Anda di halaman 1dari 45

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2. 3 Petis Udang
2. 3. 1 Pengertian Petis
Petis adalah masakan Indonesia yang dibuat dari produk sampingan dari
perbulan ikan yang dijual matang dalam jumlah besar (biasanya dari ikan pindang,
kupang, atau udang) cairan sisa pe rebusan ikan dipanasi hingga cairan kuah
menjadi kental seperti saus yang lebih padat. Dalam pengolahan selanjutnya, petis
ditambah gula batok. Ini menyebabkan warnanya menjadi cokelat pekat
cenderung hitam dan rasanya manis. Petis udang dikenal sebagi masakan khas
Sidoarjo.
Petis dapat juga dikategorikan sebagai makanan semi basah yang memiliki
kadar air sekitar 10-40 persen, nilai aw (aktivitas air) 0,65-0,90, dan mempunyai
tekstur plastis. Beberapa keuntungan pangan semibasah, antara lain tidak
memerlukan fasilitas penyimpanan yang rumit, lebih awet, sudah dalam bentuk
siap dikonsumsi, mudah penanganannya, dan bernilai gizi cukup baik.

2. 3. 2 Jenis Petis
Hingga saat ini dikenal tiga jenis petis, yaitu petis udang (umumnya
berwarna cokelat kehitaman), petis ikan (berwarna hitam), dan petis daging
(berwarna cokelat muda). Berdasarkan pengalaman diketahui bahwa jenis bahan
baku tidak terlalu berpengaruh terhadap cita rasa petis yang dihasilkan.
Cita rasa petis lebih ditentukan oleh jenis bumbu yang digunakan. Apabila
bumbu yang digunakan sama, walaupun bahan bakunya berbeda, pada akhirnya
akan menghasilkan petis dengan cita rasa yang hampir sama satu sama lain. Petis
udang dan petis ikan banyak diproduksi di daerah pantai Jawa Timur, seperti
Sidoarjo, Gresik, Lamongan, Tuban, dan Madura. Petis daging banyak diproduksi
di daerah Yogyakarta dan Solo.
Petis udang adalah ekstrak udang yang dikentalkan dengan tambahan
beberapa macam bahan untuk memberi rasa, warna, dan konsistensi yang

1
2

menarik. Umumnya terbuat dari daging udang atau limbah udang (kepala dan
kulit udang) yang sengaja direbus untuk diambil sarinya (ekstrak yang
mengandung asam amino, vitamin, mineral, dan komponen cita rasa). Limbah
udang umumnya berasal dari industri pembekuan udang atau industri pengolah
kerupuk udang.
Seperti halnya petis udang, petis ikan juga dibuat dari daging ikan atau
limbahnya. Limbah dapat juga berasal dari cairan perebus ikan pindang yang
umumnya dibuang setelah ikan pindang matang.
Cairan tersebut berasa asin dan mengandung sejumlah zat gizi dan
komponen cita rasa yang terlarut selama perebusan ikan, seperti protein dan asam
amino, vitamin, serta mineral. Petis daging dapat dibuat dari ekstrak daging, yaitu
cairan yang dihasilkan dari hasil perebusan daging.
Cita rasa gurih pada petis berasal dari dua komponen utama, yaitu dari
peptida dan asam amino yang terdapat pada ekstrak serta dari komponen bumbu
yang digunakan. Asam amino glutamat pada ekstrak merupakan asam amino yang
paling dominan menentukan rasa gurih. Sifat asam glutamat yang ada pada
esktrak ikan, udang, atau daging sama dengan asam glutamat yang terdapat pada
monosodium glutamat (MSG) yang berbentuk bubuk penyedap rasa.
Berdasarkan cara pembuatannya, petis dapat digolongkan atas empat
kategori mutu, yaitu petis kualitas istimewa, kualitas ekstra, petis nomor satu, dan
petis nomor dua. Namun, produsen sangat jarang menjual petis istimewa karena
harganya akan menjadi sangat mahal sehingga terbatas konsumennya. Dengan
demikian, secara komersial tidak menguntungkan bagi produsen.
Petis istimewa menggunakan bahan baku udang Werus (Metapenaeus
monoceros), sedangkan bahan baku untuk petis kualitas nomor satu dan nomor
dua adalah ampas dari petis kualitas ekstra. Petis yang bermutu rendah umumnya
dibuat dari bahan baku kepala udang atau udang kecil-kecil.

2. 3. 3 Bahan Baku Petis Udang


Bahan baku utama pembuatan petis udang adalah daging atau limbah
udang dan gula merah. Bahan baku tambahannya berupa bawang putih, cabai,
3

merica, gula pasir, tepung beras/tepung tapioka/kanji/tepung arang kayu, garam


dapur, dan air.
Peralatan yang diperlukan dalam pembuatan petis sangat sederhana dan
lazim digunakan di rumah tangga biasa. Alat yang terpenting adalah belanga,
yaitu panci lebar yang terbuat dari tanah liat. Alat ini disukai karena memiliki sifat
pengantar panas yang rendah dan porous (berpori-pori). Dalam pembuatan petis
diperlukan pemanasan rendah dalam waktu cukup lama, sehingga secara perlahan
akan dihasilkan adonan petis yang kental dan elastis.
Dengan menggunakan belanga, pemanasan rendah dapat terjadi secara
menyeluruh. Adanya pori-pori pada seluruh dinding belanga menyebabkan
penguapan tidak hanya terjadi pada permukaan adonan, namun menyeluruh pada
semua bagian adonan yang menempel pada dinding belanga.
Apabila digunakan wajan atau panci alumunium, akan terdapat banyak
bagian yang hangus dan petis yang dihasilkan menjadi kasar dan berair (lembek).
Hal ini disebabkan alumunium memiliki sifat pengantar panas yang baik, tetapi
tidak porous.

2. 3. 4 Kandungan Gizi pada Petis


Menurut hasil penelitian, setiap seratus gram petis mengandung energi
sebesar 345 kilo kalori. Selain itu juga terdapat kandungan protein sebesar 23,8
gram, lemak 1,4 gram dan karbohidrat 59,3 gram. Petis juga mengandung vitamin
A sebesar 6 IU dan vitamin B1 sebanyak 1,02 miligram. Kandungan gizi yang
lain adalah: kalsium 221 miligram, zat besi 3,8 miligram serta fosfor 397
miligram. Walaupun memiliki kandungan gizi yang cukup lengkap, sayangnya,
sampai saat ini belum pernah dilakukan penelitian yang secara khusus mengenai
khasiat dan manfaat petis bagi kesehatan tubuh.
Ciri-ciri petis yang baik adalah berwarna cerah (tidak kusam), umumnya
cokelat kehitaman, berbau sedap, kental tetapi sedikit lebih encer daripada
margarin. Petis yang terlalu liat dapat dicurigai terlau banyak mengandung tepung
kanji. Rasa dan bau ikan atau udang pada petis masih dapat dikenali dengan
mudah. Teksturnya halus dan mudah dioleskan. Disarankan untuk membeli petis
4

dengan kemasan yang bagus, memiliki label lengkap, serta mencantumkan waktu
kedaluwarsa.
Kerusakan pada petis dapat diketahui dengan adanya pertumbuhan
cendawan pada permukaan petis. Hal ini terjadi pada petis yang memiliki kadar
air cukup tinggi. Timbulnya rasa dan bau asam serta alkohol adalah akibat dari
fermentasi glukosa yang berasal dari tepung karena adanya cendawan atau jamur.
Untuk mencegah kerusakan tersebut, perlu dilakukan penurunan kadar air
dan penggunaan bahan pengemas yang baik. Agar dapat disimpan lama, petis
yang kemasannya telah dibuka sebaiknya disimpan di dalam lemari pendingin.
Walaupun kandungan protein petis cukup tinggi (15-20 g/100 g), dalam
praktiknya petis tidak dapat diandalkan sebagai sumber protein karena
pemakaiannya dilakukan dalam jumlah sangat sedikit. Petis hanya dikonsumsi
sebatas sebagai pembangkit cita rasa. Sama halnya seperti terasi, petis umumnya
dipakai sebagai bumbu maupun kondimen untuk menambah rasa makanan.
Komposisi gizi pada petis yang ada di pasaran sangat bervariasi sekali,
tergantung pada bahan baku yang digunakan dan cara pembuatannya.
Penambahan gula dan tepung dalam proses pembuatannya menyebabkan cukup
tingginya kadar karbohidrat pada petis, yaitu sekitar 20-40 g per100 g. Kandungan
mineral yang cukup berarti pada petis adalah kalsium, fosfor, dan zat besi,
masing-masing sebanyak 37,36, dan 3 mg per 100 g.

2. 4 Ebi
Ebi adalah bumbu masakan yang berasal dari udang kecil-kecil yang
diawetkan dengan cara dikeringkan. Bumbu masakan yang namanya diambil dari
bahasa Jepang yang artinya “udang” ini memiliki aroma dan rasa udang yang
khas. Ebi seringkali digunakan sebagai penyedap rasa dalam berbagai resep
masakan baik di Indonesia maupun di berbagai belahan dunia lainnya, seperti di
Indonesia, ebi digunakan dalam berbagai masakan seperti sayuran, sambal goreng,
asinan dan masakan lainnya, biasanya ebi akan dihaluskan dan menjadi bumbu
yang menguatkan rasa seafood. Ebi yang baik memiliki ciri-ciri seperti: bersih,
5

tidak hancur, berwarna jingga alami dan masih berbentuk udang meskipun
ukurannya kecil. Ciri-ciri tersebut menandakan bahwa ebi dibuat dari udang segar.

Gambar 2. Udang ebi

Cara penyimpanan ebi yang baik adalah dengan menyimpannya di dalam


kulkas, jika tidak ada maka dapat meletakkannya dalam wadah tertutup rapat,
sebab karena berbentuk bahan kering, ebi dapat dengan mudah menyerap uap air
dari lingkungan, hal ini bisa menimbulkan tumbuhnya jasad renik perusak pada
ebi tersebut, sehingga ebi tidak dapat disimpan dalam waktu yang lama. Ebi ini
bisa tahan sampai 1 - 2 bulan lamanya jika disimpan dengan baik.
Saat memakai maka terlebih dahulu ebi direndam di dalam air panas
hingga beberapa saat atau hingga daging ebi lunak, setelah itu, ebi siap digunakan.
Kreasi masakan yang menggunakan ebi; kentang sambal ebi, asparagus tumis ebi,
sambal ebi kacang, ayam giling masak ebi. Cara membuat ebi udang kering
sendiri cukup mudah yaitu dapat dilakukan dengan langkah-langkah antara lain;
 Bersihkan udang segar dari kotoran yang melekat, kemudian rebus udang
yang sudah bersih dengan air dalam panci selama kurang lebih 30 menit;
selanjutnya udang yang direbus diangkat dan tiriskan,
 Setelah air rebusan cukup tiris selanjutnya udang rebus dijemur sampai
kering; umumnya penjemuran masih dilakuakn secara tradisional dengan
memanfaatkan sinar matahari selama 3-5 hari,
 Setelah udang benar- benar kering, pisahkan kulit dari dagingnya dengan
cara memasukkan udang kering ke dalam plastik atau karung lalu tumbuk
pelan-pelan; tampi dan pisahkan antara kulit dan daging udang,
6

 Tahapan terakhir adalah pengemasan ebi umumnya menggunakan kantung


plastik dan siap disimpan untuk dimasak atau dipasarkan.
Beberapa manfaat kesehatan yang didapat dari mengonsumsi udang antara lain:
1. Menjaga kesehatan kardiovaskular (jantung) karena kandungan asam
lemak esensialnya akan menurunkan kolesterol jahat dan mencegah
penggumpalan kepingan darah atau ateroskeloris.
2. Memenuhi kebutuhan protein dengan asam amino berprofil lengkap yang
mudah diserap tubuh.
3. Sangat cocok untuk menu diet karena tinggi protein dan rendah kalori.
4. Memaksimalkan berbagai fungsi organ-organ vital tubuh karena berbagai
kandungan vitaminnya.
5. Sebagai antioksidan yang mampu menjaga kesehatan fungsi kekebalan
tubuh, anti radikal bebas penyebab 50 macam penyakit degeneratif dan
membantu produksi antibodi dengan kandungan selenium yang sangat
tinggi.
6. Membantu bekerjanya lebih dari 70 macam enzim, hormon, dan proses
biosintesa dalam tubuh dengan kandungan zinc-nya.
7. Membantu meningkatkan kecerdasan dan pertumbuhan anak dengan
kandungan vitamin D, B12 dan Omega 3.
8. Mencegah penyakit darah rendah (anemia) dan berperan dalam
pembentukan sel darah merah karena kandungan besi dan zinc-nya yang
tinggi.
9. Menjaga kesehatan mata dengan kandungan vitamin A.
10. Menjaga kesehatan kulit dan mencegah penyakit pellagra (kulit burik dan
bersisik) dengan kandungan vitamin E (alpha tocopherol) dan niasin yang
tinggi.
11. Menjaga kesehatan tulang, gigi dan sendi dengan kandungan vitamin D,
kalsium dan potassium yang tinggi.
Udang kering mengandung energi sebesar 259 kilokalori, protein 62,4
gram, karbohidrat 1,8 gram, lemak 2,3 gram, kalsium 1209 miligram, fosfor 1225
miligram, dan zat besi 6 miligram. Udang kering juga terkandung vitamin A
7

sebanyak 210 IU, vitamin B1 0,14 miligram dan vitamin C 0 miligram. Hasil
tersebut didapat dari melakukan penelitian terhadap 100 gram udang kering,
dengan jumlah yang dapat dimakan sebanyak 90%.
Udang juga mengandung berbagai mineral yang penting bagi tubuh.
Mineral selenium dalam 100 gr udang segar cukup untuk memenuhi 54%
kebutuhan harian, disusul fosfor (20%), zat besi dan tembaga (masing-masing
13%), magnesium (9%), zinc (7%), sodium (6%), potassium dan kalsium
(masing-masing 5%), serta berbagai mineral penting lainnya yang dibutuhkan
tubuh. Seperti yang sudah diketahui, mineral dari bahan makanan laut lebih
mudah diserap tubuh dibandingkan yang berasal dari kacang-kacangan dan
serealia.

2. 5 Kecimpring
2. 5. 1 Pengertian Kecimpring
Menurut BPOM RI (2015), kecimpring adalah makanan ringan yang
terbuat dari singkong (ubi kayu), bumbu dan daun bawang. Pembuatan meliputi
pemarutan singkong untuk dicampur dengan bumbu dan daun bawang irisan.
Kemudian adonan dipres hingga mencapai ketebalan 1-2 mm, dilanjutkan dengan
pengukusan dan penjemuran. Setelah kering, cetakan (pelat pres) dilepas,
dipotong dan digoreng. Menurut Rostini et al. (2016), kecimpring adalah sejenis
keripik singkong yang berasal dari Jawa Barat. Kecimpring biasanya diproduksi
oleh masyarakat pedesaan untuk kemudian dijual di pasar tradisional.
Singkong (Manihot esculenta Crantz), bahan baku yang digunakan dalam
pembuatan kecimpring, merupakan bahan yang mudah diperoleh sehingga
produksi kecimpring dapat dilakukan secara kontinyu. Singkong adalah sumber
utama makanan bagi sekitar 600 juta orang di dunia (Sautter et al. 2006 dalam
Rostini et al. 2016), yang kaya akan karbohidrat namun miskin protein dan
kalsium (Bradbury 1988 dalam Rostini et al. 2016). Apabila dilihat dari
kebutuhan nutrisi manusia, singkong tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan
8

tersebut. Konsumsi yang dominan dari singkong dapat memicu masalah defisiensi
protein (Sautter et al. 2006 dalam Rostini et al. 2016). Masalah gizi utama di
Indonesia masih didominasi oleh malnutrisi atau malnutrisi energi protein (Agrina
2010 dalam Rostini et al. 2016), dikarenakan oleh pemasukkan gizi yang tidak
seimbang. Salah satu alternatif untuk memecahkan masalah tersebut adalah
mengganti bahan baku kecimpring dengan ikan yang kaya akan protein.

2. 5. 2 Ikan Mujair
Salah satu ikan yang dapat dijadikan bahan baku kecimpring adalah ikan
mujair. Ikan mujair (Oreochromis mossambicus) adalah ikan yang berasal dari
perairan Afrika, yaitu sekitar dataran rendah Zambezi, Shiré dan dataran pantai
delta Zambezi sampai pantai Algoa. Ikan mujair telah tersebar luas sekurang-
kurangnya ke-90 negara di dunia, termasuk Indonesia. Ikan mujair diperkenalkan
sebagai ikan budi daya atau ikan komersial dan di Indonesia, ikan mujair awalnya
diperkenalkan sebagai ikan hias.
Menurut Setianto (2012) dalam Pratiwi (2015), ikan mujair merupakan
salah satu sumber protein yang tinggi, mengandung asam lemak tak jenuh
(omega-3, Eicosapentaenoic acid/EPA, Docosahexanoic acid/DHA) yang
berfungsi untuk perkembangan otak. Selain itu masih banyak lagi kandungan gizi
dari ikan mujair ini, antara lain air 80,0 g, protein 16,0 g, energi 86,0 kalori, lemak
2,0 g, kalsium 20,0 mg, besi 2,0 g, vitamin A 150, 0.
Ikan mujair yang kaya akan gizi tersebut bisa juga dijadikan sebagai
makanan pengganti ikan laut, yang mana seperti kita ketahui harga ikan laut
semakin hari semakin mahal (Ersa 2008 dalam Pratiwi 2015). Menurut Setianto
(2012) dalam Pratiwi (2015), tingginya kandungan gizi pada ikan, sangat berguna
bagi kesehatan. Konsumsi ikan secara kontiniu juga terbukti mampu menghambat
dampak buruk penyakit jantung. Menurut ahli gizi, mengkonsumsi ikan sebanyak
30 g dalam sehari dapat menurunkan resiko kematian akibat penyakit jantung
hingga 50% (Pratiwi 2015).
BAB III
METODELOGI PRAKTIKUM
3.1.3 Alat Petis Udang
No Nama Alat Fungsi
1. Wajan Unt
2. Baskom
3. Pisau
4. Talenan

3.2.4 Bahan Petis Udang


No. Nama Bahan Fungsi
1. Larutan Limbah
Cairan Ebi 250 ml
2. Teung Tapioka gr
3. Garam 62,5 gr

9
10

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

3. 1 Bekasam
3. 1. 1 Hasil
Berikut ini disajikan tabel hasil praktikum pembuatan bekasam:
Tabel 1. Hasil pembuatan bekasam sebelum digoreng
Pengujian
Karakteristik Organoleptik
Kel.
1. Kenampakan Peringkat
2. Aroma 3. Tekstur 4. Rasa
a. Warna b. Permukaan
Tubuh utuh, mata Asam khas Lembek dan
1. Cerah - -
jernih bekasam lunak
Padat
Bau khas
2. Pucat Ikan utuh mengeras, - -
menyengat
kaku
3. Cerah Tubuh utuh Bau menyengat Lembek - -
Tidak elastis,
Berbau busuk
4. Pucat Tubuh mengkerut lembek dan - -
seperti asam
daging berair
5. Pucat Tubuh utuh Menyengat Daging kenyal - -
Masih baik,
6. Agak pucat Sedikit lembab Menyengat - -
tidak elastis
Lembek, tidak
7. Pucat Tubuh Menyusut Bau Menyengat - -
elastis
Asam ikan Lembek dan -
8. Kuning Pucat Keras -
fermentasi dagingnya
11

rapuh
9. Keabu-abuan Halus Khas ikan Lembut - -
10. Agak pucat Bertekstur Menyengat Elastis - -

Tabel 2. Hasil pembuatan bekasam sesudah digoreng


Pengujian
Karakteristik Organoleptik
Kel.
1. Kenampakan Peringkat
2. Aroma 3. Tekstur 4. Rasa
a. Warna b. Permukaan
Tidak terlalu Lembut di Asin dan
Kuning
1. Tubuh utuh bau asam, khas dalam, renyah sedikit 2
kecoklatan
bekasam diluar asam
Sedikit
Kuning Ukuran Khas beras asam dan
2. Kering 5
keemasan menyusut sangrai sedikit
asin
Kuning Khas beras
3. Tubuh utuh Kering Asin 2
keemasan sangrai
Seperti Ikan
Asin dan
4. Pucat Kasar asin, aroma Lebih lembek 2
asam
beras gongseng
Aroma asam, Seperti
5. Aga pucat Kasar Renyah 2
khas ikan ikan asin
Asam,
Sudah tidak Daging
6. Kecoklatan Kering terlalu 3
menyengat lembut, kering
asin
Asam, agak Seperti
7. Keemasan Kering Lembut 4
busuk ikan asin
Lembek dan
Kuning Asin dan 2
8. Kasar Ikan menyengat mudah terurai
keemasan asam
dagingnya
Coklat
9. Kasar Khas fermentasi Kasar Asin 1
keemasan
Bau khas Kering khas Asin dan
10. Kecoklatan Bertekstur 1
bekasam ikan goreng asam pas

3. 1. 2 Pembahasan
Bekasam merupakan produk olahan ikan dengan cara difermentasi
melibatkan bakteri asam laktat dan garam (Murtini 1992). Adawiyah (2007), ikan
yang dapat digunakan sebagai bekasam merupakan jenis ikan air tawar seperti
lele, ikan mas, ikan tawes, ikan gabus, ikan nila, dan mujair. Adapun alat dan
bahan yang digunakan dalam proses pengolahan bekasam yaitu baskom sebagai
wadah ikan, pisau untuk membersihkan ikan, toples wadah sebagai tempat untuk
proses fermentasi dalam pengolahan bekasam, ikan mujair segar bahan baku
pembuatan bekasam, garam untuk menghambat pertumbuhan bakteri patogen dan
12

memberikan cita rasa pada produk bekasam yang dihasilkan dan beras sangrai
sebagai sumber karbohidrat. Prosedur yang digunakan kelompok 1 dalam
pengolahan bekasam diantaranya adalah ikan terlebih dahulu disiangi dibuang
sisik dan isi perut, dicuci bersih untuk menghilangkan lendir dan darah kemudian
ikan ditimbang lalu diperoleh bobot total 400 gram. Setelah itu garam ditimbang
dengan perlakuan sebanyak 12% dari bobot total ikan selanjutnya ikan digarami
dengan melumuri seluruh tubuh ikan dan bagian perut sebelum dibiarkan selama
20 jam. Lalu ikan dicuci bersih dan dilumuri garam sebanyak 2% dari bobot total
yaitu 8 gram. Untuk pengolahan samu beras digoreng atau disangrai sampai
kekuningan, kemudian ditumbuk sampai agak kasar. Berikutnya ikan yang sudah
digarami diangkat dan ditiriskan, kemudian diberikan beras gongseng sebanyak
60% dari total bobot ikan yaitu 240 gram, beras dimasukkan ke dalam mulut,
perut dan daerah operkulum, bagian luar tubuh ikan dilumuri beras gongseng juga.
Terakhir ikan dimasukkan dalam toples dan difermentasi selama 7 hari.
Dari data diatas dapat diketahui adanya perbedaan karakteristik
organoleptik sebelum dan sesudah digoreng. Hal ini terjadi karena perbedaan
perlakuan pemberian garam dan beras gongseng terhadap bobot tubuh ikan yang
berbeda-beda pada masing- masing kelompok.
Hasil uji organoleptik bekasam ikan mujair sebelum digoreng pada
kelompok 1 dapat dinilai dari 3 parameter mutu bahan pangan diantaranya adalah
kenampakan warna serta permukaan, aroma dan tekstur. Dari parameter
kenampakan, kelompok 1 memiliki ikan mujair segar berwarna cerah dengan
permukaan tubuh yang utuh serta mata jernih, beraroma asam, tekstur yang
lembek dan lunak. Hal ini disebabkan karena penggunaan ikan mujair sebagai
bahan pengolahan bekasam masih segar.
Setelah melakukan pengolahan bekasam, kelompok 1 mendapatkan
hasilnya sesudah digoreng. Dapat dilihat dari data di atas bahwa hasil tersebut
dinilai berdasarkan 4 parameter mutu bahan pangan diantaranya adalah
kenampakan warna serta permukaan, aroma, tekstur dan rasa dari bekasam.
Menurut Afrianto dan Liviawaty (1989), ikan yang dibaut bekasam harus
dikelompokkan berdasarkan jenis, ukuran, dan tingkat kesegarannya agar
13

diperoleh ikan bekasam yang seragam dan bermutu baik. Kramer dan Twigg
(1983) mengklasifikasikan karakteristik mutu bahan pangan menjadi dua
kelompok, yaitu: (1) karakteristik fisik/tampak, meliputi penampilan yaitu warna,
ukuran, bentuk dan cacat fisik; kinestika yaitu tekstur, kekentalan dan konsistensi;
flavor yaitu sensasi dari kombinasi bau dan cicip, dan (2) karakteristik
tersembunyi, yaitu nilai gizi dan keamanan mikrobiologis. Menurut Murtini
(1993), ikan bekasam yang baik memiliki warna ikan masak, bau fermentasi
alkohol dan rapuh berair. Selain menentukan sebuah mutu pada bahan makanan,
faktor warna juga dapat digunakan sebagai indikator kesegaran atau kematangan
makanan (Winarno 2004).
Hasil parameter warna bekasam pada kelompok 1 mendapatkan warna
bekasam kuning kecoklatan serta tubuh yang utuh. Hal ini diduga karena bekasam
yang digoreng menyebabkan warna kuning kecoklatan. Selama penggorengan
terjadi hidrolisa, oksidasi dan dekomposisi minyak yang dipengaruhi oleh bahan
pangan dan kondisi penggorengan (Chatzilazarou et al. 2006). Sehingga
kenampakan di pengaruhi oleh reaksi pada proses penggorengan dan adanya
kandungan garam yang mengikat kadar air dalam bahan.
Dari parameter aroma, hasil pengolahan bekasam sesudah digoreng pada
kelompok 1 yaitu memiliki bau khas asam namun tidak terlalu bau asam. Rahayu
(1992), menyatakan bahwa selama fermentasi protein ikan akan terhidrolisis
menjadi peptida-peptida dan asam amino. Kemudian asam amino berubah
menjadi senyawa yang lebih sederhana dan menghasilkan sejumlah senyawa
volatil yang berpengaruh terhadap cita rasa dan aroma dari produk fermentasi.
Sedangkan parameter tekstur diperoleh hasil pengolahan bekasam sesudah
digoreng pada kelompok 1 yaitu tekstur bekasam yang lembut di dalam dan
renyah di luar. Hal tersebut disebabkan karena perlakuan penambahan garam
sebanyak 12% dari bobot ikan dan berkurangnya kadar air. Menurut Rieboy
(2007), selain mempengaruhi citarasa produk, asam laktat yang dihasilkan dari
proses fermentasi juga dapat meningkatkan kekompakan tekstur.
Rasa bekasam sesudah di goreng pada kelompok 1 dapat diketahui dari
data diatas yaitu asin dan sedikit asam. Hal tersebut karena pemberian garam
14

sebanyak 12% dan beras gongseng sebanyak 60% dari bobot total. Oleh karena
parameter-parameter yang telah diuji, bekasam kelompok 1 mendapatkan
peringkat 2 yang dinilai oleh penguji. Dalam proses pengolahan bekasam
ditambahkan sumber karbohidrat seperti kerak atau beras sangrai dengan tujuan
merangsang pertumbuhan bakteri asam laktat. Bakteri asam laktat akan
menguraikan pati menjadi senyawa senyawa sederhana yaitu asam laktat, asam
asetat, asam propionat, dan etil alkohol. Senyawa-senyawa ini berguna sebagai
pengawet dan pemberi rasa asam pada produk bekasam (Rahayu 1992).
15

3. 2 Bakso Ikan
3. 2. 1 Hasil
Berikut ini disajikan tabel hasil praktikum pembuatan bakso ikan:
Tabel 3. Hasil pembuatan bakso ikan
Pengujian
Keterangan Karakteristik Organoleptik
Pe
Bob
Jum ri
ot 1. Kenampakan 2. Elastis
Ke lah 3. 4. ng
Ado b. c. Arom itas
l. Bas Tekstur Rasa ka
nan a. Warna Permuk Keseragam a
o t
(gr) aan an Bentuk
Putih Sangat
15 Halus, Tidak Khas Spesifi
1. 400 keabu- Kenyal Kenya 1
buah rata seragam Ikan k ikan
abuan l
Tidak
42 Putih Halus Tidak Khas Kuran Tidak
2. 435 kenyal, 4
buah tulang lengket seragam ikan g asin elastis
lembek
Putih Sangat
38 Bertekst Tidak Khas Kuran
3. 420 keabu- Kenyal Kenya 2
buah ur seragam ikan g asin
abuan l
Putih
20 Tidak Khas Sangat Sangat
4. 458 keabu- Seragam Gurih 1
buah merata ikan kenyal kenyal
abuan
Putih Tidak
35 Tidak Khas Cukup Cukup
5. 255 keabu- Seragam terasa 2
buah berpori ikan kenyal kenyal
abuan ikan
Sedikit
berpori,
67 Keabu- Khas Khas Sangat
6. 570 tidak Seragam Kenyal 1
buah abuan ikan ikan elastis
terlalu
halus
60 Khas Khas Sangat
7. 430 Abu-abu Halus Seragam Kenyal 1
buah ikan ikan elastis
Lembut
47 Seragam Khas Sangat
8. 609 Abu-abu berpori- Kenyal Enak 1
buah 60% ikan elastis
pori
Khas
Halus,
50 Putih Tidak Khas Halus ikan,
9. 555 kurang Elastis 1
buah kusam seragam ikan kenyal kurang
rata
asin
Putih
10 21 Bentuk Khas Asin
748 keabu- Rata Kenyal Elastis 1
. buah seragam ikan pas
abuan

3. 2. 2 Pembahasan
Pada praktikum pembuatan bakso ikan ini hal pertama yang dilakukan
yaitu mempersiapkan semua alat dan bahan. Alat-alatnya yaitu baskom sebagai
wadah adonan, pisau untuk memfillet ikan, dan food processor yang digunakan
untuk menghaluskan dan mencampur seluruh bahan. Bahan utama yang
digunakan adalah ikan nila. bahan tambahannya yaitu seperti bumbu-bumbu yang
16

terdiri dari bawang putih dan bawang merah dengan berat 2,5%, lada bubuk
dengan 0,25%, dan tepung tapioka sebanyak 40% dari bobot ikan. Ikan nila juga
disiapkan dengan memfillet ikan tersebut, fillet yang dilakukan yaitu fillet tanpa
kulit.
Hal yang dilakukan setelah semua alat dan bahan telah siap yaitu
mencampur fillet ikan dengan tepung tapioka dan sedikit demi sedikit air dingin
dituangkan. Air dingin berfungsi untuk menurunkan suhu dalam mesin
penggilingan, ini juga mencegah pertumbuhan dari bakteri, dan juga dapat
mengenyalkan tekstur dari bakso tersebut. Setelah itu, bahan adonan dimasukkan
ke food processor untuk dihaluskan, dan kemudian ditambahkan bawang merah,
bawang putih, dan lada. Setelah semua adonan bakso halus dan tercampur
semuanya, maka dapat dilakukan pembentukan bakso ikan. Pencetakan bakso ini
dilakukan dengan cara, tangan kiri menggenggam adonan agar adonan keluar dan
terbentuk menjadi bentuk bola, lalu bakso tersebut diambil dengan cara disendok
dan langsung ditempatkan di dalam air hangat, didiamkan selama 20 menit. Bakso
yang dapat dicetak dari adonan sebanyak 400 gram yaitu 15 buah. Setelah itu,
bakso ikan direbus dalam air mendidih hingga bakso ikan mengapung.
Apabila bakso ikan telah matang, maka bakso ikan dapat diuji,
pengujiannya dengan uji organoleptik. Parameternya yaitu warna, permukaan,
keseragaman bentuk, aroma, tekstur, rasa, elastisitas, dan peringkat kesukaan.
Berdasarkan tabel hasil kelompok satu dapat diuraikan sebagai berikut, pada
parameter warna hasil yang didapatkan yaitu putih keabu-abuan, hasil ini
dipengaruhi dari warna daging ikan tersebut. Untuk parameter permukaannya
yaitu halus dan rata. Di parameter keseragaman bentuk, bentuknya tidak seragam,
hal ini disebabkan pada saat mencetak memang tidak diinginkan bentuk yang
seragam, bentuknya sesuai selera. Aroma yang didapatkan yaitu khas ikan.
Teksturnya yaitu kenyal, artinya komposisi bahannya sudah tepat. Rasa yang
didapatkan yaitu sesuai dengan rasa dari ikannya yaitu ikan nila. Elastisitas yang
didapatkan yaitu sangat kenyal. Nilai dari peringkat kesukaan yaitu bernilai 1,
yang artinya sangat suka. Kategori dari peringkat kesukaan yaitu, 1 adalah sangat
suka, 2 adalah suka, 3 yaitu biasa, 4 dengan kurang suka, dan 5 dengan tidak suka.
17

Berdasarkan tabel hasil kelas, terdapat beberapa perbedaan dari hasil uji
organoleptik yang dilakukan dari total 10 kelompok dalam praktikum pembuatan
bakso ikan nila. Jumlah bakso yang dapat dicetak sangat beragam, hal ini
dikarenakan dibebaskannya jumlah bakso yang boleh dicetak, tidak adanya aturan
dalam jumlahnya. Untuk parameter warna, seluruh kelompok kebanyakan
menjawab yaitu warna putih keabu-abuan. Pada parameter permukaan, sebagian
besar menjawab halus dan rata, apabila terjadi perbedaan seperti kelompok 4 yang
menyebutkan “tidak merata”, hal ini bisa disebabkan dari komposisi bahan adonan
yang tidak tepat. Di parameter keseragaman bentuk, sebagian besar menyebutkan
bahwa bakso ikannya seragam bentuknya.
Aroma dari bakso ikan secara keseluruhan pada kelompok kelas adalah
sama yaitu khas ikan. Pada parameter tekstur, hampir semua kelompok
mengatakan bahwa bakso ikannya kenyal. Bakso ikan dari kelompok 2 teksturnya
tidak kenyal dan lembek, hal ini dapat disebabkan karena kurangnya air dingin
dalam pembuatan adonan bakso. Air dingin berfungsi untuk menurunkan suhu
dalam mesin penggilingan, ini juga mencegah pertumbuhan dari bakteri, dan juga
dapat mengenyalkan tekstur dari bakso tersebut. Rasa yang didapatkan dari
keseluruhan kelompok sebagian besar sama, yaitu spesifik ikan dan rasa asin.
Elastisitas dari bakso ikan pada hasil kelas, sebagian besar yaitu kenyal atau
elastis, ada beberapa yang tidak kenyal ataupun lembek. Penyebabnya sama yaitu
kurangnya air dingin dalam pembuatan adonan. Dalam peringkat kesukaan,
sebagian besar kelompok mendapatkan nilai 1, hanya sedikit yang mendapatkan
nila 2 yaitu kelompok 3 dan 5, dan ada juga yang mendapatkan nilai 4 yaitu
kelompok 2. Kategori dari peringkat kesukaan yaitu, 1 adalah sangat suka, 2
adalah suka, 3 yaitu biasa, 4 dengan kurang suka, dan 5 dengan tidak suka.
18

3. 3 Petis Udang
3. 3. 1 Hasil
Berikut ini disajikan tabel hasil praktikum pembuatan petis udang:
Tabel 4. Hasil pembuatan petis udang
Pengujian
Ketrangan Karakteristik Organoleptik
Kel. Bobot 1.
2. 4. Elastisitas Peringkat
Udang Kenampakan 3. Rasa
Aroma Tekstur
(gr) Warna
Asin,
Coklat Khas Sedikit
1. 95 sedikit Elastis 2
kehitaman Udang kental
manis
Coklat Khas
2. 100 Asin Kental Elastis 2
kehitaman Udang
Khas Rasa
3. 100 Coklat Kental Elastis 2
Udang udang
Dominan
Dominan udang,
4. 360 Coklat tua Kental Elastis 2
Udang sedikit
manis
Manis,
Khas
5. 370 Coklat muda khas Encer Elastis 2
Udang
Udang
Sedikit Kental
6. 365 Coklat pekat beraroma Asin dan Elastis 3
udang lengket
Khas Sangat
7. 130 Coklat tua Kental Elastis 4
udang asin
Khas
8. 78,70 Coklat gelap Asin Kental Elastis 2
udang
Khas Khas Agak
9. 360 Coklat tua Elastis 2
udang udang kental
Khas
10. 400 Coklat Manis Kental Elastis 2
udang

3. 3. 2 Pembahasan
Pada praktikum pembuatan petis udang ini hal pertama yang dilakukan
yaitu mempersiapkan semua alat dan bahan. Alat-alatnya yaitu wajan, sebagai
wadah petis udang saat dipanaskan; baskom, sebagai wadah limbah cair
pengolahan ebi; pisau, untuk mengiris gula merah; talenan, sebagai alas saat
mengiris gula merah; kompor, sebagai alat pemanas; saringan, untuk menyaring
limbah cair pengolahan ebi. Bahan yang digunakan larutan limbah cair
pengolahan ebi/ekstrak 250 ml; tepung tapioka 2% dari ekstrak; gula merah 10%
dari ekstrak.
Hal yang dilakukan setelah semua alat dan bahan telah siap yaitu Limbah
larutan pengolahan ebi/ekstrak dipanaskan, disaring menjadi 250 ml ekstrak. Lalu
19

Tepung tapioka disangrai dan Gula merah diiris kemudian dikaramel dengan api
kecil. Terakhir Tepung tapioka dan karamel gula merah dicampurkan dengan
ekstrak (250 ml), dipanaskan dengan api sedang sambil terus diaduk sampai
homogen selama ± 10-20 menit.
Berdasarkan data di atas, bobot udang kelompok 1 merupakan yang paling
sedikit, yaitu 95 gram, sedangkan bobot udang kelompok 10 merupakan yang
paling banyak, yaitu 400 gram. Rata-rata bobot udang dari 10 kelompok adalah
246 gram. Karakteristik organoleptik yang diamati adalah kenampakan warna,
aroma, rasa, tekstur, dan elastisitas. Berdasarkan data di atas, rata-rata warna petis
udang yang dihasilkan adalah cokelat, hanya saja warna cokelat ini bervariasi, ada
cokelat, cokelat kehitaman, cokelat muda, cokelat tua, cokelat pekat, dan cokelat
gelap. Aroma petis udang yang dihasilkan adalah aroma udang, hanya saja ada
yang khas, dominan, dan sedikit aroma udang. Rasa petis udang yang dihasilkan
cukup bervariasi, ada yang asin, manis, asin-manis, dan rasa udang. Tekstur petis
udang yang dihasilkan juga bermacam-macam, ada yang sedikit kental, kental,
kental dan lengket, serta encer. Seluruh petis udang buatan kelas Perikanan C
adalah elastis. Sebagian besar kelompok menyukai petis udang buatannya
(peringkat 2), kecuali kelompok 6 yang menganggap rasa petis udang buatannya
biasa (peringkat 3) dan kelompok 7 yang kurang menyukai rasa petis udang
buatannya (peringkat 4).
Menurut Sari dan Kusnadi (2015), petis berasal dari cairan tubuh ikan
atau udang yang telah terbentuk selama proses penggaraman kemudian diuapkan
melalui proses perebusan lebih lanjut sehingga menjadi lebih padat seperti pasta.
Ciri - ciri petis yang baik adalah berwarna cerah (tidak kusam), umumnya cokelat
kehitaman karena ada penambahan gula merah, pewarna buatan, ataupun cairan
tinta cumi, berbau sedap, kental tetapi sedikit lebih encer dari margarin (Suprapti
2001 dalam Sari dan Kusnadi 2015). Warna petis udang yang dihasilkan oleh
sebagian besar kelompok sudah sesuai, yaitu cokelat kehitaman, cokelat tua,
cokelat pekat, ataupun cokelat gelap karena adanya penambahan gula merah.
Warna cokelat muda dan cokelat yang dihasilkan oleh kelompok 5 dan 10
20

kemungkinan disebabkan oleh jumlah gula merah yang kurang dari kadar
seharusnya (kurang dari 10%).
Petis yang terlalu liat dapat dicurigai terlalu banyak mengandung tepung.
Selain itu rasa dan bau ikan atau udang pada petis masih dapat dikenali dengan
mudah serta teksturnya halus dan mudah dioleskan (Astawan 2002 dalam Sari dan
Kusnadi 2015). Kekentalan petis udang buatan sebagian besar kelompok adalah
kental, yang menunjukkan bahwa komposisi tepung tapioka yang digunakan
sudah sesuai dengan kadar yang seharusnya (2%). Kekentalan petis udang buatan
kelompok 1 dan 9 yang sedikit kental mungkin disebabkan oleh penggunaan
tepung tapioka yang kurang dari 2%. Rasa dan aroma petis udang yang dihasilkan
sebagian besar kelompok sudah benar, yakni rasa udang dan aroma udang. Rasa
asin yang dihasilkan oleh sebagian besar kelompok sebenarnya merupakan rasa
khas udang, namun demikian rasa petis udang kelompok 10 adalah manis, yang
menunjukkan bahwa rasa udang pada petis udang buatan kelompok 10 kurang
terasa atau tidak terasa. Hal ini mungkin disebabkan oleh jumlah limbah
pengolahan ebi yang digunakan kurang dari 250 ml. Sebaliknya, rasa petis udang
buatan kelompok 7 yang sangat asin mungkin disebabkan oleh penggunaan
limbah cair pengolahan ebi yang terlalu banyak (lebih dari 250 ml).
Menurut Elert (2005) dalam Hartanto (2015), viskositas (kekentalan)
adalah suatu kuantitas yang menjelaskan kemampuan suatu fluida untuk mengalir.
Kecenderungan data viskositas pada fluida petis udang menunjukkan bahwa
semakin tinggi temperatur yang dikenakan pada fluida petis, maka viskositasnya
akan semakin menurun, sedangkan semakin kecil konsentrasi petis udang maka
viskositas fluida petis semakin menurun (Hartanto 2015). Hal ini dapat
menjelaskan tingkat kekentalan petis udang buatan kelompok 1 dan 9 yang sedikit
kental (kurang kental apabila dibandingkan dengan petis udang buatan kelompok
lain), kemungkinan karena suhu pemanasan yang digunakan terlalu tinggi dan
konsentrasi petis yang digunakan kurang (terlalu banyak air).
Hipotesis ini dapat menjelaskan bahwa kurang kentalnya petis udang yang
dihasilkan disebabkan oleh konsentrasi petis yang kurang. Bobot udang yang
digunakan sedikit (95 gr) sehingga perlu penambahan air yang agak banyak dan
21

menyebabkan kekentalan petis menjadi berkurang. Suhu pemanasan mungkin


terlalu tinggi sehingga semakin mengurangi kekentalan petis. Bobot udang yang
digunakan oleh kelompok 9 sebenarnya cukup banyak, sehingga seharusnya
kekentalan petis yang dihasilkan cukup. Kemungkinan penambahan air yang
dilakukan terlalu banyak dan suhu pemanasan terlalu tinggi, sehingga
menyebabkan kekentalan petis udang yang dihasilkan berkurang. Secara garis
besar, kekentalan petis udang buatan masing-masing kelompok sudah cukup baik
sehingga menghasilkan petis udang yang elastis.

3. 4 Ebi
3. 4. 1 Hasil
Berikut ini disajikan tabel hasil praktikum pembuatan ebi:
Tabel 5. Hasil pembuatan ebi
Pengujian
Keterangan Karakteristik Organoleptik
Kel. 2. Uji 1.
1.
Kadar Kenampakan 2. Aroma 3. Tekstur 4. Rasa Peringkat
Rendemen
Air Warna
Keras diluar
1. 9,43% 31,88% Orange cerah Khas udang Asin 2
lunak di dalam
Rasa
Menyengat Udang
2. 35% 13,48% Orange Keras 3
Ikan (agak
pahit)
Khas Khas
3. 43% 47,69% Orange Agak lunak 3
Udang Udang
Permukaan
luar; kasar dan
Khas kering;
Orange
4. 8,33% 20,41% udang, permukaan Asin 2
kemerahan
menyengat dalam: agak
kasar dan agak
kering
Tidak
terasa
Aroma
5. 24% 23,53% Orange Keras udang 3
Udang
yang
kuat
6. 34% 21,62% Orange Bau udang Keras Asin 4
Tidak
Khas Bagian luar
7. 36,04% 26,05% Orange terlalu 2
Udang sedikit keras
Asin
8. 18,91% 31,0% Orange Khas udang Agak keras Asin 1
Khas
9. 9,167% 29,37% Orange Keras Hambar 2
Udang
Kurang
Merah muda asin/
10. 7,75% 14,86% Khas udang Kering 1
keorangenan hampir
hambar
22

3. 4. 2 Pembahasan
Udang kering atau yang biasa disebut ebi merupakan produk olahan udang
yang diawetkan dengan cara dikeringkan. Awalnya proses pembuatan ebi
dilakukan secara manual dengan tenaga manusia secara keseluruhan. Namun pada
saat ini cara pengeringan telah menggunakan mesin salai, dan proses
pengelupasan kulitnya menggunakan mesin giling (Heriyanto, 2012). Proses
produksi dengan bantuan mesin memberikan manfaat positif karena dengan
mempersingkat waktu pembuatan mencegah ebi dari kontaminasi bakteri.
Dalam pembuatan ebi alat-alat yang digunakan adalah panci dan kompor,
sedangkan bahan yang digunakan adalah udang segar, air, dan garam. Proses
pembuatan ebi dimulai dengan menyiapkan udang segar dan ditimbang. Setelah
itu air dimasukkan ke dalam panci dan ditambahkan dengan garam, lalu kompor
dinyalakan. Saat air mendidih udang dimasukkan ke dalam panci dan direbus
selama 15 menit. Udang lalu ditiriskan dan dijemur untuk mengurangi kadar air.
Setelah proses penjemuran selesai cangkang udang lalu dilepaskan dan udang
ditimbang kembali.
Jika dilihat dari tabel 5, hasil pembuatan ebi dinilai berdasarkan beberapa
aspek diantaranya rendemen, kadar air, warna, aroma, tekstur, dan rasa. Dari
penilaian aspek tersebut disimpulkan dan diberi nilai pada kolom peringkat.
Dari data kelas di atas, berdasarkan perhitungan rendemen, kelompok 3
memiliki nilai rendemen ebi yang paling tinggi yaitu sebesar 43%, sedangkan
untuk nilai rendemen ebi terrendah dimiliki oleh kelompok 10 yaitu sebesar
7,75%. Kelompok kami memiliki nilai rendemen sebesar 9,43%. Rendemen
merupakan presentase berat ebi yang dihasilkan. Untuk uji rendemen dilakukan
dengan cara menimbang udang sebelum diolah, kemudian setelah udang direbus
lalu dikeringkan dan dikupas kulitnya, setelah itu berat ebi ditimbang kembali.
Pada pembuatan ebi perhitungan nilai rendemen sangat dipengaruhi oleh kadar air
yang terdapat pada ebi. Sehingga lama penjemuran akan turut mempengaruhi
23

besarnya nilai rendemen pada ebi. Semakin lama ebi dijemur maka nilai
rendemennya akan semakin rendah.
Jika dilihat berdasarkan nilai kadar air yang terkandung di dalam ebi,
kelompok 3 memiliki ebi dengan kadar air tertinggi yaitu sebesar 47,69%,
sedangkan ebi dengan kadar air paling rendah terdapat pada kelompok 2 yaitu
sebesar 13,48%. Kelompok kami memiliki nilai kadar air sebesar 31,88%. Dari
data tersebut dapat disimpulkan bahwa kadar air berbanding lurus dengan nilai
rendemen. Semakin besar nilai rendemen dapat diakibatkan dari besarnya kadar
air yang terkandung di dalam ebi tersebut. Menurut Heriyanto (2012), kualitas ebi
ditentukan oleh kadar air atau tingkat kekeringan ebi, dimana semakin kering
mutu ebi semakin baik. Ebi yang kurang kering selain menyulitkan dalam
pengelupasan kulit, juga menyebabkan ebi tidak tahan lama disimpan.
Dari seluruh ebi yang dihasilkan, mayoritas ebi memiliki warna orange.
Warna tersebut dipengaruhi oleh pigmen apstaxanthin pada cangkang udang.
Menurut Shahidi dan Botta (1994), serta Suprapti (2006), warna kemerahan pada
terasi udang berasal dari pigmen astaxanthin pada cangkang udang sehingga
pigmen tersebut membentuk warna merah. Suzuki (1981), berpendapat sebagian
besar tubuh udang mengandung astaxanthin. Kandungan astaxanthin dalam udang
utuh beku sebesar 3,12 mg/ 100 g berat basah. Astaxanthin merupakan pigmen
turunan dari karotenoid yang membawa warna merah. Menurut Jaswir, et. al.
(2011), warna merah terbentuk karena adanya kandungan karotenoid pada udang.
Karotenoid yang paling berperan dalam warna merah krustasea dan ikan laut
adalah astaxanthin. Warna merahebi terbentuk karena terlepasnya ikatan
astaxanthin dari komponen lain di dalam tubuh udang, sehingga membentuk
astaxanthin bebas. Proses pelepasan tersebut dibantu oleh enzim dari bakteri dan
tubuh udang itu sendiri. Menurut Mollins (1990) dalam Chaijan and Panpipat
(2012), warna kemerahmerahanan sampai orange ebi dapat terbentuk dari proses
pelepasan pigmen alami bebas dari ikatan protein yang disebabkan oleh enzim
protease.
Berdasarkan tekstur ebi yang dihasilkan semua kelompok relatif sama
yaitu bertekstur keras dan kering. Hal tersebut dapat diakibatkan dari proses
24

perebusan dan penjemuran sehingga kadar air yang terdapat dalam ebi berkurang
dan membuat daging udang menjadi padat dan mengeras. Menurut Agoes (2008),
perebusan mengakibatkan jumlah air bebas hilang dan terjadinya koagulasi
sehingga tekstur daging semakin memadat.
Cita rasa yang dihasilkan dari pembuatan ebi bervariasi namun mayoritas
memiliki ebi dengan rasa asin, namun pada kelompok 9 dan 10 memiliki rasa
yang hambar, sedangkan pada kelompok 2 ebi yang dihasilkan memiliki rasa
sedikit pahit. Rasa asin yang dihasilkan berasal dari perebusan udang yang
ditambahkan dengan garam, untuk ebi yang memiliki rasa hambar mungkin
diakibatkan oleh lamanya perebusan yang terlalu singkat sehingga garam belum
meresap. Rasa pahit pada ebi yang dihasilkan oleh kelompok 2 juga diakibatkan
oleh perebusan dengan penambahan garam karena menurut Rahmayati dkk
(2014), Timbulnya rasa pahit pada makanan yang diawetkan dengan garam
diperkirakan karena adanya kandungan magnesium (Mg), sulfat (SO4), dan klor
(Cl).

3. 5 Kecimpring
3. 5. 1 Hasil
Berikut ini disajikan tabel hasil praktikum pembuatan kecimpring ikan:
Tabel 6. Hasil pembuatan kecimpring ikan
Pengujian
Keterangan Karakteristik Organoleptik
1.
1.
Bobot 2. 3. 4. Elastisit Pering
Ke Kenampa 2. 3.
Adon Kemekar Rendem Kerenya as kat
l. kan Aroma Rasa
an an (1, 2) en han
Warna
(gr)
Aroma
(13,51%, Asin,
1. 317 41% Coklat Bawan Renyah - 2
27,91%) Pahit
g
Aroma
(23,7%, Coklat
2. 340,5 38,1% Singko Gurih Renyah - 1
25%) matang
ng
Asin
cukup,
Aroma
(33,33%, Coklat rasa
3. 335 38,8% Singko Renyah - 2
32,67%) keemasan khas
ng
singko
ng
Aroma Gurih,
(20,45%,
4. 355,5 39,94% Coklat Bawan pahit, Renyah - 1
21,27%)
g asin
25

Pengujian
Keterangan Karakteristik Organoleptik
1.
1.
Bobot 2. 3. 4. Elastisit Pering
Ke Kenampa 2. 3.
Adon Kemekar Rendem Kerenya as kat
l. kan Aroma Rasa
an an (1, 2) en han
Warna
(gr)
Asin,
Khas
Kuning terasa
5. 367,5 singko Renyah - 1
kecoklatan singko
ng
ng
Khas
Coklat
6. 317,4 20,83% 34,65% kerupu Gurih Renyah - 1
keemasan
k
Khas
(17,02%, Kuning
7. 347,4 37,4% Singko Gurih Renyah - 2
16,8%) kecoklatan
ng
Khas
(13,51%, Kuning
8. 359,4 33,39% Singko Asin Renyah - 2
15,89%) keemasan
ng
Asin,
(16,67%, Coklat Wangi
9. 371 29,65% terasa Renyah - 2
17,39%)) keemasan bumbu
lele
Aroma
(17,8%, Kuning Asin
10. 383,4 36,5% Singko Renyah - 1
22,3%) kecoklatan pas
ng

3. 5. 2 Pembahasan
Pada umumnya kecimpring adalah sejenis kerupuk yang terbuat dari
singkong yang digiling, di kukus lalu di jemur di bawah sinar matahari. Dalam
pembuatan kecimpring pun sangat mudah hanya di kukus lalu di jemur. Semua
jenis singkong bisa dibuat kecimpring, tapi singkong yang paling bagus untuk
kecimpring adalah singkong kuning, karena baik untuk kenampakan warna
kecimpring.
Dalam pembuatan kecimpring alat-alat yang digunakan adalah meat
grinder, baskom, pisau dandang, garpu, talenan, dan tampah, sedangkan bahan
yang digunakan adalah ikan 4,5%, garam 2%, bawang putih 2%, ketumbar 1%,
gula pasir 1%, singkong sebagai acuan presentase bahan lain, minyak goreng.
Proses pembuatan kecimpring ikan dimulai dengan mengupas singkong dalam air
mengalir, lalu kemudian memarut singkong tersebut. Selanjutnya parutan
singkong dicampur dengan bahan-bahan lain. Setelah itu adonan dibentuk sesuai
keinginan, diletakkan pada Loyang yang sudah dilapisi minyak dan dipipihkan
dengan ketebaalan yang sama. Adonan lalu dikukus pada panci dengan air yang
26

mendidih, proses pengukusan berlangsung hingga adonan menjadi transparan.


Adonan yang telah dikukus lalu ditiriskan dan dijemur di bawah sinar matahari.
Jika dilihat dari tabel 6, hasil pembuatan kecimpring ikan dinilai
berdasarkan beberapa aspek diantaranya rendemen, kemekaran, warna, aroma,
kerenyahan, dan rasa. Dari penilaian aspek tersebut disimpulkan dan diberi nilai
pada kolom peringkat.
Dari data kelas di atas, berdasarkan perhitungan rendemen, kelompok
kami yaitu kelompok 10 memiliki nilai rendemen kecimpring ikan yang paling
tinggi yaitu sebesar 41%, sedangkan untuk nilai rendemen ebi terrendah dimiliki
oleh kelompok 9 yaitu sebesar 29,65%. Rendemen merupakan presentase berat
kecimpring yang dihasilkan. Untuk uji rendemen dilakukan dengan cara
menimbang adonan sebelum dikukus, kemudian setelah adonan dikukus lalu
ditimbang kembali. Pada pembuatan kecimpring ikan perhitungan nilai rendemen
sangat dipengaruhi oleh kadar air yang terdapat pada adonan kecimpring. Kadar
air pada adonan kecimpring dipengaruhi oleh perlakuan pemberian ikan. Menurut
Rostini dkk (2016), kadar air di dalam kecimpring akan meningkat seiring dengan
meningkatnya presentase penambahan daging ikan. Pada kelompok dengan
perlakuan pemberian ikan dengan persentase tinggi adonan mentah memiliki berat
yang lebih tinggi dibanding kelompok yang presentase pemberian ikannya lebih
rendah. Setelah pengukusan, adonan dengan presentase pemberian ikan tinggi
mengalami penurunan berat yang tinggi dikarenakan air yang terkandung pada
adonan yang berasal dari ikan menguap pada saat proses pengukusan. Hal tersebut
membuat kecimpring dengan perlakuan pemberian ikan dengan presentase tinggi
lebih rendah rendemennya.
Jika dilihat dari hasil kemekaran kecimpring, kelompok dengan perlakuan
pemberian ikan dengan presentase tinggi memiliki presentase kemekaran yang
rendah. Kemekaran ini dipengaruhi juga oleh kadar air yang terkandung di dalam
adonan kecimpring. Adonan kecimpring dengan perlakuan pemberian ikan dengan
presentase tinggi memiliki kadar air yang tinggi sehingga untuk mendapatkan
kemekaran yang tinggi diperlukan waktu penjemuran atau pengeringan yang lebih
lama. Menurut Burlian (2011), proses pengeringan adalah proses pemindahan
27

panas dan uap air secara simultan, yang memerlukan energi panas untuk
menguapkan kandungan air yang dipindahan dari permukaan bahan, yang
dikeringkan oleh media pengering yang berupa panas udara yang dihasilkan oleh
kolektor. Pada proses pengeringan berlaku dua proses yaitu: pada permulaan
proses, air dipermukaan bahan akan diuapkan dan barulah berlaku proses
pemindahan air dari bagian bahan dalam kepermukaannya sampai air yang terikat
saja di dalam bahan.
Pada dasarnya fenomena pemekaran kecimpring disebabkan oleh tekanan
uap yang terbentuk dari pemanasan kandungan air bahan sehingga mendesak
struktur bahan membentuk produk yang mengembang (Koswara, 2009). Berikut
ini merupakan mekanisme pengembangan kecimpring menurut Koswara (2009),
pengembangan kecimpring akibat terlepasnya air yang terikat pada gel pati
sewaktu penggorengan, air mula-mula menjadi uap karena ada pengikatan suhu,
dan mendesak gel pati untuk keluar sekaligus sehingga terjadi pengosongan yang
membentuk kantong-kantong udara pada kecimpring terbentuknya kantong-
kantong udara tersebut akan semakin banyak pada kecimpring yang komponen
amilapektinnya tinggi.
Mekanisme pemekaran kecimpring merupakan hasil sejumlah besar
letusan dari air ikatan yang menguap dengan cepat selama proses penggorengan
dan sekaligus terbentuk rongga-rongga udara yang tersebar secara merata pada
seluruh struktur kecimpring goring.
Kandungan air yang terikat pada gel pati merupakan hasil dari proses
gelatinisasi. Gelatinisasi adalah peristiwa pembengkakan granula pati sedemikian
rupa sehingga granula tersebut tidak dapat kembali kepada kondisi semula. Pada
peristiwa ini molekul air akan menyusup diantara bagian-bagian pati yang akan
membentuk ikatan-ikatan gel pati.
Untuk mendapatkan pemekaran volume kecimpring yang maksimum,
kadar air yang terikat harus menyebar merata. Hal ini dapat dilakukan dengan
menghomogenkan adonan sehingga proses gelatinisasi terjadi secara sempurna
dan kandungan air tersebar secara merata.
28

Dari warna kecimpring yang dihasilkan, mayoritas berwarna kuning


kecoklatan hingga coklat. Menurut Koswara (2009), Perubahan warna ini
disebabkan oleh adanya proses browning dari protein dan karbohidrat, yang
merupakan reaksi pencoklatan non enzimatis. Kandungan protein mempengaruhi
intensitas reaksi pencoklatan tersebut. Pada pembuatan kecimpring ini protein
berasal dari ikan yang ditambahkan. Jenis dan komposisi bahan baku dan bahan
tambahan yang sangat bervariasi merupakan faktor yang mengakibatkan
beragamnya mutu kerupuk yang terdapat di pasaran. Keberagaman ini ditambah
pula dengan bermacam bentuk dan ukuran kerupuk yang berbeda-beda.
Berdasarkan kerenyahannya seluruh kecimpring yang dihasilkan memiliki
tekstur yang renyah. Salah satu faktor utama yang menentukan mutu kerupuk
adalah kerenyahannya (Koswara, 2009). Sedangkan jika dilihat dari rasa dan
aroma sangat bervariasi, hal ini dikarenakan penambahan bahan-bahan lain dalam
pembuatan kecimpring.
BAB IV
PENUTUP

4. 1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil praktikum, maka dapat diambil kesimpulan yaitu:
1. Hasil uji organoleptik bekasam ikan mujair sebelum digoreng pada
kelompok 1 yaitu memiliki ikan mujair segar berwarna cerah dengan
permukaan tubuh yang utuh serta mata jernih, beraroma asam, tekstur yang
lembek dan lunak. Setelah melakukan pengolahan bekasam, mendapatkan
warna bekasam kuning kecoklatan serta tubuh yang utuh, memiliki bau
khas asam namun tidak terlalu bau asam, memiliki tekstur yang lembut di
dalam dan renyah di luar. Rasa bekasam sesudah di goreng yaitu asin dan
sedikit asam.
2. Hasil pembuatan bakso ikan pada parameter warna yaitu putih keabu-
abuan, hasil ini dipengaruhi dari warna daging ikan tersebut. Untuk
parameter permukaannya yaitu halus dan rata. Di parameter keseragaman
bentuk, bentuknya tidak seragam, hal ini disebabkan pada saat mencetak
memang tidak diinginkan bentuk yang seragam, bentuknya sesuai selera.
Aroma yang didapatkan yaitu khas ikan. Teksturnya yaitu kenyal, artinya
komposisi bahannya sudah tepat. Rasa yang didapatkan yaitu sesuai
dengan rasa dari ikannya yaitu ikan nila. Elastisitas yang didapatkan yaitu
sangat kenyal. Nilai dari peringkat kesukaan yaitu bernilai 1, yang artinya
sangat suka.
3. Rata-rata bobot udang dari 10 kelompok adalah 246 gram. Rata-rata warna
petis udang yang dihasilkan adalah cokelat yang bervariasi. Aroma petis
udang yang dihasilkan adalah aroma udang. Rasa petis udang yang
dihasilkan cukup bervariasi, ada yang asin, manis, asin-manis, dan rasa
udang. Tekstur petis udang yang dihasilkan juga bermacam-macam, ada
yang sedikit kental, kental, kental dan lengket, serta encer. Seluruh petis
udang buatan kelas Perikanan C adalah elastis. Sebagian besar kelompok
menyukai petis udang buatannya (peringkat 2).

29
30

4. Kelompok 3 memiliki nilai rendemen ebi yang paling tinggi yaitu sebesar
43%, sedangkan untuk nilai rendemen ebi terendah dimiliki oleh kelompok
10 yaitu sebesar 7,75%. Kelompok 3 memiliki ebi dengan kadar air
tertinggi yaitu sebesar 47,69%, sedangkan ebi dengan kadar air paling
rendah terdapat pada kelompok 2 yaitu sebesar 13,48%. Mayoritas ebi
memiliki warna orange. Tekstur ebi yang dihasilkan relatif sama yaitu
bertekstur keras dan kering. Cita rasa ebi bervariasi namun mayoritas
memiliki ebi dengan rasa asin.
5. Kelompok 10 memiliki nilai rendemen kecimpring ikan yang paling tinggi
yaitu sebesar 41%, sedangkan untuk nilai rendemen ebi terendah dimiliki
oleh kelompok 9 yaitu sebesar 29,65%. Jika dilihat dari hasil kemekaran
kecimpring, kelompok dengan perlakuan pemberian ikan dengan
presentase tinggi memiliki presentase kemekaran yang rendah. Dari warna
kecimpring yang dihasilkan mayoritas berwarna kuning kecoklatan hingga
coklat. Bentuk dan ukuran kerupuk juga berbeda-beda. Seluruh kecimpring
yang dihasilkan memiliki tekstur yang renyah. Sedangkan jika dilihat dari
rasa dan aroma sangat bervariasi.

4. 2 Saran
Agar dapat melakukan praktikum dengan baik, praktikan sebaiknya
mengikuti prosedur praktikum yang telah diberikan, serta memperhatikan
kebersihan alat dan tempat yang digunakan. Saat proses pengolahan juga perlu
diperhatikan kebersihannya. Praktikan juga harus memahami cara pengujian
organoleptik yang baik dan benar agar mendapatkan hasil uji yang tepat.
DAFTAR PUSTAKA

Adams, M. R and M. J. R. Nout. 2001. Fermentation and Food Safety. Aspen


Publisher, Inc. Maryland
Adawiyah, R. 2007. Pengolahan dan Pengawetan Ikan. Bumi Aksara. Jakarta
Afrianto, E dan E. Liviawaty. 1989. Pengawetan dan Pengolahan Ikan. Kanisius.
Yogyakarta
Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. 2015. Peraturan Kepala
Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor 1 Tahun
2015 tentang Kategori Pangan. BPOM RI: Jakarta.
Buckle, K. A, R. A. Edwards, G. H. Fleet and M. Wotton. 1987. Press Etching Pty
Ltd. Brisbane
Burlian, F. , Firdaus, A. 2011. Kaji Eksperimental Alat Pengering Kerupuk
Tenaga Surya Tipe Box Menggunakan Konsentrator Cermin Datar. Prosiding
Seminar Nasional AVoER ke-3
Chaijan, M. , and Panpipat, W. 2012. Darkening Prevention of Fermented Shrimp
Paste by Pre-soaking Whole Shrimp with Pyrophospate. AJOFAI.
Fardiaz, S. 1992. Mikrobiologi Pengolahan Pangan Lanjut. Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Pusat
Antar Universitas Pangan dan Gizi Institut Pertanian Bogor. Bogor
Hartanto, Y. 2015. Karakteristik Rheologi Petis Berbasis Kepala dan Kulit
Udang. Penelitian. Universitas Katolik Parahyangan, Bandung.
Hidayat, N, M. C. Padaga dan S. Suhartini. 2006. Mikrobiologi Industri. Penerbit
ANDI. Yogyakarta
Jacoeb, Agoes M. , Cakti N. W. , Nurjanah. 2008. Perubahan Komposisi Protein
dan Awqm Amino Daging Udang Ronggeng (Harpiosquilla raphidea) Akibat
Perebusan. Buletin Teknologi Hasil Perikanan Volume XI Nomor 1 Tahun
2008.
Koswara, S. 2009. Pengolahan Aneka Kerupuk. Ebookpangan. com
Murniyati, A. S dan Sunarman. 2000. Pendinginan Pembekuan dan Pengawetan
Ikan. Kanisius. Yogyakarta
Pratiwi, K. D. 2015. Perbandingan Prevalensi Parasit pada Insang dan Usus Ikan
Mujair (Oreochromis mossambicus) di Rawa dan Tambak Paluh Merbau
Percut Sei Tuan. Skripsi. Universitas Sumatera Utara: Medan.
Rahmayati, R. , Riyadi, H. P. , Rianingsih, L. 2014. Perbedaan Konsentrasi
Garam terhadap Pembentukan Warna Terasi Udang Rebon (Acetes sp. )

31
32

Basah. Jurnal Pengolahan dan Bioteknologi Hasil Perikanan Volume 3,


Nomer 1, Tahun 2014, Halaman 108-117.
Resep Kue Praktis. 2015. Resep Cara Membuat Ebi Udang Kering Sendiri.
http://kuepraktis. yaho-mart. com/2015/04/resep-cara-membuat-ebi-udang-
kering-sendiri. html. Diakses pada tanggal 5 Juni 2016 pukul 16. 23 WIB.
Rostini, I. , N. Kurniawati, dan Junianto. 2016. Chemical Characteristics of
Kecimpring Chips with Addition of Fish Meat from Cirata Reservoir. Jurnal
Teknologi 78: 4-2.
Sari, V. R. dan J. Kusnadi. 2015. Pembuatan Petis Instan (Kajian Jenis dan
Proporsi Bahan Pengisi). Jurnal Pangan dan Agroindustri Volume 3 Nomor 2
p. 381-389.
Shahidi, F. , dan Botta, J. R. 1994. Seafoods: Chemistry, Processing Technology
and Quality. Blackie Academic and Professional, Wester Cleddens Road,
Bishopbriggs, Glasgow G64 2NZ, United Kingdom.
SukaMasak. com. 2014. Ebi. http://sukamasak. com/bumbu/2011/03/ebi. Diakses
pada tanggal 5 Juni 2016 pukul 16. 38 WIB.
Suprapti, M. L. 2006. Teknologi Tepat Guna: Membuat Terasi. Kanisius,
Yogyakarta.
Suzuki, T. 1981. Fish and Krill Protein: Processing Technology. Applied Science
Publishers Ltd, London.
Tim Hello Dokter. 2014. Petis: Si Hitam Lezat – Adakah Kandungan Gizinya?.
http://www. hellodoctor. co. id/petis-si-hitam-lezat-adakah-kandungan-
gizinya/ Diakses pada tanggal 6 Juni 2016 pukul 08. 45 WIB.
Vemale. com. 2003. Tips Memilih dan Menyimpan Ebi Agar Enak Dimasak.
http://www. vemale. com/kuliner/tips-dapur/58255-tips-memilih-dan-
menyimpan-ebi-agar-enak-dimasak. html. Diakses pada tanggal 5 Juni 2016
pukul 16. 42 WIB.
Waridi. 2004. Pengolahan Bakso Ikan. Departemen Pendidikan Nasional: Jakarta.
Wiraswanti, I. 2008. Pemanfaatan Karagenan dan Kitosan dalam Pembuatan
Bakso Ikan Kurisi (Nemipterus nematophorus) pada Penyimpanan Suhu
Dingin dan Beku. Skripsi. Institut Pertanian Bogor: Bogor.
LAMPIRAN

1. Dokumentasi Praktikum Bekasam


A. Alat dan Bahan Praktikum

Ikan mujair Beras oseng

Garam Toples

33
34

Sendok Baskom

Tissue Timbangan
35

B. Prosedur Kegiatan

Pengambilan ikan mujair Pencucian ikan

Penimbangan ikan Pencucian toples


36

Penimbangan beras oseng Penimbangan garam


37

Ikan yang sudah diberi beras oseng Pemasukan ikan bekasam ke toples

Bekasam yang sudah digoreng

Bekasam yang sedang difermentasi


38

2. Dokumentasi Praktikum Bakso Ikan


A. Prosedur Kegiatan

Pencucian ikan Penimbangan bahan

Pemfiletan ikan

Penimbangan tapioca

Pelumatan daging ikan dengan meat Pelumatan bahan dengan food


greander processor
39

Pembuatan adonan Penimbangan adonan

Bakso yang masih setengah jadi

Proses perebusan bakso

Bakso yang telah matang


40

3. Dokumentasi Praktikum Ebi dan Petis Udang


A. Alat dan Bahan Praktikum

Baki
Baki

Gelas ukur plastic Garam

Udang
41

B. Prosedur Kegiatan

Penimbangan bobot awal udang Pengukuran air yang dibutuhkan

Penimbangan gula merah Penuangan garam ke dalam air yang


telah direbus

Proses perebusan udang Penuangan gula merah untuk


pembuatan petis
42

Pencampuran gula merah dengan air Perebusan petis


hasil perebusan udang

Petis yang sudah jadi


43

4. Dokumentasi Praktikum Kecimpring


A. Alat dan Bahan Praktikum

Daging ikan lele bumbu

Plastik

Timbangan

Tutup panci Garpu


44

Tampah
Kertas label

Kain lap

B. Prosedur Kegiatan

Pencetakan kecimpring
Pembuatan adonan
45

Proses pengukusan kecimpring


Perebusan air

Kecimpring yang sudah dikukus Kecimpring yang siap dijemur

Proses penggorengan kecimpring

Kecimpring yang sudah digoreng

Anda mungkin juga menyukai