Anda di halaman 1dari 31

Case Report Session

TETANUS PADA ANAK

OLEH:
Tiara Ledita
1210311023

Preseptor:

dr. Aumas Pabuti, Sp.A(K), MARS

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK


RSUP DR. M. DJAMIL
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2017

1
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tetanus adalah penyakit infeksi sporadis yang melibatkan sistem saraf

disebabkan oleh eksotoksin, tetanospasmin yang diproduksi oleh Clostridium

tetani. Karakteristik penyakit ini adalah peningkatan tonus dan spasme otot pada

individu yang tidak memiliki kekebalan tubuh terhadap tetanus.1 Insiden global

tetanus telah diperkirakan sekitar satu juta kasus per tahun.2,3Angka kematian dari

tetanus sangat bervariasi di seluruh dunia, tergantung pada akses ke pelayanan

kesehatan, dan mendekati 100% tanpa adanya perawatan medis.4

Di negara berkembang, mortalitas tetanus melebihi 50% dengan perkiraan

jumlah kematian 800.000-1.000.000 orang per tahun, sebagian besar pada

neonatus.5,6 Kematian tetanus neonatus diperkirakan sebesar 248.000 kematian

per tahun.5 Di Indonesia tetanus masih menjadi salah satu dari sepuluh besar

penyebab kematian pada anak. Meskipun insidensi tetanus saat ini sudah menurun,

namun kisaran tertinggi angka kematian dapat mencapai angka 60%. Selain itu,

meskipun angka kejadiannya telah menurun setiap tahunnya, namun penyakit ini

masih belum dapat dimusnahkan meskipun pencegahan dengan imunisasi sudah

diterapkan secara luas di seluruh dunia. Oleh karena itu, diperlukan kajian lebih

lanjut mengenai penatalaksanaan serta pencegahan tetanus guna menurunkan

angka kematian penderita tetanus, khususnya pada anak.7

2
1.2 Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan Case Report Session ini adalah untuk memahami definisi,

etiologi, patogenesis, manifestasi klinis, diagnosis, penatalaksanaan dan

prognosis dari tetanus pada anak

1.3 Metode Penulisan

Manfaat penulisan Case Report Session ini adalah dengan studi

kepustakaan dengan merujuk pada berbagai literatur.

1.4 Manfaat Penulisan

Manfaat penulisan Case Report Session ini adalah menambaha wawasan

dan pengetahuan mengenai tetanus pada anak.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Tetanus adalah penyakit infeksi akut disebabkan eksotoksin yang

dihasilkan oleh Clostridium tetani, ditandai dengan peningkatan kekakuan umum

dan kejang otot rangka.7 Kekakuan otot biasanya melibatkan rahang (lockjaw),

leher dan kemudian menjadi seluruh tubuh.8 Gejala klinis tetanus hampir selalu

berhubungan dengan kerja eksotoksin (tetanospasmin) pada sinaps ganglion

sambungan sumsum tulang belakang, neuromuscular junction dan saraf otonom.9

2.2 Etiologi

Tetanus disebabkan oleh bakteri gram positif Clostridium tetani (C.

Tetani). Bakteri ini berbentuk batang, Gram positif, bersifat obligat anaerob

(berbentuk vegetatif apabila berada dalam lingkungan anaerob). Bakteri ini

berspora, dijumpai pada tinja binatang terutama kuda, juga bisa pada manusia dan

juga pada tanah yang terkontaminasi dengan tinja binatang tersebut. Spora ini bisa

tahan beberapa bulan bahkan beberapa tahun dalam suhu tinggi, jika ia

menginfeksi luka seseorang atau bersamaan dengan benda, daging atau bakteri

lain, ia akan memasuki tubuh penderita tersebut, lalu mengeluarkan toksin yang

bernama tetanospasmin.10

C. tetani dapat menghasilkan dua jenis eksotoksin yang kuat, yaitu

tetanolisin dan tetanospasmin. Efek tetanolisin masih belum diketahui pasti.

4
Tetanospasmin merupakan neurotoksin penyebab manifestasi klinis infeksi

tetanus.11

2.3 Patofisiologi

C. tetani biasanya masuk ke dalam tubuh melalui luka yang terkontaminasi.

Port dentree tidak selalu dapat diketahui dengan pasti, namun diduga melalui:

a. Luka tusuk, patah tulang, luka bakar yang luas, gigitan binatang

b. Luka operasi, luka yang tidak dibersihkan dengan baik

c. Otitis media, karies gigi, luka kronik

d. Pemotongan tali pusat yang tidak steril

Spora berkembang pada keadaan anaerobik (oksigen rendah). Toksin yang

dihasilkan dapat menyebar melalui pembuluh darah dan saluran limfatik. Selain

itu, toksin dapat diabsorpsi di tautan saraf otot yang kemudian bermigrasi melalui

jaringan perineural ke susunan saraf pusat (SSP). Toksin tetanus merupakan

metaloproteinase tergantung zink yang menarget protein (sinaptobrevin/ vesicle-

associated membrane protein VAMP) untuk melepaskan neurotransmitter dari

ujung saraf melalui fusi vesikel sinaps dengan membran plasma saraf. Gejala awal

infeksi lokal tetanus ialah paralisis flaksid akibat gangguan pelepasan asetilkolin

di tautan saraf otot. Toksin tetanus dapat menyebar secara retrograde di akson

lower motor neuron (LMN) dan akhirnya mencapai medula spinalis atau batang

otak. Di tempat ini, toksin ditransportasikan menyeberangi sinaps dan diambil

oleh ujung saraf inhibitor GABA (Gamma-Aminobutyric Acid) dan/atau saraf

glisinergik yang mengontrol aktivitas LMN. Sesampainya toksin pada terminal

saraf inhibitor, toksin tetanus akan memecah VAMP, sehingga menghambat

5
pelepasan GABA dan glisin. Hal ini mengakibatkan denervasi fungsional dan

parsial LMN menyebabkan hiperaktivitas dan peningkatan aktivitas otot dalam

bentuk rigiditas dan spasme.5,6

Terdapat dua mekanisme yang dapat menerangkan penyebaran toksin ke

susunan saraf pusat: (1) Toksin diabsorpsi di neuromuscular junction, kemudian

bermigrasi melalui jaringan perineural ke susunan saraf pusat, (2) Toksin melalui

pembuluh limfe dan darah ke susunan saraf pusat. Masih belum jelas mana yang

lebih penting, mungkin keduanya terlibat. Pada mekanisme pertama, toksin yang

berikatan pada neuromuscular junction lebih memilih menyebar melalui saraf

motorik, selanjutnya secara transinaptik ke saraf motorik dan otonom yang

berdekatan, kemudian ditransport secara retrograd menuju sistem saraf pusat.5,7

Tetanospasmin yang merupakan zincdependent endopeptidase memecah

vesicleassociated membrane protein II (VAMP II atau synaptobrevin) pada suatu

ikatan peptida tunggal. Molekul ini penting untuk pelepasan neurotransmiter di

sinaps, sehingga pemecahan ini mengganggu transmisi sinaps. Toksin awalnya

mempengaruhi jalur inhibisi, mencegah pelepasan glisin dan -amino butyric acid

(GABA). Pada saat interneuron menghambat motor neuron alpha juga terkena

pengaruhnya, terjadi kegagalan menghambat refleks motorik sehingga muncul

aktivitas saraf motorik tak terkendali, mengakibatkan peningkatan tonus dan

rigiditas otot berupa spasme otot yang tiba-tiba dan potensial merusak. Hal ini

merupakan karakteristik tetanus. Otot wajah terkena paling awal karena jalur

axonalnya pendek, sedangkan neuron-neuron simpatis terkena paling akhir,

mungkin akibat aksi toksin di batang otak. Pada tetanus berat, gagalnya

penghambatan aktivitas otonom menyebabkan hilangnya kontrol otonom,

6
aktivitas simpatis yang berlebihan dan peningkatan kadar katekolamin. Ikatan

neuronal toksin sifatnya irreversibel, pemulihan membutuhkan tumbuhnya

terminal saraf yang baru, sehingga memanjangkan durasi penyakit ini.5,6

2.4 Manifestasi Klinis

Periode inkubasi bervariasi 3 - 21 hari dengan rerata 7 hari. Makin jauh

lokasi luka dari SSP, periode inkubasi makin lama.11 Singkatnya periode inkubasi

berkaitan dengan peningkatan risiko kematian. Pada tetanus neonatorum, gejala

biasanya muncul mulai dari hari ke-4 hingga 14 setelah melahirkan dengan rerata

7 hari.Toksin tetanus menyebabkan hiperaktivitas otot rangka dalam bentuk

rigiditas dan spasme. Rigiditas merupakan kontraksi otot involunter tonik,

sedangkan spasme merupakan kontraksi otot yang berlangsung lebih singkat,

dapat dirangsang oleh peregangan otot atau stimulasi sensorik sehingga disebut

sebagai refleks spasme.5,11

Tetanus dikelompokkan menjadi generalisata, neonatus, lokal, dan sefalik.

Sekitar 80% tetanus merupakan tipe generalisata.11

a. Tetanus Lokal, jarang dengan presentasi kontraksi otot persisten di area

anatomi yang mengalami trauma. Tetanus tipe ini dapat menjadi awal dari

tetanus umum, tetapi lebih ringan, dan hanya sekitar 1% menjadi fatal.

b. Tetanus Sefalik, jarang terjadi, biasanya pada otitis media atau pasca-

trauma kepala dengan gejala terutama di daerah fasial. Otitis media

merupakan fokal infeksi tetanus yang paling sering terjadi pada anak. Jika

penderita otitis media supuratif sering mengorek telinga dengan sesuatu

yang tidak steril maka spora dapat ikut masuk kedalam telinga tengah

7
karena biasanya pada penderita otitis media gendang telinganya telah

mengalami perforasi, sehingga apabila telinga tengah dalam keadaan

anaerob spora dapat berubah dan memperbanyak diri serta mengeluarkan

eksotosin yang menimbulkan manifestasi klinis tetanus.13

c. Tetanus Generalisata, tampak dengan pola menyebar ke distal. Gejala awal

bermula dari trismus diikuti spasme leher, kesulitan menelan, dan rigiditas

otot abdominal. Tungkai biasanya sedikit terpengaruh. Jika terdapat

opistotonus penuh, akan muncul fleksi lengan dan ekstensi kaki seperti

posisi dekortikasi. Gejala lain meliputi peningkatan suhu, berkeringat,

peningkatan tekanan darah, dan takikardia episodik. Hal ini disebabkan

oleh peningkatan dramatis adrenalin dan noradrenalin yang dapat berujung

pada nekrosis miokardial. Spasme dapat berlangsung hingga 3-4 minggu.12.

d. Tetanus Neonatorum, biasanya disebabkan infeksi bakteri tetanus yang

masuk melalui tali pusat sewaktu proses pertolongan persalinan yang tidak

steril.

2.5 Diagnosis

Diagnosis ditegakkan sepenuhnya dari tanda dan gejala klinis tanpa

konfirmasi tes laboratorium. Definisi WHO untuk tetanus membutuhkan

penemuan salah satu tanda klinis, yaitu trismus atau risus sardonikus atau

kontraksi otot yang nyeri. Hanya sekitar 30% kasus tetanus dapat mengisolasi C.

Tetani pada pemeriksaan bakteriologik; C. Tetani dapat ditemukan dari pasien

yang tidak tetanus.13

8
Pada pemeriksaan fisik dapat dilakukan uji spatula, dilakukan dengan

menyentuh dinding posterior faring menggunakan alat dengan ujung yang lembut

dan steril. Hasil tes positif jika terjadi kontraksi rahang involunter (menggigit

spatula) dan hasil negatif berupa refleks muntah. Laporan singkat The American

Journal of Tropical Medicine and Hygiene menyatakan bahwa uji spatula

memiliki spesifisitas tinggi (tidak ada hasil positif palsu) dan sensitivitas tinggi

(94% pasien terinfeksi menunjukkan hasil positif ). Pemeriksaan darah dan cairan

cerebrospinal biasanya normal. Kultur C. tetani dari luka sangat sulit (hanya 30%

positif ), dan hasil kultur positif mendukung diagnosis, bukan konfirmasi.14

Beberapa keadaan yang dapat disingkirkan dengan pemeriksaan cermat

adalah meningitis, perdarahan subarachnoid, infeksi orofacial serta arthralgia

temporomandibular yang menyebabkan trismus, keracunan strychnine, tetani

hipokalsemia, histeri, encefalitis, terapi phenotiazine, serum sickness, epilepsi dan

rabies.14

2.6 Diagnosis Banding

Untuk membedakan diagnosis banding dari tetanus, tidak begitu sulit

berdasarkan pengamatan dari anamnesis pemeriksaan fisik dan penunjang

laboratorium (pada tetanus cairan serebrospinal normal dam pemeriksaan darah

rutin normal atau sedikit meninggi), serta adanya riwayat imunisasi. Diagnosis

banding tetanus dapat diamati pada gambar 2.1 dibawah ini:

9
Gambar 2.1 Diagnosis banding tetanus

2.7 Tatalaksana

Penatalaksanaan tetanus dibedakan menjadi penatalaksanaan umum dan

khusus.15,16

1. Umum

Pada penatalaksanaan umum, hal-hal yang harus diperhatikan adalah

sebagai berikut:

a. Tercukupinya kebutuhan cairan dan nutrisi

b. Menjaga saluran nafas agar tetap bebas, pasien diposisikan agar

mencegah pneumonia aspirasi

c. Pasien sebaiknya ditempatkan di ruang perawatan yang gelap dan

tenang

d. Pemeriksaan elektrolit serta analisis gas darah sebagai panduan

terapi

10
2. Khusus

a. Imunoterapi

Antitoksin harus diberikan untuk menetralkan toksin-toksin yang

belum berikatan. Setelah evaluasi awal, human tetanus

immunoglobulin (HTIG) segera diinjeksikan intramuskuler dengan

dosis awal 3.000-10.000 U dibagi tiga dosis yang sama, diinjeksikan

di tiga tempat berbeda. Rekomendasi British National Formulary

ialah 5.000-10.000 unit intravena. Kontraindikasi HTIG adalah

riwayat hipersensitivitas terhadap imunoglobulin atau komponen

imunoglobulin sebelumnya, trombositopenia berat atau keadaan

koagulasi lain yang dapat merupakan kontraindikasi pemberian

intramuskular. Bila HTIG tidak tersedia, dapat digunakan ATS dengan

dosis 100.000-200.000 unit, diberikan 50.000 unit intravena dan

50.000 unit IM pada hari pertama, kemudian 60.000 dan 40.000 unit

IM masing-masing pada hari kedua dan ketiga.16 Selain itu, dapat

ditambahkan vaksin tetanus toksoid (TT) 0,5 ml. IM. Pasien yang

tidak memiliki riwayat vaksinasi sebaiknya mendapat dosis kedua 1-2

bulan setelah dosis pertama dan dosis ketiga 6-12 bulan setelahnya.

b. Antibiotik

Antibiotik diberikan untuk mengeradikasi bakteri, sedangkan efek

untuk tujuan pencegahan tetanus secara klinis adalah minimal. Pada

penelitian di Indonesia, metronidazol telah menjadi terapi pilihan di

beberapa pelayanan kesehatan. Metronidazol diberikan secara IV

dengan dosis inisial 15 mg/kgBB dilanjutkan dengan dosis 30

11
mg/kgBB/hari setiap 6 jam selama 7-10 hari. Metronidazol efektif

mengurangi jumlah kuman C.tetani bentuk vegetatif. jika hipersensitif

terhadap penicillin dapat diberi tetracycline 50 mg/kgBB/hari (untuk

anak berumur lebih dari 8 tahun). Penicillin membunuh bentuk

vegetatif C. tetani. Sampai saat ini, pemberian penicillin G 100.000

U/kgBB/hari iv, setiap 6 jam selama 10 hari direkomendasikan pada

semua kasus tetanus. Sebuah penelitian menyatakan bahwa penicillin

mungkin berperan sebagai agonis terhadap tetanospasmin dengan

menghambat pelepasan asam aminobutirat gama (GABA).

c. Kontrol Spasme Otot

Diazepam efektif mengatasi spasme dan hipertonisitas tanpa menekan

pusat kortikal. Dosis diazepam yang direkomendasikan adalah 0,1-0,3

mg/kgBB/ kali dengan interval 2-4 jam sesuai gejala klinis, dosis yang

direkomendasikan untuk usia <2 tahun adalah 8 mg/kgBB/hari oral

dalam dosis 2-3 mg setiap 3 jam. Spasme harus segera dihentikan

dengan diazepam 5 mg per rektal untuk berat badan <10 kg dan 10 mg

per rektal untuk anak dengan berat badan 10 kg, atau diazepam

intravena untuk anak 0,3 mg/kgBB/kali. Setelah spasme berhenti,

pemberian diazepam dilanjutkan dengan dosis rumatan sesuai keadaan

klinis. Alternatif lain, untuk bayi (tetanus neonatorum) diberikan dosis

awitan 0,1-0,2 mg/kgBB iv untuk menghilangkan spasme akut, diikuti

infus tetesan tetap 15-40 mg/ kgBB/hari. Setelah 5-7 hari dosis

diazepam diturunkan bertahap 5-10 mg/hari dan dapat diberikan

melalui pipa orogastrik. Dosis maksimal adalah 40 mg/kgBB/hari.

12
d. Mencari port dentree

2.8 Prognosis

Prognosis tetanus dapat dinilai berdasarkan derajat keparahan penyakit.

Terdapat beberapa sistem penilaian tetanus. Skala yang diusulkan Ablett adalah

yang paling banyak digunakan (Gambar 2.2). Selain skoring Ablett, terdapat

sistem skoring untuk menilai prognosis tetanus seperti Dakar score (Gambar 2.3)

dan Phillips score (Gambar 2.4). Kedua sistem skoring ini memasukkan kriteria

periode inkubasi dan periode onset, begitu pula manifestasi neurologis dan

kardiak. Phillips score juga memasukkan status imunisasi pasien. Phillips score

<9, severitas ringan; 9-18, severitas sedang; dan >18, severitas berat. Dakar score

0-1, severitas ringan dengan mortalitas 10%; 2-3, severitas sedang dengan

mortalitas 10-20%; 4, severitas berat dengan mortalitas 20-40%; 5-6, severitas

sangat berat dengan mortalitas >50%.17 Outcome tetanus tergantung berat

penyakit dan fasilitas pengobatan yang tersedia. Jika tidak diobati, mortalitasnya

lebih dari 60% dan lebih tinggi pada neonatus. Di fasilitas yang baik, angka

mortalitasnya 13% sampai 25%. 17

Gambar 2.2 Severitas tetanus berdasarkan klasifikasi Ablett17

13
Gambar 2.3 Dakar Score17

Gambar 2.4 Phillips Score 17

14
Penderita tetanus biasanya dapat bertahan dan kembali ke kondisi

kesehatan seperti sebelum sakit. Proses penyembuhan berlangsung lambat dan

biasanya dalam waktu 2-4 bulan. Beberapa penderita terjadi hipotonia. Tetanus

tidak dapat menyebabkan status imun pada penderita sehingga penderita yang

sembuh tetap membutuhkan imunitas aktif dengan tetanus toksoid untuk

mencegah kekambuhan.

15
BAB III

ILUSTRASI KASUS

IDENTITAS PASIEN :

Nama : An. J

Jenis kelamin : Perempuan

Umur : 12 tahun 10 bulan

MR : 99.86.45

Suku bangsa : Minang

Alamat : Padang

Tanggal Pemeriksaan : 24 November 2017

ANAMNESIS (Alloanamnesis dengan Ibu Kandung)

Seorang pasien laki-laki umur 2 tahun 8 bulan dirawat di Bangsal Anak

RSUP. DR. M. Djamil Padang tanggal 15 November 2017 rujukan RS Aisyiyah

Pariaman dengan:

Keluhan Utama:

Demam sejak 6 hari sebelum masuk rumah sakit

Riwayat Penyakit Sekarang:

- Demam sejak 6 hari yang lalu, demam tinggi, terus menerus, tidak

menggigil, tidak berkeringat, tidak disertai kejang

- Batuk sejak 6 hari yang lalu, berdahak, tidak disertai pilek

- Mual tidak ada, muntah tidak ada, sesak nafas tidak ada

- BAK jumlah dan warna biasa

16
- BAB warna dan konsistensi biasa, BAB hitam tidak ada

Riwayat Penyakit Dahulu:

- Pasien pernah dirawat dengan diagnosis DBD pada usia 6 tahun dan

mendapat terapi trombosit 10 kantong

Riwayat Penyakit Keluarga:

- Tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit yang sama

dengan pasien.

Riwayat Kehamilan dan Persalinan

Pasien merupakan anak pertama, lahir spontan, cukup bulan, ditolong

bidan, berat badan lahir 2800 gram, panjang badan lahir 48 cm, langsung

menangis saat lahir.

Riwayat Makan dan Minum

- Bayi

ASI : 0-2 tahun

Bubur susu : 6-9 bulan

Nasi tim : 8-10 bulan

Susu formula : 2 tahun-sekarang

- Anak

Makanan utama: makan biasa 2-3 kali sehari porsi kecil

Daging : 5x seminggu

Ikan : 1x seminggu

Telur : 3x seminggu

Sayur dan buah : tidak setiap hari

Kesan: kuantitas dan kualitas kurang

17
Riwayat Imunisasi
BCG : 1 bulan , scar (+)

DPT : 1. 2 bulan

2. -

3. -

Polio : 1. 2 bulan

2. -

3. -

Campak : tidak ada

Hepatitis B : tidak ada

Kesan : imunisasi dasar tidak lengkap

Riwayat Perkembangan Fisik dan Mental


Tengkurap : 2,5 bulan Isap jempol : tidak ada

Duduk : 10 bulan Gigit kuku : tidak ada

Berdiri : 11 bulan Aktif sekali : tidak ada

Berjalan : 13 bulan Apati : tidak ada

Bicara : 18 bulan

Kesan : perkembangan fisik dan mental normal.

Riwayat Sosial, Ekonomi dan Keluarga

Pasien merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Ibu berusia 42

tahun, ibu tamat DIII, pekerjaan ibu PNS dengan penghasilan R. 2.000.000/bulan.

18
Ayah berusia 43 tahun, tamat S1 dan pekerjaan PNS dengan penghasilan Rp

5.000.000 /bulan.

Riwayat Lingkungan Perumahan dan Sanitasi

Pasien tinggal di rumah permanen, sumber air minum dari air isi ulang,

jamban didalam rumah, luas pekarangan sedang, sampah dibuang ke TPS.

Kesan : higiene dan sanitasi lingkungan baik

Pemeriksaan Fisik

Tanda Tanda Vital

Keadaan Umum : Sakit sedang

Kesadaran : Sadar

Tekanan darah : 110/80 mmhg

Frekuensi nadi : 90 x/menit

Frekuensi nafas : 22 x/menit

Suhu : 37,0 C

Berat Badan : 31,6 kg

Tinggi Badan : 151 cm

BB/U : 72,2 %

TB/U : 97,7 %

BB/TB : 76 %

Status gizi : Gizi kurang

Sianosis : tidak ada

Edema : tidak ada

19
Anemis : tidak ada

Ikterik : tidak ada

Keadaan Regional

Kulit : Teraba hangat, turgor baik

KGB : Tidak teraba pembesaran KGB

Kepala : normocephal, bulat, simetris

Rambut : Hitam, tidak mudah rontok.

Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, pupil isokor

2mm/2mm, refleks cahaya +/+ normal

Telinga : tidak ditemukan kelainan

Hidung : Tidak ada kelainan

Tenggorokan : tonsil T1-T1 hiperemis, faring hiperemis

Mulut : mukosa bibir dan mulut basah

Leher : JVP 5-2 cm H2O, kaku kuduk tidak ada

Paru :

Inspeksi : Normochest, simetris statis dan dinamis, retraksi tidak ada

Palpasi : Fremitus sama kiri dan kanan

Perkusi : Sonor kiri dan kanan

Auskultasi : Vesikuler, wheezing tidak ada, rhonki tidak ada

Jantung :

Inspeksi : Iktus tidak terlihat

Palpasi : Iktus teraba 1 jari medial LMCS RIC V

Perkusi : Tidak dilakukan

20
Auskultasi : Bunyi jantung teratur, bising tidak ada.

Abdomen

Inspeksi : distensi tidak ada

Palpasi : supel, hepar dan lien tidak teraba

Perkusi : Timpani

Auskultasi: Bising usus (+) normal

Punggung

Tidak ditemukan kelainan

Alat Kelamin

Tidak diperiksa

Anus

Colok dubur tidak dilakukan

Anggota Gerak

Akral hangat, CRT < 2 detik, refleks fisiologis +/+, refleks patologis -/-

Laboratorium

Hb : 18,0 gr%

Ht : 51 %

Leukosit : 4230/mm3

Trombosit : 110000/mm3

21
Diagnosis

- Dengue Hemorraghic Fever Grade I

- Gizi Kurang

Penatalaksanaan

1. Tatalaksana Kegawatdaruratan

IVFD RL 7cc/kgBB/jam = 72 tpm makro

2. Tatalaksana nutrisi

MB 1750 kkal

3. Tatalaksana medikamentosa

Paracetamol 350mg (T>38,5C) p.o

Ambroxol 3x15mg p.o

FOLLOW UP

Kamis/ 16-11-2017 (HR 2)

S/ Sadar

Anak masih ada kejang rangsang 5-8 kali/hari, lama 10-30 detik

Tubuh masih terlihat kaku

Mulut masih sulit dibuka, sulit menelan

Cairan telinga aktif tidak keluar

Demam tidak ada

O/ KU Kes Nd Nfs T

Sdg sadar 106x/1 28x/1 36,50C

Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik

Wajah : risus sardonikus tidak ada

22
Mulut : trismus (+) 2 cm

Thorak : Cor dan pulmo dalam batas normal

Abdomen : Supel, defans muskular tidak ada

Ekstremitas : akral hangat, CRT < 2 detik, spasme (+)

A/ - Tetanus

- Otitis Media Supuratif Kronis AD Tipe Aman Fase Aktif

P/ 1. Umum/ suportif

- Pasien dirawat di ruang perawatan yang sunyi dan dihindarkan dari

stimulasi taktil ataupun auditorik

- O2 1L/menit nasal

- IVFD KAEN 1B 8 tpm makro

- MC 8x150 cc via NGT

- suction berkala

2. Khusus

- Metronidazol 3x75 mg IV (2)

- Ampicilin 4x250 mg IV (2)

- Kloramfenikol 4x200 mg IV

- Paracetamol 100 mg (T 38,5o C)

- Diazepam 8x2 mg IV tiap 3 jam

- H2O2 3% 2x3 tetes/hari AD

- Ofloxacin 2x2 tetes/hari AD

Jumat/ 17-11-2017 (HR 3)

S/ Sadar

23
Kejang rangsang masih ada, berkurang, 3-5 kali/hari, lama 10-20 detik

Mulut mulai bisa dibuka, masih sulit menelan

Kaku tangan dan kaki berkurang

Demam tidak ada

Batuk ada, anak sulit mengeluarkan dahak

Makan diberikan MC per sonde, toleransi baik

O/ KU Kes Nd Nfs T

Sdg sadar 98x/1 24x/1 37,30C

Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik

Wajah : risus sardonikus tidak ada

Mulut : trismus (+) 3 cm

Thorak : Cor dan pulmo dalam batas normal

Abdomen : Supel, defans muskular tidak ada

Ekstremitas : akral hangat, CRT < 2 detik, spasme (-)

A/ - Tetanus

- Otitis Media Supuratif Kronis AD Tipe Aman Fase Aktif

P/ 1. Umum/ suportif

- Pasien dirawat di ruang perawatan yang sunyi dan dihindarkan dari

stimulasi taktil ataupun auditorik

- O2 1L/menit nasal

- IVFD KAEN 1B 8 tpm makro

- MC 8x150 cc via NGT

- suction berkala

2. Khusus

24
- Metronidazol 3x75 mg IV (3)

- Ampicilin 4x250 mg IV (3)

- Kloramfenikol 4x200 mg IV

- Paracetamol 100 mg (T 38,5o C)

- Diazepam 8x2 mg IV tiap 3 jam

- H2O2 3% 2x3 tetes/hari AD

- Ofloxacin 2x2 tetes/hari AD

- Ambroxol syr 3x1/3 cth

25
BAB III

DISKUSI

Telah dirawat seorang pasien anak laki-laki berusia 2 tahun 8 bulan di

Bangsal Anak RSUP Dr. M.Djamil Padang dengan diagnosis Tetanus dan Otitis

Media Supuratif Kronis Tipe Aman Fase Aktif.

Berdasarkan anamnesis, pasien datang dengan keluhan mulut sulit dibuka

sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit. Pasien juga sulit berbicara, makan dan

menelan. Pasien mengalami kejang yang dicetuskan dengan rangsangan sentuhan

dan cahaya sejak 1 hari sebelum masuk RS, seluruh tubuh kaku saat kejang,

namun pasien tetap sadar. Kejang terjadi sekitar 8-12x/hari, berlangsung selama

20-30 detik. Gejala klinis yang dikeluhkan oleh pasien sesuai dengan gejala

klinis pada penyakit tetanus yaitu adanya trismus (kekakuan otot rahang), disfagia

(sulit menelan), dan kejang rangsang yang dicetuskan sentuhan dan cahaya tanpa

hilangnya kesadaran.

Pasien sebelumnya memiliki keluhan telinga kanan berair sejak 5 hari

sebelum masuk RS, cairan keluar berwarna kuning kehijauan dan berbau busuk.

Oleh dokter THT RSUP Dr. M. Djamil, pasien didiagnosis Otitis Media Supuratif

Kronis Tipe Aman Fase Aktif. Keluhan seperti ini tidak pertama kali dialami

pasien. Enam bulan yang lalu, pasien juga pernah mengalami keluhan yang sama

terutama bila pasien mengalami demam, batuk dan pilek, namun keluhan ini tidak

pernah diobati. Pasien diketahui sering mengorek telinga dengan tangannya. Pada

kasus ini kondisi kavum timpani yang bersifat anaerob juga memungkinkan

terjadinya perkembangan spora tetanus yang tersebar dimana mana dan dapat

26
masuk ke telinga tengah karena kebiasaan pasien mengorek telinga dengan

kondisi yang tidak steril. Infeksi telinga tengah merupakan penyakit tersering

yang menjadi fokal infeksi tetanus pada anak. Pada infeksi telinga tengah ini

dapat terjadi tetanus cephalic yang terjadi karena infeksi sekunder dari infeksi di

kepala atau telinga rengah dengan gejala kelumpuhan saraf kranial, paling sering

nervus fasialis, dan berkembang menjadi tetanus generalisata. Pada kasus ini tidak

ditemukan gejala kelumpuhan nervus fasialis kemungkinan karena dekatnya

sumber infeksi sehingga dengan waktu singkat telah menjadi tetanus generalisata.

Berdasarkan anamnesis riwayat imunisasi pasien diketahui tidak

melakukan imunisasi dasar, termasuk imunisasi DPT 3 kali. Hal ini makin

memperkuat kemungkinan pasien mengalami tetanus karena tidak adanya proteksi

yang didapatkan pasien terhadap kuman tetanus. Diketahui bahwa angka

kekebalan setelah pemberian imunisasi DPT 3 kali adalah 98% dan kadar

protektif turun paling cepat 5 tahun.

Dari pemeriksaan fisik ditemukan pasien sakit sedang, sadar, tanda

rangsangan meningeal dan tanda peningkatan tekanan intrakranial tidak

ditemukan. Terdapat peningkatan suhu (37,8oc) sedikit diatas normal, keringat

banyak, dan hipersekresi saliva. Hal ini disebabkan efek toksin kuman tetanus

pada sistem saraf otonom. Pada pemeriksaan mulut ditemukan trismus 2 cm,

tidak ditemukan risus sardonikus, opistotonus dan kekakuan otot perut. Namun

ditemukan kekakuan ekstremitas pada pasien ini. Otot-otot rahang, wajah, dan

kepala merupakan yang pertama kali terpengaruh karena jalur aksonal yang lebih

pendek kemudian diikuti otot-otot tubuh dan ekstremitas. Trismus terjadi pada

lebih dari 50% pasien tetanus, hal ini disebabkan otot masetter adalah otot yang

27
paling sensitif terhadap toksin tetanus. Penemuan trismus sebagai salah satu dasar

diagnosis tetanus pada pasien ini juga sesuai dengan WHO, yaitu dikatakan

tetanus apabila terdapat salah satu temuan klinis berupa trismus atau risus

sardonikus atau kontraksi otot yang nyeri.

Diagnosis tetanus dapat ditegakkan sepenuhnya dari tanda dan gejala

klinis tanpa konfirmasi tes laboratorium, karena pemeriksaan laboratorium tidak

spesifik. Hanya sekitar 30% kasus tetanus dapat mengisolasi C. Tetani pada

pemeriksaan bakteriologik. Oleh karena itu, tidak dilakukan pemeriksaan kultur

pada pasien ini. Pada pasien tetap dilakukan pemeriksaan darah rutin, didapatkan

hasil leukositosis dan trombositosis. Temuan laboratorium ini dapat dijumpai pada

kasus tetanus, namun tidak spesifik.

Setelah diagnosis tetanus dibuat harus ditentukan derajat keparahan

penyakit. Beberapa sistem skoring tetanus dapat digunakan, diantaranya adalah

skor Phillips, Dakar, Ablett dan Udwadia. Pada pasien ini dilakukan penghitungan

skor menggunakan klasifikasi Phillips, Ablett dan Dakar. Skor Phillips pasien

bernilai 18 (masa inkubasi 2-5 hari, lokasi di telinga, tidak ada proteksi) yang

menunjukkan derajat keparahan sedang, didukung oleh klasifikasi Ablett yang

menunjukkan Grade II (sedang), dimana ditemukan adanya trismus sedang,

rigiditas, spasme singkat, dan disfagia ringan dan skor Dakar bernilai 3 (inkubasi

<7 hari, onset < 2 hari, tempat masuk infeksi dari telinga) yang menandakan

keparahan sedang dengan mortalitas 10-20%.

Pada pasien ini diberikan penatalaksanaan yang bersifat umum dan khusus.

Tatalaksana umum berupa perawatan pasien di tempat yang sunyi, dihindarkan

dari stimulasi berlebihan berupa sentuhan, cahaya dan suara untuk mencegah

28
terjadinya kejang rangsang berulang. Pasien diberikan O2 1L/menit, IVFD KAEN

1B 8 tpm makro, diet makanan cair 8x150cc untuk memenuhi kebutuhan nutrisi.

Diet diberikan melalui NGT akibat pasien sulit menelan. Suction berkala juga

dilakukan pada pasien akibat hipersalivasi yang dialami pasien.

Penatalaksanaan khusus pada pasien ini adalah pemberian antitoksin

tetanus, antibiotik dan mengontrol spasme otot. Antitoksin tetanus yang dipilih

untuk pasien ini adalah Human Tetanus Imunoglobulin (HTIG) 3000 IU secara

IM sesuai ekomendasi British National Formulary. Anti Tetanus Serum (ATS)

tidak dipilih pada pasien ini karena ATS hanya efektif pada luka baru (<6jam) dan

perlu berhati-hati terjadi reaksi anafilaksis. Perlu ditambahkan imunisasi Toksoid

Tetanus (TT) 0,5 ml (IM). Pasien ini sebelumnya tidak ada riwayat imunisasi,

sehingga sebaiknya mendapat dosis kedua 1-2 bulan setelah dosis pertama dan

dosis ketiga 6-12 bulan setelahnya. Pemberian antibiotik pada pasien ini yaitu

metronidazol 3x75 mg (IV), ampicilin 4x250 mg (IV), kloramfenikol 4x200 mg

(IV). Metronidazol telah menjadi terapi pilihan yang digunakan di beberapa

pelayanan kesehatan karena diketahui efektif untuk mengeradikasi sel-sel

vegetatif sebagi sumber toksin dan dapat mencegah multiplikasi Clostridium

tetani. Pemberian dilakukan dengan interval setiap 6 jam selama 7-10 hari. Untuk

mengontrol spasme otot pada pasien ini diberikan diazepam intravena 8x2 mg tiap

3 jam. Hal yang tidak kalah pentingnya dalam penatalaksanaan tetanus adalah

mencari port dentree kuman dan mengobatinya. Pada kasus ini, fokal infeksi

ditemukan pada telinga kanan, yaitu otitis media supuratif kronis tipe aman fase

aktif yang dialami pasien. Untuk mengobati fokal infeksi tersebut diberikan H2O2

3% 2x3 tetes/hari AD dan ofloxacin 2x2 tetes/ hari AD.

29
DAFTAR PUSTAKA

1. Gautam MP, Adhikari P, Koinka, SR. A Case of Cephalic Tetanus Refer as


Rabies-Case Report. Post Graduate Medical Journal of NAMS. 2009;9:69-72.

2. Bleck, TP Clostridium tetani ( Tetanus). In: Mandell GL, Bennet JE, Dolin R,
editors. Principle and Practice of Infectious Diseases 6th . Amsterdam:
Elsavier Saunders; 2005. p. 2817-2822.

3. Thwaites, CL, Farrar, JJ. Preventing and Treating Tetanus . BMJ. 2003;326:
117-118.

4. Blencowe H, Lawn J,Vandelaer J, Roper M, Cousens S. Tetanus Toxoid


Immunization to Reduce Mortality from Neonatal Tetanus. Int. J. Epidemiol.
2010; 39:102-109.

5. Thwaites CL, Yen LM. Tetanus. In: Fink MP, Abraham E, Vincent JL,
Kochanek PM, editors. Textbook of Critical Care. 5th ed. Philadelphia:
Elsevier Saunders; 2005.p.1401-4.

6. Lipman J. Tetanus. In: Bersten AD, Soni N, eds. Ohs Intensive Care Manual.
6th ed. Philadelphia: Butterworth Heinemann Elsevier; 2009.p.593-7.

7. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Penatalaksanaan Tetanus pada


Anak. Jakarta: Depkes RI; 2008.

8. CDC. Tetanus Epidemiology and Prevention Vaccine Preventable Disease.


2015.

9. Soedarmo SSP, Garna H, Hardinegoro SRS, Satari HI. Buku ajar Infeksi dan
Pediatri Tropis. Edisi ke 2. Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 2015.

10. Hassel B. Tetanus: Pathophysiology, Treatment, and The Possibility of Using


Botulinum Toxin Against Tetanus-Induced Rigidity and Spasms. Toxins
(Basel). 2013; 5: 73-83.

11. Taylor AM. Tetanus. Continuing Education in Anesthesia, Critical Are &
Pain. Oxford Journal. 2006;6

12. Schiavo G, Matteoli M, Montecucco C. Neurotoxins Affecting


Neuroexocytosis. Physiol Rev. 2000; 80: 717-66.

13. Asti Widuri. Otitis Media Supuratif Kronik Maligna dengan Tetanus. Mutiara
Medika. 2008;8:60-66

14. Mahadewa TGB, Mallawan S. Diagnosis & Tatalaksana Kegawatdaruratan


Tulang Belakang. Jakarta: CV Sagung Seto;2009

30
15. Simanjuntak P. Penatalaksanaan Tetanus pada Pasien Anak. Medula Unila.
2013;1:85-93.

16. Laksmi NKS. Penatalaksanaan Tetanus. CDK. 2014; 41(11): 823-7.

17. Farrar JJ, Yen LM, Cook T, Fairweather N, Binh N, Parry J, et al.
Neurological aspects of tropical disease: tetanus. J Neurol Neurosurg
Psychiatry.2000;69:292-301.

31

Anda mungkin juga menyukai