Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penyakit jantung bawaan (PJB) merupakan kelainan jantung yang paling
sering ditemukan pada bayi dan anak. Kelainan ini ditemukan sekitar 8 dari tiap
1000 kelahiran hidup, dengan sepertiga diantaranya bermanifestasi sebagai
kondisi kritis pada tahun pertama kehidupan dan 50% dari kegawatan pada
bulan pertama kehidupan berakhir dengan kematian. Di Indonesia, dengan
populasi 220 juta penduduk dan angka kelahiran hidup 2,27%, diperkirakan
terdapat sekitar 40.000 penderita PJB baru tiap tahun.
Dampak PJB terhadap angka kematian bayi dan anak cukup tinggi,
oleh karena itu dibutuhkan tata laksana PJB yang sangat cepat, tepat dan
spesifik. Sebelum era intervensi non-bedah berkembang, semua jenis PJB ditata
laksana dengan tindakan bedah/operasi. Dengan berkembangnya teknologi
melalui teknik kateterisasi dan intervensi, sebagian dari PJB dapat ditata
laksana tanpa operasi.
Kelebihan tindakan intervensi non-bedah dibandingkan dengan bedah
adalah pasien terbebas dari komplikasi operasi, bebas dari penggunaan mesin
jantung-paru, waktu penyembuhan lebih cepat, lamanya masa perawatan di
rumah sakit menjadi lebih singkat, dan secara kosmetik lebih baik karena
tidak ada jaringan parut bekas operasi di dada. Penggunaan mesin jantung-
paru untuk bedah jantung terbuka berisiko menyebabkan gangguan tumbuh
kembang anak di kemudian hari. Di samping itu, mengingat sumber daya dan
fasilitas bedah jantung yang masih terbatas di negara berkembang,
seyogyanya tata laksana PJB jenis tertentu tanpa operasi menjadi pilihan utama.
Laporan dari berbagai negara menyatakan bahwa penanganan PJB tanpa bedah
cukup baik dan pilihan teknologi ini dapat menjadi alternatif terapi dengan
keamanan dan tingkat efikasi yang tinggi.
Di Indonesia, dengan penduduk sekitar 220 juta dan estimasi 40.000
kasus PJB baru per tahun, hanya sekitar 2% kasus yang tertangani dengan
memadai, merupakan angka terendah di antara negara regional lainnya. Fasilitas
dan ketersediaan sumber daya manusia masih menjadi masalah besar karena
dengan kebutuhan 440 ahli kardiologi anak, baru 20 orang yang mampu
disediakan. Mengacu pada Standar Internasional, Indonesia seharusnya
membutuhkan 46 senter kardiologi anak. Namun, hingga kini baru ada 4
senter saja yang aktif melakukan intervensi kardiologi anak, yaitu Pusat
Jantung Nasional/RS Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita dan RS.
Dr. Cipto Mangunkusumo keduanya di Jakarta, RS Dr.Soetomo Surabaya, dan
RS Dr. Sardjito Yogyakarta.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Penyakit Jantung Bawaan


Penyakit jantung bawaan (PJB) merupakan kelainan jantung yang didapat
sejak lahir dan sudah terjadi ketika bayi masih dalam kandungan. Pada akhir
kehamilan 7 minggu, pembentukan jantung janin sudah lengkap, sehingga
kelainan pembentukan jantung terjadi pada trimester awal kehamilan. Faktor-
faktor penyebab PJB yang dianggap berpotensi di antaranya adalah infeksi virus
pada ibu hamil (misalnya : campak Jerman atau rubella), obat-obatan atau
jamu-jamuan, dan alkohol. Faktor keturunan atau kelainan genetik dapat juga
menjadi penyebab meskipun jarang, dan belum banyak diketahui. Misalnya,
sindroma Down (Mongolism) yang disertai dengan berbagai macam kelainan
bawaan termasuk PJB. Ibu yang merokok juga dilaporkan berbahaya bagi
kehamilannya, karena berpengaruh terhadap pertumbuhan janin dalam
kandungan sehingga berakibat bayi lahir prematur, cacat bawaan atau meninggal
dalam kandungan.
PJB merupakan kelainan bawaan yang paling sering terjadi (30% dari
seluruh kelainan bawaan), dan paling sering menimbulkan kematian khususnya
pada neonatus. Berdasarkan penampilan fisik, PJB secara garis besar dibagi atas
dua kelompok, yakni PJB tidak biru (asianosis) dan PJB biru (sianosis).
Berdasarkan kelainan anatomis, PJB secara garis besar dibagi atas 3
kelompok,yakni:
1. Adanya penyempitan (stenosis) atau bahkan pembuntuan (obstruksi)
pada bagian tertentu jantung, yakni: katup atau salah satu bagian
pembuluh darah di luar jantung. Pada PJB kompleks dengan
penyempitan yang berat, aliran darah ke bagian tubuh setelah area
penyempitan akan sangat menurun, bahkan terhenti sama sekali pada
pembuntuan total (atresia).
1) Stenosis (Penyempitan) Katup Pulmonal.
Terjadi kelebihan beban tekanan (pressure overload) pada jantung
kanan, yang pada akhirnya mengakibatkan gagal jantung kanan.
Pada kondisi ini, jantung tak mampu memompakan darah sesuai
kebutuhan tubuh dan sesuai jumlah darah yang kembali ke
jantung, sehingga terjadilah bendungan sistemik. Gejala klinisnya
adalah: pembengkakan kelopak mata, tungkai, pembesaran hati
dan penimbunan cairan di rongga perut. Tindakan yang dapat
dilakukan antara lain adalah pelebaran katup pulmonalis
dengan kateter balon (balloon pulmonary valvuloplasty = BPV)
melalui kateterisasi.

2) Stenosis (Penyempitan) Katup Aorta.


Terjadi kelebihan beban tekanan pada ventrikel kiri, yang
pada akhirnya mengakibatkan gagal jantung kiri. Kondisi ini
ditandai oleh: sesak, batuk, kadang-kadang dahak berdarah
(akibat pecahnya pembuluh darah halus yang bertekanan tinggi
di paru). Penanganan yang dapat dilakukan antara lain
pelebaran katup dengan kateter balon (balloon aortic
valvuloplasty = BAV) melalui kateterisasi.

3) Atresia Katup Pulmonal.


Pada kasus ini katup pulmonal sama sekali buntu, sehingga
tak ada aliran darah dari jantung ke paru. Pasien hanya dapat
bertahan hidup bila duktus arteriosus tetap terbuka (yang
mengalirkan darah dari aorta ke pembuluh darah paru). Biasanya
pembuluh ini akan menutup pada minggu pertama kehidupan
bayi, dan bila penutupan terjadi akan berakibat fatal. Untuk
mempertahankan duktus arteriosus tetap terbuka, diperlukan obat
prostaglandin E-1. Namun obat ini sifatnya hanya sementara, dan
harus segera diikuti dengan tindakan selanjutnya membuka katup
pulmonal baik secara bedah maupun non-bedah dengan membuat
lubang (perforasi) pada katup yang buntu tersebut yang
dilanjutkan melebarkan lubang yang terbentuk dengan kateter
balon. Sedangkan atresia katup pulmonal dengan DSV harus
dilanjutkan dengan tindakan bedah memasang saluran antara arteri
subklavia dan arteri pulmonalis kanan atau kiri (prosedur Ballock-
Taussig shunt) atau mempertahankan agar DAP tetap terbuka
dengan memasang stent di DAP.

4) Koarktasio Aorta.
Pada kasus ini pembuluh darah aorta mengalami penyempitan.
Bila penyempitannya berat, maka sirkulasi darah ke organ tubuh
di rongga perut (ginjal, usus dll), serta tungkai bawah sangat
berkurang, dan kondisi pasien memburuk. Seperti halnya pada
atresia katup pulmonal, pada koartasio aorta yang berat,
prostaglandin E-1 perlu diberikan untuk mempertahankan
pembukaan duktus arteriosus. Untuk selanjutnya, tindakan
pelebaran dapat dilakukan secara bedah atau non bedah dengan
kateter balon.

2. Adanya lubang pada sekat pembatas antara kedua serambi atau


bilik jantung (septum), sehingga terjadi pirau (shunt) dari satu sisi
ruang jantung ke ruang sisi lainnya. Karena tekanan darah di ruang
jantung sisi kiri lebih tinggi dibanding sisi kanan, maka aliran pirau
yang terjadi adalah dari kiri ke kanan. Akibatnya, aliran darah ke
paru berlebihan/banjir (contoh: DSA = defek septum atrium/lubang
di sekat serambi , DSV = defek septum ventrikel/lubang di sekat
bilik). Pirau ini juga bisa terjadi bila pembuluh darah yang
menghubungkan aorta dan pembuluh pulmonal tetap terbuka (DAP=
duktus arteriosus persisten). Karena darah mengalir dari sirkulasi
darah bersih ke sirkulasi darah kotor, maka penampilan pasien tidak
biru (asianosis). Namun beban volume yang berlebihan pada
jantung kiri atau kanan akibat pirau yang besar dapat menimbulkan
gagal jantung kiri maupun kanan. Tanda-tanda gagal jantung kiri
adalah: debaran jantung kencang, cepat lelah, sesak napas, pada bayi
sulit menyusu, pertumbuhan terganggu, sering menderita infeksi
saluran pernapasan akut (ISPA). Dalam kondisi seperti tersebut di
atas, perlu diberikan obat-obatan untuk mengurangi beban volume
pada jantung, yakni obat diuretik (memperlancar kencing) dan
obat vasodilator (pelebar pembuluh darah)

1) Defek septum atrium (DSA)


Lubang DSA kini dapat ditutup dengan tindakan non bedah
, yakni memasang alat penyumbat yang dimasukkan melalui
kateter dari pembuluh darah vena di lipat paha. Alat
penyumbat tersebut antara lain adalah Amplatzer Septal
Occluder (ASO). Namun pada sebagian kasus, DSA sekundum,
DSA tipe sinus venosus atau DSA primum, tak dapat ditangani
dengan metode ini, dan memerlukan pembedahan.

2) Defek Septum Ventrikel (DSV)


Pada DSV tertentu seperti DSV perimembran dan muskular,
defek dapat ditutup dengan tindakan non-bedah dengan
memasang alat penyumbat antara lain Amplatzer
Membranous/Muscular VSD Occluder (AVO) yang dimasukkan
melalui kateter dari pembuluh darah vena di lipat paha. Namun
pada jenis Sub-Arterial Doubly Commited (SADC) tetap
diperlukan pembedahan.

3) Duktus arteriosus persisten (DAP)


DAP juga dapat ditutup dengan tindakan non bedah
menggunakan penyumbat Amplatzer duct occluder (ADO) atau
okluder janin lain. Bila DAP sangat besar atau DAP pada
neonatus atau bayi kecil dibawah 6 kg, tindakan bedah masih
merupakan pilihan utama. DAP pada bayi prematur dapat
dirangsang penutupannya dengan menggunakan obat anti-
postaglandin seperti indometasin atau ibuprofen.

3. Pembuluh darah utama jantung keluar dari ruang jantung


dalam posisi tertukar (pembuluh darah aorta keluar dari bilik
kanan sedangkan pembuluh darah pulmonal/paru keluar dari bilik
kiri). Kelainan ini disebut transposisi arteri besar (TGA =
transposition of the great arteries) dan ditemukan dua sirkulasi darah
yang paralel. Untuk kelangsungan hidup bayi dengan PJB jenis ini
diperlukan percampuran darah antara jantung kiri dan kanan, yang
mana akan diperoleh melalui DAP, DSA atau DSV. Pada jenis yang
tidak disertai DSV saat usia neonatus perlu diberikan obat
prostaglandin E-1 untuk mempertahankan duktus arteriosus tetap
terbuka. Namun obat ini sifatnya hanya sementara, dan harus segera
diikuti dengan tindakan pembuatan lubang di sekat serambi secara
non bedah dengan balon. Tindakan ini disebut balloon atrial
septostomy (BAS).

Di samping kelainan anatomi jantung, PJB juga dapat


menyangkut kelainan pada sistem konduksi jantung. Pacu jantung
yang lemah atau adanya blok pada sistem konduksi jantung,
berakibat denyut jantung/nadi yang pelan, sehingga tak mencukupi
kebutuhan sirkulasi tubuh. Untuk itu perlu pemasangan alat pacu
jantung (pacemaker) permanen. Pada anak yang sudah cukup besar
pemasangan pacu jantung permanen ini dapat dilakukan tanpa
bedah dengan menanam batere di bawah kulit di bahu kiri atau
kanan dan memasukkan elektroda ke dalam serambi atau bilik
jantung kanan melalui vena subklavia kiri atau kanan. Tetapi pada
bayi masih diperlukan pembedahan dengan menempelkan elektroda
epikardial di permukaan jantung dan menanam baterenya di bawah
kulit di daerah subsifoid.
Di Indonesia, kardiologi intervensi non-bedah pada anak
dimulai pada tahun 1989 berupa pelebaran katup mitral dengan balon
yang dilakukan di Pusat Jantung Nasional Harapan Kita Jakarta.
Tahun 1998 teknik penutupan DAP dengan coil telah mulai
dilakukan di RS Jantung Harapan Kita yang selanjutnya pada
tahun 2002 untuk DAP yang besar ditutup dengan alat ADO dan
DSA dengan alat ASO. Pelayanan Jantung Terpadu (PJT) RSCM
Jakarta mulai melaksanakan teknik ini pada awal tahun 2002,
diikuti oleh RS Dr. Soetomo Surabaya, RS Dr. Sardjito
Yogyakarta dan RS M Hoesin Palembang. Dengan adanya Program
Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) 2 Kardiologi Anak
FKUI/RSCM di Jakarta yang telah diakreditasi oleh Kolegium IDAI
Indonesia, perkembangan bidang intervensi ini dapat dikatakan cukup
cepat dan menggembirakan. Intervensi non bedah untuk menutup
DSV dimulai pertama kali di PJT RSCM pada tahun 2004
disupervisi oleh intervensionist dari Institut Jantung Negara,
Malaysia. Sejak itu, 15 kasus DSV pada anak berhasil ditutup di
senter ini, 3 kasus DSV di Pusat Jantung Nasional Harapan Kita, dan
1 kasus di RS Husada Utama, Surabaya. Prosedur-prosedur
intervensi non-bedah ini cukup memberikan harapan bagi masa
depan anak-anak di Indonesia penyandang PJB khususnya DAP,
DSA dan DSV.

B. Prosedur Kardiologi Intervensi Non-Bedah


1. Dilatasi
Prosedur ini merupakan tindakan membuka atau melebarkan katup atau
pembuluh darah, seperti pada:
Balloon atrial septostomy
Balloon valve dilatation
Pulmonary valve dilatation critical pulmonic stenosis in the newborn
Aortic valve dilatation
Critical aortic stenosis in the newborn
Angioplasti koarktasio aorta
Mitral valve dilatation
Dilation of branch pulmonary artery stenosis
Dilation of systemic vein stenosis
Pulmonary vein dilation

2. Oklusi
Prosedur ini merupakan tindakan untuk menutup lubang atau pembuluh
darah, seperti pada:
Defek septum atrium
Defek septum ventrikel
Duktus arteriosus persisten

3. Kardiologi intervensi pediatrik pada penyakit jantung bawaan kompleks


Pulmonary valve perforation in pulmonary atresia with intact IVS
Intravascular stents in congenital heart disease
Closure of abnormal vascular communications: embolization therapy
Stenting of the PDA in duct dependent circulations
Transcatheter replacement of pulmonary valve

4. PJB yang dapat ditatalaksana dengan kardiologi intervensi non-bedah


Pada kajian ini pembahasan dibatasi pada tatalaksana kardiologi
intervensi non- bedah pada tiga PJB yang cukup tinggi prevalensnya
yaitu ductu s arteriosus persisten (DAP), defek septum atrium (DSA), dan
defek septum ventrikel (DSV). Ketiganya akan dibahas secara rinci satu per
satu.

Langkah Diagnostik

A. Anamnesis
1. DSV kecil umumnya menimbulkan gejala yang ringan, atau tanpa gejala
(asimtomatik). Umumnya pasien dirujuk karena ditemukannya bising jantung
(murmur) secara kebetulan. Anak tampak sehat. Pada auskultasi S1 dan S2
normal, teraba thrill, bising pansistolik derajat IV/6 dengan punktum
maksimum di interkostal 3-4 pada garis parasternal kiri.
2. DSV sedang dapat menimbulkan gejala yang ringan berupa takipnea dan
takikardia ringan. Bayi sering mengalami kesulitan minum dan makan, dan
sering mengalami ISPA. Pada pemeriksaan fisis ditemukan takipnea, retraksi
interkostal atau suprasternal. Pertambahan berat badan sangat lambat.
Ditemukan thrill. S1 dan S2 normal, ditemukan bising pansistolik intensitas
keras di interkostal 3-4 parasternalis kiri. Bising mid-diastolik sering
ditemukan di apeks.
3. DSV besar, gejala timbul setelah 3-4 minggu. Terlihat gejala dan tanda gagal
jantung kiri. Bayi mengalami takikardia, takipnea, hepatomegali. Pasien tampak
sesak, tidak biru, gagal tumbuh, banyak keringat dan sering mengalami ISPA
berulang. Bising pansistolik akan terdengar bernada rendah dan tidak
terlokalisasi.

B. Pemeriksaan Penunjang
1. Elektrokardiografi (EKG)
Pada DSV kecil, gambaran EKG normal. Pada DSV besar akan ditemukan
LVH atau BVH
2. Foto Rontgen toraks
Tidak spesifik. Pada defek kecil, ukuran jantung normal dengan
corakan vaskular paru normal. Pada DSV sedang, terdapat kardiomegali
dan peningkatan corakan vaskular paru dan tampak penonjolan segmen
pulmonal.
Pada DSV besar, terdapat kardiomegali, peningkatan corakan
vaskular paru dan pembesaran ventrikel kanan.
3. Ekokardiografi
Dengan pemeriksaan ekokardiografi 2-dimensi dan Doppler berwarna dapat
ditentukan besar defek, arah pirau, dimensi ruang jantung dan fungsi
ventrikel.
4. Kateterisasi jantung
Pemeriksaan ini hanya dilakukan pada DSV besar untuk menilai besarnya pirau
dari kiri ke kanan (QP/QS) dan tingginya resistensi vaskular paru agar dapat
ditentukan apakah masih bisa ditutup atau tidak.Saat ini kateterisasi pada DSV
lebih ditujukan pada tindakan penutupan transkateter.

C. Medikamentosa
1. DSV kecil tanpa gejala tidak perlu terapi.
2. Pada gagal jantung diberikan diuretik misalnya furosemid 1-2 mg/kgBB/hari,
vasodilator misalnya kaptopril 0,5 1 mg/kgBB/kali tiap 8 jam. Kalau perlu
dapat ditambahkan digoksin 0,01 mg/kg/hari. Pemberian makanan berkalori
tinggi dilakukan dengan frekuensi sering secara oral/enteral (melalui NGT).
Anemia diperbaiki dengan preparat besi.
3. Menjaga kebersihan mulut dan pemberian antibiotik profilaksis terhadap
infeksi endokarditis.
4. Penutupan DSV dapat dikerjakan dengan intervensi non-bedah
menggunakan Amplatzer VSD occluder atau dengan tindakan bedah.

Indikasi dan waktu penutupan DSV

Pada bayi dengan DSV defek besar yang mengalami gagal jantung
serta retardasi pertumbuhan, dan kegagalan terapi medikamentosa,
dilakukan operasi secepatnya sebelum terjadi penyakit vaskular paru.
Indikasi penutupan DSV baik dengan cara intervensi non-bedah
ataupun bedah adalah bila QP/QS lebih dari 2.
Bayi atau anak dengan DSV besar dan hipertensi pulmonalis harus
dilakukan kateterisasi untuk menilai tingginya resistensi vaskular paru
dan responsnya terhadap pemberian oksigen 100%. Penutupan DSV
cara bedah ataupun non-bedah dilakukan apabila resistensi vaskular paru
dibawah 7 Wood Unit.
Bila resistensi vaskular paru lebih dari 7 Wood Unit dan setelah
diberikan oksigen 100% tetap lebih dari 7 Wood Unit, maka tindakan
penutupan DSV tidak dianjurkan lagi.

Alat Yang Digunakan

Alat yang digunakan untuk menutup DSV (Amplatzer VSD Occluder AVO)
terdiri dari Amplatzer muscular VSD occluder untuk DSV muskular, dan alat yang
digunakan untuk menutup DSV perimembran adalah Amplatzer Membranous VSD
Occluder. ASO juga dapat digunakan untuk menutup DSV tipe muskular jika letak
defek jauh dari katup aorta. AVO untuk menutup DSV perimembran, sisi kirinya
asimetrik. Pada bagian atasnya, lempeng ini berjarak 0,5 mm dari pinggangnya, dan
pada bagian bawah berjarak 5 mm dari pinggang alat. AVO juga dibentuk dari nitinol
(55% nikel; 45% titanium) berdiameter 0,004-0,0075 inci yang berbentuk wire mesh
yang telah dijalin menjadi 2 buah lempeng pipih. Terdapat lekukan pinggang yang
menyatukan kedua lempeng tersebut untuk mengatasi ketebalan septum atrium.
Nitinol memiliki kemampuan menjadi super-elastik dan juga shape memory (mampu
kembali kebentuk aslinya). Kemampuan tersebut membuatnya dapat dimasukkan
kedalam sheath atau kateter dan langsung kembali mengembang sesuai bentuk aslinya
saat dilepaskan dari sheath. Nitinol juga telah terbukti biokompatibilitasnya. Ukuran
alat ini ditentukan oleh diameter pinggangnya dan tersedia dalam kisaran 4 mm 16
mm (1 mm dapat membesar hingga 20 mm; 2 mm dapat membesar hingga 40 mm).
Kedua lempeng AVO akan mengembang secara radial menjauhi pusat
pinggangnya untuk menjamin posisi menempel yang tepat. Terdapat lapisan dakron
dari polyester yang terjahit kuat ke tiap lempeng dan terhubung pula dengan
pinggang alat dengan tujuan meningkatkan sifat trombogenisitas alat. Untuk
memasukkan AVO ke lokasi DSV, diperlukan delivery system yang agak berbeda
dengan delivery system untuk ADO atau ASO. Delivery system pada AVO terdiri dari
delivery sheath, delivery cable, pusher catheter, loading catheter, tutup atau valve
dan plastic versa. Pusher catheter yang hanya ada pada delivery system AVO bertujuan
untuk mempertahankan agar AVO tidak berputar selama prosedur, karena sisi apeks
yang panjangnya 5 mm harus tetap menghadap ke apeks selama berada dalam
ventrikel kiri.
Gambar 21. Amplatzer yang digunakan untuk penutupan transkateter pada DSV. A,
Amplatzer septal occluder; B, Amplatzer PDA occluder; C, Amplatzer muscular VSD
occluder; D, new concentric Amplatzer VSD occluder; E and F, new eccentric
Amplatzer VSD occluders.

Teknik Pemasangan Alat


Pemasangan Ampaltzer membranous VSD Occluder pada DSV tipe perimembran

Prosedur ekokardiografi trans-torasik


Prosedur ini penting untuk menentukan ukuran DSV. Ukuran DSV ditentukan pada 2
diameter atau aksis. Diameter ini diukur dengan ekokardiografi 2-dimensi, bukan dari
lebar Doppler berwarna. Pada pandangan parasternal sumbu panjang diukur minor axis =
a, dan pada pandangan parasternal sumbu pendek diukur major axis = b. Ukuran AVO
yang akan digunakan yaitu akar dari a dikali b.

Prosedur pemasangan TEE yaitu :


1. Lokasi : mid-esofagus 4 ruang jantung (frontal), dan aksis basal sumbu
pendek.
2. Catat semua kelainan yang ditemukan
3. Ukur fungsi jantung dan ukuran ruangan-ruangan jantung
4. Evaluasi bagian jantung seperti otot papilaris dan korda tendinea dari katup
mitral
5. Periksa adanya regurgitasi pada katup atrioventricular
6. Ukur besar defek pada waktu diastolik akhir
Melakukan kateterisasi jantung dengan anestesi umum
1. Pertahankan waktu pembekuan darah aktif > 250 selama kateterisasi
2. Evaluasi hemodinamik termasuk oksimetri dan tekanan darah yang diukur pada
vena dan arteri femoralis
3. Ukur besar defek dan jarak ke katup aorta melalui TEE dan angiografi kiri
Pertahankan arteriovenous loop agar tetap stabil
1. Memasukkan kateter Judkin Right (JR) 4F bersama dengan Terumo guide
wire atau koroner wire ke dalam ventrikel kiri (Gambar 22)

Gambar
22

2. Cari DSV dan dorong Terumo wire masuk ke dalam DSV dan
menyeberang ke ventrikel kanan lalu dorong masuk ke arteri pulmonalis atau
masuk ke atrium kanan lalu ke vena kava superior. Setelah kateter JR masuk
ke dalam ventrikel kanan, Terumo guide wire dapat juga diganti dengan soft J
tipped Amplatzer noodlewire 0,035 inchi untuk kemudian di dorong ke atrium
kanan untuk akhirnya ke vena kava superior atau ke arteri pulmonal (Gambar
23).

Gambar
23

3. Dorong keluar Amplatzer noodlewire di vena kava superior agar mudah di-
snare (Gambar 24).
Gambar
24

4. Masukkan kateter MP 2 melalui sheath yang ada di vena femoralis


bersama dengan Amplatz snare masuk ke vena kava superior, alat snare dibuka
dengan mendorongnya keluar dari kateter. Kemudian ujung noodlewire di
snare, lalu ditarik sampai keluar dari vena femoralis.
5. Masukkan dilator ke dalam delivery sheath dan pastikan dengan terkunci
dengan baik.
6. Masukkan delivery sheath bersama dilator menyusuri noodlewire dari vena
femoralis ke atrium kanan sampai bertemu dengan kateter JR.
7. Gerakkan sistem tersebut sebagai satu kesatuan sampai ujung dilator mencapai
aorta asenden (Kissing catheter technique) (Gambar 25)

Gambar 25

8. Tarik dilator sampai sedikit dibawah ujung delivery sheat


9. Pelan-pelan tarik kembali delivery sheath sampai ujungnya setinggi katup aorta.
10. Dorong Amplatzer noodlewire dari kateter JR sehingga terbentuk loop yang
masuk ke ventrikel kiri, kemudian delivery sheath didorong sehingga ujungya
masuk menyusuri loop tadi, masuk ke ventrikel kiri (Gambar 26)
Gambar 26
11. Tarik Amplatzer noodlewire keluar melalui vena atau arteri femoralis

Penempatan alat

1. Pilih alat yang sama ukuranya dengan ukuran DSV


2. Masukkan delivery cable ke dalam pusher catheter, lalu masukkan ke dalam
loading catheter yang sudah dipasang katup hemostasis.
3. Pasangkan AVO pada ujung delivery cable.
4. Putar AVO ke kiri agar marker pengunci pada AVO masuk ke dalam
marker yang ada pada pusher catheter.
5. Pasang plastic versa, tarik kabel kuat-kuat, lalu plastic versa dikunci.
6. Loading AVO ke dalam loading catheter dengan menarik pusher catheter.
Waktu me-loading AVO, sebaiknya dilakukan di dalam garam larutan NaCl
0,9%.
7. Flush catheter dengan normal salin untuk membuang gumpalan udara di dalam
AVO.
8. Masukkan loading catheter ke dalam delivery sheath, dorong pusher catheter
sampai ujung distal AVO membuka di apeks ventrikel kiri.
9. Tarik delivery system secara bersaman sampai lempeng kiri menyentuh septum.
10. Buka bagian proksimal AVO dengan menarik delivery sheath tanpa
menarik pusher catheter (Gambar 27)

Gambar 27

11. Periksa ulang posisi lempeng ventrikel kiri. Pita penanda sebaiknya diarahkan ke
apeks ventrikel kiri.
12. Gunakan ekokardiografi transesofagus untuk mengevaluasi pintasan sisa atau
insufisiensi katup.
13. Jalankan angiogram ventrikel kiri dan aortogram untuk melihat posisi dan
mengevaluasi pintasan
14. Buka pengunci pin versa, kemudian mundurkan posisi pin versa beberapa
sentimeter, lalu kunci kembali
15. Dorong pin versa agar AVO terlepas dari pusher catheter.
16. Lepaskan AVO dari delivery cable dengan memutar pin vise berlawanan arah
dengan jarum jam
17. Ulangi angiografi ventrikel kiri
18. Buat angiografi di aorta asenden untuk mengevaluasi regurgitasi pada katup
aorta

Pemasangan Amplatzer Muscular VSD Occluder (AMVO) untuk DSV tipe


muskular
Pemasangannya menggunakan teknik kateter (pendekatan melalui sisi kanan atau kiri).
Pendekatannya tergantung pada lokasi dari DSV tipe muskular. Umumnya defek
pada bagian atas septum dapat dilakukan pendekatan melalui vena femoralis,
sedangkan defek rendah lebih mudah ditutup dengan cara pendekatan transjugular.
Teknik kateter harus dilakukan di bawah pengaruh anestesi umum dan
ekokardiografi transesofagus.
Tahap-tahapnya :

1. Vena femoralis kanan atau vena jugularis dan arteri femoralis kiri ditusuk dengan
cara yang biasa menggunakan abbocath no 22, kemudian dilakukan pemasangan
sheath. Setelah itu dimasukkan kateter dan dilakukan evaluasi hemodinamik
termasuk oksimetri dan tekanan di tiap ruang jantung.
2. Defek diperlihatkan pada ekokardiografi, dan jarak defek ke apeks dan katup aorta
diukur. Ukuran defek yang diukur dengan alat ekokardiografi dilaporkan sama
baiknya dengan ventrikulogram kiri.
3. Kateter JR 4 F dimasukkan melalui arteri femoralis kiri, melewati katup aorta dan
DSV masuk ke ventrikel kanan.
4. Ke dalam kateter tadi dimasukkan Terumo guidewire 220 cm lalu
dimanipulasi sehingga guidewire masuk ke arteri pulmonalis. (Gambar 28).

Gambar
28
5. Dari vena femoralis kanan, kateter MP2 bersama dengan alat snare dimasukkan
untuk menarik guidewire keluar dari sheath melalui vena femoralis kanan.
Teknik ini membentuk arterio-venous continuous access wire (Gambar 29).

Gambar
29

6. Delivery sheath dengan dilatornya dimasukkan melewati akses vena


menyusuri guidewire untuk masuk melewati DSV dan masuk ke dalam ventrikel
kiri. Medium kontras disuntikkan untuk memastikan bahwa ujung sheath dalam
posisi yang benar di dekat apeks ventrikel kiri.
7. AMVO dipasang pada delivery cable, kemudian di-loading ke dalam loading
catheter dalam cairan garam fisiologis (NaCl 0,9%). Loading catheter dimasukkan
ke dalam delivery sheath, kemudian didorong sampai ujung distal AMVO
membuka di ventrikel kiri. Delivery sheath beserta kabel ditarik sampai lempeng
kiri AMVO menyentuh septum. Untuk membuka bagian proksimal AMVO,
delivery sheath ditarik tanpa menarik delivery cable, sehingga AMVO
membuka di dalam DSV (Gambar 30).

Gambar 30
8. Bila ekokardiografi sudah memperlihatkan alat dalam posisi yang benar, alat
dilepaskan dari delivery cable. Jika tidak memuaskan, alat dapat dimasukkan
kembali ke dalam sheath-nya dan dapat diganti dengan ukuran yang lebih besar
atau kecil.
Gambar 31. Angiogram pada anak umur 9 bulan, dengan berat badan 8,4 kg selama
penutupan dengan transkateter pada DSV tipe muskular menggunakan Amplatzer
muscular VSD occluder, A, angiogram ventrikel kiri pada ke 4 ruangan jantung
menunjukkan 7,2 mm DSV tipe mid-muskular (panah). B, gambar a7 Fr Cook
Sheath dari vena jugularis interna kanan pada DSV dengan sebuah
exchange guide wire menunjukkan sebuah arterio-venous loop dari vena
jugularis keluar menuju arteri femoralis. C, gambar ini menunjukkan mengantar
alat tersebut (panah) keluar dari bagian distal selubung selama menarik alat dari
vena jugularis.
LV disc dimasukkan kedalam ventrikel kiri. D, angiogram pada ventrikel kiri
selama posisi
LV Disc telah diletakkan pada tempatnya. E, gambar alat yang telah dikeluarkan
dari kateter (panah). F, angiogram pada ventrikel kiri setelah alat dipasang dan
tidak ada residual shunt.

Gambar 32. Angiogram Ventrikel kiri pada ke 4 ruangan jantung pada DSV
tipe mid- muskular dengan diameter 6,3 mm pada anak umur 13 tahun,
dengan berat badan 40 kg (DSV tipe muskular didapat) setelah pembedahan
untuk memperbaiki hypertrophic cardiomyopathy diikuti dengan Operasi
Kono setelah 5 tahun. Rasio Qp/Qs = 2,3 : 1 dan tekanan sistolik
A.pulmonalis 55 mmHg. B, gambar arterio-venous wire loop yang masuk
melalui A.femoralis menuju DSV dan keluar melalui V. Jugularis interna
kanan. C, gambar Amplatzer MVSD dengan diameter 10mm yang
dikeluarkan dari kateternya (selubung), dimana kateter delivery masih di
posisinya. D, angiogram pada ventrikel kiri setelah lempeng ventrikel
kiri diletakkan (panah) pada ventrikel kiri. E, gambar penempatan lempeng
ventrikel kanan (panah). F, angiogram pada ventrikel kiri untuk melihat
alat sudah diletakkan pada posisinya. G, gambar setelah alat dikeluarkan
dari kateternya (panah). H, angiogram pada ventrikel kiri 10 menit
setelah alat pada posisinya dan minimal foaming hilang setelah beberapa
hari dan tekanan A. Pulmonalis turun menjadi 38 mmHg.

Isu Sekitar Penutupan DSV Tipe Perimembran


Penutupan DSV perimembran merupakan tindakan intervensi non-bedah
yang relatif cukup sulit dan menantang (challenging). Hal ini disebabkan posisi
DSV yang relatif sulit dijangkau, jalur kateter yang rumit dan adanya struktur
penting di sekitar DSV seperti sistem konduksi, katup aorta dan katup trikuspid
yang dapat rusak jika dikerjakan secara tidak hati-hati. Hingga kini salah satu
kekhawatiran yang ditakutkan pada penutupan DSV perimembran adalah blok
atrio-ventrikular (AV) komplit. Sebenarnya kejadian blok AV komplit pada
tindakan intervensi non-bedah dan bedah hampir sama yaitu di bawah 2%.
Perbedaannya, blok komplit AV pasca- penutupan DSV secara bedah timbul segera
sebelum pasien dipulangkan dari rumah sakit sehingga dapat segera dilakukan
tindakan pemasangan pacu jantung permanen. Sebaliknya, blok komplit AV
pasca-penutupan DSV dengan Amplatzer, terjadi lambat setelah pasien
dipulangkan. Tindakannya adalah sama yaitu dengan pemasangan pacu jantung
permanen. Dari berbagai data yang berasal dari beberapa negara di Eropa,
Australia dan Asia menyatakan bahwa tindakan penutupan DSV dengan AVO
cukup aman. Pengalaman melakukan penutupan DSV pada 14 kasus di RSCM
hasilnya cukup baik, dan pada pemantauan sampai dengan 4 tahun pasca-
pemasangan tidak ditemukan blok AV komplit.
Isu ke-2 yaitu mengenai rekomendasi FDA. Hingga saat ini, FDA belum
mengeluarkan rekomendasi untuk tindakan penutupan DSV perimembran dengan
AVO. Namun demikian bukti-bukti dari data yang berasal dari beberapa negara di
Eropa, Australia dan Asia sudah cukup menyatakan bahwa penutupan DSV
perimembran dengan AMVO cukup aman. Rekomendasi FDA sebenarnya tidak
bisa dipakai sebagai tolok ukur untuk memulai suatu prosedur baru, karena sistem
yang digunakan FDA berlaku mundur. Penggunaan sistem baru, termasuk
AVO yang sebenarnya adalah produksi Amerika sendiri belum boleh digunakan di
sana, tapi di negara lain di luar Amerika mereka pakai. Nanti setelah data
keamanannya dinilai cukup, baru keluar rekomendasi dari FDA. Hal ini terjadi
pada pemakaian ADO pada DAP dan ASO pada DSA hingga akhirnya
rekomendasi FDA keluar. Pada pertemuan terakhir bulan Mei 2008 di Jeju,
Korea, tindakan penutupan DSV dengan AVO masih tetap boleh dikerjakan
sambil memantau kemungkinan adanya efek samping, termasuk blok AV
komplit.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Penyakit jantung bawaan (PJB) merupakan kelainan jantung yang didapat sejak
lahir dan sudah terjadi ketika bayi masih dalam kandungan. Pada akhir kehamilan 7
minggu, pembentukan jantung janin sudah lengkap, sehingga kelainan
pembentukan jantung terjadi pada trimester awal kehamilan. Faktor-faktor
penyebab PJB yang dianggap berpotensi di antaranya adalah infeksi virus pada ibu
hamil (misalnya : campak Jerman atau rubella), obat-obatan atau jamu-jamuan,
dan alkohol. Faktor keturunan atau kelainan genetik dapat juga menjadi penyebab
meskipun jarang, dan belum banyak diketahui. Misalnya, sindroma Down
(Mongolism) yang disertai dengan berbagai macam kelainan bawaan termasuk PJB.

Di Indonesia, dengan penduduk sekitar 220 juta dan estimasi 40.000 kasus PJB
baru per tahun, hanya sekitar 2% kasus yang tertangani dengan memadai,
merupakan angka terendah di antara negara regional lainnya. Fasilitas dan
ketersediaan sumber daya manusia masih menjadi masalah besar karena dengan
kebutuhan 440 ahli kardiologi anak, baru 20 orang yang mampu disediakan.
Mengacu pada Standar Internasional, Indonesia seharusnya membutuhkan 46
senter kardiologi anak. Namun, hingga kini baru ada 4 senter saja yang aktif
melakukan intervensi kardiologi anak, yaitu Pusat Jantung Nasional/RS Jantung
dan Pembuluh Darah Harapan Kita dan RS. Dr. Cipto Mangunkusumo
keduanya di Jakarta, RS Dr.Soetomo Surabaya, dan RS Dr. Sardjito Yogyakarta.

Pemasangannya menggunakan teknik kateter (pendekatan melalui sisi kanan atau


kiri). Pendekatannya tergantung pada lokasi dari DSV tipe muskular.
Umumnya defek pada bagian atas septum dapat dilakukan pendekatan melalui vena
femoralis, sedangkan defek rendah lebih mudah ditutup dengan cara pendekatan
transjugular. Teknik kateter harus dilakukan di bawah pengaruh anestesi
umum dan ekokardiografi transesofagus.

Penutupan DSV perimembran merupakan tindakan intervensi non-bedah yang


relatif cukup sulit dan menantang (challenging). Hal ini disebabkan posisi DSV
yang relatif sulit dijangkau, jalur kateter yang rumit dan adanya struktur penting di
sekitar DSV seperti sistem konduksi, katup aorta dan katup trikuspid yang
dapat rusak jika dikerjakan secara tidak hati-hati. Hingga kini salah satu
kekhawatiran yang ditakutkan pada penutupan DSV perimembran adalah blok
atrio-ventrikular (AV) komplit. Sebenarnya kejadian blok AV komplit pada
tindakan intervensi non-bedah dan bedah hampir sama yaitu di bawah 2%.
Perbedaannya, blok komplit AV pasca- penutupan DSV secara bedah timbul segera
sebelum pasien dipulangkan dari rumah sakit sehingga dapat segera dilakukan
tindakan pemasangan pacu jantung permanen. Sebaliknya, blok komplit AV
pasca-penutupan DSV dengan Amplatzer, terjadi lambat setelah pasien
dipulangkan. Tindakannya adalah sama yaitu dengan pemasangan pacu jantung
permanen. Dari berbagai data yang berasal dari beberapa negara di Eropa,
Australia dan Asia menyatakan bahwa tindakan penutupan DSV dengan AVO
cukup aman. Pengalaman melakukan penutupan DSV pada 14 kasus di RSCM
hasilnya cukup baik, dan pada pemantauan sampai dengan 4 tahun pasca-
pemasangan tidak ditemukan blok AV komplit.

3.2 Saran
Dengan dibuatnya makalah MVO, diharapkan pembaca memahami procedure yang
sudah dijelaskan. Perawat juga memberikan edukasi sebelum melakukan procedure
agar klien mengetahui procedure MVO. Untuk institusi, diharapkan memperbanyak
buku-buku atau jurnal mengenai informasi MVO. Untuk rumah sakit, diharapkan
dapat melakukan dan memberikan asuhan keperawatan dengan baik.
Daftar Pustaka

Andrews RE, Tulloh RMR. Interventional cardiac catheterization in congenital


heart disease. Arch Dis Child 2004; 89:1168-73.

De Felice C, Mazzieri S, Pellegrino M, Del Pasqua A, Toti P, Bagnoli F, Rosati E,


Latini G. Skin reflectance changes in preterm infants with patent ductus
arteriosus. Early Human Development 2004:78:45-51.

Djer MM. Interventional Pediatric Cardiology in Indonesia, a multicenter


experience. Dipresentasikan pada Konika XIII;2005 Juli 4-7; Bandung, Indonesia.

Djer MM. Pengaruh Penutupan Duktus Arteriosus Persisten Transkateter


Menggunakan Amplatzer Duct Occluder pada kadar nikel darah dan efek toksiknya
serta pola perubahan dimensi dan faal ventrikel kiri. Ringkasan Disertasi. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Juni 2008.

Duktus Arteriosus Persisten dalam: Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak.


Edisi I. 2004; h:138.

Ferencz C, Loffredo CA, Correa-Villasenor A, Wilson PD, eds. Patent arterial


duct. I: Genetic and Environmental Risk Factors of Major Cardiovascular
Malformations: The Baltimore-Washington Infant Study 1981-1989. Armonk, NY:
Fuytura Publishing Co., Inc; 1997: pp. 285-99.
McMillan JA, Feigin RD, DeAngelis CD, Jr. Jones MD. Patent Ductus Arteriosus.
Chapter 273. Oskis Pediatrics, Principles and Practice. Fourth Edition. Lippincott
William and Wilkins. A Wolters Kluwer Business. 2006; h. 1578-82.

Putra ST. Kemajuan di bidang kardiologi intervensional. Dalam: 50 Tahun Ikatan


Dokter Anak Indonesia: Untuk Mereka Kita Bekerja. Balai Penerbit IDAI; 2005.
h.105-8.

Roebiono P, Harimurti GM, Rahayoe AU, and Sakidjan I. Transcatheter closure


of Patent Ductus Arteriosus. 10-year experience at the National Cardiovascular
Center Harapan Kita, Jakarta, Indonesia. Presented at 17th ASEAN Congress of
Cardiology, Hanoi, Vietnam. ASEAN Heart Journal 2008; 17, Suppl: p73

Anda mungkin juga menyukai