Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Istilah resusitasi atau reanimasi di dalam kamus-kamus diartikan sebagai menghidupkan
kembali atau memberi hidup baru. Dalam arti luas resusitasi merupakan segala bentuk usaha medis,
yang dilakukan terhadap mereka yang berada dalam keadaan gawat atau kritis, untuk mencegah
kematian. Kematian di dalam klinik diartikan sebagai hilangnya kesadaran dan semua refleks, disertai
berhentinya pernafasan dan peredaran darah yang ireversibel. Oleh karena itu resusitasi merupakan
segala usaha untuk mengembalikan fungsi sistem pernafasan, peredaran darah dan saraf, yang
terhenti atau terganggu sedemikain rupa sehingga fungsinya dapat berhenti sewaktu-waktu, agar
kembali menjadi normal seperti semula. Karenanya timbullah istilah Cardio Pumonary
Resuscitation (CPR) yang dalam bahasa Indonesia menjadi Resusitasi Jantung Paru (RJP) 1.
Resusitasi jantung paru tidak dilakukan pada semua penderita yang
mengalami gagal jantung atau pada orang yang sudah mengalami kerusakan
pernafasan atau sirkulasi yang tidak ada lagi kemungkinan untuk hidup, melainkan
yang mungkin untuk hidup lama tanpa meninggalkan kelainan di otak 8.

Berhasil tidaknya resusitasi


jantung paru tergantung pada cepat
tindakan dan tepatnya teknik
pelaksanaannya. Pada beberapa
keadaan, tindakan resusitasi tidak
dianjurkan (tidak efektif) antara lain bila
henti jantung (arrest) telah berlangung
lebih dari 5 menit karena biasanya
kerusakan otak permanen telah terjadi,
pada keganasan stadium lanjut, gagal
jantung refrakter, edema paru refrakter,
renjatan yang mendahului arrest,
kelainan neurologik berat, penyakit ginjal,
hati dan paru yang lanjut2.
Keberhasilan resusitasi dimungkinkan oleh adanya waktu tertentu diantara
mati klinis dan mati biologis. Mati klinis terjadi bila dua fungsi penting yaitu
pernafasan dan sirkulasi mengalami kegagalan total. Jika keadaan ini tidak ditolong
akan terjadi mati biologis yang irreversibel. Resusitasi jantung paru yang dilakukan
setelah penderita mengalami henti nafas dan jantung selama 3 menit, presentasi
kembali normal 75 % tanpa gejala sisa. Setelah 4 menit presentasi menjadi 50 %
dan setelah lima menit menjadi 25 %. Maka jelaslah waktu yang sedikit itu harus
dapat dimanfaatkan dengan sebaik mungkin8.
Agar resusitasi dapat berjalan maksimal tentu saja memerlukan penolong
yang cekatan dan terampil. Waktu satu menit sangat berguna dalam memberikan
pertolongan pertama pada penderita.

B. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan referat ini untuk lebih memahami tentang pelaksanaan
resusitasi jantung paru yang terjadi dalam praktek.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Resusitasi jantung paru merupakan usaha yang dilakukan untuk mengembalikan fungsi
pernafasan dan atau sirkulasi pada henti nafas (respiratory arrest) dan atau henti jantung (cardiac
arrest) pada orang dimana fungsi tersebut gagal total oleh suatu sebab yang memungkinkan untuk

hidup normal selanjutnya bila kedua fungsi tersebut bekerja kembali5.

B. Anatomi dan Fisiologi


Pemakaian oksigen dan pengeluaran karbon dioksida sangat diperlukan untuk menjalankan
fungsi normal selular didalam tubuh. Pemakaian tersebut melalui suatu proses pernafasan sehingga
secara harfiah pernafasan dapat diartikan pergerakan oksigen dari atmosfer menuju sel ke udara
bebas. Proses pernafasan terdiri dari beberapa langkah dimana sistem pernafasan, sistem saraf
pusat dan sistem kardiovaskuler memegang peranan yang sangat penting13.

C. Anatomi dan Fisiologi Saluran Pernafasan


Saluran pernafasan udara mulai dari hidung hingga mencapai paru adalah :
hidung, faring, laring, trakhea, bronkhus dan bronkhiolus13.
Saluran pernafasan dari hidung sampai bronkhiolus dilapisi oleh membran
mukosa yang bersilia. Ketika udara masuk ke dalam rongga hidung udara tersebut
disaring, dihangatkan dan dilembabkan. Kemudian udara mengalir ke faring menuju
laring.
Laring merupakan rangkaian cincin tulang rawan yang dihubungkan oleh otak
dan mengandung pita suara. Diantara pita suara terdapat ruang berbentuk seperti
sepatu kuda yang panjangnya kurang lebih 5 inci. Permukaan posterior agak pipih
dan letaknya tepat di depan esofagus.
Bronkhus utama kanan dan kiri tidak simetris, yang kanan lebih pendek, lebih
lebar dan merupakan kelanjutan trakhea. Cabang utama bronkhus kanan dan kiri
bercabang lagi menjadi bronkhus lobaris dan bronkhus segmentalis. Percabangan
ini berjalan terus menjadi bronkhus yang ukurannya semakin kecil yang berakhir
menjadi bronkhiolus terminalis.
Oksigen pada proses pernafasan dipindahkan dari udara luar ke dalam
jaringan dan stadium pertama ventilasi, yaitu masuknya campuran gas ke dalam dan
keluar paru. Transportasi masuknya campuran gas yang keluar masuk paru terdiri
dari beberapa aspek, yaitu13 :
1. Difusi gas antara alveolus dan kapiler paru, dan antara darah sistemik dan sel
jaringan.
2. Distribusi darah dalam sirkulasi pulmoner dan penyesuaiannya dengan distribusi
udara dalam alveolus.
3. Reaksi kimia dan fisik dari oksigen dan karbondioksida dengan darah.
Stadium yang ketiga adalah respirasi sel, yaitu saat dimana metabolit dioksida untuk
mendapatkan energi dan karbondioksida terbentuk sebagai sampah metabolisme
sel dan dikeluarkan oleh paru- paru.
D. Anatomi dan Fisiologi Kardiovaskuler
Jantung merupakan salah satu organ yang terletak dalam mediastinum di
rongga dada, yaitu diantara kedua paru. Perikardium sendiri terbagi menjadi dua,
yaitu perikardium parietalis dan pericardium visceralis. Perikardium parietalis
melekat pada tulang dada sebelah depan dan kolumna vertebralis bagian belakang,
sedangkan ke bawah pada diafragma. Perikardium visceralis langsung melekat pada
permukaan jantung. Jantung sendiri terbagi dari 3 lapisan yaitu epikardium (lapisan
terluar), miokardium (lapisan dalam) dan endokardium (lapisan terdalam)13.
Ruangan jantung terbagi menjadi 2 bagian. Jantung bagian atas atrium dan
ventrikel terletak sebelah bawah, yang secara anatomi mereka terpisah oleh suatu
annulus fibrosus. Keempat katup jantung terletak dalam cincin ini. Secara fungsional
jantung terbagi menjadi dua yaitu alat pompa kanan dan alat pompa kiri yang
memompa darah sistemik. Pembagian fungsi ini mempermudah konseptualisasi dari
urutan aliran darah secara anatomi13.
Fisiologi siklus jantung ventrikel kiri memompa darah ke aorta melalui katup
semilunaris aorta, dari aorta darah akan dialirkan menuju arteri kemudian ke jaringan
melalui cabang kecil arteri (arteriola), dari arteriola kemudian menuju ke venula.
Kemudian akan melalui vena darah akan dialirkan ke atrium kanan, dari atrium
kanan darah menuju ventrikel kanan melalui katup trikuspidalis, dari ventrikel kanan
kemudian darah dipompa menuju arteri pulmonalis melewati katup semilunaris
pulmonalis. Dari arteri pulmonalis ke pulmo. Dari pulmo darah keluar melalui vena
pulmonalis ke atrium kiri, dari atrium kiri kemudian menuju ventrikel kiri melalui katup
bicuspidalis atau mitralis. Demikian seterusnya darah akan mengalir melalui siklus
tersebut13.
E. Etiologi
Resusitasi jantung paru bertujuan untuk mengembalikan fungsi pernafasan
dan atau sirkulasi, dan penanganan akibat henti nafas (respiratory arrest) dan atau
henti jantung (cardiac arrest), yang mana fungsi tersebut gagal total oleh sebab yang
memungkinkan untuk hidup normal8.
Adapun sebab henti nafas adalah8 :
1. Sumbatan jalan nafas
Bisa disebabkan karena adanya benda asing, aspirasi, lidah yang jatuh ke belakang,
pipa trakhea terlipat, kanula trakhea tersumbat, kelainan akut glotis dan sekitarnya
(sembab glotis, perdarahan).
2. Depresi pernafasan
- Sentral : obat, intoksikasi, Pa O2 rendah, Pa CO2 tinggi, setelah henti jantung,
tumor otak dan tenggelam.
- Perifer : obat pelumpuh otot, penyakit miastenia gravis, poliomyelitis.
Sebab- sebab henti jantung8, 11 :
- Penyakit kardiovaskuler
Penyakit jantung sistemik, infark miokardial akut, embolus paru, fibrosis pada sistem
konduksi (penyakit lenegre, sindrom adams stokes, noda sinus atrioventrikulaer
sakit).

- Kekurangan oksigen akut


Henti nafas, benda asing di jalan nafas, sumbatan jalan nafas oleh sekresi, asfiksia
dan hipoksia.
- Kelebihan dosis obat dan gangguan asam basa
Digitalis, quinidin, antidepresan trisiklik, propoksifen, adrenalin dan isoprenalin.
- Kecelakaan
Syok listrik dan tenggelam.
- Refleks vagal
Peregangan sfingter anii, penekanan atau penarikanbola mata.
- Anestesi dan pembedahan.
- Terapi dan tindakan diagnostik medis
- Syok (hipovolemik, neurogenik, toksik dan anafilaktik)
Kebanyakan henti jantung yang terjadi di masyarakat merupakan akibat
penyakit jantung iskemik, 40 % mati mendadak. Dari penyakit jantung iskemik terjadi
dalam waktu satu jam setelah dimulainya gejala dan proporsinya lebih tinggi, sekitar
60 % diantara umur pertengahan dan yang lebih muda. Lebih dari 90 % kematian
yang terjadi di luar rumah sakit disebabkan oleh fibrilasi ventrikuler, suatu kondisi
yang potensial reversibel12.

BAB III
PEMBAHASAN

A. Klasifikasi
Pengajaran resusitasi jantung paru otak dibagi dalam 3 fase, yaitu : Bantuan
Hidup Dasar (BDH), Bantuan Hidup Lanjut (BHL), Bantuan Hidup Jangka Lama. Dan
dalam 9 langkah dengan menggunakan huruf abjad dari A sampai I2,5.
Fase I : untuk oksigenasi darurat, terdiri dari (A) Airway Control : penguasaan
jalan nafas. (B) Breathing Support : ventilasi bantuan dan oksigen paru darurat.
(C) Circulation Support : pengenalan tidak adanya denyut nadi dan pengadaan
sirkulasi buatan dengan kompresi jantung, penghentian perdarahan dan posisi untuk
syok.
Fase II : untuk memulai sirkulasi spontan terdiri dari (D) Drugs and Fluid
Intravenous Infusion : pemberian obat dan cairan tanpa menunggu hasil EKG.
(E) Electrocardioscopy (Cardiography) dan (F) Fibrillation Treatment : biasanya
dengan syok listrik (defibrilasi).
Fase III : untuk pengelolaan intensif pasca resusitasi, terdiri dari (G) Gauging:
menetukan dan memberi terapi penyebab kematian dan menilai sejauh mana pasien
dapat diselamatkan. (H) Human Mentation : SSP diharapkan pulih dengan tindakan
resusitasi otak yang baru dan (I) Intensive Care : resusitasi jangka panjang.

B. Diagnosis
1. Tanda-tanda henti jantung4:
a. Kesadaran hilang (dalam 15 detik setelah henti jantung)
b. Tak teraba denyut arteri besar (femoralis dan karotis pada orang dewasa atau brakialis pada bayi)
c. Henti nafas atau mengap-megap (gasping)
d. Terlihat seperti mati (death like appearance)
e. Warna kulit pucat sampai kelabu
f. Pupil dilatasi (setelah 45 detik)
2. Diagnosis henti jantung sudah dapat ditegakkan bila dijumpai ketidaksadaran dan tak teraba denyut
arteri besar8 :
a. Tekanan darah sistolik 50 mmHg mungkin tidak menghasilkan denyut nadi yang dapat diraba.
b. Aktivitas elektrokardiogram (EKG) mungkin terus berlanjut meskipun tidak ada kontraksi mekanis,
terutama pada asfiksia.
c. Gerakan kabel EKG dapat menyerupai irama yang tidak mantap.
d. Bila ragu-ragu, mulai saja RIP.

C. Penatalaksanaan
Resusitasi jantung paru hanya dilakukan pada penderita yang mengalami henti jantung atau
henti nafas dengan hilangnya kesadaran.oleh karena itu harus selalu dimulai dengan menilai respon
penderita, memastikan penderita tidak bernafas dan tidak ada pulsasi 3. Pada penatalaksanaan
resusitasi jantung paru harus diketahui antara lain, kapan resusitasi dilakukan dan kapan resusitasi
tidak dilakukan.
1. Resusitasi dilakukan pada8:
- Infark jantung kecil yang mengakibatkan kematian listrik
- Serangan Adams-Stokes
- Hipoksia akut
- Keracunan dan kelebihan dosis obat-obatan
- Sengatan listrik
- Refleks vagal
- Tenggelam dan kecelakaan-kecelakaan lain yang masih memberi peluang untuk hidup.
2. Resusitasi tidak dilakukan pada8:
- Kematian normal, seperti yang biasa terjadi pada penyakit akut atau kronik yang berat.
- Stadium terminal suatu penyakit yang tak dapat disembuhkan lagi.
- Bila hampir dapat dipastikan bahwa fungsi serebral tidak akan pulih, yaitu sesudah - 1 jam terbukti
tidak ada nadi pada normotermia tanpa RJP.
Pada penatalaksanaan resusitasi jantung paru penilaian tahapan BHD sangat penting. Tindakan
resusitasi (yaitu posisi, pembukaan jalan nafas, nafas buatan dan kompresi dada luar) dilakukan
kalau memang betul dibutuhkan. Ini ditentukan penilaian yang tepat, setiap langkah ABC RJP dimulai
dengan : penentuan tidak ada respons, tidak ada nafas dan tidak ada nadi.

D. Fase I (Bantuan Hidup Dasar)


Airway (jalan nafas)
Berhasilnya resusitasi tergantung dari cepatnya pembukaan jalan nafas. Caranya ialah segera
menekuk kepala korban ke belakang sejauh mungkin, posisi terlentang kadang-kadang sudah cukup
menolong karena sumbatan anatomis akibat lidah jatuh ke belakang dapat dihilangkan. Kepala harus
dipertahankan dalam posisi ini.
Bila tindakan ini tidak menolong, maka rahang bawah ditarik ke depan, dengan cara :
- Tarik mendibula ke depan dengan ibu jari sambil,
- Mendorong ke kepala ke belakang dan kemudian,
- Buka rahang bawah untuk memudahkan bernafas melalui mulut atau hidung.
Penarikan rahang bawah paling baik dilakukan bila penolong berada pada bagian puncak
kepala korban. Bila korban tidak mau bernafas spontan, penolong harus pindah ke samping korban
untuk segera melakukan pernafasan buatan mulut ke mulut atau mulut ke hidung 5, 6, 7.
Breathing (Pernafasan).
Dalam melakukan pernafasan mulut ke mulut penolong menggunakan satu tangan di
belakang leher korban sebagai ganjalan agar kepala tetap tertarik ke belakang, tangan yang lain
menutup hidung korban (dengan ibu jari dan telunjuk) sambil turut menekan dahi korban ke belakang.
Penolong menghirup nafas dalam kemudian meniupkan udara ke dalam mulut korban dengan kuat.
Ekspirasi korban adalah secara pasif, sambil diperhatikan gerakan dada waktu mengecil. Siklus ini
diulang satu kali tiap lima detik selama pernafasan masih belum adekuat5, 6, 7.
Pernafasan yang adekuat dinilai tiap kali tiupan oleh penolong, yaitu perhatikan :
- gerakan dada waktu membesar dan mengecil
- merasakan tahanan waktu meniup dan isi paru korban waktu mengembang
- dengan suara dan rasakan udara yang keluar waktu ekspirasi.
Tiupan pertama ialah 4 kali tiupan cepat, penuh, tanpa menunggu paru korban mengecil
sampai batas habis5.
Circulation (Sirkulasi buatan).
Sering disebut juga dengan Kompresi Jantung Luar (KJL). Henti jantung (cardiac arrest) ialah

hentinya jantung dan peredaran darah secara tiba-tiba, merupakan keadaan darurat yang paling
gawat.
Sebab-sebab henti jantung5 :
- Afiksi dan hipoksi
- Serangan jantung
- Syok listrik
- Obat-obatan
- Reaksi sensitifitas
- Kateterasi jantung
- Anestesi.
Untuk mencegah mati biologi (serebral death), pertolongan harus diberikan dalam 3 atau 4

menit setelah hilangnya sirkulasi. Bila terjadi henti jantung yang tidak terduga, maka langkah-langkah
ABC dari tunjangan hidup dasar harus segera dilakukan, termasuk pernafasan dan sirkulasi buatan.
Henti jantung diketahui dari :
- Hilangnya denyut nadi pada arteri besar
- Korban tidak sadar
- Korban tampak seperti mati
- Hilangnya gerakan bernafas
Pada henti jantung yang tidak diketahui, penolong pertama-tama membuka jalan nafas dengan
menarik kepala ke belakang. Bila korban tidak bernafas, segera tiup paru korban 3-5 kali lalu raba
denyut a. carotis. Perabaan a. carotis lebih dianjurkan karena5 :
1. Penolong sudah berada di daerah kepala korban untuk melakukan pernafasan buatan
2. Daerah leher biasanya terbuka, tidak perlu melepas pakaian korban
3. Arteri karotis adalah sentral dan kadang-kadang masih berdenyut sekalipun daerah perifer lainnya
tidak teraba lagi.
Bila teraba kembali denyut nadi, teruskan ventilasi. Bila denyut nadi hilang atau diragukan,
maka ini adalah indikasi untuk memulai sirkulasi buatan dengan kompresi jantung luar. Kompresi
jantung luar harus disertai dengan pernafasan buatan5, 7.
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam melakukan ABC RJP tersebut adalah5 :
1. RJP jangan berhenti lebih dari 5 detik dengan alasan apapun
2. Tidak perlu memindahkan penderita ke tempat yang lebih baik, kecuali bila ia sudah stabil
3. Jangan menekan prosesus xifoideus pada ujung tulang dada, karena dapat berakibat robeknya hati
4. Diantara tiap kompresi, tangan harus melepas tekanan tetapi melekat pada sternum, jari-jari jangan
menekan iga korban
5. Hindarkan gerakan yang menyentak. Kompresi harus lembut, teratur dan tidak terputus
6. Perhatikan komplikasi yang mungkin karena RJP.
ABC RJP dilakukan pada korban yang mengalami henti jantung dapat memberi kemungkinan
beberapa hasil4 :
1. Korban menjadi sadar kembali
2. Korban dinyatakan mati, ini dapat disebabkan karena pertolongan RJP yang terlambat diberikan atau
pertolongan tak terlambat tetapi tidak benar pelaksanaannya.
3. Korban belum dinyatakan mati dan belum timbul denyut jantung spontan. Dalam hal ini perlu diberi
pertolongan lebih lanjut yaitu bantuan hidup lanjut (BHL).
E. Fase II (Bantuan Hidup Lanjut)
Drugs

Setelah penilaian terhadap hasil bantuan hidup dasar, dapat diteruskan dengan bantuan
hidup lanjut (korban dinyatakan belum mati dan belum timbul denyut jantung spontan), maka bantuan
hidup lanjut dapat diberikan berupa obat-obatan. Obat-obatan tersebut dibagi dalam 2 golongan,
yaitu5 :
1. Penting, yaitu : Adrenalin
Natrium bikarbonat
Sulfat Atropin
Lidokain
Natrium bikarbonat
Penting untuk melawan metabolik asidosis, diberikan iv dengan dosis awal : 1 mEq/kgBB, baik
berupa bolus ataupun dalam infus setelah selama periode 10 menit. Dapat juga diberikan intrakardial,
begitu sirkulasi spontan yang efektif tercapai, pemberian harus dihentikan karena bisa terjadi
metabolik alkalosis, takhiaritmia dan hiperosmolalitas. Bila belum ada sirkulasi yang efektif maka
ulangi lagi pemberian dengan dosis yang sama.
Adrenalin
Mekanisme kerja merangsang reseptor alfa dan beta, dosis yang diberikan 0,5 1 mg iv diulang
setelh 5 menit sesuai kebutuhan dan yang perlu diperhatikan dapat meningkatkan pemakaian
O2 myocard, takiaritmi, fibrilasi ventrikel.

Lidokain
Meninggikan ambang fibrilasi dan mempunyai efek antiaritmia dengan cara meningkatkan ambang
stimulasi listrik dari ventrikel selama diastole. Pada dosis terapeutik biasa, tidak ada perubahan
bermakna dari kontraktilitas miokard, tekanan arteri sistemik, atau periode refrakter absolut. Obat ini
terutama efektif menekan iritabilitas sehingga mencegah kembalinya fibrilasi ventrikel setelah
defibrilasi yang berhasil, juga efektif mengontrol denyut ventrikel prematur yang mutlti fokal dan
episode takhikardi ventrikel. Dosis 50-100 mg diberikan iv sebagai bolus, pelan-pelan dan bisa
diulang bila perlu. Dapat dilanjutkan dengan infus kontinu 1-3 mg.menit, biasanya tidak lebih dari 4
mg.menit, berupa lidocaine 500 ml dextrose 5 % larutan (1 mg/ml).
Sulfat Artopin
Mengurangi tonus vagus memudahkan konduksi atrioventrikuler dan mempercepat denyut jantung
pada keadaan sinus bradikardi. Paling berguna dalam mencegah arrest pada keadaan sinus
bradikardi sekunder karena infark miokard, terutama bila ada hipotensi. Dosis yang dianjurkan mg,
diberikan iv. Sebagai bolus dan diulang dalam interval 5 menit sampai tercapai denyut nadi > 60
/menit, dosis total tidakboleh melebihi 2 mg kecuali pada blok atrioventrikuler derajat 3 yang
membutuhkan dosis lebih besar.

2. Berguna, yaitu : Isoproterenol


Propanolol
Kortikosteroid
Isoproterenol
Merupakan obat pilihan untuk pengobatan segera (bradikardi hebat karena complete heart block). Ia
diberikan dalam infus dengan jumlah 2 sampai 20 mg/menit (1-10 ml larutan dari 1 mg dalam
500 ml dectrose 5 %), dan diatur untuk meninggikan denyut jantung sampai kira-kira 60 kali/menit.
Juga berguna untuk sinus bradikardi berat yang tidak berhasil diatasi dengan Atropine.
Propranolol
Suatu beta adrenergic blocker yang efek anti aritmianya terbukti berguna untuk kasus-kasus
takhikardi ventrikel yang berulang atau fibrilasi ventrikel berulang dimana ritme jantung tidak dapat
diatasi dengan Lidocaine. Dosis umumnya adalah 1 mg iv, dapat diulang sampai total 3 mg, dengan
pengawasan yang ketat.
Kortikosteroid
Sekarang lebih disukai kortikosteroid sintetis (5 mg/kgBB methyl prednisolon sodium succinate atau 1
mg/kgBB dexamethasone fosfat) untuk pengobatan syok kardiogenik atau shock lung akibat henti
jantung. Bila ada kecurigaan edema otak setelah henti jantung, 60-100 mg methyl prednisolon
sodium succinate tiap 6 jam akan menguntungkan. Bila ada komplikasi paru seperti pneumonia post
aspirasi, maka digunakan dexamethason fosfat 4-8 mg tiap 6 jam.

F. EKG
Diagnosis elektrokardigrafis untuk mengetahui adanya fibrilasi ventrikel dan monitoring.

G. Fibrilation Treatment ( Terapi Fibrilasi )


Tindakan defibrilasi untuk mengatasi fibrilasi ventrikel. Elektroda dipasang sebelah kiri papila
mammae dan di sebelah kanan sternum atas.

H. Fase III ( Bantuan Hidup Jangka Lama atau Pengelolaan


Pasca Resusitasi )
Jenis pengelolaan pasien yang diperlukan pasien yang telah mendapat
resusitasi bergantung sepenuhnya kepada resusitasi. Pasien yang mempunyai
defisit neurologis dan tekanan darah terpelihara normal tanpa aritmia hanya
memerlukan pantauan intensif dan observasi terus menerus terhadap sirkulasi,
pernafasan, fungsi otak, ginjal dan hati. Pasien yang mempunyai kegagalan satu
atau lebih dari satu sistem memerlukan bantuan ventilasi atau sirkulasi, terapi
aritmia, dialisis atau resusitasi otak8.
Organ yang paling terpengaruh oleh kerusakan hipoksemik dan iskemik selama henti jantung
adalah otak. Satu dari lima orang yang selamat dari henti jantung mempunyai defisit neurologis. Bila
pasien tetap tidak sadar, hendaknya dilakukan upaya untuk memelihara perfusi dan oksigenasi otak.
Tindakan ini meliputi penggunaan agen vasoaktif untuk memelihara tekanan darah sistemik yang
normal, penggunaan steroid untuk mengurangi sembab otak dan penggunaan diuretik untuk
menurunkan tekanan intracranial. Oksigen tambahan hendaknya diberikan dan hiperventilasi derajad
sedang juga membantu8.
I. Keputusan Untuk Mengakhiri Upaya Resusitasi
Keputusan untuk memulai dan mengakhiri usaha resusitasi adalah masalah medis,
tergantung pada pertimbangan penafsiran status serebral dan kardiovaskuler penderita. Kriteria
terbaik adanya sirkulasi serebral dan adekuat adalah reaksi pupil, tingkat kesadaran, gerakan dan
pernafasan spontan dan refleks. Keadaan tidak sadar yang dalam tanpa pernafasan spontan dan
pupil tetap dilatasi 15-30 menit, biasanya menandakan kematian serebral dan usaha-usaha resusitasi
selanjutnya biasanya sia-sia. Kematian jantung sangat memungkinkan terjadi bila tidak ada aktivitas
elektrokardiografi ventrikuler secara berturut-turut selama 10 menit atau lebih sesudah RJP yang
tepat termasuk terapi obat5.

BAB IV
KESIMPULAN

Resusitasi mengandung arti harfiah Menghidupkan kembali tentunya dimaksudkan usaha-


usaha yang dapat dilakukan untuk mencegah suatu episode henti jantung berlanjut menjadi kematian
biologis. Resusitasi jantung paru terdiri atas 2 komponen utama yakni : bantuan hidup dasar / BHD
dan Bantuan hidup lanjut / BHL. Usaha Bantuan Hidup Dasar bertujuan dengan cepat
mempertahankan pasok oksigen ke otak, jantung dan alat-alat vital lainnya sambil menunggu
pengobatan lanjutan. Bantuan hidup lanjut dengan pemberian obat-obatan untuk memperpanjang
hidup Resusitasi dilakukan pada : infark jantung kecil yang mengakibatkan kematian listrik,
serangan Adams-Stokes, Hipoksia akut, keracunan dan kelebihan dosis obat-obatan, sengatan listrik,
refleks vagal, serta kecelakaan lain yang masih memberikan peluang untuk hidup. Resusitasi tidak
dilakukan pada : kematian normal stadium terminal suatu yang tak dapat disembuhkan.
Penanganan dan tindakan cepat pada resusitasi jantung paru khususnya pada kegawatan
kardiovaskuler amat penting untuk menyelematkan hidup, untuk itu perlu pengetahuan RJP yang
tepat dan benar dalam pelaksanaannya.

DAFTAR PUSTAKA

1. Safar P, Resusitasi Jantung Paru Otak, diterbitkan Departemen Kesehatan Republik Indonesia, hal :
4, 1984.

2. Alkatri J, dkk, Resusitasi Jantung Paru, dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Editor Soeparman,
Jilid I, ed. Ke-2, Balai Penerbit FKUI, Jakarta, hal : 281, 1987.

3. Soerianata S, Resusitasi Jantung Paru, dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Kardiologi, Editor Lyli
Ismudiat R, Balai Penerbit FKUI, Jakarta, hal : 106, 1998.

4. Sunatrio DR, Resusitasi Jantung Paru, Editor Muchtaruddin Mansyur, IDI, Jakarta, hal : 193.

5. Siahaan O, Resusitasi Jantung Paru Otak, Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus, No. 80, hal :
137-129, 1992.

6. Emergency Medicine Illustrated, Editor Tsuyoshi Sugimoto, Takeda Chemical Industries, 1985.

7. Mustafa I, dkk, Bantuan Hidup Dasar, RS Jantung Harapan Kita, Jakarta, 1996.

8. Sunatrio S, dkk, Resusitasi Jantung Paru, dalam Anesteiologi, Editor Muhardi Muhiman, dkk, Bagian
Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI, 1989.

9. Otto C.W., Cardiopulmonary Resuscitation, in Critical Care Practice, The American Society of Critical
Care Anesthesiologists, 1994.

10. Sjamsuhidajat R, Jong Wd, Resusitasi, dalam Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi Revisi, EGC, Jakarta, hal :
124-119, 1997.

11. Prince and Wilson, Patofisiologi, Konsep Klinis Proses- Proses Penyakit, Edisi
IV, Jilid I & II, EGC, Jakarta, 1994.

12. Olaan Sm Siahaan, Resusitasi Jantung Paru dan Otak, Cermin Dunia
Kedokteran, No. 80, Edisi Khusus, 1992.
13. Guyton, Arthur C. 1997. Fisiologi Gastrointestinal. Buku
Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta : EGC.

Anda mungkin juga menyukai