Anda di halaman 1dari 4

SABAR PANTANG MENYERAH

QS. Al-Ankabut: 1-3

َ َ ْ َّ ََّ َ ْ َ َ َ ُ َ ْ َ ُ َّ ٰ ُ ُ ْ َ ُ ْ ْ َ ُ َّ َ َ َ
‫ َولقد فتنا ال ِذين ِم ْن ق ْب ِل ِه ْم‬٢ ‫اس ان ُّيت َرك ْوْٓا انَّيق ْول ْوْٓا ا َمنا َوه ْم لا ُيفتن ْون‬‫ اح ِسب الن‬١ ۗ‫الۤ ۤم‬
ْ َّ ‫ه‬
َ ْ ٰ َّ َ َ ْ َ َ َ ْ ُ َ َ َ ْ ُ ‫َف َل َي ْع َل َمَّن‬
٣ ‫اّٰلل ال ِذين صدقوا وليعلمن الك ِذ ِبين‬

Artinya : 1. Alif Lām Mīm.


2. Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan (hanya dengan) berkata, “Kami
telah beriman,” sedangkan mereka tidak diuji?
3. Sungguh, Kami benar-benar telah menguji orang-orang sebelum mereka. Allah pasti
mengetahui orang-orang yang benar dan pasti mengetahui para pendusta.
QS. Al-Baqarah: 214
ْ ْ
َّ َ ُ َ َ ْ ُ ُ ْ َّ َ ْ ُ ْ َ ْ ْ َ َ َ ْ َّ ُ َ َّ ْ ُ َ َّ َ َ َ ََّ ْ ُ ُ َْ ْ َ ُْ َ َ
ُ‫الضَّراۤء‬ ‫ا ْم ح ِسبت ْم ان تدخلوا الجنة ولما يأ ِتكم مثل ال ِذين خلوا ِمن قب ِلكمۗ مستهم البأساۤء و‬
ٌ ْ َ ‫َ ُ ْ ُ ْ َ ه َ ُ ْ َ َّ ُ ْ ُ َ َّ ْ َ ٰ َ ُ ْ َ َ ٗ َ ٰ َ ْ ُ ه َ َ َّ َ ْ َ ه‬
٢١٤ ‫اّٰلل ق ِريب‬ ِ ‫وزل ِزلوا حتى يقول الرسول وال ِذين امنوا معه متى نصر‬
ِ ‫اّٰللۗ ال ْٓا ِان نصر‬

Artinya : 214. Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang
kepadamu (cobaan) seperti (yang dialami) orang-orang terdahulu sebelum kamu. Mereka
ditimpa kemelaratan, penderitaan, dan diguncang (dengan berbagai cobaan) sehingga
Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya berkata, “Kapankah datang pertolongan
Allah?” Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu dekat.
QS. Al-Ankabut: 6

َ َ ْٰ َ َ َ َ ‫َّ ه‬ ْ َ ُ َ ُ َ َّ َ َ َ َ ْ َ َ
٦ ‫اّٰلل لغ ِن ٌّي ع ِن العل ِم ْين‬ ‫ۗان‬ ‫ه‬
ِٖ ‫اهد ِلنف ِس‬
ِ ‫ومن جاهد ف ِانما يج‬

Artinya : 6. Siapa yang berusaha dengan sungguh-sungguh (untuk berbuat kebajikan),


sesungguhnya dia sedang berusaha untuk dirinya sendiri (karena manfaatnya kembali
kepada dirinya). Sesungguhnya Allah benar-benar Mahakaya (tidak memerlukan suatu apa
pun) dari alam semesta.
Hadist
َ َ َ ْ َ ُ ُ ََ ْ ُ َ ُْ َ َ َ َّ
ُ ُ َ ْ َ َ َ َ َ َ ْ َ َ َ ُ ُ َُّ
‫ وأعوذ‬،‫اب القب ِر‬
ِ ‫ذ‬ ‫ع‬ ‫ن‬ ‫م‬ ‫ك‬
ِ ِ‫ب‬ ‫وذ‬‫ع‬‫أ‬‫و‬ ، ‫م‬
ِ ‫ر‬ ‫اله‬‫و‬ ‫ل‬ِ ‫خ‬ ‫الب‬‫و‬ ‫ن‬
ِ ‫ب‬ ‫ج‬ ‫ل‬ ‫ا‬‫و‬ ، ‫ل‬ِ ‫س‬ ‫الك‬‫و‬ ‫ز‬ِ ‫ج‬ ‫الع‬ ‫ن‬‫م‬ ‫ك‬‫ب‬
ِ ِ ‫وذ‬‫ع‬‫أ‬ ‫ي‬ ‫ن‬ ‫إ‬
ِِ ‫هَّللا‬
َ َ َ َ ْ َ َْ ْ َ
‫ات‬
ِ ‫ِبك ِمن ِفتن ِة المحيا والمم‬

Artinya : “Ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari kelemahan rasa malas, rasa takut, kejelekan di
waktu tua, dan sifat kikir. Dan aku juga berlindung kepada-Mu dari siksa kubur, serta
bencana kehidupan dan kematian.”
Do’a tersebut berisi permintaan agar kita diberi keselamatan terhindar dari sifat-sifat jelek yang
disebutkan di dalamnya, yakni:

• Sifat ‘ajz, yaitu tidak adanya kemampuan untuk melakukan kebaikan.


• Sifat kasal, yaitu tidak ada atau kurangnya dorongan (motivasi) untuk melakukan kebaikan
padahal dalam keadaan mampu untuk melakukannya.
• Sifat jubn,artinya berlindung dari rasa takut (lawan dari berani), yaitu berlindung dari sifat
takut untuk berperang atau tidak berani untuk beramar ma’ruf nahi mungkar.
• Sifat dari harom, artinya berlindung dari kembali pada kejelekan umur (di masa tua). Ada
apa dengan masa tua? Karena pada masa tua, pikiran sudah mulai kacau, kecerdasan dan
pemahaman semakin berkurang, dan tidak mampu melakukan banyak ketaatan.
• Sifat bukhl, artinya berlindung dari sifat pelit (kikir). Yaitu do’a ini berisi permintaan agar
seseorang bisa menunaikan hak pada harta dengan benar, sehingga memotivasinya untuk
rajin berinfak (yang wajib atau yang sunnah), bersikap dermawan dan berakhlak mulia.
• Meminta perlindungan dari siksa kubur.

KESABARAN BILAL BIN RABBAH

Bilal bin Rabah adalah muadzin Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Bilal lahir di daerah
as-Sarah sekitar 43 tahun sebelum hijrah. Ayahnya bernama Rabah, sedangkan ibunya bernama
Hamamah, seorang budak wanita berkulit hitam yang tinggal di Mekkah. Karena ibunya itu, sebagian
orang memanggil Bilal dengan sebutan Ibnus-Sauda’ (putra wanita hitam). Bilal dibesarkan di kota
Ummul Qura (Mekkah) sebagai seorang budak milik keluarga Bani Abduddar. Saat ayah mereka
meninggal, Bilal diwariskan kepada Umayyah bin Khalaf, seorang tokoh penting kaum kafir.
Bilal adalah termasuk orang-orang pertama yang memeluk Islam. Sebelum Bilal masuk
Islam, telah ada beberapa orang yang masuk Islam, seperti Ummul Mu’minin Khadijah binti
Khuwailid, Abu Bakar ash-Shiddiq, Ali bin Abu Thalib, ‘Ammar bin Yasir bersama ibunya, Sumayyah,
Shuhaib ar-Rumi, dan al-Miqdad bin al-Aswad.
Bilal merasakan penganiayaan orang-orang musyrik yang lebih berat dari siapa pun.
Berbagai macam kekerasan, siksaan, dan kekejaman mendera tubuhnya. Namun ia, sebagaimana
kaum muslimin yang lemah lainnya, tetap sabar menghadapi ujian di jalan Allah itu dengan
kesabaran yang jarang sanggup ditunjukkan oleh siapa pun.
Orang-orang Islam seperti Abu Bakar dan Ali bin Abu Thalib masih memiliki keluarga dan
suku yang membela mereka. Akan tetapi, orang-orang yang tertindas (mustadh’afin) dari kalangan
hamba sahaya dan budak itu, tidak memiliki siapa pun, sehingga orang-orang Quraisy menyiksanya
tanpa belas kasihan. Quraisy ingin menjadikan penyiksaan atas mereka sebagai contoh dan
pelajaran bagi setiap orang yang ingin mengikuti ajaran Muhammad.
Bilal bin Rabah, terus disiksa oleh Quraisy tanpa henti. Biasanya, apabila matahari tepat di
atas ubun-ubun dan padang pasir Mekkah berubah menjadi perapian yang begitu menyengat, orang-
orang Quraisy itu mulai membuka pakaian orang-orang Islam yang tertindas itu, lalu memakaikan
baju besi pada mereka dan membiarkan mereka terbakar oleh sengatan matahari yang terasa
semakin terik. Tidak cukup sampai di sana, orang-orang Quraisy itu mencambuk tubuh mereka
sambil memaksa mereka mencaci maki Nabi Muhammad.
Adakalanya, saat siksaan terasa begitu berat dan kekuatan tubuh orang-orang Islam yang
tertindas itu semakin lemah untuk menahannya, mereka mengikuti kemauan orang-orang Quraisy
yang menyiksa mereka secara lahir, sementara hatinya tetap pasrah kepada Allah dan Rasul-Nya
kecuali Bilal. Baginya, penderitaan itu masih terasa terlalu ringan jika dibandingkan dengan
kecintaannya kepada Allah dan perjuangan di jalan-Nya.
Orang Quraisy yang paling banyak menyiksa Bilal adalah Umayyah bin Khalaf bersama para
algojonya. Mereka menghantam punggung telanjang Bilal dengan cambuk, namun Bilal hanya
berkata: “Ahad, Ahad … (Allah Maha Esa)”. Mereka menindih dada telanjang Bilal dengan batu besar
yang panas, Bilal pun hanya berkata: “Ahad, Ahad“ Mereka semakin meningkatkan penyiksaannya,
namun Bilal tetap mengatakan: “Ahad, Ahad.”
Mereka memaksa Bilal agar memuji Latta dan ‘Uzza, tapi Bilal justru memuji nama Allah dan
Rasul-Nya. Mereka terus memaksanya :“Ikutilah yang kami katakan!”. Bilal menjawab: “Lidahku
tidak bisa mengatakannya”. Jawaban ini membuat siksaan mereka semakin hebat dan keras. Apabila
merasa lelah dan bosan menyiksa, Umayyah bin Khalaf, mengikat leher Bilal dengan tali yang kasar
lalu menyerahkannya kepada sejumlah orang tak berbudi dan anak-anak agar menariknya di jalanan
dan menyeretnya di sepanjang Abthah Mekkah. Sementara itu, Bilal menikmati siksaan yang
diterimanya karena membela ajaran Allah dan Rasul-Nya. Ia terus mengumandangkan pernyataan
agungnya: “Ahad, Ahad, Ahad, Ahad….”. Ia terus mengulang-ulangnya tanpa merasa bosan dan lelah.
Suatu ketika, Abu Bakar Radhiallahu ‘anhu mengajukan penawaran kepada Umayyah bin
Khalaf untuk membeli Bilal darinya. Umayyah menaikkan harga berlipat ganda. Ia mengira Abu
Bakar tidak akan mau membayarnya. Tapi ternyata, Abu Bakar setuju, walaupun harus
mengeluarkan sembilan uqiyah emas. Seusai transaksi, Umayyah berkata kepada Abu Bakar:
“Sebenarnya, kalau engkau menawar sampai satu uqiyah-pun, maka aku tidak akan ragu untuk
menjualnya.”. Abu Bakar membalas: “Seandainya engkau memberi tawaran sampai seratus uqiyah-
pun, maka aku tidak akan ragu untuk membelinya”.
Ketika Abu Bakar memberi tahu Rasulullah bahwa ia telah membeli sekaligus
menyelamatkan Bilal dari cengkeraman para penyiksanya, Rasulullah berkata kepada Abu Bakar:
“Kalau begitu, biarkan aku bersekutu denganmu untuk membayarnya, wahai Abu Bakar”. Ash-
Shiddiq Radhiallahu ‘anhu menjawab: “Aku telah memerdekakannya, wahai Rasulullah”.
Bilal kemudian tinggal di Madinah dengan tenang dan jauh dari jangkauan orang-orang
Quraisy yang kerap menyiksanya. Kini, ia mencurahkan segenap perhatiannya untuk menyertai Nabi
sekaligus kekasihnya, Muhammad. Bilal selalu mengikuti Rasulullah ke mana pun beliau pergi.
Ketika Rasulullah selesai membangun Masjid Nabawi di Madinah dan menetapkan adzan,
maka Bilal ditunjuk sebagai orang pertama yang mengumandangkan azan (muadzin) dalam sejarah
Islam. Biasanya, setelah mengumandangkan azan, Bilal berdiri di depan pintu rumah Rasulullah
Shalallahu ‘alaihi wasallam seraya berseru: “Hayya ‘alashsholaati hayya ‘alalfalaahi…(Mari
melaksanakan shalat, mari meraih keuntungan….)”. Lalu, ketika Rasulullah keluar dari rumah dan
Bilal melihat beliau, Bilal segera melantunkan iqamat.
Suatu ketika, Najasyi, Raja Habasyah, menghadiahkan tiga tombak pendek yang termasuk
barang-barang paling istimewa miliknya kepada Rasulullah. Rasulullah mengambil satu tombak,
sementara sisanya diberikan kepada Ali bin Abu Thalib dan Umar ibn al-Khaththab, tapi tidak lama
kemudian, beliau memberikan tombak itu kepada Bilal. Sejak saat itu, selama Nabi hidup, Bilal selalu
membawa tombak pendek itu ke mana-mana. Ia membawanya dalam kesempatan dua shalat ‘id, dan
shalat istisqa’ (mohon turun hujan), dan menancapkannya di hadapan beliau saat melakukan shalat
di luar masjid.
Suara terompah Bilal terdengar di Surga
Usai shalat subuh, Bilal bin Rabah ditanya oleh Rasulullah SAW, “Wahai Bilal, apa amalan
yang paling sering kamu lakukan? Sebab aku mendengar suara langkah kakimu di surga.”
“Aku tidak melakukan amalan apapun melainkan aku membiasakan shalat sunah setelah
berwudhu baik siang ataupun malam,” jawab Bilal. Dialog Bilal dan Rasulullah ini banyak disebutkan
dan diceritakan dalam kitab hadits. Di antara perawi yang meriwayatkan kisah ini adalah Al-
Bukhari, Ishaq bin Rahaweh, dan lain-lain. Amalan yang dilakukan sahabat yang dikenal dengan
keindahan suaranya itu sekilas terlihat sederhana dan mudah dilakukan.
Ia hanya membiasakan diri untuk shalat sunah setelah berwudhu. Meskipun terlihat
sederhana, penekanannya sebenarnya tidak bergantung pada bentuk amalannya, tetapi
keistiqamahan Bilal dalam melakukan amalan tersebut. Amalan apapun yang dilakukan dengan
istiqamah dan konsisten, selama ikhlas dan hanya mengharapkan ridha Allah, akan dibalas oleh
Allah SWT. Oleh sebab itu, sepanjang hidup Rasulullah sangat jarang membebani sahabat dengan
malan yang berat dan susah. Beliau meminta sahabatnya melakukan amalan sesuai dengan
kemampuannya dan dilakukan secara konsisten. Melakukan ibadah secara konsisten tidaklah
mudah dan butuh usaha keras untuk mewujudkannya.
Adzan Terakhir Bilal
Selang beberapa waktu usai Nabi Muhammad saw wafat, sahabat Bilal ra. menghadap
Sayyidina Abu Bakar ra untuk meminta izin meninggalkan Madinah dan pindah ke wilayah Syam.
“Apa alasanmu wahai Bilal?” tanya Abu Bakar Asshidiq ra.
"Di sini terlalu banyak kenangan bersama Rasulullah, sehingga ketika menatap setiap
sesuatu yang pernah Rasulullah ‘sentuh’ , di situ ada bayangan yang mulia, sehingga hatiku terlalu
rapuh dan mata ini terlalu berat untuk tidak menangis karena kecintaan yang begitu agung dan
tulus,” jawab Bilal.
Setelah diizinkan, Bilal kemudian menetap di desa Bidariyan, dekat dengan Syam. Bilal pun
tak lagi mengumandangkan azan. Bukan enggan, tetapi karena tak kuat bila sampai lafal “ Asyhadu
anna muhammadan rasulullah”. Perasaannya berkecamuk dan tak kuasa menahan air mata, teringat
akan Rasulullah saw.
Syahdan, di zaman khalifah Umar bin Khattab yang diangkat untuk menggantikan Abu Bakar
yang telah wafat, pada suatu hari, Bilal bermimpi melihat Nabi. Rasulullah SAW berkata kepada Bilal,
"Engkau tega, wahai Bilal. Kenapa engkau tidak menziarahiku lagi?"
Bilal bergegas bangun setelah ditegur demikian, dan segera meringkasi barang- barangnya
dan berangkat ke Madinah. Sampai di sana, ia langsung ke makam Nabi dengan berurai air mata dan
menciumkan wajahnya di makam Nabi. Setelah berziarah, Bilal menghadap cucu Nabi, Hasan dan
Husain. Keduanya mengatakan kepada Bilal, "Kami ingin mendengarkan azan-mu, hai muazin Nabi,
sebagaimana pada masa Rasulullah."
Bilal pun naik ke menara, sesaat kemudian terdengar suara adzan khas bilal yang mampu
menggetarkan kota. Penduduk kota Madinah tersentak kaget, dan puncaknya ketika sampai pada
kalimat asyhadu anna muhammadan rasulullah, Bilal tak sanggup melanjutkannya. Sementara itu,
hampir semua penduduk Madinah keluar dari rumah, menuju ke masjid sambil meneriakan kata:
“Apakah Rasulullah diutus kembali?” Sesampainya di masjid, mereka menangis bersama, tangis
penuh kerinduan, rasa kangen kepada sang kekasih mulia, Nabi Muhammad saw.

Anda mungkin juga menyukai