Anda di halaman 1dari 20

BAB I

LAPORAN KASUS

PUSKESMAS JONGAYA

I.1. IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn. N

No. RM : pd- 0268

Umur : 35 tahun

Status Marital : Menikah

Pekerjaan : Wiraswasta

Agama : Islam

Alamat : Jalan A. Tonro Kom. Perikanan

Tanggal masuk : 10 November 2017

I.2. DATA DASAR

I.2.1. ANAMNESA (Subyektif)

Autoanamnesa tanggal 10 November 2017

Cara masuk RS :Poli Umum Puskesmas Jongaya

KELUHAN UTAMA : nyeri ulu hati (+)


RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG :

Pasien datang di Poli Umum Puskesmas Jongaya pada 10 November 2017


pukul 10.00 WIB. Pasien mengeluh nyeri ulu hati sejak kemarin, terus
menerus, seperti melilit, kembung, mual (+), muntah (-), demam dan nyeri
kepala sejak 2 hari yang lalu, sesak nafas dan nyeri dada kiri (-), disfagia (-
), odinofagia (-), penurunan berat badan (-), BAB dan BAK biasa.

RIWAYAT PENYAKIT DAHULU :

Riwayat penyakit kencing manis : Disangkal

Riwayat penyakit darah tinggi : Disangkal

Riwayat penyakit jantung : Disangkal

Riwayat keluhan yang sama sebelumnya : Sering mengeluh keluhan


yang sama jika telat makan,
namun belum pernah diobati.

RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA:

Riwayat penyakit kencing manis : Disangkal

Riwayat penyakit darah tinggi : Disangkal

Riwayat penyakit jantung : Disangkal

Riwayat penyakit ginjal : Disangkal

I.2.2. PEMERIKSAAN FISIK (Obyektif)

Tanggal 10 November 2017

Keadaan umum : sakit sedang


Kesadaran : compos mentis

Tanda vital : Tekanan darah = 130/90 mmHg

Nadi = 80x/menit

Suhu = 37,8 0C

RR = 24x/menit

SPO2 = 95%

Kulit : Turgor kulit supel

Kepala : Normocephal, rambut hitam, distribusi merata,


tidak mudah dicabut.

Wajah : Simetris, ekspresi wajar

Mata : Edama palpebra -/-, conjungtiva anemis (-/-),


sklera ikterik -/-

Telinga : Bentuk normal, simetris, lubang lapang, serumen -/-

Hidung : Bentuk normal, tidak ada septum deviasi

Mulut : Bibir basah, faring tidak hiperemis, Tonsil T1-T1


tenang, lidah kotor (-)

Leher : Simetris, tidak tampak pembesaran kelenjar tiroid,


tidak ada deviasi trakhea, tidak teraba pembesaran
KGB.

Thorak : retraksi suprasternal (-)

Pulmo: I : thorax simetris dengan ekspansi baik


P : Fremitus taktil kanan = kiri, ekspansi
dinding dada simetris

P : Sonor di kedua lapang paru

A : Vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-


/-)

Cor : I : Tidak tampak iktus cordis

P : Iktus cordis tidak teraba

P : Batas atas ICS III linea parasternal


sinistra

Batas kiri ICS VI linea midklavicula


sinistra

Batas kanan ICS IV linea stemalis


dextra

A : BJ I dan II reguler, Gallop -/-, Murmur -


/-

Abdomen :I : Datar

A : Bising usus (+)

P : Dinding perut supel, turgor kulit baik

Hepar & Lien tidak teraba membesar

Terdapat nyeri tekan epigastrium

P : Timpani
Ekstremitas : Edema tungkai (-), sianosis (-), capillary refill <
2detik

I.3. RESUME

S : Pasien datang di Poli Umum Puskesmas Jongaya


pada 10 November 2017 pukul 10.00 WIB. Pasien
mengeluh nyeri ulu hati sejak kemarin, terus menerus,
seperti melilit, kembung, mual (+), muntah (-), demam dan
nyeri kepala sejak 2 hari yang lalu, sesak nafas dan nyeri
dada kiri (-), disfagia (-), odinofagia (-), penurunan berat
badan (-), BAB dan BAK biasa.

O : Pada pemeriksaan fisik didapatkan pasien tampak sakit


sedang dengan kesadaran compos mentis. Pemeriksaan
tanda vital didapatkan tekanan darah 130/90 mmHg, nadi
80x/menit, suhu: 37,80C dan respirasi 24x/menit. Pada
pemeriksaan fisik kepala, wajah, hidung, telinga, leher,
jantung, pulmo dan ekstremitas tidak didapatkan adanya
kelainan. Pada pemeriksaan fisik abdomen terdapat nyeri
tekan epigastrium.. Pada pasien ini, disarankan untuk
dilakukan pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan
laboratorium darah rutin, kimia darah dan
serologi/immunologi.

A : - Dispepsia

P : - Ranitidine 3x1 - Vitamin Bcom 1x1

- PCT 3X1
BAB II

PENDAHULUAN

Dispesia merupakan nyeri kronis atau berulang atau ketidaknyamanan

berpusat di perut bagian atas. Kumpulan keluhan/gejala klinis yang terdiri dari

rasa tidak enak/sakit di perut bagian atas yang menetap atau mengalami

kekambuhan. Gejalanya meliputi nyeri epigastrium, perasaan cepat kenyang

(tidak dapat menyelesaikan makanan dalam porsi yang normal), dan rasa penuh

setelah makan.1

Dispepsia terbagi menjadi dua jenis, yaitu dispepsia organik dan dispepsia

fungsional. Disebut dispepsia organik apabila penyebabnya telah diketahui

dengan jelas dan disebut dispepsia fungsional bila tidak ada kelainan organik

tetapi merupakan kelainan fungsi dari saluran makanan.2

Dispepsia fungsional merupakan manifestasi nyeri perut berulang

terbanyak kedua setelah IBS. Angka prevalensinya sekitar 15.9% dari keseluruhan

nyeri perut berulang. Suatu penelitian pada anak dan remaja berusia di atas 5

tahun yang mengeluhkan sakit perut, rasa tidak nyaman, dan mual sedikitnya

dalam waktu satu bulan, ditemukan 62% merupakan dispepsia fungsional dan
2
35% dijumpai adanya peradangan mukosa. Pada anak usia di bawah 4 tahun

sebagian besar disebabkan kelainan organik, sedangkan pada usia di atasnya

kelainan fungsional merupakan penyebab terbanyak.3


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINSI

Dispepsia berasal dari bahasa Yunani (dys : sulit dan pepsis :


1
pencernaan). Dispepsia merupakan kumpulan gejala atau keluhan klinis yang

terdiri dari rasa tidak enak atau nyeri di perut bagian atas yang menetap atau
4
mengalami kekambuhan. Dispepsia terbagi menjadi dua jenis, yaitu dispepsia

organik dan dispepsia fungsional. Disebut dispepsia organik apabila penyebabnya

telah diketahui dengan jelas dan disebut dispepsia fungsional bila tidak ada
2
kelainan organik tetapi merupakan kelainan fungsi dari saluran makanan.

Menurut kriteria ROME III, dispepsia fungsional harus memenuhi semua

kriteria di bawah ini yang dialami sekurang-kurangnya satu kali seminggu selama
5
minimal dua bulan sebelum diagnosis ditegakkan.

a. Nyeri yang persisten dan berulang atau perasaan tidak nyaman yang

berasal dari perut bagian atas (di atas umbilikus) .

b. Nyeri tidak berkurang dengan defekasi atau tidak berhubungan dengan

suatu perubahan frekuensi buang air besar atau konsistensi feses.

c. Tidak ada bukti adanya proses inflamasi, kelainan anatomis, kelainan

metabolik atau neoplasma.


Dan menurut kriteria ROME III berdasarkan kriteria Kelainan

Gastroduodenal Fungsional, dispepsia fungsional harus memenuhi 1 atau lebih

dari kriteria dibawah ini pada 3 bulan terakhir atau setidaknya 6 bulan sebelum

diagnosis ditegakan.

a. Gangguan rasa penuh pada bagian Post Prandial

b. Rasa cepat kenyang

c. Nyeri Epigastrium

d. Rasa terbakar di Epigastrium

e. Tidak ada bukti penyakit struktural ( termasuk di endoskopi atas) yang

mungkin untuk menjelaskan gejala

B. EPIDEMIOLOGI

Dispepsia fungsional merupakan manifestasi nyeri perut berulang

terbanyak kedua setelah IBS. Angka prevalensinya sekitar 15.9% dari keseluruhan
6
nyeri perut berulang. Penelitian di Italia dengan menggunakan kriteria Rome II

menyatakan prevalensi dispepsia fungsional 0.3% dari seluruh kunjungan anak ke

pusat pelayanan primer.Penelitian di Amerika Utara menyatakan 12.5% sampai

15.9% anak berusia 4 sampai 18 tahun dirujuk ke pusat pelayanan kesehatan

tersier karena keluhan nyeri perut merupakan dispepsia fungsional.

Seiring dengan bertambah majunya ilmu pengetahuan dan alat-alat

kedokteran terutama endoskopi dan diketahuinya penyakit gastroduodenum yang

disebabkan Helicobacter pylori (Hp) maka diperkirakan makin banyak kelainan


organik yang dapat ditemukan. Suatu penelitian pada anak dan remaja berusia di

atas 5 tahun yang mengeluhkan sakit perut, rasa tidak nyaman, dan mual

sedikitnya dalam waktu satu bulan, ditemukan 62% merupakan dispepsia

fungsional dan 35% dijumpai adanya peradangan mukosa.4 Pada anak usia di

bawah 4 tahun sebagian besar disebabkan kelainan organik, sedangkan pada usia
3
di atasnya kelainan fungsional merupakan penyebab terbanyak.

C. PATOFISIOLOGI

Data mengenai penyebab berkembangnya dispepsia pada anak dan remaja

masih sangat terbatas. Beberapa faktor yang mendasari terjadinya dispepsia

fungsional, yaitu :

1. Gangguan motilitas dari saluran pencernaan

Pada pasien dispepsia fungsional ditemukan motilitas yang

abnormal yaitu ritme elektrik lambung yang ireguler dan gangguan

pengosongan lambung dan duodenum. Hal ini dibuktikan dengan gerakan

lambung dan duodenum kearah proksimal (gangguan motilitas


7
antoduodenal). Cepatnya proses pengosongan lambung terkait lambatnya

transit di usus ditemukan pada penderita dispepsia dengan kembung


8
sebagai gejala yang dominan.

2. Faktor Psikososial
Stres adalah faktor yang mempengaruhi dispepsia fungsional.

Keadaan emosional dapat mempengaruhi sentral dan inervasi usus, dan

keadaan stres akan mengubah aktivitas motorik dan sekretorik

gastrointestinal melalui mekanisme neuroendokrin. Keadaaan stres,

emosional dan abnormalitas sistem saraf otonom diduga juga akan


9
mengakibatkan gangguan gastrointestinal.

3. Faktor genetik

Genetik merupakan faktor predisposisi pada penderita gangguan

gastrointestinal fungsional. Faktor genetik dapat mengurangi jumlah

sitokin antiinflamasi seperti interleukin-10 (IL-10), transforming growth

factor- (TGF-). Penurunan sitokin antiinflamasi dapat menyebabkan


9
peningkatan sensitisasi pada usus.

4. Pengaruh Flora Bakteri

Infeksi Hp mempengaruhi terjadinya dispepsia fungsional.

Diketahui bahwa Hp dapat merubah sel neuroendokrin lambung. Sel

neuroendokrin menyebabkan peningkatan sekresi lambung dan

menurunkan tingkat somatostatin. Penyelidikan epidemiologi

menunjukkan kejadian infeksi Hp pada pasien dispepsia cukup tinggi,

walaupun masih ada perbedaan pendapat mengenai pengaruh Hp terhadap


10
dispepsia fungsional.

5. Hipersensitivitas viseral
Hipersensitivitas viseral adalah suatu hipotesis yang menerangkan

penyakit gastrointestinal. Hal ini berdasarkan adanya perubahan

mekanisme perifer. Sensasi nyeri viseral di saluran cerna ditransmisikan

dari saluran cerna ke otak dan selanjutnya di otak persepsi nyeri ini
9
diperluas. Pengamatan pada penderita dispepsia fungsional menunjukkan

meluasnya sensibilitas isobarik dan isovolumetrik proksimal lambung

bersama dengan timbulnya nyeri di epigastrium.11 Meningkatnya kepekaan

dinding lambung menunjukkan adanya disfungsi aktivitas saraf aferen.

Secara keseluruhan terganggunya aktivitas saraf aferen lambung

menyebabkan timbulnya gejala dispepsia. Hipersensitivitas viseral juga

dikaitkan dengan mekanisme sentral. Adanya perubahan persepsi nyeri di

perifer saluran cerna akan disaring dan dimodulasi oleh mekanisme sentral

pada tingkat spinal cord atau otak.9 Kemungkinan adanya interaksi antara

faktor psikososial dan fungsi sensori motor gastrointestinal, antara otak

dan usus (brain-gut axis).9

D. MANIFESTASI KLINIS

Klasifikasi klinis praktis membagi dispepsia berdasarkan atas keluhan/

gejala yang dominan menjadi tiga tipe yaitu :4

1. Dispepsia dengan keluhan seperti ulkus (ulkus-like dyspepsia) yang

ditandai dengan gejala nyeri yang berpusat di bagian medial kuadran atas
abdomen, dan biasanya gejala hilang dengan pemberian antasida atau

makanan, serta sering terbangun di malam hari.

2. Dispepsia dengan gejala seperti dismotilitas (dysmotility-like dyspepsia)

ditandai dengan gejala tidak nyaman ataupun mengganggu tetapi tidak

nyeri, disertai rasa penuh, cepat kenyang, kembung, ataupun mual.

3. Dispepsia non spesifik bila keluhan yang timbul tidak memenuhi kriteria

baik ulcer like dyspepsia maupun dysmotility-like dyspepsia.

Gejala-gejala dispepsia timbul baik berhubungan dengan kelainan organik


7
maupun fungsional. Kelainan organik yang mendasari gejala tersebut dicurigai
12
bila dijumpai tanda peringatan (alarm symptoms), yaitu :

- Nyeri terlokalisir, jauh dari umbilikus

- Nyeri menjalar (punggung, bahu, ekstremitas bawah)

- Nyeri sampai membangunkan anak pada malam hari

- Nyeri timbul tiba-tiba

- Disertai muntah berulang terutama muntah kehijauan

- Disertai gangguan motilitas (diare, obstipasi, inkontinensia)

- Disertai perdarahan saluran cerna

- Terdapat disuria

- Berhubungan dengan menstruasi

- Terdapat gangguan tumbuh kembang

- Terdapat gejala sistemik: demam, nafsu makan turun

- Terjadi pada usia < 4 tahun


- Terdapat organomegali

- Terdapat pembengkakan, kemerahan dan hangat pada sendi

- Kelainan perirektal: fisura, ulserasi

Jika dispepsia menetap selama lebih dari beberapa minggu, atau tidak

memberi respon terhadap pengobatan, atau disertai penurunan berat badan, maka
4
penderita perlu menjalani pemeriksaan.

E. PEMERIKSAAN

Anamnesis yang lengkap dan cermat sangat penting untuk penilaian

bahkan dapat mengarahkan pada diagnosis. Riwayat penyakit sebaiknya

mengeksplorasi riwayat makan, masalah psikologis, dan faktor sosial, sehingga

memungkinkan mencari hubungan antara gejala yang timbul dengan diet, aktivitas
12
ataupun faktor stres. Sebaiknya orangtua dan anak melengkapi keterangan

tentang gejala dan waktu timbul, lokasi, intensitas dan karakter nyeri dan rasa

tidak nyaman tersebut, waktu dan jenis asupan makanan, aktivitas harian, serta

pola defekasi.

Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk menyingkirkan adanya kelainan

organik, pemeriksaan untuk dispepsia terbagi pada beberapa bagian13

1. Pemeriksaan laboratorium, biasanya meliputi hitung jenis sel darah

yang lengkap dan pemeriksaan darah dalam tinja, dan urin. Jika

ditemukan leukositosis berarti ada tanda-tanda infeksi. Jika tampak


cair berlendir atau banyak mengandung lemak pada pemeriksaan tinja

kemungkinan menderita malabsorpsi. Seseorang yang diduga

menderita dispepsia ulkus sebaiknya diperiksa derajat keasaman

lambung. Jika diduga suatu keganasan, dapat diperiksa tumor marker

seperti CEA (dugaan karsinoma kolon), dan CA 19-9 (dugaan

karsinoma pankreas).

2. Barium enema untuk memeriksa saluran cerna pada orang yang

mengalami kesulitan menelan atau muntah, penurunan berat badan

atau mengalami nyeri yang membaik atau memburuk bila penderita

makan.

3. Endoskopi bisa digunakan untuk mendapatkan contoh jaringan dari

lapisan lambung melalui tindakan biopsi. Pemeriksaan nantinya di

bawah mikroskop untuk mengetahui apakah lambung terinfeksi

Helicobacter pylori. Endoskopi merupakan pemeriksaan baku emas,

selain sebagai diagnostik sekaligus terapeutik.

4. Pemeriksaan penunjang lainnya seperti foto polos abdomen, serologi

H. pylori, urea breath test, dan lain-lain dilakukan atas dasar indikasi.
F. PENATALAKSANAAN

1. Non Farmakologis

Gejala dapat dikurangi dengan menghindari makanan yang mengganggu,

diet tinggi lemak, kopi, alkohol, dan merokok. Selain itu, makanan kecil rendah

lemak dapat membantu mengurangi intensitas gejala. Ada juga yang

merekomendasikan untuk menghindari makan yang terlalu banyak terutama di

malam hari dan membagi asupan makanan sehari-hari menjadi beberapa makanan

kecil. Alternatif pengobatan yang lain termasuk hipnoterapi, terapi relaksasi dan

terapi perilaku.4,14

2. Farmakologis

Pengobatan dispepsia mengenal beberapa obat, yaitu14

1. Antasida

Golongan ini mudah didapat dan murah. Antasida akan menetralisir

sekresi asam lambung. Antasida biasanya mengandung natrium

bikarbonat, Al(OH)3, Mg(OH)2, dan magnesium trisiklat. Pemberian

antasida tidak dapat dilakukan terus-menerus, karena hanya bersifat

simtomatis untuk mengurangi nyeri. Magnesium trisiklat merupakan

adsorben nontoksik, namun dalam dosis besar akan menyebabkan diare

karena terbentuk senyawa MgCl2.

2. Antikolinergik
Kerja obat ini tidak sepsifik, Obat yang agak selektif adalah pirenzepin

yang bekerja sebagai anti reseptor muskarinik yang dapat menekan sekresi

asam lambung sekitar 28% sampai 43%. Pirenzepin juga memiliki efek

sitoprotektif.

3. Antagonis Reseptor H2

Golongan obat ini banyak digunakan untuk mengobati dispepsia organik

atau esensial seperti tukak peptik. Obat yang termasuk golongan ini adalah

simetidin, ranitidin, dan famotidin.

4. Proton pump inhibitor (PPI )

Golongan obat ini mengatur sekresi asam lambung pada stadium akhir dari

proses sekresi asam lambung. Obat-obat yang termasuk golongan PPI

adalah omeprazol, lansoprazol, dan pantoprazol.

5. Sitoprotektif

Prostaglandin sintetik seperti misoprostol (PGE1) dan enprostil (PGE2)

selain bersifat sitoprotektif juga menekan sekresi asam lambung oleh sel

parietal. Sukralfat berfungsi meningkatkan prostaglandin endogen, yang

selanjutnya memperbaiki mikrosirkulasi, meningkatkan produksi mucus

dan meningkatkan sekresi bikarbonat mukosa, serta membentuk lapisan

protektif (sile protective) yang bersenyawa dengan protein sekitar lesi

mukosa saluran cerna bagian atas.

6. Golongan Prokinetik
Obat yang termasuk golongan ini yaitu sisaprid, domperidon, dan

metoklopramid. Golongan ini cukup efektif untuk mengobati dispepsia

fungsional dan refluks esofagitis dengan mencegah refluks dan

memperbaiki asam lambung.

7. Golongan Anti Depresi

Kadang kala juga dibutuhkan psikoterapi dan psikofarmaka (obat anti

depresi dan cemas) pada pasien dengan dispepsia fungsional, karena tidak

jarang keluhan yang muncul berhubungan dengan faktor kejiwaan seperti

cemas dan depresi. Contoh dari obat ini adalah golongan trisiclic

antidepressants (TCA) seperti amitriptilin.

Pengobatan untuk dispepsia fungsional masih belum jelas. Beberapa

pengobatan yang telah didukung oleh bukti ilmiah adalah pemberantasan

Helicobacter pylori, PPI, dan terapi psikologi. Pengobatan yang belum didukung

bukti : antasida, antispasmodik, bismuth, terapi diet, terapi herbal, antagonis

reseptor H2, misoprostol, golongan prokinetik, selective serotonin-reuptake

inhibitor, sukralfat, dan antidepresan.14


BAB III

KESIMPULAN

Dispesia merupakan nyeri kronis atau berulang atau ketidaknyamanan

berpusat di perut bagian atas. Kumpulan keluhan/gejala klinis yang terdiri dari

rasa tidak enak/sakit di perut bagian atas yang menetap atau mengalami

kekambuhan. Gejalanya meliputi nyeri epigastrium, perasaan cepat kenyang

(tidak dapat menyelesaikan makanan dalam porsi yang normal), dan rasa penuh

setelah makan.

Data mengenai penyebab berkembangnya dispepsia pada anak dan remaja

masih sangat terbatas. Beberapa faktor yang mendasari terjadinya dispepsia

fungsional, yaitu gangguan motilitas dari saluran pencernaan, faktor psikososial,

faktor genetik, pengaruh flora bakteri, dan hipersensitivitas viseral. Dispepsia

dibagi menjadi tiga tipe yaitu dispepsia dengan keluhan seperti ulkus, dispepsia

dengan gejala dismotilitas, dan dispepsia non-spesifik.

Untuk terapi farmakologi pada dispepsia dapat menggunakan obat

antasida, antikolinergik, antagonis reseptor h2, PPI, Sitoprotektif, Golongan

Prokinetik, Psikoterapi dan Psikofarmaka. Pengobatan yang telah didukung oleh

bukti ilmiah adalah pemberantasan Helicobacter pylori, PPI, dan terapi psikologi.
DAFTAR PUSTAKA

1. Torpy JM, Lynm CS, Glass RM. Dyspepsia. JAMA. 2006;295(13):1612.

2. Wiryati AAM, Aryasa IKN, Suraatmaja S. Sakit perut akut pada anak.
Dalam: Suraatmaja S, penyunting. Kapita selekta gastroenterologi anak.
Jakarta: Sagung Seto, 2005. h.189-203.

3. McOmber ME, Shulman RJ. Recurrent abdominal pain and irritable bowel
syndrome in children. Curr Opin Pediatr. 2007;19:581-5.

4. Rerksuppaphol L, Rerksuppaphol S. Functional dyspepsia in children.


JMHS. 2007;14(2):78-89.

5. Rasquin A, Lorenzo CD, Forbes D, Guiraldes E, Hyams JS, Staiano A,


dkk. Childhood functional gastrointestinal disorders: Child/ adolescent.
Gastroenterology. 2006;130:1527-37

6. AAP Subcommittee and NASPGHAN Committee on Chronic Abdominal


pain. Chronic abdominal pain in children: A technical report of the
American Academy of Pediatrics and the North American Society for
Pediatric Gastroenterology, hepatology and Nutrition. JPGN.
2005;40:249-61

7. Devanarayana NM, Rajindrajith S, Janaka H. Recurrent abdominal pain in


children. Indian J Pediatr. 2009;46:389-96.

8. Cunningham CL, Banez GA. Pediatric gastrointestinal disorders. New


York: Springer, 2006. h.93-7.

9. Dobrek L, Thor PJ. Pathophysiologycal concepts of functional dyspepsia


and irritable bowel syndrome future pharmacotherapy. Acta Pol Pharm.
2009;66:447-60.

10. Casio S. Frequency of Helicobacter pylori infection using the Helicobacter


pylori stool antigen test (HPSAT) among children diagnosed with
dyspepsia. Pediatr Infect Dis J. 2009;10:1-6.
11. Chitkara D, Camilleri M, Alan R, Zinsmester AR, Burton D, El-Youssef
M, dkk. Gastric sensory and motor dysfunction in adolescents with
functional dyspepsia. Clin Enteric neurosci Translational and Epidemiol
Res. 2004;46:500-55.

12. Thomson M, Walker-Smith J. Dyspepsia in infants and children. Baillieres


Clin Gastroenterol. 2005;100:2324-37.

13. Salvini F, Granieri L, Gemmellaro L, Giovannini M. probiotics, prebiotics


and child health: where are we going. J Int Med Res. 2004;32:97-108.

14. Dobrek L, Thor PJ. Pathophysiologycal concepts of functional dyspepsia


and irritable bowel syndrome future pharmacotherapy. Acta Pol Pharm.
2009;66:447-60.

Anda mungkin juga menyukai