Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN PRAKTIKUM

PENGOLAHAN LIMBAH PETERNAKAN

Pengolahan Feses Sapi Perah Dan Jerami Padi Secara Terpadu Menjadi Pupuk

Organik Cair, Biogas, Feed Additve, Dan Pupuk Organik Padat

Oleh :

Rikma Suantika 200110130035

Kelas E

Kelompok 3

FAKULTAS PETERNAKAN

UNIVERSITAS PADJADJARAN

SUMEDANG

2015
I

Pendahuluan

1.1. Latar Belakang

1.2. Maksud dan Tujuan

Maksud dan tujuan dari pembuatan laporan ini adalah untuk mengetahui

cara pengolahan feses sapi perah dan jerami padi secara terpadu menjadi pupuk

organik cair, biogas, feed Additive, dan pupuk organik padat (kascing).

1.3. Waktu dan Tempat


Waktu : Praktikum dilaksanakan selama satu semester
Tempat : Laboratorium Pengolahan Limbah Fakultas Peternakan Universitas

Padjadjaran

II

Kajian Kepustakaan

2.1. Pupuk Organik Cair

Pupuk organik merupakan pupuk dengan bahan dasar yang diambil dari alam

dengan jumlah dan jenis unsur hara yang terkandung secara alami. Dapat dikatakan

bahwa pupuk organik merupakan salah satu bahan yang sangat penting dalam upaya

memperbaiki kesuburan tanah secara aman, dalam arti produk pertanian yang

dihasilkan terbebas dari bahan-bahan kimia yang berbahaya bagi kesehatan manusia

sehingga aman dikonsumsi. Banyaknya kandungan unsur hara yang ada di dalam lahan

pertanian yang ada di lahan saudara dapat dilihat secara sederhana dari penampakan

warna tanaman di lahan saudara. Misalnya ada tanaman yang kelihatan hijau sementara
yang lainnya terlihat kekuningan. Tanaman hijau menggambarkan bahwa tanah tersebut

mempunyai cukup unsur hara. Sedangkan tanaman yang berwarna kuning biasanya

menunjukkan bahwa tanah tersebut tidak cukup mempunyai unsur hara.

Untuk memudahkan unsur hara dapat diserap tanah dan tanaman bahan

organik dapat dibuat menjadi pupuk cair terlebih dahulu. Pupuk cair menyediakan

nitrogen dan unsur mineral lainnya yang dibutuhkan untuk pertumbuhan tanaman,

seperti halnya pupuk nitrogen kimia. Kehidupan binatang di dalam tanah juga terpacu

dengan penggunaan pupuk cair. Pupuk cair lebih mudah terserap oleh tanaman karena

unsur-unsur di dalamnya sudah terurai. Tanaman menyerap hara terutama melalui akar,

namun daun juga punya kemampuan menyerap hara. Sehingga ada manfaatnya apabila

pupuk cair tidak hanya diberikan di sekitar tanaman, tapi juga di bagian daundaun

(Suhedi, 1995).

Pemberian pupuk organik cair harus memperhatikan konsentrasi atau dosis

yang diaplikasikan terhadap tanaman. Berdasarkan beberapa hasil penelitian

menunjukkan bahwa pemberian pupuk organik cair melalui daun memberikan

pertumbuhan dan hasil tanaman yang lebih baik daripada pemberian melalui

tanah. Semakin tinggi dosis pupuk yang diberikan maka kandungan unsur hara

yang diterima oleh tanaman akan semakin tinggi, begitu pula dengan semakin

seringnya frekuensi aplikasi pupuk daun yang dilakukan pada tanaman, maka

kandungan unsur hara juga semakin tinggi. Namun, pemberian dengan dosis

yang berlebihan justru akan mengakibatkan timbulnya gejala kelayuan pada

tanaman Oleh karena itu, pemilihan dosis yang tepat perlu diketahui oleh para

peneliti maupun petani dan hal ini dapat diperoleh melalui pengujian-pengujian di

lapangan (Abdul Rahmi Dan Jumiati, 2007).

2.2. Biogas
Biogas adalah gas mudah terbakar (flammable) yang dihasilkan dari proses

penguraian bahan organik oleh bakteri yang hidup dalam kondisi kedap udara (bakteri

anaerob) terhadap limbah-limbah organik baik di digester (pencerna) anaerob maupun

di tempat pembuangan akhir sampah (sanitary landfill). Gas ini sering dimanfaatkan

untuk pemanas, memasak, pembangkit listrik dan transportasi. Biogas dihasilkan dari

fermentasi anaerob oleh bakteri metanogenesis pada bahan-bahan organik seperti

kayu/tumbuhan, buah-buahan, kotoran hewan dan manusia merupakan gas campuran

gas Metana (60-70%), CO2 dan gas lainnya ( R.S, Budiman, 2010 ).

Menurut Harahap, dkk pada tahun 1978, manfaat energi biogas adalah

menghasilkan gas metan sebagai pengganti bahan bakar khususnya minyak

tanah dan dapat dipergunakan untuk memasak. Dalam skala besar, biogas

dapat digunakan sebagai pembangkit energi listrik. Di samping itu, dari

proses produksi biogas akan dihasilkan sisa kotoran ternak yang dapat

langsung dipergunakan sebagai pupuk organik pada tanaman/budidaya

pertanian. Dan yang lebih penting lagi adalah mengurangi ketergantungan

terhadap pemakaian bahan bakar minyak bumi yang tidak bisa diperbaharui.

Prinsip pembuatan biogas adalah adanya dekomposisi bahan organik

secara anaerobik (tertutup dari udara bebas) untuk menghasilkan gas yang

sebagian besar adalah berupa gas metan (yang memiliki sifat mudah

terbakar) dan karbon dioksida, gas inilah yang disebut biogas. Proses

dekomposisi anaerobik dibantu oleh sejumlah mikroorganisme, terutama

bakteri metan. Suhu yang baik untuk proses fermentasi adalah 30-55C,

dimana pada suhu tersebut mikroorganisme mampu merombak bahan bahan

organik secara optimal.


Secara umum, alur proses pencernaan/digesting limbah organik sampai

menjadi biogas dimulai dengan pencernaan limbah organik yang disebut juga dengan

fermentation/digestion anaerob. Pencernaan tergantung kepada kondisi reaksi dan

interaksi antara bakteri methanogens, non-methanogens dan limbah organik yang

dimasukkan sebagai bahan input/feedstock kedalam digester. Proses pencernaan ini

(methanization) disimpulkan secara sederhana melalui tiga tahap, yaitu: hidrolisis

(liquefaction), asidifikasi (acyd production), dan metanogenesis (biogas production)

sebagai berikut :

Sumber : R.S, Budiman, 2010

Hasil perombakan bahan bahan organik oleh bakteri adalah gas metan

seperti yang terlihat pada tabel dibawah ini:

Tabel : Komposisi biogas (%) kotoran sapi dan campuran kotoran

ternak dengan sisa pertanian.

Jenis Ternak Kotoran Sapi Campuran Kotoran

+ Sisa Pertanian
Metan (CH4)
65, 7 54-70
Karbon dioksida
(CO2) 27,0 45-57
Nitrogen (N2)
2,3 0,5-3,0
Karbon monoksida
(CO) 0 0,1
Oksigen (O2)
0,1 6,0
Propena (C3H8)
0,7 -
Hidrogen sulfida
(H2S) - sedikit

Nilai kalori (kkal/m2)


6513 4800-6700

Sumber : Harahap, dkk ,1978

Bangunan utama dari instalasi biogas adalah Digester yang berfungsi

untuk menampung gas metan hasil perombakan bahan bahan organik oleh

bakteri. Jenis digester yang paling banyak digunakan adalah model continuous

feeding dimana pengisian bahan organiknya dilakukan secara kontinu setiap

hari. Besar kecilnya digester tergantung pada kotoran ternak yamg dihasilkan

dan banyaknya biogas yang diinginkan. Lahan yang diperlukan sekitar 16 m 2.

Untuk membuat digester diperlukan bahan bangunan seperti pasir, semen,

batu kali, batu koral, bata merah, besi konstruksi, cat dan pipa prolon (

Harahap, dkk ,1978).

Lokasi yang akan dibangun sebaiknya dekat dengan kandang sehingga

kotoran ternak dapat langsung disalurkan kedalam digester. Disamping

digester harus dibangun juga penampung sludge (lumpur) dimana slugde

tersebut nantinya dapat dipisahkan dan dijadikan pupuk organik padat dan

pupuk organik cair ( Harahap, dkk ,1978).

2.3. Feed Additive


Imbuhan pakan (feed additive) adalah setiap pakan yang tidak lazim

dikonsumsi ternak sebagai pakan, yang sengaja ditambahkan, memiliki atau tidak nilai

nutrisi, dapat mempengaruhi karakteristik pakan atau produk hewan. Bahan tersebut memiliki

mikroorganisme, enzim, pengatur keasaman, mineral, vitamin, dan bahan lain tergantung pada

tujuan penggunaan dan cara pemakaiannya. Menurut Muarni (2002), additive adalah bahan pakan

tambahan yang diberikan pada ternak dengan tujuan untuk meningkatkan produktivitas ternak

maupun kualitas produksi. Zat additive yang diberikan pada ternak digolongkan menjadi 4 yaitu:

1. Vitamin tambahan

2. Mineral tambahan

3. Antibiotik

4. Anabolik (hormonal)

5. Agroindustri

2.4. Vermicomposting

Dominguez et al. (1997a:57-59) mendefinisikan vermicompos sebagai

proses dekomposisi bahan organik yang melibatkan kerjasama antara cacing tanah

dan mikroorganisme. Mikroorganisme yang berperan dalam proses

vermicomposting terutama bakteri, fungi, dan actinomycetes. Selama proses

vermicomposting, nutrisi pada tumbuhan yang penting seperti nitrogen, kalium,

dan fosfor yang terdapat di dalam bahan makanan diubah melalui aktivitas

mikroorganisme menjadi bentuk yang lebih mudah diserap oleh tumbuhan

(Ndegwa & Thompson. 2001: 7-12). Pada proses ini cacing tanah mengubah

aktivitas mikroorganisme, sehingga laju mineralisasi bahan-bahan organik

bertambah cepat (Albanell et al. 1988: 266-269).


Vermicomposting menghasilkan dua manfaat utama, yaitu biomassa cacing

tanah dan vermikompos (Sharma et al.2005: 4-16). Vermikompos merupakan

bahan organik seperti tanah yang memiliki struktur, porositas, aerasi, drainase,

dan kapasitas menahan kelembaban yangs angat baik (Dominguez et al. 1997a:

57-59). Vermikompos mengandung banyak aktivitas, populasi, dan

keanekaragaman mikroorganisme. Vermikompos juga mengandung beberapa

enzim seperti protease, amilase, lipase, selulase, dankitinase (Subler et al. 1998:

63-66), serta zat pengatur tumbuh seperti giberelin, sitokinin,dan auksin (Tomatti

et al. 1988: 288294).

Syarat-syarat biologi cacing tanah yang digunakan dalam proses

vermicomposting terdiri atas: tingkat produksi kokon yang tinggi, waktu

perkembangan kokon yang pendek, keberhasilan penetasan kokon yang tinggi dan

memiliki laju reproduksi yang tinggi (Bhattacharjee & Chaudhuri 2002: 147-150).

Selain itu, tingkat konsumsi bahan organik yang tinggi pada cacing tanah dan

toleransi terhadap perubahan lingkungan yang luas juga merupakan sebagian

syarat biologi cacing tanah yang dapat dimanfaatkan untuk mendekomposisi

bahan organik (Edwards 1998: 327-354).

Proses vermicomposting dalam kaitannya dengan pertumbuhan

dan kelangsungan hidup cacing tanah dipengaruhi oleh beberapa

faktor, misalnya: suhu, kelembaban, rasio C:N, pH, aerasi, dan makanan.

Pengaruh faktor-faktor tersebut bervariasi pada setiap spesies cacing

tanah. Suhu pada substrat mempengaruhi pertumbuhan cacing tanah.

Pada kisaran suhu 20-29C cacing tanah tumbuh dan berkembang

dengan maksimal (Kaplan et al. 1980: 347-352). Laju pertumbuhan

cacing tanah tercepat pada suhu 20C (Hou et al. 2005: 58-67). Akan
tetapi kebutuhan suhu pada masing-masing spesies cacing tanah

berbeda-beda.

Di awal proses vermicomposting terjadi peningkatan suhu, dan di

akhir periode suhu menurun. Berat tubuh cacing tanah terdiri atas 75-

90% air (Edwards & Lofty 1972: 283), maka kekurangan air merupakan

masalah besar dalam kehidupan cacing tanah. Cacing tanah dapat

berpindah ke tanah yang lebih dalam jika permukaan tanah terlalu

kering. Kelembaban yang rendah dapat menyebabkan cacing tanah

menjadi pasif atau mengalami fase diapause (Gerard 1967: 235-252).

Menurut Reinecke dan Venter (1987: 135-141), kelembaban

substrat yang lebih disukai oleh cacing tanah dewasa berkisar antara

65-75%, tetapi juvenil lebih dapat bertahan hidup pada kelembaban

dengan kisaran 65-70%. Laju pertumbuhan cacing tanah tertinggi

terdapat pada kelembaban 75% (Gunadi et al. 2003: 19-24). Dominguez

et al. (1997a: 57-59) menemukan bahwa kisaran kelembaban yang

terbaik adalah 80-90%, dengan kisaran optimum sebesar 85%.

Kebutuhan cacing tanah akan kelembaban media bervariasi pada

berbagai spesies dan daya adaptasi masing-masing spesies tersebut.

Kelembaban media dapat dipertahankan dengan penambahan air pada

media dan menyediakan bahan makanan yang mengandung banyak air.

Proses vermicomposting dapat berlangsung dengan baik dalam kondisi

aerob. Cacing tanah memerlukan oksigen untuk bernafas dan sangat

sensitif terhadap kondisi anaerob. Laju respirasinya melemah jika

konsentrasi oksigen di dalam substrat rendah (Edwards & Bohlen 1996:

426). Pergerakan cacing tanah dapat menciptakan aerasi pada


medianya. Untuk meningkatkan aerasi, perlu dilakukan pembalikan

substrat.

Kualitas dan kuantitas bahan makanan mempengaruhi

pertumbuhan dan reproduksi cacing tanah dalam proses

vermicomposting (Edwards et al. 1988: 211-220). Kualitas bahan

makanan pada substrat awal sangat mempengaruhi biomassa cacing

tanah (Suthar, 2007: 1608-1614). Berkurangnya biomassa cacing tanah

dapat disebabkan oleh berkurangnya bahan makanan di dalam media

biak (Garg et al.2005: 51-59). Pertumbuhan cacing tanah dibatasi oleh

ketersediaan sumber karbon pada bahan makanannya (Tiunov & Scheu

2004: 83-90). Cacing tanah yang mengkonsumsi bahan makan dengan rasio

C:N rendah, lebih banyak menggunakan energinya untuk pertumbuhan daripada

untuk reproduksi (Aira et al. 2006: 371-376).

III

Alat, Bahan dan Prosedur kerja

3.1. Alat
3.1.1. Pembuatan Pupuk Organik Cair
1. Wadah
2. Karung

3. Timbangan

4. Alat Pengaduk

5. Termometer

6. Kardus

7. Terpal

8. Masker

9. Wadah Kayu untuk pengering

3.1.2. Pembuatan Feed Additive


1. Ember

2. Plastik penutup

3. Gayung

4. Gelas Ukur

3.1.3. Pembuatan Biogas


1. Seperangkat digester
2. Wadah
3. Ban penampung gas

3.1.4. Pembuatan Pupuk Organik Padat


1. Wadah penampungan media

2. Wadah untuk cacing

2. Timbangan

3.2. Bahan
3.2.1. Pembuatan Pupuk Organik Cair
1. Feses Sapi Perah
2. Jerami Padi

3.2.2. Pembuatan Feed Additive

1. Hasil Ekstraksi

2. Molases
3.2.3. Pembuatan Biogas

1. Ekstrak dekomposan jerami padi dan feses sapi.

3.2.4. Pembuatan Pupuk Organik Padat

1. Ekstrak dekomposan jerami padi dan feses sapi.

2. Cacing Tanah

2.3. Prosedur Kerja

3.2.1. Pembuatan Pupuk Organik Cair


1. Memotong jerami padi dengan ukuran 3-5 cm.

2. Menimbang jerami padi sebanyak 1 kg dan feses sapi sebanyak 2 Kg


(perbandingan 1:2), lalu mencampurkan kedua bahan tersebut hingga
homogen.

3. Sebelum memasukan campuran tersebut ke dalam karung yang telah


disediakan, terlebih dahulu memasukan jerami padi kering untuk lapisan
paling dasar sebanyak 0,5 kg

4. Melakukan pencampuran kembali sampai 7 kali , antara jerami padi dan


feses sapi sesuai dengan perbandingannya hingga karung terisi penuh.

5. Tiap memasukan campuran jerami padi dan feses sapi, melakukan


pemadatan sepadat mungkin

6. Ketika pemadatan berlangsung masukan oksigen sepadat mungkin dengan


menagduk campuran jerami dengan batang pengaduk.

7. setelah 7 kali pencampuran feses sapi dan jerami, bagian atas diberi jerami
sebanyak 0,5 kg.
7. Setelah karung terisi penuh lalu menutup permukaan karung dengan potongan
kardus dan mengikat bagian atas karung serapat mungkin dan menimbang
beratnya.
8. Selama seminggu, melakukan pengamatan dengan mengukur suhu di dalam
karung dengan menggunakan termometer.

9. Seminggu kemudian membuka kembali dan melakukan pengamatan. Agar


semua bagian campuran feses sapi dan jerami padi ditumbuhi oleh jamur,
maka melakukan pencampuran kembali seluruh isi karung, lalu kemudian
keringkan dengan cara ditiriskan selama 2 minggu.

10. mengamati tampilan fisik, warna, dan bau dari dekomposan

11.Melakukan filtrasi terhadap dekomposan, dengan cara melarutkan


dekomposan dengan air panas terlebih dahulu sebanyak 13 liter.

12.Memfiltrasi dengan cara memasukan dekomposan yang telah dilarutkan


dalam air panas ke dalam wadah filtrasi sedikit demi sedikit. Hasil filtrasi
dibagi menjasi dua bagian yaitu suspensi jamur dan filtrat.
13.Suspensi jamur awal (masih hitam pekat) dibuat POC, suspensi jamur
berikutnya (tidak terlalu hitam) dibuat feed additive), dan filtrat dibuat biogas.
14.Masukan suspensi jamur ke dalam wadah agar suspensi tersebut cepat
menjadi pupuk yang stabil lakukan aerasi

3.2.2. Pembuatan Feed Additive


1. Menampung hasil filtrasi berupa suspensi jamur yang sudah tidak terlalu
pekat ke dalam ember.

2. Menambahkan molases sebanyak 5% (9,5 liter filtrat encer dan 0,5 kg


molases )

3. Fermentasi dalam keadaan anaerob


3.2.3. Pembuatan Biogas

1. Menyiapkan instalasi biogas yang terdiri dari digester dan

penampung gas.

2. Menimbang substrat sebanyak 12 kg.

3. Menghitung kebutuhan molases sebanyak 2% dari substrat.

4. Menambahkan air untuk mengencerkan molases.


5. Mencampur substrat dan molases encer hingga rata.

6. Memasukkan campuran substrat dan molases kedalam digester

sampai mencapai volume 80% dari volume tong.

7. Menyiapkan sealer yang terbuat dari karet dan dipasang antara

tong dan penutupnya.

8. Mengunci tong dan penutup dengan menggunakan klem.

9. Mendiamkan hingga proses pembentukan biogas terjadi

3.2.4. Pembuatan Pupuk Organik Padat

1. Memisahkan cacing dari media hidup pertama dengan cara metode

piramid.

2. Menimbang cacing sebanyak 200 gram

3. Menimbang media kompos sebanyak 2,8 Kg

4. Memasukkan sedikit cacing kedalam media kompos, kemudian

melihat apakah cacing tersebut cocok dengan medianya. Jika

cocok, cacing akan masuk kedalam media dengan bagian kepala

terlebih dahulu.

5. Memasukkan seluruh cacing secara merata

6. Menutup media cacing dan menunggu selama 2 minggu

Anda mungkin juga menyukai