New Kardio Mvo
New Kardio Mvo
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyakit jantung bawaan (PJB) merupakan kelainan jantung yang paling
sering ditemukan pada bayi dan anak. Kelainan ini ditemukan sekitar 8 dari tiap
1000 kelahiran hidup, dengan sepertiga diantaranya bermanifestasi sebagai
kondisi kritis pada tahun pertama kehidupan dan 50% dari kegawatan pada
bulan pertama kehidupan berakhir dengan kematian. Di Indonesia, dengan
populasi 220 juta penduduk dan angka kelahiran hidup 2,27%, diperkirakan
terdapat sekitar 40.000 penderita PJB baru tiap tahun.
Dampak PJB terhadap angka kematian bayi dan anak cukup tinggi,
oleh karena itu dibutuhkan tata laksana PJB yang sangat cepat, tepat dan
spesifik. Sebelum era intervensi non-bedah berkembang, semua jenis PJB ditata
laksana dengan tindakan bedah/operasi. Dengan berkembangnya teknologi
melalui teknik kateterisasi dan intervensi, sebagian dari PJB dapat ditata
laksana tanpa operasi.
Kelebihan tindakan intervensi non-bedah dibandingkan dengan bedah
adalah pasien terbebas dari komplikasi operasi, bebas dari penggunaan mesin
jantung-paru, waktu penyembuhan lebih cepat, lamanya masa perawatan di
rumah sakit menjadi lebih singkat, dan secara kosmetik lebih baik karena
tidak ada jaringan parut bekas operasi di dada. Penggunaan mesin jantung-
paru untuk bedah jantung terbuka berisiko menyebabkan gangguan tumbuh
kembang anak di kemudian hari. Di samping itu, mengingat sumber daya dan
fasilitas bedah jantung yang masih terbatas di negara berkembang,
seyogyanya tata laksana PJB jenis tertentu tanpa operasi menjadi pilihan utama.
Laporan dari berbagai negara menyatakan bahwa penanganan PJB tanpa bedah
cukup baik dan pilihan teknologi ini dapat menjadi alternatif terapi dengan
keamanan dan tingkat efikasi yang tinggi.
Di Indonesia, dengan penduduk sekitar 220 juta dan estimasi 40.000
kasus PJB baru per tahun, hanya sekitar 2% kasus yang tertangani dengan
memadai, merupakan angka terendah di antara negara regional lainnya. Fasilitas
dan ketersediaan sumber daya manusia masih menjadi masalah besar karena
dengan kebutuhan 440 ahli kardiologi anak, baru 20 orang yang mampu
disediakan. Mengacu pada Standar Internasional, Indonesia seharusnya
membutuhkan 46 senter kardiologi anak. Namun, hingga kini baru ada 4
senter saja yang aktif melakukan intervensi kardiologi anak, yaitu Pusat
Jantung Nasional/RS Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita dan RS.
Dr. Cipto Mangunkusumo keduanya di Jakarta, RS Dr.Soetomo Surabaya, dan
RS Dr. Sardjito Yogyakarta.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
4) Koarktasio Aorta.
Pada kasus ini pembuluh darah aorta mengalami penyempitan.
Bila penyempitannya berat, maka sirkulasi darah ke organ tubuh
di rongga perut (ginjal, usus dll), serta tungkai bawah sangat
berkurang, dan kondisi pasien memburuk. Seperti halnya pada
atresia katup pulmonal, pada koartasio aorta yang berat,
prostaglandin E-1 perlu diberikan untuk mempertahankan
pembukaan duktus arteriosus. Untuk selanjutnya, tindakan
pelebaran dapat dilakukan secara bedah atau non bedah dengan
kateter balon.
2. Oklusi
Prosedur ini merupakan tindakan untuk menutup lubang atau pembuluh
darah, seperti pada:
Defek septum atrium
Defek septum ventrikel
Duktus arteriosus persisten
Langkah Diagnostik
A. Anamnesis
1. DSV kecil umumnya menimbulkan gejala yang ringan, atau tanpa gejala
(asimtomatik). Umumnya pasien dirujuk karena ditemukannya bising jantung
(murmur) secara kebetulan. Anak tampak sehat. Pada auskultasi S1 dan S2
normal, teraba thrill, bising pansistolik derajat IV/6 dengan punktum
maksimum di interkostal 3-4 pada garis parasternal kiri.
2. DSV sedang dapat menimbulkan gejala yang ringan berupa takipnea dan
takikardia ringan. Bayi sering mengalami kesulitan minum dan makan, dan
sering mengalami ISPA. Pada pemeriksaan fisis ditemukan takipnea, retraksi
interkostal atau suprasternal. Pertambahan berat badan sangat lambat.
Ditemukan thrill. S1 dan S2 normal, ditemukan bising pansistolik intensitas
keras di interkostal 3-4 parasternalis kiri. Bising mid-diastolik sering
ditemukan di apeks.
3. DSV besar, gejala timbul setelah 3-4 minggu. Terlihat gejala dan tanda gagal
jantung kiri. Bayi mengalami takikardia, takipnea, hepatomegali. Pasien tampak
sesak, tidak biru, gagal tumbuh, banyak keringat dan sering mengalami ISPA
berulang. Bising pansistolik akan terdengar bernada rendah dan tidak
terlokalisasi.
B. Pemeriksaan Penunjang
1. Elektrokardiografi (EKG)
Pada DSV kecil, gambaran EKG normal. Pada DSV besar akan ditemukan
LVH atau BVH
2. Foto Rontgen toraks
Tidak spesifik. Pada defek kecil, ukuran jantung normal dengan
corakan vaskular paru normal. Pada DSV sedang, terdapat kardiomegali
dan peningkatan corakan vaskular paru dan tampak penonjolan segmen
pulmonal.
Pada DSV besar, terdapat kardiomegali, peningkatan corakan
vaskular paru dan pembesaran ventrikel kanan.
3. Ekokardiografi
Dengan pemeriksaan ekokardiografi 2-dimensi dan Doppler berwarna dapat
ditentukan besar defek, arah pirau, dimensi ruang jantung dan fungsi
ventrikel.
4. Kateterisasi jantung
Pemeriksaan ini hanya dilakukan pada DSV besar untuk menilai besarnya pirau
dari kiri ke kanan (QP/QS) dan tingginya resistensi vaskular paru agar dapat
ditentukan apakah masih bisa ditutup atau tidak.Saat ini kateterisasi pada DSV
lebih ditujukan pada tindakan penutupan transkateter.
C. Medikamentosa
1. DSV kecil tanpa gejala tidak perlu terapi.
2. Pada gagal jantung diberikan diuretik misalnya furosemid 1-2 mg/kgBB/hari,
vasodilator misalnya kaptopril 0,5 1 mg/kgBB/kali tiap 8 jam. Kalau perlu
dapat ditambahkan digoksin 0,01 mg/kg/hari. Pemberian makanan berkalori
tinggi dilakukan dengan frekuensi sering secara oral/enteral (melalui NGT).
Anemia diperbaiki dengan preparat besi.
3. Menjaga kebersihan mulut dan pemberian antibiotik profilaksis terhadap
infeksi endokarditis.
4. Penutupan DSV dapat dikerjakan dengan intervensi non-bedah
menggunakan Amplatzer VSD occluder atau dengan tindakan bedah.
Pada bayi dengan DSV defek besar yang mengalami gagal jantung
serta retardasi pertumbuhan, dan kegagalan terapi medikamentosa,
dilakukan operasi secepatnya sebelum terjadi penyakit vaskular paru.
Indikasi penutupan DSV baik dengan cara intervensi non-bedah
ataupun bedah adalah bila QP/QS lebih dari 2.
Bayi atau anak dengan DSV besar dan hipertensi pulmonalis harus
dilakukan kateterisasi untuk menilai tingginya resistensi vaskular paru
dan responsnya terhadap pemberian oksigen 100%. Penutupan DSV
cara bedah ataupun non-bedah dilakukan apabila resistensi vaskular paru
dibawah 7 Wood Unit.
Bila resistensi vaskular paru lebih dari 7 Wood Unit dan setelah
diberikan oksigen 100% tetap lebih dari 7 Wood Unit, maka tindakan
penutupan DSV tidak dianjurkan lagi.
Alat yang digunakan untuk menutup DSV (Amplatzer VSD Occluder AVO)
terdiri dari Amplatzer muscular VSD occluder untuk DSV muskular, dan alat yang
digunakan untuk menutup DSV perimembran adalah Amplatzer Membranous VSD
Occluder. ASO juga dapat digunakan untuk menutup DSV tipe muskular jika letak
defek jauh dari katup aorta. AVO untuk menutup DSV perimembran, sisi kirinya
asimetrik. Pada bagian atasnya, lempeng ini berjarak 0,5 mm dari pinggangnya, dan
pada bagian bawah berjarak 5 mm dari pinggang alat. AVO juga dibentuk dari nitinol
(55% nikel; 45% titanium) berdiameter 0,004-0,0075 inci yang berbentuk wire mesh
yang telah dijalin menjadi 2 buah lempeng pipih. Terdapat lekukan pinggang yang
menyatukan kedua lempeng tersebut untuk mengatasi ketebalan septum atrium.
Nitinol memiliki kemampuan menjadi super-elastik dan juga shape memory (mampu
kembali kebentuk aslinya). Kemampuan tersebut membuatnya dapat dimasukkan
kedalam sheath atau kateter dan langsung kembali mengembang sesuai bentuk aslinya
saat dilepaskan dari sheath. Nitinol juga telah terbukti biokompatibilitasnya. Ukuran
alat ini ditentukan oleh diameter pinggangnya dan tersedia dalam kisaran 4 mm 16
mm (1 mm dapat membesar hingga 20 mm; 2 mm dapat membesar hingga 40 mm).
Kedua lempeng AVO akan mengembang secara radial menjauhi pusat
pinggangnya untuk menjamin posisi menempel yang tepat. Terdapat lapisan dakron
dari polyester yang terjahit kuat ke tiap lempeng dan terhubung pula dengan
pinggang alat dengan tujuan meningkatkan sifat trombogenisitas alat. Untuk
memasukkan AVO ke lokasi DSV, diperlukan delivery system yang agak berbeda
dengan delivery system untuk ADO atau ASO. Delivery system pada AVO terdiri dari
delivery sheath, delivery cable, pusher catheter, loading catheter, tutup atau valve
dan plastic versa. Pusher catheter yang hanya ada pada delivery system AVO bertujuan
untuk mempertahankan agar AVO tidak berputar selama prosedur, karena sisi apeks
yang panjangnya 5 mm harus tetap menghadap ke apeks selama berada dalam
ventrikel kiri.
Gambar 21. Amplatzer yang digunakan untuk penutupan transkateter pada DSV. A,
Amplatzer septal occluder; B, Amplatzer PDA occluder; C, Amplatzer muscular VSD
occluder; D, new concentric Amplatzer VSD occluder; E and F, new eccentric
Amplatzer VSD occluders.
Gambar
22
2. Cari DSV dan dorong Terumo wire masuk ke dalam DSV dan
menyeberang ke ventrikel kanan lalu dorong masuk ke arteri pulmonalis atau
masuk ke atrium kanan lalu ke vena kava superior. Setelah kateter JR masuk
ke dalam ventrikel kanan, Terumo guide wire dapat juga diganti dengan soft J
tipped Amplatzer noodlewire 0,035 inchi untuk kemudian di dorong ke atrium
kanan untuk akhirnya ke vena kava superior atau ke arteri pulmonal (Gambar
23).
Gambar
23
3. Dorong keluar Amplatzer noodlewire di vena kava superior agar mudah di-
snare (Gambar 24).
Gambar
24
Gambar 25
Penempatan alat
Gambar 27
11. Periksa ulang posisi lempeng ventrikel kiri. Pita penanda sebaiknya diarahkan ke
apeks ventrikel kiri.
12. Gunakan ekokardiografi transesofagus untuk mengevaluasi pintasan sisa atau
insufisiensi katup.
13. Jalankan angiogram ventrikel kiri dan aortogram untuk melihat posisi dan
mengevaluasi pintasan
14. Buka pengunci pin versa, kemudian mundurkan posisi pin versa beberapa
sentimeter, lalu kunci kembali
15. Dorong pin versa agar AVO terlepas dari pusher catheter.
16. Lepaskan AVO dari delivery cable dengan memutar pin vise berlawanan arah
dengan jarum jam
17. Ulangi angiografi ventrikel kiri
18. Buat angiografi di aorta asenden untuk mengevaluasi regurgitasi pada katup
aorta
1. Vena femoralis kanan atau vena jugularis dan arteri femoralis kiri ditusuk dengan
cara yang biasa menggunakan abbocath no 22, kemudian dilakukan pemasangan
sheath. Setelah itu dimasukkan kateter dan dilakukan evaluasi hemodinamik
termasuk oksimetri dan tekanan di tiap ruang jantung.
2. Defek diperlihatkan pada ekokardiografi, dan jarak defek ke apeks dan katup aorta
diukur. Ukuran defek yang diukur dengan alat ekokardiografi dilaporkan sama
baiknya dengan ventrikulogram kiri.
3. Kateter JR 4 F dimasukkan melalui arteri femoralis kiri, melewati katup aorta dan
DSV masuk ke ventrikel kanan.
4. Ke dalam kateter tadi dimasukkan Terumo guidewire 220 cm lalu
dimanipulasi sehingga guidewire masuk ke arteri pulmonalis. (Gambar 28).
Gambar
28
5. Dari vena femoralis kanan, kateter MP2 bersama dengan alat snare dimasukkan
untuk menarik guidewire keluar dari sheath melalui vena femoralis kanan.
Teknik ini membentuk arterio-venous continuous access wire (Gambar 29).
Gambar
29
Gambar 30
8. Bila ekokardiografi sudah memperlihatkan alat dalam posisi yang benar, alat
dilepaskan dari delivery cable. Jika tidak memuaskan, alat dapat dimasukkan
kembali ke dalam sheath-nya dan dapat diganti dengan ukuran yang lebih besar
atau kecil.
Gambar 31. Angiogram pada anak umur 9 bulan, dengan berat badan 8,4 kg selama
penutupan dengan transkateter pada DSV tipe muskular menggunakan Amplatzer
muscular VSD occluder, A, angiogram ventrikel kiri pada ke 4 ruangan jantung
menunjukkan 7,2 mm DSV tipe mid-muskular (panah). B, gambar a7 Fr Cook
Sheath dari vena jugularis interna kanan pada DSV dengan sebuah
exchange guide wire menunjukkan sebuah arterio-venous loop dari vena
jugularis keluar menuju arteri femoralis. C, gambar ini menunjukkan mengantar
alat tersebut (panah) keluar dari bagian distal selubung selama menarik alat dari
vena jugularis.
LV disc dimasukkan kedalam ventrikel kiri. D, angiogram pada ventrikel kiri
selama posisi
LV Disc telah diletakkan pada tempatnya. E, gambar alat yang telah dikeluarkan
dari kateter (panah). F, angiogram pada ventrikel kiri setelah alat dipasang dan
tidak ada residual shunt.
Gambar 32. Angiogram Ventrikel kiri pada ke 4 ruangan jantung pada DSV
tipe mid- muskular dengan diameter 6,3 mm pada anak umur 13 tahun,
dengan berat badan 40 kg (DSV tipe muskular didapat) setelah pembedahan
untuk memperbaiki hypertrophic cardiomyopathy diikuti dengan Operasi
Kono setelah 5 tahun. Rasio Qp/Qs = 2,3 : 1 dan tekanan sistolik
A.pulmonalis 55 mmHg. B, gambar arterio-venous wire loop yang masuk
melalui A.femoralis menuju DSV dan keluar melalui V. Jugularis interna
kanan. C, gambar Amplatzer MVSD dengan diameter 10mm yang
dikeluarkan dari kateternya (selubung), dimana kateter delivery masih di
posisinya. D, angiogram pada ventrikel kiri setelah lempeng ventrikel
kiri diletakkan (panah) pada ventrikel kiri. E, gambar penempatan lempeng
ventrikel kanan (panah). F, angiogram pada ventrikel kiri untuk melihat
alat sudah diletakkan pada posisinya. G, gambar setelah alat dikeluarkan
dari kateternya (panah). H, angiogram pada ventrikel kiri 10 menit
setelah alat pada posisinya dan minimal foaming hilang setelah beberapa
hari dan tekanan A. Pulmonalis turun menjadi 38 mmHg.
3.1 Kesimpulan
Penyakit jantung bawaan (PJB) merupakan kelainan jantung yang didapat sejak
lahir dan sudah terjadi ketika bayi masih dalam kandungan. Pada akhir kehamilan 7
minggu, pembentukan jantung janin sudah lengkap, sehingga kelainan
pembentukan jantung terjadi pada trimester awal kehamilan. Faktor-faktor
penyebab PJB yang dianggap berpotensi di antaranya adalah infeksi virus pada ibu
hamil (misalnya : campak Jerman atau rubella), obat-obatan atau jamu-jamuan,
dan alkohol. Faktor keturunan atau kelainan genetik dapat juga menjadi penyebab
meskipun jarang, dan belum banyak diketahui. Misalnya, sindroma Down
(Mongolism) yang disertai dengan berbagai macam kelainan bawaan termasuk PJB.
Di Indonesia, dengan penduduk sekitar 220 juta dan estimasi 40.000 kasus PJB
baru per tahun, hanya sekitar 2% kasus yang tertangani dengan memadai,
merupakan angka terendah di antara negara regional lainnya. Fasilitas dan
ketersediaan sumber daya manusia masih menjadi masalah besar karena dengan
kebutuhan 440 ahli kardiologi anak, baru 20 orang yang mampu disediakan.
Mengacu pada Standar Internasional, Indonesia seharusnya membutuhkan 46
senter kardiologi anak. Namun, hingga kini baru ada 4 senter saja yang aktif
melakukan intervensi kardiologi anak, yaitu Pusat Jantung Nasional/RS Jantung
dan Pembuluh Darah Harapan Kita dan RS. Dr. Cipto Mangunkusumo
keduanya di Jakarta, RS Dr.Soetomo Surabaya, dan RS Dr. Sardjito Yogyakarta.
3.2 Saran
Dengan dibuatnya makalah MVO, diharapkan pembaca memahami procedure yang
sudah dijelaskan. Perawat juga memberikan edukasi sebelum melakukan procedure
agar klien mengetahui procedure MVO. Untuk institusi, diharapkan memperbanyak
buku-buku atau jurnal mengenai informasi MVO. Untuk rumah sakit, diharapkan
dapat melakukan dan memberikan asuhan keperawatan dengan baik.
Daftar Pustaka