sulit buang air kecil
disertai rasa sakit. Kadang-kadang selaput lendir saluran pencernaan dan
pernapasan juga terlibat, menyebabkan diare dan sesak napas.[13]

Gambar 2 Gambar 2 Gambar 3


Keterangan : vesikel-krusta (gb.1), eritema-erosi (palatum durum) (gb.2),
dan krusta (gb.3).
Sumber : http://www.dermis.net/dermisroot/en/30254/diagnose.htm [6]

Kelainan mata
Kelainan mata, merupakan 80% diantara semua kasus, yang tersering
ialah konjungtivitis kataralis.[12] Selain itu juga dapat berupa konjungtivitis
purulen, blefarokonjungtivitis, perdarahan, simblefaron, ulkus kornea, iritis,
iridosiklitis, kelopak mata edema, penuh dengan nanah sehingga sulit
dibuka, dan disertai rasa sakit.[13] Pada kasus berat terjadi erosi dan
perforasi kornea yang dapat menyebabkan kebutaan.[3] Cedera mukosa
okuler merupakan faktor pencetus yang menyebabkan terjadinya ocular
cicatricial pemphigoid, merupakan inflamasi kronik dari mukosa okuler
yang menyebabkan kebutaan. Waktu yang diperlukan mulai onset sampai
terjadinya ocular cicatricial pemphigoid bervariasi mulai dari beberapa
bulan sampai 31 tahun.[3]
Gambar 3 Gambar 2
Keterangan : eritema-erosi (gb.1) dan konjungtivitis (gb.2)
Sumber : 1.
http://en.wikipedia.org/wiki/Stevens%E2%80%93Johnson_syndrome [4]
2. http://www.dermis.net/dermisroot/en/30254/diagnose.htm [6]

II.5. Diagnosa
Diagnosis ditujukan terhadap manifestasi yang sesuai dengan trias kelainan
kulit, mukosa, mata, serta hubungannya dengan faktor penyebab yang secara
klinis terdapat lesi berbentuk target, iris atau mata sapi disertai gejala
prodormal. Selain itu didukung pemeriksaan laboratorium antara lain
pemeriksaan darah tepi, pemeriksaan imunologik, biakan kuman serta uji
resistensi dari darah dan tempat lesi, serta pemeriksaan histopatologik biopsi
kulit. Anemia dapat dijumpai pada kasus berat dengan perdarahan, leukosit
biasanya normal atau sedikit meninggi bila meninggi penyebabnya adalah
infeksi sekunder, terdapat peningkatan eosinofil jika penyebabnya alergi.
Kadar IgG dan IgM dapat meninggi, C3 dan C4 normal atau sedikit menurun
dan dapat dideteksi adanya kompleks imun yang beredar. Biopsi kulit
direncanakan bila lesi klasik tak ada.[3] Gambaran histopatologinya sesuai
dengan eritema multiforme, bervariasi dari perubahan dermal yang ringan
sampai nekrolisis epidermal yang menyeluruh. Kelainan berupa : [12]
Infiltrat sel mononuklear di sekitar pembuluh darah
dermis superfisial
Edema dan ekstravasasi sel darah merah di dermis
papilar
Degenerasi hidropik lapisan basalis sampai terbentuk
vesikel subepidermal
Nekrosis sel epidermal di adneksa
Spongiosis dan edema intrasel di epidermis
Selain itu dapat dilakukan pemeriksaan imunofluoresensi untuk membantu
membedakan sindrom Steven Johnson dengan penyakit kulit dengan lepuh
subepidermal lainnya. Menentukan fungsi ginjal dan mengevaluasi adanya
darah dalam urin. Pemeriksaan elektrolit di lakukan untuk mengetahui apakah
terjadi gangguan keseimbangan asam basa. Pemeriksaan bronchoscopy,
esophagogastro duodenoscopy (EGD), dan kolonoskopi dapat dilakukan. Dan
fototoraks untuk mengetahui adanya komplikasi pneumonitis.[7]

II.6. Diagnosis banding


Nekrolisis Epidermal Toksik (NET)
Dimana manifestasi klinis hampir serupa tetapi keadaan umum NET
terlihat lebih buruk daripada SSJ.[2] Pada penyakit ini terdapat
epidermolisis yang menyeluruh yaitu lebih dari 30% epidermis yang
terkelupas (tanda Nikolsky positif).[13]
Staphylococcal Scalded Skin Syndrome (Ritter disease)
Pada penyakit ini lesi kulit ditandai dengan krusta yang mengelupas
pada kulit. .[2] Biasanya mukosa jarang terkena.[12]

SSSS
NET
SSJ
Etiologi
Staphylococcus aureus, infeksi mata, infeksi THT
Obat
Reaksi graft vs host

Obat, infeksi, keganasan, post vaksinasi, radiasi, makanan.


Pasien
Anak-anak, bayi < 5 tahun
Dewasa
Dewasa, anak > 3 tahun
Gejala klinis
Eritem muka, leher, inguinal, axila (24 jam) generalis
(24-48 jam) bula dinding kendur.
Epidermolisis
Nikolsky sign +
Mukosa jarang
PA : celah pada sratum granulosum

Akut
Gejala prodormal
KU buruk
Eritem generalisata, vesikel, bula, purpura
Kulit, mukosa bibir-mulut, orifisium genital
Epidermolisis +
Nikolsky sign +
PA : celah pada subepidermal
Gejala prodormal
Trias :
Kulit: eritem, vesikel, bula dan purpura,
Mukosa:orifisium mulut, faring, traktus respiratorius, esophagus
(pseudomembran)
Mata
Epidermolisis
Nikolsky sign
PA : kelainan dermis sedikit sampai nekrolisis epidermal
Komplikasi
Selulitis, pneumonia, septikemia
Akut Tubular Nekrosis
Bronkopneumonia
Sumber : Buku Ajar Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, Edisi 5, 2007. [12]
Eritema multiforme (EM)
Onset mendadak progresif cepat, distribusi simetris, mengenai kulit
dan / atau mukokutan, dengan perubahan warna konsentris dalam
beberapa atau semua lesi. Lesi menyebar secara sentripetal yaitu
mengenai telapak tangan dan telapak kaki, punggung tangan, dan
permukaan ekstensor ekstremitas dan wajah. Pada keadaan berat
mengenai seluruh tubuh. [7]
Gejala prodromal terjadi pada 50% kasus, biasanya 1-14 hari sebelum
lesi kulit berkembang. Gejala berupa demam, malaise, mialgia,
arthralgia, sakit kepala, sakit tenggorokan, batuk, mual, muntah, dan
diare. Timbul sensasi terbakar di daerah yang terkena. [7]
Lesi berupa eritem, meluas menjadi makula atau papula berevolusi
menjadi lesi yang khas bentuk iris (target lesion), terdiri 3 bagian yaitu
bagian tengah berupa vesikel atau eritema keunguan dikelilingi
lingkaran konsentris yang pucat kemudian lingkaran yang merah.
Vesikulobulosa berkembang dalam makula yang sudah ada
sebelumnya, papula, atau bercak. Keterlibatan mata terjadi pada 10%
kasus EM, konjungtivitis purulen kebanyakan bilateral dengan lakrimasi
yang meningkat. Membran mukosa terjadi pada sekitar 25% dari kasus
EM, biasanya ringan, dan biasanya melibatkan rongga mulut.[7]
Sumber:
http://www.ebmedicine.net/topics.php?paction=showTopicSeg&topic_id=54&s
eg_id=1021 [9]

II.7. Komplikasi
Komplikasi tersering ialah bronkopneumonia, sekitar 16%. Komplikasi lain
ialah kehilangan cairan/ darah, gangguan keseimbangan elektrolit dan syok,
pada mata dapat terjadi ulserasi kornea, uveitis anterior, kebutaan karena
gangguan lakrimasi. [12] Pada gastroenterologi teriadi esofageal striktur, pada
genitourinari dapat terjadi nekrosis tubular ginjal, gagal ginjal, jaringan parut
pada penis, vagina stenosis, dan pada kutaneus terdapat jaringan parut dan
deformitas kosmetik. Infeksi dapat kambuh karena penyembuhan ulserasi
yang lambat.[7]

II.8. Pengobatan
Pertama, dan paling penting adalah harus segera menghentikan penggunaan
obat penyebab yang dicurigai. Dengan tindakan ini, kita dapat mencegah
keburukan. Orang dengan SSJ biasanya dirawat inap. [2] Bila mungkin, pasien
NET dirawat dalam unit rawat luka bakar, dan kewaspadaan dilakukan secara
ketat untuk menghindari infeksi. Pasien SSJ biasanya dirawat di ICU.
Perawatan membutuhkan pendekatan tim, yang melibatkan spesialis luka
bakar, penyakit dalam, mata, dan kulit. Cairan elektrolit dan makanan dengan
kalori tinggi harus diberi melalui infus untuk membantu pemulihan. Antibiotik
diberikan bila dibutuhkan untuk mencegah infeksi sekunder seperti sepsis. [2]
Ada keraguan mengenai penggunaan kortikosteroid untuk mengobati
SSJ/NET. Beberapa dokter berpendapat bahwa kortikosteroid dosis tinggi
dalam beberapa hari pertama memberi manfaat; yang lain beranggap bahwa
obat ini sebaiknya tidak dipakai.[2] Obat ini menekankan sistem kekebalan
tubuh, yang meningkatkan risiko terjadinya infeksi yang gawat, apalagi pada
ODHA dengan sistem kekebalan yang sudah lemah.[2]
Pada umumnya penderita SSJ datang dengan keadaan umum berat sehingga
terapi yang diberikan biasanya adalah : [2]
Segera menghentikan penggunaan obat penyebab yang
dicurigai. [2]
Kortikosteroid parenteral: deksamentason dosis awal
1mg/kg BB bolus, kemudian selama 3 hari 0,2-0,5 mg/kg BB tiap 6
jam. Penggunaan steroid sistemik masih kontroversi, ada yang
mengganggap bahwa penggunaan steroid sistemik pada anak bisa
menyebabkan penyembuhan yang lambat dan efek samping yang
signifikan, namun ada juga yang menganggap steroid menguntungkan
dan menyelamatkan nyawa. [2]
Antibiotik spektrum luas, selanjutnya berdasarkan hasil
biakan dan uji resistensi kuman dari sediaan lesi kulit dan darah.
Antibiotika yang diberikan jarang menimbulkan alergi, berspektrum
luas, bersifat bakterisidal dan tidak bersifat nefrotoksik, misalnya
klindamisin intravena 8-16 mg/kg/hari intravena, diberikan 2 kali/hari.
Selain itu obat lain juga dapat digunakan misalnya siprofloksasin 2 x
400 mg iv dan seftriakson 2 g iv sehari. [2]
Antihistamin bila perlu. Terutama bila ada rasa gatal.
Feniramin hidrogen maleat(Avil) dapat diberikan dengan dosis untuk
usia 1-3 tahun 7,5 mg/dosis, untuk usia 3-12 tahun 15 mg/dosis,
diberikan 3 kali/hari. Sedangkan untuk cetirizin dapat diberikan dosis
untuk usia anak 2-5 tahun : 2.5 mg/dosis,1 kali/hari, > 6 tahun : 5-10
mg/dosis, 1 kali/hari. [2]
Pada SSJ yang berat diiberikan terapi cairan dan
elektrolit, serta diet tinggi kalori dan protein secara parenteral. Dapat
diberikan infus, misalnya dekstrose 5%, Nacl 9%, dan Ringer laktat
berbanding 1:1:1 dalam satu labu, setiap 8 jam.[12]
Bula di kulit dirawat dengan kompres basah larutan
Burowi.[3]
Pada daerah erosi dan ekskoriasi dapat diberikan krim
sulfodiazin perak.[12]
Pada kasus purpura yang luas dapat pula ditambahkan
vitamin C 500 mg atau 1000 mg iv sehari.[12]
Lesi mulut diberi kenalog in orabase, betadine gargle,
dan untuk bibir yang kelainannya berupa krusta tebal kehitaman dapat
diberikan emolien misalnya krim urea 10%.[12]
Pemberian obat tetes mata baik antibiotik maupun yang
bersifat garam fisiologis setiap 2 jam, untuk mencegah timbulnya
infeksi sekunder dan terjadinya kekeringan pada bola mata.[2]
Pemberian obat salep dapat diberikan pada malam hari
untuk mencegah terjadinya perlekatan konjungtiva.[2]
Intravena Imunoglobulin (IVIG). Dengan dosis 0,2-0,75 g
/ kg berat badan per hari selama empat hari berturut-turut. Pemberian
IVIG akan menghambat reseptor FAS dalam proses kematian
keratinosit yang dimediasi FAS.[14]
Transfusi darah 300 cc selama 2 hari jika tidak ada
perbaikan dalam 2 hari.[13]
Efek transfusi darah (whole blood) ialah imunorestorasi. Bila terdapat
leukopenia prognosisnya menjadi buruk, setelah pemberian transfusi
leukosit cepat menjadi normal. Selain itu darah juga mengandung
banyak sitokin dan leukosit, jadi meningkatkan daya tahan tubuh. [12]
Indikasi pemberian transfusi darah pada SSJ dan NET ialah :[12]
Bila telah diobati dengan dosis adekuat setelah 2 hari
belum ada perbaikan.
Bila terdapat purpura generalisata
Jika terdapat leukopenia

Setelah sembuh dari SSJ tidak boleh menggunakan kembali agen atau
senyawa yang penyebab. Obat dari kelas farmakologis yang sama dapat
digunakan asalkan obat tersebut secara struktural berbeda dengan obat
penyebabnya.[7] Karena faktor genetik diduga berperan dalam kerusakan kulit
dan timbulnya lepuh akibat obat, sehingga obat yang dicurigai tidak boleh
digunakan dalam darah pasien. Tidak ada statistik khusus tentang risiko
penggunaan ulang obat yang salah atau kemungkinan desensitisasi pada
pasien dengan SSJ.[7]

II.9. Prognosis

SSJ adalah penyakit dengan morbiditas yang tinggi, yang berpotensi


mengancam nyawa. Tingkat mortalitas adalah 5%, jika ditangani dengan
cepat dan tepat, maka prognosis cukup memuaskan.[4]
Lesi biasanya akan sembuh dalam 1-2 minggu, kecuali bila terjadi infeksi
sekunder. Sebagian besar pasien sembuh tanpa gejala sisa.[7]
Bila terdapat purpura yang luas dan leukopenia prognosisnya lebih buruk.
Pada keadaan umum yang buruk dan terdapat bronkopneumonia, dapat
menyebabkan kematian.[12] Pengembangan gejala sisa yang serius, seperti
kegagalan pernafasan, gagal ginjal, dan kebutaan, menentukan prognosis. [7]
Sampai dengan 15% dari semua pasien dengan sindrom Stevens-Johnson
(SSJ) meninggal akibat kondisi ini. Bakteremia dan sepsis meningkatkan
resiko kematian.[7]
Nilai SCORTEN merupakan sejumlah variable yang digunakan untuk
meramalkan faktor risiko terjadinya kematian pada SSJ dan dan juga pada
TEN.[7]

Skor SCORTEN
Faktor prognosis
Skor mortalitas
Umur > 40 tahun
Keganasan
Denyut jantung > 120 x/menit
Persentase detasemen epidermis > 10%
BUN level >10 mmol/L
Kadar glukosa serum > 14 mmol / L
Kadar bikarbonat < 20 mmol / L
SCORTEN 0-1 > 3.2%
SCORTEN 2 > 12.1%
SCORTEN 3 > 35,3%
SCORTEN 4 > 58.3%
SCORTEN 5 atau lebih > 90%

DAFTAR PUSTAKA

Staff mayo clinic : Stevens-Johnson syndrome. Diakses


tanggal : 30 Mei 2010. Diunduh dari : http://www.
mayoclinic.com/health/Stevens-johnson-syndrome/ds0094
Allan, dr. : Referat sindrom stevens Johnson. Diakses
tanggal : 30 Mei 2010. Diunduh dari :
http://www.scribd.com/doc/16796718/Referat-Steven-Johnson

Anonym. Diakses tanggal : 1 Juni 2010. Diunduh dari :


http://hajaddb.co.cc/sindrom-stevens-johnson-ssj

Wikipedia : Stevens-Johnson syndrome. Direvisi terakhir :


28 Mei 2010. Diakses tanggal : 31 Mei 2010. Diunduh dari :
http://en.wikipedia.org/wiki/Stevens%E2%80%93Johnson_syndrome

Mansjoer, A. Suprohaita. Wardhani, WI. Setiowulan, W.


Erupsi Alergi Obat. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Jilid 2. Media
Aesculapius. Jakarta 2002 : 136-138.
Anonym. Diakses tanggal 30 Mei 2010. Diunduh dari :
http://www.dermis.net/dermisroot/en/30254/diagnose.htm

Parrillo J Steven, DO, FACOEP, FACEP : Stevens-


Johnson Syndrome. Direvisi terakhir 25 Mei 2010. Di akses tanggal :
30 Mei 2010. Diunduh dari :
http://emedicine.medscape.com/article/756523-overview
Yusra Pintaningrum, Ari Baskoro, Agung Pranoto :
Penatalaksanaan penderita Sindroma Stevens-Johnson dan Toxic
Necrolysis Epidermal. Dikutip tanggal :31 Mei 2010. Diunduh dari :
http://arekkardiounair.blogspot.com/2008/09/penatalaksanaan-
seorang-penderita.html

Anonym. Diakses tanggal : 10 Juni 2010. Diunduh dari :


http://www.ebmedicine.net/topics.php?paction=showTopicSeg&topic_i
d=54&seg id=1021

Lee A, Thomson J. Drug-induced skin. In: Adverse Drug


Reactions, 2nd ed. Pharmaceutical Press. 2006. Diakses tanggal : 1
Juni 2010. Diunduh dari : http://drugsafety.adisonline.com/pt/re/drs/pdf
Ariyanto Harsono, Anang Endaryanto : Sindrom stevens
Johnson. Diakses tanggal : 30 Mei 2010. Diunduh dari :
http://ummusalma.wordpress.com/2007/02/17/sindrom-steven-
johnson/#more-34
Djuanda, A. Hamzah, M. Sindrom Stevens Johnson. Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi 5. Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta 2007 : 163-166.
Peter C. Schalock, MD : Stevens-Johnson Syndrome
(SJS) and Necrolysis Epidermal Toxic. The merck manual. 2006.
Dikutip tanggal : 30 Mei 2010. Diunduh dari :
http://www.merck.com/mmhe/sec18/ch203/ch203e.html
Pierre-Dominique Ghislain MD, Jean-Claude Roujeau MD
: Pengobatan reaksi obat yang parah: Stevens-Johnson Syndrome,
Toxic epidermal dan sindrom hipersensitif Necrolysis. Dermatology
Online Journal 8(1): 5. 2002. Dikutip tanggal : 30 Mei 2010. Diunduh
dari :
http://dermatology.cdlib.org/DOJvol8num1/reviews/drugrxn/ghislain.ht
ml

FIXED DRUG ERUPTION

TINJAUAN PUSTAKA

DEFINISI
Fixed drug eruption (FDE) adalah reaksi alergi pada kulit atau daerah
mukokutan yang terjadi akibat pemberian atau pemakaian jenis obat-obatan tertentu
yang biasanya dikarakteristik dengan timbulnya lesi berulang pada tempat yang sama
dan tiap pemakaian obat akan menambah jumlah dari lokasi lesi.1,2

SINONIM
Eksantema fikstum, fixed exanthema.1

EPIDEMIOLOGI
Beberapa penelitian tentang morfologi dan agen pencetus pada pasien-pasien
dengan erupsi obat dirumah sakit atau bagian kulit dan kelamin pada tahun 1986-1990
dilaporkan pada 135 kasus didapatkan perubahan morfologik akibat erupsi obat yang
paling sering adalah eksantematous (39%), urtikaria/angioedema (27%), FDE
(16%), eritema multiform (5,4%) dan reaksi kulit lainnya (18%). Sejak tahun 1956
proporsi dari reaksi erupsi obat berupa urtikaria menurun dan terjadi peningkatan
angka kejadian FDE.3

ETIOPATOGENESIS
Obat-obatan yang paling sering menyebabkan FDE adalah kontrasepsi oral,
barbiturat, fenolftalein, fenasetin, salisilat, naproksen, nistatin, minosiklin,
sulfonamide, tetrasiklin, metronidazol, doriden, sulindac, tolmetin, maolate,
bleomysin, busulfan, zidovudine, klorpromasin, hidantoin, cyclofosfamid, klofasimin,
antimalaria, prokarbasin, doksorubisin.2,3,4,5
Reaksi kulit terhadap obat dapat terjadi melalui mekanisme imunologik atau non
imunologik. Yang dimaksud dengan erupsi obat adalah alergi terhadap obat yang
terjadi melalui mekanisme imunologik. Hal ini terjadi pada pemberian obat kepada
pasien yang sudah mempunyai hipersesitivitas terhadap obat tersebut.disebabkan oleh
berat molekulnya yang rendah, biasanya obat itu berperan pada mulanya sebagai
antigen yang tidak lengkap atau hapten. Obat atau metaboliknya yang berupa hapten,
harus berkombinasi terlebih dahulu dengan protein, misalnya jaringan, serum atau
protein dari membran sel untuk membentuk kompleks antigen yaitu kompleks hapten
protein. Kekecualiannya ialah obat-obat dengan berat molekul yang tinggi yang dapat
berfungsi langsung sebagai antigen yang lengkap.
Ada beberapa faktor yang berperan dalam menentukan sejauh mana kapasitas dari
sebuah obat dalam menimbulkan respon imun :
Karakteristik molekular dan sensitisasi.
Sebuah molekul yang imunogenik biasanya mempunyai berat molekul lebih dari
1000 dalton. Kebanyakan molekul obat tidak sebesar itu dan untuk memberikan
respon imun harus berikatan dengan makromolekul jaringan yang berperan
sebagai hapten. Hapten adalah sebuah substansi yang tidak imunogenik tetapi
menjadi imunogenik ketika berikatan dengan karier makromolekul. Ikatan yang
terjadi haruslah sangat kuat dan biasanya bersifat kovalen.
Untuk sebuah ikatan obat dan makromolekul jaringan kompleks menjadi
imunogenik harus diproses oleh antigen dan sel yang bersangkutan (seperti sel
langerhans dari kulit). Bersama-sama dengan antigen histokompatibiliti ke sebuah
limfosit T sebagai hasil dari presentasi terjadi aktivasi dari populasi sel T yang
berbeda dan setiap populasi sel T dapat menimbulkan reaksi klinik yang berbeda
pada aktivasi TH1 tipe sel T menyebabkan produksi dari interferon dan
interleukin 2 yang akan diikuti dengan terjadinya reaksi obat morbiliform pada
kontak dermatitis atau mungkin nekrolisis epidermal toksis. Aktivasi tipe sel TH2
menyebabkan terjadinya produksi interleukin -4, -5, atau -13, yang akan
menyebabkan terjadinya produksi dari antibodi IgE dan reaksi klinik seperti
urtikaria atau anafilaktik. Mekanisme yang menentukan tipe terakhir dari aktivasi
sel T belum diketahui.3
Variasi metabolik individu.
Variasi metabolik individu merupakan jalur yang dilewati oleh obat dimana dapat
memberi reaksi intermediet atau diekskresi. Reaktivasi intermediet berlaku
sebagai hapten yang dapat melakukan ikatan kovalen pada makromolekul sel
yang dapat menyebabkan kematian sel atau merangsang respon imun sekunder.3
Kemampuan imunogenetik.
Respon imun dari antigen-antigen yang bervariasi biasanya dikontrol secara
genetik dan berbeda-beda pada tiap individu. Beberapa observasi klinik
mengatakan bahwa kontrol genetik mempunyai suatu peranan yang besar dalam
reaktivasi obat. Mereka percaya bahwa reaksi anafilaktik lebih sering terjadi pada
individu atopik dibanding dengan non-atopik. Wanita memiliki angka kejadian
35% lebih tinggi daripada pria. Sebagai tambahan pasien dengan SLE dapat
meningkatkan prevalensi dari reaksi alergi obat, tetapi belum jelas apakah hal ini
berhubungan dengan abnormalitas imun atau frekuensi pemaparan obat-obatan.
Demonstrasi yang paling jelas tentang pentingnya sistem imun terhadap resiko
obat adalah pada kasus infeksi HIV. Reaksi obat pada pasien HIV 10 x lebih
tinggi daripada mereka yang tidak terinfeksi dan resiko ini meningkat seiring
dengan perjalanan penyakitnya. Demikian pula untuk pasien yang melakukan
transplantai sumsum tulang, dimana terjadi peningkatan resiko reaksi obat.3
Usia
Usia dapat menentukan kemampuan respon imun dari pemberian suatu obat,
dimana dikatakan alergi lebih sering ditemukan pada anak-anak dan pada manula,
mungkin karena ketidakmatangan atau involusi dari sistem imun.3

Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya FDE :


Paparan obat.
Pemberian obat dapat mengakibatkan terjadinya reaksi komplit antigen antibodi
dengan terbentuknya hapten. Yang penting juga adalah pola morfologik yang
spesifik yang dapat meningkat atau menurun pada pemberian obat yang
menyebabkan terjadinya reaksi kulit tersebut. Sebagai contoh FDE lebih sering
ditemukan pada pemberian barbiturat daripada penisilin, walaupun penisilin
memiliki kemungkinan menimbulkan reaksi kulit karena obat yang lebih tinggi.3
Waktu kejadian.
Kebanyakan reaksi obat pada kulit terjadi dalam 1 - 2 minggu dari terapi pertama.
Beberapa tipe reaksi terutama sindrom hipersensitivitas dapat memberikan onset
yang tertunda bahkan sampai lebih dari 2 bulan setelah pemberian obat. Untuk
beberapa reaksi yang lebih serius, resiko yang berhubungan dengan pemberian
obat lebih dari 2 bulan tampak lebih rendah.3
Uji eliminasi pemakaian obat.
Kebanyakan reaksi kulit karena obat akan berkurang dengan penghentian
pemakaian obat tersebut. Sebuah reaksi kulit tidak mungkin berhubungan dengan
obat jika reksi terus berlanjut setelah dilakukan penghentian pemakaian obat
tersebut.3
Pemaparan obat ulangan.
Pemberian obat ulangan memberikan informasi pasti apakah obat tersebut
menyebabkan terjadinya reaksi kulit walaupun pemberian yang sering tidak
dimungkinkan karena tidak menjamin keselamatan dari pasien kecuali terjadi
perubahan pola status imunologik pasien.3
Secara umum terdapat 4 tipe reaksi imunologi yang dikemukakan oleh
Coombs & Gell; suatu reaksi alergi terhadap obat dapat mengikuti salah satu dari ke
empat jalur berikut ini;
Tipe I Reaksi Anafilaktik
Reaksi obat yang diperantarai IgE biasanya terjadi karena penisilin atau
golongannya. Reaksi dapat terjadi dalam beberapa menit setelah pemakaian obat.
Gejala biasanya bervariasi seperti pruritus, urtikaria, spasme bronkus, dan edema
laring bahkan dapat menyebabkan terjadinya syok anafilaktik dengan hipotensi
dan kematian. Sel mast dan basofil yang tersentisisasi akan melepaskan mediator-
mediator kimia (histamin) atau lemak (leukotriens/prostaglandin) yang akan
menimbulkan gejala klinik yang berbeda-beda tergantung dari interaksi organ
target (kulit, sistim respirasi, GIT atau sistim kardiovaskuler) dengan mediator
kimia tersebut. Penelitian terbaru mengatakan reaksi obat perantaraan IgE lebih
diakibatkan peran basofil daripada sel mast. Pelepasannya dipicu ketika terjadi
konjugasi protein obat polifalen yang terbentuk secara in vivo dan behubungan
dengan molekul IgE yang mensensitisasi sel-sel.3,6
Tipe II Reaksi Sitotoksik
Reaksi tipe ini dapat disebabkan oleh obat, dan memerlukan penggabungan antara
IgE dan IgM dengan antigen yang melekat pada sel. Jika sistem komplemen
teraktivasi akan dipacu sejumlah reaksi yang berakhir dengan lisis.1
Tipe III Reaksi Kompleks Imun
Antibodi mengadakan reaksi dengan antigen membentuk kompleks antigen
antibodi yang kemudian mengendap pada salah satu tempat dalam jaringan tubuh
dan mengakibatkan reaksi radang. Dengan adanya aktivasi sistim komplemen
terjadi pelepasan anafilaktosin yang merangsang pelepasan berbagai mediator
oleh mastosit. Dengan adanya aktivasi komplemen akan terjadi kerusakan
jaringan.1
Tipe IV Reaksi Alergi Selular Tipe Lambat
Reaksi ini melibatkan limfosit. Limfosit T yang tersentisisasi mengadakan reaksi
dengan antigen. Reaksi ini di sebut reaksi tipe lambat karena baru timbul 12 - 48
jam setelah pajanan dengan antigen.1
FDE termasuk dalam reaksi tipe III dengan adanya reaksi kompleks antigen antibodi.

GAMBARAN KLINIK
FDE dikarakteristik dengan 1 atau beberapa lesi eritematous. Lesi ini
seringkali timbul pada wajah dan daerah genital dan menyebabkan terjadinya luka
seperti luka bakar walaupun inflamasi akut sembuh secara perlahan-lahan tapi
hiperpegmentasi lokal akan menetap dengan pemaparan obat yang berulang, lesi akan
muncul kembali pada tempat yang sama.3
Lesi baru berbentuk bulat atau oval dan berbentuk plak dengan gambaran eritematous
dan bula pada kulit akan berubah berwarna ungu atau coklat. Lesi biasanya
berkembang dalam waktu 30 menit - 8 jam setelah pemberian obat, kadang-kadang
lesi pada awalnya soliter tapi pada pemberian obat yang berulang lesi baru dapat
muncul lagi dan lesi lama yang sudah ada dapat bertambah besar.
Lesi lebih sering muncul pada anggota gerak daripada badan. tangan, kaki, genitalia
(glans penis) dan daerah perianal adalah tempat favorit munculnya lesi. Lesi juga
dapat muncul di sekeliling mulut dan mata. Daerah genital dapat terjadi berhubungan
dengan lesi pada kulit atau terjadi sendiri. Apabila terjadi penyembuhan timbul
pengelupasan yang diikuti dengan perubahan warna yang menetap pada daerah lesi
dimana warna berubah menjadi kecoklatan. Hal ini dapat menghilang seiring waktu
tapi sering menetap diantara pemaparan obat. Pigmentasi terjadi lebih lama pada
orang dengan kulit coklat. Pigmentasi dari FDE menghilang apabila penderita tidak
diberikan obat penyebab. FDE non pigmentasi dilaporkan pada pemberian
pseudoefedrin dan piroksikan bisa terdapat gejala-gejala lokal atau umum yang
menemani perjalanan penyakit fixed drug eruption yang berupa gejala ringan atau
tidak ada.2,4

Beberapa gambaran karakteristik ke arah dugaan adanya FDE :


Reaksi hanya terjadi setelah pajanan ulang dengan obat. Pada
penggunaan pertama kali, waktu reaksi berkisar antara 8-9 hari.4
Manifestasi erupsi obat tidak bergantung pada kegunaan
farmakologik dan kimiawi obat tersebut.4
Jumlah obat yang sangat sedikit dapat memacu reaksi yang
berat meskipun obat tersebut telah dipakai dalam jangka waktu lama.4
Obat yang sama dapat menyebabkan reaksi yang berbeda pada
orang yang sama pada waktu yang berlainan, sebaliknya berbagai obat dapat
menyebabkan reaksi atau manifestasi klinik yang sama.4

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk membantu memastikan diagnosa FDE
dengan pemeriksaan histopatologi.
Pada pemeriksaan histopatologi didapatkan adanya degenarasi hidrotik pada lapisan
sel basal yang akan menuju pada inkontinens pagmentari, dimana dikarakteristik
dengan adanya melanin dalam jumlah yang banyak diantara makrofag yang terdapat
pada lapisan atas kulit (Tarnowsky). Sebagai tambahan terdapat penyebaran dari
diskeratotik keratonicytes dengan sitoplasma yang eosinifilik dan inti pignotik sering
terlihat pada epidermis (Furuya, dkk). Pada pemeriksaan dengan mengunakan
mikroskop elektron diskeratotik keratonicytes terisi dengan tonofilamen tipis yang
homogen dan menunjukkan sedikit dari sisa-sisa organel sel dan inti.7
DIAGNOSIS
Diagnosis FDE berdasarkan :
Anamnesis :
Adanya hubungan antara timbulnya erupsi dengan penggunaan obat dan
diketahui mengenai :
obat-obatan yang didapat
kelainan timbul secara akut atau dapat juga
beberapa hari sesudah masuknya obat.
Rasa gatal yang dapat pula disertai demam yang
biasanya subfebril.

Kelainan Klinis :
Adanya kelainan klinis berupa lesi yang selalu timbul pada tempat yang sama
akibat pemaparan obat. Penghentian obat yang diikuti penurunan gejala klinis
merupakan petunjuk kemungkinan erupsi disebabkan oleh obat tersebut.
Pemeriksaan Khusus :
Saat ini belum diketahui cara yang cukup sensitif dan dapat dipercaya untuk
mendeteksi obat penyebab FDE.1,4

PENATALAKSANAAN
Pengobatan FDE belum memuaskan, antara lain karena kesukaran dalam
memastikan penyebabnya, apakah oleh obatnya sendiri atau metabolitnya.
Pengobatan dibagi dalam :
pengobatan kausal
Dilaksanakan dengan menghindari obat tersangka (apabila obat tersangka telah
dapat dipastikan). Dianjurkan pula untuk menghindari obat yang mempunyai
struktur kimia mirip dengan obat tersangka (satu golongan).
pengobatan sistemik
kortikosteroid
Pemberian kortikosteroid sangat penting pada alergi obat sistemik. Dosis
standar untuk fixed drug eruption pada orang dewasa ialah 3 x 10 mg
prednisone sehari.
antihistamin
Antihistamin yang bersifat sedatif dapat juga diberikan, jika terdapat rasa
gatal. Kecuali pada urtikaria, efeknya kurang bila dibandingkan dengan
kortikosteroid
pengobatan topikal
Pengobatan topikal bergantung pada keadaan kelainan kulit, apakah kering atau
basah. Pada FDE, jika kelainan membasah dapat diberi kompres dan jika kering
dapat diberi krim kortikosteroid, misalnya krim hidrokortison 1% atau 2 %.1,3,4
Identifikasi dari obat penyebab FDE dilakukan apabila hanya 1 obat yang
digunakan biasanya kita mencurigai beberapa obat sebagai petunjuk yang kita
gunakan adalah mengetahui kronologis pemberian obat-obatan tersebut. Hanya obat-
obatan yang baru digunakan (8-21 hari) yang dimasukkan dalam daftar yang
dicurigai.
Identifikasi yang jelas dari obat penyebab dan catatan tertulis tentang obat-
obat penyebab yang diberikan pada pasien oleh dokter merupakan langkah
pencegahan yang sangat penting. Pemberian obat spesifik (kortikosteroid, obat-obatan
imunosupresif/terapi anti sitokin, immunoglobulin) seharusnya tidak diberikan sesuai
standar pemberian obat sebelum terdapat bukti efisiensi penggunaannya terhadap
pasien, kadang-kadang penggunaan obat-obatan tersebut dapat berbahaya bagi
pasien.8

PROGNOSIS
Pada dasarnya FDE akan menyembuh bila penyebabnya dapat diketahui dan
segera disingkirkan. Akan tetapi beberapa bentuk, misalnya eritroderma dan kelainan-
kelainan berupa sindrom Lyell dan sindrom Steven Johnson, prognosis dapat menjadi
buruk bergantung pada luas kulit yang terkena.1

DAFTAR PUSTAKA

Prof. DR. Adhi Djuanda, Dr. Mochtar Hamzah, Dr. Siti Aisah.
Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, edisi ketiga. Bagian Ilmu Penyakit Kulit
dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Balai Penerbit
FKUI, Jakarta, 1999:139-142
DermNet Editorial Board. Fixed Drug Eruption. Available from
URL: www.dermnetnz.org/reaction/fixed-drug-eruption.html. Last updated :
September 30, 2004.
Freedberg Irwin, Eisen Arthur, Wolff Klaus et al. Dermatology
in General Medicine, 5th edition Vol. 1. McGrow Hill Companies, Inc. United
States of America,1999:1633-41
Seobaryo R, Suherman S. Erupsi Obat Alergik. Dalam:
Sularsito Sri,dkk. Erupsi Obat Alergik. Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. FKUI.1995:3-7,63-4
Thiers B. Disorders of Hyperpigmentation. In: Dermatologics
Clinics. W.B Saunders Company.2000:95-7
Arnold H, Odom R, James W. Contact Dermatitis in Drug
Eruption. In: Diseases of The Skin. 8th edition. W.B Saunders Company.1990
Lever Walter, Schaumberg G. Eruptions Due to Drugs, In:
Histopathology of The Skin. J.B Lippincott Company.1983:259-61
Revuz Jean. Serious Drug Reactions. In : Abstracts IX
International Congress of Dermatology. May 19-22, 2004. Beijing China:5

Anda mungkin juga menyukai