OLEH:
Tiara Ledita
1210311023
Preseptor:
1
BAB I
PENDAHULUAN
tetani. Karakteristik penyakit ini adalah peningkatan tonus dan spasme otot pada
individu yang tidak memiliki kekebalan tubuh terhadap tetanus.1 Insiden global
tetanus telah diperkirakan sekitar satu juta kasus per tahun.2,3Angka kematian dari
per tahun.5 Di Indonesia tetanus masih menjadi salah satu dari sepuluh besar
penyebab kematian pada anak. Meskipun insidensi tetanus saat ini sudah menurun,
namun kisaran tertinggi angka kematian dapat mencapai angka 60%. Selain itu,
meskipun angka kejadiannya telah menurun setiap tahunnya, namun penyakit ini
diterapkan secara luas di seluruh dunia. Oleh karena itu, diperlukan kajian lebih
2
1.2 Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan Case Report Session ini adalah untuk memahami definisi,
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
dan kejang otot rangka.7 Kekakuan otot biasanya melibatkan rahang (lockjaw),
leher dan kemudian menjadi seluruh tubuh.8 Gejala klinis tetanus hampir selalu
2.2 Etiologi
Tetani). Bakteri ini berbentuk batang, Gram positif, bersifat obligat anaerob
berspora, dijumpai pada tinja binatang terutama kuda, juga bisa pada manusia dan
juga pada tanah yang terkontaminasi dengan tinja binatang tersebut. Spora ini bisa
tahan beberapa bulan bahkan beberapa tahun dalam suhu tinggi, jika ia
menginfeksi luka seseorang atau bersamaan dengan benda, daging atau bakteri
lain, ia akan memasuki tubuh penderita tersebut, lalu mengeluarkan toksin yang
bernama tetanospasmin.10
4
Tetanospasmin merupakan neurotoksin penyebab manifestasi klinis infeksi
tetanus.11
2.3 Patofisiologi
Port dentree tidak selalu dapat diketahui dengan pasti, namun diduga melalui:
a. Luka tusuk, patah tulang, luka bakar yang luas, gigitan binatang
dihasilkan dapat menyebar melalui pembuluh darah dan saluran limfatik. Selain
itu, toksin dapat diabsorpsi di tautan saraf otot yang kemudian bermigrasi melalui
ujung saraf melalui fusi vesikel sinaps dengan membran plasma saraf. Gejala awal
infeksi lokal tetanus ialah paralisis flaksid akibat gangguan pelepasan asetilkolin
di tautan saraf otot. Toksin tetanus dapat menyebar secara retrograde di akson
lower motor neuron (LMN) dan akhirnya mencapai medula spinalis atau batang
5
pelepasan GABA dan glisin. Hal ini mengakibatkan denervasi fungsional dan
bermigrasi melalui jaringan perineural ke susunan saraf pusat, (2) Toksin melalui
pembuluh limfe dan darah ke susunan saraf pusat. Masih belum jelas mana yang
lebih penting, mungkin keduanya terlibat. Pada mekanisme pertama, toksin yang
mempengaruhi jalur inhibisi, mencegah pelepasan glisin dan -amino butyric acid
(GABA). Pada saat interneuron menghambat motor neuron alpha juga terkena
rigiditas otot berupa spasme otot yang tiba-tiba dan potensial merusak. Hal ini
merupakan karakteristik tetanus. Otot wajah terkena paling awal karena jalur
mungkin akibat aksi toksin di batang otak. Pada tetanus berat, gagalnya
6
aktivitas simpatis yang berlebihan dan peningkatan kadar katekolamin. Ikatan
lokasi luka dari SSP, periode inkubasi makin lama.11 Singkatnya periode inkubasi
biasanya muncul mulai dari hari ke-4 hingga 14 setelah melahirkan dengan rerata
dapat dirangsang oleh peregangan otot atau stimulasi sensorik sehingga disebut
anatomi yang mengalami trauma. Tetanus tipe ini dapat menjadi awal dari
tetanus umum, tetapi lebih ringan, dan hanya sekitar 1% menjadi fatal.
b. Tetanus Sefalik, jarang terjadi, biasanya pada otitis media atau pasca-
merupakan fokal infeksi tetanus yang paling sering terjadi pada anak. Jika
yang tidak steril maka spora dapat ikut masuk kedalam telinga tengah
7
karena biasanya pada penderita otitis media gendang telinganya telah
bermula dari trismus diikuti spasme leher, kesulitan menelan, dan rigiditas
opistotonus penuh, akan muncul fleksi lengan dan ekstensi kaki seperti
masuk melalui tali pusat sewaktu proses pertolongan persalinan yang tidak
steril.
2.5 Diagnosis
penemuan salah satu tanda klinis, yaitu trismus atau risus sardonikus atau
kontraksi otot yang nyeri. Hanya sekitar 30% kasus tetanus dapat mengisolasi C.
8
Pada pemeriksaan fisik dapat dilakukan uji spatula, dilakukan dengan
menyentuh dinding posterior faring menggunakan alat dengan ujung yang lembut
dan steril. Hasil tes positif jika terjadi kontraksi rahang involunter (menggigit
spatula) dan hasil negatif berupa refleks muntah. Laporan singkat The American
memiliki spesifisitas tinggi (tidak ada hasil positif palsu) dan sensitivitas tinggi
(94% pasien terinfeksi menunjukkan hasil positif ). Pemeriksaan darah dan cairan
cerebrospinal biasanya normal. Kultur C. tetani dari luka sangat sulit (hanya 30%
rabies.14
rutin normal atau sedikit meninggi), serta adanya riwayat imunisasi. Diagnosis
9
Gambar 2.1 Diagnosis banding tetanus
2.7 Tatalaksana
khusus.15,16
1. Umum
sebagai berikut:
tenang
terapi
10
2. Khusus
a. Imunoterapi
50.000 unit IM pada hari pertama, kemudian 60.000 dan 40.000 unit
ditambahkan vaksin tetanus toksoid (TT) 0,5 ml. IM. Pasien yang
bulan setelah dosis pertama dan dosis ketiga 6-12 bulan setelahnya.
b. Antibiotik
11
mg/kgBB/hari setiap 6 jam selama 7-10 hari. Metronidazol efektif
mg/kgBB/ kali dengan interval 2-4 jam sesuai gejala klinis, dosis yang
per rektal untuk anak dengan berat badan 10 kg, atau diazepam
infus tetesan tetap 15-40 mg/ kgBB/hari. Setelah 5-7 hari dosis
12
d. Mencari port dentree
2.8 Prognosis
Terdapat beberapa sistem penilaian tetanus. Skala yang diusulkan Ablett adalah
yang paling banyak digunakan (Gambar 2.2). Selain skoring Ablett, terdapat
sistem skoring untuk menilai prognosis tetanus seperti Dakar score (Gambar 2.3)
dan Phillips score (Gambar 2.4). Kedua sistem skoring ini memasukkan kriteria
periode inkubasi dan periode onset, begitu pula manifestasi neurologis dan
kardiak. Phillips score juga memasukkan status imunisasi pasien. Phillips score
<9, severitas ringan; 9-18, severitas sedang; dan >18, severitas berat. Dakar score
0-1, severitas ringan dengan mortalitas 10%; 2-3, severitas sedang dengan
penyakit dan fasilitas pengobatan yang tersedia. Jika tidak diobati, mortalitasnya
lebih dari 60% dan lebih tinggi pada neonatus. Di fasilitas yang baik, angka
13
Gambar 2.3 Dakar Score17
14
Penderita tetanus biasanya dapat bertahan dan kembali ke kondisi
biasanya dalam waktu 2-4 bulan. Beberapa penderita terjadi hipotonia. Tetanus
tidak dapat menyebabkan status imun pada penderita sehingga penderita yang
mencegah kekambuhan.
15
BAB III
ILUSTRASI KASUS
IDENTITAS PASIEN :
Nama : An. J
MR : 99.86.45
Alamat : Padang
Pariaman dengan:
Keluhan Utama:
- Demam sejak 6 hari yang lalu, demam tinggi, terus menerus, tidak
- Mual tidak ada, muntah tidak ada, sesak nafas tidak ada
16
- BAB warna dan konsistensi biasa, BAB hitam tidak ada
- Pasien pernah dirawat dengan diagnosis DBD pada usia 6 tahun dan
dengan pasien.
bidan, berat badan lahir 2800 gram, panjang badan lahir 48 cm, langsung
- Bayi
- Anak
Daging : 5x seminggu
Ikan : 1x seminggu
Telur : 3x seminggu
17
Riwayat Imunisasi
BCG : 1 bulan , scar (+)
DPT : 1. 2 bulan
2. -
3. -
Polio : 1. 2 bulan
2. -
3. -
Bicara : 18 bulan
tahun, ibu tamat DIII, pekerjaan ibu PNS dengan penghasilan R. 2.000.000/bulan.
18
Ayah berusia 43 tahun, tamat S1 dan pekerjaan PNS dengan penghasilan Rp
5.000.000 /bulan.
Pasien tinggal di rumah permanen, sumber air minum dari air isi ulang,
Pemeriksaan Fisik
Kesadaran : Sadar
Suhu : 37,0 C
BB/U : 72,2 %
TB/U : 97,7 %
BB/TB : 76 %
19
Anemis : tidak ada
Keadaan Regional
Paru :
Jantung :
20
Auskultasi : Bunyi jantung teratur, bising tidak ada.
Abdomen
Perkusi : Timpani
Punggung
Alat Kelamin
Tidak diperiksa
Anus
Anggota Gerak
Akral hangat, CRT < 2 detik, refleks fisiologis +/+, refleks patologis -/-
Laboratorium
Hb : 18,0 gr%
Ht : 51 %
Leukosit : 4230/mm3
Trombosit : 110000/mm3
21
Diagnosis
- Gizi Kurang
Penatalaksanaan
1. Tatalaksana Kegawatdaruratan
2. Tatalaksana nutrisi
MB 1750 kkal
3. Tatalaksana medikamentosa
FOLLOW UP
S/ Sadar
Anak masih ada kejang rangsang 5-8 kali/hari, lama 10-30 detik
O/ KU Kes Nd Nfs T
22
Mulut : trismus (+) 2 cm
A/ - Tetanus
P/ 1. Umum/ suportif
- O2 1L/menit nasal
- suction berkala
2. Khusus
- Kloramfenikol 4x200 mg IV
S/ Sadar
23
Kejang rangsang masih ada, berkurang, 3-5 kali/hari, lama 10-20 detik
O/ KU Kes Nd Nfs T
A/ - Tetanus
P/ 1. Umum/ suportif
- O2 1L/menit nasal
- suction berkala
2. Khusus
24
- Metronidazol 3x75 mg IV (3)
- Kloramfenikol 4x200 mg IV
25
BAB III
DISKUSI
Bangsal Anak RSUP Dr. M.Djamil Padang dengan diagnosis Tetanus dan Otitis
sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit. Pasien juga sulit berbicara, makan dan
dan cahaya sejak 1 hari sebelum masuk RS, seluruh tubuh kaku saat kejang,
namun pasien tetap sadar. Kejang terjadi sekitar 8-12x/hari, berlangsung selama
20-30 detik. Gejala klinis yang dikeluhkan oleh pasien sesuai dengan gejala
klinis pada penyakit tetanus yaitu adanya trismus (kekakuan otot rahang), disfagia
(sulit menelan), dan kejang rangsang yang dicetuskan sentuhan dan cahaya tanpa
hilangnya kesadaran.
sebelum masuk RS, cairan keluar berwarna kuning kehijauan dan berbau busuk.
Oleh dokter THT RSUP Dr. M. Djamil, pasien didiagnosis Otitis Media Supuratif
Kronis Tipe Aman Fase Aktif. Keluhan seperti ini tidak pertama kali dialami
pasien. Enam bulan yang lalu, pasien juga pernah mengalami keluhan yang sama
terutama bila pasien mengalami demam, batuk dan pilek, namun keluhan ini tidak
pernah diobati. Pasien diketahui sering mengorek telinga dengan tangannya. Pada
kasus ini kondisi kavum timpani yang bersifat anaerob juga memungkinkan
terjadinya perkembangan spora tetanus yang tersebar dimana mana dan dapat
26
masuk ke telinga tengah karena kebiasaan pasien mengorek telinga dengan
kondisi yang tidak steril. Infeksi telinga tengah merupakan penyakit tersering
yang menjadi fokal infeksi tetanus pada anak. Pada infeksi telinga tengah ini
dapat terjadi tetanus cephalic yang terjadi karena infeksi sekunder dari infeksi di
kepala atau telinga rengah dengan gejala kelumpuhan saraf kranial, paling sering
nervus fasialis, dan berkembang menjadi tetanus generalisata. Pada kasus ini tidak
sumber infeksi sehingga dengan waktu singkat telah menjadi tetanus generalisata.
melakukan imunisasi dasar, termasuk imunisasi DPT 3 kali. Hal ini makin
kekebalan setelah pemberian imunisasi DPT 3 kali adalah 98% dan kadar
banyak, dan hipersekresi saliva. Hal ini disebabkan efek toksin kuman tetanus
pada sistem saraf otonom. Pada pemeriksaan mulut ditemukan trismus 2 cm,
tidak ditemukan risus sardonikus, opistotonus dan kekakuan otot perut. Namun
ditemukan kekakuan ekstremitas pada pasien ini. Otot-otot rahang, wajah, dan
kepala merupakan yang pertama kali terpengaruh karena jalur aksonal yang lebih
pendek kemudian diikuti otot-otot tubuh dan ekstremitas. Trismus terjadi pada
lebih dari 50% pasien tetanus, hal ini disebabkan otot masetter adalah otot yang
27
paling sensitif terhadap toksin tetanus. Penemuan trismus sebagai salah satu dasar
diagnosis tetanus pada pasien ini juga sesuai dengan WHO, yaitu dikatakan
tetanus apabila terdapat salah satu temuan klinis berupa trismus atau risus
spesifik. Hanya sekitar 30% kasus tetanus dapat mengisolasi C. Tetani pada
pada pasien ini. Pada pasien tetap dilakukan pemeriksaan darah rutin, didapatkan
hasil leukositosis dan trombositosis. Temuan laboratorium ini dapat dijumpai pada
skor Phillips, Dakar, Ablett dan Udwadia. Pada pasien ini dilakukan penghitungan
skor menggunakan klasifikasi Phillips, Ablett dan Dakar. Skor Phillips pasien
bernilai 18 (masa inkubasi 2-5 hari, lokasi di telinga, tidak ada proteksi) yang
rigiditas, spasme singkat, dan disfagia ringan dan skor Dakar bernilai 3 (inkubasi
<7 hari, onset < 2 hari, tempat masuk infeksi dari telinga) yang menandakan
Pada pasien ini diberikan penatalaksanaan yang bersifat umum dan khusus.
dari stimulasi berlebihan berupa sentuhan, cahaya dan suara untuk mencegah
28
terjadinya kejang rangsang berulang. Pasien diberikan O2 1L/menit, IVFD KAEN
1B 8 tpm makro, diet makanan cair 8x150cc untuk memenuhi kebutuhan nutrisi.
Diet diberikan melalui NGT akibat pasien sulit menelan. Suction berkala juga
tetanus, antibiotik dan mengontrol spasme otot. Antitoksin tetanus yang dipilih
untuk pasien ini adalah Human Tetanus Imunoglobulin (HTIG) 3000 IU secara
tidak dipilih pada pasien ini karena ATS hanya efektif pada luka baru (<6jam) dan
Tetanus (TT) 0,5 ml (IM). Pasien ini sebelumnya tidak ada riwayat imunisasi,
sehingga sebaiknya mendapat dosis kedua 1-2 bulan setelah dosis pertama dan
dosis ketiga 6-12 bulan setelahnya. Pemberian antibiotik pada pasien ini yaitu
tetani. Pemberian dilakukan dengan interval setiap 6 jam selama 7-10 hari. Untuk
mengontrol spasme otot pada pasien ini diberikan diazepam intravena 8x2 mg tiap
3 jam. Hal yang tidak kalah pentingnya dalam penatalaksanaan tetanus adalah
mencari port dentree kuman dan mengobatinya. Pada kasus ini, fokal infeksi
ditemukan pada telinga kanan, yaitu otitis media supuratif kronis tipe aman fase
aktif yang dialami pasien. Untuk mengobati fokal infeksi tersebut diberikan H2O2
29
DAFTAR PUSTAKA
2. Bleck, TP Clostridium tetani ( Tetanus). In: Mandell GL, Bennet JE, Dolin R,
editors. Principle and Practice of Infectious Diseases 6th . Amsterdam:
Elsavier Saunders; 2005. p. 2817-2822.
3. Thwaites, CL, Farrar, JJ. Preventing and Treating Tetanus . BMJ. 2003;326:
117-118.
5. Thwaites CL, Yen LM. Tetanus. In: Fink MP, Abraham E, Vincent JL,
Kochanek PM, editors. Textbook of Critical Care. 5th ed. Philadelphia:
Elsevier Saunders; 2005.p.1401-4.
6. Lipman J. Tetanus. In: Bersten AD, Soni N, eds. Ohs Intensive Care Manual.
6th ed. Philadelphia: Butterworth Heinemann Elsevier; 2009.p.593-7.
9. Soedarmo SSP, Garna H, Hardinegoro SRS, Satari HI. Buku ajar Infeksi dan
Pediatri Tropis. Edisi ke 2. Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 2015.
11. Taylor AM. Tetanus. Continuing Education in Anesthesia, Critical Are &
Pain. Oxford Journal. 2006;6
13. Asti Widuri. Otitis Media Supuratif Kronik Maligna dengan Tetanus. Mutiara
Medika. 2008;8:60-66
30
15. Simanjuntak P. Penatalaksanaan Tetanus pada Pasien Anak. Medula Unila.
2013;1:85-93.
17. Farrar JJ, Yen LM, Cook T, Fairweather N, Binh N, Parry J, et al.
Neurological aspects of tropical disease: tetanus. J Neurol Neurosurg
Psychiatry.2000;69:292-301.
31