Hukum Pajak (Hukum Fiskal) adalah keseluruhan dari peraturan-peraturan yang meliputi wewenang
pemerintah untuk mengambil kekayaan seseorang dan menyerahkannya kembali kepada masyarakat
melalui kas Negara.
Hukum pajak merupakan bagian dari hukum publik yang mengatur hubungan hukum antara Negara
dan orang-orang atau badan-badan (hukum) yang berkewajiban membayar pajak (wajib pajak).
Hukum pajak memuat pula unsur-unsur hukum tata Negara dan hukum pidana.
Pengertian Pajak
Meskipun tidak terdapat keseragaman dalam memberikan definisi pajak, dari berbagai definisi pajak
menurut para pakar, terdapat persamaan yang merupakan ciri-ciri yang melekat pada pengertian
pajak yaitu :
1. Pajak dipungut berdasarkan (dengan kekuatan) undang-undang serta aturan pelaksanaannya.
2. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi individual oleh
pemerintah
3. Pajak dipungut oleh Negara baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah
4. Pajak diperuntukkan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah, yang bila dari pemasukkannya
masih terdapat surplus, surplus tersebut dipergunakan untuk membiayai public investment.
5. Pajak dapat pula membiayai tujuan yang tidak budgeter, yaitu fungsi mengatur
FUNGSI PAJAK
Pajak memiliki fungsi yang sangat strategis bagi berlangsungnya pembangunan suatu Negara. Pajak
antara lain memiliki fungsi sebagai berikut :
Pajak berfungsi sebagai sumber dana yang diperuntukkan bagi pembiayaan pengeluaran-pengeluaran
pemerintah. Dalam APBN Pajak merupakan sumber penerimaan dalam negeri.
Pajak berfungsi sebagai alat untuk mengatur dan melaksanakan kebijakan di bidang social dan
ekonomi, misalnya PPN BM untuk minuman keras dan barang-barang mewah lainnya.
Fungsi Redistribusi
Dalam fungsi redistribusi ini lebih ditekankan unsur pemerataan dan keadilan dalam masyarakat.
Fungsi ini terlihat dari adanya lapisan tarif dalam pengenaan pajak dengan adanya tarif pajak yang
lebih besar untuk tingkat penghasilan yang lebih tinggi.
Fungsi Demokrasi
Pajak dalam fungsi demokrasi merupakan wujud sistem gotong royong. Fungsi ini dikaitkan dengan
tingkat pelayanan pemerintah kepada masyarakat pembayar pajak.
Retribusi berbeda dengan pajak. Retribusi pada umumnya memiliki kontraprestasi langsung karena
pembayaran retribusi tersebut semata-mata ditujukan untuk mendapatkan prestasi tertentu dari
pemerintah, misalnya iuran IMB, karcis terminal, dan iuran kebersihan dan unsur paksaan dalam pajak
bersifat pidana dan administratif, sedangkan dalam retibusi bersifat ekonomis.
Pengertian sumbangan tidak boleh dicampuradukkan dengan retribusi. Meskipun pemberi sumbangan
(pembayar) tidak memperoleh kontraprestasi langsung, dalam sumbangan dapat diketahui pihak yang
menerima sumbangan.
Peran aktif dan kesadaran masyarakat pembayar pajak sangat diperlukan dalam pembayaran pajak.
Namun demikian, tidak jarang terdapat berbagai perlawanan dari masyarakat pembayar pajak
terhadap pungutan pajak. Hal ini dikarenakan pajak merupakan pungutan yang bersifat memaksa
Berbagai perlawanan masyarakat terhadap pungutan pajak dapat dibedakan sebagai berikut :
Perlawanan Pasif
Perlawanan pasif ini berupa hambatan yang mempersulit pemungutan pajak dan mempunyai
hubungan erat dengan struktur ekonomi suatu Negara dengan perkembangan intelektual dan moral
penduduk dan dengan teknik pemungutan pajak itu sendiri. Perlawanan pasif juga ada apabila sistem
kontrol tidak dilakukan dengan efektif atau bahkan tidak dapat dilakukan.
Perlawanan Aktif
1. Penghindaran diri dari pajak, yaitu pajak dapat dengan mudah dihindari dengan tidak melakukan
perbuatan yang dapat dikenakan pajak atau tax avoidance.
2. Pengelakan/Penyelundupan pajak, yaitu penghindaran pajak dengan cara pengelakan dilakukan
dengan cara melanggar hukum (illegal) atau tax evasion.
3. Melalaikan Pajak, yaitu menolak membayar pajak yang telah ditetapkan dan menolak memenuhi
ketentuan formal yang harus dipenuhi, misalnya dengan cara menghalangi proses penyitaan.
Agar tujuan pemungutan pajak dapat tercapai, dalam memilih alternatif pemungutan pajak harus
dipegang teguh asas-asas pemungutan pajak.
1. Equality (Kesetaraan)
Pemungutan pajak harus bersifat final, adil dan merata. Pajak dikenakan kepada orang pribadi
yang harus sebanding dengan kemampuan membayar pajak atau ability to pay dan sesuai dengan
manfaat yang diterima.
Adil dimaksudkan bahwa setiap wajib pajak menyumbangkan uang untuk pengeluaran pemerintah
sebanding dengan kepentingan dan manfaatnya.
2. Certainty (tidak sewenang-wenang)
Penetapan pajak itu tidak ditentukan sewenang-wenang. Oleh karena itu, wajib pajak harus
mengetahui dengan jelas dan pasti pajak yang terutang, kapan harus dibayar serta batas waktu
pembayaran.
5. Asas Keadilan
Asas keadilan dalam prinsip perundang-undangan pajak maupun dalam pelaksanaanya harus
dipegang teguh walaupun kwadilan itu sangat relatif.
Keadilan pemungutan pajak, menurut Richard A Musgrave dan Peggy B Musgrave dalam buku
Public Finance in Theory and Practice, terdiri dari dua macam asas keadilan, yaitu :
1) Benefit Principle. Dalam sistem perpajakan yang adil, setiap wajib pajak harus membayar
sejalan dengan manfaat yang dinikmatinya dari pemerintah. Pendekatan ini disebut
Revenue and Expenditure Approach.
2) Ability Principle. Pajak sebaiknya dibebankan kepada wajib pajak berdasarkan kemampuan
membayar.
b. Keadilan Horizontal & Keadilan Vertikal
Perbedaan lainnya masalah keadilan dalam pemungutan pajak adalah :
1). Keadilan Horizontal, yaitu bila beban pajaknya sama untuk semua wajib pajak yang
memperoleh penghasilan yang sama, tanpa membedakan jenis penghasilan atau sumber
penghasilan.
2). Keadilan vertikal, yaitu bila orang dalam keadaan ekonomis yang sama dikenakan pajak
yang sama.
Menurut DR. Mansyury, agar pajak penghasilan (sebagai contoh) dalam uraian ini sesuai
dengan asas keadilan, diperlukan :
a). Definisi Penghasilan , semua tambahan kemampuan ekonomis termasuk dalam definisi
penghasilan
b). Globality, seluruh tambahan kemampuan ekonomis merupakan ukuran kemampuan
membayar. Oleh karena itu penghasilan dijumlahkan sebagai satu objek pajak.
c). Net Income, Ability to pay yaitu jumlah neto setelah dikurangi dengan semua biaya
yang tergolong dalam biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara
penghasilan.
d). Personal Exemption, Pengurangan diberikan kepada wajib pajak yang pribadi berupa
penghasilan tidak kena pajak (PTKP)
e). Equal Treatment For The Equals, pengenaan pajak dengan perlakuan yang sama
diartikan bahwa seluruh penghasilan dikenakan pajak dengan tariff yang sama tanpa
membedakan jenis atau sumber penghasilan.
a). Unequal Treatment For The Equals. Besarnya tarif dibedakan oleh jumlah seluruh
penghasilan atau jumlah seluruh penghasilan atau jumlah seluruh tambahan
kemampuan ekonomis (bukan perbedaan jenis atau sumber penghasilan}.
b). Progression. Wajib pajak yang penghasilannya besar harus membayar pajak yang besar
dengan prosentase tarif besar.
Asas pemungutan pajak, selain dijelaskan diatas juga dapat dibagi menjadi asas menjadi menurut
falsafah hukum, asas yuridis, dan asas ekonomis, seperti dijelaskan berikut ini :
2. Asas yuridis
Untuk menyatakan suatu keadilan, hukum pajak harus memberikan jaminan hukum kepada
Negara atau warganya. Oleh karena itu, pemungutan pajak harus didasarkan pada undang-
undang. Landasan hukum pemungutan pajak di Indonesia adalah UUD 1945.
3. Asas Ekonomis
Asas ekonomi ini lebih menekankan pada pemikiran bahwa Negara menghendaki agar kehidupan
ekonomi masyarakat terus meningkat. Untuk itu, pemungutan pajak harus diupayakan tidak
menghambat kelancaran ekonomi.
Hukum pajak mengatur hubungan antara pemerintah (fiskus) selaku pemungut pajak dengan wajib
pajak. Berdasarkan materinya, hukum pajak dibedakan menjadi :
1. Hukum Pajak Materiil
Hukum Pajak Materiil ini memuat norma-norma yang menerangkan keadaan perbuatan, peristiwa
hokum yang dikenakan pajak (objek pajak), siapa yang dikenakan pajak (subjek pajak), berapa
besar pajak yang dikenakan, segala sesuatu tentang timbul dan hapusnya hutang pajak, dan
hubungan hukum antara pemerintah dan wajib pajak. Contoh hukum pajak materiil adalah
Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh).
1. Menurut Golongan
a. Pajak Langsung, yaitu pajak yang pembebanannya tidak dapat dilimpahkan kepada pihak lain,
tetapi harus menjadi beban langsung wajib pajak yang bersangkutan, misalnya PPh.
b. Pajak Tidak Langsung, yaitu pajak yang pembebanannya dapat dilimpahkan ke pihak lain,
contohnya Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
2. Menurut Sifatnya
a. Pajak Subjektif, yaitu pajak yang berdasarkan pada subjeknya, yang selanjutnya dicari syarat
objektifnya, dalam arti memperhatikan keadaan diri wajib pajak misalnya PPh.
b. Pajak Obyektif, yaitu pajak yang didasarkan pada objeknya, tanpa memperhatikan keadaan diri
wajib pajak, misalnya PPN dan PPn BM (Pajak Penjualan Barang Mewah).
3. Menurut Pemungutnya
a. Pajak Pusat, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai
Rumah Tangga Negara. Contohnya adalah PPh, PPN & PPn BM dan Bea Materai.
b. Pajak Daerah, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dan digunakan untuk
membiayai Rumah Tangga Daerah. Contohnya : Pajak Reklame serta Pajak Hotel dan Restoran.
Stelsel Pajak
3. Stelsel Campuran
Stelsel ini merupakan kombinasi antara stelsel nyata dengan stelsel anggapan. Pada awal tahun
besarnya pajak dihitung berdasarkan suatu anggapan, kemudian pada akhir tahun besarnya pajak
menurut kenyataan lebih besar daripada menurut anggapan, WP harus melunasi kekurangannya.
Demikian pula sebaliknya, apabila lebih kecil WP dapat meminta kembali kelebihan pajak yang
telah dibayar.
Sistem pemungutan
TARIF PAJAK
2. Tarif Efektif
Presentase tarif pajak yang efektif berlaku atau harus diterapkan atas dasar pengenaan pajak
tertentu. Misalnya, jika diketahui Penghasilan Kena Pajaknya sebesar Rp. 60 juta, dengan
menggunkan tarif Pasal 17 UU PPh, pajaknya dapat dihitung sebesar Rp. 4.000.000,- ( 5% x Rp. 50
juta + 15% x Rp. 10 juta ). Dengan demikian, tarif efektifnya adalah Rp. 4 juta / Rp. 60 juta atau
setara dengan 6,67 %.
1. Tarif Pajak Proporsional/sebanding, yaitu presentase tetap terhadap jumlah berapapun yang
menjadi dasar pengenaan pajak, contohnya tariff 10 % untuk PPN
2. Tarif pajak progresif, yaitu tarif pajak yang presentasenya menjadi lebih besar apabila jumlah yang
menjadi dasar pengenaan pajak semakin besar.
3. Tarif Pajak degresif, yaitu tarif pajak yang presentasenya semakin menurun apabila jumlah yang
menjadi dasar pengenaan pajak semakin besar.
4. Tarif Pajak Tetap, dalam tarif ini ditetapkan tariff dengan jumlah yang tetap (sama besarnya)
terhadap berapapun jumlah yang menjadi dasar pengenaan pajak. Contohnya tariff bea materai.
Sudah disadari bahwa menafsirkan undang-undang bukan merupakan pekerjaan yang sederhana,
termasuk peraturan perpajakan. Sering adanya perbedaan interprestasi peraturan antara wajib pajak
dengan petugas pajak dapat menghambat proses restitusi dan berpotensi merugikan WP maupun
Negara. Kompleksitas peraturan perpajakan yang ada, baik dari segi kalkulasi maupun ketepatan
interprestasi atas pasal-pasal dan ayat-ayat yang ada, sering memunculkan banyak argumen yang
berbeda.
Untuk itu, Dirjen pajak acapkali menerbitkan Surat Edaran atau petunjuk Pelaksanaan. Diharapkan
dengan bahasa yang jelas dan tegas, setiap KPP dan wajib pajak mempunyai presepsi yang sama dalam
menjabarkan peraturan perpajakan dari tingkat undang-undang sampai dengan keputusan/peraturan
Dirjen Pajak. Meskipun demikian, tidak selamanya bahasa yang jelas dan tegas dalam setiap Surat
Edaran bisa memuaskan wajib pajak.
Prinsip Rechtmatigheid itu harus diterapkan secara berimbang dengan prinsip Doelmatigheid. Setiap
aturan hukum mengandung di dalam dirinya tujuan yang hendak dicapai yang diidealkan memberi
manfaat (asas kemanfaataan) bagi kehidupan bersama dalam masyarakat. Nilai tujuan dan manfaat ini
tidak boleh terganggu atau diabaikan begitu saja hanya karena soal cara dan prosedur yang bersifat
teknis. Namun sebaliknya, tujuan juga tidak boleh menghalalkan segala cara (the end may not justify
the means). Karena itu, penting sekali menemukan titik keseimbangan di antara keduanya.
Keadilan pajak dalam Rechtmatigheid & Doelmatigheid
Sudah sangat jelas bahwa di masa transisi ini, sistem hukum perpajakan di Indonesia sedang
mengalami penataan kembali. Dengan sendirinya, banyak sekali terdapat kekurangan di sana-sini
sehingga prinsip Rechtmatigheid tidak dapat sepenuhnya diandalkan atau dijadikan andalan dalam
mewujudkan keadilan pajak. Karena itu, demi keseimbangan antara asas kemanfaatan dan asas
legalitas, para pelaku di bidang perpajakan, baik aparat pajak maupun wajib pajak, sudah seharusnya
mengutamakan prinsip Doelmatigheid dulu sebagai prioritas pertama, sambil tetap berusaha
menerapkan prinsip Rechtmatigheid berdasarkan asas legalitas. Dengan demikian petugas pajak
tidak hanya menjadi mulut undang-undang perpajakan dalam arti formal, tetapi lebih jauh lagi
merupakan mulut, tangan, mata dan telinga serta sekaligus pencium rasa keadilan pajak dalam arti
yang lebih sejati.