Anda di halaman 1dari 8

Nama : Syifa Nadiah

NIM : 1700553
Kelas : PPB B 2017

Resum Seminar Nasional Pedagogik 2017

1. Penguatan Pendidikan Karakter dalam Menghadapi Tantangan Global di Era


Digital oleh Prof. Dr. H. Yaya Sukjaya Kusumah, M.Sc. (Universitas Pendidikan
Indonesia)
Terdapat imbas perkembangan dunia di era globalisasi yaitu perubahan tatanan dan
pola kehidpan, perubahan tata nilai dan karakter, perubahan pola pikir dan perubahan pola
kebiasaan. Kemudian terdapat nilai dalam tatanan kehidupan seperti keberagaman
budaya, suku dan agama, kejujuran, kepatuhan disiplin dan tanggung jawab, keadilan dan
empati/kepedulian serta semangat.
Kita harus menjadikan keberagaman budaya, suku dan beragama sebagai semangat,
kekuatan, sebagai modal untuk bekerja sama dan berbagi dan bersatu. Selain itu, kita
harus jujur dalam menjalankan tugas dan kewajiban serta amanah yang kita emban.
Dalam menerapkan keadilan dalam kehidupan kita tidak boleh berperilaku diskriminatif,
harus mengakui eksitensi individu dan kelompok, mengakui perlunya kesetaraan layanan
dan pemberian hak, kemudian memberi kesempatan dan layanan yang wajar serta layak
dalam menuntut ilmu. Bentuk empati atau kepedulian kita terhadap orang lain juga harus
diterapkan, kita harus peduli terhadap sesama anggota dalam kelompok (pendidik) untuk
saling berbagi, kemudian kita harus peduli terhadap generasi calon penerus untuk
menjadikannya generasi yang lebih baik dari generasi sebelumnya. Kita juga harus
bersemangat, karena semangat dapat membangun motivasi untuk berpikir dan bertindak,
menumbuhkan kekuatan mental serta meringkankan beban yang kita tanggung.
Ada 18 butir nilai-nilai pendidikan karakter, diantaranya religius, jujur, toleransi,
disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, keingintahuan, semangat kebangsaan,
cinta tanah air, peduli lingkungan, menghargai prestasi, bersahabat, cinta damai, gemar
membaca, peduli sosial dan bertanggung jawab.
2. Peran Nilai Budaya dan Kearifan Lokal Dalam Pendidikan Karakter Bangsa
oleh Prof. Dr. H. Sunaryo Kartadinata, M.Pd. (Profesor Ilmu Pendidikan bidang
Bimbingan dan Konseling Universitas Pendidikan Indonesia)
Kehidupan manusia dan budaya bisa dibilang sebuah satu kesatuan yang tidak
dapat dipisahkan, karena manusia diharuskan selalu bersinggungan dengan
lingkungan sekitar untuk mempertahankan eksitensinya dalam kehidupan
bermasyarakat. Jati diri ialah sebuah komponen yang terbentuk dari proses pembuatan
budaya. Di dalam jati diri terkandung kearifan lokal (local wisdom) yang merupakan
hasil dari Local Genius dari berbagai suku bangsa, kearifan lokal inilah seharusnya
dirajut dalam satu kesatuan kebudayaan (Culture). Namun budaya kita telah
tersisihkan oleh budaya asing, contohnya penggunaan bahasa asing di media massa
dan media elektronik bukan tidak mungkin menyebabkan kecintaan pada nilai budaya
lokal perlahan memudar. Agar eksistensi budaya tetap kukuh, maka kepada generasi
penerus dan pelurus perjuangan bangsa perlu ditanamkan rasa cinta
akankebudayaanlokal khususnya di daerah. Salah satu cara yang dapat ditempuhdi
sekolah adalah dengan cara mengintegrasikan nilai-nilai kearifan budaya lokal dalam
proses pembelajaran, ekstra kurikuler, atau kegiatan kesiswaan di sekolah. Misalnya
dengan mengaplikasikan secara optimal Pendidikan Karakter Berbasis Kearifan
Budaya Lokal.
Kearifan lokal merupakan akumulasi dari pengetahuan dan kebijakan yang
tumbuh dan berkembang dalam sebuah komunitas yang merepresentasikan perspektif
teologis, kosmologis dan sosiologisnya. Upaya membangun karakter pemuda berbasis
kearifan budaya lokal sejak dini melalui jalur pendidikan dianggap sebagai langkah
yang tepat. Melalui pendidikan di Sekolah diharapkan akan menghasilkan sumber
daya manusia Indonesia yang berkualitas
Hal penting yang mendasari pendidikan karakter di sekolah adalah penanaman
nilai karakter bangsa tidak akan berhasil melalui pemberian informasi dan doktrin
belaka. Karakter bangsa yang berbudi luhur, sopan santun, ramah tamah, gotong
royong, disiplin, taat aturan yang berlaku dan sebagainya, perlu metode pembiasaan
dan keteladanan dari semua unsur pendidikan di sekolah.
3. Pedagogik Berbasis Keluarga oleh Dr. Sukiman, M.Pd. (Direktur Pembinaan
Pendidikan Keluarga (Kemendikbud))
Pedagogik berbasis keluarga tercetus setelah melihat data dari Komisi
Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang menunjukkan tingkat kejahatan yang
dilakukan anak tahun 2016 dalam bentuk kekerasan fisik, kekerasan psikis ataupun
seksual, pencurian, pembunuhan dan lain sebagainya meningkat dari tahun
sebelumnya. Kemudian berita terkait masalah kenakalan anak seakan tidak ada
habisnya dan peristiwa kekerasan atau perundungan (bullying) masih menjadi
masalah yang belum terselesaikan. Motif pelaku beragam, antara lain kebencian,
dendam, superioritas, atau sekedar mencari kepuasan diri dan pelaku seringkali
tidak peduli terhadap penderitaan korban, bahkan merasa puas jika dampaknya serius
terhadap korban.
Maka dari itu, pendidikan karakter di sekolah tidaklah cukup, keluarga perlu
dilibatkan dalam pendidikan anak agar terwujud kerjasama dan keselarasan program
pendidikan di sekolah, keterlibatan keluarga dalam pendidikan anak disebut sebagai
pedagogik berbasis keluarga. Pedagogik berbasis keluarga, mendorong pelibatan
aktif keluarga dalam mendukung pendidikan anak mereka di sekolah. Tujuannya
untuk menciptakan kolaborasi positif antara orang tua dan sekolah agar program
pendidikan budi pekerti yang dikembangkan dapat selaras untuk mempersiapkan
generasi penerus yang berkarakter, cerdas, dan kreatif. Selain itu, tujuan pendidikan
adalah untuk menumbuhkan karakter peserta didik agar mereka dapat berperilaku
bijak kepada orang lain.
Ada metode dalam pendidikan karakter, yaitu ACB = Ajarkan Contohkan
Biasakan. Kemudian ada metode yang dirumuskan oleh para ahli pedagogik yang
intinya bermuara pada pengajaran, keteladanan, dan pembiasaan. Pengajaran
bertujuan agar anak memahami mengapa perilaku seperti itu baik. Keteladanan
diperlukan sebagai figur panutan. Pembiasaan diperlukan sebagai proses
pembudayaan, sehingga nilai-nilai karakter tersebut menjadi perilaku yang permanen.
Pendidikan karakter dalam keluarga merupakan salah satu pelaksanaan fungsi
sebagai pendidik yang pertama serta utama bagi anak dan prosesnya melekat dalam
keseharian dan sepanjang kehidupan anak. Harus mengedepankan keteladanan atau
panutan, menggunakan pendekatan pengasuhan positif dan selaras dengan yang
dilakukan di sekolah serta norma-norma yang berlaku di lingkungannya serta
menjunjung tinggi nilai-nilai agama, Pancasila, dan Undang-Undang Dasar 1945.
Tujuannya, untuk mewujudkan kerjasama dan keselarasan program pendidikan di
sekolah, keluarga, dan masyarakat sebagai tri sentra pendidikan dalam membangun
ekosistem pendidikan yang menumbuhkan karakter dan budaya berprestasi peserta
didik.
Selain keluarga, peran masyarakat dalam membangun karakter anak juga
sangatlah penting, mengingat masyarakat merupakan lingkungan keseharian anak.
Masyarakat dituntut memperdulikan perkembangan anak, terutama masyarakat di
lingkungan sekolah dan di lingkungan tempat tinggal anak. Kepedulian ini dapat
dibangun melalui komitmen bersama: sekolah dengan lingkungan dan antar tetangga
di rumah.
Ada beberapa program yang melibatkan keluarga dalam satdik, yaitu :
Pertemuan dengan wali kelas minimal dua kali/semester
Pertemuan ini dimaksudkan untuk saling memberikan informasi antara
walikelas dan orangtua mengenai perkembangan anak. Serta membicarakan
mengenai harapan-harapan sekolah juga harapan-harapan orangtua terhadap
sekolah.
Mengikuti kelas orang tua (parenting) minimal dua kali/tahun
Kelas orang tua diselenggarakan oleh paguyuban orang tua yang anaknya
sekelas. Tujuannya untuk memberikan wawasan tambahan kepada orang tua atau
sekedar sebagai wadah untuk saling berbagi atau membahas hal-hal yang
dipandang perlu dalam mendukung kemajuan pendidikan anak-anak mereka.
Pelibatan orang tua terpilih sebagai nara sumber kelas inspirasi
Kelas inspirasi bertujuan untuk memberikan motivasi atau inspirasi kepada
para siswa dan narasumbernya melibatkan alumni dan tokoh sukses , tetapi yang
paling baik jika narasumbernya adalah orang tua.
Pelibatan Ortu dalam pameran karya dan pentas akhir tahun
Pentas akhir tahun bertujuan untuk menggembirakan anak setelah mereka
berhasil menyelesaikan seluruh tugasnya sebagai pelajar dengan cara pameran
karya anak, atau pentas seni serta memberikannya penghargaan sebagai bentuk
apresiasi.
Kemudian Bapak Sukiman mengatakan bahwa orang tua yang baik itu adalah
orang tua yang terlibat terhadap proses pendidikan anaknya.
4. Pedagogik Berbasis Agama oleh Prof. Dr. H. Syihabuddin, M.Pd. (Pakar
Pedagogik Spiritual Universitas Pendidikan Indonesia)
Prof. Syihabuddin memaparkan bahwa pendekatan ilmu disiplin ada Core
Discipline, Cross Cutting Theme dan Societyand Economic Benefit. Core Discipline
terdapat beberapa aspek, yaitu fakultas teknik, fakultas bahasa, fakultas kedokteran,
fakultas ilmu budaya, fakultas ilmu politik dan fakultas lainnya. Cross Cutting Theme
terdapat 5 aspek, yaitu kesehatan, energi, lingkungan, HAM dan keamanan.
Beliau juga memaparkan mengenai pendidikan yang berbasis filsafat dan teori
barat akan melahirkan pedagogik. Pendidikan yang berbasis budaya dan kearifan
lokal akan melahirkan Etnopedagogik. Kemudian ada pendidikan yang berbasis nilai-
nilai agama dan nilai-nilai kerasulan, pedagogik berbasis nilai-nilai spiritual dan
pedagogik berbasis lingkungan.
Terdapat siklus pendidikan berbasis agama, seperti bagan dibawah ini.

Selain itu, dalam implementasi pedagogik berbasis agama terdapat dua model,
yang pertama adalah model profetik yang dibagi menjadi tiga bagian yaitu tilawah,
tazkiyah dan talim. Dan yang kedua adalah model M-3 (Munazhara, Mudzakarah
dan Muhasabah).
Tiga bagian dari model profetik seperti tilwah, tazkiyah dan talim adalah
sebuah proses pendekatan profetik yang berasal dari guru (Allah SWT, Nabi dan
Manusia), manusia (An-Nafs) , insane kamil dan materi seperti alkitab dan
sunatulllah. Untuk lebih jelasnya, lihat bagan.
Komponen pendidikan melalui Tilawah
Pelaku : Allah Swt., Nabi Saw., orang beriman, ahli kitab, manusia
Proses : Membaca, membacakan, menjelaskan dan menulis
Materi : Al-Quran, tanda-tanda kekuasaan Allah Swt., mukjizat dan pelajaran
Sasaran : Nabi dan Rasul, orang muslim dan non, ahli kitab dan manusia
Komponen pendidikan melalui Tazkiyah
Pelaku : Allah Swt., Nabi Saw., orang beriman
Proses : Beriman, melakukan amal saleh (ibadah), mengembangkan potensi
Materi : Keimanan,ibadah, Al-Quran, mukjizat, argumentasi, kekuasaan Allah
Sasaran : An-Nafs (Akal, qalbu, nafsu), sisi buruk an-Nafs
Komponen pendidikan melalui Talim
Pelaku : Allah SWT, Nabi Saw., orang beriman dan manusia
Proses : Mengajar melalui tanda dan media, mengajar berulang-ulang
Materi : Al-Quran, Al-hikmah, tanda- tanda kekuasaan Allah
Sasaran : Nabi, manusia dan binatang
Kemudian mengaplikasikan pendekatan profetik melalui pembelajaran M-3
dengan cara ilmu yang berada dalam qalbu, dieksternalisasi oleh pendidik melalui
ayat-ayat Allah pada diri dan alam semesta, sehingga diperoleh pemahaman
(Tilawah). Lalu siswa/mahasiswa membawa pemahamannya ke ruang kelas untuk
diluruskan dan dikembangkan (di-tazkiyah), kemudian guru mengajarkan (talim)
siswa dalam menginferensi rujukan (Alkitab) dan memaknai pengalaman nyata ke
dalam bentuk nilai-nilai (Alhikmah).
Model M-3 berlandaskan pada surah al-Ghasyiyah ayat 17 26, yaitu sebuah
proses untuk memperoleh pengetahuan, pengalaman, dan nilai-nilai dilakukan dengan
menggunakan panca indra yang akan mengantarkan berbagai informasi ke dalam
otak manusia (ru`yah, surah al-Waqih). Yang kemudian informasi itu diolah dengan
tafakur dan tadabbur yang diistilah dengan munazharah. Olah pikir itu menghasilkan
ilmu dan keyakinan yang realistis ('ain al-yaqin). Ilmu dan keyakinan tersebut perlu
diperkuat, dipelihara, diinternalisasikan dan dimaknai dengan menggunakan daya
nalar dan daya qalbu (mudzakarah). Proses mudzakarah menghasilkan ilmu yang
diyakini kebenarannya, yaitu ilm al-yaqin. Ilmu yang demikian perlu terus dievaluasi
dan direfleksi dengan memvalidasi, menimbang kekurangan dan kelebihannya,
mendokumentasikan, dan menyajikan atau mendakwahkannya melalui muhasabah.
Proses muhasabah melahirkan ilmu yang valid dan telah teruji kebenarannya yang
disebut haq al-yaqin.

Munazharah
Nazhara
- Melihat dengan mata (muayanah)
- Menyaksikan (musyahadah)
- Mengamati (mulahazhah)
Ra`a
- Melihat dengan indra atau alat yang ekuivalen dengan indra
- Melihat dengan al-wahmu (ilusi)
- Melihat dengan at-takhayyul (imajinasi)
- Melihat dengan akal
- Menduga dengan kuat
Bashara
- Melihat dengan mata, menggunakan daya pada organ mata
- Melihat dengan daya pada qalbu menggunakan qalbu yang melihat dengan tajam
Mudzakarah
Mengingat Allah dengan membaca Alquran atau menyebut nama-Nya
Menuturkan sesuatu secara berulang-ulang, mengemukakan sifat yang khas dari
sesuatu
Mengingat sesuatu setelah lupa (al-muhafazhah), melakukan kegiatan mengingat
(mudzakarah)
Mengingat sarana pengingat (tadzkirah) mengekspresikan isi qalbu secara lisan.

Muhasabah
Menggunakan bilangan
Meminta tanggung jawab atas perbuatan yang telah dilakukan
Mengevaluasi diri atas apa yang telah dilakukan
Mencatat dan menghitung
Mendokumentasikan dan menyajikan hasil pencatatan
Merefleksi apa yang telah dilakukan

Anda mungkin juga menyukai