Anda di halaman 1dari 36

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Infark Miokard Akut (IMA)


1. Definisi
IMA adalah sindrom klinis yang disebabkan oleh oklusi arteri
koroner sehingga terjadi gangguan aliran darah ke jantung yang
menyebabkan sel otot jantung yang berada di daerah suplaian arteri
mati. Daerah otot disekitarnya sama sekali tidak mendapatkan aliran
darah sehingga tidak dapat mempertahankan fungsi jantung, akibatnya
miokard mengalami hipoksia dan jika berlangsung lama dapat
menyebabkan infark .

Gambar 2.1 anatomi koroner arteri jantung


2. Klasifikasi
Berdasarkan EKG 12 sandapan IMA diklasifikasikan menjadi:
a. NSTEMI (Non ST- segmen Elevasi Miokard Infark)
Oklusi terjadi secara parsial dari arteri koroner akibat
trombus dari plak arterosklerosis. Pada sandapan tidak terajdi
elevasi pada segmen ST pada EKG

b. STEMI (ST-segmen Elevasi Miokard Infark)


Oklusi total dari arteri koroner yang menyebabkan area
infark yang lebih luas meliputi seluruh ketebalan miokard, ditandai
dengan elevasi segmen ST pada EKG.
3. Etiologi
IMA terjadi saat penurunan suplai oksigen secara mendadak pada
aliran darah koroner akibat oklusi tromboltik dari arteri koronaria yang
sebelumnya terjadi aterosklerosis. Kondisi ini mengakibatkan
gangguan oksigenasi sehingga dapat terjadi kematian sel-sel jantung.
Beberapa hal yang menimbulkan gangguan oksigenasi tersebut
diantaranya :
a. Berkurangnya suplai oksigen ke miokard
Menurunnya suplai oksigen disebabkan oleh tiga faktor, antara lain:
1) Faktor pembuluh darah
Hal ini berkaitan dengan kepatenan pembuluh darah
sebagai jalan darah mencapai sel sel jantung. Beberapa hal
yang bisa mengganggu kepatenan pembuluh darah diantaranya
atherosclerosis, spasme dan arteritis. Spasme pembuluh darah
bisa terjadi pada orang yang tidak memiliki riwayat penyakit
jantung sebelumnya, dan biasanya dihubungkan dengan
beberapa hal antara lain mengkonsumsi obatobatan tertentu,
stress emosional atau nyeri, terpapar suhu dingin yang ekstrim,
ataupun merokok.
2) Faktor sirkulasi
Sirkulasi berkaitan dengan kelancaran peredaran darah
dari jantung ke seluruh tubuh sampai kembali lagi ke jantung.
Kondisi ini tidak akan lepas dari faktor pemompaan dan
volume darah yang dipompakan. Kondisi yang menyebabkan
gangguan pada sirkulasi diantaranya kondisi hipotensi.
Penurunan cardiac output yang diikuti oleh penurunan sirkulasi
menyebabkan beberapa bagian tubuh tidak tersuplai darah
dengan adekuat, termasuk dalam hal ini otot jantung.
3) Faktor darah
Darah merupakan pengangkut oksigen menuju seluruh
bagian tubuh. Jika daya angkut darah berkurang, maka sebagus
apapun jalan (pembuluh darah) dan pemompaan jantung maka
hal tersebut tidak cukup membantu. Halhal yang
menyebabkan terganggunya daya angkut darah antara lain
anemia, hipoksemia, dan polisitemia.
b. Meningkatnya kebutuhan oksigen tubuh
Pada orang normal meningkatnya kebutuhan oksigen
mampu dikompensasi diantaranya dengan meningkatkan denyut
jantung untuk meningkatkan cardiac output. Akan tetapi jika orang
tersebut telah mengidap penyakit jantung, mekanisme kompensasi
justru pada akhirnya akan makin memperberat kondisi jantung
karena kebutuhan oksigen semakin meningkat, sedangkan suplai
oksigen tidak bertambah. Oleh karena itu segala aktivitas yang
menyebabkan meningkatnya kebutuhan oksigen akan memicu
terjadinya infark.

Gambar 2.2 pembuluh darah pada IMA

4. Faktor Resiko
Berdasarkan dapat atau tidaknya dimodifikasi secara garis besar
faktor resiko IMA terdiri dari dua kelompok :
a. Non-modifable
1) Usia
Usia berbanding lurus dengan resiko aterosklerosis. Semakin
tua usia seseorang maka resiko aterosklerosis semakin
meningkat. Penyakit IMA yang terjadi pada usia lanjut
mempunyai risiko tinggi kematian dan adverse events. Hal ini
sesuai dengan teori mengenai usia yang termasuk dalam faktor
risiko terkena penyakit jantung termasuk IMA adalah usia > 45
tahun untuk laki-laki dan > 55 tahun untuk perempuan.
2) Jenis Kelamin
Laki-laki memiliki risiko lebih besar terkena serangan
jantung dan kejadiannya lebih awal dari pada wanita.
Morbiditas penyakit ini pada laki-laki lebih besar daripada
wanita dan kondisi ini terjadi dan kondisi ini terjadi hampir 10
tahun lebih dini pada wanita.Studi lain menyebutkan wanita
mengalami kejadian infark miokard pertama kali 9 tahun lebih
lama daripada laki-laki. Perbedaan onset infark miokard
pertama ini diperkirakan dari berbagai faktor resiko tinggi yang
mulai muncul pada wanita dan laki-laki ketika berusia muda.
Wanita agaknya relatif kebal terhadap penyakit ini sampai
menopause, dan kemudian menjadi sama rentannya seperti
pria. Hal diduga karena adanya efek perlindungan esterogen.
3) Ras
Kulit putih beresiko terserang penyakit IMA dibandingkan
dengan seseorang berkulit hitam
4) Riwayat Keluarga
Riwayat keluarga dan genetika mempunyai peranan bermakna
dalam proses terjadinya IMA.

b. Modifable
1) Hipertensi
Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah sistolik sedikitnya
140mmHg dan atau tekanan diastolik sedikitnya 90mmHg.
Peningkatan tekanan darah sistemik meningkatkan resistensi
vaskuler terjadap pemompaan darah dan ventrikel kiri.
Akibatnya kerja jantung meningkat dan menyebabkan
hipertropi ventrikel kiri. Bila pasien telah memiliki
aterosklerosis maka penyediaan oksigen sedikit, sehingga
kondisi akan semakin berat.
2) Dislipidemia
Abnormalitas kadar lipid serum yang merupakan faktor resiko
adalah hiperlipidemia. Hiperlipidemia merupakan peningkatan
kadar kolesterol atau trigliserida serum di atas batas normal.
The National Cholesterol Education Program (NCEP)
menemukan kolesterol LDL sebagai faktor penyebab penyakit
jantung koroner termasuk IMA. The Coronary Primary
Prevention Trial (CPPT) memperlihatkan bahwa penurunan
kadar kolesterol juga menurunkan mortalitas akibat infark
miokard.
3) Merokok
Merokok meningkatkan resiko terkena penyakit jantung
koroner sebesar 50%. Orang yang tidak merokok dan tinggal
bersama perokok (perokok pasif) memiliki peningkatan risiko
sebesar 2030 % dibandingkan dengan orang yang tinggal
dengan bukan perokok. Di Inggris, sekitar 300.000 kematian
karena penyakit kardiovaskuler berhubungan dengan rokok.30
Penggunaan tembakau berhubungan dengan kejadian miokard
infark akut prematur di daerah Asia Selatan.
4) Obesitas
Overweight dan Obesitas meningkatkan resiko terkena penyakit
jantung koroner. Sekitar 25-49% penyakit jantung koroner di
negara berkembang berhubungan dengan peningkatan indeks
massa tubuh (IMT). Overweight didefinisikan sebagai IMT >
25-30 kg/m2 dan obesitas dengan IMT > 30 kg/m2. Obesitas
sentral atau obesitas abdominal adalah obesitas dengan
kelebihan lemak berada di abdomen. Biasanya keadaan ini juga
berhubungan dengan kelainan metabolik seperti peninggian
kadar trigliserida, penurunan HDL, peningkatan tekanan darah,
inflamasi sistemik, resistensi insulin dan diabetes melitus tipe
II.
5) Diabetes mellitus
Diabetes Melitus akan menyebabkan proses penebalan
membran basalis dari kapiler dan pembuluh darah arteri
koronaria, sehingga terjadi penyempitan aliran darah ke
jantung. Insiden serangan jantung meningkat 2 hingga 4 kali
lebih besar pada pasien yang dengan diabetes melitus. Orang
dengan diabetes cenderung lebih cepat mengalami degenerasi
dan disfungsi endotel.24 Diabetes mellitus berhubungan
dengan perubahan fisik sampai pathologi pada system
kardiovaskuler.
6) Aktivitas fisik
Olah raga secara teratur sangat bermanfaat untuk menurunkan
faktor risiko terjadinya IMA seperti kenaikan HDL-kolesterol
dan sensitivitas insulin serta menurunkan berat badan dan kadar
LDL-kolesterol. Pada latihan fisik akan terjadi dua perubahan
pada sistem kardiovaskuler, yaitu peningkatan curah jantung
dan redistribusi aliran darah dari organ yang kurangaktif ke
organ yang aktif.
7) Stress
Faktor psikososial seperti peningkatan stres kerja, rendahnya
dukungan sosial, personalitas yang tidak simpatik, ansietas dan
depresi secara konsisten meningkatkan resiko terkena
aterosklerosis. Stres merangsang sistem kardiovaskuler dengan
dilepasnya catecholamine yang meningkatkan kecepatan
denyut jantung dan pada akhirnya dapat 15 menimbulkan
vasokonstriksi pembuluh darah koronaria.16Beberapa
ilmuwanmempercayai bahwa stress menghasilkan suatu
percepatan dari prosesatherosklerosis pada arteri koroner.
8) gaya hidup (life style).
Resiko terkena infark miokard meningkat pada pasien yang
mengkonsumsi diet yang rendah serat, kurang vitamin C dan E,
dan bahan-bahan polisitemikal. Mengkonsumsi alkohol satu
atau dua sloki kecil per hari ternyata sedikit mengurangi resiko
terjadinya infark miokard. Namun tidak semua literatur
mendukung konsep ini, apabila mengkonsumsi alkohol
berlebihan, yaitu lebih dari dua sloki kecil per hari, pasien
memiliki peningkatan resiko terkena penyakit.
5. Patofisiologi
Kebutuhan oksigen yang melebihi kapasitas suplai oksigen oleh
pembuluh darah yang terserang menyebabkan iskemik miokardium.
Iskemik yang bersifat sementara akan menyebabkan perubahan reversible
pada tingkat sel dan jaringan akibatnya menekan fungsi miokardium.
Iskemik yang berlangsung 3045 menit menyebabkan kerusakan pada sel
yang irreversible dan kematian otot atau nekrosis. Sehingga otot jantung
yang mengalami infark tidak dapat memenuhi fungsi kontraksi.
Berkurangnya fungsi kontraksi mengubah hemodinamik, respon
hemodinamik dapat berubahubah sesuai ukuran segmen yang
mengalami infark. Dengan begitu kompensasi berkurangnya fungsi
ventrikel kiri dapat mengurangi curah jantung dengan mengurangi
volume sekuncup, pengurangan pengosongan sistolik ini memperbesar
volume ventrikel akibatnya tekanan jantung kiri meningkat. Tekanan
akhir diastolik ventrikel kiri meningkat akibatnya peningkatan kebutuhan
oksigen tanpa diimbangi dengan suplay oksigen akan memperluas lokasi
infark.

6. Tanda dan Gejala


Serangan IMA pada umumnya mudah diketahui, terutama saat
terjadinya serangan. Beberapa tanda yang bisa kita gunakan untuk
mengetahui kedaan pasien yaitu:
a. Lokasi nyeri
Hampir sebagian besar pasien IMA mengeluh tidak enak/ nyeri pada
daerah dada (retrosternal). Kadang kadang nyeri menjalar ke lengan,
leher, tenggorok, dagu, atau punggung.
b. Kualitas nyeri
Rasa nyeri umumnya seperti tertindih, terperas, terjepit atau crushing
di dada. Perasaan nyeri dapat disertai dengan mual, muntah, sesak,
pusing, keringat dingin, berdebar-debar atau sinkope.
c. Lama dan frekuensi nyeri
Nyeri umumnya berlangsung selama lebih dari 30-45 menit.
Biasanya pasien nampak gelisah dan takut dengan kondisinya. Nyeri
biasanya berlangsung lebih lama dari angina pectoris dan tak
responsif terhadap nitrogliserin.
Walaupun IMA dapat merupakan manifestasi pertama penyakit
jantung koroner namun bila anamnesis dilakukan dengan teliti kondisi ini
sebenarnya sudah didahului keluhan-keluhan angina, perasaan tidak enak
di dada atau epigastrium. Kelainan pada pemeriksaan fisik tidak ada yang
spesifik dan dapat normal. Dapat ditemui BJ yakni S2 yang pecah,
paradoksal dan irama gallop. Adanya krepitasi basal menunjukkan
adanya bendungan paru-paru. Takikardia, kulit yang pucat, dingin dan
hipotensi ditemukan pada kasus yang relatif lebih berat, kadang-kadang
ditemukan pulsasi diskinetik yang tampak atau berada di dinding dada
pada IMA inferior.
7. Pemeriksaan Penunjang
Secara klinis, untuk mendiagnosis infark miokard diperlukan 2
(dua) dari 3 (tiga) kriteria sebagai berikut :
a. Terdapat riwayat klinis: perasaan tertekan dan nyeri pada dada (ulu
hati), selama 30 menit atau lebih
b. Perubahan gambaran ECG: segmen ST elevasi lebih dari 0,2 mV
paling sedikit 2 (dua) precordial leads, depresi segmen ST lebih
besar dari 0,1 mV paling sedikit 2 (dua) leads, ketidaknormalan
gelombang Q atau inversi gelombang T paling sedikit 2 (dua) leads
c. Peningkatan konsentrasi serum kreatinin kinase 2 (dua) kali lebih
besar dari nilai normal pada pemeriksaan laboratorium.
Pemeriksaan penunjang pada pasien IMA diantaranya
pemerikasaan enzim jantung, troponin, tes darah, elektrokardiografi,
ekokardiografi, dan arteriografi koroner. Salah satu fungsi pemeriksaan
enzim jantung yaitu mengetahui nilai kreatinin fosfokinase, isoenzim,
dan laktat dehidrogenase. Kreatinin fosfokinase dapat dideteksi 6-8 jam
setelah infark miokard dan memuncak dalam 24 jam serta kembali
normal setelah 24 jam selanjutnya. Isoenzim (CPK-MB) spesifik untuk
otot jantung dan dapat dideteksi dalam 12 jam, memuncak dalam 36 jam,
dan kembali normal setelah 4 hari. Peningkatan enzim nonspesifik laktat
dehidrogenase (LDH) terjadi pada tahap lanjut infark miokard :
peningkatan kadar dapat dideteksi dalam 24 jam, memuncak dalam 3-6
hari dengan peningkatan yang tetap dekat dideteksi selama 2 minggu.
Isoenzim LDH lebih spesifik namun penggunaan klinisnya telah
dilampaui oleh pengukuran troponin.
Pemeriksaan selanjutnya adalah tes darah dimana perubahan
nonspesifik pada tes darah rutin meliputi peningkatan jumlah sel darah
putih setelah 48 jam, terutama sel-sel polimorfik, dan peningkatan laju
endap darah (LED) serta protein reaktif-C (CRP) yang memuncak dalam
4 hari dengan puncak kedua sebagai gambaran sindrom Dressler.
Hiperglikemia ringan sebagai akibat dari intoleransi karbohidrat dapat
berlangsung selama beberapa minggu. Pelepasan ketokolamin, tirah
baring dan perubahan diet mempengaruhi perkiraan kadar lipid, sehingga
harus ditunda selama 4-6 minggu.
Pemeriksaan penunjang yang lebih detail adalah EKG yang memiliki
tingkat akurasi prediktif positif sekitar 80% ; maka EKG normal tidak
menyingkirkan diagnosis infark. EKG serial bernilai dalam dokumentasi
evolusi gangguan elektrik. Perubahan EKG berlangsung dalam susunan
yang jelas. Repolarisasi inkomplit yang rusak menyebabkan elevasi
segmen S-T pada daerah yang mengalami infark.
Pada EKG pasien segera setelah infark, gelombang T yang tinggi dan
simetris dapat terlihat dan terbalik ketika segmen S-T mengalami elevasi.
Depresi segmen S-T respirokal didapatkan pada lead yang berlawanan
pada infark. Segment S-T kembali ke garis isoelektrik dalam beberapa
hari tergantung pada besar infark, diikuti oleh terbaliknya gelombang T
yang bisa tetap selamanya. Kemudian, gelombang Q patologis,
didefinisikan sebagai gelombang Q dengan durasi >30 mm/detik dan
amplitude >25% gelombang R, timbul pada daerah infark. Gelombang Q
tidak spesifik karena bisa didapatkan pada kardiomiopati dan hipertrofi
ventrikel. Pada sepertiga pasien, gelombang kembali normal 18
bulan setelah kejadian akut tersebut. Sebanyak 20% yang mengalami
infark dengan kriteria klinis dan enzim mengalami infark pada area
tersebut namun secara elektrik pada EKG 12 lead permukaan tidak
menunjukan kelainan.
Hubungan antara EKG dan derajat keparahan patologis infark tidak
dapat diandalkan, maka seorang pasien dengan gelombang Q mungkin
memiliki infark transmural atau subendokard berlanjut. Hal yang sama
berlaku untuk pasien dengan depresi segmen S-T atau gelombang T yang
tetap terbalik (infark non gelombang Q), yang tidak spesifik untuk infark
subendokard. Meskipun kemungkinan infark subendokard untuk
menyebabkan syok kardiogenik atau ruptur miokard kecil, rupture
miokard kecil dapat menyebabkan kematian mendadak akibat aritmia
ventrikel atau menjadi penanda infark transmural berikut (yang disebut
sebagai infark stuttering). Prognosis infark nongelombang Q lebih jelek
dari pada infark gelombang Q.
Ekokardiografi untuk mengetahui abnormalitas gerakan dinding
regional, penurunan pendekatan fraksional dan fraksi ejeksi, trombus
mural, cairan perikardial, dan abnormalitas fungsi katup dapat dideteksi
dengan ekokardiografi potongan melintang. Arteriografi koroner darurat
kadang diperl ukan bila tetap ada keraguan mengenai diagnosis pasien
dengan gejala tipikal tanpa ada perubahan EKG yang khas. Arteriografi
koroner biasanya dilakukan pada pasien yang mengalami PTCA primer
atau pemasangan stent.
8. Penatalakasanaan
Penatalaksanaan IMA menurut ACC/AHA 2013 :
a. Pemberian Oksigen
Suplementasi oksigen harus diberikan pada pasien dengan saturasi
oksigen arteri < 90%. Pada semua pasien IMA tanpa komplikasi
dapat diberikan oksigen selama 6 jam pertama.
b. Nitrogliserin
Pasien dengan nyeri iskemik di dada harus diberikan nitrogliserin
sublingual 0,4 mg setiap 5 menit dengan dosis maksimal 3 dosis.
Setelah melakukan penialaian seharusnya dievaluasi akan kebutuhan
nitrogliserin intravena. Intravena nitrogliserin ini diindikasikan untuk
bila nyeri iskemik masih berlangsung, untuk mengontrol hipertensi,
dan edema paru. Nitrogliserin tidak diberikan pada pasien dengan
tekanan darah sistolik <90 mmHg, bradikardi, (kurang dari 50 kali
per menit), takikardi (lebih dari 100 kali per menit, atau dicurigai
adannya RV infark.. nitrogliserin juga harus dihindari pada pasien
yang mendapat inhibitor fosfodiesterase dalam 24 jam terakhir.
c. Analgesik
Morfin sulfat (2-4mg intravena dan dapat diulang dengan kenaikan
dosis 28 mg IV dengan interval waktu 5 sampai 15 menit)
merupakan pilihan utama untuk manajemen nyeri yang disebabkan
IMA. Efek samping yang perlu diwaspadai pada pemberian morfin
adalah konstriksi vena dan arteriolar melalui penurunan simpatis
sehingga terjadi pooling vena yang akan mengurangi curah jantung
dan tekanan arteri. Efek hemodinamik ini dapat diatasi dengan
elevasi tungkai dan pada kondisi tertentu diperlukan penambahan
cairan IV dan NaCl 0,9%. Morfin juga dapat menyebabkan efek
vagotonik yang menyebabkan bradikardia atau blok jantung derajat
tinggi, terutama pasien dengan infark posterior. Efek samping ini
biasanya dapat diatasi dengan pemberian atropine 0,5 mg.
d. Aspirin
Aspirin kunyah harus diberikan pada pasien yang belum pernah
mendapatkan aspirin pada kasus IMA. Dosis awal yang diberikan 162
mg sampai 325 mg. Selanjutnya aspirin diberikan oral dengan dosis
75-162 mg.
e. Beta Bloker
Terapi beta bloker oral dianjurkan pada pasien yang tidak memiliki
kontraindikasi terutama bila ditemukan adanya hipertensi dan
takiaritmia. Jika morfin tidak berhasil mengurangi nyeri dada,
pemberian penyekat beta IV, selain nitrat mungkin efektif. Regimen
yang biasa digunakan addalah metoprolol 5 mg setiap 2-5 menit
sampai total3 dosis, dengan syarat frekuensi jantung > 60 menit,
tekanan darah sistolik > 100 mmHg, interval PR < 0,24 detik dan
ronki tidak lebih dari 10 cm dari diafragma. Lima belas menit setelah
dosis IV terakhir dilanjutkan dengan metoprolol oral dengan dosis 50
mg tiap 6 jam selama 48 jam dan dilanjutkan 100mg tiap 12 jam.
f. Clopidogrel
Pemberian clopidogrel 600 mg sedini mungkin. Dan dilanjutkan
dengan dosis rumatan sebesar 75 mg per hari.
g. Reperfusi
Semua pasien IMA seharusnya menjalani evaluasi untuk terapi
reperfusi. Reperfusi dini akan memperpendek lama oklusi koroner,
meminimalkan derajat disfungsi dan dilatasi ventrikel dan
mengurangi kemungkinan pasien IMA berkembang menjadi pump
failure atau takiaritmia ventricular yang maligna. Sasaran terapi
reperfusi pada pasien IMA adalah door to needle atau medical
contact to balloon time untuk Percutaneous Coronary Intervention
(PCI) dapat dicapai dalam 90 menit. Reperfusi, dengan trombolisis
atau PCI primer, diindikasikan dalam waktu kurang dari 12 jam sejak
onset nyeri dada untuk semua pasien IMA yang juga memenuhi salah
satu kriteria berikut : ST elevasi > 0,1mV pada >2 ujung sensor ECG
di dada yang berturutan,ST elevasi >0,2mV pada >2 ujung sensor di
tungkai berturutan, Left bundle branch block baru.
Terdapat beberapa metode reperfusi dengan keuntungan dan
kerugian masing-masing. PCI primer merupakan terapi pilihan jika
pasien dapat segera dibawa ke pusat kesehatan yang menyediakan
prosedur PCI. Pasien dengan IMA harus menemui pelayanan
kesehatan dalam 1,52 jam setelah terjadinya gejala untuk
mendapatkan medikamentosa sedini mungkin. Pasien dengan IMA
harus dilakukan terapi reperfusi dalam 12 jam awal. Terapi
fibrinolitik diindikasikan sebagai terapi reperfusi awal yang
dilakukan pada 30 menit awal dari kedatangan di Rumah Sakit.
Tata laksana Non-medikamentosa
a) Tirah baring
b) Tatalaksana nyeri
c) Diit
d) Rehabilitasi jantung
1. Rehabilitasi Jantung
a. Definisi rehabilitasi jantung
Rehabilitasi jantung merupakan serangkaian kegiatan diperlukan
untuk mempengaruhi penyebab penyakit jantung dan mencapai
kondisi fisik, mental, dan sosial terbaik sehingga mereka dapat
mempertahankan atau mencapai kehidupan seoptimal mungkin di
masyarakat dengan usahanya sendiri (WHO, 1993). Rehabilitasi
jantung ini bertujuan mengoptimalkan kapasitas fisik tubuh, memberi
penyuluhan pada pasien dan keluarga dalam mencegah komplikasi
dan membantu pasien agar dapat beraktivitas fisik kembali seperti
sebelum mengalami gangguan (Arovah, 2012).
b. Tujuan

Pasien penyakit kardiovaskular memerlukan program


rehabilitasi yang komprehensif untuk mengembalikan kemampuan
fisik paska serangan serta mencegah terjadinya serangan ulang.
Pada pasien dengan penyakit jantung koroner program-program
latihan fisik dan psiko-edukasi dapat membantu menurunkan
mortalitas penyakit jantung dalam jangka waktu yang lama,
mengurangi kambuhnya miokard infark, dan memperbaiki faktor-
faktor risiko utama penyakit jantung (Benson, 2000 dalam
Tedjasukmana, 2010). Rehabilitasi jantung juga dapat
meningkatkan kapasitas latihan, menurunkan serum lipid,
meningkatkan kesejahteraan psikososial, dan mengurangi stres
(Balady, 1994 dalam Derstine, et al., 2001). Menurut Tedjasukmana
(2010) tujuan rehabilitasi jantung yaitu:

a. Medical goals yaitu meningkatkan fungsi jantung, mengurangi


risiko kematian mendadak, infark berulang, meningkatkan
kapasitas kerja, mencegah progresivitas yang mendasari proses
ateroskeloris, dan menurunkan mortalitas dan morbiditas.

c. Psychological goals yaitu mengembalikan percaya diri,


mengurangi kecemasan dan depresi, meningkatkan manajemen
stres dan mengembalikan fungsi seksual yang baik.
d. Social goals yaitu dapat bekerja kembali dan melakukan aktivitas
kehidupan sehari-hari secara mandiri.
e. Health service goals yaitu mengurangi biaya medis, mobilisasi dini
dan pasien dapat pulang dengan segera, mengurangi pemakaian
obat-obatan, dan mengurangi kemungkinan dirawat kembali.

Balady (2007 dalam Rady, et al., 2009) menjelaskan program


rehabilitasi jantung yang komprehensif harus mencakup beberapa
komponen berikut yaitu:

a. Pengkajian kondisi dan riwayat medis pasien


b. Edukasi dan konseling dalam rangka meningkatkan pengetahuan
dan kesadaran pasien agar mampu menghindari faktor risiko dengan usaha
sendiri, mampu mengatasi kecemasan, dan mengatasi faktor risiko agar proses
penyakit atau proses atherosklerosis dapat dihentikan atau dihambat
c. Upaya pengontrolan faktor risiko; menyangkut edukasi,
modifikasi gaya hidup kearah hidup sehat dan pengobatan yang diperlukan
d. Program latihan dan konseling aktivitas fisik, terutama dalam
upaya meningkatkan pola hidup sehat, tingkat kebugaran, kualitas hidup, dan
pengendalian faktor risiko.
c. Fase rehabilitasi jantung

Rehabilitasi jantung dimulai saat kondisi hemodinamik pasien


stabil yaitu tidak ada sakit dada berulang dalam 8 jam, tidak ada
tanda-tanda gagal jantung yang tidak terkompensasi (sesak pada
saat istirahat dengan ronki di dasar paru bilateral), dan tidak ada
perubahan signifikan yang baru pada EKG dalam 8 jam terakhir
(Tedjasukmana, 2010). Kriteria-kriteria untuk pasien rehabilitasi
jantung yaitu:

a. Kriteria inklusi: paska miokard infark, penyakit jantung koroner, paska


PTCA, paska CABG, CHF stabil, pacu jantung, penyakit katup jantung,
transplantasi jantung, penyakit jantung bawaan, dan penyakit gangguan
vaskular lainnya.
b. Kriteria ekslusi: angina tidak stabil, gagal jantung kelas 4, takiaritmia-
bradiaritmia tidak terkontrol, severe aortic-mitral stenosis, hypertropic-
obstructive cardiomyopathy, severe pulmonary hypertension, dan kondisi
lainnya. Rehabilitasi jantung memiliki 4 fase yaitu:
a. Fase I (Inpatient)

Program rehabilitasi fase I merupakan program yang diberikan


selama

pasien dirawat di rumah sakit. Rehabilitasi fase akut di rumah sakit


meliputi rehabilitasi di ruang ICCU/CVCU selama 3-5 hari dan
dilanjutkan di ruang perawatan lanjutan selama 2-3 minggu atau
hingga pasien pulang (Udjianti, 2011). Kegiatan program
rehabilitasi fase I terdiri dari pendidikan kesehatan dan latihan
aktivitas fisik. Aktivitas atau tingkat fungsional disusun berdasarkan
diagnosis dan kondisi medis pasien. Pasien dipantau secara ketat
terhadap kemungkinan tanda dan gejala yang timbul selama latihan
(Irish Association of Cardiac Rehabilitation, 2013).

Menurut Rokhaeni, Purnamasari, Rahayoe (2001) manfaat dari program


rehabilitasi jantung fase I yang dilakukan sejak pasien dirawat di rumah sakit
adalah menurunkan angka morbiditas maupun mortalitas, waktu perawatan
pasien lebih singkat, dan menurunkan depresi dan kecemasan pasien.
Program rehabilitasi jantung fase I efektif untuk meningkatkan pengetahuan,
menurunkan kecemasan, dan memperbaiki perilaku perawatan diri pada
pasien akut miokard infark (Park,1998).

Latihan aktivitas fisik rehabilitasi jantung fase I

Program latihan aktivitas fisik dapat dilakukan setelah


48 jam setelah gangguan jantung sepanjang tidak terdapat
kontraindikasi. Program latihan aktivitas fisik rehabilitatif bagi
penderita gangguan jantung bertujuan untuk mengoptimalkan
kapasitas fisik tubuh, memberi penyuluhan pada pasien dan
keluarga dalam mencegah perburukan, dan membantu pasien
untuk kembali dapat beraktivitas fisik seperti sebelum
mengalami gangguan jantung (Arovah, 2012).

Program latihan dapat meningkatkan toleransi aktivitas


pada wanita dan pria pada semua usia termasuk usia diatas 75
tahun (Balady, et al., 1996 dalam Hoeman, 2002). Latihan
aktivitas fisik juga menurunkan gejala angina, gejala gagal
jantung, dan meningkatkan clinical measurement pada iskemia
(Wenger, et al., 1995 dalam Hoeman, 2002). Selain memiliki
manfaat vital, latihan fisik pada pasien gangguan jantung dapat
pula mencetuskan serangan ulang. Untuk meminimalisasi
risiko tersebut, latihan fisik dikontraindikasikan pada keadaaan
tertentu. Sebab itu, sebelum pasien memulai program latihan
aktivitas fisik, pasien harus mendapatkan rekomendasi dari
dokter.

Indikasi relatif untuk memulai latihan aktivitas fisik


rehabilitasi jantung fase I (Working Group on Cardiac
Rehabilitation and Exercise Physiology and Working Group on
Heart Failure of the European Society of Cardiology, 2001
dalam Papathanasioui, et al., 2008) yaitu:

a. Gagal jantung terkompensasi minimal selama 3 minggu

b. Dapat berbicara tanpa dispnea (RR <30 kali permenit)

c. HR rest <110 kali permenit

d. Tidak merasa kelelahan

e. Indeks jantung 2.1 L/min/m2 atau CVP <12 mmHg

Kontraindikasi latihan aktivitas fisik rehabilitasi jantung


fase I (Oldridge, 1988 dalam Arovah, 2012) yaitu: a. Angina
tidak stabil

Tekanan darah sistolik istirahat > 200 mm Hg atau diastolik


istirahat >100 mmHg

c. Hipotensi ortostatik sebesar 20 mmHg

d. Stenosis aorta sedang sampai berat

e. Gangguan sistemik akut atau demam


f. Disritmia ventrikel atau atrium tidak terkontrol

g. Sinus takikardia (>120 denyut/menit)

h. Gangguan jantung kongestif tidak terkontrol

i. Blok atrio ventrikular

j. Miokarditis dan perikarditis aktif

k. Embolisme

l. Tromboflebitis

m. Perubahan gelombang ST (>3mm)

n. Diabetes tidak terkontrol

o. Masalah ortopedis yang menganggu istirahat.

2.3.2. Peresepan latihan aktivitas fisik (exercise prescription)


rehabilitasi jantung fase I

Lavie, et al. (1993 dalam Arovah, 2012) menyatakan


bahwa program latihan aktivitas fisik disusun berdasarkan
tingkat kesadaran dan kebutuhan individual pasien (status
medis, profil faktor risiko, stabilitas muskuloskeletal, motivasi
terhadap latihan, dan hasil EKG). Program latihan sebaiknya
dimonitor berdasarkan target frekuensi denyut nadi, perceived
exertion maupun prediksi METs (Metabolic Equivalents).

Metode METs dapat menilai kebutuhan latihan dan aktivitas


pasien. Satu METs menunjukkan kebutuhan oksigen individu
saat istirahat atau setara dengan 3,5 ml O2/kg/ menit (Woods, et
al., 2000 dalam Hoeman, 2002). Peningkatan acupan oksigen
baru dapat diperoleh secara maksimal bila latihan dinamis
dilakukan selama 1560 menit, tiga hingga lima kali dalam
seminggu dengan intensitas 50 80% dari kemampuan
maksimalnya, dan disertai waktu singkat untuk pemanasan dan
pendinginan (Lubis, 2009).

Protokol pelaksanaan latihan aktivitas fisik rehabilitasi


jantung bersifat submaksimal atau dibatasi terhadap keluhan.
Protokol submaksimal memiliki hasil akhir yang telah
ditentukan, yaitu denyut jantung maksimal 120 denyut per
menit atau 70 % dari perkiraan denyut jantung maksimal, atau
setinggi 5 METs (Lubis, 2009). Latihan aktivitas fisik
dilakukan terbatas pada intensitas ringan dan tidak
menyebabkan kelelahan. Bentuk latihan dapat berupa aktivitas
perawatan diri, latihan sederhana seperti ROM (range of
motion), dan terapi fisik ambulasi yang diawasi misalnya
berjalan, bersepeda, latihan ergometri lengan dan aquatic
exercises (Brewer, et al., 2002 dalam Hoeman 2002).

Latihan aktivitas fisik diresepkan berdasarkan bentuk,


intensitas, durasi, dan frekuensi latihan. Intensitas latihan
berkisar antara 1-3 METs, HR (heart rate) selama latihan tidak
melebihi 20x/ menit HR selama istirahat. Skala perceived
exertion tidak lebih dari 11 (light exertion) berdasarkan 6-20
skala Borg. Durasi latihan selama 3-5 menit dan ditingkatkan
hingga 15 menit. Frekuensi latihan di ICU adalah 3-4 sesi

perhari dan diikuti dengan 1-2 sesi perhari di departemen terapi


fisik (Cahalin, 2001; American College of Sports Medicine,
2006 dalam Papathanasioui, et al., 2008).

Tes yang dibatasi gejala dibentuk untuk terus


melaksanakan latihan hingga munculnya tanda dan gejala yang
memaksa dihentikannya tes, protokol yang paling sering
dipergunakan adalah modified Bruce, modified Naughton dan
Bruce standard (Gibbons, et al., dalam Lubis, 2009). Pada
ruangan rawat inap penyakit kardiovaskular RSUP H. Adam
Malik biasanya dilaksanakan 6 minute walk test untuk mengkaji
kapasitas fungsional pasien yang diberikan program latihan
aktivitas fisik rehabilitasi jantung fase I (inpatient). Walk test
dilakukan pada awal dan akhir program latihan untuk mengkaji
kemampuan pasien berjalan dalam waktu enam menit,
perkiraan METs, keluhan selama latihan, waktu istirahat serta
pengukuran tekanan darah dan frekuensi denyut nadi (Babu, et
al., 2010).

Pasien perlu monitoring ketat untuk melihat timbulnya


tanda dan gejala iskemik miokardium, ventrikular disritmia
atau kriteria-kriteria yang menyebabkan latihan aktivitas fisik
perlu dihentikan. American College of Sports Medicine (2000)
dalam Hoeman (2002) menyebutkan latihan aktivitas fisik
harus dihentikan jika terdapat tanda dan gejala berikut yaitu:
a. Kelelahan, pusing, dispnea dan mual

Perubahan ritme jantung

c. Gejala angina

d. Penurunan denyut nadi lebih dari 10 kali/ menit

e. Penurunan tekanan darah sistolik lebih dari 10 mmHg

f. Peningkatan denyut nadi lebih dari 20 kali/ menit untuk


pasien infark miokardium

g. Peningkatan tekanan darah lebih dari batas yang dianjurkan


saat exercise testing sebelumnya

Latihan pada fase ini menuntut kesiapan tim yang dapat


mengatasi keadaan gawat darurat apabila pada saat latihan
terjadi serangan jantung (Arovah, 2012). Apabila terjadi gejala
gangguan jantung, ortopedik maupun neuromuskular perlu
dilakukan peninjauan ulang terhadap program latihan (Lavie, et
al., 1993 dalam Arovah, 2012). Rehabilitasi pada pasien yang
disertai komplikasi dilakukan apabila komplikasi sudah dapat
diatasi dan setiap tahap memerlukan waktu yang lebih lama.
Program aktivitas fisik yang terarah dan teratur akan
meningkatkan kapasitas kerja fisik yang baik sehingga lebih
banyak pekerjaan yang dapat dilakukan pasien (Udjianti, 2011).
Tabel 2.2 Pedoman pelaksanaan latihan aktivitas fisik pasien infark
miokardium (Udjianti, 2011).

Tahap Tempat/ Hari ke Latihan fisik Aktivitas

I ICCU/ 1-2 -Pergerakan fisik semua -Duduk di kursi 2x15


ekstremitas masing-masing 5 menit per hari.
kali di atas tempat tidur. -Makan sendiri.
-Pergerakan aktif pergelangan
kaki ke arah plantar dan dorsal
10 kali dengan frekuensi 3 kali
per hari.
II ICCU/ 3-4 -Fleksi, ekstensi, rotasi sendi -Mencuci tangan,
bahu, siku, pinggang dengan menggosok gigi.
bantuan. -Duduk di kursi 3x15
menit per hari.
III Intermediate -Pergerakan aktif sendi bahu, -Sama dengan tahap
room/ 5-7 siku, pinggang, pergelangan II.
kaki dengan bantuan minimal. -Berganti pakaian
sendiri.
IV Ruang perawatan/ -Pergerakan aktif sendi bahu, -Ganti pakaian,
8-10 siku, pinggang, pergelangan menyisir sendiri
kaki dengan bantuan minimal. dengan duduk
-Berjalan di kamar
saja
V Ruang perawatan/ -Pergerakan aktif sendi bahu, -Sama dengan tahap
11-12 siku, pinggang, pergelangan IV.
kaki dengan bantuan minimal. -Berjalan ke kamar
mandi dan mandi
sendiri.
VI Ruang perawatan/ -Berdiri dengan menggerakkan -Duduk di ruang tamu.
13-14 ekstremitas 3 kali per hari
-Tidur terlentang dengan
menggerakkan kedua kaki 2
kali perhari.
-Tidur miring dengan
mengangkat kaki 2 kali per
hari.
VII Ruang perawatan/ -Sama dengan tahap VI -Duduk di ruang tamu
15-16 2 kali per hari.
-Lebih banyak duduk
setiap hari.

b. Fase II (Outpatient/ Immediate outpatient)

Program outpatient dilakukan segera setelah kepulangan pasien


dari rumah sakit yaitu dimulai pada minggu kedua atau ketiga
berupa program latihan terstruktur, pasien individual/group,
konseling, dan edukasi (Tedjakusuma, 2010). Tujuan utama dari
program ini adalah untuk mengembalikan kemampuan fisik pasien
pada keadaan sebelum sakit.
Pasien yang pernah menjalani operasi CABG sering merasa
pusing dan disritmia supraventrikular sedangkan pada pasien infark
miokard sering mengalami perubahan segmen ST pada EKG.
Sehingga diperlukan pengawasan program rehabilitasi pada pasien
dengan riwayat gangguan jantung tersebut (Jolliffe, et al., 2001).
Program ini dikepalai oleh dokter yang dapat melakukan kontak
secara teratur dengan pasien, dapat melayani

panggilan rumah atau dapat melakukan pengawasan pada program


latihan (Marchionni, et al., 2003 dalam Arovah, 2012).

c. Fase III (Maintenance/ intermediate outpatient)

Fase ini dimulai segera setelah fase II, saat kondisi pasien sudah
stabil dan

tetap dengan tindakan supervisi. Program fase III difokuskan pada


modifikasi gaya hidup dan latihan fisik. Fase ini berlangsung
selama 3-6 bulan (Derstine, et al., 2001).

d. Fase IV (Maintenance phase of indefinite lenght)

Fase yang tidak memerlukan supervisi dan berlangsung dalam


waktu tak
terbatas. Tujuan pada fase IV yaitu melihara pencapaian kondisi
pasien yang optimal. Fase ini difokuskan pada perawatan jangka
panjang seumur hidup untuk menjaga gaya hidup sehat,
menghindari kemunduran dari target-target yang sebelumnya telah
tercapai seperti tingkat kesegaran fisik, mempertahankan berat
badan, dan berhenti merokok (Lubis, 2009).

Sedangkan program mobilisasi (latihan aktivitas fisik)


pada pasien

rawat inap yaitu:

Tabel 2.3. Pedoman program latihan aktivitas fisik rehabilitasi jantung


fase I

(National Heart Foundation of Australia, 2004).

Stage Latihan aktivitas fisik

1 - Mandi dengan bantuan


- Ke toilet dengan kursi roda/ bantuan

- Mobilisasi tangan dan kaki seperti dicontohkan

2 - Mandi dengan bantuan


- Ke toilet dengan kursi roda/ bantuan
- Mobilisasi tangan dan kaki seperti dicontohkan
- Berjalan perlahan 1-2 menit 2x sehari

3 - Dapat mandi sendiri sambil duduk


- Berjalan ke toilet sendiri

- Duduk di kursi
- Berjalan perlahan 1-2 menit 2x sehari

4 - Mandi sendiri (berdiri)


- Berjalan biasa 3-4 menit 2x sehari

- Sebagai tambahan pasien dapat berjalan sendiri atas


keinginan pasien

5 - Mandi sendiri
- Berjalan biasa 10 menit 2x sehari

- Mendaki 1 set tangga dengan bantuan

6 - Mandi sendiri

- Mendaki 2 set tangga dengan bantuan


Selain tata laksana di atas, terdapat tata laksana lain yang harus
diperhatikan diantaranya:
1) Tata laksana sebelum di Rumah Sakit
a)) Bagi orang awam
Kemampuan untuk mengenali gejala serangan jantung
penting untuk dikuasai. Bila pasien curiga terjadi serangan
IMA maka pasien/keluarga harus mencari pertolongan ke
layanan kesehatan.
b)) petugas kesehatan
Tindakan-tindakan penyelamatan yang penting dilakukan
seorang petugas kesehatan adalah
1)) Mengenali gejala dan golden period IMA
2)) Tirah baring dan pemberian oksigen 2-4 L/menit.
3)) Melakukan pemeriksaan EKG sesegera mungkin.
4)) Berikan aspirin 160-320mg tablet kunyah bila tidak ada
riwayat alergi aspirin.
5)) Berikan preparat nitrat sublingual misalnya isosorbid
dinitrat 5 mg dapat diulang setiap 5-15 menit sampai 3
kali.
6)) Bila memungkinkan pasang jalur infus
7)) Segera kirim ke rumah sakit terdekat dengan fasilitas
Percutaneus Coronary intervention (PCI) primer (bila
memungkinkan dalam 120 menit).
8)) Bila tidak ada PCI maka dikirim ke fasilitas layanan
kesehatan yang dapat melakukan trombolitik.
9)) Bila tidak ada kedua fasilitas tersebut, maka dikirim ke
rumah sakit terutama yang memiliki ruang perawatan
intensif.
B. Konsep Discharge Planning
f. Pengertian
Discharge planning (perencanaan pulang) adalah suatu proses
dimulainya pasien mendapatkan pelayanan kesehatan yang diikuti
dengan kesinambungan perawatan baik dalam proses penyembuhan
maupun dalam memperthankan derajat kesehatannya sampai pasien
merasa siap untuk kembali ke lingkungannya. Discharge planning
merupakan proses sistematis untuk perkiraan, persiapan, dan koordinasi
yang ditulis di lembar catatan keperawatan mencakup pengkajian,
diagnosa, perencanaan, penatalaksanaan, dan evaluasi .
Implementasi utama discharge planning adalah pemberian
kesehatan (health education) pada pasien dan keluarga untuk
meningkatkan pengetahuan dan pemahaman serta dukungan terhadap
kondisi kesehatan pasien serta tindak lanjut yang harus dilakukan
setelah pulang. Discharge planning harus dilakukan sedini mungkin. Ini
sesuai dengan pernyataan dari The Joint Commsission for Accreditation
of Healtcare Organization (JCHO) yaitu penting bagi perawat untuk
memfasilitasi pemulangan pada pasien sesegera mungkin, rencana
pulang dimulai sedini mungkin dengan tujuan untuk memenuhi
kebutuhan aktivitas.
g. Tujuan
Tujuan seorang perawat saat pasien masuk rumah sakit yaitu
memberikan pelayanan terbaik melalui koordinasi, health education,
dan pemberian tindakan yang tepat agar dapat memperpendek hari rawat
(lenghts of stay), membantu meringankan beban keluarga mengenai
biaya, dan juga mencegah . Perawat harus memberikan discharge
planning agar pasien memiliki kesiapan untuk pulang ke lingkungannya
dan tetap melakukan perawatan secara berkelanjutan.
Tujuan lain dari discharge planning menurut WHO diantaranya:
1) Mempersiapkan kesiapan pasien dan keluarga secara fisik,
psikologis utnuk pulang dan berdaptasi dengan perubahan
lingkungan
2) Mempersiapkan keluarga secara psikologi mengenai perubahan
kondisi pasien
3) Memberikan informasi pada apsien dan keluarga sesuai
kebutuhan
4) Memfasilitasi kelancaran perpindahan dan meyakinkan bahwa
semua fasilitas kesehatan siap menerima kondisi pasien
5) Meningkatkan kemandirian pasien dan keluarga untuk
meningkatkan derajat kesehatan
6) Memberikan kontinuitas perawatan antara rumah sakit dengan
lingkungan
7) Meningkatkan pasien dan keluarga tentang masalah kesehatan
dan kemungkinan terjadinya komplikasi
h. Manfaat
Manfaat discharge planning ditujukan diantaranya untuk pasien,
keluarga, dan pelayanan kesehatan di mayarakat maupun di rumah sakit.
Manfaat discharge planning menurut NCSS diantaranya menetapkan
tujuan bersama anatara pasien dan oemberi pelayanan mengenai
kebutuhna pasien, mengelola perawatan jangka pendek dan panjang,
mendorong pendekatan tim, dan mendapatkan kelangsungan perawatan
Manfaat discharge planning bagi pasien yaitu merasakan dirinya
merupakan bagian dari proses perawatan, sebagai subjek bukan objek
dari proses perawatan, menyadari haknya untuk dipenuhi segala
kebutuhannya, dan memiliki pengetahuan mengenai penyakitnya
bagaimana perawatannya, dan fasilitas kesehatan apa yang tersedia.
Sedangkan manfaat discharge planning bagi perawat yaitu merasakan
bahwa keahliannya diterima, memeahami perannya dalam sistem,
mengembangkan pengetahuan, ketrampilan dan prosedur baru, memiliki
kesempatan untuk bekerja dalam sistem yang efektif dan dinamis.
i. Waktu
Discharge planning harus dilakukan dengan janka waktu yang
optimal. Discharge planning harus dimulai setelah pasien masuk ke
rumah sakit. Menurut Carpenito, discharge planning harus dimaulai saat
pasien masuk. Setelah pengkajian pasien masuk perawat harus
menganalisa data untuk mengidentifikasi kebutuhan pasien maupun
keluarga
j. Pelaksanaan
Proses discharge planning mencakup kebutuhan fisik pasien,
psikologis, sosial, budaya, dan ekonomi. pelaksanaan discharge
planning dikatakan sukses jika discharge planning dimulai saat pasien
masuk, mempergunakan alat pengkajian discharge planning khusus
sehingga informasi yang akan diberikan sesuai dengan kebutuhan
pasien, merumuskan standard alat pengkajian yang berkisar pertanyaan
prediksi seperti checklist gejala atau format lain, memilih discharge
planning yang paling sesuai.
Sedangkan prinsip yang harus dikembangkan pada discharge
planning diantaranya:
1) discharge planning merupakan proses multidisiplin dalam
memenuhi kebutuhan pasien
2) prosedur discharge planning dilaksanakan secara konsisten dan
meyakomkan bahwa pasien dipindahkan ke lingkungan yang
aman
3) menjamin adanya kontinuitas perawatan setelah pulang
4) discharge planning dimulai saat pertama kali kontak dengan
pasien.
Pelaksanaan discharge planning membutuhkan perawat yang
memiliki kompetensi dalam pengkajian, mampu mengorganisasikan,
memiliki keahlian dalam berkomunikasi, menyadari sumber daya
masyarakat, dan memiliki kemampuan sebagai seorang dhischarge
planner. Berbagai penelitian telah dilakukan untuk menilai keefektifan
pelaksanaan discharge planning misalnya penelitian Dai, Chang, & Tai
(2002), tentang efektifitas discharge planning dalam pemberian health
education oleh perawat di RS Taiwan pada pasien post craniotomy.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa length of stay dan resiko
readmission pada kelompok intervensi lebih kecil daripada kelompok
kontrol.
Penelitian lain dengan judul Efektifitas Discharge Planning
terkontrol terhadap Kapasitas fungsional dan rawat inap ulang psien
congestive heart failure di RSUP Dr. Kariadi pada tahun 2015
membuktikan bahwa pemberian discharge planning terkontrol efektif
untuk meningkatkan kapasitas fungsional dan mencegah readmission.
Hal ini dibuktikan dengan hasil uji statistik menggunakan uji repeated
annova untuk menunjukkan menilai kapasitas fungsional yaitu p=0,000,
dan uji statistik chi-square untuk melihat hasil reamission hasilnya
p=0,000.
Prioritas pada pasien yang
1.seleksi pasien membutuhkan discharge planning

Pengkajian fisik & psikososial,


2.pengkajian status fungsional, health
education, konseling

3.perencanaan Metode METHOD, kolaborasi,


diskusi

Identifikasi: keluarga yang akan


4.sumber daya
dirawat, finansial, pusat pelayanan
pasien & keluarga
kesehatan

Health education, evaluasi kriteria


5. implementasi &
hasil, dokumentasi
evaluasi

Gambar 2.2 model klinik discharge palanning


Sumber:(6)
Format/tahapan discharge planning sebagai berikut :
a) Seleksi Pasien
Tahap ini meliputi identifikasi pasien yang membutuhkan
discahrge planning. Semua pasien membutuhkan pelayanan
kesehatan, namun pemberian discahrge planning lebih
diprioritaskan bagi pasien yang memiliki resiko lebih tinggi
memiliki kebutuhan pelayanan khusus. Departement of Health
mendeskripsikan karakteristik pasien karakteristik pasien yang
membutuhkan discahrge planning dan rujukan ke pelayanan
kesehatan adalah sebagai berikut:
1)) kurang pengetahuan tentang rencana pengobatan
2)) isolasi sosial
3)) diagnosa penyakit kronik
4)) operasi besar
5)) perpanjangan masa penyembuhan dari operasi bear atau
penyakit
6)) ketidakstabilan mental atau emosi
7)) penatalaksanaan perawatan di rumah kompleks
8)) kesulitan dalam finansial
9)) ketidakmampuan menggunakan sumber rujukan
10)) penyakit terminal
Sedangkan menurut New York State Departement of
Health (2005), prioritas klien yang menggunakan discahrge
planning yaitu:
a)) usia diatas 70 tahun
b)) multiple diagnosis dan resiko tinggi kematian
c)) keterbatasan mobilitas fisik
d)) penurunan status kognisi
e)) resiko cidera
f)) antisipasi perawatan jangka panjang: stroke, jantung, DM,
TBC
b) Pengkajian
Sejak pasien masuk, kaji kebutuhan pemulangan pasien
dengan menggunakan riwayat keperawatan, berdiskusi dengan
pasien; fokus pada pengkajian berkelanjutan terhadap
kesehatan fisik dan psikossial, status fungsional, kebutuhan
health education, dan konseling.
Prinsip pengakjian discahrge planning:
1) Pengkajian dilakukan saat pasien masuk dan berkelanjutan
selama perawatan
2) Pengkajian berfokus pada pasien dewasa yang beresiko
tinggi tidak trecapainya hasil discharge
3) pengkajian meliputi:
a) status fungsional (kemampuan dalam beraktivitas
sehari-hari dan fungsi kemandirian)
b) status kognitif ()kemampuan pasien dalam
berpartisipasi dalam proses discahrge planning dan
kemampuan mempelajari informasi
c) status psikologi pasien, khususnya pengkajian terhadap
depresi
d) persepsi pasien terhadap kemampuan perawatan diri
e) kemampuan fisik dan psikologik keluarga dalam
perawatan pasien
f) kurangnya pengetahuan berjaitan dengan kebutuhan
perawatan
g) faktor lingkungan setelah pulang dari rumah sakit
h) review pengobatan dan dampaknya
i) akses pelayanan kesehatan setelah pulang dari rumah
sakit
Karakteristik pasien yang siap untuk dikaji kebutuhan
health educationnya ditunjukkan dalam 3 kategori:
1)) secara fisik, pasien mampu berpartisipasi dalam proses
pengkajian dengan ditandai dengan tanda vital
terkontrol, kecemasan menurun, depresi menurun
2)) tujuan dalam proses pengkajian dapat dipahami oleh
pasien dan keluarga
3)) pengkajian harus memperhatikan status emosional
pasien dan keluarga dengan tujuan agar dapat
berpartisipasi aktif
c) Perencanaan
Pendekatan yang digunakan pada discharge planning
difokuskan pada 6 area penting dari pemberian health education
yang dikenal dengan istilah METHOD
M: Medication, pasien diharapkan mengetahui tentang:
1) Nama obat
2) Dosis yang harus diberikan dan waktu pemberiannya
3) Tujuan penggunaan obat
4) Efek obat seharusnya
5) Gejala yang mungkin menyimpang dari efek obat dan hal
yang perlu dilaporkan
E: Environment, pasien akan diajarkan tentang:
1) Instruksi adekuat mengenai ketrampilan penting yang dapat
dilakukan di rumah
2) Investigasi dan koreksi berbagai bahaya lingkungan
3) Support emosional yang kuat
4) Investigasi sumber-sumber ekonomi
T: Treatment, pasien dapat:
1) Mengetahui tujuan perawatan yang akan dilanjutkan di
rumah
2) Mmampu mendemonstrasikan cara perawatan yang benar
H: Health, pasien dapat:
1) Mendiskripsikan bagaimana penyakitnnya yang terkait
dengan fungsi tubuh
2) Mendeskripsikan makna-makna penting untuk memelihara
derajat kesehatan
O: Outpatient referral, pasien dapat:
1) Mengetahui waktu dan tempat kontrol kesehatan
2) Mengetahui di,ama dan siapa yang dapat dihubungi untuk
membantu perawatan
D: Diit, diharapkan pasien dapat:
1) Mendeskripsikan tujuan diit
2) Merencanakan jenis jenis menu yang sesuai
d) Implementasi
Penatalaksanaan dapat dibedakan dalam dua bagian, yaitu
implementasi yang dilakukan sebelum hari pemulangan, dan
implementasi yang dilakukan pada hari pemulangan.
1) Persiapan sebelum hari pemulangan pasien
Pada proses ini perawat mempersiapkan pasien dan
keluarga dengan memberikan informasi tentang sumber-
sumber pelayanan kesehatan, setelah menentukan segala
hambatan untuk belajar serta kemauan untuk belajar,
mengadakan sesi pengajaran dengan pasien dan keluarga
secepat mungkin selama dirawat di rumah sakit (seperti
tanda dan gejala terjadinya komplikasi, kepatuhan terhadap
pengobatan, kegunaan alat- alat medis, perawatan lanjutan,
diet, komunikasikan respon pasien dan keluarga terhadap
penyuluhan dan usulan perencanaan pulang kepada anggota
tim kesehatan lain yang terlibat dalam perawatan pasien.
2) Penatalaksanaan pada hari pemulangan
Jika beberapa aktivitas berikut ini dapat dilakukan
sebelum hari pemulangan, perencanaan yang dilakukan
akan lebih efektif. Adapun aktivitas yang dilakukan pada
hari pemulangan antara lain, biarkan pasien dan keluarga
bertanya dan diskusikan isu-isu yang berhubungan dengan
perawatan di rumah, periksa instruksi pemulangan dokter,
terapi, atau kebutuhan akan alat-alat medis yang khusus.
Persiapkan kebutuhan sebelum pasien sampai di rumah,
tentukan apakah pasien dan keluarga telah dipersiapkan
dalam kebutuhan transportasi menuju ke rumah, jaga
privasi pasien sesuai kebutuhan.
Fokus implementasi yaitu memberikan health education serta
pendokumentasian. Dalam pemberian health education bukan
hanya pemberian informasi tetapi juga perubahan perilak,
karena keberhasilan health education dibuktikan dengan
terbentuknya perilaku baru dan berkembangnya kemampuan
seseorang yang diawali dengan pembentukan pengetahuan,
sikap, dan ketrampilan. Aspek perubahan perilaku yang
berkembang dalam proses pendidikan meliputi:
1) Ranah kognitif (pengetahuan), menunjukkan pemikiran
rasional
2) Ranah afektif (sikap), menunjukkan reaksi terhadap
penyakitnya
3) Ranah psikomotor (ketrampilan), menunjukkan
kemampuan untuk mendemonstrasikan suatu keahlian
e) Evaluasi
Terdapat 2 indikator penilaian evaluasi yang perlu
dipertimbangkan yaitu kriteria proses dan kriteria hasil yang
dapat diukur berdasarkan status fungsional, hari rawat (length
of stay) atau kunjungan berulang (readmission) akibat faktor
yang tidak terkontrol. Evaluasi discharge planning perlu
diadakan follow-up setelah pasien pulang dari rumah sakit baik
melalui telepon atau kontak dengan keluarga serta pelayanan
kesehatan yang ikut melakukan kontinuitas perawatan. Tujuan
follow-up diantaranya: mengevaluasi dampak intervensi yang
telah diberikan dan mengkaji efektifitas dan efisiensi discharge
planning

C. Kesiapan
a. Pengertian
Menurut Slameto kesiapan adalah kondisi seorang individu siap dalam
memberikan respon dalam situasi tertentu . seseorang dikatakan siap jika
memiliki setidaknya 3 kondisi berikut:
1) Kondisi fisik, mental dan emosional
2) Kebutuhan-kebutuhan, motif dan tujuan
3) Keterampilan dan pengetahuan
b. Faktor yang mempengaruhi kesiapan
Kesiapan merupakan sikap psikologis yang dimiliki seorang individu
sebelum melakukan sesuatu. Kesiapan dapat dipengaruhi dua faktor yaitu
diri sendiri dan faktor luar.
1) Faktor Internal
Faktor yang berasal dari diri sendiri, terdiri dari dua bagian yaitu
jasmani dan rohani (psikologi) dimana kedua hal tersebut dapat
membuat seseorang terampil. Faktor jasmani terdiri dari kondisi
fisik dan panca indra, sedangkan faktor rohani terdiri dari minat,
kecerdasan, bakat, motivasi dan kemampuan kognitif. Aspek
rohani biasanya dipengaruhi oleh:
a)) Kematangan
Suatu kondisi yang dapat menimbulkan tingkah laku sebagai
akibat pertumbuhan dan perkembangan
b)) Kecerdasan
Daya pikit yang merupakan salah satu aspek penentu
keberhasilan seseorang dalam melakukan sesuatu.
c)) Minat
Sebagai seorang pasien harus menyadari dan mengetahui minat
yang ada dalam dirinya
d)) Motivasi
Dorongan yang mrmpengaruhi setiap usaha seseorang dalam
mencapai tujuan.
e)) Kesehatan
Tubuh yang sehat merupakan syarat seseorang untuk
melakukan tugasnya dengan baik
2) Faktor Eksternal
Merupakan faktor yang datang dari luar diantaranya lingkungan
dala,. Lingkungan luar, dan sistem.

Anda mungkin juga menyukai