A. Pengertian Dividen
Kebijakan dividen adalah merupakan keputusan keuangan yang dilakukan oleh
perusahaan setelah perusahaan beroperasi dan memperoleh laba. Kebijakan dividen menyangkut
masalah penggunaan laba yang menjadi hak para pemegang saham atau keputusan apakah laba
yang diperoleh perusahaan akan dibagikan kepada pemegang saham sebagai dividen atau ditahan
guna pembiayaan investasi di masa yang akan datang. Dengan demikian pertanyaannya
seharusnya adalah kapan (artinya, dalam keadaan seperti apa) laba akan dibagikan dan kapan
ditahan, dengan tetap memperhatikan tujuan perusahaan yaitu meningkatkan nilai perusahaan.
Kebijakan dividen berpengaruh terhadap aliran dana, struktur finansial, likuiditas
perusahaan dan prilaku investor. Dengan demikian kebijakan dividen merupakan salah satu
keputusan penting dalam kaitannya dengan usaha untuk memaksimumkan nilai perusahaan.
Sebagaimana diketahui bahwa nilai perusahaan dipengaruhi oleh keputusan investasi, keputusan
pembiayaan, dan kebijakan dividen itu sendiri. Ketiga keputusan tersebut saling berinteraksi satu
sama lain, karena keputusan investasi dipengaruhi oleh tersedianya dana dan biaya modal. Biaya
modal dan ketersediaan dana dipengaruhi oleh besar kecilnya laba yang ditahan.
Persamaan tersebut menunjukkan bahwa dana yang bisa dibagikan sebagai dividen
merupakan kelebihan dana yang diperoleh dari operasi perusahaan (yaitu EAT + Penyusutan) di
atas keperluan investasi untuk menghasilkan laba di masa yang akan datang (investasi pada
aktiva tetap dan modal kerja). Hanya saja untuk menyederhanakan analisis sering diasumsikan
bahwa investasi pada aktiva tetap akan diambil dari penyusutan, dan modal kerja dianggap tidak
berubah. Sehingga dengan asumsi seperti itu maka besarnya dividen ditentukan oleh EAT.
Maksimum Dividen = EAT
Apabila dividen yang dibagikan (Dividen Payout Ratio) misalnya hanya 40% dari EAT,
maka ini berarti bahwa yang 60% dipergunakan untuk menambah dana untuk penyusutan untuk
investasi pada aktiva tetap dan penambahan modal kerja.
Contoh 2
Perusahaan B memperoleh laba setelah pajak sebasar Rp 11.000.000,- tahun yang lalu dan
membagikannya dalam bentuk dividen sebesar Rp 3.960.000,-. Dividen tersebut telah tumbuh
dengan tingkat pertumbuhan sebesar 6% per tahun selama 10 tahun. Pada tahun ini perusahaan
memperoleh laba sebesar Rp 14.000.000,-. Kesempatan investasi yang tersedia sebesar Rp
10.000.000,-. Hitunglah dividen untuk tahun ini dibawah setiap kebijakan berikut ini.
a. Payout yang konstan?
b. Pertumbuhan dividen yang stabil?
c. Residual dividend policy (anggap perusahaan berharap akan mempertahankan debt to total
assets ratio 40%) ?.
Jawab:
a. Payout ratio = Rp 3.960.000,- / Rp 11.000.000,-
= 36%
= 36% (Rp 14.000.000,-)
= Rp 5.404.000,-
b. Pertumbuhan 6%, sehingga dividen yang dibayarkan
= (1 + 6%)(Rp 3.960.000,-)
= Rp 4.197.000,-
c.
Investasi Rp 10.000.000,-
Persentase equity financing 60%
Equity financing Rp 6.000.000,-
Laba yang diperoleh Rp 14.000.000,-
Dividen yang dibagikan Rp 8.000.000,-
D. Teori Kebijakan Dividen
Menurut Modigliani dan Miller (MM), nilai suatu perusahaan tidak ditentukan oleh
besar kecilnya presentase laba yang dibayarkan kepada pemegang saham dalam bentuk uang
tunai atau DPR (Dividen Payout Ratio) , tapi ditentukan oleh laba bersih sebelum pajak
atau EBIT (Earning Before Interest and Tax) dan kelas risiko perusahaan. Jadi menurut
MM, dividen adalah tidak relevan.
Pernyataan ini didasarkan pada beberapa asumsi penting yang lemah seperti :
(1) Pasar modal sempurna dimana semua investor adalah rasional, (2) Tidak ada biaya
emisi saham baru jika perusahaan menerbitkan saham baru, dan (3) Tidak ada pajak
Kebijakan investasi perusahaan tidak berubah.
Sedangkan kenyataannya : (1) Pasar modal yang sempurna sulit ditemui, (2) Biaya
emisi saham baru pasti ada, (3) Pajak pasti ada, dan (4) Kebijakan investasi perusahaan
tidak mungkin tidak berubah.
b. Teori Dividen yang Relevan (The Bird in the Hand) dari Gordon dan Lintner.
Teori ini menyatakan bahwa biaya modal sendiri perusahaan akan naik jika presentase
laba yang dibayarkan kepada pemegang saham dalam bentuk uang tunai atau DPR (Dividen
Payout Ratio) rendah, karena investor lebih suka menerima dividen dari pada Perolehan
modal (Capital Gains). Investor memandang keuntungan dividen (dividend yield) lebih
pasti dari pada keuntungan capital gains (capital gains yield). Perlu diingat bahwa dilihat
dari sisi investor, biaya modal sendiri dari laba ditahan adalah tingkat keuntungan yang
disyaratkan investor pada saham. Laba ditahan adalah keuntungan dari dividen (
dividend yield ) ditambah keuntungan dari capital gains ( capital gains yield ).
Modigliani dan Miller menganggap bahwa argumen Gordon dan Lintner ini
merupakan suatu kesalahan ( MM menggunakan istilah The Bierd in the hand Fallacy
). Menurut MM, pada akhirnya investor akan kembali menginvestasikan dividen yang
diterima pada perusahaan yang sama atau perusahaan yang memiliki risiko yang hampir
sama.
c. Teori Perbedaan Pajak (Tax Differential Theory) dari Litzenberger dan
Ramaswamy.
Teori ini menyatakan bahwa karena adanya pajak terhadap keuntungan dividen dan
capital gains, para investor lebih menyukai capital gains karena dapat menunda
pembayaran pajak. Oleh karena itu investor mensyaratkan suatu tingkat keuntungan yang
lebih tinggi pada saham yang memberikan dividend yield tinggi, capital gains yield
rendah dari pada saham dengan dividend yield rendah, capital gains yield tinggi. Jika
pajak atas dividend lebih besar dari pajak atas capital gains, perbedaan ini akan makin
terasa.
Jika manajemen percaya bahwa teori Dividen tidak relevan dari MM adalah benar,
maka perusahaan tidak perlu memperdulikan berapa besar dividen yang harus dibagi, tapi
jika mereka menganut teori Dividen yang relevan, maka mereka harus membagi seluruh
laba setelah pajak atau EAT (Earnig After Tax) dalam bentuk dividen. Dan bila manajemen
cenderung mempercayai teori perbedaan pajak ( Tax Differential Theory ), mereka harus
menahan seluruh EAT atau DPR = 0 %. Jadi ke 3 teori yang telah dibahas mewakili
kutub kutub ekstrim dari teori tentang kebijakan dividen. Sayangnya test secara empiris
belum memberikan jawaban yang pasti tentang teori mana yang paling benar.