Anda di halaman 1dari 13

1.

1 Keadaan Wilayah

Penelitian mengenai dinamika stok ikan peperek (Leiognathus spp.)


dilaksanakan di Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Palabuhanratu, Kabupaten
Sukabumi, Provinsi Jawa Barat (Gambar 1). Pengambilan data primer berupa
pengukuran panjang dan bobot ikan peperek yang ditangkap di Teluk Palabuhanratu
dan didaratkan di PPN Palabuhanratu dilakukan selama tiga bulan sejak tanggal 10
Maret sampai 19 Mei 2010 dengan interval waktu pengambilan dua minggu.
Pengambilan data sekunder dilakukan juga di Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN)
Palabuhanratu yang dilaksanakan pada bulan Februari sampai Mei 2010.

Gambar 1. Peta lokasi penelitian

1.2 Data Produksi dan Alat Tangkap

Kegiatan penangkapan ikan peperek (Leiognathus spp.) di daerah


Palabuhanratu mengalami fluktuasi sepanjang tahun. Sejak tahun 2004 hingga saat
ini, ikan peperek (Leiognathus spp.) menjadi salah satu ikan dominan yang
tertangkap di daerah perairan Teluk Palabuhanratu. Berdasarkan data statistik
perikanan Departemen Kelautan dan Perikanan tahun 2004-2009, diketahui bahwa
hasil tangkapan ikan peperek berfluktuasi. Produksi ikan peperek pada periode tahun
2008 mengalami penurunan sebesar 85,52% dan nilai produksinya menurun sebesar
76,23% dengan harga rata-rata senilai Rp 3.485,-/kg. Hal ini disebabkan karena
adanya tekanan penangkapan yang dilakukan yang tentunya berakibat pada hasil
tangkapan para nelayan. Ikan peperek banyak ditangkap oleh nelayan dengan
menggunakan alat tangkap payang, dogol, pukat pantai (arad), pukat cinci, jaring
insang hanyut, jaring insang tetap, bagan rakit dan bagan tancap. Berdasarkan data
statistik perikanan PPN Palabuhanratu tahun 2004-2009, diketahui bahwa alat
tangkap yang digunakan dalam operasi penangkapan ikan peperek secara umum
meningkat jumlahnya (Tabel 1). Data tersebut menunjukkan bahwa tekanan
penangkapan terhadap ikan peperek terus meningkat setiap tahunnya. Hal ini tentu
saja mempengaruhi hasil tangkapan sumberdaya tersebut yang diperoleh nelayan
dari perairan Teluk Palabuhanratu dan tentunya akan berdampak pada keuntungan
yang akan diperoleh.

Tabel 1. Data upaya penangkapan (unit) dan produksi ikan peperek (ton) di Teluk
Palabuhanratu tahun 2004-2009
Tahun Produksi (Ton) Effort (Unit)
2004 331,178 91
2005 265,263 243
2006 144,007 194
2007 307,164 102
2008 44,484 200
2009 29,917 164
Sumber : Ditjen Tangkap-DKP (2005, 2006, 2007, 2008, 2009, 2010)

Adanya tekanan penangkapan yang tinggi terhadap ikan peperek disertai


dengan volume produksi yang meningkat dapat mengakibatkan terancamnya
kelestarian ikan peperek di perairan Teluk Palabuhanratu. Untuk mengetahui kondisi
aktual sumberdaya ini maka perlu dilakukan suatu studi dinamika stok dan
bioekonomi terhadap sumberdaya tersebut. Kajian bioekonomi akan memberikan
informasi yang dibutuhkan untuk mengontrol tingkat eksploitasi yang berlebih
dengan upaya pemanfaatan yang memberikan keuntungan yang optimal.
Pengumpulan data primer dilakukan dengan cara pengambilan contoh secara
acak terhadap jenis ikan peperek yang hanya tertangkap di perairan Teluk
Palabuhanratu dan di daratkan di PPN Palabuhanratu. Pengambilan ikan contoh
dilakukan secara acak dari 3 kapal yang mendaratkan ikan peperek diambil masing-
masing satu keranjang untuk diambil 100 ikan contoh (Gambar 2). Pengambilan
ikan contoh dilakukan selama tiga bulan dengan interval waktu pengambilan dua
minggu. Metode yang digunakan adalah pengukuran panjang dan bobot untuk
menduga pertumbuhan populasi dan pola pertumbuhan individu ikan peperek di
Palabuhanratu. Panjang ikan yang diukur adalah panjang total yakni panjang ikan
yang diukur mulai dari ujung terdepan bagian kepala sampai ujung terakhir bagian
ekornya (Effendie 1979). Pengukuran panjang dilakukan dengan menggunakan
penggaris panjang 30 cm dengan skala terkecil 1 mm. Sedangkan bobot ikan peperek
yang ditimbang adalah bobot basah total yakni bobot total jaringan tubuh ikan dan air
yang terdapat di dalamnya.

PPN Palabuhanratu

Alat tangkap bagan apung

Kapal 1 Kapal 2 Kapal 3

n keranjang n keranjang n keranjang

100 contoh ikan peperek

Pengukuran panjang dan bobot

Gambar 2. Skema pengambilan contoh

Selanjutnya pengumpulan data dan informasi lainnya dilakukan dengan cara


observasi serta wawancara dengan nelayan ikan peperek di Palabuhanratu. Informasi
yang diperoleh dari hasil wawancara berupa kegiatan operasi penangkapan, daerah
penangkapan, dan biaya operasi penangkapan. Selain itu, dilakukan pengumpulan
data mengenai harga ikan peperek di lapak/pasar ikan Palabuhanratu untuk menduga
model bioekonomi perikanan peperek di Palabuhanratu.
Pengumpulan data sekunder meliputi data produksi hasil tangkapan ikan
peperek yang di daratkan di PPN Palabuhanratu dan unit upaya penangkapan (effort)
selama enam tahun (2004-2009) serta kondisi umum perairan Teluk Palabuhanratu
untuk menduga model stok dan potensi sumberdaya ikan peperek di perairan tersebut.
Pada penelitian ini digunakan jumlah alat tangkap bagan sebagai effort atau upaya
penangkapan.

Umumnya ikan peperek di Palabuhanratu tertangkap dengan menggunakan


alat tangkap payang, dogol, pukat pantai (arad), pukat cinci, jaring insang hanyut,
jaring insang tetap, bagan rakit dan bagan tancap. Ikan peperek di Palabuhanratu
dominan tertangkap dengan menggunakan alat tangkap bagan. Jaring angkat adalah
alat penangkapan ikan berbentuk lembaran jaring persegi panjang atau bujur sangkar
yang direntangkan atau dibentangkan dengan menggunakan kerangka dari batang
kayu atau bambu (bingkai kantong jaring) sehingga jaring angkat membentuk kantong.
Alat tangkap ini memiliki cara pengoperasian yang dilakukan dengan menurunkan
dan mengangkatnya secara vertikal. Alat ini memiliki jaring yang terbuat dari nilon
yang menyerupai kelambu, ukuran mata jaringnya relatif kecil yaitu 0,5 cm. Bentuk
alat ini menyerupai kotak, dalam pengoperasiannya dapat menggunakan lampu atau
umpan sebagai daya tarik ikan. Jaring ini dioperasikan dari perahu, rakit, bangunan
tetap atau dengan tangan manusia. Alat tangkap ini memiliki ukuran mesh size yang
sangat kecil dan efektif untuk menangkap jenis ikan pelagis kecil. Kecenderungan
jaring angkat bersifat destruktif dan tidak selektif.

Gambar 3. Alat tangkap bagan apung


1.3 Model Bioekonomi Ikan Peperek

Pendugaan bioekonomi ikan peperek dengan menggunakan pendekatan


model Gordon Schaefer disajikan pada Tabel 8, meliputi nilai MEY, MSY, OA, dan
aktual perikanan peperek di Palabuhanratu. Dari hasil analisis bioekonomi
sumberdaya ikan peperek berdasarkan model Gordon Schaefer diperoleh nilai upaya
penangkapan (fmsy) sebesar 124 unit per tahun dengan jumlah tangkapan maksimum
lestari (MSY) sebesar 234,0333 ton per tahun. Berdasarkan nilai MSY yang
diperoleh dapat dilihat bahwa umumnya pemanfaatan sumberdaya ikan peperek di
perairan teluk Palabuhanratu berada di atas potensi lestarinya (MSY) (Gambar 4).
Keuntungan yang didapatkan pada kondisi MSY yakni Rp.1.129.487.373. Nilai
tersebut lebih kecil dibandingkan dengan keuntungan yang akan didapatkan pada
kondisi MEY yang memperhatikan faktor ekonomi.

Tabel 2. Hasil Analisis parameter bioekonomi dengan model Gordon Schaefer


MEY MSY Aktual OA
h (ton) 233,9626 234,0333 172,2324 15,9888
Effort (unit) 122 124 158 243
TR (Rupiah) 1.169.812.829 1.170.166.364 861.162.142,9 79.943.842,4
TC (Rupiah) 39.971.921,2 40.678.991,76 51.901.632,3 79.943.842,4
rente () Rp 1.129.840.908 1.129.487.373 809.260.510,6 0

Merujuk pada Tabel 1, dapat dilihat pada tahun 2005, 2006, 2008, dan 2009
jumlah upaya penangkapan yang beroperasi di perairan Teluk Palabuhanratu yakni
masing-masing 243, 194, 200, dan 164 unit alat tangkap bagan apung. Jumlah upaya
tersebut telah melebihi upaya penangkapan optimum yakni 124 unit, sehingga dapat
mengakibatkan adanya kondisi upaya tangkap lebih (overfishing). Adanya kondisi
upaya tangkap lebih dapat menurunkan kondisi stok sumberdaya perikanan karena
telah melebihi batas maksimum penangkapan lestarinya. Dapat dilihat pada Gambar
14 bahwa dengan meningkatnya upaya (effort) melebihi upaya penangkapan (fMSY)

dan (fMEY) yang seharusnya tidak selalu memberikan produksi tangkapan yang
besar seperti yang ditunjukkan pada tahun 2006, 2008, dan 2009. Produksi
tangkapan yang diperoleh menjadi lebih sedikit dibandingkan dengan produksi
tangkapan yang sesuai dengan konsep MSY dan MEY.
Gambar 4. Hubungan upaya penangkapan dan hasil tangkapan (produksi)

Upaya tangkap lebih (overfishing) dapat diartikan sebagai penerapan jumlah


upaya penangkapan yang berlebih terhadap suatu stok ikan. Kondisi tangkap lebih
yang terjadi pada stok ikan peperek di Teluk Palabuhanratu diduga termasuk ke dalam
growth overfishing. Dikatakan growth overfishing apabila terjadi penangkapan
terhadap ikan sebelum mereka mengalami pertumbuhan hingga ukuran dimana
mampu membuat seimbang terhadap penyusutan stok akibat mortalitas alami (Sparre
& Venema 1999). Growth overfishing dapat dilihat dari ukuran ikan yang tertangkap
yakni bukanlah ukuran konsumsi. Hal itu terlihat selama dilakukannya pengambilan
ikan contoh, banyak ditemukannya ikan peperek yang berukuran kecil yakni 20 mm.
Berdasarkan Pauly (1977), umumnya untuk penangkapan sebaiknya ikan peperek
berukuran 50-100 mm.

Berdasarkan hasil analisis secara bioekonomi, jumlah penangkapan optimum


fMEY yang dapat dioperasikan untuk pemanfaatan ikan peperek di Palabuhanratu
adalah sebanyak 122 unit per tahun dengan jumlah tangkapan maksimum ekonomi
sebesar 233,9626 ton per tahun (Gambar 15). Keuntungan yang diperoleh apabila
menggunakan konsep MEY (Maximum Economic Yield) yakni sebesar
Rp.1.129.840.908 per tahun. Hal tersebut menunjukkan pada kondisi MEY memiliki
effort terendah namun dengan keuntungan maksimum. Pada kondisi tersebut produksi
maksimum secara ekonomi akan dicapai dan merupakan tingkat upaya yang optimal
secara sosial (Fauzi 2006). Pada kondisi aktual, upaya penangkapan sebanyak 158
unit telah melebihi upaya penangkapan yang optimum pada kondisi MEY yang
seharusnya. Hal ini dapat mengindikasikan adanya gejala overfishing yaitu economic
overfishing. Dilihat dari keuntungan yang didapatkan dalam kondisi aktual yakni
hanya sebesar Rp.726.975.252 per tahun dibandingkan dengan keuntungan yang akan
didapatkan dalam kondisi MEY yakni sebesar Rp.1.129.840.908 per tahun.

Gambar 5. Grafik bioekonomi ikan peperek dengan pendekatan model Gordon


Schaefer di Teluk Palabuhanratu

Economic overfishing terjadi ketika tingkat upaya penangkapan telah


melampaui tingkat yang diperlukan untuk menghasilkan MEY. Meskipun hasil
tangkapan yang diperoleh pada kondisi MSY adalah maksimal, namun keuntungan
tidak hanya dipengaruhi oleh faktor produksi dan penerimaan saja tetapi juga
dipengaruhi oleh biaya. Prinsip efektifitas dan efisiensi perlu dipadukan untuk
mendapatkan keuntungan yang optimal. Produksi dan penerimaan terkait dengan
prinsip efektifitas sedangkan biaya atau pengeluaran terkait dengan prinsip efisiensi.
Pada kondisi MEY, produksi berada pada tingkat yang optimal secara ekonomi,
walaupun produksinya tidak maksimal. Namun produksinya masih relatif tinggi dan
pengeluarannya efisien sehingga keuntungannya tertinggi. Tingkat upaya
pemanfaatan pada kondisi MEY menghasilkan keuntungan yang optimal. Tingkat
upaya penangkapan pada kondisi MEY lebih kecil dibandingkan dengan tingkat
upaya pada kondisi MSY. Tingkat produksi pada kondisi MEY juga lebih kecil
dibandingkan dengan tingkat produksi pada kondisi MSY. Namun tingkat keuntungan
pada kondisi MEY akan lebih besar dari keuntungan yang didapatkan pada kondisi
MSY. Hal ini menunjukkan bahwa pada kondisi MEY, tingkat upaya penangkapan
berada pada level paling efisien.
Selain itu, diketahui bahwa tingkat stok ikan peperek pada kondisi open access
sebesar 15,9888 ton per tahun. Dengan upaya penangkapan sebesar 243 unit per tahun
dimana keuntungan yang didapatkan adalah Rp 0 per tahun. Dalam kondisi
pengelolaan yang bersifat open access keseimbangan pengelolaan akan dicapai pada
tingkat upaya EOA dimana penerimaan total (TR) sama dengan biaya total (TC).
Dalam hal ini pelaku perikanan tidak akan mendapatkan keuntungan, bahkan dapat
mengakibatkan keuntungan berada pada nilai negatif. Perikanan pada kondisi ini
bebas untuk siapa pun dan tidak ada pengelolaan yang baik. Keadaan perikanan
seperti ini, upaya penangkapan akan terus ditingkatkan selama masih ada produksi
sampai seluruh rente terkuras habis (driven to zero).

Standarisasi alat tangkap digunakan untuk menyeragamkan upaya


penangkapan sehingga dapat menghasilkan tangkapan yang relatif seperti alat tangkap
yang dijadikan standar. Alat tangkap yang digunakan standar adalah alat tangkap yang
dominan menangkap menangkap jenis ikan tertentu dan memiliki nilai Fishing Power
Index (FPI) saat nilai FPI satu. Nilai FPI dari masing-masing alat tangkap lainnya
dapat diketahui dengan membagi laju penangkapan rata-rata unit penangkapan yang
dijadikan standar. Menurut Spare dan Venema (1999) nilai FPI diketahui dengan
rumus:

CPUEi= Ci
fi

CPUEi
FPI =
i CPUEs

CPUEi adalah hasil tangkapan per upaya penangkapan alat tangkap ke-i, Ci
adalah jumlah tangkapan jenis alat tangkap ke-i, fi adalah jumlah upaya penangkapan
jenis alat tangkap ke-i, CPUEs adalah hasil tangkapan per upaya penangkapan alat
tangkap yang di jadikan standar, dan FPI adalah faktor upaya tangkap pada jenis alat
tangkap ke-i.

Alat tangkap yang banyak digunakan nelayan untuk menangkap Ikan Peperek
di di Perairan Teluk Palabuhanratu adalah payang, dogol, pukat pantai (arad), pukat
cincin, jaring insang hanyut, jaring insang tetap, bagan rakit dan bagan tancap. Hasil
analisis yang didapat untuk mengetahui alat tangkap standar yang mempunyai faktor
daya tangkap atau fishing power index (FPI)=1.
Hasil tangkapan peperek pada tabel dibawah merupakan penjumlahan hasil
tangkapan peperek di setiap alat tangkap yang dihitung dari tahun 2004-2009. Upaya
peperek didapatkan pada tabel dibawah merupakan penjumlahan dari upaya peperek
di setiap alat tangkap yang dihitung dari tahun 2004-2009.

Tabel 3. Fishing Power Indeks (FPI)

Alat tangkap Hasil tangkapan peperek Upaya peperek CPUE FPI


Payang 58,60 441,59 0,13 0,24
Dogol 3155,30 16817,82 0,19 0,34
Pukat Pantai (Arad) 4145,33 23459,73 0,18 0,05
Pukat Cincin 784,01 1430,74 0,55 1,00
Jaring Insang Hanyut 123,34 645,06 0,19 0,35
Jaring Insang Tetap 2526,74 14139,91 0,18 0,33
Bagan Rakit 740,86 7647,30 0,10 0,18
Bagan Tancap 249,66 3610,13 0,07 0,13

Pengelolaan sumberdaya hayati perikanan perlu diarahkan pada pengaturan


yang lebih baik. Hal tersebut didasarkan oleh adanya fakta tekanan terhadap
penangkapan yang berlebihan, dimana dari hasil analisis didapatkan laju eksploitasi
ikan peperek di Teluk Palabuhanratu sebesar 0,80 yang berarti 80% kematian ikan
peperek disebabkan oleh adanya faktor penangkapan. Selain itu, dari hasil analisis
yang diperoleh kondisi tangkap lebih stok ikan peperek di Teluk Palabuhanratu
termasuk dalam kondisi growth overfishing. Hal ini dapat dilihat dari ukuran ikan
yang tertangkap didominasi oleh ikan berukuran kecil (ikan muda), peningkatan laju
mortalitas penangkapan, tingginya laju eksploitasi, serta penurunan hasil tangkapan
per satuan upaya. Selain itu kondisi stok ikan peperek di Teluk Palabuhanratu telah
mengalami economic overfishing yang dapat dilihat dari upaya penangkapan aktual
telah melebihi upaya optimum pada tingkat Maximum Economic Yield (MEY) serta
nilai keuntungan kondisi aktual yang lebih kecil dari nilai keuntungan pada kondisi
MEY.

Dalam melakukan pengelolaan perikanan sangat sulit untuk mengubah suatu


keadaan yang telah ada. Oleh karena itu, upaya pencegahan terhadap growth dan
economic overfishing yang dapat dilakukan adalah dengan mengatasi economic
overfishing terlebih dahulu, dimana dalam penerapan pengelolaan berkonsep MEY
telah memperhatikan aspek biologi dan aspek ekonomi sehingga dalam pemanfaatan
sumberdaya akan mendapatkan manfaat ekonomi yang maksimum dengan tetap
memperhatikan keberlanjutan dari sumberdaya tersebut. Dengan kata lain dalam
mengatasi economic overfishing, secara tidak langsung sudah ikut mengatasi growth
overfishing yang terjadi.

Konsep MEY (Maximum Economic Yield) dapat diterapkan sebagai salah


satu tujuan pengelolaan yang baik karena akan memperhatikan faktor ekonomi.
Keuntungan optimal tidak akan terjadi pada saat kondisi MSY. Keuntungan optimal
akan terjadi pada saat kondisi MEY dimana marginal revenue (MR) sama dengan
marginal cost (MC). Hal itu sesuai dengan prinsip profit atau keuntungan. Dengan
mengacu pada konsep MEY, upaya penangkapan yang dioperasikan sebaiknya tidak
lebih dari 122 unit per tahun dengan jumlah maksimum tangkapan secara ekonomi
sebanyak 233,9626 ton per tahun sehingga akan didapatkan keuntungan secara
optimal sebesar Rp.1.129.840.908 per tahun. Dalam memberlakukan pengaturan
mengenai jumlah alat tangkap memiliki resistensi yang cukup tinggi. Karena dengan
membatasi jumlah alat tangkap akan menuntut ada yang harus dikorbankan.
Pengelolaan tersebut diperlukan adanya human development, dimana manusia sebagai
pelaku utama dalam aktifitas pemanfaatan sumberdaya ikan. Kebijakan ini ditujukan
bagi kualitas dan profesionalitas para pemegang kebijakan dan pengelolaan perikanan
serta nelayan dalam bentuk memberikan penyuluhan mengenai kondisi sumberdaya
yang ada, batasan jumlah tangkapan dan jumlah alat tangkap maksimal untuk
memberikan pemahaman mengenai pentingnya pembangunan perikanan yang
berkelanjutan guna kehidupan di kemudian hari serta pentingnya pemanfaatan
sumberdaya perikanan berkelanjutan agar memberikan manfaat ekonomi yang
maksimum. Selain itu, dalam memberlakukan pengelolaan tersebut diperlukan pihak
yang memiliki kekuatan hukum sehingga apabila terjadi pelanggaran dalam
kesepakatan yang ditetapkan dapat diselesaikan dengan hukum dan peraturan yang
ada.

Dalam mengatasi kondisi growth overfishing dimana ukuran ikan yang


tertangkap didominasi oleh ikan berukuran kecil (ikan muda). Hal yang dapat
dilakukan adalah yakni pengaturan ukuran mata jaring, dimana ukuran ikan peperek
dewasa adalah 9 cm (Pauly 1977). Panjang tubuh ikan peperek kurang dari tiga kali
tinggi tubuh sehingga dapat diasumsikan bahwa tinggi tubuh ikan peperek yaitu 3 cm.
Apabila ukuran tersebut dikonversikan kedalam inchi menjadi 1,18 inchi. Sebaiknya
ukuran mata jaring alat tangkap bagan untuk penangkapan ikan peperek tidak
melebihi 1,18 inchi agar ikan yang tertangkap bukan ikan berukuran kecil (ikan
muda). Selain itu, diperlukan adanya pengaturan mengenai musim tangkapan
sehingga ikan yang tertangkap bukanlah ikan yang berumur muda. Dengan adanya
pengaturan tersebut maka ikan yang berumur muda akan memiliki waktu untuk
tumbuh mencapai panjang tertentu yang membuat seimbang dengan penyusutan stok
yang diakibatkan mortalitas alami maupun penangkapan.

1.4 Peta Lokasi

Anda mungkin juga menyukai