Pendahuluan Pkmrs
Pendahuluan Pkmrs
Pendahuluan
Bayi memiliki risiko lebih tinggi terhadap cedera kulit, absorbsi kulit, dan infeksi
kulit. Kandidiasis mukokutan pada bayi dapat berupainfeksi yang paling umum
seperti kandidiasis oral dan ruam popok, sampai berupa infeksi serius yang berpotensi
menjadi infeksi sistemik, seperti kandidiasis kongenital dan dermatitis fungal invasif.
Infeksi mukokutan pada bayi prematur dapat menjadi permulaan infeksi sistemik
sehingga membutuhkan perhatian khusus.
Spesies Candida berkembang menjadi kontaminan yang penting dan patogen pada
manusia yang menyebabkan infeksi superfisial dan dalam. Infeksi superfisial sering terjadi
dan menyebabkan 1,2 morbiditas. Kulit bayi memiliki kemampuan absorbsi lebih tinggi
dan mempunyai risiko lebih besar terhadap cedera kulit dan infeksi kulit. Bayi prematur
yang lahir antara usia < 32-34 minggu memiliki masalah yang berhubungan dengan
ketidakmatangan stratum 3 korneum. 1Infeksi mukokutan Candida pada bayi berupa
infeksi yang paling umum seperti kandidiasis oral dan ruam popok sampai infeksi serius
yang berpotensi terjadinya infeksi sistemik, seperti kandidiasis kongenital dan dermatitis
fungal invasif. Infeksi mukokutan pada bayi prematur dapat menjadi permulaan infeksi
sistemik sehingga membutuhkan 4 perhatian khusus. Tujuan penulisan makalah ini adalah
memberikan pengetahuan mengenai kandidiasis mukokutan pada bayi, yang meliputi
etiopatogenesis dan manifestasi klinis, sehingga diharapkan dapat memberikan
penatalaksanaan yang lebih baik
Lokasi utama kontak dengan kandida pada bayi baru lahir adalah mukokutan, termasuk
saluran pencernaan, pernapasan, dan kulit. Secara umum
kolonisasi kandida pada saluran pencernaan muncul pertama kali pada minggu pertama
setelah lahir. Kolonisasi kandida muncul pada awal kehidupan bersama dengan bakteri aerob dan
anaerob. Pada saluran pencernaan, kandida ditemukan mulai pada kavum oral hingga rektum.
C.albicans merupakan flora normal pada saluran pencernaan tetapi bukan flora normal 2, ,6
Bila terjadi kerusakan barier epitel atau penurunan imunitas pejamu, spesies Candida dapat
menyebabkan infeksi oportunistik pada kulit dan mukosa. Patogenesitas penyakit dan mekanisme
1
pertahanan pejamu terhadap kandida belum sepenuhnya dimengerti, namun pada dasarnya
terjadinya kandidasis meliputi mekanisme non imunologik dan mekanisme imunologik baik
imunitas selular ataupun humoral. Mekanisme non imunologik meliputi interaksi flora normal
kulit/mukosa, fungsi pertahanan stratum korneum, proses deskuamasi, fungsi fagositosis, dan
adanya lipid permukaan kulit yang menghambat pertumbuhan kandida. Interaksi kandida dan
flora normal kulit lainnya mengakibatkan persaingan dalam mendapatkan nutrisi seperti glukosa.
Mekanisme imunitas seluler dan humoral tahap pertama timbulnya kandidiasis kulit dan mukosa
adalah menempelnya kandida pada sel epitel disebabkan adanya interaksi antara glikoprotein
permukaan kandida dengan sel epitel. Selanjutnya kandida mengeluarkan zat keratinolitik
(fosfolipase), yang menghidrolisis fosfolipid membran sel epitel. Bentuk pseudohifa kandida juga
mempermudah invasi jamur ke jaringan,
kemudian di dalam jaringan kandida mengeluarkan faktor kemotatik neutrofil yang akan
menimbulkan reaksi radang akut. Lapisan luar kandida yang mengandung manno protein, bersifat
antigenik sehingga akan mengaktivasi komplemen dan merangsang terbentuknya
immunoglobulin. Peran antibodi sebagai mekanisme pertahanan tubuh pejamu belum jelas.
Imunogobulin akan membentuk kompleks antigen-antibodi di permukaan sel kandida, yang dapat
melindungi kandida dari imunitas pejamu. Kandida juga mengeluarkan zat toksis terhadap
neutrofil dan fagosit 8 lainnya. Vazquez dan Sobel menyebutkan kemampuan melakukan konversi
morfogenesis oleh kandida merupakan faktor yang menentukan dalam patogenesis kandidiasis.
C.albicans memiliki kemampuan mengalami perubahan morfologi yang reversibel antara tunas
(budding), pseudohifa, dan hifa. Semua bentuk itu dapat muncul pada spesimen jaringan. Sel ragi
dapat menyebar secara efektif, sedangkan hifa diduga mempunyai potensi untuk melakukan
invasi ke epitel dan jaringan endotel serta membantu mencegah penelanan makrofag.
Kemampuan mengubah dari satu bentuk kebentuk lain berpengaruh langsung terhadap 1
kemampuan organisme dalam menyebabkan penyakit. Faktor predisposisi kandidiasis secara
umum meliputi: faktor mekanik yaitu trauma, oklusi lokal, kelembapan, maserasi, bebat oklusif;
faktor nutrisi yaitu avitaminosis, kekurangan zat besi, dan malnutrisi; faktor perubahan fisiologis
yaitu umur ekstrim; faktor penyakit sistemik yaitu sindroma Down, akrodermatitis enteropatika,
penyakit endokrin (diabetes melitus, hipoadrenalisme, hipotiroidisme, hipoparatiroidisme);
imunodefisiensi, dan faktor iatrogenik yaitu penggunaan kateter dan jalur intravena, radiasi X-
ray, obat-obatan (glukokortikoid, agen imunosupresif, 5 antibiotik). Manifestasi klinis kandidiasis
mukokutan pada bayi antara lain kandidiasis orofaring (thrush), ruam popok, kandidiasis
kongenital, dan kandidiasis 4 fungal invasif. Gejala kandidiasis orofaring pada bayi dapat
asimtomatik atau merasa tidak nyaman pada saat pemberian susu. Tanda yang muncul berupa
2
lesi putih dan tebal pada mukosa bukal, gusi, dan lidah, tampak seperti cheesy atau
pseudomembran. Kerokan lesi sulit dilakukan dan dapat menyebabkan dasar merah dan erosi,
terkadang berdarah, tidak terdapat tanda 1,4,6 konstitusional. Ruam popok pada bayi mengenai
kulit lembap seperti pantat dan genitalia, lipatan paha. tersering pada area kulit yang terkena
popok. Kelainan berupa eritematus terang, berbatas tegas dengan satelit 6,9 pustula. Penularan
pada bayi sering diduga dari 4 saluran cerna. Bayi dengan ruam popok biasanya terdapat koloni
kandida pada saluran pencernaan 4,9 dengan hasil kultur positif dari feses. Saat defekasi, feses
yang terinfeksi menularkan ragi ke kulit di sekitar anus. Lingkungan popok yang oklusif dan
lembap 10 menyokong pertumbuhan kandida.
II. Definisi
Kandidiasis (atau kandidosis) merupakan infeksi yang disebabkan Candida albicans atau genus
kandida lainnya. Organisme ini menyerang kulit, kuku, membran mukosa, dan saluran
pencernaan, tetapi dapat 5 menyebabkan penyakit sistemik. Genus kandida heterogen dan terdiri
dari 200 spesies. Beberapa spesies bersifat patogen oportunistik terhadap manusia, tetapi spesies
yang lebih dominan adalah yang tidak menginfeksi manusia. Sekitar 17 spesies kandida telah
dilaporkan sebagai spesies patogen. Lebih dari 90% infeksi yang invasif dikaitkan dengan lima
spesies, yaitu Candida albicans, Candida glabrata, Candida 1,5 parapsilosis, Candida tropicalis,
dan Candida krusei. Kandida berukuran kecil (4-6 m), oval, berdinding tipis, yeast-like fungi yang
berkembangbiak dengan tunas atau fusi. Kandida berbentuk koloni halus, creamy 1 white, dan
mengkilat pada media kultur. Candida albicans merupakan fungi tersering penyebab penyakit
pada neonatus. Spesies kandida lain yang juga menyebabkan infeksi pada neonatus antara 2 lain
3
C.parapsilosis dan C.glabrata. Infeksi kandida mukokutan pada neonatus yang sering terjadi
berupa thrush (kandidiasis orofaring) dan ruam popok. Kolonisasi kandida di rongga mulut
dilaporkan tersering saat usia minggu ke empat kelahiran sebanyak 79%, tetapi dapat ditemukan
pada hari pertama kelahiran yaitu sebanyak 7% dan usia satu minggu 4 setelah kelahiran
sebanyak 37%.
Syok adalah sindrom klinis akibat kegagalan sistem sirkulasi dalam mencukupi
kebutuhan nutrien dan oksigen baik dari segi pasokan maupun utilisasinya untuk
metabolisme seluler jaringan tubuh, sehingga terjadi defisiensi akut okigen di tingkat
seluler.4
Pada anak gejala awal tidak sama bila dibandingkan orang dewasa karena fungsi
organ dan kemampuan kompensasi tubuh yang relatif berbeda sesuai dengan
perkembangan usia.5
4
positif) yang dikendalikan sistem neurohumoral adrenergik pada bayi berlangsung kurang
efisien karena jumlah unit otot miokard yang berkontraksi sangat sedikit dibandingkan
anak besar dan dewasa, akan tetapi pengaruh negatif terhadap kontraktilitas otot jantung
(inotropi negatif) sangat menonjol dan dapat terjadi karena hipoksia dan asidosis yang
akan menurunkan isi sekuncup dan curah jantung secara bermakna.1
Afterload ialah jumlah beban dalam jantung setelah kontraksi, bergantung kepada
tahanan (resistensi) aliran darah keluar dari jantung menuju sirkulasi sistemik (sistemik
vascular resistance = SVR) dan tahanan pembuluh darah paru (pulmonary vascular
resistance = PVR).1
Pada bayi dan anak, kemampuan meningkatkan isi sekuncup (SV) sangat terbatas
sehingga untuk mempertahankan curah jantung (CO) sangat ditentukan oleh laju jantung.
Laju jantung bayi lebih cepat dibandingkan dewasa dan berkisar antara 130-160 x
permenit yang akan menurun dengan bertambahnya umur, sebaliknya tekanan darah lebih
rendah yang akan meningkat sesuai bertambahnya usia.6
Pengendalian tekanan darah terutama dilakukan baroreseptor di sinus karotikus dan
arkus aorta, dengan rangsangan aferen melalui saraf simpatik dan vagus. Selain itu
pengendalian melalui kemoreseptor di aorta sangat penting dimana keadaan hipoksia akan
menyebabkan hipotensi, vasokonstriksi, aritmia, serta berkurangnya curah jantung,6
Pengangkutan oksigen yang sempurna dalam sirkulasi darah sangat menentukan agar
oksigenasi jaringan dapat berlangsung secara optimal. Keadaan vasokonstriksi/vasodilatasi
dan jumlah aliran darah akan mempengaruhi pengangkutan oksigen. Distribusi aliran
darah regional diatur melalui perangsangan neural dan lokal (autoregulasi) sesuai tingkat
metabolisme jaringan organ. Pada keadaan stres dan aktivitas fisik aliran darah akan
meningkat. Bila curah jantung menurun, maka tubuh akan mempertahankan aliran darah
ke daerah organ vital denegan metabolisme tinggi (jantung/otak) dengan mengurangi jatah
aliran ke daerah yang kurang penting (distribusi selektif).1
Pasokan oksigen (oxygen delivery) ditentukan oleh curah jantung (CO) dan oxygen
content dalam darah arterial (CaO2). Oxygen content dipengaruhi oleh jumlah oksigen
yang terikat pada hemoglobin dan yang terlarut dalam plasma. CaO2 = (1.34 x Hb x SaO2)
+ (0.003 x PaO2). Dengan demikian pasokan oksigen dapat diperbesar dengan
meningkatkan curah jantung (CO) atau degan menambah kapasitas angkut oksigen dengan
menambah kadar Hb (dengan transfusi PRC = packed red cell) atau jumlah oksigen yang
berkaitan engan Hb (saturasi O2= SaO2).5
5
Pelepasan oksigen ke jaringan (disosiasi) bergantung kepada afinitas hemoglobin-
oksigen.Makin besar afinitas Hb makin kurang efektif pelepasan O2 ke jaringan.Faktor
yang mempengaruhi afinitas Hb biasanya ditunjukkan dengan kurva disosiasi oksigen
yang dikaitkan dengan nilai PaO2 dan saturasi O2. Penurunan afinitas HbO2, disebut
pergesaran kurva disosiasi ke kanan dan sering disebabkan oleh keadaan asidemia,
hipertermia, hiperkarbia dan peningkatan kadar enzim 2-3 DPG (disfosfogliserat).
Peningkatan afinitas HbO2 disebut pergeseran kurva ke kiri yang dapat disebabkan
keadaan alkalemia, hipokarbia, hipotermi, dan kekurangan enzim 2-3 DPG.1
Oksigen sangat penting dalam proses metabolisme aerobik tubuh, setiap 1 mol
glukosa akan menghasilkan 38 ATP. Pada keadaan hipoksia yang berat dapat
menimbulkan metabolism anaerobik yang hanya menghasilkan 2 ATP, disamping itu
dihasilkan pula produksi metabolit lainnya yaitu asam laktat, asam butirat, badan keton,
dan lain-lain yang pada akhirnya akan menimbulkan asidosis metabolik. Asidosis sendiri
akan menurunkan kinerja jantung yang bersifat inotropik negatif.1
6
Pada fase ini mekanisme kompensasi mulai gagal mempertahankan curah jantung
yang adekuat dan sistem sirkulasi menjadi tidak efisien lagi. Jaringan dengan perfusi yang
buruk tidak lagi mendapat oksigen yang cukup, sehingga metabolisme berlangsung secara
anaerobik yang tidak efisien.Alur anaerobik menimbulkan penumpukan asam laktat dan
asam-asam lainnya yang berakhir dengan asidosis. Asidosis akan bertambah berat dengan
terbentuknya asam karbonat intraselular akibat ketidakmampuan sirkulasi membuang
CO2.1
Asidemia akan menghambat kontraktilitas otot jantung dan respons terhadap
katekolamin. Akibat lanjut asidosis akan menyebabkan terganggunya mekanisme energy
dependent NaK-pum di tingkat selular, akibatnya integritas membrane sel terganggu,
fungsi lisosom dan mitokondria akan memburuk yang dapat berakhir dengan kerusakan
sel. Lambatnya aliran darah dan kerusaksan reaksi rantai kinin serta sistem koagulasi dapat
memperburuk keadaan syok dengan timbulnya agregasi trombosit dan pembentukan
thrombus disertai tendensi perdarahan.5
Pada syok juga terjadi pelepasan mediator-vaskular antara lain histamin, serotonin,
sitokin (terutama TNF = tumor necrosis faktor dan interleukin I), xanthin oxidase yang
dapat membentuk oksigen radikal serta PAF (platelets aggregating factor). Pelepasan
mediator oleh makrofag merupakan adaptasi normal pada awal keadaan stress atay injury,
pada keadaan syok yang berlanjut justru dapat memperburuk keadaan karena terjadi
vasodilatasi arteriol dan peningkatan permeabilitas kapiler dengan akibat volume
intravaskular yang kembali ke jantung (venous return) semakin berkurang disertai
timbulnya depresi miokard.1,5
Manifestasi klinis yang dijumpai berupa takikardia yang bertambah, tekanan darah
mulai turun, perfusi perifer memburuk (kulit dingin dan mottled, capillary refilling
bertambah lama), oligouria dan asidosis (laju napas bertambah cepat dan dalam) dengan
depresi susunan saraf pusat (penurunan kesadaran).1
7
Manifestasi klinis berupa tekanan darah tidak terukur, nadi tak teraba, penurunan
kesadaran semakin turun, anuria dan tanda-tanda kegagalan sistem organ lain.1
8
darah capilarryleaks
Distributif Vasodilatai -> venous Sepsis,anafilaktik, intoksikasi
pooling -> penurunan obat, injuri spinal cord
preload
Obstruktif Obstruksi pengisian Tamponade jantung, tension
kardia/out flow pneumotoraks, emboli paru
Kardiogenik Penurunan kontraktilitas Penyakit jantung kongenital,
miokarditis, disritmia
Disosiatif O2 tidak dilepaskan oleh Keracunan karbonmonoksia,
hemoglobin methemoglobinemia
VII.Patofisiologi Syok
7.1 Laju Jantung
9
Peningkatan laju jantung (takikardia) merupakan respon awal terhadap stres (demam,
ansietas, hipoksia atau hipovolemia).Pada syok laju jantung meningkat akibat stimulasi
simpatis dengan pelepasan katekolamin sebagai upaya mempertahankan curah jantung.
Sedangkan pada syok bradikardia merupakan akibat lanjut hipoksia dan asidosis yang
merupakan tanda perburukan (pre-terminal sign).1,5
10
Pada syok hipovolemik, dengan kemampuan kompensasi tubuh anak dapat
mempertahankan nilai normal tekanan darah lebih lama dibandingkan orang dewasa.Bila
terjadi hipotensi berarti syok telah berlanjut ke fase dekompensasi. 5
Tabel 3. Tekanan darah
Umur Sistolik Diastolik
Neonatus (1 bulan) 85-100 51-65
Bayi (6 bulan) 87-105 53-66
Toddler (2 tahun) 95-105 53-66
Sekolah (7 tahun) 97-112 57-71
Remaja (15 tahun) 112-128 66-80
11
8.1. Resusitasi awal
1. Berikan oksigen (FiO2 100%), bilaperlu berikan ventilatory support. 1
2. Pasang akses vakular secepatnya (60-90 detik) untuk resusitasi cairan dan
diberikan sebanyak 20 ml/kg secepatnya kurang dari 10 menit) dengan cairan
kristaloid atau koloid yang dapat diulangi 2-3 kali sampai nadi teraba kembali. 1
8.2.Pemantauan awal
1. Nilai respon penderita terhaap pemberian fluid challenge (loading) dengan
memantau status kardiovaskular/ tanda vital dan perfusi perifer. Dengan
meningkatkan preload diharapkan kontraktilitas jantung menigkat dan curah
jantung bertambah, sehingga sirkulasi dapat diperbaiki kembali. 1
2. Pasang kateter urin untuk menilai respons perbaikan sirkulasi dengan memantau
produksi urin. 1
3. Ambil pemeriksaan urin dan darah sito untuk darah tepi, analisis gas darah, kadar
glukosa dan elektrolit (bila perlu kultur resistensi dan golongan darah). 1
8.3.Resusitasi lanjut
1. Bila resusitasi cairan telah diberikan (2-3 kali fluid challenge) dimana kurang
lebih 40-60% dari volume darah telah dimasukkan namun belum ada respon yang
adekuat, maka dilakukan tindakan intubasi dan bantuan ventilasi. Evaluasi hasil
analisis gas darah dankoreksi asidosis metabolik yang terjadi bila pH kurang dari
7,15. 1
2. Bila masih terdapat hipotensi dan nadi tidak teraba sebaiknya dipasang kateter
vena sentral untuk pemberian resusitasi cairan berikutnya berdasarkan nilai CVP
(central venous pressure). 1
3. Nilai kembali kenaikan CVP setelah pemberian fluid challenge secara berhati-hati
(metode Weil). 1
4. Evaluasi apakah efek inotropic negative yang terjadi pada syok telah dikoreksi,
sebelum pemberian obat inotropik dimulai. Obat vasoaktif diberikan bila diyakini
tidak terdapat lagi hipovolemik dan oksigenesi telah adekuat. 1
5. Bila kadar Hb < 5 g/dl, koreksi dengan transfuse PRC (10 ml/kgBB) dengan
golongan darah yang sesuai. Usahakan agar Hb lebih besar dari 10 g/dl dengan
nilai Ht 40-50 vol%.1
12
8.4.Pemantauan lanjut
1. Carilah penyebab syok lainnya yang mungkin terjadi (pendarahan akibat trauma
tumpul abdomen, pneumotoraks, syok kardiogenik, tamponade jantung dll). Foto
toraks secepatnya bila kondisi klinis stabil, konsultasi bedah bila diperlukan. 1,5
2. Setelah restorasi cairan dilakukan, berbagai kemungkinan disfungsi organ lain
akibat syok perlu dievaluasi untuk tatalaksana lanjutan. 1
2.1. Gagal ginjal prerenal (ATN = acute tubular necrosis) periksa kadar ureum,
kreatinin dan fraksi ekskresi natrium. 1
2.2. ARDS (acute respiratory ditress syndrome) edema dan kerusakan jaringan
paru dapat terjadi pasca syok, bantuan ventilasi mekanik dan pemberian
PEEP mungkin diperlukan. 1
2.3. Depresi miokard.
Untuk memperbaiki kontraktilitas jantung obat inotropic positif dan
pemantauan intensif mungkin diperlukan (pemasangan kateter Swan Gans). 1
2.4. Ganguan koagulasi/ pembekuan
Akibat lanjut syok dapat timbul DIC (Dissminated Intravascular
Coagulation), hal tersebut perlu dicermati, bila timbul kecenderungan
perdarahan. Untuk menegakkan diagnosis dilakukan pemeriksaan gangguan
pembekuan/ masa perdarahan (TT, PT, APTT, INR, FDP, trombosit, D-
dimer, fibrinogen). 1,6
2.5. SSP, dan organ lain
Evaluasi gejala sisa, SSP sangat penting, mengingat organ ini sangat sensitif
terhadap hipoksik iskemik yang dapat terjadi pada syok berkepanjangan
(prolonged shock). Demikian pula organ lainnya harus dipantau seperti hati
dan saluran cerna.6
13
a. Stadium hiperdinamik (warm shock)
Pada saat awal kompensasi tubuh berupa peningkatan curah jantung dan
penurunan SVR akan bermanifestasi dengan adanya hiperpireksia, hiperventilasi,
takikardia dengan gangguan kesadaran disertai akral/ kulit yang hangat dengan
bounding pulse.1
b. Stadium dekompensasi (Cold shock)
Bila terapi tak diberikan secara adekuat, kompensai tubuh akan gagal
mempertahankan curah yang adekuat. Pada fase lanjut ini akibat penurunan SVR
terjadi hipotensi dan hipoksia jaringan disertai metabolisme anaerob.
Hipovolemia dapat terjadi akibat berkurangnya volume cairan intravaskuler
karena peningkatan permeabilitas kapiler. Mengingat cadangan jantung (cardiac
reserve) yang kecil pada bayi dan anak, maka keadaan hipovolemik tersebut akan
dapat menimbulkan keadaan yang mirip seperti fase dekompensasi pada syok
hipovolemik.1
c. Tatalaksana Syok Septik
Penyebab syok septik terutama adalah bakteri gram negatif disamping gram
positif. Oleh karena itu pada tatalaksana syok septik pemberian antibiotika harus
disesuaikan dengan kuman penyebab. Biasanya pada saat awal diberikan
antibiotik yang bersifat broad spectrum, sambil menunggu hasil kultur dan
resistensi.1
Bila setelah pemberian resusitasi cairan awal tidak atau kurang berhasil, maka
dapat diberikan obat inotropik. Pemberian dobutamin dengan kombinasi dopamin
dosis rendah akan menguntungkan perfusi ginjal. Bla masih tidak berhasil
hipotensi masih berlanjut dapat dicoba pemberian isoprenalin atau adrenalin.1
Pada syok septik yang berat dan berlanjut dimana telah terjadi peningkatan
SVR dapat vasodilatasi perifer (nitropusid).1
Koreksi gangguan keseimbangan asam basa dan elektrolit dilakukan sesuai
dengan hasil pemeriksaan yang ada. Bila terdapat hipokalsemia harus dikoreksi
secara hati-hati, karena bila terlampau cepat dapat menyebabkan bradikardia.1
14
Reaksi anafilaksis bersifat life threathening deangan gejala klinis timbulnya rash
kemerahan pada kulit, wheezing, stridor atau edema larings dan syok distributif akibat
pelepasan mediator yang menimbulkan vasodilasi akut pembuluh darah serta kehilangan
cairan intravaskuler akibat gangguan permeabilitas kapiler. Sehingga penatalaksanaan
utama syok anafilaksis ditujukan untuk mempertahankan jalan napas yang lancar,
pemberian vasokonstriktor (adrenalin) dan resusitasi cairan yang adekuat.1
Tatalaksana syok anafilaktik1:
1. Hentikan pemberian alergn penyebab (bila mungkin), berikan adrenalin
10g/kgBB/IM.
2. Pertahankan jalan napas yang lancar dan pernapasan yang adekuat. Bila
terdapat whezzing dapat diberikan nebulasi adrenalin (5 ml dengan larutan
1:1000) atau dilakukan intubasi/ surgical airway bila terdapat sumbatan jalan
napas.
3. Periksa status sirkulasi penderita, bila terjadi arrest lakukan segera resusitasi
kardio pulmonal (CPR), pasang segera akses vaskuler untuk pemberian
resusirasi cairan (20 ml/kgBB sevara IV/intraoseus).
4. Reassesment ABC resusitasi dan dilakukan tindakan CRP lanjutan.
4.1. Bila masih terdapat wheezing berikan inhalasi salbutamol (5 mg setiap
15 menit).
4.2. Bila perlu dilanjutkan dengan pemberian hidrokortison (4 mg/kgBB/IV),
jika perlu dapat ditambahkan aminofilin drip (dosis initial 6
mg/kgBB/IV dilanjutkan 1 mg/kg/jam) atau salbutamol drip (initial 4-6
mg/kg 4-6 mg/kg/IV selanjutnya 0,5-1 mg/kg/menit).
Bila masih terdapat syok, resusitasi cairan dilakukan dengan pemberian
koloid (maksimal 20 ml/kg/hari) dilanjutkan dengan obat inotropik
15
justru pengurangan sirkulasi aliran koroner, sehingga menurunkan pasokan oksigen
miokard.1
Peningkatan volume sirkulasi sentral oleh karena kompensasi retensi natrium dan air
serta pengosongan ventrikel yang tidak sempurna sewaktu fase sistolik karena takikardia
yang terjadi ditambah penurunan kontraktilitas miokard akan menghasilkan peningkatan
tekanan dan volume dalam ventrikel kiri dengan akibat lanjut terganggunya aliran darah
subendokardial. Sedangkan vasokontriksi sistemik yang terjadi akan meningkatkan
afterload yang menambah beban kerja ventikel yang sudah terganggu sehingga akhirnya
curah jantung akan pada syok kardiogenik jarang terpantau, sehingga perjalanan syok
cepat memburuk yang berakhir dengan kematian.1
Mengingat faktor determinan yang mempengaruhi cardiac ventricular perfomance
adalah laju dan irama jantung, preload, afterload, dan kontraktilitas miokard, maka
tatalaksana syok kardiogenik harus memperhitungkan faktor-faktor di atas.1
Tatalaksana syok kardiogenik1:
1. Oksigenasi adekuat, pertahankan PaO2lebih dari 65-70 mmHg pada penyakit
jantung bawaan.
2. Koreksi gangguan asam basa dan elektrolit yang terjadi.
3. Kurangi rasa sakit dan ansietas.
4. Atasi distrimia jantung yang mungkin terjadi.
5. Kurangi kelebihan preload dengan diuretika.
6. Fluid challenge diberikan secara hati-hati untuk memperbaiki kontraktilitas
jantung bila tidak ada udema paru, pantau dengan ketat berdasarkan nilai
CVP/POAP.
7. Perbaiki kontraktilitas dengan obat inotropik tanpa menambah konsumsi
oksigen miokard.
8. Kurangi beban afterload (SVR tinggi) dengan venodilator.
9. Atasi hal-hal yang berkaitan dengan penyebab primer kelainan jantung.
16
Tindakan bedah misalnya perikardiosentesis pada tamponade jantung atau pemasangan
WSD (water sealed drainage) pada pneumotoraks merupakan tindakan life saving.1
DAFTAR PUSTAKA
1. Latief, Abdul., dkk.Kumpulan Materi Pelatihan Resusitasi Pediatrik Tahap Lanjut.
2006.
2. Mtaweh, Haifa., et al. Advances in Monitoring and Management of Shock. 2013.
USA: NIH Public Access
17
3. Weiss, Scott L., et al. Global Epidemiology of Pediatric Severe Sepsis: The Sepsis
Prevalence, Outcomes, and Therapies Study.2015. USA: Pubmed
4. Pudjiadi,Anonius H.,dkk.Syok dalam Pedoman Pelayanan Medis Jilid
5. Kushartono, Hari.Syok dalam Buku Ajar Pediatri Gawat Darurat.2013. Jakarta: IDAI.
6. Sherwood, L.Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem Edisi 6. Jakarta: EGC.
18