Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

Perundanganundangan pidana positif, sebagai satu bidang

hukum yang menggunakan sistem sanksi sebagai penguatnya, ialah

sanski yang bersifat kepidanaan. Sanksi ini akan menjadi tumpuan

harapan, manakala sanksi-sanksi dalam bidang hukum lainnya tidak

mampu merubah bentuk-bentuk perilaku yang bersifat soial menjadi taat

terhadap norma-norma hukum yang mengaturnya. Hukum pidana positif

di indonesia selama ini menganut dua jalur sistem ialah sistem pidana

dan sistem tindakan.

Dengan sistem pidana dimaksudkan sebagai suatu sistem

sanksi dimana pihak yang melanggar norma-norma undang- undang

pidana diancam dengan seperangkat pidana yang bervariasi dari bentuk

pidana pokok dan pidan tambahan. Sedangkan sistem tindakan ialah

suatu sistem perlindungan masyarakat terhadap bentuk perbuatan yang

dilakukan seseorang yang bersifat sosial dan pelakunya memiliki sifat-

sifat/kondisi khusus, yang tidak memungkinkan digunakannya sistem

sanski pidana.

Tindakan- tindakan yang bersifat khusus ini dapat pula kita

temui sebagai salah satu bentuk pidana dalam Undang-undang No.7/Drt/

lembaran negara 1955 No 27 tambahan lembaran negara 801


sebagaimana diubah dan ditambah tentang pengusutan, penuntutan dan

peradilan tindak pidana ekonomi baik yang bersifat pidana maupun

tindakan yang bersifat sementara yang dikenakan terhadap tersangka

tindak pidana ekonomi dalam rangka pengusutan dan penuntutan.

Tindak pidana di bidang ekonomi sebagai tindak pidana di

bidang ekonomi yang sempit bersumber pada Undang-undang No 7

darurat tahun 1955 ini merupakan kumpulan berbagai aturan

perundangan-undangan di bidang ekonomi yang berlaku dan yang

memuat ketentuan pidana. Hal ini menunjukkan kekhususan daripada

Undang-undang No 7 darurat tahun 1955 yang memerlukan juga

perhatian khusus berhubungan ketentuan-ketentuan dalam Undang-

undang tersebut yang sering kali mengalami perubahan-perubahan secara

cepat menngakui perubahan keadaan sosial ekonomi.

Disamping hal tersebut, pada tahun yang sama keluar pula

undang-undang yang menentukan tentang pemberatan ancaman pidana

untuk tindak pidana ekonomi, ialah Undang-undang No 21/Prp/ 1959.


BAB II

LATAR BELAKANG

Undang-undang No.7/drt/1955 dengan tujuan untuk

unifikasi/kesatuan perundang-undangan pidana dalam bidang ekonomi

serta efektifitas pemberatasan ekonomi tindak ekonomi. Dari

pertimbangan perundangan-undangan yang merupakan tujuan

dibentuknya Undang-undang pidana pemberantasaan tindak pidana

ekonomi (selanjutnya disebut UUTPE), maka dalam hal ini seharusnya

suatu peraturan di dalamnya berisi ketentuan-ketentuan yang mendukung

tercapainya tujuan tersebut.

Sebagai undang-undang pidana yang ada diluar kodifikasi,

maka UUTPE ini di dalamnya banyak ketentuan-ketentuan yang

merupakan penyimpangan dari bagian umum dari KUHP. Hal ini

dimungkinkan karena adanya aturan penutup buku 1 pasal 103 KUHP.

Sebagai suatu peraturan hukum yang mencoba mempengaruhi bidang

ekonomi, dimana di dalamnya menganut suatu sistem nilai yang berbeda

dengan bidang ilmu hukum, maka kita temui di dalam UUTPE tersbut

pelbagai pasal dalam aturan umum yang terdapat dalam KUHP.

Penyimpangan-penyimpangan dari azas-azas dan prinsip-

prinsip yang dianut oleh KUHP. Telah diketemukan dalam UU No7

darurat 1955. hal ini menunjukkan ketentuan-ketentuan dalam undang-


undang tersebut mengalami perubahan-perubahan secara cepat mengikuti

perubahan keadaan sosial ekonomi. Karena ekonomi merupakan cabang

ilmu yang tunduk kepada norma-norma yang ada padanya, maka dalam

penjatuhan pidana pun hal ini harus menjadi pertimbangan demi

efektifitas pemidanaan itu sendiri dan efektifitas prevensi umumnya

A. KEJAHATAN DAN PELANGGARAN DALAM TPE

Dalam UU No 7/Drt/1955, kualifikasi tindak pidana ekonomi

menggunakan ukuran sebagai berikut:

1. pertama-pertama diseahkan kepada UU yang bersangkutan,

artinya bahwa suatu jenis tindak pidana ekonomi merupakan

kejahatan itu apakah tindak pidana (pelanggaran maupun

kejahatan) diserahkan sepenuhnya kepada UU yang bersangkutan

2. dalam hal dimana UU tidak menentukan, maka dalam hal ini yang

dipakai ukuran adalah unsur kesengajaan artinya: apabila

dilakukan sengaja, maka merupakan kejahatan sedangkan

dilakukan tidak sengaja, maka tindak pidana tersbut merupakan

pelanggaran

dengan demikian, maka apa yang diatur dalam UUTPE berlainan

dengan apa yang ditentukan dalam KUHP. Dalam KUHP pembentuk

UU tidak memberikan ukuran mengenai tindak pidana itu merupakan


kejahatan maupun pelanggaran. Pembeda antara kejahatan dengan

pelanggaran berkembang dalam pendapat para sarjana.


BAB III

PEMBAHASAN

Sebagai suatu aturan hukum, maka hukum pidana di bidang

perekonomian menggunakan sistem sanksi kepidanaan dimana ada 2

sistem yaitu, sistem altenatif dan kumulatif. Hal ini bisa dilihat dalam

pasal-pasalnya yang memuat kata kata dan/atau yang berarti, Hakim

diberi kebebasan untuk menerapkan sistem penjatuhan pidana baik yang

bersifat alternatif maupun sistem penjatuhan pidana yang bersifat

kumulatif.

Dengan diundangkan UU No 5/PNPS/1959, maka ancaman

pidana terhadap tindak pidana ekonomi berubah menjadi hukuman

penjara sekurang-kurangnya satu tahun dan setinggi-tingginya dua puluh

tahun atau hukuman penjara seumur hidup atau hukuman mati, bagi

orang yang melakukan tindak pidan ekonomi yang mengetahui atau patut

menduga, bahwa tindak pidana itu akan menghalangi-menghalangi

program pemerintah, yaitu memperlengkapi sandang, pangan rakyat

dalam waktu sesingkat-singkatnya, menyelenggarakan keamanan rakyat

dan negara, melanjutkan perjuangan menentang imperialisme ekonomi

dan politik
Jadi sesudah tahun 1959, dengan dikeluarkanya UU No

5/PNPS/1959, maka yang dipakai hanya sistem penjatuhan pidana, ialah

sistem kumulatif, artinya hakim harus menjatuhkan pidana pokok lebih

dari 1 (satu) macam. Misalnya pidana penjara dan pidana denda. Dengan

demikian, maka sejak tahun 1959, dengan keluarnya peraturan tersebut

di atas, maka hakim dalam putusannya harus menjatuhkan pidana

kumulatif, dimana tidak dimungkinkan lagi penjatuhan pidana penjara

saja atau pidana denda saja

Disamping hal tersebut pada tahun yang sama keluar pula UU

yang menentukan tentang pemberatan ancaman pidana untuk tindak

pidana ekonomi ialah UU No.21/Prp/1959, dimana dalam pasal 1

menetapkan:

1. pelanggaran terhadap TPE seperti yang dimaksud dalam UU No

2/Drt/1959 sebagiman diubah dan ditambah dengan UU darurat

No 8 tahun 1958 dihukum dengan hukuman penjara atau

kurungan selama-lamanya seperti ditetapkan dalam UU darurat itu

dan hukuman denda setinggi-tingginya 30 kali jumlah yang

diteapkan dalam UU darurat tersbut

2. jikalau tindak pidana yang dilakukan dapat menimbulkan

kekacuan di bidang perekonomian dalam masyrakat, maka

pelanggaran di hukum dengan hukuman mati atau hukaman


penjara seumur hidup atau hukuman penjara selama-lamnya 20

tahun dam hukuman denda yang besarnya 30 kali jumlah yang

ditetapkan dalam UU darurat tersebut dalam ayat (1)

jadi, ada 3 hal yang dapat disimpulkan sejak keluarnya dua peraturan

tersebut, ialah:

1. sejak saat itu, Tindak Pidana Ekonomi tidak lagi mengenal Tindak

Pidana Ekonomi dalam bentuk pelanggaran, yang ada hanyalah

kejahatan

2. ada pemberatan ancaman pidana

3. sejak keluarnya Undang-undang tersebut, maka sistem penjatuhan

pidana yang dipakai adalah penjatuhan pidana kumulatif, artinya

hakim harus menjatuhkan pidana pokok lebih dari 1 macam.

Misalnya pidana penjara dan pidan denda. Dengan demikian,

dengan keluarnya peraturan tersebut diatas, maka hakim dalam

putusannya harus menjatuhkan pidana kumulatif, diman tidak

dimungkinkan lagi penjatuhan pindana penjara saja atau pidana

denda saja.

4. berlakunya asas minimum umum dalam penjatuhan pidana untuk

TPE.

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang tentang penegasan dari

pasal 16 ayat (6) Undang-undang No. 7 Drt tahun 1955 (Lembaran-


Negara tahun 1955 No. 27) tentang Pengusutan, Penuntutan dan

Peradilan Tindak Pidana Ekonomi.

Istilah seorang yang tidak dikenal sebagai yang termaksud dalam pasal

16 ayat (6) dari Undang-undang No. 7 Drt tahun 1955 (Lembaran-

Negara tahun 1955 No. 27) tentang Pengusutan, Penuntutan dan

Peradilan Tindak Pidana Ekonomi ditegaskan dengan menambah pasal

16 tersebut dengan ayat-ayat (7), (8) dan (9) sebagai berikut : (7) Yang

diartikan dengan seorang yang tidak dikenal termaksud pula :

1. setiap orang yang diketahui namanya dan tempat kediamannya

diluar negeri yang telah dipanggil dengan perantaraan Perwakilan

Republik Indonesia yang bersangkutan atau dengan surat

panggilan yang ditempelkan pada tempat pengumuman di

Pengadilan Negeri atau yang ditempatkan dalam satu surat kabar

atau lebih dan tidak datang menghadap kepada instansi yang

memanggilnya;

2. setiap orang yang diketahui namanya, akan tetapi tidak diketahui

tempat kediamannya, yang telah dipanggil dengan surat panggilan

yang ditempatkan pada tempat pengumuman di Pengadilan Negeri

atau yang ditempatkan dalam satu surat kabar atau lebih dan tidak

datang menghadap kepada instansi yang memanggilnya.

Pemberitahuan putusan Pengadilan kepada orang-orang tersebut


dalam huruf a dan huruf b dilakukan dengan penempelan surat

pemberitahuan itu pada tempat pengumuman di Pengadilan

Negeri yang bersangkutan atau dengan penempatan dalam satu

surat kabar atau lebih yang akan ditunjuk oleh Hakim. (8) Ayat-

ayat (3), (4) dan (5) dari pasal 16 berlaku terhadap perkara-

perkara tersebut dalam ayat-ayat (6) dan (7) dari pasal itu. (9)

Orang-orang tersebut dalam ayat-ayat (6) dan (7) tidak boleh

diwakili oleh siapapun juga.

Sanksi-sanksi yang dimuat dalam UU NO. 7/Drt/1955 diklasifikasikan

atas 3 (tiga) jenis hukuman yakni:

A. Hukuman pokok

Hukuman pokok tersebut dimuat pada pasal 6 UU no 7/Drt/ 1955 yang

menurut penjelasan resmi dijelaskan antara lain sebagai berikut:

hukuman pokok sama dengan hukuman pokok yang disebut dalam

KUHP (ps. 10 KUHP) akan tetapi maksimum pokok itu adalah lebih

berat.

Hukuman pokok ini telah mengalami perubahan-perubahan, antara lain:

berdasarkan pasal 11, pasal 6 ayat i sub a kata-kata lima ratus ribu

diubah menjadi satu juta


berdasarkan UU No 21/Prp/1959 yang meuat sanksi antara lain sebagai

berikut: denda 30 kali (30 juta), jika menimbulkan kekacuan ekonomi

dalam masyrakat, sanksi : hukuman mati atau 20 tahun penjara

Dalam hal ini penjelasan resmi UU No 21/Prp/1959, antara lain memuat:

menurut UU darurat nomor 7 tahun 1955 ada kemungkinan untuk

hakim memilih antara hukuman badan atau denda atau menjatuhkan

kedua-dua sanksi tersebut, menerut peraturan pemerintah pengganti UU

ini hakim harus menjatuhkan kedua-dua sanksi tersebut

B. Hukuman tambahan

Hukum tambahan dimuat dalam pasal 7 UU 7/DRT/1955, antara lain

sebagai berikut:

1. hak-hak yang dimuat pada pasal 35 KUHP, antara lain: menjabat

segala jabatan tertentu, masuk TNI, memilih dan boleh memilih,

menjadi penasehat atau wali, kekuasaan bapak, perwalian, dan

pengampunanatas anaknya sendiri, melakukan pekerjaaan tertentu

2. penutupan perusahaan si terhukum, penjelasan resmi pada pasal 7

UU no 7/Drt/1955 yang berbunyi: .adalah suatu hukuman

yang tepat bagi mereka yang berpendapat bahwa melakukan

suatu tindak pidana ekonomi adalah normal..pada hemat

mereka resiko perusahaan biasa,


penerapan tentang penutupan tentang perusahaan, agar diperhatikan

penjelasan pasal 7 tersebut

1. perampasaan barang-barang tak tetap tak berwujud dan yang tidak

berwujud

mengenai perampasan barang-barang, dikelaskan secara rinci pada

penjelasn resmi pasal 7 UU No 7/Drt/1955, antara lain sebagai berikut:

..perampasan dapat dilakukan pada segala kejahatan

ekonomi.. lagipula perampasan itu tidak dibatasi sampai benda

yakni barang bergerak yang berwujud, akan tetapi dapat dilakukan juga

terhadap barang yang tak brgerak dan yang tak bergerak.

1. Hukuman tata tertib

sanski untuk meniadakan laba dimuat dipasal 7 ayat (1) sub e yang

rumusannya antara lain sebagai berikut: pencabutan seluruh atau

sebagian hak-hak tetentu atau penghapusan seluruh atau sebagian

keuangan tertentu,.

jika diteliti pasal-pasal tersebut maka pada dasarnya tindakan tata tertib

adalah sebagai berikut:

Penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu

mewajibkan membayar sejumlah uang sebagai pencabutan

keuntungan menurut lokasi

mewajibkan mengerjakan sesuatu atau mengadakan sesuatu


Jenis pidana tindakan tata tertib ini pada dasarnya tidak dapat dijatuhkan

secara tersendiri, bersifat accesoir yang berarti tergantung ada tidaknya

pidana pokok. Hal ini dikecualikan dalam hal apabila pesakitan dianggap

tidak mampu bertanggungjawab secara hukum pidana. Dalam hal yang

demikian. Akan dimungkinkan tindakan tata tertib dijatuhkan tersendiri

tanpa pidana.
BAB IV

KESIMPULAN

1. Tindakan yang diatur dalam UUTPE merupakan suatu refleksi sifat-

sifat refleksi dalam penanganan masalah-masalah perilaku di bidang

ekonomis yang bersifat a sosial

2. Eksitensi UUTPE sangat tergantung pada kebijakan Nasional di

bidang Ekonomi

3. hukum pidana tetap merupakan sarana terakhirdalam bidang

perekonomian. Apabila sarana lain masih mampu mengatasinya,

maka dipakai sarana lainnya, maka dipakai saran lainnya tersebut

hukum pidana di bidang ekonomi merupakan sarana penting bagi

usaha pemerintah untuk melaksanakan pembangunan yang tidak ada

hentinya dalam mencapai tujuan nasional, yaitu masyrakat adil

makmur. Tanpa sarana peraturan-peraturan di bidang ekonomi yang

memuat ketentuan-ketentuan pidana dalam beberapa hal pemerintah

dangan alat perlengkapaan akan mengalamikesulitan dalam usaha

pengamanan atas pelaksanaan pembangunan nasional, khususnya

pembangunan ekonomi

hukum pidana di bidang ekonomi yang bersumber pada

sekumpulan peraturan-peraturan yang banyak jumlahnya, tetapi cerai-

berai tidak tersusun, tidak sistematis dan karenanya tidak memberikan


gambaran yang jelas. Lebih lebih peraturan peraturan pidana di bidang

ekonomi sulit untuk dimasukkan dalam satu buku undang-undang

(kodifikasi) karena bersifat situasionil, diperlakukan pada suatu keadaan

tertentu dan pada suatu waktu dan kadang-kadang berlangsung singkat

sekali, hingga peraturan pidana di bidang ekonomi sangat peka terhadap

perubahan, penggatian ataupun penghapusan.

Peraturan-peraturan yang menjadi tindak pidana ekonomi di

samping masih banyak peraturan-peraturan di bidang ekonomi yang

memuat ketentuan-ketentuan pidana yang belum tergali, hingga

anggapan, bahwa tindak pidana di bidang ekonomi telah lenyap dengan

pengahapusan segala peraturan yang berhubungan dengan pengendalian

harga adalah salah belaka. Hanya bertujuan menutupi kekurangan

dalam pengetahuan tentang peraturan yang berjumlah banyak dan yang

menjadi sumber hukum pidana dibidang ekonomi.

Inventaris atas segala peraturan-peraturan tersebut memang

perlu diselenggarakan untuk diketahui berapa jumlahnya dan bagaimana

luasnya pemerintah turut campur di dalam usaha rakya di bidang

ekonomi. Hasil inventaris ini dapat dipergunakan dalam usaha

penyusunan suatu sistem yang memberikan gambaran yang mudah dan

jelas bagi para peakainya atau mempermudah di dalam mempelajarinya.


DAFTAR PUSTAKA

Soeroso SH, Tjipto, Peranan pidana dalam perekonomian. Universitas


diponegoro

Soerapto, hukum pidana ekonomi, widjaja djakarta hal 91

Soeroso SH, Tjipto, hukum pidana perekonomian. Universitas

diponegoro fakultas hukum, semarang, 1990.

Lubis, T. Mulya hukum dan ekonomi, beberapa pilihan masalah, pustaka


sinar harapan 1987, hal 18

http://www.transparansi.or.id

Hamzah, Andi SH, sistem pidana dan pemidanaan indonesia, suatu


catatan, hal 60
Soeroso SH, Tjipto, tindakan khusus untuk kejahatan ekonomis dalam
perundang-undangan positif indonesia. Universitas diponegoro
Fakultas Hukum, Semarang, 1991

http://www.legalitas.org

Arief SH, prof. Dr. barda Nawawi, masalah penegakkan hukum &
kebijakan penanggulangan kejahatan, citra aditya bakti, bandung,
2001.

Anda mungkin juga menyukai