Anda di halaman 1dari 3

Kemanusiaan dan Agama

Manusia adalah makhluk Tuhan yang paling mulia. Dari berbagai sisi manusia memiliki banyak
karakter yang prima ketimbang makhluk lain. Semisal kera atau sebangsanya, manusia
dilengkapi oleh akal-budi yang membuatnya dapat membedakan kebaikan dan keburukan. Selain
sebagai homo sapiens, manusia juga menjadi makhluk sosialis, yang mengharuskan hidup
berdampingan dengan orang lain. Dalam menjaga hubungan hidup dengan orang lain, manusia
membutuhkan nilai yang bersifat mengaturnya. Salah satu nilai yang muncul adalah humanism.

Dulu humanisme hadir dalam setiap peradaban. Humanisme adalah pengembangan dari nilai
yang ada di masyarakat. Humanisme adalah sebuah piala demi menghargai manusia. Humanisme
hadir dalam peradaban berusaha mengangkat harkat martabat manusia ke arah yang layak. Yang
selanjutnya mengarahkan manusia ke jenjang sebagai makhluk yang memimpin (khalifah fiil
ardh). Wacana-wacana tersebut sangat agung saat itu.

Humanis, sebagai representasi dari antroposentris berusaha meletakkan manusia dalam jajaran
yang tinggi. Lalu karena nilai ini dihasilkan dari upaya manusia itu sendiri, ia akhirnya menjadi
satu-kesatuan nilai yang independen. Humanisme menjadi rasa manusia yang murni tanpa
embel-embel. Bagaimana dengan agama ?. Ia, agama yang sebelumnya hadir dalam masyarakat
yang berusaha menjawab semua ketakutan manusia. Menjawab supaya manusia menjadi
semacam tenang. Humanisme menolak jika ia adalah bagian dari agama. Menurutnya agama
hanya akan menata tata nilai dibalik kubur. Keberagaman, kehendak, bakat dan lain-lain akan
menjadi fokus kajian humanisme. Dengan ini yang dahulunya masyarakat pada tahap teosentris
mengarah menjadi antroposentris. Fokus kajiannya bukan lagi pada ketuhanan melainkan pada
kemanusiaan.

Humanisme menjadi garang tatkala berkembang pada abad modern. Ciri yang paling menonjol
dari zaman ini adalah 'ateisme'. Ateisme adalah upaya penghapusan kesadaran akan Tuhan. Jika
ateisme mengakui bahwa Tuhan "tidak ada" maka sebelum itu Tuhan harus "ada". Dan oleh
karena itu lebih tepatnya ateisme adalah sebuah upaya untuk menghapus konsep Tuhan dalam
diri manusia dan kesadarannya.
Zaman ini dideklarasikan oleh Descartes, pertama ia adalah mendasarkan humanisme pada
perkataannya yang paling masyhur co gito ergo sum "aku berfikir maka aku ada". Sangat
nampak bahwa Descartes sangat antroposentris, ia. Berusaha mengangkat apa yang dianggapnya
memiliki banyak bakat untuk dikembangkan. Ia, dia adalah manusia. Akan tetapi berkat ini sains
berkembang demikian pesat setelah zamannya.

Periode-periode selanjutnya tidak kalah hebatnya. Dendangan humanisme kian mencuat saat
Nietzche membunuh Tuhan secara terang-terangan. Nietzche adalah musuh utama teosentris
lebih khususnya pada doktrin kristiani. Ini menjadi menarik bahwa Nietzche saat itu menyadari
bahwa manusia telah menyamankan dirinya pada sains. Saat sains menjadi sebuah pengagungan,
Tuhan dilupakan saat itu juga. Dan upaya yang dilakukan oleh filsuf aforisme ini mendapat
kecaman yang cukup hebat saat itu. Dianggap sebagai pembangkangan atas tata nilai yang telah
berjalan ribuan tahun. Tetapi lebih dalam, niatnya adalah untuk mendasarkan manusia pada
kemanusiaannya sendiri bukan pada doktrin langit juga bukan pada doktrin sains. Humanisme
Nietzche adalah murni mau mengangkat manusia menjadi ubermen atau manusia sempurna.

Seperti halnya Nietzche, Jean Paul Sartre adalah seorang eksistensialis sejati. Baginya eksistensi
mendahului esensi. Dengan semboyannya ini eksistensi manusia sedang ditunggu-tunggu demi
manusia unggul yang ia harapkan. Manusia dalam kajian Sartre adalah makhluk yang terpenjara
oleh Tuhan. Oleh karenanya manusia tidak dapat bebas berkehendak, jika ingin bebas manusia
harus melepaskan Tuhan. Humanisme versi sartre tidak berbeda jauh dari Nietzche, selain
karakteristik pemikirannya yang sangat ateis. Corak Sartre menjadi kentara saat humanisme
harus dihadapkan pada ketuhanan. Adalah suatu keharaman jika harus mendiamkan manusia
dalam ketenangan keagamaannya.

Perkembangan humanisme yang demikian itu adalah sebuah usaha-usaha untuk mendasarkan
pada kemanusiaan. Untuk mengembangkan bakat-bakat unik manusia dalam perkembangan
zaman yang kian pesat.

Lantas untuk apakah agama ?. Agama adalah sebuah aturan untuk mengantisipasi kekacauan.
Agama hadir sebagai obat ketakutan. Ketakutan dalam hidup dialam raya yang misterius ini,
hidup setelah kematian, dan hidup sebagai manusia. Itu semua adalah bagian kecil dari agama
yang banyak dibahas oleh ahli. The religions is an opium. Bahwa dengan obat ini karena manusia
semacam tenang dan lupa, juga menjadikan kecanduan. Lebih dari itu agama adalah sebuah
keteraturan yang komplit. Agama tidak hanya mengatur urusan barang ghoib, ia hadir menata
kehiduapan manusia dari bangun tidur hingga tidur kembali. Dari lahir hingga mati. Dari
individu hingga kelompok. Ia adalah sumber keselamatan yang memberikan sebuah jawaban atas
masalah hidup. Dan humanisme patut kiranya mengakui bahwa ia adalah bagian dari agama.

Humanisme menjadi kerdil dihadapan agama. Ia menjadi bagian yang menjadi sub bab dari
agama. Segala bakat, kehendak, moral dan lain-lain menjadi urusan yang sangat prima dalam
agama. Sehingga pengkajian terhadap humanisme tidak dapat dilepaskan dari agama.

Agama tidak hanya menjadi dongeng siksa kubur yang tanpa rasional. Agama menjadi sangat
rasional ketika dikaji dari rasionalis, dan menjadi garang bila dihadapkan pada orang yang tidak
humanis. Agama hanya menjadi pembenar terhadap apa yang ia lakukan. Saat ini dengan kian
banyaknya pengkaji agama yang membacakan ayat dengan nada marah. Agama hanya menjadi
benar dimatanya dan salah dimata lawan bicaranya. Sudah saatnya agama dikaji secara humanis.
Supaya dapat diterima dengan filsuf humanis atau yang lainnya. Tidak kalah pentingnya bahwa
agama harus dikaji dalam konteks humanisme sehingga mampu melahirkan umat yang ramah
terhadap perbedaan.

Anda mungkin juga menyukai