Refrat Ssss
Refrat Ssss
Oleh:
Rizka Ramadhiyah, S.Ked
04054821618005
Pembimbing:
Dr. Sarah Diba, Sp.KK
1
HALAMAN PENGESAHAN
Referat
Judul
Oleh:
Rizka Ramadhiyah, S.Ked
04054821618005
Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti
Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Dermatologi dan Venereologi Fakultas
Kedokteran Universitas Sriwijaya RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang
Periode 19 Juni 24 Juli 2017.
2
STAPHYLOCOCCAL SCALDED SKIN SYNDROME
Rizka Ramadhiyah, S.Ked
Pembimbing dr. Sarah Diba, Sp.KK
Bagian/Departemen Dermatologi dan Venerologi
FK Unsri/RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang
2017
PENDAHULUAN
Staphylococcal scalded skin syndrome (SSSS) merupakan kelainan kulit
ditandai dengan eksantem generalisata, lepuh luas disertai erosi dan deskuamasi
superfisial. Kelainan ini disebabkan oleh toksin eksfoliatif (ETs) yaitu toksin
eksfoliatif A (ETA) dan B (ETB) yang dihasilkan strain Staphylococcus aureus.1,2
SSSS dominan terjadi pada bayi dan anak-anak di bawah usia 2 tahun, dilaporkan
80% kasus SSSS terjadi pada bayi dengan mortalitas 3,6-11%.12
Pasien SSSS memiliki gejala klinis berupa demam dan malaise yang timbul
beberapa hari setelah infeksi staphylococcal. Perkembangan lesi dapat berupa
erupsi kemerahan pada kulit yang menyebar dengan bula berdinding kend ur.
Lapisan atas kulit akan mengelupas, meninggalkan luka terbuka yang lembab,
merah dan nyeri. Daerah predileksi penyakit ini ditemukan pada wajah, axilla,
selangkangan dan leher biasa terlibat. Dengan perawatan tepat, erosi dapat
mengering dengan cepat dan deskuamasi akan terjadi dalam beberapa
hari.1,2Diagnosis ditegakkan berdasarkan temuan klinis, kultur mikroorganisme,
identifikasi ET, dan hasil biopsi. Prognosis pada anak biasanya baik, tetapi pada
dewasa diperlukan pemantauan yang ketat.3
Referat ini membahas mengenai penyebab, patofisiologi, manifestasi klinis,
penegakkan diagnosis dan tatalaksana Staphylococcal Scalded Skin Syndrome.
Diharapkan melalui referat ini dapat menambah pengetahuan mengenai
penegakkan diagnosis dan tatalaksana kasus SSSS.
ETIOLOGI
Staphylococcal scalded skin syndrome disebabkan oleh toksin eksfoliatif
(ETs) yaitu toksin eksfoliatif A (ETA) dan B (ETB) yang dihasilkan dari strain
3
toksigenik bakteri staphylococcus aureus. Staphylococcus aureus adalah flora
mikrobial persisten pada 10-20% populasi. Kuman ini dapat ditemukan pada sekitar
30-50% orang dewasa sehat. Strain tertentu dari S. aureus memproduksi toksin
eksfoliatif yaitu strain 52,55,71,3A,3B, dan 3C yang ditemukan pada lokasi
infeksi.2
Staphylococcus menghasilkan 3 macam metabolit, yaitu yang bersifat non
toksin, eksotoksin dan enterotoksin. Yang termasuk metabolit nontoksin ialah
antigen permukaan, koagulase yang berfungsi mencegah serangan oleh faga,
mencegah reaksi koagulosa dan mencegah fagositosis. Metabolit enterotoksisn
bersifat nonhemolitik, nondermonekrotik dan termostabil, dimana toksin ini
berperan pada intoksikasi makanan. Sedangkan metabolic eksotoksin merupakan
faktor virulensi stafilokokus yakni toksin, leucocidin, dan haemolysin yang
merupakan eksoproduk bakteri yang berperan penting pada perkembangan lesi kulit
lokal. Selain itu juga disekresikannya enzim katalase dan hyaluronidase yang
berperan pada destruksi jaringan konektif host. Serta toksin eksfoliatif yang
dihasilkan oleh Stafilokokus grup II dan merupakan suatu protein ekstraseluler
yang tahan panas tetapi tidak tahan asam.5
EPIDEMIOLOGI
Estimasi kejadian Staphylococcal Scalded Skin Syndrome pada populasi
umum kisaran 0,09 sampai 0,58 dalam 1 juta populasi, 80% kasus adalah neonates
dan anak usia kurang dari 2 tahun. Mortalitas akibat SSSS pada anak berkisar 3,6-
11% dan pada orang dewasa mencapai 40-63%.12
PATOFISOLOGI
Toksin eksfoliatif (ETs) merupakan serin protease yang dapat
menimbulkan celah pada ikatan adhesi antar sel molekul desmoglein 1, pada bagian
atas epidermis yaitu antara stratum spinosum dan granulosum sehingga
menimbulkan bula berdinding tipis yang mudah pecah, memperlihatkan Nikolsky
sign positif.2,4 Salah satu fungsi fisiologi utama kulit adalah barier terhadap infeksi,
4
yang terletak pada stratum korneum. Adanya toksin eksfoliatif yang dimiliki
S.aureus memungkinkan proliferasi dan penyebarannya di bawah barier tersebut.
Pada SSSS toksin berdifusi dari fokus infeksi, tidak adanya antibodi antitoksin
spesifik dapat menyebabkan penyebaran toksin secara hematogen.2
Salah satu fungsi fisiologi utama kulit adalah barier terhadap infeksi, yang
terletak pada stratum korneum. Adanya toksin eksfoliatif yang dimiliki S.aureus
memungkinkan proliferasi dan penyebarannya di bawah barier tersebut. Sekali kulit
dapat mengenali toksin eksfoliatif tersebut, S. aureus dapat menyebar sehingga
menimbulkan celah di bawah stratum korneum.9
Walaupun banyak strain toksin dari S aureus yang diidentifikasi grup 2,
produksi toksin juga diidentifikasi antara grup 1 dan 3, tetapi hanya sekitar 5% dari
(14)
S. aureus yang menghasilkan toksin eksfoliatif, dan telah diidentifikasi dua
serotipe berbeda yang menyerang manusia. Toksin staphylococcus terdiri atas
toksin eksfoliatif A dan B (ETA dan ETB) yang menyebabkan lepuhnya kulit pada
SSSS. ETA terdiri atas 242 dengan berat molekul 26.950 kDa, bersifat stabil
terhadap panas dan gennya terletak pada kromosom sementara ETB terdiri atas 246
asam amino dengan berat molekul 27.274 kDa, bersifat labil terhadap pemanasan
dan gennya berlokasi pada plasmid.1,2 Toksin ini dihasilkan pada fase pertumbuhan
bakteri dan diekskresikan dari kolonisasi Staphylococcus sebelum diabsorpsi
melalui sirkulasi sistemik. Toksin mencapai stratum granulosum epidermis melalui
difusi pada kapiler dermal.2 Pemeriksaan laboratorium mendukung bahwa ETB
lebih pirogenik dibandingkan ETA, sementara studi klinis menunjukkan meskipun
ETA dan ETB dapat menyebabkan SSSS lokal, tetapi ETB lebih sering diisolasi
dari anak yang menderita SSSS generalisata dan juga dapat menyebabkan eksfoliasi
generalisata pada orang dewasa yang sehat.1
Desmosom merupakan target toksin eksfoliatif pada SSSS (Gambar.1).
Desmosom adalah intercelluler adhesive junction yang secara struktural
berhubungan dengan filamen intermediet intraseluler. Desmosom ini diekspresikan
oleh sel epitel dan beberapa sel lainnya yang banyak terdapat pada jaringan yang
mengalami stress mekanik, seperti kulit, mukosa gastrointestinal, jantung, dan
kandung kemih.1,5 Desmoglein (Dsg) merupakan komponen transmembran mayor
5
pada desmosom yang berperan tidak hanya pada adhesi antar sel epitel tetapi juga
pada morfogenesis sel epitel. Terdapat 3 isoform desmoglein yaitu Dsg1, Dsg2, dan
Dsg3. Dsg 2 terdapat pada semua jaringan yang memiliki desmosom termasuk
epitel dan miokard, sedangkan Dsg1 dan Dsg3 terbatas pada epitel skuamos
bertingkat.7,8
6
ini menjelaskan mengapa bayi-bayi, pasien dengan gagal ginjal kronik, dan pasien
yang menjalani hemodialisa merupakan faktor predisposisi terjadinya SSSS.6
MANIFESTASI KLINIK
Staphylococcal scalded skin syndrome biasanya dimulai dengan demam,
malaise, gelisah, dan nyeri. Selanjutnya diikuti kemerahan meluas pada kulit yang
biasa terjadi pada daerah lipatan, seperti leher, axilla, selangkangan dan muka.
Dalam waktu 24-48 jam terbentuk benjolan-benjolan berisi cairan, benjolan-
benjolan ini mudah pecah, dan meninggalkan kesan yang tampak seperti terbakar.
Dua sampai tiga hari lapisan atas kulit akan mengeriput dan terjadi pengelupasan
lembaran kulit, meninggalkan luka terbuka yang lembab, merah dan nyeri. Luka
terbuka selanjutnya akan mengering dan terjadi deskuamasi, kondisi ini biasanya
dapat sembuh dalam 714 hari.8,11
A B
Gambar 2.(A) bercak kemerahan yang menyebar pada lengan, muka dan badan bayi
penderita SSSS, (B) bula berdinding tipis yang pecah dan meninggalkan kesan terbakar8
7
Gambar.3 Luka yang telah mengering dan mulai terjadi deskuamasi2
8
Gambar 4. Nikolskys sign positif pada penderita SSSS9
Pemeriksaan kultur bula yang intak pada SSSS biasanya steril (tidak
ditemukan staphylococcus), hal ini sesuai dengan patogenesis penyebaran toksin
secara hematogen berasal dari fokus infeksi yang jauh. Sedangkan pada impetigo
bulosa pemeriksaan kultur dan pewarnaan gram menunjukkan adanya
staphylococcus.2,4
Pada gambaran histopatologi didapatkan pemisahan pada epidermis antara
stratum granulosum dan stratum spinosum. Akantolisis pada stratum granulosum
dan pembentukan belahan subkorneal ditemukan pada lesi awal, pada tahap
deskuamasi tampak epidermis yang utuh dengan celah pada stratum korneum
(Gambar.5). Beberapa limfosit mengelilingi pembuluh darah superficial. Dua ET
(ETA dan ETB) dapat dilihat pada imunofluoresensi, dimana ET berikatan dengan
granula-granula keratohialin.2,11
9
Gambar.5 Histopatologi SSSS, dimana hilangnya adhesi sel pada epidermis superfisial.9
PENATALAKSANAAN
Terapi untuk SSSS harus ditujukan untuk mengeradikasi infeksi S. aureus.
Pengobatan biasanya memerlukan perawatan inap dan pemberian antibiotik anti-
staphylococcal intravena. Untuk kasus yang tidak berat, antibiotik oral dapat
diberikan sebagai pengganti setelah beberapa hari. Kerusakan fungsi perlindungan
10
kulit yang luas pada lesi SSSS, menyebabkan gangguan cairan dan elektrolit.
Pemantauan cairan ditunjang penggunaan antibiotik yang tepat serta perawatan
kulit, sangat berguna untuk mempercepat penyembuhan. Penggunaan baju yang
meminimalkan gesekan juga dapat membantu mengurangi terjadinya pengelupasan
kulit akibat gesekan. Kompres daerah lesi untuk membersihkan dari jaringan-
jaringan epidermis yang telah nekrosis. Salep antibiotik muporicin diberikan
beberapa kali dalam sehari pada area lesi termasuk pada sumber infeksi sebagai
tambahan terapi antibiotik sistemik.2
KESIMPULAN
Staphylococcal Scalded-Skin Syndrome (SSSS) merupakan suatu penyakit
epidermolisis yang disebabkan oleh ET (ETA dan ETB) dari Staphylococcus
aureus. Gejala berupa kemerahan meluas pada kulit diikuti terbentuknya bula yang
mudah pecah, dan tampak seperti terbakar. Diagnosis ditegakkan berdasarkan
temuan klinis, kultur mikroorganisme, identifikasi ET, dan hasil biopsi. Terapi
untuk SSSS bertujuan untuk mengeradikasi infeksi S. aureus dengan pemberian
antibiotik, pemantauan cairan, dan perawatan kulit. Prognosis pada anak lebih baik
dibandingkan dewasa karena jarang terjadi sepsis. Gangguan keseimbangan cairan
dan elektrolit, dehidrasi, infeksi sekunder, dan sepsis merupakan komplikasi SSSS
yang sering terjadi.
11
DAFTAR PUSTAKA
1. Ladhani S, Robbie S, Garratt RC, Chapple DS, Joannou CL, Evans RW.
Development and Evaluation of Detection System for Staphylococcal
Exfoliative Toxin a Responsible for Scalded Skin Syndrome. J Clin Microbiol.
2001; 39: 2050-54
2. Travers JB, Mousdicas N. Gram-positive Infections Associated with Toxin
Production. In: Freedberg IM, Eisen AZ, Austen KF, Goldsmith LA, Katz SI,
eds. Fitzpatricks Dermatology in General Medicine, 7th ed. New York:
McGraw-Hill; 2008. p. 1710-19.
3. Mishra Arun, Yadav Pragya, Mishra Amrita. A Systemic on Staphylococcal
Skin Syndrome (SSSS): A Rare and Critical Disease of Neonatus. India: IFTM
University. 2015;p.1874-2858.
4. Morgan MB, Smoller BR, Somach SC, eds. Staphylococcal Toxin-Mediated
Scalded Skin and Toxic Shock Syndromes. In: Deadly Dermatologic Diseases
Clinicopathologic Atlas and Text. Cleveland: Springer; 2007. p. 133-6.
5. Resnick SD. Pyodermas and toxin-mediated syndromes. In: Harper J, Oranje
A, Prose N, eds. Textbook of pediatric dermatology, 2nd ed. London: Blackwell
publishing; 2006. p. 455-65.
6. Luk N.M. Adult Staphylococcal Scalded Skin Syndrome (SSSS). Hong Kong
Dermatology & Venereology Bulletin. 2002; 10 (1): 25.
7. Amagai M, Matsuyoshi N, Wang ZH, Andi C, Stanley JR. Toxin in Bullous
Impetigo and Staphylococcal Scalded-Skin Syndrome Targets Desmoglein-1.
Nat Med. 2000; 6: 1275-7.
8. Runswick SK, O Hare MJ, Jones L, Streuli CH, Garrod DR. Desmosomal
adhesion regulates epithelial morphogenesis and cell positioning. Nat Cell Biol.
2001. 3: 823-30.
9. Hanakawa Y, Schechter NM, Lin C, Garza N, Yamaguchi T. Molecular
Mechanism of Blister Formation in Bullous Impetigo and Staphylococcal
Scalded Skin Syndrome. J. Clin. Invest. 2002; 110: 5360.
10. James WD, Berger TG, Elston DM. Hansens disease. In Andrews Diseases of
The Skin Clinical Dermatology. 10th ed. New York: Saunders Elsevier; p. 344-
52.
11. Rooks Grattan CEH, Black AK.. In: Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffiths
C, eds. Rooks Textbook in Dermatology. Massachusetts: Blackwell Science;
2004. p.47.31-3
12
12. Handler M.Z dan Schwart R.A. Staphylococcal Scalded Skin Syndrome:
Diagnosis and Management in Children and Adult. USA: European Academy
of Dermatology and Venereology,2014; p.1-6.
13