Kepercayaan rakyat Indonesia akan datangnya Ratu Adil dimanfaatkan Westerling untuk
meraih massa guna mewujudkan keinginannya. Kepercayaan tersebut memperlihatkan
bahwa sebagian rakyat Indonesia yang telah lama menderita karena penjajahan, baik oleh
Belanda atau Jepang, mendambakan datangnya suatu masa kemakmuran seperti yang
terdapat dalam ramalan Jayabaya.
Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) adalah milisi dan tentara swasta pro-Belanda yang
didirikan pada masa Revolusi Nasional Indonesia. Milisi ini didirikan oleh
mantan Kapten DST KNIL Raymond Westerling setelah demobilisasinya dari
kesatuan Depot Speciale Troepen (depot pasukan khusus KNIL) pada tanggal 15
Januari 1949. Nama milisi ini berasal dari bagian dari kitab ramalan Jawa Kuna Ramalan
Jayabaya yang meramalkan kedatangan seorang "Ratu Adil" yang merupakan
keturunan Turki. Karena mempunyai warisan darah campuran Turki, Westerling
memandang dirinya sebagai sang "Ratu Adil" yang diramalkan akan membebaskan rakyat
Indonesia dari "tirani".
Pada hari Kamis tanggal 5 Januari 1950, Westerling mengirim surat kepada
pemerintah RIS yang isinya adalah suatu ultimatum. Ia menuntut agar Pemerintah RIS
menghargai negara-negara bagian, terutama Negara Pasundan serta Pemerintah RIS harus
mengakui APRA sebagai tentara Pasundan. Pemerintah RIS harus memberikan jawaban
positif dalm waktu 7 hari dan apabila ditolak, maka akan timbul perang besar.
Tidak senang dengan pertumbuhan pengaruh pemerintahan Soekarno, Westerling
bersekongkol dengan Sultan Pontianak Sultan Hamid II yang berhaluan federalis untuk
meluncurkan kudeta pada bulan Januari 1950.
Pada tanggal 23 Januari 1950, APRA meluncurkan kudeta menentang
pemerintah Republik Indonesia. Walaupun milisi ini berhasil untuk sementara
menduduki Bandung, mereka gagal untuk menduduki Jakarta dan Blora. Mereka telah
merencanakan untuk menggulingkan Kabinet RIS dan membunuh beberapa tokoh
Republik terkemuka termasuk Menteri Pertahanan Sultan Hamengkubuwono IX dan
Sekretaris-Jenderal Ali Budiardjo. Kegagalan kudeta ini menyebabkan adanya
demoralisasi anggota milisi terhadap Westerling dan terpaksa melarikan diri ke Singapura.
Tanpa pemimpin yang kuat, APRA akhirnya berhenti berfungsi pada Februari 1950.
Tindakan APRA tersebut pada akhirnya menyebabkan penahanan Sultan Hamid II dan
justru mempercepat pembubaran Republik Indonesia Serikat pada tanggal 17
Agustus 1950, mengubah Indonesia menjadi negara kesatuan yang didominasi oleh
pemerintahan pusat di Jakarta.
Ternyata dalang gerakan APRA ini berada di Jakarta, yakni Sultan Hamid II. Rencana
gerakannya di Jakarta ialah menangkap beberapa menteri Republik Indonesia Serikat yang
sedang menghadiri sidang kabinet dan membunuh Menteri Pertahanan Sri Sultan
Hamengkubuwono IX, Sekertaris Jenderal Kementerian Pertahanan Mr. A. Budiardjo, dan
Pejabat Kepada Staf Angkatan Perang Kolonel T.B Simatupang. Rencana tersebut berhasil
diketahui dan diambil tindakan preventif, sehingga sidang kabinet ditunda. Sultan Hamid
II berhasil ditangkap pada tanggal 4 April 1950. Akan tetapi, Westerling berhasil
melarikan diri ke luar negeri.
Kegagalan kudeta ini menyebabkan adanya demoralisasi anggota milisi terhadap
Westerling dan terpaksa melarikan diri ke Singapura. Tanpa pemimpin yang kuat, APRA
akhirnya berhenti berfungsi pada Februari 1950. Tindakan APRA tersebut pada akhirnya
menyebabkan penahanan Sultan Hamid II dan justru mempercepat pembubaran Republik
Indonesia Serikat pada tanggal 17 Agustus 1950, mengubah Indonesia menjadi negara
kesatuan yang didominasi oleh pemerintahan pusat di Jakarta.
Masih jadi spekulasi soal keterlibatan Sultan Hamid II pada pemberontakan Angkatan
Perang Ratu Adil (APRA) pimpinan Kapten Raymond Westerling di Bandung dan Jakarta,
23-24 Januari 1950. Tapi yang pasti, peristiwa itu menyeret Sultan Hamid divonis
Mahkamah Agung (MA) dengan kurungan penjara 10 tahun pada 8 April 63 tahun lalu.
Sultan Hamid ditangkap di Hotel Des Indes pada 5 April 1950, tak lama setelah bertemu
Westerling, perwira Belanda berpangkat kapten yang memimpin gerakan makar dengan
pasukan RST-nya (Regiment Speciale Troepen)
Apa yang membuat Sultan Hamid II bisa berkontak dengan Westerling, sedianya terjadi
pada Desember 1949. Dalam otobiografinya, Mmoires, Westerling pernah meminta
Sultan Hamid memimpin gerakan makar mereka. Tapi karena tak diterangkan secara
detail, Sultan Hamid II tak memberi respons positif soal ya atau tidak untuk bergabung.
Masih dalam otobiografi Westerling yang rilis pada 1952, sedianya Kabinet Bayangan
sudah terbentuk di bawah pimpinan Sultan Hamid II, jika mereka bisa menggulingkan
Kabinet Hatta.
Penguasa Kesultanan Pontianak bernama lahir Syarif Abdul Hamid Alkadrie justru
tercoreng namanya akibat kasus tersebut, setelah sebelumnya mencetuskan lambang
negara Garuda Pancasila.
Tragedi APRA merenggut tak sedikit nyawa para anggota dan perwira TNI di Bandung,
pada 23 Januari 1950. Sementara sehari setelahnya, RST di bawah komando Sersan
Meijer, berencana menggeruduk Sidang Dewan Menteri Republik Indonesia Serikat di
Jakarta.
Selain mengusik Sidang Dewan Menteri RIS, Meijer cs berencana membunuh sejumlah
tokoh, macam Menteri Pertahanan, Sri Sultan Hamengku Buwono IX, Sekretaris Jenderal
Kemenhan Ali Budiardjo, serta Kastaf TNI Kolonel Tahi Bonar Simatupang.
Gerakan APRA di Jakarta gagal, lantaran sejumlah kolaborator mereka seperti DI/TII
(Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) dan pasukan liar eks-KNIL (Koninklijk Nederlands
Indisch Leger) yang diharapkan tidak muncul.
Kudeta pun gagal dan Westerling sempat menyusul ke Jakarta untuk kemudian bertemu
Sultan Hamid II dan sekretarisnya, Dr. J. Kiers di Hotel Des Indes. Dari berbagai sumber,
di sinilah Sultan Hamid II mengamuk dan mengecam tindakan Westerling.
Omelan Sultan Hamid II tak menuai respons apapun dari Westerling yang kemudian,
berhasil kabur ke Singapura dengan bantuan milisi keturunan Tionghoa pro-Belanda, Po
An Tui.
Atas kejadian ini, Perdana Menteri Mohammad Hatta melayangkan protes kepada
Hirschfeld sebagai perwakilan sekutu dan menerangkan bahwa pemerintah RIS, akan
memerintahkan penangkapan terhadap para antek Westerling.
Peristiwa APRA dan diberhentikannya Sultan Hamid II sebagai Menteri Negara Zonder
Portfolio, sempat juga sampai ke telinga media asing. Surat kabar seperti Melbourne Sun
dari Australia pada 23 Januari, pernah mengangkat kasus itu lewat koresponden Reuters,
Osmar White:
Suatu krisis dengan skala internasional telah melanda Asia Tenggara, tulis headline di
surat kabar Melbourne Sun.
Peristiwa itu juga jadi pukulan buat Belanda dalam pergaulan internasional. Dubes
Belanda untuk Amerika Serikat, van Kleffens, pernah merasa bahwa pemerintahnya
dianggap licik oleh masyarakat AS akibat serangan di Bandung dan Jakarta itu.
Pemberontakan yang dilakukan oleh Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) yang dipimpin
oleh mantan Kapten KNIL Raymond Westerling bukanlah pemberontakan yang
dilancarkan secara spontan. Pemberontakan ini telah direncanakan sejak beberapa bulan
sebelumnya oleh Westerling dan bahkan telah diketahui oleh pimpinan tertinggi militer
Belanda.
Pada 25 Desember 1949 malam, sekitar pukul 20.00 Westerling menghubungi Letnan
Jenderal Buurman van Vreeden, Panglima Tertinggi Tentara Belanda untuk menanyakan
bagaimana pendapat van Vreeden mengenai rencananya untuk melakukan kudeta terhadap
Soekarno setelah penyerahan kedaulatan dari Belanda terhadap Indonesia. Van Vreeden
memang telah mendengar berbagai rumor, antara lain ada sekelompok militer yang akan
mengganggu jalannya penyerahan kedaulatan, tidak terkecuali rumor mengenai pasukan
yang dipimpin oleh Westerling. Jenderal van Vreeden, sebagai yang harus bertanggung-
jawab atas kelancaran penyerahan kedaulatan pada 27 Desember 1949 tersebut
memperingatkan Westerling agar tidak melakukan tindakan seperti apa yang diungkapkan
padanya.
Pada hari Kamis tanggal 5 Januari 1950, Westerling mengirim surat kepada pemerintah
RIS yang isinya adalah sebuah ultimatum. Westerling menuntut agar Pemerintah RIS
menghargai negara-negara bagian, terutama Negara Pasundan serta Pemerintah RIS harus
mengakui APRA sebagai tentara Pasundan. Pemerintah RIS harus memberikan jawaban
positif terkait ultimatum tersebut dalm waktu 7 hari dan apabila ditolak, maka akan timbul
perang besar. Ultimatum Westerling ini tentu menimbulkan kegelisahan tidak saja di
kalangan RIS, namun juga di pihak Belanda dan dr. H.M. Hirschfeld, Nederlandse Hoge
Commissaris (Komisaris Tinggi Belanda) yang baru tiba di Indonesia. Kabinet RIS
menghujani Hirschfeld dengan berbagai pertanyaan yang membuatnya menjadi sangat
tidak nyaman. Menteri Dalam Negeri Belanda, Stikker menginstruksikan kepada
Hirschfeld untuk menindak semua pejabat sipil dan militer Belanda yang bekerjasama
dengan Westerling.
Pada 10 Januari 1950 Hatta menyampaikan kepada Hirschfeld, bahwa pihak Indonesia
telah mengeluarkan perintah penangkapan terhadap Westerling. Sebelumnya, ketika
Lovink masih menjabat sebagai Wakil Tinggi Mahkota (WTM), dia telah menyarankan
Hatta untuk mengenakan pasal exorbitante rechten terhadap Westerling. Sementara itu,
Westerling mengunjung Sultan Hamid II di Jakarta. Sebelumnya, mereka pernah bertemu
bulan Desember 1949. Westerling menerangkan tujuannya, dan meminta Hamid menjadi
pemimpin gerakan mereka. Hamid ingin mengetahui secara rinci mengenai organisasi
Westerling tersebut, namun dia tidak memperoleh jawaban yang memuaskan dari
Westerling. Pertemuan hari itu tidak membuahkan hasil apapun.
Pertengahan Januari 1950, Menteri UNI dan Urusan Provinsi Seberang Lautan, Mr.J.H.
van Maarseven berkunjung ke Indonesia untuk mempersiapkan pertemuan Uni Indonesia-
Belanda yang akan diselenggarakan pada bulan Maret 1950. Hatta menyampaikan kepada
Maarseven, bahwa dia telah memerintahkan kepolisian untuk menangkap Westerling.
Ketika berkunjung ke Belanda, Menteri Perekonomian RIS Juanda pada 20 Januari 1950
menyampaikan kepada Menteri Gtzen, agar pasukan elit RST yang dipandang sebagai
faktor risiko, secepatnya dievakuasi dari Indonesia. Sebelum itu, satu unit pasukan RST
telah dievakuasi ke Ambon dan tiba di Ambon tanggal 17 Januari 1950. Pada 21 Januari
Hirschfeld menyampaikan kepada Gtzen bahwa Jenderal Buurman van Vreeden dan
Menteri Pertahanan Belanda Schokking telah menggodok rencana untuk evakuasi pasukan
RST.
Namun upaya mengevakuasi Reciment Speciaale Troepen, gabungan baret merah dan
baret hijau terlambat dilakukan. Westerling mendengar mengenai rencana tersebut dari
beberapa bekas anak buahnya, sebelum deportasi pasukan RST ke Belanda dimulai, pada
23 Januari 1950 Westerling melancarkan "kudetanya." Subuh pukul 4.30 hari itu, Letnan
Kolonel KNIL T. Cassa menelepon Jenderal Engles dan melaporkan: "Satu pasukan kuat
APRA bergerak melalui Jalan Pos Besar menuju Bandung." Namun laporan Letkol Cassa
tidak mengejutkan Engles, karena sebelumnya, pada 22 Januari pukul 21.00 dia telah
menerima laporan, bahwa sejumlah anggota pasukan RST dengan persenjataan berat telah
melakukan desersi dan meninggalkan tangsi militer di Batujajar. Mayor KNIL G.H.
Christian dan Kapten KNIL J.H.W. Nix melaporkan, bahwa "compagnie Erik" yang
berada di Kampemenstraat juga akan melakukan desersi pada malam itu dan bergabung
dengan APRA untuk ikutserta dalam kudeta, namun dapat digagalkan oleh komandannya
sendiri, Kapten G.H.O. de Witt. Engles segera membunyikan alarm besar dan segera
menghubungi Letnan Kolonel TNI Sadikin, Panglima Divisi Siliwangi. Engles juga
melaporkan kejadian ini kepada Jenderal Buurman van Vreeden di Jakarta.
Mulanya penduduk kota Bandung tidak terlalu curiga karena adalah hal yang biasa tentara
hilir mudik keluar masuk kota Bandung pada masa itu, walau Perang kemerdekaan
dianggap sudah berakhir. Tentara APRA pada saat itu menggunakan truk, jeep,
motorfiets, serta ada yang berjalan kaki dengan seragam dan bersenjata lengkap dan
jumlahnya ditaksir antara 500-800 personel.
Di jalan perapatan Banceuy, seorang TNI yang mengendarai jip dan tidak bersenjata
diberhentikan. Tentara itu diperintahkan untuk turun dan mengangkat tangan lalu dengan
keji ditembak mati. Pasukan APRA bergerak di Jalan Braga, di muka Apotheek Rathkam
sebuah mobil sedan juga diberhentikan. Tiga penumpangnya juga diperintahkan untuk
turun, di antaranya seorang perwira TNI. Tanda pangkat perwira itu diambil dan kemudian
dia dibunuh. Dua orang sipil yang bersama tentara tadi kemudian diangkut dengan truk.
Tentara APRA juga mengadakan aksi di depan Hotel Preanger. Mereka menyerang sebuah
truk berisi tiga orang TNI. Perlawanan dari TNI baru terjadi di Jalan Merdeka, sekalipun
tidak seimbang. Setelah tembak-menembak sekitar 15 menit, 10 orang TNI gugur. Tentara
APRA juga menyerang truk yang dikendarai 7 orang serdadu TNI di perempatan
Suniaraja-Braga. Truk itu ditembaki dari depan dan belakang.
Perlawanan yang cukup hebat terjadi di Kantor Kwartir Divisi Siliwangi Oude
Hospitaalweg. Satu regu stafdekking TNI terdiri dari 15 orang dipimpin Letkol (Overste )
Sutoko dikepung tentara APRA yang jumlahnya lebih banyak. Benar-benar pertempuran
sampai peluru terakhir. Letkol Sutoko, Letkol Abimanyu dan seorang opsir lainnya dapat
menyelamatkan diri. Lainnya tewas. Markas itu diduduki dan tentara APRA merampok
brandkas sebesar F150.000.
Pertempuran juga terjadi di kantor stafkwartier Divisi Siliwangi Jalan Lembang. Satu rgu
stafdekking TNI terdiri dari 15 orang dipimpin Overste Sutoko dengan tiba2 dikerubungi
oleh ratusan APRA. Pertempuran berlangsung kurang lebih setengah jam. Pertempuran
dilakukan hingga peluru terakhir. Everste Sutoko, Abimanyu, dan seorang opsir lainnya
dapat menyelamatkan diri, lainnya tewas. APRA kemudian berhasil menduduki
stafkwartier dan membongkar brandkast yang isinya Rp. 150.000, jumlah yang cukup
besar untuk saat itu. Selain itu, mayat-mayat dari TNI dan sipil pun bergelimpangan antara
jalan Braga hingga jalan Jawa. Di antara orang-orang sipil yang tewas, kabarnya menjadi
korban karena mereka berani menjawab Jogja, ketika ditanyakan Pilih Pasundan atau
Jogja? oleh pasukan APRA.
Perwira TNI lainnya yang gugur ialah Letkol Lembong dan ajudannya Leo
Kailola. Mereka dihujani peluru ketika hendak masuk Markas Divisi Siliwangi yang
ternyata sudah diduki oleh gerombolan APRA. Keseluruhan 79 orang menajdi
korban keganasan gerombolan ini. Mereka adalah 61 serdadu TNI dan 18 orang lainnya
yang tidak diketahui namanya karena tidak mempunyai tanda-tanda atau surat
dalam pakaiannya.
Setelah puas melakukan pembantaian di Bandung, seluruh pasukan RST dan satuan-satuan
yang mendukungnya kembali ke tangsi masing-masing. Westerling sendiri berangkat ke
Jakarta, di mana dia pada 24 Januari 1950 bertemu lagi dengan Sultan Hamid II di Hotel
Des Indes. Hamid yang didampingi oleh sekretarisnya, dr. J. Kiers, melancarkan kritik
pedas terhadap Westerling atas kegagalannya dan menyalahkan Westerling telah membuat
kesalahan besar di Bandung. Tak ada perdebatan, dan sesaat kemudian Westerling pergi
meninggalkan hotel.
Aksi militer yang dilancarkan oleh Westerling bersama APRA yang antara lain terdiri dari
pasukan elit tentara Belanda, tentu menjadi berita utama media massa di seluruh dunia.
Hugh Laming, koresponden Kantor Berita Reuters yang pertama melansir pada 23 Januari
1950 dengan berita yang sensasional. Osmar White, jurnalis Australia dari Melbourne Sun
memberitakan di halaman muka: "Suatu krisis dengan skala internasional telah melanda
Asia Tenggara." Untuk dunia internasional, Belanda sekali lagi duduk di kursi terdakwa.
Duta Besar Belanda di AS, van Kleffens melaporkan bahwa di mata orang Amerika,
Belanda secara licik sekali lagi telah mengelabui Indonesia, dan serangan di Bandung
dilakukan oleh "de zwarte hand van Nederland" (tangan hitam dari Belanda).
Penumpasan APRA
Ketika terjadi pemberontakan APRA tidak dilakukan perlawanan yang berarti, hal ini
disebabkan karena beberapa faktor. Pertama, karena serangan dilakukan dengan sangat
tiba-tia, pembalasan tembakan pun tidak dilakukan karena orang-orang APRA bercampur
dengan orang KNIL dan KL. Sedangkan mengenai latar belakang aksinya, diduga keras
bahwa APRA ingin mendukung berdirinya negara Pasundan, supaya negara ini bisa berdiri
tanpa gangguan TNI dan menggunakan APRA sebagai angkatan perangnya.
Secara umum boleh pasukan Divisi Siliwangi TNI tidak siap karena baru saja memasuki
Kota Bandung setelah perjanjian KMB. Panglima Siliwangi Kolonel Sadikin dan Gubernur
Jawa Barat Sewaka pada saat kejadian sedang mengadakan peninjauan ke Kota
Subang. Sementara di Jakarta pada pukul 11.00 bertempat di kantor Perdana Mentri RIS
diadakan perundingan antara Perdana Mentri RIS dan Komisaris Tinggi Kerajaan Belanda
di Indonesia. Terungkap adanya keterlibatan tentara Belanda (diperkirakan sekitar 300
tentara Belanda berada di antara pasukan APRA) dalam peristiwa di Bandung itu, maka
diputuskan tindakan bersama.
Jendral Engels akhirnya memerintahkan pasukan APRA untuk kembali ke Batujajar, baik
karena diperintah atasannya, maupun ancaman dari Divisi Siliwangi yang tidak menjamin
keselamatan warga Belanda yang berjumlah ribuan di kota Bandung. Pada hari itu juga
pasukan APRA meninggalkan Kota Bandung. Operasi penumpasan dan pengejaran
terhadap gerombolan APRA yang sedang melakukan gerakan mundur segera dilakukan
oleh TNI. Sisa pasukan Wasterling di bawah pimpinan Van der Meulen yang bukan
anggota KNIL Batujajar dan polisi yang menuju Jakarta, pada 24 Januari 1950
dihancurkan Pasukan Siliwangi dalam pertempuran daerah Cipeuyeum dan sekitar Hutan
Bakong dan dapat disita beberapa truk dan pick up, tiga pucuk bren, 4 pucuk senjata
ukuran 12,7 dan berpuluh karaben.
Pada 24 Januari 1950 tengah malam terjadi tembak-menembak di Kramatalaan No.29
Jakarta antara pauskan TNI dengan geromboan yang diduga adalah deseteurs (anggota
tentara yang melarikan diri dari dinasi tentara). Tembak-menembak tersebut berlangsung
sampai 25 januari 1950 pagi. Dalam penggerebekan pasukan kita berhasil merampas 30
pucuk owens-guns.
Di kota Bandung juga diadakan pembersihan dan penahanan terhadap mereka yang
terlibat, termasuk beberapa orang tokoh Negara Pasundan. Bagaimana dengan
Wasterling? Setelah melarikan diri dari Bandung, Westerling masih melanjutkan
petualangannya di Jakarta. la merencanakan suatu gerakan untuk menangkap semua
Menteri RIS yang sedang menghadiri sidang kabinet, dan membunuh Menteri Pertahanan
Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Sekretaris Jenderal Kementerian Pertahanan Mr. A.
Budiardjo, dan Pejabat Kepala Staf Angkatan Perang Kolonel T.B. Simatupang.
Gerakan tersebut dapat digagalkan dan kemudian diketahui bahwa otaknya adalah Sultan
Hamid II, yang juga menjadi anggota Kabinet RIS sebagai Menteri tanpa portofolio.
Sultan Hamid II dapat segera ditangkap, sedangkan Westerling sempat melarikan diri ke
luar negeri pada 22 Februari 1950 dengan menumpang pesawat Catalina milik Angkatan
Laut Belanda. Dengan kaburnya Wasterling, maka gerakannya pun jadi bubar.