Anda di halaman 1dari 39

KONSEP DASAR MEDIS

I. Definisi

Gagal jantung sering disebut gagal jantung kongestif, adalah


ketidakmampuan jantung untuk memompa darah yang adekuat untuk
memenuhi kebutuhan jaringan akan oksigen dan nutrisi (Brunner &
Suddarth).
Gagal jantung adalah keadaan patofisiologis berupa kelainan
fungsi jantung sehingga jantung tidak mampu memompa darah utuk
memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan dan/ atau kemampuannya
hanya ada kalau disertai peninggian volume diastolik secara abnormal
(Mansjoer Arif, 2007).
Gagal jantung adalah keadaan dimana jantung harus melakukan
kerjanya yang lebih sulit, sehingga jantung tidak dapat mengkompensasi
darah yang cukup (Marylinn E. Doenges).
Gagal jantung sering juga disebut gagal jantung kongestif adalah
ketidakmampuan jantung untuk memompa darah yang adekuat untuk
memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan akan oksigen dan nutrisi
(Setiawan, 2010).
II. Etiologi
1. Kelainan otot jantung
Gagal jantung sering terjadi pada penderita kelainan otot
jantung, disebabkan menurunnya kontraktilitas jantung. Kondisi yang
mendasari penyebab kelainan fungsi otot jantung mencakup
ateroslerosis koroner, hipertensi arterial dan penyakit degeneratif atau
inflamasi
2. Aterosklerosis koroner
Mengakibatkan disfungsi miokardium karena terganggunya
aliran darah ke otot jantung. Terjadi hipoksia dan asidosis (akibat
penumpukan asam laktat). Infark miokardium (kematian sel jantung)

1
biasanya mendahului terjadinya gagal jantung. Peradangan dan
penyakit miokardium degeneratif berhubungan dengan gagal jantung
karena kondisi yang secara langsung merusak serabut jantung
menyebabkan kontraktilitas menurun.
3. Hipertensi Sistemik atau pulmunal (peningkatan after load)
Meningkatkan beban kerja jantung dan pada gilirannya
mengakibatkan hipertrofi serabut otot jantung. Efek tersebut
(Hipertrofi Miokard) dapat dianggap sebagai mekanisme kompensasi
karena akan meningkatkan kontraktilitas jantung. Tetapi untuk alasan
yang tidak jelas, hipertrofi otot jantung tadi tidak dapat berfungsi
secara normal, dan akhirnya akan terjadi gagal jantung.
4. Peradangan dan penyakit myocardium degeneratif
Berhubungan dengan gagal jantung karena kondisi ini secara
langsung merusak serabut jantung, menyebabkan kontraktilitas
menurun.
5. Penyakit jantung lain
Gagal jantung dapat terjadi sebagai akibat penyakit jantung
yang sebenarnya tidak secara langsung mempengaruhi jantung.
Mekanisme yang biasanya terlihat mencakup gangguan aliran darah
melalui jantung, misalnya (stenosis katub semiluner),
ketidakmampuan jantung untuk mengisi darah (misalnya temponade
pericardium, perikarditas konstriktif atau tenosis katub AV).
Peningkatan mendadak afterload terjadi akibat meningkatnya tekanan
darah sistemik (hipertensi maligna) dapat menyebabkan gagal
jantung meskipun tidak ada hipertrofi mikardial.
6. Faktor sistemik
Terdapat sejumlah faktor yang berperan dalam perkembangan
dan beratnya gagal jantung. Meningkatnya laju metabolisme (mis,
demam, tirotoksikosis), hipoksia dan anemia memerlukan peningkatan
curah jantung untuk memenuhi kebutuhan oksigen sistemik. Hipoksia
atau anemia juga dapat menurunkan kontraktilitas jantung. Distrimia

2
jantung yang dapat terjadi dengan sendirirnya atau secara sekunder
akibat gagal jantung menurunkan efisiensi ke seluruh fungsi jantung.
III. Faktor Predisposisi
Penyakit yang menimbulkan penurunan fungsi ventrikel (seperti penyakit
arteri koroner, hipertensi, kardiomiopati, penyakit pembuluh darah, atau
penyakit jantung congenital) dan keadaan yang membatasi pengisian
ventrikel (Stenosis mitral, kardiomiopati, atau penyakit perikardial)
IV. Faktor Presipitasi (Pencetus)
Meningkatnya asupan garam, ketidakpatuhan menjalani pengobatan anti
gagal jantung, infark miokard akaut (mungkin yang tersembunyi),
serangan hipertensi, aritmia akut, infeksi atau demam, emboli paru,
anemia, tiroksikosis, kehamilan dan endokarditis infektil
V. Klasifikasi Gagal Jantung
a. Gagal Jantung Berdasarkan Manisfetasi Klinis
1) Gagal Jantung Kiri dan Gagal Jantung Kanan
Gagal jantung kiri dan gagal jantung kanan dapat terjadi secara
tersendiri karena pemompaan ventrikel yang terpisah satu dengan
yang lain. Gagal jantung kiri dapat terjadi akibat disfungsi
ventrikel kiri yang tidak mampu memompakan darah.
Peningkatan tekanan atrium kiri meningkatkan tekanan vena
pulmonalis sehingga menyebabkan edema paru yang pada
akhirnya dapat mengakibatkan sesak napas, batuk, dan kadang
hemoptisis. Gagal jantung kanan terjadi akibat disfungsi ventrikel
kanan yang tidak mampu menangani pengembalian darah dari
sirkulasi sistemik dan pada akhirnya dapat mengakibatkan edema
perifer karena darahterbendung dan kembali ke dalam sirkulasi
sistematis. Gangguan pada salah satu fungsi ventrikel dapat
menghambat fungsi ventrikel yang lain dimana volume darah
yang dipompa dari masing-masing ventrikel bergantung pada
volume darah yang diterima oleh ventrikel tersebut.

3
2) Gagal Jantung High Output dan Low Autput
Apabila curah jantung normal atau melebihi normal tetapi tidak
mampu memenuhi kebutuhan metabolik tubuh akan darah
teroksigenasi disebut gagal jantung high output. Tanda khas dari
gagal jantung high output adalah mudah lelah dan lemah. Apabila
curah jantung menurun di bawah nilai normal disebut gagal
jantung low output. Tanda khas dari gagal jantung low
outputadalah edema karena terjadi aliran balik darah akibat gagal
ventrikel.
3) Gagal Jantung Akut dan Kronik
Gagal jantung akut disebabkan bila pasien secara mendadak
mengalami penurunan curah jantung dengan gambaran klinis
dispnea, takikardia serta cemas, pada kasus yang lebih berat
penderita tampak pucat dan hipotensi. Sedangkan gagal jantung
kronik terjadi jika terdapat kerusakan jantung yang disebabkan
oleh iskemia atau infark miokard, hipertensi, penyakit jantung
katup dan kardiomiopati sehingga mengakibatkan penurunan
curah jantung secara bertahap.
4) Gagal jantung Forward dan backward
Gagal jantung forward terjadi oleh karena suplai darah tidak
cukup ke aorta. Rasa lelah terutama sewaktu melakukan
pekerjaan adalah gejala yang khas pada gagal jantung forward.
Gagal jantung backward terjadi apabila ventrikel kiri tidak
mampu memompakan darah yang datang dari vena vulmonalis
dan atrium kiri sehingga terjadi pengisian yang berlebihan di
paru-paru. Gagal jantung backward biasanya mangakibatkan
edema paru.
b. Klasifikasi gagal jantung berdasarkan kemampuan fungsional
Gagal jantung menurut New York Heart Association (NYHA)
diklasifikasikan menjadi:

4
1) Kelas I : Bila pasien dapat melakukan aktivitas berat tanpa
keluhan (disfungsi ventrikel kiri yang asimptomatik)
2) Kelas II : Bila pasien tidak dapat melakukan aktivitas lebih
berat dari aktivitas lebih berat dari aktivitas sehari-hari tanpa
keluhan (gagal jantung ringan)
3) Kelas III : Bila pasien tidak dapat melakukan aktivitas
sehari-hari tanpa keluhan (gagal jantung ringan)
4) Kelas IV : Bila pasien sama sekali tidak melakukan aktivitas
apapun dan harus tirah baring (gagal jantung berat)

VI. PATOFISIOLOGI
Gagal jantung adalah komplikasi yang paling sering dari segala
jenis penyakit jantung kongenital maupun didapat. Mekanisme fisiologis
yang menyebabkan gagal jantung mencakup keadaan-keadaan yang
meningkatkan beban awal, beban akhir atau menurunkan kontraktilitas
miokardium.
Mekanisme yang mendasari gagal jantung meliputi gangguan
kemampuan kontraktilitas jantung yang menyebabkan curah jantung lebih
rendah dari curah jantung yang normal. Frekuensi jantung adalah fungsi
system saraf otonom . Bila curah jantung berkurang system saraf simpatis
akan mempercepat frekwensi jantung untuk mempertahankan curah
jantung. Bila mekanisme kompensasi ini gagal untuk mempertahankan
perfusi jaringan yang memadai , maka volume sekuncup jantunglah yang
harus menyesuaikan diri untuk mempertahankan curah jantung.
Tetapi pada gagal jantung dengan masalah utama kerusakan dan
kekakuan serabut otot jantung, volume sekuncup berkurang dan curah
jantung normal masih dapat dipertahankan.
Volume sekuncup, jumlah darah yang dipompa pada setiap
kontraksi tergantung pada tiga faktor; preload; kontraktilitas dan afterload.
1. Preload adalah sinonim dengan dengan Hukum starling pada jantung
yang menyatakan bahwa jumlah darah yang mengisi jantung

5
berbanding langsung dengan tekanan yang ditimbulkan oleh
panjangnya regangan serabut jantung.
2. Kontraktilitas mengacu pada perubahan kekuatan kontraksi yang terjadi
pada tingkat sel dan berhubungan dengan perubahan panjang serabut
jantung dan kadar kalsium.
3. Afterload mengacu pada besarnya tekanan ventrikel yang harus
dihasilkan untuk memompa darah melawan perbedaan darah melawan
perbedaan tekanan yang ditimbulkan oleh tekanan arteriole.
Pada gagal jantung, jika satu atau lebih dari ketiga faktor tersebut
terganggu, hasilnya curah jantung berkurang.
Jantung yang normal dapat berespons terhadap peningkatan
kebutuhan metabolisme yang menggunakan mekanisme kompensasi yang
bervariasi untuk mempertahankan kardiak output. Ini mungkin meliputi:
1. Respons sistem syaraf simpatetik terhadap baro reseptor atau
kemoreseptor,
2. Pengencangan dan pelebaran otot jantung untuk menyesuikan terhadap
peningkatan volume,
3. Vasokonstyrinksi arteri renal dan aktivasi sistem renin angiotensin
4. Respon terhadap serum-serum sodium dan regulasi ADH dari
reabsorbsi cairan.
Kegagalan mekanisme kompensasi di percepat oleh adanya volume
darah sirkulasi yang di pompakan untuk menentang peningkatan resisitensi
vaskuler oleh pengencangan jantung. Kecepatan jantung memperpendeka
waktu pengisian ventrikel dan arteri koronaria, menurunnya kardiak ouput
menyebabkan berkurangnya oksigenasi pada miokard.
Peningkatan tekanan dinding pembuluh darah akibat dilatasi
menyebabkan peningkatan tunutan oksigen dan pembesaran jantung
(hipertropi) terutama pada jantung iskemik atau kerusakan, yang
menyebabkan kegagalan mekanisme pemompaan.

6
Secara skematis dapat digambarkan sebagai berikut:

Mekanisme kompensasi yang Peningkatan metabolisme


digunakan antara lain: tubuh
1. Peningkatan HR.
2. Hipertropi miokard.
3. Pengaktifan sistem renin
angiotensin. Jantung menggunakan
4. Regulasi ADH dan mekanisme kompensasi untuk
reabsorbsi cairan. mempertahankan kardiak
output

Peningkatan beban kerja


jantung oleh karena
peningkatan SVR

Jantung bekerja lebih keras


dengan meningkatkan HR

Memperpendek waktu
pengisian ventrikel dan
arteri koronaria

Menimbulkan injury dan


iskemi pada miokard

Menimbulkan injury dan


iskemi pada miokard

Menimbulkan kegagalan
mekanisme pemompaan

7
VII. MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis gagal jantung secara keseluruhan sangat bergantung
pada etiologinya. Namun dapat digambarkan sebagai berikut:
1. Ortopnea, yaitu kesulitan bernafas apabila berbaring telentang. Ortopnea
disebabkan oleh redistribusi aliran darah dari bagian-bagian tubuh ke
jantung dan paru-paru. Penurunan kapasitas vital paru-paru merupakan
suatu faktor penyebab yang penting.
2. Dyspnea On Effert (DOE), yaitu sesak bila melakukan aktivitas,
merupakan manisfetasi gagal jantung yang paling umum. Dispnea
diakibatkan karena terganggunya pertukaran oksigen dan karbon dioksida
dalam alveoli serta meningkatnya tahanan aliran udara.
3. Paroxymal Nocturnal Dyspnea (PND), yaitu sesak napas tiba-tiba pada
malam hari disertai batuk. Paroxysmal Nocturnal Dyspnea (PND) terjadi
karena akumulasi cairan dalam paru ketika sedang tidur dan merupakan
manifestasi spesifik dari gagal jantung kiri.
4. Rasa mudah lelah: Penderita gagal jantung akan merasa lelah melakukan
kegiatan yang biasanya tidak membuatnya lelah. Gejala mudah lelah
disebabkan kurangnya perfusi pada otot rangka karena menurunya curah
jantung.Kurangnya oksigen membuat produksi adenisin tripospat (ATP)
sebagai sumber energy untuk kontaksi otot berkurang. Gejala dapat
diperberat oleh ketidakseimbangan cairan dan elektrolit sehingga dapat
disertai kegelisahan dan kebingungan.
5. Batuk-batuk: Penderita gagal jantung dapat mengalami keluhan batuk pada
malam hari yang diakibatkan bendungan pada paru-paru, terutama pada
posisi berbaring.Batuk yang terjadi dapat produktif, tetapi biasanya kering
dan pendek. Hal ini bisa terjadi karena bendungan mukosa bronkial dan
berhubungan dengan adanya peningkatan produksi mukus.
6. Gangguan pencernaan: Gagal jantung dapat menimbulkan gejala-gejala
berupa gangguan pada pencernaan seperti kehilangan napsu makan
(anoreksia), perut kembung, mual dan nyeri abdomen yang disebabkan
oleh kongesti pada hati dan usus.Gejala ini bisa diperburuk oleh edema

8
organ intestinal, yang bisa menyertai peningkatan menahun dalam tekanan
vena sistemik.
7. Edema (pembengkakan)
Pada penderita gagal jantung dapat ditemukan edema, misalnya pada
pergelangan kaki. Edema kaki dapat terjadi pada venderuta yang
mengalami kegagalan ventrikel kanan.
8. Kegelisahan atau kecemasan: Terjadi karena akibat gangguan oksigenasi
jaringan, stress akibat kesakitan bernafas dan pengetahuan bahwa jantung
tidak berfungsi dengan baik
Gagal Jantung Kiri
Manifestasi klinik yang terjadi meliputi dipsnue, batuk mudah lelah,
denyut jantung cepat (takikardia) dengan bunyi jantung S3, kecemasan dan
gelisah .
1. Dispnue
Terjadi akibat penimbunan cairan dalam alveoli yang mengganggu
pertukaran gas. Dipsnue bahkan dapat terjadi saat istirahat atau dicetuskan
oleh gerakan yang minimal atau sedang. Dapat juga terjadi ortopnue,
kesulitan bernapas saat berbaring.
2. Batuk
Yang berhubungan dengan gagal ventrikel kiri bisa kering dan tidak
produktif, tetapi yang sering adalah batuk basah yaitu batuk yang
menghasilkan sputum terbuka dalam jumlah banyak yang kadang disertai
bercak darah.
3. Mudah lelah, keringat dingin
Terjadi akibat curah jantung yang kurang yang menghambat dari jaringan
sirkulasi normal dan oksigen serta menurunnya pembuangan sisa hasil
katabolisme, dapat juga terjadi insomnia yang terjadi akibat distress
pernapasan dan batuk.
4. Kegelisahan dan kecemasan
Terjadi akibat gangguan oksigenasi jaringan, stress akibat kesakitan
bernapas dan pengetahuan bahwa jantung tidak berfungsi dengan baik.

9
5. Lemah
Disebabkan karena menurunnya curah jantung, gannguan sirkulasi, dan
pembuangan produk sampah katabolisme yang tidak adekuat dari jaringan.

Gagal Jantung Kanan


Manifestasi klinik yang nampak meliputi edema ekstremitas bawah
(edema dependen) yang biasanya merupakan pitting edema, penambahan berat
badan, hepatomegali, (pembesaran hepar), distensi vena leher, asites
(penimbunan cairan didalam rongga perineum), anoreksia dan mual, nokturia
dan lemah.
1. Edema
Edema dimulai pada kaki dan tumit (edema dependent ) dan secara
bertahap bertambah diatas tungkai dan paha dan akhirnya kegenetalia
eksterna dan tubuh bagian bawah. Edema sacral paling jarang terjadi pada
pasien yang berbaring lama. Pitting edema adalah edema akan tetap
cekung bahkan setelah penekanan ringan dengan ujung jari baru jelas
terlihat setelah terjadi retensi cairan.
2. Hepatomegali dan nyeri tekan pada kuadran kanan atas abdomen
Dapat terjadi akibat pembesaran vena di hepar, Bila proses ini
berkembang, maka tekanan dalam pembuluh portal meningkat sehingga
cairan terdorong keluar rongga abdomen, suatu kondisi yang dinamakan
asites. Pengumpulan cairan dalam rongga abdomen ini dapat
menyebabkan tekanan pada diafragma dan distress pernapasan.
3. Anoreksia dan Mual / sakit daerah perut
Terjadi akibat pembesaran vena dan stasis vena di dalam rongga abdomen.
4. Nokturia ( rasa ingin kencing pada malam hari).
Terjadi karena perfusi renal di dukung oleh posisi penderita saat baring.

10
VIII. KOMPLIKASI
Beberapa komplikasi yang terjadi akibat gagal jantung:
1. Syok kardiogenik
Syok kardiogenik ditandai oleh gangguan fungsi ventrikel kiri yang
mengakibatkan gangguan fungsi ventrikel kiri yaitu mengakibatkan
gangguan berat pada perfusi jaringan dan penghantaran oksigen ke
jaringan yang khas pada syok kardiogenik yang disebabkan oleh infark
miokardium akut adalah hilangnya 40 % atau lebih jaringan otot pada
ventrikel kiri dan nekrosis vocal di seluruh ventrikel karena
ketidakseimbangan antara kebutuhan dan supply oksigen miokardium.
2. Edema paru
Edema paru terjadi dengan cara yang sama seperti edema dimana saja
didalam tubuh. Factor apapun yang menyebabkan cairan interstitial
paru meningkat dari batas negative menjadi batas positif. Penyebab
kelainan paru yang paling umum adalah:
a. Gagal jantung sisi kiri (penyakit katup mitral) dengan akibat
peningkatan tekanan kapiler paru dan membanjiri ruang interstitial
dan alveoli.
b. Kerusakan pada membrane kapiler paru yang disebabkan oleh
infeksi seperti pneumonia atau terhirupnya bahan-bahan yang
berbahaya seperti gas klorin atau gas sulfur dioksida. Masing-masing
menyebabkan kebocoran protein plasma dan cairan secara cepat
keluar dari kapiler.
3. Trombosis vena dalam, karena pembentukan bekuan vena karena stasis
darah.
4. Episode tromboemboli yang tersering adalah emboli paru. Gejala
emboli paru meliputi nyeri dada, sianosis, napas pendek, dan cepat serta
dahak berdarah.
5. Efusi dan temponade pericardium mengacu pada masuknya cairan ke
dalam kantung perikardium. Kejadian ini biasanya disertai dengan
perikarditis, gagal jantung atau bedah jantung.

11
6. Hepatomegali, Akibat dari bendungan vena
7. Renal failure, Akibat dari penurunan aliran darah ke ginjal
8. Aritmia, terjadi karena respon terhadap peningkatan ketekolamin dan
iskemi miokard
9. Angina dan infark miokard, Terjadi akibat dari peningkatan kerja otot
jantung yang iskemi atau penurunan perfusi arteri koroner

IX. Pemeriksaaan Dianostik


Diagnosis Gagal Jantung Kongestif (Kriteria Framingham)
Kriteria Mayor :
1. Dispnea Nocturnal Paroksimal
2. Ortopnea
3. Peningkatan Tekanan Vena Jugularis
4. Ronchi Basah tidak nyaring
5. Kardiomegali
6. Edema Paru Akut
7. Irama Derap S3 ( Gallop )

8. Peningkatan Tekanan Vena > 16 cm H2O


9. Refluks Hepatojugular
Kriteria Minor :
1. Edema Pergelangan Kaki
2. Batuk Malam Hari
3. Dyspneu d efford
4. Hepatomegali
5. Efusi Pleura
6. Kapasitas Vital Berkurang menjadi 1/3 Maksimum
7. Tachikardi ( > 120 x/menit )
Kriteria Mayor atau Minor
Penurunan berat badan > 4,5 Kg dalam 5 hari setelah therapy
Diagnosa ditegakkan dari 2 kriteria mayor, atau 1 kriteria mayor dan 2
kriteria minor harus ada pada saat bersamaan.

12
Pemeriksaan Penunjang
1. EKG: Hipertrofi atrial atau ventrikuler, penyimpangan aksis, iskemia dan
kerusakan pola mungkin terlihat. Disritmia misalnya: takhikardi, fibrilasi
atrial. Kenaikan segmen ST/T persisten 6 minggu atau lebih setelah
imfark miokard menunjukkan adanya aneurime ventricular. Pemeriksaan
EKG meskipun memberikan informasi yang berkaitan dengan penyebab,
tetapi tidak dapat memberikan gambaran yang spesifik. Kelainan EKG
yang umumnya ditemukan pada pasien dengan gagal jantung antara lain:
a. Left bundle branch block : kelainan segmen ST/T menunjukkan
disfungsi ventrikel kiri kronis
b. Gelombang Q menunjukkan infark sebelumnya dan kelainan segment
ST menunjukkan penyakit jantung iskemik
c. Hipertropi ventrikel kiri dan gelombang T terbalik : menunjukkan
stenosis aorta dan penyakit jantung hipertensi
d. Deviasi aksis ke kanan, right bundle branch blok, dan hipertrofi
ventrikel kanan menunjukkan disfungsi ventrikel kanan.
2. Sonogram (Ekhokardiogram) ; menilai stenosis/inkompetensi,
pembesaran ruang jantung, hipertropi vebtrikel
3. Scan Jantung; menilai underperfussion otot jantung, yang menunjang
penurunan kemampuan kontraksi
4. Kateterisasi jantung ; menilai fraksi ejeksi ventrikel. Tekanan abnormal
merupakan indikasi dan membantu membedakan gagal jantung sisi kanan
verus sisi kiri, dan stenosi katup atau insufisiensi, Juga mengkaji potensi
arteri kororner. Zat kontras disuntikkan kedalam ventrikel menunjukkan
ukuran bnormal dan ejeksi fraksi/perubahan kontrktilitas.
5. Rontgen dada ; menilai pembesaran jantung (Cardio Thoraxic Ratio/CTR)
dan edema paru
6. AGD ; menilai derajat gangguan keseimbangan Asam Basa baik
metabolic maupun respiratorik
7. Tes fungsi ginjal dan hati ; menilai efek yang terjadi akibat CHF terhadap
fungsi hati dan ginjal

13
8. Tiroid; menilai peningkatan aktivias tiroid
9. Sedimentasi ; menilai adanya reaksi inflamasi akut
10. Hitung darah lengkap; Pemeriksaan Lab meliputi : Elektrolit serum yang
mengungkapkan kadar natrium yang rendah sehingga hasil hemodelusi
darah dari adanya kelebihan retensi air, K, Na, Cl, Ureum, gula darah.
X. Penatalaksanaan Medis
1. Non Farmakologi
a. Pembatasan natrium ditujukan untuk mencegah, mengatur atau
mengurangi edema seperti pada hipertensi atau gagal jantung.
b. Batasi cairan ditujukan untuk mencegah, mengatur atau
mengurangi edema.
c. Diet jantung, makanan lunak, rendah garam
d. Manajemen stress ditujukan untuk mengurangi stress karena stress
emosi dapat menghasilkan vasokontriksi yang meningkatkan
tekanan darah dan meningkatkian kerja jantung
e. Pembatasan aktifitas fisik untuk mengurangi beban kerja jantung.
2. Farmakologi
a. Diuretik : diberikan untuk memacu ekskresi natrium dan air
melalui ginjal, penggunaan harus hati-hati karena efek samping
hiponatremia dan hipokalemia.
b. Digoxin : meningkatkan kontraktilitas dan memperlambat
frekuensi jantung. Obat ini tidak digunakan untuk kegagalan
diastolik yang mana dibutuhkan pengembangan ventrikel untuk
relaksasi,
c. Isobarbide dinitrat : mengurangi preload dan afterload untuk
disfungsi sistolik, hindari vasodilator pada disfungsi sistolik.
d. Terapi vasodilator : digunakan untuk mengurangi tekanan terhadap
penyemburan darah oleh ventrikel.
e. Pemberian digitalis, membantu kontraksi jantung dan
memperlambat frekuensi jantung. Hasil yang diharapkan
peningkatan curah jantung, penurunan tekanan vena dan volume

14
darah dan peningkatan diuresis akan mengurangi edema. Pada saat
pemberian ini pasien harus dipantau terhadap hilangnya dispnea,
ortopnea, berkurangnya krekel, dan edema perifer. Apabila terjadi
keracunan ditandai dengan anoreksia, mual dan muntah namun itu
gejala awal selanjutnya akan terjadi perubahan irama, bradikardi
kontrak ventrikel premature, bigemini (denyut normal dan
premature saling berganti ), dan takikardia atria proksimal.
f. Morfin, diberikan untuk mengurangi sesak napas pada asma
cardial, hati-hati depresi pernapasan.
g. Pemberian oksigen.
h. Terapi vasodilator dan natrium nitropurisida, obat-obatan vasoaktif
merupakan pengobatan utama pada penatalaksanaan gagal jantung
untuk mengurangi impedansi (tekanan) terhadap penyemburan
darah oleh ventrikel.
XI. Paradigma Pengobatan Gagal Jantung
Gagal jantung kongestif telah bergeser dari model hemodinamik
menjadi model neurohormonal. Pada model gagal jantung terkini ini,
aktivasi sistem saraf simpatik berperan penting dalam patofisiologi dan
progresi gagal jantung. Demikian dikatakan Bernard Kwok, MD, pakar pe-
nyakit jantung dari Singapura, dalam sesi The Modern Role of Beta-
Blockers in Cardiovascular Medicine yang merupakan bagian dari
rangkaian Annual Scientific Meeting of Indonesian Heart Association
(ASMIHA) ke-21, di Jakarta, 7 April 2012.
Selanjutnya, President of Singapore Cardiac Society ini
menjelaskan peran beta-blockers dalam gagal jantung. Meski bertentangan
dengan intuisi, penggunaan beta-blockers terbukti efektif dalam terapi ga-
gal jantung. Beberapa studi menunjukkan bahwa beta-blockers dapat
menurunkan gejala, memperbaiki fungsi ventrikel kiri, dan memperbaiki
kapasitas fungsi pada pasien gagal jantung. Selaian itu, manfaat pada
mortalitas terbukti pada studi-studi besar seperti CIBIS II dan

15
COPERNICUS. Efek manfaat beta-blockers pada gagal jantung bukan
class-effect,
Salah satu golongan beta-blockers adalah bisoprolol yang memiliki
selektivitas tinggi dengan waktu paruh 10-12 jam. Dosis bisoprolol
diberikan 1,2510 mg per hari. Guideline dan konsensus para pakar
menekankan perlunya memulai terapi secara berkesinambungan dengan
motto Start low, go slow, ungkapnya.
Pengobatan berbasis bukti sehubungan dengan peran beta-blockers
(BB) pada Chronic Heart Failure (CHF) telah mengubah posisi dari
kontra menjadi indikasi kuat untuk CHF, demikian dr. Arieska Ann
Soenarta, Sp.JP menerangkan. Sampai saat, BB merupakan andalan dalam
manajemen gagal jantung kronik. Studi Cardiac Insfficiency Bisoprolol
(CIBIS III) menunjukkan bahwa memulai terapi dengan bisoprolol yang
diikuti dengan kombinasi ACE-Inhibitor setara keamanan dan
efektivitasnya bila memulai dengan ACEI diikuti dengan bisoprolol. Hal
ini juga membuktikan bahwa pemberian bisoprolol sejak awal memiliki
efek dalam menurunkan kematian mendadak pada pasien dengan gejala
CHF ringan sampai sedang.
Membahas komponen beta-blockers, dr. Ann mengatakan, Beta-
blockers terdiri dari kelompok senyawa yang sangat heretogen. BB
memiliki selektivitas dalam menghambat reseptor beta1 vs beta2, daya
larut lemak, dan tingkat instrinsic sympathomimetic activity (ISA).
Perbedaan ini dapat menjelaskan bukti kontroversial yang menyatakan
bahwa BB memiliki efek yang lebih rendah pada keseluruhan mortalitas
dan morbiditas pada pasien hipertensi dengan penurunan tekanan darah
yang sama.
Sehubungan dengan komponen BB, atenolol dibandingkan dengan
bisoprolol hanya memiliki selektivitas beta1. Di sisi lain, BB dengan ISA
dapat menyebabkan aktivasi reseptor adrenergik. Salah satu produk
bisoprolol yang beredar di pasaran adalah Concor produksi PT Merck.

16
Uji coba pada pasien pasca-infark miokard menunjukkan bahwa
BB tanpa ISA memiliki mobiditas dan mortalitas kardiovaskular yang
lebih rendah (bisoprolol, carvedilol, metoprolol succinate). Pada gagal
jantung, pasien yang mendapat BB ini dapat menurunkan mortalitas dan
direkomendasikan oleh Guidelines gagal jantung.
Pembicara terakhir, Prof. dr. Peter Kabo, PhD, menyoroti peran
beta-blockers pada pasien Asia. Di Asia, panduan hipertensi berdasarkan
JNC 7 dan ESH. Padahal, orang Asia memiliki kekhasan etnis, gaya hidup,
dan variasi genetik dibandingkan dengan Barat. Variasi ini menyebabkan
perbedaan dalam enzim metabolisme zat, transport zat, dan reseptor zat.
Sebagai konsekuensinya, variasi ini menyebabkan perbedaan farmako-
kinetik, farmakodinamik, dan keamanan obat. Misalnya, kurang lebih 7%
orang Kaukasia memiliki metabolisme metoprolol yang lebih rendah, tapi
hanya fraksi bebas propanolol dalam plasma dibandingkan orang kulit
putih, namun memiliki metabolisme propanolol lebih cepat. Bagai-
manapun, senstivitas penurunan laju jantung dua kali lebih tinggi
dibandingkan dengan orang Kaukasia. Dengan demikian, panduan
hipertensi untuk orang Asia harus berdasarkan studi pada orang Asia.
Studi seperti ini memerlukan waktu dan biaya yang sangat mahal,
ulasnya.
Secara farmakologi, BB memiliki efek menurunkan arus simpatik
ke perifer dan menekan aktivitas renin. Efek ini memengaruhi efek
antihipertensinya, sebagaimana memengaruhi efek perlindungan jantung,
terutama obat baru dari kelas ini seperti bisoprolol yang memiliki efikasi
dan profil keamanan yang lebih baik. Kenyataan ini dapat
merekomendasikan dan mendorong klinisi di negara Asia untuk
menggunakan BB yang paling sesuai dalam hipertensi.

17
XII. Penanganan
Manajemen terapi gagal jantung di antaranya bertujuann untuk
meningkatkan kualitas hidup, penurunan angka perawatan, memperlambat
progresifitas penyakit, dan meningkatkan kelangsungan hidup. Algoritma
penatalaksanaan gagal jantung menurut American Heart Asossiation
(AHA) practice guidelines dibagi berdasarkan stage yaitu :
1. Pasien stage A belum mengalami gagal jantung dan tidak memiliki
penyakit jantung struktural, namun beresiko tinggi mengalami
gagal jantung (pasien hipertensi, diabetes). Pengobatan dengan
ACE Inhibitor
2. Pasien stage B memiliki kelainan struktural jantung, namun belum
mengalami tanda dan gejala gagal jantung. Pengobatan dengan
ACEI + Beta bloker. Jika kontraindikasi terhadap ACEI bisa
diganti ARB.
3. Pasien stage C sudah mengalami gagal jantung dilihat dari adanya
kelainan struktural jantung struktural serta pasien mengalami tanda
dan gejala gagal jantung. Pengobatan dengan ACEI + Beta bloker
+ Diuretik + Digoksin.
4. Pasien stage D merupakan perkembangan dari stage C yang
bertambah parah karena pasien mengalami refraktori gagal jantung
pada saat istirahat. Harus dengan implantasi jantung (Dipiro et al,
2008).
XIII. Profil Obat
1. ACE inhibitor
ACE inhibitors merupakan terapi utama pada pasien dengan
gagal jantung. Bekerja dengan menghambat enzim yang
mengkonversi angiotensin I menjadi angiotensin II. Menyebabkan
penurunan produksi Angiotensin II, pada gilirannya aldosteron
menurun namun tidak sepenuhnya dieliminasi. Penurunan
angiotensin II dan aldosteron mengurangi kemungkinan terjadinya
remodeling ventrikel, fibrosis miokard, apoptosis sel miosit,

18
hipertrofi jantung, pelepasan neurotransmiter, vasokonstriksi, dan
natrium dan retensi air (Dipiro et al, 2008).
Terapi gagal jantung ringan biasanya dimulai dengan ACE
Inhibitor (kaptopril) yang dapat menurunkan beban pada jantung
dan pada uji klinis menunjukkan bahwa ACE Inhibitor
menurunkan gejala, memperlambat progress penyakit, dan
memperpanjang hidup pada pasien gagal jantung kronis. ACE
Inhibitor merupakan vasodilator yang paling sesuai pada gagal
jantung karena dapat menurunkan retensi arteri maupun vena
dengan mencegah peningkatan angiotensin II (vasokonstriktor)
yang sering ditemukan pada gagal jantung. Hal tersebut
menyebabkan curah jantung meningkat karena terjadi penurunan
resistensi vaskular, sehingga terjadi peningkatan aliran darah ke
ginjal. Aliran darah ke ginjal yang meningkat menyebabkan
penurunan produksi aldosteron (angiotensin II merupakan stimulus
untuk pelepasan aldosteron), meningkatkan eksresi natrium dan air,
menurunkan volume darah, mengurangi aliran balik vena ke
jantung. Akhirnya menurunkan beban kerja jantung pada pasien
gagal jantung (Neal, 2005).
Pasien yang diobati dengan ACE inhibitor mengalami
kegagalan pengobatan lebih sedikit, rawat inap lebih sedikit, dan
sedikit penyebabkan peningkatan dosis diuretik. Pengaruh
menguntungkan dari inhibitor ACE pada kematian telah
didokumentasikan secara meyakinkan, pada berbagai percobaan
menunjukkan 20-30% terjadi penurunan mortalitas (kematian)
dengan terapi penghambat ACE. Sebuah studi jangka panjang (12
tahun), menunjukkan manfaat kelangsungan hidup berkelanjutan
pada pasien yang diobati dengan enalapril. Selain meningkatkan
kelangsungan hidup, inhibitor ACE juga menurunkan risiko
kematian atau masa inap di rumah sakit, dan memperlambat
progress gagal jantung. ACE Inhibitor superior untuk terapi

19
vasodilator. Penyebab paling umum dari gagal jantung adalah
iskemik jantung yang mengakibatkan hilangnya miosit, diikuti oleh
dilatasi ventrikel dan remodeling jantung yang dapat diatasi oleh
ACE Inhibitor (Dipiro et al, 2008).
Diabetes mellitus, merupakan faktor risiko penting untuk
penyakit jantung yang juga meningkatkan morbiditas dan
mortalitas pada pasien gagal jantung sehingga dengan pemberian
enalapril dapat menurunkan resiko kejadian gagal jantung. Selain
itu, pada suatu penelitan menyatakan bahwa penggunaan ACE
Inhibitor efektif mencegah kejadian Gagal jantung pada pasien
hipertensi dan gaagl ginjal. Terkait dosis, tidak ada perbedaan di
mortaliti ditemukan antara kelompok dosis tinggi dan dosis rendah
(Dipiro et al, 2008).
Dapat disimpulkan bahwa ACE inhibitor menurunkan
gejala, memperlambat perkembangan penyakit, dan penurunan
angka kematian pada pasien gagal jantung. Dengan demikian,
semua pasien dengan gangguan ventrikel kiri harus menerima
ACE inhibitor kecuali ada kontraindikasi atau intoleransi (Dipiro et
al, 2008).
2. Beta Blockers
Berdasarkan penelitian RCTs, Beta-bloker terbukti dapat
menurunkan morbiditi dan mortaliti pada pasien gagal jantung.
American Heart Asossiation (AHA) menyatakan bahwa dalam
penanganan gagal jantung beta-bloker direkomendasikan untuk
digunakan pada pasien gagal jantung dengan penurunan Fraksi
Ejeksi (EF). Pasien yang mendapatkan terapi beta-bloker
merupakan pasien yang merasakan gejala ringan, atau pasien yang
terkontrol dengan diuretik maupun ACE Inhibitor karena pada
pasien yang terkontrol mereka masih beresiko mengalami
perkembangan penyakit (Dipiro et al, 2005; Dipiro et al, 2008).

20
Sejumlah mekanisme potensial telah dikemukakan untuk
menunjukkan efek menguntungkan beta-bloker pada pasien gagal
jantung. Meskipun tidak jelas dijelaskan, ada kemungkinan
mekanisme efek antiaritmia, memperlambat remodeling ventrikel
dengan stimulasi, penurunan kematian miosit dari katekolamin
yang menginduksi nekrosis atau apoptosis, merubah fungsi sistol
ventrikel kiri, menurunkan denyut jantung dan tekanan dinding
ventrikel, dan menghambat pengeluaran renin plasma (Dipiro et al,
2008). Mekanisme lain yang mungkin terjadi yaitu beta-bloker
kemungkinan memblok efek perusakan pada jantung dari aktivitas
simpatis yang berlebihan (Neal, 2005).
Penting untuk diingat bahwa penambahan dosis ACE
Inhibitor hingga dosis optimal tidak relevan dilakukan sebelum
penambahan terapi dengan Beta bloker. Hal ini disebabkan,
kombinasi terapi ACE Inhibitor dengan Beta bloker lebih
menguntungkan dibanding peningkatan dosis optimal ACE
Inhibitor. Sehingga Beta bloker direkomendasikan pada pasien
yang mengalami gejala gagal jantung dengan penurunan Fraksi
Ejeksi (Gagal jantung stage B). Aspek penting bagi penggunaan
aman beta-bloker pada gagal jantung adalah inisiasi terapi pada
rendah dosis, dengan dosis titrasi, dan edukasi terhadap pasien
(Dipiro et al, 2008).
Beta-blokers telah diteliti secara ekstensif, pada lebih dari
20.000 peserta uji coba terkontrol. Tiga beta-bloker yang
menunjukkan dapat menurunkan mortaliti yaitu carvedilol,
metoprolol lepas lambat dan bisoprolol. Beta-bloker pada pasien
gagal jantung stage II dan III merupakan standar terapi. Carvedilol
menghasilkan pengurangan 7,1% tingkat kematian (dari 18,5%
menjadi 11,4%). Sementara itu, pada penelitian yang dilakukan
pada metoprolol terjadi penurunan 34% kejadian kematian dan
41% penurunan kematian mendadak. Pada penelitian yang

21
dilakukan terhadap bisoprolol terlihat penurunan 26% kejadian
kematian dan 44% penurunan kematian mendadak. Terlihat jelas
menguntungkan penggunaan Beta-bloker pada semua pasien
dengan gejala gagal jantung sistolik (Dipiro et al, 2008).
Selain data tentang efek -blocker pada kelangsungan
hidup, terdapat data yang menunjukkan perbaikan di berbagai titik
akhir lainnya. Semua uji klinis dengan populasi yang besar telah
menunjukkan penggunaan beta-bloker menghasilkan 15% sampai
20% penurunan rawat inap. Efek positif dari beta-bloker pada
fungsi sistolik ventrikel kiri juga sudah sangat konsisten di seluruh
studi. Setelah beberapa minggu sampai bulan penggunaan beta-
bloker meningkatkan Fraksi Ejeksi, menurunkan masa ventrikel,
memperbaiki bentuk jantung, dan menurunkan volume sistolik dan
diastolik. Efek kolektif disebut remodeling reverse, mengacu pada
fakta bahwa kembalinya jantung terhadap ukuran normal, bentuk,
dan fungsi yang semestinya (Dipiro et al, 2008).
3. Diuretik
Mekanisme kompensasi pada gagal jantung merangsang
penahanan natrium dan retensi air, yang sering menimbulkan
tanda-tanda dan gejala penunpukan cairan di sistemik dan paru-
paru. Sehingga terapi diuretik direkomendasikan untuk semua
pasien dengan bukti klinis retensi cairan. Di antara obat yang
digunakan untuk manajemen gagal jantung, diuretik yang paling
cepat dalam mengatasi masalah tersebut. Sebagian besar pasien
dengan gagal jantung akan memerlukan diuretik untuk mengontrol
status cairan mereka, dan karena itu diuretik salah satu terapi
utama gagal jantung. Namun, karena diuretik tidak mengubah
perkembangan penyakit maka penggunaannya tidak diharuskan.
Pasien yang tidak mengalami retensi cairan tidak membutuhkan
terapi diuretik (Dipiro et al, 2008).

22
Tujuan utama dari terapi diuretik adalah untuk mengurangi
gejala retensi cairan dan penumpukan cairan pada paru,
meningkatkan kualitas hidup, dan mengurangi rawat inap dari
gagal jantung. Diuretik mengurangi edema dan kongesti paru
melalui pengurangan preload. Terapi diuretik harus digunakan
secara bijak karena overdiuresis dapat mengakibatkan penurunan
output jantung dan gejala dehidrasi. Setelah terapi diuretik dimulai,
penyesuaian dosis didasarkan pada perbaikan gejala dan berat
badan setiap hari. Perubahan berat tubuh merupakan penanda
sensitif retensi cairan direkomendasikan bahwa pasien memonitor
status mereka dengan melihat bobot tubuh (Dipiro et al, 2008).
Diuretik tiazid seperti hidroklorotiazid memblok reabsorpsi
natrium dan klorida dalam tubulus distal (sekitar 5% sampai 8%
dari natrium disaring di tubulus distal). Diuretik tiazid relatif
diuretik lemah dan jarang digunakan sendirian pada pasien gagal
jantung, sehingga dapat digunakan dalam kombinasi dengan
diuretik loop (Dipiro et al, 2008). Diuretik tiazid bekerja dengan
menghambat reabsorpsi NaCl pada tubulus distal dengan terikat
pada sinporter yang berperan untuk kotranspor NaCl elektronetral.
Sehingga terjadi peningkatan ekskresi natrium, klorida , dan air
(Neal, 2002).
Loop diuretik (misalnya furosemid) bekerja pada daerah
Ansa Henle di mana 20% sampai 25% natrium diserap kembali di
Ansa Henle. Diuretik loop menghambat reabsorpsi NaCl dalam
Ansa Henle dengan menghambat kotranspor Na/K/2Cl (Neal,
2002). Pemberian bersamaan dengan NSAIDs dapat mengurangi
kemanjuran diuretik (Dipiro et al, 2008). Pemberian diuretik loop
secara oral diindikasikan untuk mengurangi edema perifer dan
edema paru pada gagal jantung sedang sampai berat (kronis).
Pemberian intravena dapat dilakukan pada pasien dengan edema
paru akibat gagal jantung akut. Pada dosis tinggi, loop diuretik

23
dapat menginduksi perubahan komposisi elektrolit dalam
endolimfe dan menyebabkan ketulian yang sifatnya tidak dapat
pulih kembali (Neal, 2002).
4. Digoksin
Khasiat digoksin pada pasien dengan gagal jantung dan
takikardi supraventrikularis seperti atrial fibrilasi dapat diterima
secara luas. Peran digoksin pada pasien gagal jantung dengan
irama sinus normal telah jauh lebih kontroversial. Digoksin
meningkatkan Fraksi Ejeksi, kualitas hidup, beraktivitas dan
menurunkan gejala gagal jantung. Pada pasien yang menerima
digoksin, masalah yang tidak terselesaikan adalah tidak diketahui
efek digoksin pada kematian. Ini merupakan perhatian khusus
karena angka kematian meningkat dilihat dengan lain obat yang
berefek inotropik positif (Dipiro et al, 2008).
Digoksin bekerja dengan menghambat Na+/K+-ATPase
membran, yang berperan dalam pertukaran Na+/K+ melalui
membrane sel otot. Hal tersebut menyebabkan peningkatan Na+
intrasel dan menghasilkan peningkatan sekunder Ca2+ intrasel
yang meningkatkan kontraksi otot jantung. Peningkatan Ca2+ juga
terjadi karena penghambatan pompa Ca2+ yang terjadi selama
diastol (Neal, 2002).
Digoksin direkomendasikan untuk digunakan pada pasien
gagal jantung stage C bersama dengan ACE Inhibitor, Beta bloker,
dan diuretik, untuk memperbaiki gejala dan status klinis. Sebagian
besar manfaat dari digoksin tercapai pada konsentrasi plasma
rendah dan penambahan sedikit efek pada dosis yang lebih tinggi.
Dengan demikian, untuk sebagian besar pasien, target konsentrasi
plasma digoksin harus 0,5 sampai 1 ng / mL. Diharapkan untuk
mengurangi efek toksisitas digoksin (Dipiro et al, 2008).

24
Pada pasien dengan ginjal normal, rentang konsentrasi
plasma dapat dicapai dengan dosis 0,125 mg perhari. Pasien
dengan penurunan fungsi ginjal, orang tua, atau mereka yang
menerima obat lain yang mengalami interaksi obat dengan
digoksin (misalnya, amiodaron) harus menerima 0,125 mg setiap 2
hari sekali. Pada pasien dengan atrial fibrilasi dan respon ventrikel
yang cepat, meningkatkan dosis digoxin tidak lagi
direkomendasikan (Dipiro et al, 2008).
Digoksin mempengaruhi semua jaringan yang dapar
dieksitasi, kardioseletivitasnya berasal dari ketergantungan yang
besar dengan fungsi miokard terhadap kecepatan pengeluaran
natrium. Efek yang terjadi berupa gangguan lambung-usus :
anoriksia, mual, muntah, diare dan nyeri perut. Efek lainnya berupa
efek sentral, seperti pusing, gangguan penglihatan, letih, lemah
otot, gelisah, kekacauan, mengantuk, bingung, dan konvulsi. Pada
overdose terjadi efek jantung, antara lain aritmia, gangguan ritme,
khususnya extrasistol dan fibrilasi bilik berbahaya yang dapat
mengakibatkan shock fatal (Dipiro et al, 2008).
Toksisitas digoksin cukup sering terjadi karena aritmia
dapat terjadi pada konsentrasi yang hanya dua atau tiga kali lipat
dari konsentrasi terapi yang optimal. Berdasarkan keparahannya
terapi toksisitas dapat berupa penghentian obat, suplementasi
kalium, obat anti aritmia (fenitoin atau lidokain), atau pada
intoksikasi sangat berat, fragmen anti bodi spesifik digoksin
(Dipiro et al, 2008)

25
ASUHAN KEPERAWATAN

A. PENGKAJIAN
Pengkajian Primer
1. Airway
Batuk dengan atau tanpa sputum, penggunaan bantuan otot pernafasan,
oksigen, dll
2. Breathing
Dispnea saat aktifitas, tidur sambil duduk atau dengan beberapa bantal
3. Circulation
Riwayat HT, M akut, GJK sebelumnya, penyakit katup jantung, anemia,
syok dll. Tekanan darah, nadi, frekuensi jantung, irama jantung, nadi
apical, bunyi jantung S3, gallop, nadi perifer berkurang, perubahan dalam
denyutan nadi juguralis, warna kulit, kebiruan punggung, kuku pucat atau
sianosis, hepar ada pembesaran, bunyi nafas krakles atau ronchi, oedema
Pengkajian Sekunder
1. Aktivitas/istirahat
Gejala : Keletihan/kelelahan terus menerus sepanjang hari,
insomnia, nyeri dada dengan aktivitas, dispnea pada
istirahat atau pada pengerahan tenaga.
Tanda : Gelisah, perubahan status mental mis : letargi, tanda vital
berubah pad aktivitas.
2. Sirkulasi
Gejala :Riwayat HT, IM baru/akut, episode GJK sebelumnya,
penyakit jantung , bedah jantung , endokarditis, anemia,
syok septic, bengkak pada kaki, telapak kaki, abdomen.
Tanda : TD ; mungkin rendah (gagal pemompaan).
Tekanan Nadi ; mungkin sempit.
Irama Jantung ; Disritmia.
Frekuensi jantung ; Takikardia.
Nadi apical ; PMI mungkin menyebar dan merubah posisi
secara inferior ke kiri.

26
Bunyi jantung ; S3 (gallop) adalah diagnostik, S4 dapat
terjadi, S1 dan S2 mungkin melemah.Murmur sistolik dan
diastolic.
Warna ; kebiruan, pucat abu-abu, sianotik.
Punggung kuku ; pucat atau sianotik dengan pengisian
kapiler lambat.
Hepar ; pembesaran/dapat teraba.
Bunyi napas ; krekels, ronkhi.
Edema ; mungkin dependen, umum atau pitting khususnya
pada ekstremitas.
3. Integritas ego
Gejala : Ansietas, kuatir dan takut.Stres yang berhubungan dengan
penyakit / keperihatinan finansial ( pekerjaan / biaya
perawatan medis )
Tanda : Berbagai manifestasi perilaku, mis : ansietas, marah,
ketakutan dan mudah tersinggung.
4. Eliminasi
Gejala : Penurunan berkemih, urine berwana gelap, berkemih
malam hari (nokturia), diare/konstipasi.
5. Makanan/cairan
Gejala : Kehilangan nafsu makan, mual/muntah, penambhan berat
badan signifikan, pembengkakan pada ekstremitas bawah,
pakaian/sepatu terasa sesak, diet tinggi garam/makanan
yang telah diproses dan penggunaan diuretic.
Tanda : Penambahan berat badan cepat dan distensi abdomen
(asites) serta edema (umum, dependen, tekanan dan
pitting).
6. Higiene
Gejala : Keletihan/kelemahan, kelelahan selama aktivitas
perawatan diri.
Tanda : Penampilan menandakan kelalaian perawatan personal.

27
7. Neurosensori
Gejala : Kelemahan, pening, episode pingsan.
Tanda : Letargi, kusut pikir, diorientasi, perubahan perilaku dan
mudah tersinggung.
8. Nyeri/Kenyamanan
Gejala : Nyeri dada, angina akut atau kronis, nyeri abdomen kanan
atas dan sakit pada otot.
Tanda : Tidak tenang, gelisah, focus menyempit danperilaku
melindung diri.
9. Pernapasan
Gejala : Dispnea saat aktivitas, tidur sambil duduk atau dengan
beberapa bantal, batuk dengn/tanpa pembentukan sputum,
riwayat penyakit kronis, penggunaan bantuan pernapasan.
Tanda : Pernapasan; takipnea, napas dangkal, penggunaan otot
asesori pernpasan.
Batuk : Kering/nyaring/non produktif atau mungkin batuk
terus menerus dengan/tanpa pemebentukan sputum.
Sputum ; Mungkin bersemu darah, merah muda/berbuih
(edema pulmonal)
Bunyi napas ; Mungkin tidak terdengar.
Fungsi mental; Mungkin menurun, kegelisahan, letargi.
Warna kulit ; Pucat dan sianosis.
10. Keamanan
Gejala : Perubahan dalam fungsi mental, kehilangankekuatan /
tonus otot, kulit lecet.
11. Interaksi sosial
Gejala : Penurunan keikutsertaan dalam aktivitas sosial yang biasa
dilakukan.

28
12. Pembelajaran / pengajaran
Gejala : Menggunakan / lupa menggunakan obat - obat jantung,
misalnya : penyekat saluran kalsium.
Tanda : Bukti tentang ketidak berhasilan untuk meningkatkan
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Penurunan curah jantung berhubungan dengan ; Perubahan kontraktilitas
miokardial/perubahan inotropik, Perubahan frekuensi, irama dan
konduksi listrik, Perubahan structural, ditandai dengan ;
- Peningkatan frekuensi jantung (takikardia) : disritmia, perubahan
gambaran pola EKG
- Perubahan tekanan darah (hipotensi/hipertensi).
- Bunyi ekstra (S3 & S4)
- Penurunan keluaran urine
- Nadi perifer tidak teraba
- Kulit dingin kusam
- Ortopnea,krakles, pembesaran hepar, edema dan nyeri dada.
2. Intoleran aktivitas berhubungan dengan : Ketidak seimbangan antar suplai
okigen. kelemahan umum, Tirah baring lama/immobilisasi. Ditandai
dengan : Kelemahan, kelelahan, Perubahan tanda vital, adanya disrirmia,
Dispnea, pucat, berkeringat.
3. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan : menurunnya laju filtrasi
glomerulus (menurunnya curah jantung)/meningkatnya produksi ADH
dan retensi natrium/air. ditandai dengan : Ortopnea, bunyi jantung S3,
Oliguria, edema, Peningkatan berat badan, hipertensi, Distres
pernapasan, bunyi jantung abnormal.
4. Resiko tinggi gangguan pertukaran gas berhubungan dengan : perubahan
membran kapiler-alveolus.
5. Resiko tinggi terhadap kerusakan integritas kulit berhubungan dengan
tirah baring lama, edema dan penurunan perfusi jaringan.
6. Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) mengenai kondisi dan program
pengobatan berhubungan dengan kurang pemahaman/kesalahan persepsi

29
tentang hubungan fungsi jantung/penyakit/gagal, ditandai dengan :
Pertanyaan masalah/kesalahan persepsi, terulangnya episode GJK yang
dapat dicegah.
7. Ansietas berhubungan krisis situasi, ancaman terhadap konsep diri,
inefektif koping
C. INTERVENSI
1. Penurunan curah jantung berhubungan dengan ; Perubahan kontraktilitas
miokardial/perubahan inotropik, Perubahan frekuensi, irama dan
konduksi listrik, Perubahan structural
Tujuan :
- Menunjukkan tanda vital dalam batas yang dapat diterima ( disritmia
terkontrol atau hilang ) dan bebas gejala gagal jantung
- Melaporkan penurunan epiode dispnea, angina
- Ikut serta dalam aktivitas yang mengurangi beban kerja jantung.
Intervensi Rasional

1) Auskultasi nadi apical ; kaji Biasanya terjadi takikardi (meskipun pada


frekuensi, irama jantung saat istirahat) untuk mengkompensasi
penurunan kontraktilitas ventrikel.
S1 dan S2 mungkin lemah karena
2) Catat bunyi jantung
menurunnya kerja pompa. Irama Gallop
umum (S3 dan S4) dihasilkan sebagai aliran
darah kesermbi yang disteni. Murmur dapat
menunjukkan Inkompetensi/ stenosis katup.
Penurunan curah jantung dapat menunjukkan
menurunnya nadi radial, popliteal, dorsalis,
pedis dan posttibial. Nadi mungkin cepat
3) Palpasi nadi perifer
hilang atau tidak teratur untuk dipalpasi dan
pulse alternan

Pada GJK dini, sedang atu kronis tekanan


darah dapat meningkat. Pada HCF lanjut
tubuh tidak mampu lagi mengkompensasi
4) Pantau TD
danhipotensi tidak dapat normal lagi.

Pucat menunjukkan menurunnya perfusi


perifer sekunder terhadap tidak adekutnya

30
curah jantung; vasokontriksi dan anemia.
Sianosis dapat terjadi sebagai refrakstori GJK.
5) Kaji kulit terhadap pucat dan
Area yang sakit sering berwarna biru karena
sianosis
peningkatan kongesti vena.
Ginjal berespon untuk menurunkan curah
jantung dengan menahan cairan dan natrium

6) Pantau haluaran urine, catat Dapat menunjukkan tidak adekuatnya perfusi


penurunan haluaran dan serebral sekunder terhadap penurunan curah
kepekaan / konsentrasi urine jantung
7) Kaji perubahan pada sensori
Istirahat fisik harus dipertahankan selama
contoh letargi, bingung,
GJK akut atau refraktori untuk memperbaiki
disorientasi, cemas dan
efisiensi kontraksi jantung dan menurunkan
depresi
kebutuhan/ konsumsi oksigen miokard dan
8) Berikan istirahat pada tempat
kerja berlebihan
tidur atau kursi sesuai
Stres emosi menghasilkan vasokonstriksi
indikasi
yang meningkatkan TD dan meningkatkan
frekuensi / kerja jantung

Manuver valsava menyebabkan rangsang


9) Berikan istirahat psikologi vagal diikuti dengan takikardi yang
dengan lingkungan tenang selanjutnya berpengaruh pada fungsi jantung /
curah jantung
10) Hindari aktivitas respon
valsava contoh mengejan Menurunkan statis vena dan dapat
selama defekasi, menahan menurunkan insiden trombus / pembentukan
nafas selama perubahan embolus
posisi
11) Tinggikan kaki, hindari
tekanan pada bawah lutut. Meningkatkn sediaan oksigen untuk
Dorong olahraga aktif/pasif kebutuhan miokard untuk melawan efek
12) Berikan oksigen tambahan hipoksia/iskemia.
dengan kanula nasal/masker
(kolaborasi)
13) Berikan obat sesuai indikasi Banyak obat dapat digunakan untuk
meningkatkan volume sekuncup,
memperbaiki kontraktilitas dan menurunkan
14) Pemberian cairan IV, kongesti
pembatasan jumlah total

31
sesuai indikasi Karena adanya peningkatan tekanan ventrikel
15) Pantau seri EKG dan kiri, pasien tidak dapat mentoleransi
perubahan foto dada peningkatan volume cairan (preload)
Depresi segmen ST dan datarnya gelombang
T dapat terjadi karena peningkatan kebutuhan
oksigen miokard, foto dada dapat
menunjukkan pembesaran jantung dan
perubahan kongesti pulmonal
16) Pantau pemeriksaan
laboratorium contoh BUN, Peningkatan BUN/kreatinin menunjukkan
kreatinin, fungsi hati ( AST, hipoperfusi/gagal ginjal, AST/LDH dapat
LDH ) meningkat sehubungan dengan kongesti hati
dan menunjukkan kebutuhan untuk obat
dengan dosis lebih kecil yang didetoksikasi
oleh hati.

2. Intoleran aktivitas berhubungan dengan : Ketidak seimbangan antar suplai


okigen. kelemahan umum, Tirah baring lama/immobilisasi
Tujuan :
- Berpartisipasi pada aktivitas yang diinginkan, memenuhi perawatan
diri sendiri.
- Mencapai peningkatan toleransi aktivitas yang dapat diukur,
dibuktikan oleh menurunnya kelemahan dan kelelahan
Intervensi Rasional

1) Periksa tanda vital sebelum Hipotensi ortostatik dapat terjadi dengan


dan segera setelah aktivitas, aktivitas karena efek obat (vasodilasi),
khususnya bila klien perpindahan cairan (diuretic) atau pengaruh
menggunakan vasodilator, fungsi jantung.
diuretic dan penyekat beta.
2) Catat respons
kardiopulmonal terhadap Penurunan / ketidakmampuan miokardium
aktivitas, catat takikardi, untuk meningkatkan volume sekuncup selama
diritmia, dispnea berkeringat aktivitas dpat menyebabkan peningkatan segera
dan pucat. frekuensi jantung dan kebutuhan oksigen juga
peningkatan kelelahan dan kelemahan.

32
3) Kaji penyebab kelemahan Kelemahan adalah efek samping beberapa obat
(beta bloker, tranquilizer dan sedatif)
4) Evaluasi peningkatan Dapat menunjukkan peningkatan dekompensasi
intoleran aktivitas. jantung daripada kelebihan aktivitas
5) Berikan bantuan dalam
Pemenuhan kebutuhan perawatan diri pasien
aktifitas perawatan diri sesuai
tanpa mempengaruhi stres miokard / kebutuhan
indikasi
oksigen berlebihan.
6) Implementasi program Peningkatan bertahap pada aktivitas
rehabilitasi jantung/ aktivitas menghindari kerja jantung/konsumsi oksigen
(kolaborasi) berlebihan. Penguatan dan perbaikan fungsi
jantung dibawah stress, bila fungsi jantung
tidak dapat membaik kembali

3. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan : menurunnya laju filtrasi


glomerulus (menurunnya curah jantung)/meningkatnya produksi ADH
dan retensi natrium/air
Tujuan :

- Mendemonstrasikan volume cairan stabil dengan keseimbangan


masukan danpengeluaran, bunyi nafas bersih/jelas, tanda vital dalam
rentang yang dapat diterima, berat badan stabil dan tidak ada edema.
- Menyatakan pemahaman tentang pembatasan cairan individual.
Intervensi Rasional

1) Pantau pengeluaran urine, Pengeluaran urine mungkin sedikit dan pekat


catat jumlah dan warna karena penurunan perfusi ginjal. Posisi
saat dimana diuresis terlentang membantu diuresis sehingga
terjadi. pengeluaran urine dapat ditingkatkan selama
tirah baring.
2) Pantau/hitung Terapi diuretic dapat disebabkan oleh kehilangan
keseimbangan pemaukan cairan tiba-tiba/berlebihan (hipovolemia)
dan pengeluaran selama meskipun edema/asites masih ada.
24 jam
Posisi tersebut meningkatkan filtrasi ginjal dan
3) Pertahakan duduk atau
menurunkan produksi ADH sehingga
tirah baring dengan posisi

33
semifowler selama fase meningkatkan diuresis.
akut Hipertensi dan peningkatan CVP menunjukkan
4) Pantau TD dan CVP (bila kelebihan cairan dan dapat menunjukkan
ada) terjadinya peningkatan kongesti paru, gagal
jantung.
5) Kaji bisisng usus. Catat Kongesti visceral (terjadi pada GJK lanjut) dapat
keluhan anoreksia, mual, mengganggu fungsi gaster/intestinal
distensi abdomen dan
konstipasi
6) Ukur lingkar abdomen
sesuai indikasi
Pada gagal jantung kanan lanjut cairan dapat
berpindah ke dalam area peritoneal,
7) Berikan obat sesuai
menyebabkan meningkatnya lingkar abdomen
indikasi,
(asites)
Diuretik, contoh
Meningkatkan laju aliran urine dan dapat
furosemid (lasix)
menghambat reabsorpsi natrium / klorida pada
Tiazid dengan agen
tubulus ginjal
pelawan kalium contoh
spiranolakton Meningkatkan dieresis tanpa kehilangan kalium
8) Mempertahankan cairan/ berlebihan
pembatasan natrium sesuai
Menurunkan air total tubuh / mencegah
indikasi
reakumulasi cairan
9) Konsul dengan ahli diet.

Perlu memberikan diet yang dapat diterima klien


yang memenuhi kebutuhan kalori dalam
pembatasan natrium.
4. Resiko tinggi gangguan pertukaran gas berhubungan dengan : perubahan
membran kapiler-alveolus, pengembangan paru tidak optimal, kelebihan
cairan di paru
Tujuan :
- Mendemonstrasikan ventilasi dan oksigenisasi dekuat pada jaringan
ditunjukkan oleh oksimetri dalam rentang normal dan bebas gejala
distress pernapasan.
- Berpartisipasi dalam program pengobatan dalam batas kemampuan /
situasi.
Intervensi Rasional

34
1) Pantau bunyi nafas, catat Menyatakan adanya kongesti
krekels, mengi paru/pengumpulan secret menunjukkan
kebutuhan untuk intervensi lanjut.
2) Ajarkan/anjurkan klien batuk membersihkan jalan nafas dan memudahkan
efektif, nafas dalam aliran oksigen
3) Dorong perubahan posisi
Membantu mencegah atelektasis dan
sering
pneumonia.
4) Pertahankan tirah baring
dengan kepala tempat tidur Menurunkan konsumsi oksigen / kebutuhan
tinggi 20 - 30 derajat, posisi dan meningkatkan inflamasi paru maksimal
semifowler
5) Pantau/gambarkan seri GDA, Hipoksemia dapat terjadi berat selama edema
nadi oksimetri paru
6) Berikan oksigen tambahan
sesuai indikasi
Meningkatkan konsentrasi oksigen alveolar
7) Berikan obat sesuai indikasi yang dapat memperbaiki / menurunkan
Diuretik contoh furosemid hipoksemia jaringan

Bronkodilator contoh
Menurunkan kongesti alveolar, meningkatkan
aminofilin
pertukaran gas
Meningkatkan aliran oksigen dengan
mendilatasi jalan nafas kecil dan mengeluarkan
efek diuretik ringan untuk menurunkan
kongesti paru

5. Resiko tinggi terhadap kerusakan integritas kulit berhubungan dengan


tirah baring lama, edema dan penurunan perfusi jaringan.
Tujuan :
- Mempertahankan integritas kulit
- Mendemonstrasikan perilaku/teknik mencegah kerusakan kulit.
Intervensi Rasional

1) Pantau kulit, catat penonjolan Kulit beresiko karena gangguan sirkulasi


tulang, adanya edema, area perifer, imobilisasi fisik dan gangguan
sirkulasinya terganggu/pigmentasi status nutrisi

35
atau kegemukan/kurus
2) Pijat area kemerahan atau yang Meningkatkan aliran darah, meminimalkan
memutih hipoksia jaringan.
3) Ubah posisi sering ditempat Memperbaiki sirkulasi waktu satu area
tidur/kursi, bantu latihan rentang yang mengganggu aliran darah
gerak pasif/aktif.
4) Berikan perawatan kulit,
minimalkan dengan kelembaban/ Terlalu kering atau lembab merusak kulit/
ekskresi. mempercepat kerusakan.
5) Hindari obat intramuskuler Edema interstisial dan gangguan sirkulasi
memperlambat absorbsi obat dan
predisposisi untuk kerusakan
kulit/terjadinya infeksi

6. Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) mengenai kondisi dan program


pengobatan berhubungan dengan kurang pemahaman/kesalahan persepsi
tentang hubungan fungsi jantung/penyakit/gagal
Tujuan :
- Mengidentifikasi hubungan terapi untuk menurunkan episode
berulang dan mencegah komplikasi.
- Mengidentifikasi stress pribadi/faktor resiko dan beberapa teknik
untuk menangani.
- Melakukan perubahan pola hidup/perilaku yang perlu
Intervensi Rasional

1) Diskusikan fungsi jantung Pengetahuan proses penyakit dan harapan dapat


normal memudahkan ketaatan pada program
2) Kuatkan rasional pengobatan pengobatan.
Klien percaya bahwa perubahan program pasca
pulang dibolehkan bila merasa baik dan bebas
gejala atau merasa lebih sehat yang dapat
meningkatkan resiko eksaserbasi gejala.
3) Diskusikan obat, tujuan dan
Pemahaman kebutuhan terapeutik dan
efek samping. Berikan
pentingnya upaya pelaporan efek samping dapat
instruksi secara verbal dan
mencegah terjadinya komplikasi obat

36
tertulis Memberikan waktu adekuat untuk efek obat
4) Anjurkan makanan diet pada sebelum waktu tidur
pagi hari
Menambah pada kerangka pengetahuan dan
5) Diskusikan dengan pasien
memungkinkan pasien untuk membuat
dalam mengontrol factor
keputusan berdasarkan informasi sehubungan
resiko contoh merokok, dan
dengan kontrol kondisi dan mencegah berulang /
factor pencetus atau
komplikasi
pemberat (diet tinggi garam,
tidak terlalu aktif, terpajan
pada suhu ekstrim
Dapat menambahkan bantuan dengan
6) Rujuk pada sumber di
pemantauan sendiri / penatalaksanaan dirumah.
masyarakat/ kelompok
pendukung suatu indikasi

7. Ansietas berhubungan krisis situasi, ancaman terhadap konsep diri,


inefektif koping
Tujuan :
Klien mengekspresikan rasa cemas dengan wajar dengan
Kriteria Hasil :
- Klien tampak tenang
- Klien cukup paham dengan proses penyakit
Intervensi Rasional

1. Kaji tingkat cemas klien Membantu mengidentifikasi


kekuatan dan keterampilan yang
mungkin membantu klien
mengatasi keadaannya
2. Jelaskan tujuan dan prosedur
Menurunkan cemas dan takut
tes
terhadap diagnosa dan prognosis

3. Tingkatkan ekspresi perasaan Perasaan tidak diekspresikan


dan takut,contoh menolak, dapat menimbulkan kekacauan

37
depsresi, dan marah. internal dan efek gambaran diri.
Pernyataan masalah menurunkan
tegangan, mengklarifikasi tingkat
koping, dan memudahkan
pemahaman perasaan. Adanya
bicara tentang diri negative
meningkatkan tingkat cemas dan
eksaserbasi serangan angina

DAFTAR PUSTAKA

Doenges, Marilynn F dkk. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman


untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien Ed.
3. EGC. Jakarta.

38
Mansjoer, Arief dkk. 2007. Kapita Selekta Kedokteran Ed.3 Jilid 1. Media
Aesculapius FK-UI. Jakarta

Muttaqin, Arif. 2012. Pengantar Asuhan Keperwatan dengan Gangguan Sistem


Kardiovaskular. Salemba Medika. Jakarta.

Price, Sylvia A dan Lorraine M Wilson, 2006. Patofisiologi Konsep Klinis


Proses-proses Penyakit Ed. 6 Vol. 2. EGC : Jakarta.

Smeltzer, Suzanne C dan Brenda G Bare, 2001. Buku Ajar Keperawatan


Medikal Bedah Brunner & Suddarth Vol. 2 Ed. 8. EGC. Jakarta

Udjianti, Wajan Juni. 2011. Keperawatan Kardiovaskular. Salemba Medika.


Jakarta

39

Anda mungkin juga menyukai