44316110102
1. Keterbatasan Bahasa
Kata-kata adalah kategori-kategori untuk merujuk pada objek tertentu: orang, benda,
peristiwa, sifat, perasaan dan sebagainya, tidak semua kata tersedia untuk merujuk
pada objek. Suatu kata hanya mewakili realitas tetapi bukan realitas itu sendiri.
Dengan demikian, kata-kata pada dasarnya bersifat parsial, tidak melukiskan
sesuatu secara eksak. Oleh karena itu, ada kalanya kita sulit menamai suatu objek.
Misalkan, nama apa yang harus kita berikan pada sebuah benda yang bentuknya
mirip pintu, tetapi berukuran kecil, misalnya 50cm x 20cm: pintu, pintu kecil, jendela,
jendela kecil, lubang angin atau apa? Kata-kata sifat dalam bahasa cenderung
dikotomis (oposisi biner), misalnya baik-buruk, kaya-miskin, pintar-bodoh, bahagia-
sengsara, tebal-tipis dan sebagainya. Agar realitas yang kita ungkapkan lebih tepat,
kita terkadang menggunakan kata penguatsangat atau sekali seperti dalam kalimat,
Aduh, pintar sekali orangnya, atau kata pelemah kurang atau agak, seperti dalam
kalimat,Dia sih mahasiswa yang kurang pandai . akan tetapi kategori-kategori ini
tetap saja masih terbatas, tidak mungkin diterapkan kepada setiap orang, benda
atau peristiwa yang kita temui.
Kesulitan menggunakan kata yang tepat juga kita alami ketika kita ingin
mengungkapkan perasaan. Pesan verbal biasanya lebih lazim kita gunakan untuk
menerangkan sesuatu yang bersifat faktual-deskriptif-rasional. Akan tetapi, untuk
mengungkapkan sesuatu yang sangan afektif dan pribadi, kita biasanya lebih
mengandalkan pesan nonverbal. Perasaan sayang seorang suami terhadap istrinya
akan lebih bermakna bila diungkapkan dengan senyuman, atau sentuhan dari pada
dengan kata-kata semata.
+ Ibu, bagaimana?
Ruang dan waktu mengubah makna kata. Menurut Hubert Alexander, makna
harus dianggap sebagai proses ketimbang sesuatu yang statis. Kata-kata baru
muncul, sementara kata-kata lama pelan-pelan menghilang, satu demi satu. Gaya
bahasa yang dulu populer kini menjadi klise.
Bahasa terikat oleh konteks budaya. Dengan ungkapan lain, bahasa dapat
dipandang sebagai perluasan budaya. Menurut Hipotesis Sapir Whorf, sering juga
disebut Teori Relativitas Linguistik, sebenarnya setiap bahasa menunjukkan suatu
dunia simbolik yang khas, yang melukiskan realitas pikiran, pengalaman batin dan
kebutuhan pemakainya untuk berfikir, melihat lingkungan dan alam semesta di
sekitarnya dengan cara yang berbeda dan karenanya berperilaku secara berbeda
pula. Hipotesis yang dikemukakan Benjamin Lee Whorf dan mempopulerkan serta
menegaskan pandangan gurunya Edward Sapir ini menyatakan bahwa (1) Tanpa
bahasa kita tidak dapat berfikir, (2) Bahasa mempengaruhi persepsi; dan (3) Bahasa
mempengaruhi pola berfikir. Hipotesis Sapor-Whorf ini tampaknya sulit diuji.
Sebabnya, pertama, kita sulit mendefinisikan berfikir, kedua, kita lebih sulit lagi
menemukan orang yang tidak berbahasa, sebagai pembandingnya. Dengan kata
lain, kita tidak punya cara menafsirkan realitas tanpa menggunakan bahasa.
Komunikasi merupakan suatu proses simbolis yang sebagian besar tergantung pada
kata-kata yang dimaksudkan mengandung arti tertentu. Seringkali orang berpikir
bahwa mereka berbicara dalam bahasa dan pengertian yang sama, padahal kata-
kata yang diucapkan memiliki arti yang berbeda bagi orang lain atau lawan
bicaranya.
Contohnya: Antara orang dengan ras jawa dengan ras sunda berkumpul, atau ras
tententu berkumpul dengan ras yang lainnya, seringkali terjadi kesalahpemahaman.