Anda di halaman 1dari 3

militansi Islam menjadi ancaman nyata bagi keberagaman masyarakat ASEAN.

Baru-baru ini,
kasus Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) di Irak-Suriah diyakini mampu membangkitkan
dan menginspirasi makar maupun aksi teror di regional Asia Tenggara. Pihak berwenang di
setiap negara ASEAN harus mulai menyadari potensi tumbuhnya bibit-bibit radikalisme Islam
di area masing-masing. Sebab kali ini, ISIS sangat masif, kreatif, serta menarik minat pemuda
melakukan propaganda dibandingkan Jemaah Islamiyah (JI) ataupun al-Qaeda pada satu
dekade yang lalu.

Ada beberapa opini yang berkembang terkait isu ini. Menurut penasihat senior International
Crisis Group Sidney Jones, Warga Negara Indonesia yang akan bergabung dalam perang di
Irak-Suriah melampaui jumlah yang pernah pergi ke Afghanistan paruh 1985-1994 (Brennan
2015). Pada Desember 2014 Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT)
mengatakan, 514 orang Indonesia telah melakukan perjalanan ke Irak dan Suriah
(Straitstimes.com). Namun tidak menerangkan berapa banyak yang bergabung dengan ISIS.

Di Malaysia sendiri jumlah warga negara yang direkrut ISIS sekitar 40 dan di Filipina sekitar
200 (Hashim 2015). The New Straits Times menerbitkan laporan, kelompok teror yang
independen seperti JI, al-Qaeda dan ISIS berlangganan ideologi serupa. Ideologi itu
direproduksi ulang dan ditawarkan kembali kepada kelompok-kelompok milisi lainnya. Seperti
pendahulunya, ISIS pun mengadakan kontak dengan militan di Filipina Selatan, Abu Sayyaf.

Sementara itu, ISIS juga terlihat gencar melakukan propaganda di media sosial. Pemimpin
senior ISIS Abu Muthanna al Yaman menyiarkan video berjudul There Is No Life Without
Jihad di youtube (thediplomat.com 2014). Dalam video tersebut, warga negara Inggris itu
mengklaim, ISIS telah mengumpulkan milisi-milisi muslim dari seluruh dunia. Mulai dari
Bangladesh, Irak, Kamboja, Australia, UK. Namun para pemimpin Muslim di Kamboja
menolak klaim tersebut. Meskipun denukian, diplomat mereka mencatat bahwa ratusan siswa
maupun mahasiswa dari Kamboja yang belajar di madrasah di Timur Tengah turut bergabung.

Pengalaman-Pengalaman Menghadapi Terorisme

Bagaimana ASEAN merespons masalah-masalah semacam ini? Jika melihat konteks


historisnya, ancaman ekstrimisme dan radikalisme yang berujung pada aksi-aksi teror mulai
mendapat tanggapan besar dari ASEAN pasca peristiwa 11 September di Amerika Serikat (AS)
dan bom Bali 12 Oktober (Emmers 2003). Beberapa pengamat melihat Asia Tenggara sebagai
front kedua dalam proyek global melawan terorisme yang diusung oleh Amerika Serikat
(lihat Choiruzzad, 2003; Gunaratna, 2002). Respons terhadap terorisme tersebut mencapai
puncaknya pada November 2001 saat para pemimpin ASEAN mendeklarasikan perang
terhadap terorisme.

Namun demikian, terlihat bahwa deklarasi tersebut tidak berasal dari konsensus nyata di antara
negara-negara anggota. Adanya kepentingan domestik yang berbeda-beda antara Indonesia,
Malaysia, Filipina dan Singapura membuat pencapaian kesepakatan regional dan perumusan
langkah-langkah nyata tidak berjalan dengan baik (Emmers 2003).

Di sisi lain, dimensi politik domestik juga sangat kental dalam respons ini. Sebagai contoh,
Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad dan Presiden Filipina Gloria Macapagal-
Arroyo dengan cepat mendukung perang Amerika melawan terorisme dan menggunakannya
untuk keuntungan politik. Mahathir mengambil keuntungan 11 September untuk
mendiskreditkan Partai Islam se-Malaysia dengan menggambarkannya sebagai partai militan
Islam. Arroyo yang menggambarkan Abu Sayyaf sebagai gerakan teroris internasional bersedia
menerima bantuan militer AS untuk menumpas anggotanya di Pulau Basilan. Singapura, yang
semenjak pasca perang dingin sudah menjadi bagian dari sekutu AS (Hafiz ed. 2006),
memberikan kontribusi langsung untuk mendukung proyek tersebut.

Sebaliknya, Presiden Indonesia saat itu Megawati Soekarnoputri menghadapi situasi yang sulit.
Indonesia bergantung pada organisasi-organisasi muslim moderat yang menentang respon
politik terhadap kelompok-kelompok teror yang diidentikkan dengan islam tersebut. Tidak
adanya langkah-langkah anti-teroris di Indonesia, seperti tidak melakukan penangkapan
terhadap pimpinan Jamaah Islamiyah (JI), menyebabkan Menteri Senior Singapura Lee Kuan
Yew meresponnya dalam bentuk pidato pada Februari 2002 (Emmers 2003). Yew menyatakan
bahwa Singapura akan beresiko terkena serangan terorisme selama pemimpin ekstremis itu
tidak ditangkap. Hal ini tentu saja membawa sedikit ketegangan pada hubungan kedua negara
di kawasan.

Beberapa Catatan tentang Respons ASEAN

Dengan demikian, terlihat bahwa sebagai sebuah entitas regional, pendekatan yang digunakan
oleh ASEAN masih bertmpu pada inisiatif negara-negara anggotanya. Hal ini dapat dipahami,
sebagaimana kritik dari beberapa analis, kelahiran ASEAN tidak dilatari oleh fondasi
institusional yang kokoh (tidak seperti Uni Eropa, misalnya), oleh karenanya stabilitas bukan
hal yang dapat dijelaskan secara objektif apakah mampu bertahan lama atau tidak (Kivimki
2012). ASEAN juga dikritik punya kelemahan karena sebagai organisasi internasional
memiliki sumberdaya yang minim yang secara kelembagaan tidak efisien (Kivimki 2001;
(Jasudasen 2010).

Namun demikian ASEAN sebetulnya masih memiliki cita-cita regional dalam memandang
realitas masa depan. Oleh karena itu ASEAN masih harus terus mengembangkan konstruksi
sosial dalam masyarakat, pentingnya ASEAN dan kekuatannya di ranah global.

Sementara itu, dampak utama propaganda ISIS di Asia Tenggara diyakini menjadi inspirasi
bagi gerakan Islam ekstrimis secara langsung. Potensi ini mendatangkan ancaman serta
menyinggung masalah keamanan regional. Propaganda ISIS juga harus ditangani dengan hati-
hati dan efektif. Sebab, prioritas mereka untuk menghadirkan tenaga dan sumberdaya militan
mulai melirik ke daerah non-inti konflik, yakni kawasan ASEAN ini mulai besar. Pengalaman
kelompok militan dan ekstrimis di Indonesia, Malaysia, Filipina dan Thailand menyimpan
potensi besar guna memasok kebutuhan calon yang direkrut.

Aksi radikalisme dan teror dalam regional tentunya dapat mengganggu prospek stabilitas
ASEAN kedepannya. Namun, prospek tersebut tidak sebegitu mudah runtuh jika norma-norma
dalam ASEAN Way diresapi. Poin-poin dari ASEAN Way (Kivimki 2012) yaitu, (1) non-
intervensi urusan dan penggunaan militer; (2) Berfokus pada hal-hal yang menyatukan
ketimbang memisahkan musuh potensial; (3) Prioritas pada pembangunan
(developmentalisme); (4) Praktek personalistik, berbasis konsensus, dan negosiasi yang
menjunjung martabat semua pihak, menyimpan potensi besar untuk mengoptimalisasi arah
kebijakan keamanan nantinya.

Respon ASEAN menanggapi aksi teror dan radikal ini seringkali hanya berupa perangkat
retoris belaka. Sejauh ini, negara-negara anggota ASEAN lebih banyak berfokus pada
tindakan-tindakan yang tidak mengikat, tidak spesifik, dan tanpa membangun mekanisme
monitoring kemajuan melawan tindakan-tindakan teror tersebut. Masyarakat modern ASEAN
perlu melepaskan diri dari kecenderungan untuk mengeluarkan statement tanpa ada aksi
afirmatif yang serius di tingkat regional.

Dengan mendefinisikan ulang ASEAN Way, norma ditingkat regional dalam menghindari
radikalisme mampu membangun semangat demokrasi dan ekonomi lebih baik. Fokus pada isu-
isu yang lebih dapat menyatukan semangat regional seperti kesamaan menjaga budaya lokal,
pertumbuhan menjadi negara yang modern, demokratis serta developmentalis mampu
membuat ASEAN bertaji dan menggalang kekuatan internalnya memupus radikalisme sempit
tersebut. ASEAN belum kehilangan kemampuan menghela kasus-kasus tersebut. Hanya saja
instrumen pendekatan kebijakan dan strategi penanganan radikalisme perlu dikerucutkan:
apakah sudah membawa semangat satu ASEAN atau masih suka berjalan sendiri-sendiri? mari
kita lihat dalam konstruksi regionalisme di masa depan.

Anda mungkin juga menyukai