1. Trigeminal neuralgia
2. Paralisis nervus fasialis
Trigeminal neuralgia
Ringkasan
Trigeminal neuralgia (Nyeri Wajah) ditandai oleh episode singkat nyeri wajah yang kuat,
menusuk, seperti aliran listrik. Episode ini terjadi secara spontan atau dapat dipicu oleh sentuhan
ringan, gerakan mengunyah, atau perubahan suhu (contohnya dingin). Nyeri sangat singkat
sehingga bisa melumpuhkan sama sekali. Sebagai tambahan, kehilangan berat badan adalah
umum karena pemicu oral mencegah seseorang yang terkena makan cukup untuk menjaga nutrisi
yang cukup.
Bentuk yang kurang umum, disebut Atipikal Trigeminal Neuralgia", mengakibatkan nyeri
yang kurang singkat, konstan, rasa terbakar atau sakit yang membosankan, kadangkala dengan
tusukan seperti aliran listrik.
Penyebab
Penyebab kondisi ini adalah iritasi syaraf cranial kelima (syaraf Trigeminal) yang bertanggung
jawab untuk memberikan sensasi wajah. Iritasi ini kadangkala disebabkan oleh tumor jinak atau
sklerosis multiple, atau yang biasanya dapat dideteksi dengan MRI otak kualitas tinggi.
Pada kasus-kasus besar, bagaimanapun juga, penggambaran otak tidak dapat menunjukkan
penyebab iritasi syaraf. Pada kasus demikian pembuluh kecil (biasanya arteri tetapi kadangkala
vena) seringkali ditemukan saat operasi menekan akar zona masuk syaraf Trigeminal pada
batang otak.
Gejala
Nyeri, yang datang dan pergi, terasa seperti ledakan tajam, menusuk, aliran listrik yang
melibatkan pipi, hidung, bibir atas atau rahang. Pada hamper semua kasus (lebih dari 95%), nyeri
terbatas pada satu sisi wajah Anda. Nyeri ini dapat bertahan dari beberapa detik hingga beberapa
menit. Aktivitas harian umum seperti makan, minum atau menyikat gigi dapat membawa nyeri.
Terapi pertama terdiri dari obat-obatan seperti Karbamazepin dan Gabapetin. Pada sebagian
besar kasus, pengobatan medis efektif.
Jika pengobatan medis gagal atau terbatas oleh efek samping yang signifikan, kami memiliki
pilihan operasi yang baik untuk pasien dengan trigeminal neuralgia.Operasi biasanya tidak
efektif untuk atipikal trigeminal.
Pilihan Operasi
Operasi Pisau Gamma contohnya pengobatan radiasi dilakukan tanpa membuka tengkorak,
menggunakan sinar gamma yang kuat ditujukan pada akar syaraf Trigeminal, telah dilakukan
akhir-akhir ini. Namun data perbandingan jangka panjang yang dilaporkan untuk prosedur
lainnya kurang. Laporan sejauh ini menyatakan 50-90% penurunan nyeri baik dan 10-50%
cukup. Tidak ada data patologi tersedia sehubungan dengan efek menengah dan jangka panjang
radiasi dosis tinggi (70-90 gy) pada syaraf yang berdekatan dengan batang otak.
Pilihan operasi tergantung usia pasien, penyakit terkait dan pemeriksaan resiko yang bersedia
diterimanya. Untuk sebagian besar pasien lebih muda, dekompresi mikrovaskular adalah
pilihan terbaik. Pasien lebih muda memiliki kemungkinan menerima operasi lebih baik tanpa
komplikasi, dan harapan hidup masa depan lebih panjang yang berurusan dengan masalah yang
dapat mengikuti penjejasan perkutan. Mereka juga memiliki resiko nyeri berulang kembali lebih
Pasien lebih tua (usia >65-70 tahun) memiliki resiko komplikasi bedah meningkat. Tetapi karena
harapan hidup keseluruhan lebih pendek, mereka mungkin membutuhkan lebih sedikit
pengulangan prosedur perkutan dengan kurang bertumpuknya gejala sisa denervasi. Penyakit
terkait penting seperti Chronic Obstructive Pulmonary Disease Fpenyakit jantung koroner dan
diabetik (diabetes mellitus) juga meningkatkan resiko operasi besar tersebut
LAMAN BARU
Neuralgia trigeminal, juga dikenal dengan nama prosopalgia[1] atau penyakit Fothergill,[2]
adalah penyakit saraf yang dicirikan oleh rasa nyeri hebat pada wajah, berasal dari saraf
trigeminus. Penyakit ini merupakan salah satu kondisi paling menyakitkan yang diketahui
manusia.[3] Menurut perkiraan, 1 dari 15.000 atau 20.000 orang menderita penyakit ini, walaupun
angka sesungguhnya mungkin sangat lebih tinggi akibat seringnya salah diagnosis. Pada
sebagian kasus, gejala penyakit ini mulai timbul setelah usia 50, walaupun ada pula sejumlah
kasus dengan penderita berusia muda seperti tiga tahun. Penyakit ini lebih umum diderita
perempuan daripada laki-laki.[4]
Saraf trigeminus merupakan sebuah saraf kranial berpasangan yang memiliki tiga cabang utama:
saraf oftalmik (V1), saraf maksila (V2), dan saraf mandibular (V3). Setidaknya salah satu cabang
saraf ini dipengaruhi oleh neuralgia trigeminal. Sebanyak 10-12% kasus bersifat bilateral (terjadi
pada sisi kanan maupun kiri wajah). Neuralgia trigeminal paling sering melibatkan cabang
tengah (saraf maksila atau V2) dan cabang bawah (saraf mandibular atau V3) saraf trigeminal,[5]
namun rasa nyerinya dapat timbul di telinga, mata, bibir, hidung, kulit kepala, dahi, pipi, gigi,
atau rahang dan sisi wajah.
Penyakit ini tidak mudah dikendalikan namun dapat ditangani dengan sejumlah cara
pengobatan.[6]
Neuralgia trigeminal
Klasifikasi dan rujukan eksternal
Saraf trigeminus dan tiga pembagian utamanya (diwarnai kuning): saraf oftalmik
(V1), saraf maksila (V2), dan saraf mandibular (V3)
NEURALGIA TRIGEMINAL
I. PENDAHULUAN
Neuralgia trigeminal terdiri atas dua kata; Neuralgia berasal dari bahasa Yunani; yaitu
awalan "neuro-"yang berarti terkait dengan saraf, dan akhiran "-algia" yang berarti nyeri. Yang
Umumnya nyeri terbahagi kepada dua tipe, yaitu nyeri nociceptive dan nyeri non-
nociceptive. Nyeri nociceptive adalah nyeri yang berhubungan dengan jaringan yang rusak,
akibat daripada aktivasi atau sensitasi pada receptor nociceptor di perifer. Nyeri nociceptive
terbahagi lagi kepada nyeri somatic dan nyeri viscera, yang mana mampu dibedakan melalui
kualiti suatu nyeri dan manifestasinya.(12)
Nyeri non-nociceptive pula dibahagikan juga kepada nyeri neuropatic dan nyeri
idiopathic. Nyeri neuropathic adalah primer akibat rusaknya struktur pada neural samada pada
system saraf perifer atau sistem saraf pusat. Nyeri idiopathic atau nyeri psychogenic adalah lebih
luas penggunaannya dalam mendiagnoasa suatu nyeri.(12)
Neuralgia trigeminal adalah kelainan yang ditandai oleh serangan nyeri berat paroksismal
dan singkat dalam cakupan persarafan satu atau lebih cabang nervus trigeminus, biasanya tanpa
bukti penyakit saraf organik. Penyakit ini menyebabkan nyeri wajah yang berat. Penyakit ini
juga dikenal sebagai tic doulourex atau sindrom.(2)
Neuralgia pada penyakit ini disertai dengan nyeri yang berat dan menusuk pada rahang dan
wajah, biasanya pada satu sisi dari rahang atau pipi, yang biasanya terjadi dalam beberapa detik.
Dan nyerinya selalunya unilateral dan mengikuti distribusi sensoris dari nervus kranial V, khas
mengenai daerah maksila (V.2) atau mandibula (V.3). Pemeriksaan fisis biasanya dapat
mengeliminasi diagnosa alternatif. Tanda dari disfungsi nervus kranialis atau abnormalitas
neurologis yang lain menyingkirkan diagnosis dari neuralgia trigeminal idiopatik. dan mungkin
menandakan nyeri sekunder yang dirasakan akibat lesi struktural.(2, 3)
Nervus trigeminus adalah saraf otak motorik dan sensorik. Serabut motoriknya
mempersarafi muskulus maseter, temporalis, pterigoideus internus et eksternus, tensor timpani,
omohioideus dan bagian anterior muskulus digastrikus
I nti motoriknya terletak di pons. Serabut-serabut motoriknya bergabung dengan serabut-serabut
sensorik nervus trigeminus yang berasal dari ganglion Gasseri. Serabut-serabut sensoriknya
menghantarkan impuls nyeri, suhu, raba dan perasaan proprioseptif. Kawasannya ialah wajah
dan mukosa lidah dan rongga mulut serta lidah, dan rongga hidung. Impuls proprioseptif,
Cabang kedua ialah cabang maksilaris yang hanya tersusun oleh serabut-serabut
somatosensorik yang menghantarkan impuls protopatik dari pipi, kelopak mata bagian bawah,
bibir atas, hidung dan sebagian rongga hidung, geligi rahang atas, ruang nasofarings, sinus
maksilaris, palatum molle dan atap rongga mulut. Serabut-serabut sensorik masuk ke dalam os.
maksilaris melalui foramen infraorbitalis. Berkas saraf ini dinamakan nervus infraorbialis. Saraf-
saraf dari mukosa cavum nasi dan rahang atas serta geligi atas juga bergabung dalam saraf ini
dan setelahnya disebut nervus maksilaris, cabang II N.V. Ia masuk ke dalam rongga tengkorak
melalui foramen rotundum kemudian menembus duramater untuk berjalan di dalanm dinding
sinus kavernosus dan berakhir di ganglion Gasseri. Cabang maksilar nervus V juga menerima
serabut-serabut sensorik yang berasal dari dura fossa crania media dan fossa pterigopalatinum.(4)
Cabang mandibularis (cabang III N.V. tersusun oleh serabut somatomotorik dan sensorik
serta sekretomotorik (parasimpatetik). Serabut-serabut somatomotorik muncul dari daerah lateral
pons menggabungkan diri dengan berkas serabut sensorik yang dinamakan cabang mandibular
ganglion gasseri. Secara eferen, cabang mandibular keluar dari ruang intracranial melalui
foramen ovale dan tiba di fossa infratemporalis. Di situ nervus meningea media (sensorik) yang
mempersarafi meninges menggabungkan diri pada pangkal cabang madibular. Di bagian depan
fossa infratemporalis, cabang III N.V. bercabang dua.
Yang satu terletak lebih belakang dari yang lain. Cabang belakang merupakan pangkal dari saraf
aferen dari kulit daun telinga (nervus aurikulotemporalis), kulit yang menutupi rahang bawah,
mukosa bibir bawah, dua pertiga bagian depan lidah (nervus lingualis), glandula parotis dan gusi
rahang bawah ( nervus dentalis inferior) dan serabut eferen yang mempersarafi otot-otot
omohioideus dan bagian anterior muskulus digastrikus Cabang anterior dari cabang madibular
terdiri dari serabut aferen yang menghantarkan impuls dari kulit dan mukosa pipi bagian bawah
III. EPIDEMIOLOGI
Tidak ada studi sistematik mengenai prevalensi dari neuralgia trigeminal, namun suatu
kutipan yang diperkirakan diterbitkan pada tahun 1968 mengatakan bahwa prevalensi dari
neuralgia trigeminal mendekati 15,5 per 100.000 orang di United States. Sumber lain
mengatakan bahwa insiden tahunannya adalah 4-5 per 100.000 orang, dimana menandakan
tingginya prevalensi. Di beberapa tempat, penyakit ini jarang ditemukan. Onsetnya usia diatas 40
tahun pada 90% penderita. Neuralgia trigeminal sedikit lebih umum terjadi pada perempuan
dibandingkan dengan laki-laki. Penyakit ini lebih sering terjadi pada sisi kanan wajah
dibandingkan dengan sisi kiri (rasio 3:2), (2, 3)
Penyakit ini lebih sering terjadi pada perempuan dan biasanya timbul setelah umur 50
tahun, jarang setelah umur 70 tahun. Insiden familial sedikit lebih tinggi (2%) dibanding insiden
sporadik. Faktor resiko epidemiologis (umur, ras, kebiasaan merokok dan minum alkohol)
diperkirakan penting dalam hubungannya dengan apakah wajah atas atau wajah bawah yang
terkena. Perbandingan frekuensi antara laki-laki dan perempuan adalah 2:3, sedangkan
perkembangan dari neuralgia trigeminal pada usia muda dihubungkan dengan kemungkinan dari
multiple sklerosis. Neuralgia trigeminal yang idiopatik khas terjadi pada dekade kelima
kehidupan, tapi dapat pula terjadi pada semua umur, sedangkan simptomatik atau neuralgia
trigeminal sekunder cenderung terjadi pada pasien yang lebih muda.(3)
IV. ETIOLOGI
Etiologi trigeminal neuralgia (TN) dapat berupa pusat, perifer, atau keduanya. Saraf
trigeminal (saraf kranial V) bisa menyebabkan nyeri, karena fungsi utama adalah sensorik.
Biasanya, tidak ada lesi struktural hadir (85%), meskipun banyak peneliti setuju bahwa kompresi
pembuluh darah, biasanya vena atau loop arteri di pintu masuk ke saraf trigeminal pons, sangat
penting untuk patogenesis berbagai idiopatik. Ini hasil kompresi dalam demielinasi saraf
trigeminal fokus. Etiologi idiopatik diberi label secara default dan kemudian dikategorikan
sebagai trigeminal neuralgia klasik. (10)
Aneurisma, tumor, peradangan meningeal kronis, atau lesi lainnya dapat mengiritasi akar
saraf trigeminal sepanjang pons bisa juga menyebabkan gejala neuralgia trigeminal. Vaskular
yang abnormal dari arteri serebelum superior sering disebut sebagai penyebabnya. Lesi dari zona
masuknya akar trigeminal dalam pons dapat menyebabkan sindrom nyeri yang sama.(10)
Serangan nyerinya tidak dapat diperkirakan; karena nyeri dapat dicetuskan oleh aktivitas
sehari-hari yang biasanya tidak menimbulkan nyeri (seperti menyisir rambut, mengunyah
makanan, menggosok gigi, atau bahkan saat terkena hembusan angin). Dikenal pula istilah
trigger zone, yaitu daerah yang sering menjadi awal bermulanya neuralgia; yang terletak di
sekitar daerah sekitar hidung dan mulut. (10)
VI. DIAGNOSIS
Untuk menegakkan diagnosis neuralgia trigeminal, IHS (International Headache Society)
menetapkan kriteria diagnostik untuk neuralgia trigeminal sebagai berikut: (11)
1. Serangan nyeri paroksismal yang bertahan selama beberapa detik sampai 2 menit,
mengenai satu atau lebih daerah persarafan cabang saraf trigeminal.
2. Nyeri harus memenuhi satu dari dua kriteria berikut:
Neuralgia trigeminal hendaknya memenuhi seluruh kriteria tersebut; minimal kriteria 1, 2, dan 3.
(11)
Pada neuralgia trigeminal seringkali tidak ditemukan berkurangnya sensibilitas tetapi dapat
ditemukan penumpulan rangsang raba atau hilangnya refleks kornea walaupun jarang. Serangan
yang timbul dapat mengurangi nafsu makan, rekurensi dalam jangka lama dapat menyebabkan
kehilangan berat badan, depresi hingga bunuh diri. Untungnya, serangan biasa berhenti pada
malam hari, walaupun pasien dapat juga terbangun dari tidur akibat serangan. Remisi dari rasa
sakit selamam berminggu-minggu hingga berbulan-bulan merupakan tanda dari penyakit tahap
awal.(1)
Gambar 2: Zona innervasi bagi nervus trigeminus, di mana lokasi nyeri boleh terjadi pada
neuralgia trigeminal.
Tidak ada uji spesifik dan definitif untuk neuralgia trigeminal. Pemeriksaan radiologis
seperti CT scan dan MRI atau pengukuran elektrofisiologis periode laten kedipan dan refleks
rahang dikombinasikan dengan elketromiografi masseter dapat digunakan untuk membedakan
kasus-kasus simtomatik akibat gangguan struktural dari kasus idiopatik.(1,2)
Pemeriksaan tambahan baru diperlukan kalau ada keluhan neuralgia trigeminal pada orang-
orang muda; karena biasanya ada penyebab lain yang tersembunyi. Itu pun perannya terbatas
untuk eliminasi. Pemeriksaan yang dapat dilakukan: Rontgen TMJ (temporomandibular joint)
dan MRI otak (untuk menyingkirkan tumor otak dan multiple sclerosis).(10)
Pengukuran potensial somatosensorik yang timbul setelah perangsangan nervus trigeminus
dapat juga digunakan untuk menentukan kasus yang disebabkan oleh ektasis arteri sehingga
dapat ditangani dengan dekompresi operatif badan saraf pada fossa posterior.(1)
A. Medikamentosa
Table (13)
Obat yang paling efektif adalah karbamazepin (tegretol) 100-200 mg 3-4X sehari
tergantung toleransi. Dan jika nyeri masih ada maka diberika penambahan dosis 50-100 mg
setiap hari ke 2-4, dan dosis maksimal 1 gr perhari, suatu antikonvulsan, efektif pada kebanyakan
kasus tetapi menyebabkan rasa pusing dan mual pada beberapa pasien sedangkan pada pasien
lain timbul ruam pada kulit dan leucopenia sehingga terpaksa dihentikan. Setelah beberapa
minggu atau bulan pemberian, obat dapat dihentikan tetapi harus diberikan lagi jika nyeri
berulang, jika setelah penggunaan jangka panjang (6 bulan) dan keberhasilan obat turun 50 %
maka dosis harus di turunkan secara perlahan jika memungkinkan dapat langsung di
hentikan.(1,13)
B. Non-medikamentosa
Diberikan jika pasien sudah tidak dapat berespons dengan obat-obatan ataupun pasien yang
perlahan-lahan mulai memperlihatkan gejala resistansi dengan terapi obat.(11)
I. Injeksi
Jika nyeri terbatas pada daerah persebaran saraf supraorbital dan infraorbital, injeksi alkohol
atau fenol seringkali dapat memberikan kelegaan yang bertahan berbulan-bulan hingga menahun.
Setelah itu, injeksi harus diulang jika nyeri rekuren. Sayangnya, injeksi berikutnya lebih sulit
dilakukan akibat sikatriks yang timbul akibat injeksi sebelumnya. Walaupun begitu, terapi
injeksi cukup berguna untuk menghindari operasi selama beberapa waktu dan pada waktu
bersamaan membiasakan pasien dengan efek samping yang tidak terhindarkan yang dapat
ditimbulkan oleh operasi, utamanya hilang rasa.(1,6)
II. Operatif
Operasi klasik untuk penyakit ini bertujuan membagi ganglion sensorik nervus trigeminus
yang terletak proksimal dari ganglion Gasseri pada fossa crania medialis. Ganglion motorik tetap
tidak mendapat intervensi dan dengan menyisakan serabut saraf bagian atas, pasien tetap dapat
merasa pada daerah yang dipersarafi cabang I. sehingga serabut saraf sensorik kornea dan reflex
kornea tetap normal. Rasa nyeri dan raba akan hilang selamanya pada daerah yang dipersarafi
serabut saraf yang diinsisi. Jika saraf perifer diinsisi di distal ganglion Gasseri, dapat terjadi
regenerasi sehingga nyeri muncul lagi. Cabang sensorik juga dapat dibagi di dalam fossa kranial
posterior di mana serabut tersebut bergabung dengan pons. Dengan pendekatan yang serupa,
tractus medulla desendens nervus trigeminus dapat dipotong pada medulla. Karena traktus ini
hany mengandung serabut saraf nyeri, sensasi sentuh tetap dipertahankan. Tractotomi jauh lebih
berbahaya dengan hasil tidak pasti disbanding pembelahan cabang sensorik sehingga biasanya
dilakukan hanya pada kondisi-kondisi tertentu seperti jika nyeri terbatas pada nervus
IX. PROGNOSIS
Neuralgia trigeminal bukan merupakan penyakit yang mengancam nyawa. Namun,
neuralgia trigeminal cenderung memburuk bersama dengan perjalanan penyakit dan banyak
pasien yang sebelumnya diobati dengan tatalaksana medikamentosa harus dioperasi pada
akhirnya. Banyak dokter menyarankan operasi seperti dekompresi mikrovaskular pada awal
penyakit untuk menghindari jejas demyelinasi. Namun, masih ada perdebatan dan ketidakpastian
mengenai penyebab neuralgia trigeminal, serta mekanisme dan faedah dari pengobatan yang
memberikan kelegaan pada banyak pasien.(2)
Definisi
Kelumpuhan nervus fasialis (N. VII) adalah kelumpuhan otot-otot wajah, sehingga wajah pasien
tampak tidak simetris pada waktu berbicara dan berekspresi. Hanya merupakan gejala sehingga
harus dicari penyebab dan derajat kelumpuhannya untuk menentukan terapi dan prognosis.
Etiologi
Kongenital, infeksi (infeksi telinga tengah, infeksi intrakranial), tumor (tumor intrakranial atau
ekstrakranial), trauma kepala, gangguan pembuluh darah (trombosis arteri karotis, arteri
maksilaris, dan arteri serebri media), dan idiopatik (Bells palsy).
Diagnosis Banding
Penyakit kongenital (sindrom Mobius), infeksi (sindrom Ramsay-Hunt, herpes zoster oticus),
trauma tulang temporal, lesi vaskular (aneurisma, trombosis), neoplasma (neuroma akustik,
meningioma), dan idiopatik.
Manifestasi Klinis
o Gejala kelumpuhan intratemporal tergantung dari letak lesi, dapat ditemukan kelumpuhan otot-
otot wajah/muka, lagoftalmus, ada/tidaknya air mata pada sisi lesi, gangguan pengecap,
hiperakusis, gejala neurologis pada lesi nuklear.
o Gejala kelumpuhan ekstratemporal biasanya karena gangguan pada kelenjar parotis, seperti
trauma, radang, dan tumor.
Pemeriksaan Penunjang
Penatalaksanaan
Bila gangguan hantaran ringan dan fungsi motor masih baik, terapi ditujukan untuk
menghilangkan edema saraf dengan memakai obat-obatan anti edema/kortikosteroid, vasodilator,
dan neurotonik serta fisioterapi.
Bila gangguan hantaran berat atau sudah terjadi denervasi total, harus segera dilakukan tindakan
operatif dengan teknik dekompresi N. VII transmastoid.
Paralisis nervus fasialis adalah suatu kelumpuhan nervus fasialis yang dapat disebabkan oleh
adanya kerusakan pada akson, sel-sel schwan dan selubung mielin yang dapat mengakibatkan
kerusakan saraf otak. Paralisis ini dapat menetap atau sementara tergantung kepada penyebab
dan sifat kerusakan yang terjadi. Kelumpuhan dari nervus fasialis ini dapat terjadi di bagian
supranuklear, nuklear dan infranuklear ( perifer ). Perbedaan lokasi kerusakan saraf fasialis dapat
rnenirnbulkan gejala yang berbeda. Etiologi paralists nervus fasialis dapat disebabkan olen
penyakit dan trauma, dan dibidang kedokteran gigi dapat disebabkan oleh komplikasi sesudah
penyuntikan anestesi pada waktu pencabutan gigi, adanya infeksi didaerah mulut dan trauma
pada waktu operasi sendi temporomandibula, operasi glandula parotis dan fraktur pada ramus
mandibula. Perawatan yang dilakukan pada penderita ini adalah istirahat, fisioterapi, pernberian
obat-obatan dan operasi.
LAMAN BARU
I.PENDAHULUAN
Parese nervus fasialis perifer merupakan kelemahan jenis lower motor neuron yang terjadi bila nukleus
atau serabut distal nervus fasialis terganggu, yang menyebabkan kelemahan otot wajah.1 Parese nervus
facialis biasanya mengarah pada suatu lesi nervus fasialis ipsilateral atau dapat pula disebabkan lesi
nukleus fasialis ipsilateral pada pons.2
Nervus facialis terutama merupakan saraf motorik, yang menginervasi otot-otot ekspresi wajah.
Disamping saraf ini membawa serabut parasimpatis ke kelenjar ludah dan air mata dan ke selaput
mukosa rongga hidung dan mulut dan juga menghantar berbagai jenis sensasi termasuk sensasi
Inti motorik nervus fasialis terletak dipons. Serabut mengintari inti nervus abdusen, dan kelenjar di
bagian lateral pons. Nervus intermedius keluar di permukaan lateral pons diantara nervus fasialis dan
nervus vestibukoklearis. Nervus fasialis bersama dengan nervus intermedius dan nervus
vestibulokoklearis kemudian memasuki meatus akusticus internus. Di sini nervus facialis bersatu dengan
nervus intermedius dan menjadi satu berkas yang berjalan di dalam kanalis facialis dan kemudian masuk
ke dalam os mastoid. Ia keluar dari tulang tengkorak melalui foramen stilomastoideum , dan bercabang
untuk mempersarafi otot-otot wajah.1
III. ETIOPATOGENESIS
Parese nervus fasialis timbul karena berbagai etiologi dengan proses patogenesis yang bervariasi, yaitu :
1.Trauma
Parese nervus fasialis bisa terjadi karena trauma kepala, terutama jika terjadi fraktur basis cranii,
khususnya bila terjadi fraktur longitudinal. Selain itu luka tusuk, luka tembak serta penekanan forsep
saat lahir juga bisa menjadi penyebab. Nervus fasialis pun dapat cedera pada operasi mastoid, operasi
neuroma akusik atau neuralgia trigeminal dan operasi kelenjar parotis.3
2.Tumor
Tumor yang bermetastasis ke tulang temporal merupakan penyebab yang paling sering ditemukan.
Biasanya berasal dari tumor payudara, paru-paru, dan prostat. Juga dilaporkan bahwa penyebaran
langsung dari tumor regional dan sel schwann, kista dan tumor ganas maupun jinak dari kelenjar parotis
bisa menginvasi cabang akhir dari nervus fasialis yang berdampak sebagai bermacam-macam tingkat
kelumpuhan. Pada kasus yang sangat jarang, karena pelebaran aneurisma arteri karotis dapat
mengganggu fungsi motorik nervus fasialis secara ipsilateral.4
3. Paralisis nervus fasialis perifer telah dijelaskan dalam banyak kasus embriopati talidomid..Larutan
antiseptic kloroseksol yang banyak digunakan dalam pasta elektroda dan berbagai krim kulit, telah
dilaporkan bahwa dapat menyebabkan paralisis fasialis yang tiba-tiba.Ingesti etilenglikol, baik dalam
percobaan bunuh diri maupun mabuk, dapat mengakibatkan kelemahan fasial tipe perifer, baik
permanen ataupun temporer.4
4. Kongenital
Parese nervus fasialis bilateral kadang merupakan kelainan congenital yang kemungkinan terjadi karena
adanya gangguan perkembangan nervus fasialis dan seringkali bersamaan dengan kelemahan okular
(sindrom Moibeus).5
5.Bells Palsy
Parese Bell merupakan lesi nervus fasialis yang tidak diketahui penyebabnya atau tidak menyertai
penyakit lain. Karena proses yang dikenal awam sebagai masuk angin atau dalam bahasa inggris cold
nerfus facialis bisa sembab. Karena terjepit di dalam foramen stilomastoideus dan menimbulkan
kelumpuhan tipe LMN yang disebut sebagai Bells Palsy.6
6.Penyakti-penyakit tertentu
Parese fasialis perifer dapat terjadi pada penyakit-penyakit tertentu, misalnya DM, hepertensi berat,
anestesi local pada pencabutan gigi, infeksi telinga tengah, sindrom Guillian Barre.6
V.DIAGNOSA BANDING
Lesi kortikal pada lesi ini dapat ditemukan keterlibatan tanda kortikal dan tanpa adanya gangguan pada
otot dahi dan kelopak mata atas ini disebut sebagai lesi supranuklear. Dan lagi, kelemahan pada lesi
perifer adalah sama dalam setiap jenis pergerakan, sementara pada lesi supranuklear dapat timbul
perbedaan antara pergerakan volunter dan ekspresi emosional. Pergerakan volunter dapat lebih
meningkat ataupun menurun dibandingkan pada saat pasien tersenyum atau tertawa.
Myasthenia Gravis, adalah satu cara untuk membedakannya dengan parese fasialis adalah bahwa
myasthenia gravis memberikan respon terhadap injeksi tensilon atau neostigmin.
VI.PENATA LAKSANAAN
1. Proteksi mata sebelum tidur
2. Masase otot yang lumpuh. Pasien hendaknya melakukan masase otot wajah selama 5 menit dua kali
sehari. Masase ini dimulai dari dagu dan bibir dan diarahkan ke atas
3. Sebuah bidai untuk mencegah kendurnya otot wajah bagian bawah yang dipakai secara umum dalam
penanganan beberapa kasus. Sebuah metode sederhana yakni dengan membidai otot yang lumpuh
dengan cara menggunakan plaster adhesive yang direkatkan pada dahi yang dibelah pada bagian
bawahnya sehingga berbentuk seperti huruf Y terbalik kemudian direkatkan pada bibir atas dan
bawah seperti sedemikian rupa sehingga keduanya terangkat.
4. Stimulasi energi listrik dengan aliran galvanik berenergi lemah dianggap cukup bermanfaat.
5. Pemberian prednison (40-60 mg/hari) selama seminggu pertama hingga 10 hari setelah onset
cukup menguntungkan, dan hal tersebut dapat menurunkan kemungkinan terjadinya paralisis
yang permanen akibat adanya pembengkakan dari nervus dalam kanalis fasialis yang sempit.
7. Tidak ada bukti yang nyata bahwa operasi dekompresi saraf fasialis cukup efektif dan bahkan
hal tersebut bisa membahayakan.
8. Ketika fungsi motorik pulih kembali, pasien hendaknya latihan mengerakkan berbagai otot
wajahnya ketika sedang bercermin.6
VII.PROGNOSIS
Jika dengan stimulasi listrik teridentifikasi adanya aktivitas dari motorik unit dan jika dalam
beberapa hari nervus fasialis sama sekali tidak dapat terstimulasi maka prognosisnya kurang
baik. Dilaporkan bahwa adanya fibrilasi spontan dari otot dalam 2 atau 3 minggu menandakan
bahwa setidaknya beberapa serabut saraf telah mengalami degenersi Wallerian. Kadang kadang
dapat timbul gejala berupa spasme klonik otot wajah meskipun hal tersebut jarang parah.
Sindrom air mata buaya, suatu lakrimasi unilateral pada saat makan bisa terjadi beberapa kasus,
yang terjadi akibat berpindahnya serabut saraf dari ganglion genikulatum ke glandula lakrimalis.
Lebih dari 50% kasus Bells palsy sembuh sempurna dalam kurun waktu beberapa bulan.5
VIII.KESIMPULAN
1. Parese nervus fasialis perifer dapat terjadi dengan berbagai etiologi diantaranya trauma, tumor,
toksin, congenital, penyakit tertentu, serta idiopatik (Bellspalsy).
2. Manifestasi klinik dari parese nervus fasialis tergantung dari lokasi lesinya
3. Prognosis parese nervus fasialis perifer tergantung dari cepat tidaknya tindakan.
CONTOH KASUS
I. IDENTITAS
Nama : TN .L
Jenis Kelamin : LAKI-LAKI
Umur : 36 tahun
Pendidikan : SMA
Agama : Protestan
Tgl Masuk : 22 Agustus 2010 , pukul 22.00WIB
II. ANAMNESIS
Auto-alloanamnesis (dari IGD tanggal 22-08-10 pukul 22.00WIB)
A. Keluhan Utama :
Cedera di kepala dengan perdarahan di telinga kanan sejak kurang lebih 2 jam SMRS.
Menurut OS, sebelum jatuh dia sempat berpaut pada kayu staging dan bagian muka sebelah
kirinya sempat di hentam serpihan kayu sebelum OS jatuh ke tanah. Posisi ketika jatuh tidak
diketahui. OS sempat pingsan, mual, muntah dan pusing. Lama pingsan tidak diketahui tapi OS
sudah sadar penuh sewaktu datang ke IGD. OS sadar telinganya berdarah selepas sadar dari
pingsannya. Jumlah perdarahan banyak, warna merah segar.
E. Riwayat Kebiasaan :
Makan minum biasa 3 kali sehari, riwayat merokok (+), konsumsi alcohol (+), olahraga (-),
Riwayat pemakaian alat pelindung diri sewaktu bekerja (-),
Tanda Vital
Tekanan darah : 100/80 mmHg
Nadi : 90 x/menit
Suhu : 37.6 oC
Pernafasan : 16 x/menit
Kepala : normocephali, vulnus excoriatum di bawah pelipis kanan, vulnus laseratum pada wajah
Mata : konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik, pupil isokor, refleks cahaya langsung +/+,
refleks cahaya tidak langsung +/+
Hidung : normal
Mulut : normal
Leher : tidak tampak distensi vena, trachea teraba lurus di tengah, KGB dan tiroid tidak teraba
membesar
Thorax
Paru
Inspeksi : tipe pernafasan abdominal-torakal, tampak simetris dalam keadaan statis maupun
dinamis, jejas (-)
Auskultasi : suara nafas vesikuler,ronki (-),wheezing (-)
Jantung
Auskultasi : bunyi jantung I & II normal, splitting (-), irama regular, murmur (-), gallop (-)
Abdomen :datar, supel, nyeri tekan (-), nyeri lepas (-), hepatosplenomegali (-), bising usus (+)
normal
Ekstremitas
Atas : tidak sianosis, akral hangat, tidak ada oedem, pulsasi arteri radialis teraba normal, vulnus
laseratum di lengan kanan
Bawah : tidak sianosis, akral hangat, tidak edema, pulsasi arteri dorsalis pedis dan arteri tibialis
posterior teraba, vulnus laseratum di paha kanan
Genital : tidak diperiksa
Pemeriksaan motorik N.VII perifer :
Pemeriksaan Penunjang :
(a) Pemeriksaan darah lengkap
HGB 13,8 g/dl 12,0-14,0 g/dl Normal
HCT 39% 37-43% Normal
PLT 270 x 103/mm3 150-390x103/mm3 Normal
WBC 7,8 x 103/mm3 3,5-10,0 x 103/mm3 Normal
RBC 4,68 x 106/mm3 3,8-5,8 x 106/mm3 Normal
LED 27 47 Normal
MCV 88 fl 80-97 fl Normal
MCH 29,4 pg 26,5-33,5 pg Normal
MCHC 33,6 g/dl 31,5-35,0 g/dl Normal
RDW 13,1 % 10,1-15,0 % Normal
(b) Pemeriksaan kimia darah
SGOT 43/ul 38/ul Meningkat
SGPT 49/ul 41/ul Meningkat
Ureum 25,5 mg/dl 10-50 mg/dl Normal
Creatinine 0,76 mg/dl 0,7-1,2 mg/dl Normal
Albumin 4,8 mg/dl 3,4 4,8 mg/dl Normal perbatasan
Natrium 136 meq/L 135-147 meq/L Normal
Kalium 2,7 meq/L 3,5-5.0 meq/L Normal
Clor 96 meq/L 94-11,1 meq/L Normal
Gula Darah Sewatu 97 mg/dl 70-140 mg/dl Normal
RESUME
Pasien laki-laki berusia 36 tahun datang di hantar ke IGD RSOB dengan keluhan cedera kepala
di sertai perdarahan di telinga kanan sejak 2 jam SMRS. OS sebelumnya ada riwayat jatuh dari
ketinggian 20m. OS sempat pingsan, mual dan muntah sebelum masuk ke IGD.
Pemeriksaan fisik di dapatkan: perdarahan aktif di telinga kanan warna merah segar, CAE kanan
menyempit dengan sedikit tonjolan tulang, vulnus excoriatum di pelipis kanan bawah, vulnus
laseratum di wajah, lengan kanan bawah dan paha kanan.
Status neurologis:
- Mulut terlihat sedikit mencong ke kiri
- kelopak mata kanan tidak dapat menutup
- tidak dapat mengangkat alis kanan
- tidak dapat mengerutkan alis
- tidak dapat mengangkat dan mengerutkan hidung ke atas
- tidak bisa tertawa lebar
- tidak bisa memoncongkan bibir kedepan
- tidak bisa menggembungkan pipi kiri
- tidak dapat bersiul
- tidak dapat menarik sudut bibir kanan ke bawah
V. DIAGNOSIS BANDING
Paresis nervus fasialis central
V. PROGNOSIS
Ad vitam : ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
VI. PENATALAKSANAAN
1. IVFD Ringer Laktat 20 tpm
2. Analgetic morphine dalam larutan infuse
3. Observasi airway, breathing, circulation dan tanda vital
4. Posisikan pasien dalam setengah duduk.
5. Hentikan perdarahan di telinga dengan depth tampon
6. Cuci telinga kanan dengan H2O2
7. Antibiotic tetes telinga pada auris kanan
8. Rujuk ke spesialis THT dan bedah
Facial paralysis adalah kelumpuhan pada otot-otot wajah yang disebabkan oleh lesi pada
lower motor neuron nervus fasialis. Bell's Palsy adalah nama sejenis penyakit kelumpuhan
fasilitas perifer akibat proses (non suppuratif, non neoplasmatik, non degeneratif primer),
namun sangat mungkin akibat edema pada nervus fasialia pada distal kanalis fasialis.
Penyebab secara pasti belum diketahui. Nervus fasialis adalah saraf tepi yang pasti belum
diketahui. Nervus fasialis adalah saraf tepi yang berasal dari nukleus motarik nervus
fasialis pada batang otak. Keluar dari rongga tengkorak melalui kanalis fasialis
ostemporalis, foramen stylomastoideum, yang terletak di belakang telinga. Lesi lower
motor neuron dari nervus fasialis dapat terjadi di luar dan di sepanjang kanalis fasialis.
Kelumpuhan nervus fasialis melibatkan semua otot wajah sesisi dan hampir selalu
unilateral. Serabut saraf motors fasialis yang keluar dari nukleus motorik dalam bentuk
neuron viseral eferen khusus (special visceral efferent). Penyakit Bell's Palsy pertama kali
diketahui oleh seorang ahli anatomi dari Inggris bernama "Charles Bell". Dari beberapa
penelitian dan penyelidikan yang telah dilakukan ternyata 75% dari paralis fasial adalah
Bell's Palsy. Gambaran klinis yang dapat terlihat pada penderita Bell's Palsy, khas mulut
moncong (mulut mengok) yang datangnya secara mendadak, tanpa ada sakit sebelumnya.
Penyakit mulut mencong ini sangat ditakuti oleh masyarakat, sebab malu pada orang lain
walaupun tidak sakit. Di daerah Bali dikenal dengan penyakit "Gobug Hantu" dan daerah
Sumatera menamakan penyakit "Tampar Malapari". Pada umumnya terjadi pada orang
dewasa dan pada anak-anak belum ada kasus Bell's Palsy yang dilaporkan. Terapi yang
PENDAHULUAN (1)
Bells palsy atau prosoplegia adalah kelumpuhan fasialis akibat paralisis nervus fasial perifer yang
terjadi secara akut dan penyebabnya tidak diketahui (idiopatik) di luar sistem saraf pusat tanpa disertai
adanya penyakit neurologis lainnya.
Paralisis fasial idiopatik atau Bells palsy, ditemukan oleh Sir Charles Bell, dokter dari Skotlandia.
Bells palsy sering terjadi setelah infeksi virus ( misalnya herpes simplex) atau setelah imunisasi, lebih
sering terjadi pada wanita hamil dan penderita diabetes serta penderita hipertensi Lokasi cedera nervus
fasialis pada Bells palsy adalah di bagian perifer nukleus nervus VII. Cedera tersebut terjadi di dekat
ganglion genikulatum.
Salah satu gejala Bells palsy adalah kelopak mata sulit menutup dan saat penderita berusaha
menutup kelopak matanya, matanya terputar ke atas dan matanya tetap kelihatan. Gejala ini disebut
juga fenomena Bell. Pada observasi dapat dilihat juga bahwa gerakan kelopak mata yang tidak sehat
lebih lambat jika dibandingkan dengan gerakan bola mata yang sehat (lagoftalmos).
DEFINISI (2)
Bell's Palsy (BP) ialah suatu kelumpuhan akut n. fasialis perifer yang tidak diketahui sebabnya. Sir
Charles Bell (1821) adalah orang yang pertama meneliti beberapa penderita dengan wajah asimetrik,
sejak itu semua kelumpuhan n. fasialis perifer yang tidak diketahui sebabnya disebut Bell's pals.
EPIDEMIOLOGI (3, 4)
Bells palsy menempati urutan ketiga penyebab terbanyak dari paralysis fasial akut. Di dunia,
insiden tertinggi ditemukan di Seckori, Jepang tahun 1986 dan insiden terendah ditemukan di Swedia
tahun 1997. Di Amerika Serikat, insiden Bells palsy setiap tahun sekitar 23 kasus per 100.000 orang, 63%
mengenai wajah sisi kanan. Insiden Bells palsy rata-rata 15-30 kasus per 100.000 populasi. Penderita
diabetes mempunyai resiko 29% lebih tinggi, dibanding non-diabetes. Bells palsy mengenai laki-laki dan
wanita dengan perbandingan yang sama. Akan tetapi, wanita muda yang berumur 10-19 tahun lebih
rentan terkena daripada laki-laki pada kelompok umur yang sama. Penyakit ini dapat mengenai semua
umur, namun lebih sering terjadi pada umur 15-50 tahun. Pada kehamilan trisemester ketiga dan 2
minggu pasca persalinan kemungkinan timbulnya Bells palsy lebih tinggi daripada wanita tidak hamil,
bahkan bisa mencapai 10 kali lipat
ANATOMI (5)
1. Serabut somato motorik, yang mensarafi otot-otot wajah (kecuali m. levator palpebrae (n.III), otot
platisma, stilohioid, digastrikus bagian posterior dan stapedius di telinga tengah).
2. Serabut visero-motorik (parasimpatis) yang datang dari nukleus salivatorius superior. Serabut saraf
ini mengurus glandula dan mukosa faring, palatum, rongga hidung, sinus paranasal, dan glandula
submaksilaris serta sublingual dan lakrimalis.
3. Serabut visero-sensorik, yang menghantar impuls dari alat pengecap di dua pertiga bagian depan
lidah.
4. Serabut somato-sensorik, rasa nyeri (dan mungkin juga rasa suhu dan rasa raba) dari sebagian
daerah kulit dan mukosa yang dipersarafi oleh nervus trigeminus.
Nervus fasialis (N.VII) terutama merupakan saraf motorik yang menginervasi otot- otot ekspresi
wajah. Di samping itu saraf ini membawa serabut parasimpatis ke kelenjar ludah dan air mata dank ke
selaput mukosa rongga mulut dan hidung, dan juga menghantarkan sensasi eksteroseptif dari daerah
gendang telinga, sensasi pengecapan dari 2/3 bagian depan lidah, dan sensasi visceral umum dari
kelenjar ludah, mukosa hidung dan faring, dan sensasi proprioseptif dari otot yang disarafinya.
Secara anatomis bagian motorik saraf ini terpisah dari bagian yang menghantar sensasi dan serabut
parasimpatis, yang terakhir ini sering dinamai saraf intermedius atau pars intermedius Wisberg. Sel
sensoriknya terletak di ganglion genikulatum, pada lekukan saraf fasialis di kanal fasialis. Sensasi
pengecapan daru 2/3 bagian depan lidah dihantar melalui saraf lingual korda timpani dan kemudian ke
ganglion genikulatum. Serabut yang menghantar sensasi ekteroseptif mempunyai badan selnya di
ganglion genikulatum dan berakhir pada akar desenden dan inti akar decenden dari saraf trigeminus
(N.V). hubungan sentralnya identik dengan saraf trigeminus.
Inti motorik nervus VII terletak di pons. Serabutnya mengitari nervus VI, dan keluar di bagian leteral
pons. Nervus intermedius keluar di permukaan lateral pons, di antara nervus V dan nervus VIII. Nervus
VII bersama nervus intermedius dan nervus VIII memasuki meatus akustikus internus. Di sini nervus
fasialis bersatu dengan nervus intermedius dan menjadi satu berkas saraf yang berjalan dalam kanalis
fasialis dan kemudian masuk ke dalam os mastoid. Ia keluar dari tulang tengkorak melalui foramen
stilomastoid, dan bercabang untuk mersarafi otot- otot wajah.
PATOFISIOLOGI (6)
Perjalanan nervus fasialis keluar dari tulang temporal melalui kanalis fasialis yang mempunyai
bentuk seperti corong yang menyempit pada pintu keluar sebagai foramen mental. Dengan bentukan
kanalis yang unik tersebut, adanya inflamasi, demyelinisasi atau iskemik dapat menyebabkan gangguan
dari konduksi. Impuls motorik yang dihantarkan oleh nervus fasialis bisa mendapat gangguan di lintasan
supranuklear dan infranuklear. Lesi supranuklear bisa terletak di daerah wajah korteks motorik primer
atau di jaras kortikobulbar ataupun di lintasan asosiasi yang berhubungan dengan daerah somatotropik
wajah di korteks motorik primer. Karena adanya suatu proses yang dikenal awam sebagai masuk angin
atau dalam bahasa inggris cold. Paparan udara dingin seperti angin kencang, AC, atau mengemudi
dengan kaca jendela yang terbuka diduga sebagai salah satu penyebab terjadinya Bells palsy. Karena itu
nervus fasialis bisa sembab, ia terjepit di dalam foramen stilomastoideus dan menimbulkan kelumpuhan
fasialis LMN. Pada lesi LMN bisa terletak di pons, di sudut serebelo-pontin, di os petrosum atau kavum
timpani, di foramen stilomastoideus dan pada cabang-cabang tepi nervus fasialis. Lesi di pons yang
terletak di daerah sekitar inti nervus abdusens dan fasikulus longitudinalis medialis. Karena itu paralisis
fasialis LMN tersebut akan disertai kelumpuhan muskulus rektus lateralis atau gerakan melirik ke arah
lesi. Selain itu, paralisis nervus fasialis LMN akan timbul bergandengan dengan tuli perseptif ipsilateral
dan ageusia (tidak bisa mengecap dengan 2/3 bagian depan lidah). Berdasarkan beberapa penelitian
bahwa penyebab utama Bells palsy adalah reaktivasi virus herpes (HSV tipe 1 dan virus herpes zoster)
yang menyerang saraf kranialis. Terutama virus herpes zoster karena virus ini menyebar ke saraf melalui
sel satelit. Pada radang herpes zoster di ganglion genikulatum, nervus fasialis bisa ikut terlibat sehingga
menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN. Kelumpuhan pada Bells palsy akan terjadi bagian atas dan
bawah dari otot wajah seluruhnya lumpuh. Dahi tidak dapat dikerutkan, fisura palpebra tidak dapat
ditutup dan pada usaha untuk memejam mata terlihatlah bola mata yang berbalik ke atas. Sudut mulut
tidak bisa diangkat. Bibir tidak bisa dicucukan dan platisma tidak bisa digerakkan. Karena lagophtalmos,
maka air mata tidak bisa disalurkan secara wajar sehingga tertimbun disitu.
ETIOLOGI (1)
Penyebab adalah kelumpuhan n. fasialis perifer. Umumnya dapat dikelompokkan sebagai berikut:
A. Idiopatik
Sampai sekarang belum diketahui secara pasti penyebabnya yang disebut bells palsy. Faktor-faktor yang
diduga berperan menyebabkan Bells Palsy antara lain : sesudah bepergian jauh dengan kendaraan, tidur
di tempat terbuka, tidur di lantai, hipertensi, stres, hiperkolesterolemi, diabetes mellitus, penyakit
vaskuler, gangguan imunologik dan faktor genetic.
c. Didapat
Manifestasi klinik BP khas dengan memperhatikan riwayat penyakit dan gejala kelumpuhan yang
timbul. Pada anak 73% didahului infeksi saluran napas bagian atas yang erat hubungannya dengan cuaca
dingin. Perasaan nyeri, pegal, linu dan rasa tidak enak pada telinga atau sekitarnya sering merupakan
gejala awal yang segera diikuti oleh gejala kelumpuhan otot wajah berupa :
Kelopak mata tidak dapat menutupi bola mata pada sisi yang lumpuh (lagophthalmos).
Gerakan bola mata pada sisi yang lumpuh lambat, disertai bola mata berputar zXke atas bila
memejamkan mata, fenomena ini disebut Bell's sign
Sudut mulut tidak dapat diangkat, lipat nasolabialis mendatar pada sisi yang lumpuh dan
mencong ke sisi yang sehat.
Selanjutnya gejala dan tanda klinik lainnya berhubungan dengan tempat/lokasi lesi :
a. Lesi di luar foramen stilomastoideus Mulut tertarik ke arah sisi mulut yang sehat,makanan
berkumpul di antar pipi dan gusi, dan sensasi dalam (deep sensation) di wajah menghilang. lipatan kulit
dahi menghilang. Apabila mata yang terkena tidak tertutup atau tidak dilindungi maka air mata akan
keluar terus menerus.
b. Lesi di kanalis fasialis (melibatkan korda timpani) Gejala dan tanda klinik seperti pada (a), ditambah
dengan hilangnya ketajaman pengecapan lidah (2/3 bagian depan) dan salivasi di sisi yang terkena
berkurang. Hilangnya daya pengecapan pada lidah menunjukkan terlibatnya nervus intermedius,
sekaligus menunjukkan lesi di daerah antara pons dan titik di mana korda timpani bergabung dengan
nervus fasialis di kanalis fasialis.
e. Lesi di daerah meatus akustikus interna, Gejala dan tanda klinik seperti (a), (b), (c), (d), ditambah
dengan tuli sebagi akibat dari terlibatnya nervus akustikus.
DIAGNOSA (4)
A. Anamnesa
o Rasa nyeri
o Gangguan atau kehilangan pengecapan.
o Riwayat pekerjaan dan adakah aktivitas yang dilakukan pada malam hari di ruangan
terbuka atau di luar ruangan.
o Riwayat penyakit yang pernah dialami oleh penderita seperti infeksi saluran pernafasan,
otitis, herpes, dan lain-lain.
B. Pemeriksaan Fisik
Mengerutkan dahi
Memejamkan mata
Mengembangkan cuping hidung
Tersenyum
Bersiul
Mengencangkan kedua bibir
C. Pemeriksaan Laboratorium.
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk menegakkan diagnosis Bells palsy.
D. Pemeriksaan Radiologi.
Pemeriksaan radiologi bukan indikasi pada Bells palsy. Pemeriksaan CT-Scan dilakukan jika dicurigai
adanya fraktur atau metastasis neoplasma ke tulang, stroke, sklerosis multipel dan AIDS pada CNS.
Pemeriksaan MRI pada pasien Bells palsy akan menunjukkan adanya penyangatan (Enhancement) pada
nervus fasialis, atau pada telinga, ganglion genikulatum.
Ruam merah yang menyakitkan dengan lepuh berisi cairan di gendang telinga, saluran telinga
eksternal, bagian luar telinga, atap dari mulut (langit-langit) atau lidah
Kelemahan (kelumpuhan) pada sisi yang sama seperti telinga yang terkinfeksi
Kesulitan menutup satu mata
Sakit telinga
Pendengaran berkurang
Dering di telinga (tinnitus)
Sebuah sensasi berputar atau bergerak (vertigo)
Perubahan dalam persepsi rasa
Miller Fisher syndrom adalah varian dari Guillain Barre syndrom yang jarang dijumpai.Miiler
Fisher syndrom atau Acute Disseminated Encephalomyeloradiculopaty ditandai dengan trias gejala
neurologis berupa opthalmoplegi, ataksia, dan arefleksia yang kuat. Pada Miller Fisher syndrom
didapatakan double vision akibat kerusakan nervus cranial yang menyebabkan kelemahan otot otot
mata . Selain itu kelemahan nervus facialis menyebabkan kelemahan otot wajah tipe perifer.
Kelumpuhan nervus facialis tipe perifer pada Miller Fisher syndrom menyerang otot wajah bilateral.
Gejala lain bisa didapatkan rasa kebas, pusing dan mual.
2. Medikamentosa
a. Pemberian kortikosteroid (perdnison dengan dosis 40 -60 mg/hari per oral atau 1 mg/kgBB/hari
selama 3 hari, diturunkan perlahan-lahan selama 7 hari kemudian), dimana pemberiannya
dimulai pada hari kelima setelah onset penyakit, gunanya untuk meningkatkan peluang
kesembuhan pasien.
Dasar dari pengobatan ini adalah untuk menurunkan kemungkinan terjadinya kelumpuhan yang
sifatnya permanen yang disebabkan oleh pembengkakan nervus fasialis di dalam kanal fasialis
yang sempit.
b. Penggunaan obat- obat antivirus . Acyclovir (400 mg selama 10 hari) dapat digunakan dalam
penatalaksanaan Bells palsy yang dikombinasikan dengan prednison atau dapat juga diberikan
sebagai dosis tunggal untuk penderita yang tidak dapat mengkonsumsi prednison.Penggunaan
3. Fisioterapi
Sering dikerjakan bersama-sama pemberian prednison, dapat dianjurkan pada stadium akut. Tujuan
fisioterapi untuk mempertahankan tonus otot yang lumpuh. Cara yang sering digunakan yaitu :
mengurut/massage otot wajah selama 5 menit pagi-sore atau dengan faradisasi.
4. Operasi
Tindakan operatif umumnya tidak dianjurkan pada anak-anak karena dapat menimbulkan komplikasi
lokal maupun intracranial.
Yaitu keluarnya air mata pada saat penderita makan makanan. Ini timbul beberapa bulan setelah terjadi
paresis dan terjadinya akibat dari regenerasi yang salah dari serabut otonom yang seharusnya ke
kelenjar saliva tetapi menuju ke kelenjar lakrimalis. Lokasi lesi di sekitar ganglion genikulatum.
2. Synkinesis
Dalam hal ini otot-otot tidak dapat digerakkan satu per satu atau tersendiri. selalu timbul gerakan
bersama. Misal bila pasien disuruh memejamkan mata, maka akan timbul gerakan (involunter) elevasi
sudut mulut,kontraksi platisma, atau berkerutnya dahi. Penyebabnya adalah innervasi yang salah,
serabut saraf yang mengalami regenerasi bersambung dengan serabut-serabut otot yang salah.
Walaupun tanpa diberikan terapi, pasien Bells palsy cenderung memiliki prognosis yang baik. Dalam
sebuah penelitian pada 1.011 penderita Bells palsy, 85% memperlihatkan tanda-tanda perbaikan pada
minggu ketiga setelah onset penyakit. 15% kesembuhan terjadi pada 3-6 bulan kemudian.
Sepertiga dari penderita Bells palsy dapat sembuh seperti sedia kala tanpa gejala sisa. 1/3 lainnya
dapat sembuh tetapi dengan elastisitas otot yang tidak berfungsi dengan baik. Penderita seperti ini tidak
memiliki kelainan yang nyata. 1/3 sisanya cacat seumur hidup.
Penderita Bells palsy dapat sembuh total atau meninggalkan gejala sisa. Faktor resiko yang
memperburuk prognosis Bells palsy adalah:
Pada penderita kelumpuhan nervus fasialis perifer tidak boleh dilupakan untuk mengadakan
pemeriksaan neurologis dengan teliti untuk mencari gejala neurologis lain.
Pada umumnya prognosis Bells palsy baik: sekitar 80-90 % penderita sembuh dalam waktu 6 minggu
sampai tiga bulan tanpa ada kecacatan. Penderita yang berumur 60 tahun atau lebih, mempunyai
peluang 40% sembuh total dan beresiko tinggi meninggalkan gejala sisa. Penderita yang berusia 30
tahun atau kurang, hanya punya perbedaan peluang 10-15 persen antara sembuh total dengan
meninggalkan gejala sisa. Jika tidak sembuh dalam waktu 4 bulan, maka penderita cenderung
meninggalkan gejala sisa, yaitu sinkinesis, crocodile tears dan kadang spasme hemifasial.
Penderita diabetes 30% lebih sering sembuh secara parsial dibanding penderita nondiabetik dan
penderita DM lebih sering kambuh dibanding yang non DM. Hanya 23 % kasus Bells palsy yang mengenai
kedua sisi wajah. Bells palsy kambuh pada 10-15 % penderita. Sekitar 30 % penderita yang kambuh
ipsilateral menderita tumor N. VII atau tumor kelenjar parotis.
KESIMPULAN (1)
Diagnosis dapat ditegakkan secara klinik setelah kausa yang jelas untuk lesi n. fasialis perifer
disingkirkan. Terapi yang dianjurkan saat ini ialah pemberian prednison, fisioterapi dan kalau perlu
operasi