Anda di halaman 1dari 30

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Teori Efektivitas Hukum


Efektivitas mengandung arti keefektifan pengaruh efek keberhasilan atau
kemanjuran/kemujaraban, membicarakan keefektifan hukum tentu tidak
terlepas dari penganalisisan terhadap karakteristik dua variable terkait yaitu:
karakteristik/dimensi dari obyek sasaran yang dipergunakan.1

Ketika berbicara sejauh mana efektivitas hukum maka kita pertama-tama


haru dapat mengukur sejauh mana aturan hukum itu ditaati atau tidak
ditaati.jika suatu aturan hukum ditaati oleh sebagian besar target yang menjadi
sasaran ketaatannya maka akan dikatakan aturan hukum yang bersangkutan
adalah efektif2

Derajat dari efektivitas hukum menurut Soerjono Soekanto, ditentukan oleh


taraf kepatuhan masyarakat terhadap hukum,termasuk para penegak
hukumnya, sehingga dikenal asumsi bahwa, taraf kepatuhan yang tinggi
adalah indikator suatu berfungsinya suatu sistem hukum. Dan berfungsinya
hukum merupakan pertanda hukum tersebut mencapai tujuan hukum yaitu
berusaha untuk mempertahankan dan melindungimasyrakat dalam pergaulan
hidup.3

Beberapa pendapat mengemukakan tentang teori efektivitas seperti


Bronislav Molinoswki, Clerence J Dias, Allot dan Murmer.Bronislav
Malinoswki mengemukakan bahwa teori efektivitas pengendalian sosial atau

1 Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, ctk Ketiga, Citra Aditya Bandung, 2013
Hal 67.

2 Salim,H.S dan Erlis Septiana Nurbani, Penerapan Teori Hukum Pada Tesis dan Disertasi,
Edsis Pertama, ctk Kesatu, Rajawali Press, Jakarta, 2013, Hal.375

3Soerjono Soekanto, Efektivitas Hukum dan Peranan Saksi, Remaja Karya Bandung, 1985,
Hal.7

1
hukum, hukum dalam masyarakat dianalisa dan dibedakan menjadi dua yaitu:
(1) masyarakat modern,(2) masyarakat primitif, masyarakat modern merupakan
masyarakat yang perekonomiannya berdasarkan pasar yang sangat luas,
spesialisasi di bidang industri dan pemakaian teknologi canggih,didalam
masyarakat modern hukum yang di buat dan ditegakan oleh pejabat yang
berwenang.4

Pandangan lain tentang efektivitas hukum oleh Clerence J Dias mengatakan


bahwa :

An effective legal sytem may be describe as one in which there exists a high
degree of congruence between legal rule and human conduct. Thus anda
effective kegal sytem will be characterized by minimal disparyti between the
formal legal system and the operative legal system is secured by
1. The intelligibility of it legal system.
2. High level public knowlege of the conten of the legal rules
3. Efficient and effective mobilization of legal rules:
a. A commited administration and.
b. Citizen involvement and participation in the mobilization process
4. Dispute sattelment mechanisms that are both easily accessible to the
public and effective in their resolution of disputes and.
5. A widely shere perception by individuals of the effectiveness of the legal
rules and institutions.5
Pendapat tersebut dijelaskan Clerence J Dias dalam Marcus Priyo Guntarto 6
sebagai berikut, terdapat 5 (lima) syarat bagi effektif tidaknya satu sistem
hukum meliputi:

4Salim H.S dan Erlies Septiani, op.cit.,Hal 308.

5 Clerence J.Dias. Research on Legal Service And Poverty: its Relevance to the Design of
Legal Service Program in Developing Countries, Wash. U.L. Q 147 (1975). P. 150

6Ibid.

2
1. Mudah atau tidaknya makna isi aturan-aturan itu ditangkap.
2. Luas tidaknya kalangan didalam masyarakat yang mengetahui isi aturan-
aturan yang bersangkutan.
3. Efisien dan efektif tidaknya mobilisasi aturan-aturan hukum dicapai
dengan bantuan aparat administrasi yang menyadari melibatkan dirinya
kedalam usaha mobilisasi yang demikian, dan para warga masyrakat
yang terlibat dan merasa harus berpartisipasi dalam proses mobilisasi
hukum.
4. Adanya mekanisme penyelesaian sengketa yang tidak hanya harus
mudah dihubungi dan dimasukan oleh setiap warga masyarakat, akan
tetapi harus cukup effektif menyelesaikan sengketa.
5. Adanya anggapan dan pengakuan yang cukup merata di kalangan warga
masyarakat yang beranggapan bahwa aturan-atauran dan pranata-pranata
hukum itu memang sesungguhnya berdaya mampu efektif.
Dalam bukunya achmad ali yang dikutip oleh Marcus Priyo Guntarto yang
mengemukakan tentang keberlakuan hukum dapat efektif apabila :
1. Relevansi aturan hukum dengan kebutuhan orang yang menjadi target
2. Kejelasan dari rumusan subtansi aturan hukum, sehingga mudah
dipahami oleh orang yang menjadi target hukum
3. Sosialisasi yang optimal kepada semua orang yang menjadi target
hukum.
4. Undang-undang sebaiknya bersifat melarang, bukan bersifat
mengharuskan. Pada umumnya hukum prohibitur lebih mudah
dilaksanakan daripada hukum mandatur.
5. Sanksi yang akan diancam dalam undang-undang harus dipadankan
dengan sifat undang-undang yang dilanggar, suatu sanksi yang tepat
untuk tujuan tertentu, mungkin saja tidak tepat untuk tujuan lain. Berat
sanksi yang diancam harus proporsional dan memungkinkan untuk
dilaksanakan.7
Soerjono Soekanto menjelaskan bahwa dalam sosiologi hukum masalah
kepatuhan atau ketaatan hukum terhadap kaidah-kaidah hukum pada umumnya
telah menjadi faktor yang pokok dalam mengukur efektif tidaknya sesuatu
yang ditetapkan dalam hukum ini.8

7 Marcus Priyo Gunarto, Kriminalisasi dan Penalisasi Dalam Rangka Fungsionalisasi Perda
dan Retribusi, Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro Semarang, 2011,Hlm 71-
71, dikutip Salim H.S dan Erlies Septiana Nurbaini, Op.Cit., Hal 308

3
Efektivitas Hukum yang dikemukakan oleh Anthoni Allot sebagaimana
dikutip Felik adalah sebagai berikut:
Hukum akan mejadi efektif jika tujuan keberadaan dan penerapannya
dapat mencegah perbuatan-perbuatan yang tidak diinginkan dapat
menghilangkan kekacauan. Hukum yang efektif secara umum dapat
membuat apa yang dirancang dapat diwujudkan. Jika suatu kegelapan
maka kemungkinan terjadi pembetulan secara gampang jika terjadi
keharusan untuk melaksanakan atau menerapkan hukum dalam suasana
baru yang berbeda, hukum akan sanggup menyelsaikan.9
Keberlakuan hukum berarti bahwa orang bertindak sebagaimana seharusnya
sebagai bentuk kepatuhan dan pelaksana norma jika validitas adalah kualitas
hukum, maka keberlakuan adalah kualitas perbuatan manusia sebenaranya
bukan tentang hukum itu sendiri.10 Selain itu wiiliam Chamblish dan Robert B
seidman mengungkapkan bahwa bekerjanya hukum dimasyarakat dipengaruhi
oleh all other societal personal force (semua ketakutan dari individu
masyarakat) yang melingkupi seluruh proses.11
Studi efektivitas hukum merupakan suatu kegiatan yang memperlihatkan
suatu strategi perumusan masalah yang bersifat umum, yaitu suatu
perbandingan antara realitas hukum dan ideal hukum, secara khusus terlihat
jenjang antara hukum dalam tindakan (law in action ) dengan hukum dalam
teori (law in theory) atau dengan kata lain kegiatan ini akan memperlihatkan
kaitannya antara law in the book dan law in action.12

8 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatau pengantar, Rajawali Pers, Bandung, 1996, Hal. 20

9Salim H.S dan Erlis Septiana Nurbani, Op.cit, Hal 303

10 Hans Kelsen, General Teory of Law and State, Translete by Anders Wedberg , New York:
Russel and Russel , 1991, dikuitip dari Jimly Ashidiqqie dan M ali Safaat, Teori Hans
KelsenTentang Hukum,ctk. Kedua , Konstitusi Press, Jakarta, 2012, Hal 39-40

11 Robert B seidman, Law order and Power, Adition Publishing Company Wesley Reading
massachusett, 1972, Hlm 9-13.

12 Soleman B Taneko, Pokok-Pokok Studi Hukum dalam Masyarakat, Rajawali Press , Jakarta,
1993, Hal 47-48.

4
Bustanul Arifin yang dikutip oleh Raida L Tobing dkk, mengatakan bahwa
dalam negara yang berdasarkan hukum, berlaku efektifnya sebuah hukum
apabila didukung oeh tiga pilar, yaitu:
a. Lembaga atau penegak hukum yang berwibawa dapat diandalkan

b. Peraturan hukum yang jelas sistematis.

c. Kesadaran hukum masyarakat tinggi.13

B. Tinjauan Umum Undang-Undang No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan


Undang-Undang No 41 Tahun 1999 tentang kehutanan adalah pengganti
dari Undang-Undang No 16 Tahun 1967 tentang pokok-pokok kehutanan yang
merupakan undang-undang yang lama produk warisan dari era orde baru yang
tidak maksimal karena adanya konflik lahan antara pengusaha yang diberi izin
oleh era orde baru dengan masyarakat, disisi lain dengan ditandainya
menurunnya luas area hutan di Indonesia.
Dalam doktrin ilmu kehutanan, narasi kebijakan kehutanan dalam
pembangunan apabila dikaitkan dengan lapangan persoalan dilapangan
menurut Peter Gluck sebagaimana dikutip oleh Duerr Dab Duerr dijelaskan
bahwa kayu sebagai unsur utama (Timber Primacy), kelestarian Hasil
(sustained yeld), jangka panjang (the long term), dan standar mutlak(absolute
standart). Doktrin sustained yeld dianggap sebagai inti dari ilmu kehutanan
yang didasarkan pada etika hutan yang membantu menghindari maksimalisasi
keuntungan sepihak dan eksklusif serta menghargai hutan yang penting bagi
kehidupan manusia.14 Selama ini memang kayu adalah salah satu hasil hutan
yang utama dalam pemanfaatan hasil hutan yang di jadikan komonditas utama,

13 Raida L Tobing, dkk, (Hasil Penelitian), Efektivitas Undang-Undang Monrey Loundering,


Badan Pembinaan Hukum Nasional, Kementrian Hukum dan HAM RI, Jakarta, 2011, Hal 11.

14 Hariadi Kartodihardjo, Hutan Negara Didalam Wilayah Masyarakat Hukum Adat: Doktrin,
Fakta dan Implikasinya Bagi Kelestarian Hutan, Center For Forestry Organization Capacity
and Institution Development , IPB dalam Ahmad Redi, Hukum Sumber Daya Alam dan
Kehutanan, Hal 108

5
sehingga unsur utama adalah kayu berlaku di semua negara yang mempunyai
hutan yang luas
Terkait dengan penulisan tesis ini maka penulis akan menuliskan Pasal
Pasal dalam mengoptimalisasikan Undang-Undang No 41 Tahun 1999 Tentang
Kehutanan dengan penjelasan sebagaimana dibawah ini:
1. Pasal 1 merupakan penjelasan umum dan hal-hal terkait dengan
kehutanan, sebagaimana dijelaskan:
a) Kehutanan adalah sistem pengurusan yang bersangkut paut dengan
hutan, kawsan hutan dan hasil hutan yang diselenggrakan secara
terpadu.
b) Hutan adalah suatu kesatuan ekositem berupa hamparan lahan yang
berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam
persekutuan alam lingkungan, yang satu dengan yang lain tidak dapat
dipisahkan.
c) Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditetapkan atau ditunjuk
oleh pemerintah dan dipertahankan keberadaannya.
d) Hutan negara adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak
dibebani atas hak atas tanah.
e) Hutan hak adalah hutan yang berada pada hutan yang dibebani atas
hak atas tanah.
f) Hutan adat adalah hutan yang berada pada wilayah masyarakat hukum
adat.
g) Hutan produksi adalah kawasan hidup yang mempunyai tugas pokok
memproduksi hasil hutan.
h) Hutan lindung adalah kawasan pokok yang mempunyai tugas dalam
perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatiur tata air,
mencegah banjir, mencegah erosi,mencegah instrusi air laut dan
memilihara kesuburan tanah.
i) Hutan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu yang
mempunyai fungsi pokok sebagai pengawetan keanekaragaman
tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya.
j) Kawasan hutan suaka alam adalah hutan dengan cirri tertentu yamg
mempunyai fungsi pokoksebagai kawasan pengawetan
keanekaragaman tumbuhan serta berfungsi sebagai wilayah sistem
penyangga kehidupan

6
k) Kawasan hutan pelestarian adalah hutan dengan ciri khas tertentu yang
mempunyai fungsi pokokperlindungan sistem penyangga kehidupan
pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta
pemanfatan secara lestari sumber daya alam hayati beserta
lingkungannya.
l) Taman buru adalah kawasan yang ditetapkan sebagai tempat wisata
berburu.
m)Hasil hutan adalah benda-benda non hayati, non hayati dan
turunannya beserta jasa yang berasal dari hutan.
n) Pemerintah adalah pemerintah pusat.
o) Menteri adalah menteri yang diserahi tugas yang bertanggung jawab
di bidang kehutanan.
2. Pasal 2 adalah penyelenggaraan kehutanan berasakan manfaat dan lestari,
kerakyatan dan keadilan, kebersamaan, keterbukaan, dan keterpaduan.
3. Pasal 3 adalah penyelenggaraan kehutanan bertujuan untuk sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan
dengan:
a) Menjamin keberadaan hutan dengan luasan yang cukup dan sebaran
yang proporsioanal.
b) Mengoptimalkan aneka fungsi hutan yang meliputi fungsi konservasi,
fungsi lindung, fungsi produksi untuk mencapai manfaat lingkungan,
sosial, budaya dan ekonomi, yangb seimbang dan lestari.
c) Meningkatkan daya dukung daerah aliran sungai.
d) Meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan kapasitas dan
keberdayaan masyarakat secara partisipatif, berkeadilan dan
berwawasan lingkungan sehingga mampu menciptakan ketahanan
sosial dan ekonomi serta ketahanan terhadap akibat perubahan
eksternal dan;
e) Menjamin distribusi manfaat yang berkeadilan dan berkelanjutan.
4. Pasal 4 adalah penguasaan hutan oleh negara yang bertujuan untuk
kemakmuran rakyat dalam memperhatikan hak-hak rakyat.
5. Pasal 5 Hutan berdasarkan statusnya ada dua yaitu hutan hak dan hutan
negara.
6. Pasal 6, fungsi hutan ada 3 yaitu: konservasi, lindung dan produksi.

7
7. Pasal 7, fungsi hutan konservasi adalah sebagai kawasan suaka alam,
kawasan pelestarian dan taman buru.
8. Pasal 8, pemertintah menetapkan kawasan tertentu untuk tujuan khusus
yaitu: penelitian, pengembangan, pendidikan dan religi
9. Pasal 11, maksud dan tujuan dari perencanaan hutan untuk tercapainya
penyelenggaraan kehutanan
10. Pasal 20, dalam penyeusunan rencana kehutanan pemerintah
mempertimbangkan faktor-faktor lingkungan lainnya
11. Pasal 21 pengelolaan kehutanan adalah: tata hutan dan penyusunan
pengelolaan hutan, penggunaan dan pemanfaatan kawasan hutan,
rehabilitasi dan reklamasi hutan, perlindungan dan konservasi alam.
12. Pasal 24 ,Pemanfaatan hutan dapat dilakukan pada semua kawsan hutan
kecuali pada hutan cagar alam serta zona inti dan zona rimba pada taman
nasional
13. Pasal 25, Pemanfaatan hutan dan Taman berburu disesuaikan dengan
undang-undang.
14. Pasal 26, pemanfatan hutan lindung sebagai daerah pemungutan kayu,
pemanfaatan jasa lingkungan dan pemungutan hasil bukan kayu
berdasrkan izin.
15. Pasal 29, yang memperoleh izin usah dalam pemanfatan kawasan hutan
adalah orang atau koperasi.
16. Pasal 30, dalam rangka pemberdayaan ekonomi masyarakat setiap badan
usaha milik negara atau daerah harus memperoleh izin usaha
pemanfaatan jasa lingkungan diwajibkan bekerja sama dengan koperasi
dan masyarakat setempat
17. Pasal 41, rehabilitasi hutan dilakukan dengan kegiatan yaitu: reboisasi,
penghijauan, pemeliharaan, pengayaan tanaman, penerapan teknik
konservasi tanah secara vegetatif.
18. Pasal 46, penyelenggaran perlindungan hutan dan konservasi alam
bertujuan menjaga hutan, kawasan hutan dan lingkungannya agar
fungsinya dapat tercapai secara optimal.
19. Pasal 48, pemerintah mengatur perlindungan kawasan hutan baik diluar
maupun di dalam kawasan.
20. Pasal 56, penyuluhan kehutanan dan pendidikan kehutanan dimaksud
untuk mengembangkan sumeber daya manusia kehutanan yang terampil
dan berahlak baik.

8
21. Pasal 59, pengawasan kehutanan bertujuan untuk menilai. menelusuri
pengurusan kawasan hutan, agar tujuannnya tercapai dalam pembenahan
kedepannya.
22. Pasal 69,masyarakat berhak menikmati kualitas lingkungan hidup yang
dihasilkan hutan.
23. Pasal 71, gugatan perwakilan, masyarakat berhak mengajukan ke
pengadilan dan atau ke penegak hukum terhadap kerusakan hukum yang
merugikan kehidupan masyarakat.
24. Pasal 74, penyelesaian sengketa kehutanan dapat ditempuh melalui
pengadilan dan diluar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak
yang bersengketa
25. Pasal 75, penyelesaian sengeketa di luar pengadilan tidak berlaku
terhadpa tindak pidana yang telah diatur di Undang-undang ini,dan
penyelesaian sengketa diluar pengdilan berfungsi untuk meyepakati ganti
rugi.
26. Pasal 77, penyedikan selain dari Kepolisian Republik Indonesia, ditujuk
pula pejabat PPNS(pejabat pegawai negeri sipil) sesuai dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
27. Pasal 78, Ketentuan Pidana, pelanggaran pasal 50 akan dikenai dengan
pidana penjara sekaligus denda.
Secara filosofi pembentukan Undang-Undang Nomer 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan didasari pertimbangan bahwa hutan sebagai karunia Tuhan
Yang Maha Esa yang dianugerahkan kepada bangsa Indonesia merupakan
kekayaan yang dikuasai oleh negara, memberikan manfaat, serbaguna bagi
umat manusia sehingga wajib disyukuri, diurus dan dimanfaatkan secara
optimal serta dijaga kelestariannya untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat, bagi generasi sekarang atau yang akan datang.15

C. Tinjauan Kerusakan Hutan


Kerusakan hutan adalah gambaran dari pemaknaan hutan di Indonesia,
lazimnya kalau berbicara soal hutan di Indonesia maka penjabarannya adalah
kerusakan hutan dan berkurangnya luas hutan yang semakin tahun ke tahun
berkurang dari yang ditetapkan oleh pemerintah. Kerusakan hutan disebabkan

15 Ahmad Redi, op.citHlm,.73.

9
oleh beberapa faktor antara lain kebakaran hutan, illegal logging, perambahan
hutan secara illegal, khusus kebakaran hutan sendiri member dampak bagi
masyarakat luas. Dampak kebakaran hutan dan lahan yang menonjol adalah
terjadinya kabut asap.16mengganggu kesehatan dan sistem transpotasi darat, laut
dan udara

Herman Hidayat dalam bukunya mengatakan bahwa:17


Pengelolaan hutan yang salah adalah penyebab utama dari kerusakan hutan
selama rezim soeharto. Ada tiga faktor yang berperan, sebagian besar, di
dalam rata-rata kerusakan hutan yang tinggi. Pertama tingkah laku para
politisi dan sikap pengambilan keputusan di dalam pemerintahan Soeharto,
dengan dukungan dari sistem internasional yaitu membentuk dan
mendorong faktor yang beragam yang memberi kontribusi atas kerusakan
hutan tropis. Kedua kelengahan dalam pengawasan diantara aparat
kehutanan baik di pusat dan daerah dalam menerapkan prinsip pengelolaan
hutan yang lestari. Ketiga kurangnya penegakan hukum dan pemebrian
sanksi yang tegas terhadap pengusaha swasta baik domestik atau
transnasional yang melanggar peraturan industri kehutanan.
Perusakan hutan bisa dikatakan sebagai kejahatan yang luar biasa karena
mempunyai dampak yang dapat dirsakan secara regional, nasional atau
internasional. Sebagai contoh yang terjadi di daerah lerang gunung Muria
bahwa kerusakan hutan disana sangat cukup parah dan mengakibatkan bencana
banjir bandang dan tanah longsor yang memakan korban jiwa.
Ada empat kategori perbuatan yang menyebabkan timbulnya kerusakan
hutan. Diantaranya yaitu:

1. Kerusakan hutan dapat terjadi akibat perbuatan karena kesengajaan


subyek hukum meliputi, manusia dan atau badan hukum.
2. Kerusakan hutan dapat terjadi akibat perbuatan karna kelalaian subyek
hukum meliputi, manusia dan atau badan hukum.

16S. Andy Cahyono1, Sofyan P Warsito1, Wahyu Andayani1 dan Dwidjono H Darwanto,
Faktor-Faktor yang mempengaruhi Kebakaran Hutan di Indonesia, (Factor Affecting Forest
Fire In Indonesia and Policympliction), Jurnal Sylva Lestari, Vol 3, 2015, Hlm.104.

17 Herman Hidayat,op.cit., Hlm, 90.

10
3. Kerusakan hutan dapat terjadi karena ternak dan daya-daya alam
(misalnya, gempa bumi, letusan gunung, banjir, dan sebagainya)
4. Kerusakan hutan dapat terjadi karena serangan Hama dan penyakit
pohon.18
Data pengelolaan daerah aliran sungai pemali Jawa Tengah menunjukkan
kawasan Muria mengalami degradasi dari tahun ke tahun. Total luas hutan di
kawasan itu 69.812,08 ha, terdiri atas hutan Jepara 21.516,406 ha namun
17.954 ha atau 83% diantaranya gundul, termasuk 3.962,66 ha hutan
lindung.Di kabupaten Pati 47.338 ha, namun 38.344 atau 81% rusak, termasuk
1.425 ha hutan lindung. Sementara di kabupaten Kudus, 83% atau 1.940 hutan
rusak, termasuk 53,93 Ha hutan lindung.19
Faktor-faktor penting yang menyebabkan kerusakan hutan dilereng gunung
Muria adalah illegal logging, kebakaran hutan dan penggunaan kawasan hutan
rakyat yang tidak sesuai fungsinya . kebakaran hutan dalah suatu keadaan
dimana hutan dilanda api sehingga mengakibatkan kerusakan hutan dan atau
hasil hutan yang menimbulkan kerugian ekonomis dan atau nilai lingkungan.20
Efek dari kebakaran hutan sangat berbahaya dan vital daripada kerusakan lain
yang ada dihutan, dalam sekejap hutan akan habis dan asap yang di timbulkan
tidak hanya menggangu warga hutan atau penghuni hutan lainnya tetapi
daerah-daerah yang berdekatan karena arah angin yang membawa angin
tersebut ke daerahnya. Ada beberapa penyebab yang membuat hutan menjadi
terbakar, bahwa kebakaran hutan terjadi bila tiga unsur yaitu panas, bahan
bakar dan oksigen bertemu. Jika salah satu dari ketiga unsur tersebut tak ada,
maka kebakaran hutan tak akan terjadi. Karena oksigen terdapat hampir merata

18Alam Setya.Hukum Lingkungan Konservasi Hutan, PT Rineka Cipta, Jakarta , 1997, Hlm.5.

19 http//www.Bpsda-seluna.jatengprov.go.id. Diakses pada tanggal 5 januari 2015, Pukul


14.00 WIB

20 Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.12/Menhut-II/2009 tentang Pengendalian


Kebakaran Hutan

11
disemua wilayah, hanya dua unsur lainnya, yaitu panas dan bahan bakar yang
dibahas :
1. Panas
Dalam kebakaran hutan, unsur ini hanya berperan pada masa kemarau,
terutama kemarau panjang. Hampir diseluruh Indonesia musim Kemarau
terjadi setiap tahun, pada bulan-bulan tertentu yang dapat diperkirakan
sebelumnya. Musim kemarau panjang umumnya datang setiap 5-10 tahun
sekali, kecuali untuk Nusa Tenggara Timur dan Irian Jaya bagian Selatan
(Merauke), musim kemarau panjang terjadi setiap tahun. Erat kaitannya
dengan panas adalah sumber api. Umumnya disepakati bahwa 90 % sumber
api yang mengakibatkan kebakaran hutan berasal dari manusia, sedangkan
selebihnya berasal dari alam.
a) Sumber api yang berasal dari manusia digolongkan menjadi:
1) Pertama adalah Yang diyatakan secara sengaja, dalam kaitannya
dengan perladangan, pengembalaan ternak, perburuan binatang
liar, persiapan penanaman (perkebunan, kehutanan).
2) Kedua tindakan iseng (untuk kesenangan), balas dendam terhadap
petugas kehutanan, mengalihkan perhatian petugas (untuk dapat
mencuri hasil hutan ditempat lain), pembuatan api unggun, dan
lain-lain. Api yang berasal dari kebakaran ladang, menurut hasil
penelitian Nana-Supriatna di Sumatra Utara, memberikan andil 54
% terhadap terjadinya kebakaran hutan. Angka tersebut
nampaknya berlaku untuk daerah lain diluar Pulau Jawa.Perlu
dicatat, bahwa penggunaan api untuk perladangan, perkebunan,
kehutanan dan lain-lain tak terhindarkan namun tentu saja tak
harus mengakibatkan kebakaran hutan, asal terkendali.Yang tak
disegaja, seperti api dari kereta api, pekerja hutan, pengunjung
objek wisata hutan, obor, puntung rokok, perkemahan, dapur
arang, dan lain-lain.
3) Faktor alam, misalnya api yang timbul karena terjadinya petir,
meletusnya gunung berapi dan api abadi.
Api dari petir sangat jarang mengakibatkan kebakaran hutan,
karena terjadinya justru pada musim penghujan. Api abadi juga
kecil peluangnya mengakibatkan kebakaran hutan karena
disekeliling api letusan gunung, apalagi letusan gunung dimusim
kemarau, dapat dibilang jarang terjadi, dan karenanya juga jarang
mengakibatkan terjadinya kebakaran hutan. Dengan demikian,
sumber api kebakaran hutan di Indonesia hampir 100% berasal dari
manusia21.
2. Bahan Bakar
Bahan bakar merupakan faktor yang paling dominan sebagai penyebab
kebakaran hutan.Di Taman Nasional Wasur, Irian Jaya, misalnya, kemarau

21http//www.kehutanan.org, diakses Diakses pada tanggal 5 januari 2015, Pukul 14.00 WIB.

12
panjang dan juga kebakaran hutan, terjadi setiap tahun diareal yang luas.
Namun kebakarannya tidak pernah besar, karena serasah hutan yang
menjadi bahan bakar tipis saja.
D. Tinjauan Penegakan Hukum
1. Tinjauan Umum Penegakan Hukum

Pengertian penegakan hukum menurut Dictionary of Law Complete


Editionadalah sanksi hukum; pelakasanaan kontra prestasi yang mengakibatkan
kerugian bagi pelanggar ketentuan perundangan yang ada dan diputus pada
tingkat pengadilan baik berupa denda maupun pembekuan kegiatan yang
berkaitan dengan aktivitas industri. 22Keith Hawkins mengatakan bahwa hukum
dapat dilihat dari dua sistem atau strategi, yang disebut compliance
(pemenuhan) dengan conciliatory style (perdamaian) sebagai karakteristiknya
dan sactioning (sanksi) dengan penal system (penghukuman) sebagai
karakteristiknya.23Penegakan hukum (Law Enforcement)dalam operasionalnya
bukanlah suatu hal yang berdiri sendiri melainkan berkaitan dengan berbagai
aspek atau faktor penegakan hukum itu sendiri, termasuk dengan manusianya
baik sebagai penegak hukum maupun masyarakatnya. Dalam pembahasan
penegakan hukum tidak dapat dipisahkan dari konsep Lawrance Meir
Friedman, mengenai tiga unsur sistem hukum (Three Element of Legal System)
yaitu terdiri atas:24

a) Struktur (Structure);

b) Substansi (Substance);

c) Kultur Hukum (Legal Culture)

22 M. marwan dan Jimmy, Dictionary of Law Complete Edition, Reality Publisher, Surabaya,
2009, Hlm, 399-400.

23 Daud Silalahi, Journal Masalah Lingkungan Hidup, Mahkamah Agung, 1994 Hal 1

24Achmad Ali, Keterpurukan Hukum dI Indonesia(penyebab dan Solusinya), Cet


kesatu,Ghalia Indonesia , Jakarta, 2002. Hlm 7

13
Menurut Satjipto Rahardjo sebagaiamana yang dikutip Yogyanto Daru
SasongkoPenegakan hukum merupakan rangkaian proses untuk menjabarkan
nilai, ide dan cita yang cukup abstrak yang menjadi tujuan hakim. Tujuan
hakim yang membuat nilai-nilai moral, seperti keadilan dan
kebenaran.25Menurut Alam setia zain dalam sistem penegakan hukum nasional
pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan atau merendahkan
martabat manusia selaku anggota masyarakat. 26sedangkan Penegakan hukum
menurut soejono adalah keseluruhan proses penanganan pidana sejak dari
penyelidikan, penyidikan, penuntutan (termasuk pra-penuntutan), pemeriksaan
di pengadilan, upaya hukum dan eksekusi.27
Tugas penegakan hukum bukan semata-mata berarti pelaksanaan
perundang-undangan, walaupun di dalam kenyataan di Indonesia
kecenderungannya adalah demikian, sehingga pengertian law enforcement
begitu populer.28 Penegakan hukum adalah suatu proses logis yang mengikuti
suatu peraturan hukum. Apa yang harus terjadi menyusul kehadiran peraturan
hukum hampir sepenuhnya terjadi melalui pengolahan logika. Logika menjadi
kredo (keyakinan) dalam penegakan hukum.29 Menurut Soetandyo
Wigjosoebroto sebagaiamana dikutip dalam tesis Yogyanto Daru Sasongko
pemikiran yang positivistik logalistikadalah sebuah konsep hukum yang dalam
ilmu hukum disebut sebagai ilmu hukum yang telah dipositifiskanatau
hukum positifatau yang dalam istilah klasik bahasa latin disebut ius

25 Yogyanto Daru Sasongko(tesis),op.cit.,Hlm 43

26 Alam Setia Zain, Hukum Lingkungan Konservasi Hutan dan Segi-Segi Pidana, Rineka
Cipta, Jakarta, 2002, Hlm, 18

27 Soejono, kejahatan & penegakan Hukum di Indonesia, Rineke Cipta , Jakarta 1994, Hlm 3

28 Soerjono Soekanto, Factor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, edisi kedua ctk
kedua belas, Rajawali Press, Jakarta, 2013, Hlm,7-8

29 Satjipto Rahardjo,op.cit Hlm, 191-192.

14
constitutum yakni hukum yang telah dibentuk.30Suharto yang dikutip
R.Abdussalam menyebutkan bahwa penegakan hukum adalah suatu rangkaian
kegiatan yang dilakukan aparat penegak hukum baik tindakan pencegahan
maupun penindakan dalam menerapkan ketentuan hukum yang berlaku guna
menciptakan suasana aman damai dan tertib demi kepastian hukum dalam
masyarakat.31Menurut JM. Van Bemmelen, tujuan utama semua bagian hukum
ialah menjaga ketertiban, ketenangan, kesehjahteraan dan kedamaian dalam
masyarakat tanpa dengan sengaja menimbulkan penderitaan.32
Pada hakekatnya hukum mengandung konsep atau ide yang digolongkan
sebagai salah suatu yang abstrak. Kedalam kelompok yang abstrak termasuk
ide tentang keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan sosial 33. Berbicara soal
penegakan hukum maka kita akan membayangkan tentang sebuah ide atau
konsep yang mengarahkan pada suatu tindakan yang benar dan adil bagi semua
kalangan, apabila semua ide dan konsep itu terwujud maka dapat dikatakan itu
adalah sebuah proses penegakan hukum.Satjipto Rahardjo menjelaskan bahwa
hakekat dari penegakan hukum adalah suatu proses untuk mewujudkan
keinginan atau ide-ide hukum menjadinkenyataan.34
Sistem penegakan hukum nasional harus dipandang dan ditempatkan sebagi
bagian dari sub sistem hukum nasional. Sebagai subsistem hukum nasional,

30Yogyanto Drau Sasongko.op.cit, Hlm, 42.

31 R Abdussalam, Penengakan Hukum di Lapangan Oleh Polri, Gagas Mitarcatur Gemilang,


1997, Hlm, 18.

32 JM Van Bemmelen, Het Materiele Strafrecht Algemeen Deel , Diterjemahkan oleh Hassan,
Hukum Pidana I Hukum Pidana Material Bagian Umum, Bina Eka Cipta , Cetakan Pertama
1984

33Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum. Suatu Tinjauan Sosiologis, Ctk Kedua, Genta
Publishing, Yogyakarta, 2011, Hlm, vii

34 Satjipto Rahardjo Masalah Penegakan Hukum, Suatau Tinjauan Sosiologis, Sinar Baru,
Bandung, Hlm,, 24-29

15
sistem penegakan hukum tidak saja menentukan tercapai atau tidaknya tujuan
hukum nasioanal tetapi juga instrument byang menjamin dinamika isi sitem
hukum .35
Kepastian hukum (rechtszekerhied, legalcertainy) merupakan asas penting
dalam tindakan hukum (recht shandeling) dan penegak hukum
(rechtshandhaving, law enforcement).36Efektivitas hukum dimaksud berarti
mengkaji kaidah hukum yang memenuhi syarat, yaitu berlaku secara yuridis,
sosiologis dan filosofi.37
Menurut pandangan dari sisi normatif penegakan hukum adalah suatu
tindakan yang pasti menerapkan hukum terhadap suatu kejadian yang dapat
diibaratkan menarik garis lurus antara dua titik. Dalam ilmu hukum ini cara
seperti ini disebut sebagai model mesin otomat dan pekerjaan menegakan
hukum menjadi aktivitas subsumsi otomat. Di sini hukum dilihat dari variable
yang jelas dan pasti dan terlihat sederhana. Pandangan dari sisi normatif
memang sangat sederhana dikarenanakan pandangan ini hanya menerapkan
sanksi apabila terjadi pelanggaran hukum dan penegakannya sesuai dengan
peranturan atau undang-undang yang megatur sanksi pelanggaran
tersebut.Menurut soerjono soekanto agar upaya hukum berjalan dengan baik
dan sempurna, maka paling sedikit harus ada 3mpat faktor yang harus
dipenuhi:
a) Kaedah hukum atau peraturan hukum itu sendiri.

b) Petugas yang menerapkan atau menegakan.

35 Edi Setiadi, Pemberdayaan Peran Dan interaksi Advokat dalam Proses Penegakan Hukum
Untuk Mewujudkan Keadilan, Disertasi, 2005, Hlm, 95.

36 Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Filsafat, Teori, dan Ilmu Hukum Pemikiran
Menuju Masyarakat yang berkeadilan dan bermartabat, edisi Kesatu, ctk Kesatu, Rajawali
Press, Jakarta, 2012, Hlm 342

37 Zainudin Ali, Sosiologi Hukum,Sinar Grafika, Jakarta, 2007, Hlm. 62.

16
c) Fasilitas yang diharapkan akan dapat mendukung pelaksaan kaedah
hukum.

d) Warga masyarakat yang terkena ruang lingkup praturan tersebut.38

Agar penegakan hukum dapat berjalan sesuai dengan yang diinginkan, maka
keempat elemen tersebut harus berjalan seiring dan serasi. 39 Leden marpaung
sebagaimana dikutip oleh hartiwiningsih dalam hasil disertasinya
mengatakan40:
Penegakan hukum tidak berlangsung dalam suasana vakum atau
kekosongan sosial adalah tiadanya proses-proses di luar hukum yang secara
bersamaan berlangsung dalam masyarakat.proses-proses tersebut adalah
seperti ekonomi politik. Penegakan hukum berjalan ditengah-tengah
berjalannya proses-proses tersebut. Dengan dikeluarkannya undang-undang
misalnya maka tidak simsalabim maka segalanya menjadi persis seperti
dikehendaki oleh undang-undang itu. hubungan kompetitif tarik-menarik
dan dorong-mendorong antara hukum dan bidang, serta proses lain
diluarnya tetap saja terjadi.
Apabila dilhat dari sisi sosiologis penegakan hukum bertolak belakang
dengan sisi normatif, penegakan hukum secara sosiologis memerlukan
pengkajian yang sangat lama dan memerlukan perjuangan dalam menentukan
kebenaran dalam penegakannya, Barda Nawawi Arief mengatakan dilihat dari
kacamata normatif memang permasalahan yang sangat sederhana, namun
apabila dilihat dari kacamata sosiologis maka penegakan hukum merupakan
proses yang panjang dan memerlukan sebuah perjuangan.41

Marc Galanter dalam Satjipto Rahardjo sebagaimana dikutip


olehHartiwiningsih mengatakan bahwa:

38 Soerjono Soekanto, Sosiologi Hukum Dalam Masyarakat, Rajawali, Jakarta 1980, Hlm 14

39ibid

40Hartiwiningsih, Hukum Lingkungan dalam Perspektif Kebijakan Hukum Pidana, Ctk kesatu,
UNS Press, Surakarta, Hlm, 61-62.

41Barda Nawawi Arief,op.cit.,Hlm,. 225.

17
Penegakan hukum tidak sesederhana yang kita duga, melainkan bahwa
penegakan hukum itu mengandung pilihan dan kemungkinan, oleh karena
dihadapkan pada kenyataan komplek. Dalam ilmu hukum normatif
kompleksitas itu diabaikan, sedangkan dalam ilmu empirik tidak dapat
mengabaikannya. Sosiologi hukum berangkat dari kenyataan yaitu melihat
dari berbagia kenyataan, kompleksitas, yang ada dalam masyrakat dan
bagaimana kenyataan itu membentuk maksud dengan melihat hukum dari
(from the order to telescope), ujung lain dari teleskopoleh karena itu
memasukan komplesitas tersebut kedalam pemahaman dan analisis, maka
dalam sosiologi hukum, penegakan hukum itu bersifat logis universal,
melainkan variable.42
Soerjono Soekanto mengemukakan lima faktor yang harus diperhatikan
dalam penegakan hukum. Penegakan hukum merupakan kegiatan
menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan dalam kaidah-kaidah yang
mantap dan mengejawantahkan sikap tindakan sebagai rangkaian penjabaran
nilai tahap akhir untulk menciptakan memelihara dan mempertahankan
kedamaian dalam masyarakat. Kelima faktor tersebut adalah:

a) Faktorhukumnya sendiri.

b) Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun


menerapkan hukum.

c) Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum

d) Faktor masyarakat yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku dan


ditetapkan.

e) Faktor kebudayaan, sebagai hasil karya, cipta, rasa yang didasarkan pada
karsa manusia didalam pergaulan hidup.43

2. Tinjauan Penegakan Hukum di bidang Kehutanan.

42Hartiwiningsih,op.cit

43 Soerjono Soekanto,op.cit.,Hlm, 307.

18
Andi Hamzah menyebutkan istilah penegak hukum dalam bahasa Indonesia
selalu diasosiasikan dengan force sehingga ada yang berpendapat bahwa penegak
hukum hanya bersangkutan dengan hukum pidana saja. Pikiran seperti ini
diperkuatdengan kebiasaan masyrakat dengan kebiasaan menyebut penegak
hukum itu polisi, jaksa dan hakim. 44 Lemahnya hukum di indonesia menjadikan
indonesia sebagai sarang dari berkembangnya praktek tindak kejahatan atau
pelanggaran yang dilakukan oleh beberapa orang Indonesia sendiri.Olof kinberg
dalam Muladi dan Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa kejahatan pada
umumnya merupakan perwujudan daripada ketidaknormalan atau
ketidakmatangan si pelanggar (the expression of an offender abnormality or
immaturity) yang lebih memerlukan tindakan perawatan (treatment).45 Korupsi,
kolusi dan nepotisme seakan terus berkembang tiada henti. Salah satunya adalah
dengan maraknya perusakan hutan yang terjadi di indonsia yang dilakukan oleh
oknum yang tidak bertanggung jawab dan tidak memiliki kesadaran, maka perlu
adanya penegakan hukum di bidang kehutanan yang diposisikan sebagai penjaga
kestabilan hutan.
Menurut Abdul Hakim, lemahnya penegakan hukum kehutanan terjadi,
antara lain disebabkan:
a) Mentalitas aparat kehutanan sendiri.
b) Jumlah aparat kehutanan yang tidak memadai dibanding scope
tanggung jawab dan luasnya wilayah yang harus diawasi.
c) Intervensi negatif aparat di luar kehutanan(Kepolisian Republik
Indonesia atau Tentara Nasional Indonesia).
d) Tuntutan percepatan waktu di industri kehutanan.

44 Andi Hamzah, Penegak Hukum Lingkungan, Arikha Media Cipta, Jakarta, 1995, Hlm. 61.

45Muladi dan Barda Nawawi arief, Bunga Rampai Hukum Pidana , Alumni, Bandung, 1992,
Hlm. 13.

19
e) Perilaku pengusaha atau cukong yang memilih bisnis kehutanan melalui
jalan pintas.46
Asas penyelenggaraan hutan berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun
1999 tentang kehutanan adalah mafaat, lestari, kerakyatan, keadilan,
kebersamaan, keterbukaan dan keterpaduan. Undang-Undang Nomor 41 Tahun
1999 Tentang Kehuatan sudah ada pasal-pasal yang mengatur atas kerusakan
hutan. Pasal 47 Undang-Undang kehutanan meyebutkan bahwa perlindungan
dan kawasan hutan merupakan usaha untuk:

a) Mencegah dan membatasi kerusakan hutan, kawasan hutan dan hasil


hutan yang disebabkan oleh perbuatan manusia,ternak, kebakaran, daya-
daya alam, hama serta penyakit.

b) Mempertahankan serta menjaga hak-hak negara masyarakat dan


perorangan atas hutan, kawasan hutan, hasil hutan, investasi serta
perangkat yang berhubuingan dengan pengelolaan.
Penegakan hukum di bidang kehutanan tidak hanya terpaku pada pada
masyarakat yang melakukan kerusakan hutan, tetapi juga pada pejabat terkait
yang melakukan kesalahan mengeluarkan izin terhadap penebangan hutan.
Undang-Undang No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan pada dasarnya belum
mengatur tentang tindak pidana kehutanan yang melibatkan PNS, Sehingga
aturan hukum yang dijadikan menindak pelaku PNS masih mengacu pada
Undang-Undang pemberantasan tindak pidana korupsi.47
Pasal 38 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
menjelaskan akan perizinan pemanfatan hutan yang dalam penggunaan
kawasan hutan lindung dan produksi untuk kepentingan bangunan liar di luar
kehutanan dilakukan melalui izin pinjam pakai kawasan hutan, untuk kegiatan
penambangan dalam kawasan lindung hanya dapat dilakukan melalui tambang

46Abdul Hakim, Pengantar Hukum Kehutanan,Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005. Hlm,194.

47Wartiningsish,op.cit.,Hlm, 55.

20
tertutup. Menurut Wartiningsih penerbitan izin yang bertumpu pada prosedur
administrasi termasuk dalm lingkup pelayanan publik.48 Lebih lanjut seperti
yang dikemukakan N.M. SPELT dan J.B.J.M.Ten Berge yang dikutip Adrian
Sutedi, bahwa izin merupakan instrument atau alat kekuasan negara yang
dikeluarkan oleh pejabat tertentu untuk memberikan suatu kegiatan yang
sebenarnya dilarang 49 Izin tersebut dalam kehidupan sehari-hari terkadang di
salah gunakan dalam sebuah kepentinga-kepentingan bagi diri sendir natau
sebuah kelompok.Indonesia menganut kedua-belas prinsip pokok, yang
merupakan pilar-pilar utama yang menyangga berdiri tegaknya satu negara
modern sehingga dapat disebut sebagai Negara Hukum atau Rechtstaat, dalam
arti yang sebenarnya. Adapun kedua-belas prinsip pokok tersebut, adalah:
1. Supremasi Hukum ( Supremacy of Law);
2. Persamaan dalam Hukum (Equality before The Law);
3. Asas Legalitas (Due Process of Law);
4. Pembatasan Kekuasaan;
5. Organ-organ Eksekutif Independen;
6. Peradilan yang Bebas dan Tidak Memihak;
7. Peradilan Tata Usaha Negara;
8. Peradilan Tata Negara (Constitutional Court);
9. Perlindungan Hak Asasi Manusia;
10. Bersifat Demokratis (Democratische rechtsstaat)
11. Berfungsi sebagai Sarana Mewujudkan Tujuan Bernegara (Welfare
Rechtsstaat); dan
12. Transparansi dan Kontrol Sosial.50
A.V. Dicey menguraikan adanya 3 (tiga) unsur penting dalam setiap negara
hukum yang disebutnya dengan istilah The Rule of Laws, yaitu:
1. Supremacy of Law.
Supremasi dari hukum, yang berarti bahwa yang mempunyai kekuasaan
tertinggi di dalam negara adalah hukum (kedaulatan hukum).
2. Equality before the Law.

48Ibid.

49 Adrian Sutedi, Hukum Perizinan dalam Sektor Pelayanan Publik, Sinar Grafika , 2010,
Hlm, 170

50 H.F. Abraham Amos, Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Rajawali Press, Jakarta, 2005,
Hlm, 89.

21
Persamaan dalam kedudukan hukum bagi setiap orang.
3. Konstitusi itu tidak merupakan sumber dari hakhak asasi manusia dan
jika hak-hak asasi manusia itu diletakkan dalam konstitusi, itu hanya
sebagai penegasan bahwa hak asasi manusia itu harus dilindungi.51
Pelanggaran terhadap izin sesuai unsure-unsur yang terkandung pada setiap
negara hukum yang dikemukakan A.V Dicey akan terlaksana apabila ada
ketaatan pada setiap individu yang ada di dalam negara, termasuk juga ketaatan
dan kepatuhan dalam meneriam sebuah aturan termasuk aturan dari Undang-
Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Pemaknaan dari penegakan hukum di bidang kehutanan adalah
pengawasan, perlindungan dan pemberiian izin yang sesuai dengan yang di
tetapkan oleh Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Pengawasan hutan dalam pemaknaan penegakan hukum di bidang kehutanan
adalah mencermati, menelusuri pelaksanaan pengelolaan hutan yang optimal
sesuai dengan yang ditetapkan dalam Undang-Undang. perlindungan hutan
adalah melindungi fungsi hutan masing-masing yaitu:
a) Fungsi hutan produksi

b) Fungsi hutan lindung.

c) Fungsi hutan konservasi.

Penegakan hukum di bidang kehutanan akan optimal dalam menanggulangi


kejahatan yang merusak hutan,apabila ada daya dukung dari pihak-pihak yang
bergantung pada hasil hutan. Menurut Bonger Kejahatan adalah perbuatan
yang sangata anti sosial dan memperoleh pertentangan dengan sadar oleh
negara berupa pemberian penderitaan(hukuman, sanksi atau
tindakan).52Kejahatan atau tindakan kriminal adalah perilaku yang
menyimpang dari seseorang atau sekumpulan masyarakat. Perilaku

51Ibid., Hlm, 4.

52 M.A.W, Bonger, Inleiding Toot de Criminologie, Diterjemahkan oleh Koesnoe, dkk,


Pengantar Tentang Kriminologi, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982, Hlm.25

22
menyimpang tersebut beretentangan dengan aturan-aturan normatif. 53
merupakan suatu bentuk Pengawasan, perlindungan dan pemberian izin akan
berjalan dengan baik sebagai pemaknaan penegakan hukum yang optimal
berdasarkan Undang-Undang jika didukung oleh sumber daya manusia yang
baik.

3. Tindak Pidana Kerusakan Hutan


Peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan telah
mengkualifikasikan berbeagi bentuk tindak pidana yang sebagaimana telah
diatur dalam Undang-Undang Kehutanan, yang mana dalam Pasal 50
tersebut menjelaskan perbuatan yang dapat dikenai sanksi pidana oleh Pasal
78 ayat 1,2 dan ayat 3:
a) Setiap orang dilarang merusak prasarana dan sarana perlindungan hutan
b) Setiap orang yang diberikan izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha
pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu
dan bukan kayu, serta izin pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu,
dilarang melakukan kegiatan yang menimbulkan kerusakan hutan.
c) Setiap orang dilarang:
1) Mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan
hutan secara tidak sah;
2) Merambah kawasan hutan.
3) Melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan dengan radius
atau jarak sampai dengan:
(a)1500(Lima ratus) meter dari tepi waduk atau danau;
(b) 200 (dua ratus) meter dari tepi mata air dan kiri kanan
sungai di daerah rawa.
(c)100 (seratus) meter dari kiri kanan tepi sungai.
(d) 50 (lima puluh) meter dari kiri kanan tepi anak sungai
(e)2 (dua) kali kedalaman jurang dari tepi jurang;

53 Muladi dan Barda Nawai Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung,
1998, Hlm, 148.

23
(f) 30 (seratus tiga puluh) kali selisih pasang tertinggi dan pasang
terendah dari tepi pantai.
4) Membakar hutan
5) Menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di dalam
hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang.
6) Menerima, membeli atau menjual, menerimatukar, menerima titipan,
menyimpan, atau memiliki hasil hutan yang diketahui atau patut
diduga berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara
tidak sah.
7) Melakukan kegiatan penyelidikan umum atau eksplorasi atau
eksploitasi bahan tambang di dalam kawasan hutan, tanpa izin menteri
8) Mengangkut, menguasai atau memiliki hasil hutan yang tidak
dilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan.
9) Menggembalakan ternak di dalam kawasan hutan yang tidak ditunjuk
secara khusus.
10) Membawa alat-alat berat dan atau alat-alat lainnya yang lazim atau
patut diduga akan digunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam
kawasan hutan, tanpa izin pejabat yang berwenang.
11) Membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang,
memotong, atau membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa izin
pejabat yang berwenang.
12) Membuang benda-benda yang dapat menyebabkan kebakaran dan
kerusakan serta membahayakan keberadaan atau kelangsungan fungsi
hutan ke dalam kawasan hutan; dan
13) Mengeluarkan, membawa, dan mengangkut tumbuh-tumbuhan dan
satwa liar yangtidak dilindungi undang-undang yang berasal dari
kawasan hutan tanpa izin dari pejabat yang berwenang.
d) Ketentuan tentang mengeluarkan, membawa, dan atau mengangkut
tumbuhan dan atau satwa yang dilindungi, diatur sesuai dengan
peraturan perundang-undangan
Penerapan sanksi perbuatan dalam Pasal 50 Undang-Undang Kehutanan
telah diatur dalam Pasal 78, menurut Suriansyah Murhaini yang dapat ditindak
pidanakan sebagai kejahatan yang diancam hukuman penjara melipuiti
perbuatan:

24
a) Merusak sarana-prasarana perlindungan hutan serta menimnbulkan
kerusakan hutan, tindak pidana ini diatur dalam Pasal 78(1) Undang-
Undang Nomor 41 ttahun 1999 Tentang Kehutanan,yaitu barang siapa
dengan sengaja merusak sarana prasara perlindungan hutan dan dengan
sengaja menimbulkan kerusakan hutan. Barang siapa dengan sengaja
melakukan perbuatan tersebut maka dapat dikenakan hukuman penjara
paling lama 10(sepuluh) tahun dan denda paling banyak lima ratus
rupiah. Untuk perbuatan merusak sarana-prasarana hutan hanya
dikenakan kepada perorangan, sedang perbuatan yang menimbulkan
kerusakan hutan dikenakan pada orang atau korporasi/bandan hukum.
b) Membakar Hutan.
Tindak pidana membakar hutan ini dapat terjadi karena kesengajaan dan
arena kelalaian yang menimbulkan kebakaran hutan. Bagi seseorang
yang sengaja membakar hutan diancam pidana dengan hukuman
penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak
sepuluh milyar rupiah. sedangkan kebakaran hutan yang diakibatkan
oleh kelalaian maka diancam dengan hukuman penjara paling lama
lima(5) tahun dan denda paling banyak lima milyar rupiah. Sesuai
dengan Pasal 78 ayat 2 dan 3 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan.
c) Menebang pohon dan memiliki hasil hutan secara illegal.
Dalam Pasal 78 ayat 3 Undang-Undang Nomor 41 tentang Kehutanan
diesebutkan bahwa barang siapa melakukan penebangan poho,
memanen, memungut hasila hutan atau didalam hutan tanpa hak atau
ijin dari pejabat yang berwenangdiancam pidana penjara 15 tahun dan
denda paling banyak 5 milyar rupiah. Termasuk dalam perbuatan inin
adalah menjual dan membeli, merima tuakar atau titipan atau memiliki
hasil hutan yang diketahui atau patut diduga berasal dari kawasan hutan
yang diambil atau dipungut secar tidak sah.
d) Melakukan peanambangan atau eksplrorasi serta ekploitasi bahan
tambang tanpa ijin.
Perbuatan yang tercantum dalam Pasal 78 (5) jo Pasal 38 (4) Undang-
Undang Nomor 41 Tahun1999 tentang Kehutanan adala barang siapa
melakukan penambangan dengan pola terbuka dikawasan hutan lindung
dalam bentuk kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi atau ekploitasi
barang tambang tanpa ijin dari menteri, diancam pidana paling lama 10
tahun dan denda paling banyak lima(5) milyar rupiah.
e) Memiliki hasil hutan tanpa surat keterangan.
Perbuatan ini diancam dalam pasal ini adalah barang siapadengan
sengaja mengangkut, menguasai hasil hutan yang tidaka dilengkapi

25
bersama-sama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan, diancam
pidana penjara paling lama
Lima(5) tahun dan denda paling banyak sepuluh (10) milyar rupiah
Pasal 78 (6) jo Pasal 50 (3).
f) Menggembalakan ternak.
Perbuatan yang diancam dengan ketentuan ini adalah barang siapa
dengan sengaja menggembalakan ternak di kawasan hutan yang
ditunjuk secara khusus oleh pejabat yang berwenang, diancam dengan
pidana penjara paling lama 3(tiga) bulan dan denda paling banyak
sepuluh juta rupiah.
g) Membawa alat-alat berat tanpa ijin.
Perbuatan yang diancam ketentuan ini adalah barang siapa dengan
sengaja membawa alat berat atau alat-alat lainnya yang tak lazim atau
patut diduga akan digunakan untuk mengangkut hasil hutan dalam
kawasan hutan tanpa ijin pejabat yang berwenang, diancam pidana
penjatra paling lama lima (5) tahun dan dendan paling banyak lima (5)
milyar rupiah berdasarkan Pasal 78 (9) Undang-Undang Nomor 41
Tahun 1999
Apabila alat-alat yang di bawa lazim digunakan tanpa ijin untuk
menebang pohon , memotong, membelah hutan, namun tanpa ijin
pejabat yang berwenang diancam dengan pidana penjara paling lama
tiga (3) bulan dan denda paling banyak satu milyar rupiah. Pasal 78 (9)
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999
h) Membuang benda-benda yang berbahaya.
Rumusan delik pidana dikategorikan dalam ketentuan ini barang siapa
dengan sengaja membuang benda-bendan yang dapat menyebabkan
kebakaran, kerusakan atau membahyakan kelangsungan fungsi utan
diancam pidana penjara paling lama tiga (3) bulan dan denda paling
banyak satu milyar rupiah Pasal 78 (10) Undang-Undang Nomor 41
Tahun 1999 tentang Kehutanan.
i) Membawa satwa liar dan tumbuh-trumbuhan yang dilindungi
Perbuatan ini diancam dengan pidana penjara meneurut ketentuan Pasal
78 ayat 12 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan,
yaitu barang siapa dengan sengaja menegeluarkan, membawa dan
mengangkut tumbuh-tumbuhan dan satwa liar yang dilindungi di
Undang-Undang tanpa ijin pejabat yang berwenang, diancam penjara
paling lama tiga (3) tahun dan denda paling banyak tiga milyar rupiah.54
54 Suriansyah Murhaini, op.,cit., Hlm.,28.

26
Menurut Hadi Cutro sebagaimana dikutip Suriansyah Murhaini dalam
bukunya, suatu perbuatan dilakukan oleh seseorang dimana perbuatan tersebut
melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan bidang kehutanan dan
diancam dengan sanksi atau hukuman bagi pelakunya. 55 Sebuah perbuatan yang
mengakibatkan kerugian bagi seseorang atau lingkungannya maka perbutan
tersebut pantas menerima sanksi atau hukuman selama perbuatan tersebut
sudah ada atau tertuang di dalam Undang-Undang dilarang

E. Penelitian yang Relevan


Dalam Penelitian yang relevan penulis belum menemukan penelitian yang
meneliti tentang optimalisasi Undang-Undang kehutanan yang melakukan studi
kasus di kawasan lereng gunung Merapi.

No Nama Judul Hasil Persamaan dan


penelitian perbedaan

1 Handoyo Implementasi Dalam Persamaan


cipto, S.H., Undang-Undang penelitiannya dengan
2008 No41 Tahun 1999 implementasi penelitian yang
Tesis, Terhadap Undang- penulis
Program Pembinaan Undang lakukan adalah
Magister Ilmu Masyarakat Desa Nomor 41 tentang
Hukum, dalam Pengelolaan Tahun 1999 mengkaji
Universitas dan Menjaga tentang Undang-
Diponegoro Kelestarian Kehutanan, Undang
Semaranag Hutan(Studi Kasus dapat di Kehutanan
KPH Banyumas jadikan Nomor 41
Timur peningkatan Tahun 1999
dalam dalam
pendapatan penerapannya
dan tebukanya di hutan yang
senuah berada
lapangan kerja disuatau
sehingga daerah,
menambah perbedaannya
penghasilan adalah
bagi warga penelitian

55Ibid.

27
sekitar hutan penulis
yang mengkaji
mempunyai tentang
wawasan keoptimalan
lingkungan, Undang-
akan tetapi ada Undang dalam
maslah yang di mengatasi
hadapi dalam kerusakan
penerapan hutan yang ada
kegitan yang di kawasan
yang bergerak hutan Gunung
dalam bidang Muria. Dan
pembinaan tesis milik
masyarakat. saudara
Dalam handoyo
kegiatan itu mengkaji
belum tentang
tercermin dan penerapan
melibatkan program-
partispasi program
masyarakat Perhutani yang
dan tidak kurang optimal
terdapat di Kawasan
sinergi dengan KPH
Lembaga Banyumas
Masyarakat Timur
Desa Hutan
2 Susilowati, Penguasaan dan Hasil Persamaannya
Magister Pengelolaan Tanah penelitiannya adalah tentang
kenotariatan, Kawasan Hutan Oleh adalah tentang mengkaji
Universitas perum Perhutani tanah kawasan Undang-
Sebelas Maret Kesatuan Pemangku hutan yang Undang
Tahun 2015 Hutan bersengkta Nomor 41
Surakarta(Berdasarka
n Undang-Undang pada KPH Tahun 1999
Nomor 41 Tahun 1999 Surakarta dan tentang
Tentang Kehutanan cara-cara yang Kehutanan,
yang telah digunakan oleh perbedaanya
Diperbaharui dengan Perhutani adalah letak
Udang-Undang dalam studi kasus
Nomor 19 Tahun 2004 menanggulangi atau tempat
tentang Penetapan adanya yang berbeda
Peraturan Pemerintah sengketa tanah dan fokus
Pengganti Undang- yang ada di penelitiannya
Undang Nomor 1 wialayah tentang
Tahun 2004 Tentang
Perubahan atas tersebut, sengketa tanah
Undang-Undang macam-macam sedangkan

28
Nomor 41 Tahun 1999 sengketanya penulis fokus
tentang Kehutanan adalah pada
Menjadi Undang- sengketa kerusakan
Undang), tenurial, hutan yang
okupasi dll bisa
diakibatkan
oleh kebakaran
hutan,
penjarahan
atau illegal
logging dan
sengketa tanah
kawasan hutan
konflik
tenurial

F. Kerangka Pemikiran

29
Keterangan:

Undang-Undang Dasar 1945 adalah patokan dari lahirnya semua Undang-


Undang. Di dalam Pasl 33 di sebutkan bahwa bumi dan air dan kekeayaan
alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakannya
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pasal tersebut menekankan
tanggung jawab negara berdasarkan kesejahteraan rakyat melalui Pasal
tersebut. Implementasi pasal tersebut kemudian diimplementasikan ke Undang-
Undang kehutanan Nomor 41 Tahun1999 tentang Kehutanan

Undang-Undang No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan adalah Undang-


Undang mengatur regulasi semua aspek yang berhubungan dengan hutan akan
tetapi, dalam perkembangan zaman perubahan sosial dari masyarakat
membawa sebuah tuntutan dalam mengoptimalisasikan undang-undang
tersebut. Dengan bertambahnya kerusakan hutan yang terjadi di Indonesia
khususnya di pulau Jawa di lereng Gunung Muria, maka langkah-langkah yang
harus dilakukan dalam mengoptimalisasikan sebuah undang-undang menjadi
baik adalah penegakan hukum dan sosialisasi peraturan yang berhubungan
dengan Undang-Undang tersebut. Indonesia adalah negara hukum jadi apabila
Undang-Undang Kehutanan belum optimal maka akan tidak berwibawa
Undang-Undang tersebut.

30

Anda mungkin juga menyukai