Anda di halaman 1dari 14

Herpes Genital: Pemahaman terhadap Penyakit Infeksi Menular Seksual

Abstrak
Etiologi, Transmisi dan Proteksi: Herpes simplex virus-2 (HSV-2) adalah penyebab utama
infeksi menular seksual dengan manifestasi berulang sepanjang masa host yang terinfeksi. Saat
ini tidak ada vaksin atau profilaksis yang efektif yang memberikan perlindungan lengkap atau
kekebalan dari virus yang endemik di seluruh dunia.
Gejala: Infeksi primer dan rekuren menyebabkan lesi dan inflamasi di sekitar area genital.
Pasien imunocompromised termasuk neonatus rentan terhadap infeksi sistemik termasuk
peradangan sistem saraf.
Epidemiologi, insidensi dan prevalensi: Lebih dari 500 juta orang terinfeksi di seluruh dunia
dan sebagian besar kasus yang dilaporkan kelompok usia antara 16-40 tahun yang terjadi
peningkatan aktivitas seksual di antara kelompok usia ini.
Terapi: Obat yang diresepkan, kebanyakan analog nukleosida, hanya mengurangi gejala yang
disebabkan oleh infeksi aktif, namun tidak dapat mengeliminasi virus atau mengurangi latensi.
Oleh karena itu, belum ada penyembuhan terhadap herpes genital dan pasien yang terinfeksi
dapat mengalami kekambuhan seumur hidup.
Mekanisme infeksi molekular: Beberapa dekade terakhir telah menghasilkan banyak
kemajuan baru dalam pemahaman kita tentang mekanisme infeksi HSV. Reseptor entri virus
seperti nectin-1 dan HVEM telah diidentifikasi, struktur pensinyalan dan membran sitoskeletal
seperti filopodia berperan langsung dalam masuk virus, protein motor host dan ligan virus telah
terbukti berperan sebagai transportasi kapsid dan host dan protein HSV telah diidentifikasi
dalam terjadiny replikasi virus dan patogenesis. Pemahaman baru telah dikemukakan mengenai
peran autophagy dan mekanisme imun bawaan untuk memperbaiki patogen HSV. Kajian ini
merangkum pemahaman terkini tentang HSV-2 dan penyakitnya serta terapi baru yang tersedia
atau yang akan datang

Pendahuluan
Herpes genital adalah salah satu infeksi virus menular seksual yang paling sering
terjadi, persisten dan sangat menular yang disebabkan oleh virus herpes simpleks 2 (HSV-2)
dan pada banyak kasus pertama yang terjadi oleh HSV-1. Infeksi herpes genital primer dan
rekuren paling sering mengakibatkan lesi dan inflamasi di sekitar daerah genital Pada wanita,
infeksi ditemukan divulva dan vagina, beberapa kasus terjadi daerah serviks dan perianal. Pada
infeksi pria heteroseksual biasanya pada gland penis, sedangkan infeksi anal juga dilaporkan

1
terjadi pada pria homoseksual. Lebih dari 500 juta orang terinfeksi di seluruh dunia dan
sebagian besar kasus yang dilaporkan antara kelompok usia antara 16-40 tahun dengan
peningkatan aktivitas seksual di antara kelompok usia ini. Sementara angka-angka ini
merupakan perkiraan, angka sebenarnya mungkin tidak jelas karena banyak orang tidak
bergejala atau tidak menyadari adanya infeksi. Kajian ini memberikan wawasan tentang
epidemiologi, patologi, pemahaman terkini tentang mekanisme molekuler infeksi dan terapi
terkini yang tersedia untuk pengobatan herpes genital.

EPIDEMIOLOGI DAN PREVALENSI


Herpes virus adalah salah satu infeksi manusia yang paling banyak ditemui. Setelah
terinfeksi HSV, diperkirakan virus dan respon imun dapat terhadap virus bertahan sepanjang
hidup host. Infeksi HSV dinilai dengan adanya antibody spesifik virus pada populasi.
Diperkirakan 90% dari penduduk didunia memiliki satu atau dua virus. HSV-1 adalah virus
peling sering ditemukan sekitar 65% orang di Amerika Serikat memiliki antibodi terhadap
HSV-1, sementara infeksi HSV-2 sangat jarang terjadi sekitar 15% -80% orang di berbagai
populasi terinfeksi. Infeksi HSV-1 dan HSV-2 sangat bervariasi antar negara. Peningkatan
HSV-1 genital terutama disebabkan oleh peningkatan seks oral di kalangan remaja dan orang
dewasa yang dipandang lebih aman daripada hubungan seksual. Karena ini, di Amerika
Serikat, Kanada, dan negara-negara Eropa lainnya, setidaknya setengah dari episode pertama
herpes genital disebabkan oleh HSV-1 dalam dekade terakhir. Dalam sebuah studi yang
dilakukan oleh CDC diperkirakan bahwa sekitar satu dari enam orang Amerika berusia 14
sampai 49 terinfeksi HSV-2 dan prevalensi pada wanita adalah 20,9% dua kali lebih tinggi
daripada laki-laki. Sementara peningkatan seroprevalensi HSV-2 dari 16,4% menjadi 21,8%
diamati dari tahun 1976 sampai 1994, kecenderungan ini telah berbalik, turun menjadi 17,2%
di tahun 2004. Di Afrika dan negara-negara berkembang lainnya, terdapat infeksi HSV-2 yang
tinggi. Dengan > 50% prevalensi di populasi. Sekitar 82% wanita dan 53% pria di Afrika
SubSahara seropositif untuk HSV-2. Infeksi HSV-2 juga bergantung pada tingkat aktivitas
seksual dan lebih banyak terjadi pada populasi yang terpapar faktor resiko, seperti pekerja seks
komersial, yang hampir 100% positif, sehingga dibutuhkan pengetahuan dan tindakan baru
untuk pencegahan.

MEKANISME MOLEKULAR PADA INFEKSI


HSV adalah virus DNA linier berantai ganda yang mampu membangun latensi pada
manusia. Mereka termasuk dalam keluarga Herpesviridae dan lebih khusus lagi ke sub-

2
keluarga Alphaherpesvirinae. Ada dua sub tipe: HSV-1 dan HSV-2 yang berhubungan namun
sedikit berbeda pada tropisme jaringan dan sifat antigenik. DNA virus ditemukan didalam inti
yang tertutup dalam cangkang protein yang disebut kapsid (Gambar 1).

Kapsid berbentuk icosahedral berdiameter ~ 125 nm, yang terhubung dan dikelilingi
oleh glikoprotein yang mengekspresikan membrane selaput lipid bilayer melalui lapisan
protein yang disebut tegument. Kapsul virus mengandung setidaknya 12 glikoprotein yang
banyak berperan pada masuknya virus. Daftar glikoprotein HSV beserta fungsi yang
dilaporkan dapat diberikan pada Tabel 1.

Siklus hidup HSV telah banyak dipelajari dan dikarakterisasi dengan menggunakan
infeksi HSV-1. Namun, infeksi HSV-2 dianggap mirip dengan infeksi HSV-1. Tahap yang
berbeda dalam siklus hidup HSV dapat diklasifikasikan secara luas menjadi:
i. Perlekatan : Inisiasi infeksi dimulai dengan perlekatan glikoprotein virus ke
permukaan sel. Heparan sulfate proteoglycans (HSPGs) pada sel berfungsi sebagai tempat
perlengketan HSV. Glikoprotein B dan C (gB dan gC) pada kapsul HSV berikatan dengan

3
HSPGs dan sangat penting untuk memulai proses perlekatan. Sebuah studi oleh Herold dkk,
penggunaan virus gB dan gC null menunjukkan pengurangan pelekatan virus secara
keseluruhan ke sel serta pengurangan infektivitas virus. Selain itu, ditunjukkan bahwa dengan
tidak adanya gC gB dapat mengambil alih dan membantu dalam perlekatan pada sel,
menunjukkan suatu mode gC independent melekat pada virus. HSV berikatan HS (heparan
sulfate) pada filopodia yang merupakan protrusions membran plasma dan menggunakan
interaksi filopodial untuk bermigrasi ke tubuh sel untuk memulai masuk. Proses ini disebut
"virus surfing". Dalam penelitian ini, partikel virus berjalan di sepanjang filopodia dan formasi
struktur filopodial meningkat selama infeksi HSV, kemungkinan karena aktivasi sinyal Rho
GTPase selama perlekatan virus ke sel. Pencitraan fluktuasi menunjukkan bahwa ekspresi
HSPG lebih tinggi di sepanjang struktur filopodial. Perlekatan ini juga telah dilaporkan untuk
virus vaccinia, human virus papiloma tipe 16, virus hepatitis C, dan human immunodeficiency
virus (HIV).
ii. Masuk: Setelah inisiasi perlekatan pada permukaan sel, masuknya virus adalah
langkah berikutnya dalam siklus hidup. Berbagai mode masuk virus telah terbentuk. Virus
dibawa ke dalam sel dengan cara difusi langsung dengan membran plasma yang tidak
tergantung pada perubahan pH, atau melalui endositosis yang dimediasi oleh reseptor seluler
tertentu. Glikoprotein D (gD) pada HSV berperan penting dalam kedua proses uptake dan
glikoprotein H dan L (gH dang L) bertindak melengkapi mesin difusi. Sampai sekarang
reseptor berikut telah diidentifikasi untuk gD: herpes virus entry mediator (HVEM), nektin-1
dan -2 dan 3- O sulfated heparan sulfate (3-OS HS). HVEM adalah reseptor HSV yang pertama
diidentifikasi yang dimiliki oleh superfamili tumor necrosis factor (TNF). Kumpulan reseptor
berikutnya yang diidentifikasi diwakili oleh nektin-1 dan -2. Mereka termasuk dalam keluarga
imunoglobulin. Reseptor terakhir adalah modifikasi langka dari molekul glukosa besar yang
dimediasi oleh 3-O-sulfotransferase 3 (3-OST-3). 3-OST-3 termasuk dalam famili
sulfotransferase 3-O (3-OSTs) yang menempatkan kelompok sulfat pada posisi 3-OH pada
glukosamin di HS. Modifikasi HS spesifik dan langka ini menentukan aktivitas biologis HS
dan terjadi selama tahap terakhir biosintesis HS. Sebagai contoh, modifikasi HS oleh 3-OST-
1 berfungsi sebagai tempat pengikat antitrombin, berperan utama antikoagulan. HS 3-OST-3
yang dimodifikasi berfungsi sebagai reseptor entry untuk HSV dan penambahan bentuk 3-OS
HS terlarutkan pada garis sel resistan HSV menunjukkan peningkatan masuknya virus.
Menariknya, reseptor 3-OST-3 gagal untuk memediasi masuknya HSV-2 namun mungkin bisa
membantu dalam perlekatan HSV-2.

4
Masuknya virus dapat terjadi dengan adanya salah satu dari reseptor yang disebutkan
di atas dan tidak adanya ketiga reseptor tersebut mengakhiri masuknya virus. Meskipun gD
diperlukan untuk receptor-mediated endocytosis dan juga untuk difusi langsung pada kapsul
virus membran plasma. Tidak adanya konsensus yang jelas bagaimana dan mode yang
masuknya virus pada host manusia dan hewan. Ketika masuk ke sel yang dikultur seperti CHO,
Hela dan HCEs dilaporkan melalui receptor-mediated endocytosis dan masuknya Vero dan
melalui sel neuronal langsung difusi pada membran plasma. Selain gD berperan penting dalam
masuknya virus, membuktikan juga peran penting gB dalam masuk HSV sebagai gB null virus
karena tidak dapat masuk dan menyebabkan infeksi pada sel target. Paired immunoglobulin-
like type 2 receptor (PILR) menunjukkan hubungan dengan gB untuk berfungsi sebagai
ko-reseptor dalam membantu masuk HSV-1. Mutasi pada tempat di mana gB melekat pada
PILR tidak hanya mengurangi jumlah virus yang masuk namun juga mengurangi replikasi
virus dan neuroinvasiveness. Selain itu, protein lain yang termasuk dalam sialic acid-binding
Ig-like lectin family yang membagi homologi yang sama PILR disebut myelin-associated
glycoprotein (MAG) bertindak sebagai ko-reseptor pada HSV-1 masuk saat diekspresikan
eksogen. Ko-reseptor lain yang disebut non-muscle myosin IIA (NMIIA) juga diidentifikasi
untuk mengikat gB pada permukaan sel dan membantu dalam masuknya virus. Sebagai aktin
berikatan motor protein, NM-IIA berperan penting dalam adhesi sel dan migrasi. Glikoprotein
gH dan gL bersama dengan gB dan gD membentuk kompleks difusi. gH berupa kompleks
heterooligomer dengan gL. Kompleks ini sangat penting untuk proses dan ekspresi permukaan
sel gH dan melindungi virus herpes. Selain berperan dalam mesin difusi, kompleks gH / gL
berperan dalam masuknya virus dengan berinteraksi dengan berbagai protein permukaan sel,
integrin menjadi yang paling umum. Interaksi gH dengan integrin v3 memfasilitasi
masuknya HSV-2 dan sinyal kalsium pada sel epitel saluran genital manusia. Studi lain
menunjukkan bahwa v6 dan v8 berfungsi sebagai reseptor yang dapat diganti untuk gH /
gL yang meningkatkan endositosis dan pengaktifan difusi membran. Sebuah studi terbaru oleh
kelompok yang sama juga menemukan bahwa perubahan konformasi pada reseptor integrin
yang disebutkan di atas sangat penting untuk mempromosikan gL dari kompleks gH / gL,
sebuah mekanisme baru yang diusulkan dalam masuknya virus HSV.
Modus masuk viral lainnya juga telah diidentifikasi. Fagositosis partikel virus diamati
begitu partikel virus menempel pada filopodia; Hal ini diyakini menunjukkan sifat campuran
endositosis dan fagositosis. Sitoskleleton dan jalur pensinyalan seluler berhubungan juga
dalam memfasilitasi masuknya HSV ke dalam sel. Jalur pensinyalan Rho-GTPase yang

5
melibatkan Rho-A dan cdc42, modulator kunci dalam pembentukan filopodia untuk diaktifkan
dalam pengambilan virus fagosit. Jalur pensinyalan lain yang disebut phosphoinositide 3 kinase
pathway (PI3K) yang terlibat downstream formasi filopodial juga ditemukan mempengaruhi
banyak langkah dalam masuk HSV. Jalur yang sama ini juga berperan untuk mengendalikan
aktivitas cofilin, keluarga protein pengikat aktin dalam memfasilitasi masuknya virus ke dalam
sel neuron. Aktivasi sinyal Akt dalam memicu pelepasan kalsium yang membantu dalam
masuknya virus HSV juga telah ditunjukkan.
iii) Transportasi Kapsid dan Replikasi: Setelah berhasil masuk ke dalam sel, kapsid
virus dan tegument virus dilepaskan ke dalam sitoplasma. Virion host shutoff protein (vhs)
adalah protein tegument virus yang dilepaskan ke sitoplasma setelah masuk dan menurunkan
mRNA host yang mengatur respons stres. Kapsid kemudian mentransmisikan ke nukleus di
sepanjang mikrotubulus melalui protein motor dynein dan dynactin dan melepaskan DNA virus
ke dalam nukleoplasma. Sebuah studi baru-baru ini melaporkan bahwa peran protein heat-
shock 90 (Hsp90) untuk berperan dalam transport kapsid HSV ke nukleus melalui interaksi
dengan acetylated -tubulin. Uncoating DNA virus terjadi pada pori-pori nuklear.
iv) Replikasi dan Perakitan: Begitu berada di dalam nukleus, beberapa gen virus
diekspresikan secara teratur. Protein gen atau gen Intermediate Early (IE) adalah yang
pertama ditranskripsikan. Produk dari gen ini disebut sebagai Infected Cell Protein (ICP) dan
ada lima ICP: 0, 4, 22, 27 dan 47. Virus tersebut mengkodekan protein tegument : VP16 yang
membantu dalam transkripsi gen . Ekspresi ICP4 kemudian diduga untuk mendorong ekspresi
gen atau IE. Gen mengkodekan berbagai protein yang mempromosikan replikasi DNA
virus, termasuk enzim thymidin kinase (TK). Virus ini memanfaatkan TK untuk replikasi yang
mengarah ke ekspresi gen atau gene late. Protein gen mengkodekan beberapa komponen
dari struktur virus termasuk protein kapsid dan kapsul. Berbagai komponen virus terbentuk
yang kemudian dibentuk dan DNA virus repackaged menjadi kapsid baru. Hasil kapsid
terpasang sepenuhnya dari nukleus dengan memperoleh selubung yang mengandung
glikoprotein di membran inti dalam dan kehilangannya di membran luar saat kapsid dilepaskan
di sitoplasma untuk pembelahan kembali menggunakan membran yang berasal dari Golgi (Gbr.
1).
v) Modulasi Autofagi selama Replikasi Aktif: Peran autofagi, proses seluler yang
berperan dalam menjaga aktivitas metabolik dan homeostatik dalam replikasi HSV telah
banyak dipelajari. Protein ICP34.5, sebuah faktor neurovirulensi, mengatur replikasi HSV
dengan mengendalikan jalur autofagi melalui menghambat jalur pensinyalan PKR / eIF2a atau
beclin-1, protein yang terlibat dalam pembentukan autofagosom. Sebuah studi terbaru

6
menunjukkan bahwa tingkat basal autofagi diperlukan untuk replikasi virus yang efisien dan
mengganggu tingkat basal akan menyebabkan penurunan titer virus. Studi terbaru lainnya
menunjukkan peran protein sitoplasma host yang disebut axin dalam mengendalikan autofagi
dan replikasi HSV. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa ekspresi axin mengurangi
tingkat autofagi seluler yang disebabkan oleh HSV, yang berakibat pada menigkatkan replikasi
HSV.
vi). Latensi and Reaktivasi: Salah satu ciri utama famili virus ini adalah laten untuk
kehidupan host setelah infeksi primer. Bagaimana dan mengapa virus berjalan laten hanya
sebagian dipahami dan merupakan salah satu topik hangat dalam penelitian herpes. Setelah
infeksi litik virus memiliki kemampuan untuk menghindari dan menutupi dirinya sendiri dari
pertahanan host. Latensi terbentuk ketika virus tersebut bermigrasi ke ganglia sensori melalui
retrograde dan menyerang nukleus neuron (Gambar 2). Di dalam nukleus, HSV bertahan dalam
bentuk melingkar dan tetap dalam keadaan diam. Selama keadaan ini, wilayah genom yang
mengkodekan Latency Related transcripts (LATs) aktif. Kramer dkk. menunjukkan adanya
transkrip HSV yang menggunakan analisis RT-PCR pada ganglia tikus yang terinfeksi secara
laten. Peran dan fungsi sebenarnya dari LATs juga tetap harus dipahami sepenuhnya. Namun,
penelitian selama dekade terakhir ini telah mengungkapkan fungsi umum LAT: mereka
membantu mengurangi ekspresi genom virus sehingga mempertahankannya dalam keadaan
laten yang terlindungi dari sistem imun tubuh dan mereka melindungi neuron yang terinfeksi
dari apoptosis oleh karena itu meningkatnya jumlah transkrip laten yang pada akhirnya akan
meningkatkan viral saat reaktivasi. Selain itu, sistem imun host juga berperan penting dalam
latensi virus. Studi pada model tikus infeksi HSV laten menunjukkan adanya sel imun dan
sitokin yang resisten di ganglia yang terinfeksi secara perlahan sementara beberapa orang
berpendapat bahwa adanya transkripsi viral yang rendah dapat menyebabkan lingkungan lokal
yang dapat menekan imun tubuh ekspresi gen HSV. Beberapa bukti juga menunjukkan peran
fungsional neuron dalam mempertahankan latensi. Selanjutnya, selama infeksi laten,
kemampuan beberapa bagian genom HSV tetap transkripsi aktif dan tidak aktif diduga adanya
kontrol epigenetik. Dua studi yang menggunakan analisis komputasi dan tikus yang terinfeksi
secara laten mengungkapkan bahwa metilasi DNA mekanisme epigenetik yang paling umum,
tidak mengatur ekspresi gen laten HSV, yang mengarah ke investigasi mekanisme epigenetik
lainnya

7
Peranan kromatin dan latensi HSV telah meningkat popularitasnya karena DNA HSV
tidak memiliki histon, namun setelah infeksi berkumpul dalam nukleosom dan berhubungan
dengan histon. Namun apakah heterokromatin atau eukromatin berperan dalam latensi HSV
tidak diketahui. Baru-baru ini, dengan menggunakan berbagai teknik molekuler, adanya
heterokromatin atau eukromatin pada sel yang terinfeksi HSV telah dipelajari berdasarkan
mekanisme epigenetik berbasis kromatin pada regulasi gen HSV pada jenis sel yang berbeda.
Dalam sebuah studi oleh Kubat dkk, temuan mereka menunjukkan bahwa kromatin aktif
dihubungkan dengan gen LAT seiring meningkatnya kadar histone H3 asetil yang ditemukan
berhubungan dengan promoter dan enhancer LAT dibandingkan dengan gen ICP0. Dalam studi
lain oleh Wang et al., ditunjukkan bahwa saat infeksi laten terbentuk, gen litik HSV semakin
berhubungkan dengan kromatin yang mengandung dimetilasi H3K9me2, yang merupakan
indikator heterokromatin. Selama infeksi laten gen LAT dihubungkan dengan eukromatin
sedangkan gen litik dihubungkan dengan heterokromatin. Penelitian oleh Amelio dkk.
memberikan wawasan tentang bagaimana dan mengapa berbagai kromatin dijaga dan diatur
secara terpisah pada genom virus laten. Studi mereka mengidentifikasi elemen isolator
kandidat, urutan DNA yang mengikat faktor protein yang menjaga batas kromatin. Ini berisi
situs CCCTC yang terikat oleh CCCTC-binding factor (CTCF) di upstream dari batas dari
intron LAT. Mereka mengusulkan agar isolator menjaga aktivitas eukromatin LAT dalam batas
dan heterokromatin di luar batas yang sama.
Reaktivasi virus laten terjadi ketika rangsangan eksternal atau 'stres' terjadi pada
neuron. Berbagai faktor seperti kondisi lingkungan, demam, paparan sinar matahari dan
kondisi lain telah dihubungkan menyebabkan reaktivasi namun target pastinya pada tingkat
molekuler tetap tidak diketahui. Ketika virus teraltivasi berjalan dari ganglia sensorik melalui

8
anti-retrograde ke tempat infeksi primer atau neuron dimana replikasi virus dan shedding virus
terjadi dan gejala seperti nyeri, pembengkakan dan lesi berkembang. Dalam upaya untuk
memahami peran sebenarnya dari LAT dalam reaktivasi HSV, RNA encoded mikro RNA
(miRNA) ditemukan. MiRNA adalah keluarga RNA non-coding yang panjangnya kira-kira 22
nukleotida. Mereka biasanya berfungsi pada tingkat post-transcription dengan menghambat
sintesis protein melalui degradasi mRNA. HSV miRNA telah ditunjukkan selama infeksi
produktif, yang membantu menurunkan respons imun host serta selama latensi, yang
membantu dalam membangun latensi atau membantu dalam pengaktifan kembali.
vii. Keluar : Setelah pembentukan kapsid dan pengemasan DNA virus, virion akhirnya
keluar atau meninggalkan nukleus dan sel untuk masuk ke lingkungan ekstraselular. Ketika
proses keluar HSV masih memerlukan beberapa kejelasan karena berbagai model
eksperimental dan kompleksitas dalam mempelajari interaksi nukleus virus berikut adalah
model yang diterima untuk jalan keluar virus. Budding adalah langkah awal keluarnya nukleus
HSV. Dalam proses ini kapsid memperoleh kapsul dari membran inti dalam dan dua protein
virus: UL31 dan UL34 dilaporkan diperlukan untuk proses budding. Begitu virus mencapai
perinuklear, diperkirakan kehilangan kapsul atau mengalami pembelahan dan bukti
menunjukkan bahwa perakitan akhir tegument, kapsul dan glikoprotein terjadi di dalam
kompartemen sitoplasma (mungkin di Golgi atau Retikulum Endoplasma, ER). Selama infeksi
berlangsung pada infeksi primer atau setelah reaktivasi untuk transmisi dan infeksi, virus perlu
menyebar ke sel-sel yang lebih kecil. Pelepasan virus dari sel yang terinfeksi memerlukan
faktor host dan komponen virus. Di antara komponen virus, glikoprotein E dan I (gE dan gI)
dibutuhkan untuk penyebaran virus pada sel epitel polarisasi dan non-polarisasi tertentu dan
sel neuron. Di antara faktor host, enzim pengurang HS: heparanase (HPSE) ditunjukkan
membantu dalam pengeluaran virus. Studi ini menunjukkan bagaimana kadar HPSE meningkat
seiring waktu dengan infeksi HSV sebagai bentuk aktif HPSE yang ditranslokasi ke membran
plasma sel yang terinfeksi untuk menghilangkan HS untuk pelepasan dari virus yang baru
dihasilkan. Peran protein motor miosin seperti NMIIA dan myoVa juga telah diberhubungkan
dalam pengeluaran HSV.
GEJALA DAN PATOLOGI
Herpes genital ditularkan melalui kontak seksual. Transmisi virus melalui kontak oro-
genital sebagian besar adalah HSV-1 sehingga jumlah kasus HSV-1 genital terus meningkat.
Shedding virus lebih dominan pada mukosa mulut dan vagina. Kontak dengan salah satu dari
ini meningkatkan risiko terinfeksi HSV.

9
Episode adalah fase di mana individu mengalami gejala dan keparahan episode ini
bergantung pada imunitas sebelumnya terhadap HSV. Khususnya, hampir 25% orang
ditemukan dengan episode klinis herpes genital pertama memiliki serologis infeksi HSV-2
yang lalu pada saat ditemukan, diduga asimptomatis pada awal infeksi. Dalam banyak kasus
infeksi primer di mana pasien ditemukan HSV pada episode pertama dapat terjadi kapan saja
antara 2 hari sampai 2 minggu setelah infeksi primer. Infeksi primer secara klinis paling parah
dan simptomatis. Gejala seperti demam, gatal dan nyeri otot biasanya di bagian bawah tubuh
paling sering terjadi pada infeksi primer; 40% pria dan 70% wanita juga melaporkan demam,
sakit kepala, malaise, dan mialgia. Papul diikuti blister pada distribusi yang luas atau lesi yang
muncul di sekitar area genital yang akhirnya pecah menjadi ulkus (Gambar 2). Selama periode
waktu ulkus berkrusta dan sembuh. Pada wanita lesi ditemukan di serviks, vagina, labia majora
dan minora dan daerah perianal melalui cairan vagina yang terinfeksi dan pada pria kebanyakan
pada gland penis. Lesi anal juga dilaporkan pada pria homoseksual. Infeksi primer baik oleh
HSV-1 atau HSV-2 tidak dapat dibedakan hanya dengan gejala klinis; diperlukan pemeriksaan
laboratorium tambahan untuk membedakan kedua virus tersebut.
Pada jaringan dan sisi molecular, HSV-2 menginfeksi sel epitel pada mukosa genital
dan meningkatkan respon inflamasi serta kematian sel pada daerah yang terinfeksi. Sel
multinukleus dan syncia paling banyak ditemukan pada sel yang terinfeksi HSV. Penarikan
makrofag, sel natural killer, sel B dan sel T memediasi imunitas dan pelepasan sitokin berperan
pada respon imun bawaan dan didapat pada infeksi HSV. Hal ini berkontribusi pada kondisi
inflamasi kronis pada genital dan mukosa. Studi histopatologi pada foreskin dengan HIV
seronegatif pada pria setelah sirkumsisi menunjukkan terjadi peningkatan sel T CD4+ dan
CD8+ dalam seropositif HSV-2 dibandingkan dengan HSV-2 seronegatif pria. Selama proses
infeksi primer, vius menyebar retrograde disepanjang mikrotubulus yang melapisi akson ke ke
dorsal root ganglia (DRG) dimana sel neuronal bertindak sebagai reservoir virus tetap laten.
Reaktivasi karena faktor stress atau kondisi yang lain, menyebabkan penyebaran virus dari
DRG ke sel epitel melalui anterograde dimana replikasi lytic pada virus menyebabkan
shedding virus. Hal ini menyebabkan infeksi rekuren dan infeksi ini biasanya asimtomatis dan
berhubungan dengan ulkus genital. Ketika sistem imun bawaan, sel T CD8+ dan sel dendritik
plasmasitoid dikaitkan dalam mengendalikan lanten dan reaktivasi virus pada laporan terakhir.
Studi meunjukkan bahwa sel dendritik CD8 mendorong terjadinya latensi HSV-1. Pada
klinis dan subklinis, keparahan reaktivasi virus sangat bervariasi dari orang ke orang dan
tergantung sel yang dimediasi imunitas penting untuk mengontrol replikasi virus.

10
DIAGNOSA
Diagnosis herpes genital berdasarkan pada klinis seringkali tidak akurat dan bisa
membingungkan. Gejala ditemukan pada infeksi bakteri lain seperti Treponema pallidum atau
Haemphilus ducreyi bisa disalahartikan dengan HSV yang mengakibatkan salah diagnosis.
Herpes genital juga dapat menyebabkan gejala atipikal yang terjadi pada tempat yang tidak
biasanya seperti paha atau bokong. HSV-2 juga sebagai faktor pendukung untuk HIV-1, yang
merupakan salah satu penyebab utama infeksi menular seksual dan terkadang sulit untuk
mendiagnosis gejala yang terjadi karena koinfeksi HIV-1. Oleh karena itu, bersama dengan
diagnosis klinis, swab dari lesi diambil dan diperiksa dengan tehnik umum berikut ini:
i.Kultur viral: HSV telah menjadi standar emas untuk diagnosis banding HSV selama
dua dekade terakhir. Dengan menggunakan swab dari lesi genital, virus dapat tumbuh pada
kultur jaringan, biasanya dalam 5 hari, yang kemudian dideteksi dengan menggunakan uji
imunofluoresensi atau dengan enzimimmunoassay. Keterbatasan pada metode ini adalah
kekurangan sensitivitas karena lebih banyak virus biasanya diperoleh dari pasien dengan
infeksi primer (80%) namun kurang dari pasien dengan infeksi berulang (20-50%) atau pasien
yang lesi mulai sembuh.
ii. Polymerase Chain Reaction (PCR): Metode amplifikasi asam nukleat ini telah
digunakan untuk menilai adanya HSV. Menentukan HSV dengan PCR lebih cepat dan empat
kali lebih sensitif dibandingkan dengan kultur virus. Berdasarkan metode ini, tiga tes telah
disetujui oleh US Food and Drug Association untuk mendeteksi HSV pada lesi genital. Hal ini
termasuk IsoAmp HSV Assay, BioHelix Corporation; Multi-Code-RTx Herpes Simplex Virus
1 & 2 Kit, EraGen Biosciences, Inc. dan BD ProbeTec Herpes Simplex Viruses (HSV I & 2)
QX Amplified DNA Assays, BD Diagnostic System. Dengan meningkatnya teknologi dan
kemajuan dalam pengembangan kit untuk mendeteksi HSV menggunakan PCR, metode ini
dengan cepat menggantikan uji kultur virus.
iii. Serotip: Metode ini tidak hanya dapat digunakan untuk mendeteksi keberadaan
HSV namun juga dapat digunakan untuk membedakan herpes genital yang berasal dari HSV-
1 atau HSV-2. IgG spesifik melawan glikoprotein G (gG) HSV-1 dan HSV-2 yang tersedia
dapat digunakan untuk membedakan kedua virus. Serotip memiliki keuntungan lain karena
mendeteksi adanya HSV untuk memastikan apakah infeksi tersebut merupakan infeksi primer
atau rekuren. Pada infeksi primer, antibodi HSV tipe-spesifik dapat ditemukan dari 2 minggu
sampai 3 bulan untuk berkembang. Oleh karena itu, tidak adanya antibodi IgG awal yang
spesifik untuk gG dan perkembangan antibodi tersebut setelah 12 minggu mengkonfirmasikan

11
infeksi HSV baru. Dokter juga merekomendasikan metode ini untuk mendiagnosis herpes
genital bila tidak ada lesi atau pemeriksaan yang disebutkan di atas tidak memberikan hasil
yang kuat.
Sementara ulasan ini hanya menyebutkan teknik umum untuk mendiagnosis herpes
genital, saat ini ada metode dan teknik lain yang dikembangkan oleh lembaga penelitian.
Misalnya, LeGoff dkk. Memberika penjelasan tentang metode diagnostik lain yang tersedia
dan yang akan datang.

PENGOBATAN DAN PENCEGAHAN


Herpes genital umumnya diterapi dengan antivirus yang bertujuan mengendalikan
replikasi virus. Asiklovir, analog valasiklovir dan famsiklovir saat ini digunakan untuk terapi
herpes genital. Obat ini adalah analog nukleosida yang secara khusus menghambat DNA
polymerase virus herpes. Sementara siklovir tersedia dalam bentuk oral dan intravena,
valasiklovir dan famsiklovir hanya tersedia berupa oral. Untuk infeksi primer dimana gejalanya
bisa parah, terapi antiviral biasanya dimulai bahkan sebelum gejala dikonfirmasi dilakukan
dengan diagnosis laboratorium dan durasi terapi 7-10 hari atau sampai lesi sembuh. Pada kasus
yang parah, untuk menghilangkan rasa sakit, dianjurkan penggunaan analgesik atau sitz mandi
dimana pinggul dan pantat pasien direndam dalam air hangat.
Strategi pencegahan untuk mengurangi transmisi virus secara efisien dan dalam
kombinasi dengan terapi yang disebutkan di atas mungkin ada mengurangi transmisi virus.
Dalam kasus orang yang memiliki gejala infeksi virus, strategi pencegahan yang paling umum
adalah menjauhkan diri dari aktivitas seksual atau menggunakan kondom. Sebuah studi
prospektif menunjukkan secara signifikan menurunkan tingkat penularan virus antara pasangan
yang menggunakan kondom pada pria. Meski diduga kondom wanita juga dapat mengurangi
penularan virus, hal ini belum diteliti secara klinis. Pemakaian topikal mikrobisida untuk
mencegah infeksi herpes genital juga sedang diteliti. Strategi ini melibatkan penggunaan
produk alami atau sintetis yang dapat meningkatkan pertahanan vagina alami atau
menonaktifkan virion HSV. Sebuah studi baru-baru ini menunjukkan bahwa pemakaian pada
vagina tenofovir gel, sebuah mikrobisida antiviral yang berfungsi sebagai penghambat reverse-
transcriptase nucleotida, mengurangi tingkat infeksi HSV-2 di antara wanita di Afrika Selatan.
Berbagai strategi terapeutik dan pencegahan lainnya yang menargetkan tahap siklus
hidup virus saat ini sedang diteliti. Terapi peptida cepat meningkat karena mudah sintesis,
modifikasi dan spesifisitasnya yang tinggi. Mereka disintesis dan digunakan sebagai inhibitor
untuk melawan infeksi HSV. TAT (transactivator of transcription) -peptida, yang berasal dari

12
HIV, telah terbukti dapat menghambat infeksi HSV pada model infeksi HSV in vitro dan in
vivo. Sebuah studi menunjukkan efek dari peptida spesifik 3-OS HS sintetis: G2 dalam
menghalangi infeksi HSV-2 pada garis sel serviks manusia (HeLa). Peptida ini secara
signifikan menghalangi masuknya dan penyebaran virus dan D- enantiomer dari peptide ini
menunjukkan stabilitas yang lebih tinggi dan lebih menjanjikan dalam menghambat infeksi
HSV. Studi lain merancang peptide sintesis yang spesifik untuk glikoprotein gD dan gG dan
menunjukkan bahwa peptida ini dapat mengenali antibodi HSV-2 secara efektif dan dapat
digunakan untuk tes serodiagnostik. Karena HSV menggunakan filament dan kinase
sitoskeleton selama masuk, sebuah penelitian baru-baru ini menunjukkan bahwa menghalangi
myosin light chain kinase (MLCK) dengan penghambat seperti blebbistatin secara signifikan
mengurangi infeksi HSV, membuktikan target potensial dalam menghalangi terjadinya infeksi
HSV. Adanya nanopartikel dalam pemberian obat berhasil karena kemampuannya untuk
menyediakan pengiriman obat yang berkelanjutan atau diperpanjang di lokasi lokal.
Nanopartikel atau komposisi nanopartikel untuk melindungi dalam melawan infeksi HSV-2
juga sedang diteliti. Nanopartikel zinc oxide (ZnO) secara signifikan menghambat aktivitas
antiviral pada model in vitro menggunakan sel epitel vaginal dan percobaan in vivo tikus yang
terinfeksi HSV-2. Tiga cara pengobatan yang berbeda yang digunakan dalam penelitian ini :
profilaksis, terapi dan netralisasi. Pada ketiga model terapi, nanopartikel ZnO menjanjikan
hasil dalam menghambat infeksi HSV-2. Pada studi lain menunjukkan potensial penggunaan
antiviral mukuspenetrasi nanopartikel. Pada studi ini, asiklovir monofosfat berisi nanopartikel
mukus penetrasi menunjukkan peningkatan dalam retensi obat dan distribusi yang efektif
dalam perlindungan melawan HSV-2.
Perlindungan terhadap infeksi herpes genital dapat diberikan melalui induksi respon
imun dengan menggunakan vaksin. Vaksin terhadap herpes genital sedang dalam uji klinis
hanya vaksin profilaksis telah berhasil sejauh ini. Tidak ada laporan tentang vaksin terapeutik
yang menjanjikan terhadap herpes genital. Vaksin ini terdiri dari subunit glikoprotein seperti
gD atau gB. Vaksin subunit gD2, bila diberikan dengan alum sebagai adjuvant, menunjukkan
sekitar 39-46% efektif dalam mencegah infeksi HSV-2 pada pasien dengan seronegatif untuk
HSV-1 dan HSV-2 tnamun tidak terbukti melindungi pasien dengan seropositif HSV-1.
Glikoprotein viral yang lain seperti gC dan gE juga digunakan sebagai vaksin pada studi
mereka yang efektif dalam menghambat terjadinya infeksi herpes genital. Vaksin berdasarkan
peptide juga berkembang dalam membangkitkan respon imun melawan infeksi HSV-2. Sebuah
studi berkembang vaksin peptide: HerpV, menghasilkan respon CD4 dan CD8 pada tantangan
HSV-2.

13
KESIMPULAN DAN MASA DEPAN
Tidak ada keraguan bahwa pemahaman tentang siklus hidup HSV-2 dan patogenesis
telah meningkat selama beberapa tahun terakhir namun tantangan tetap ada di banyak bidang,
terutama yang berhubungan dengan terapi dan pencegahan penyakit. Pengetahuan baru telah
memberikan kesempatan besar untuk mengembangkan strategi baru perawatan pasien dengan
menggabungkan pemahaman kita tentang mekanisme infeksi virus, respon imun host dan
mekanisme virus yang merusaknya. Obat anti-HSV baru sudah tersedia, banyak di antaranya
menargetkan virus herpes. Saat ini, pengembangan vaksin melawan HSV-2 merupakan bidang
penelitian yang sangat aktif dan banyak strategi inovatif saat ini sedang diuji untuk
menghasilkan vaksin yang efektif. Uji klinis masa depan akan melihat banyak kandidat obat
anti-herpes baru yang tidak nukleosida serta banyak pendekatan baru, termasuk terapi berbasis
imunitas. Hal yang membutuhkan perhatian ekstra adalah diagnostik cepat, karena herpes
genital dapat disebabkan oleh HSV-1 dan HSV-2. Oleh karena itu pemeriksaan yang cepat dan
mudah didapat menghasilkan hasil yang jauh lebih baik dalam mengurangi gejala dan
menurunkan tingkat transmisi. Kesuksesan dalam mengurangi transmisi berarti selangkah
lebih dekat pada tantangan terbesar bagi para ahli herpes, yaitu eliminasi sepenuhnya infeksi
seumur hidup ini.

14

Anda mungkin juga menyukai