Anda di halaman 1dari 12

Reaksi Hipersensitivitas

Widodo Judarwanto. Children Allergy Online Clinic, Jakarta Indonesia

Pada keadaan normal, mekanisme pertahanan tubuh baik humoral maupun selular
tergantung pada aktivasi sel B dan sel T. Aktivasi berlebihan oleh antigen atau gangguan
mekanisme ini, akan menimbulkan suatu keadaan imunopatologik yang disebut reaksi
hipersensitivitas.
Menurut Gell dan Coombs, reaksi hipersensitivitas dapat dibagi menjadi 4 tipe, yaitu tipe
I hipersensitif anafilaktik, tipe II hipersensitif sitotoksik yang bergantung antibodi, tipe III
hipersensitif yang diperani kompleks imun, dan tipe IV hipersensitif cell-mediated
(hipersensitif tipe lambat). Selain itu masih ada satu tipe lagi yang disebut sentivitas tipe
V atau stimulatory hipersensitivity.
Pembagian reaksi hipersensitivitas oleh Gell dan Coombs adalah usaha untuk
mempermudah evaluasi imunopatologi suatu penyakit. Dalam keadaan sebenarnya
seringkali keempat mekanisme ini saling mempengaruhi. Aktivasi suatu mekanisme akan
mengaktifkan mekanisme yang lainnya.
REAKSI HIPERSENTIVITAS TIPE I

Sel mast dan basofil pertama kali dikemukakan oleh Paul Ehrlich lebih dari 100 tahun
yang lalu. Sel ini mempunyai gambaran granula sitoplasma yang mencolok. Pada saat itu
sel mast dan basofil belum diketahui fungsinya. Beberapa waktu kemudian baru diketahui
bahwa sel-sel ini mempunyai peran penting pada reaksi hipersensitivitas tipe cepat
(reaksi tipe I) melalui mediator yang dikandungnya, yaitu histamin dan zat peradangan
lainnya.
Reaksi hipersensitivitas tipe I, atau tipe cepat ini ada yang membagi menjadi reaksi
anafilaktik (tipe Ia) dan reaksi anafilaktoid (tipe Ib). Untuk terjadinya suatu reaksi selular
yang berangkai pada reaksi tipe Ia diperlukan interaksi antara IgE spesifik yang berikatan
dengan reseptor IgE pada sel mast atau basofil dengan alergen yang bersangkutan.
Proses aktivasi sel mast terjadi bila IgE atau reseptor spesifik yang lain pada permukaan
sel mengikat anafilatoksin, antigen lengkap atau kompleks kovalen hapten-protein.
Proses aktivasi ini akan membebaskan berbagai mediator peradangan yang menimbulkan
gejala alergi pada penderita, misalnya reaksi anafilaktik terhadap penisilin atau gejala
rinitis alergik akibat reaksi serbuk bunga.
Reaksi anafilaktoid terjadi melalui degranulasi sel mast atau basofil tanpa peran IgE.
Sebagai contoh misalnya reaksi anafilaktoid akibat pemberian zat kontras atau akibat
anafilatoksin yang dihasilkan pada proses aktivasi komplemen (lihat bab mengenai
komplemen).
Eosinofil berperan secara tidak langsung pada reaksi hipersensitivitas tipe I melalui
faktor kemotaktik eosinofil-anafilaksis (ECF-A = eosinophil chemotactic factor of
anaphylaxis). Zat ini merupakan salah satu dari preformed mediators yaitu mediator yang
sudah ada dalam granula sel mast selain histamin dan faktor kemotaktik neutrofil (NCF =
neutrophil chemotactic factor). Mediator yang terbentuk kemudian merupakan metabolit
asam arakidonat akibat degranulasi sel mast yang berperan pada reaksi tipe I.
Menurut jarak waktu timbulnya, reaksi tipe I dibagi menjadi 2, yaitu fase cepat dan fase
lambat.

Reaksi hipersensitivitas tipe I fase cepat Reaksi hipersensitivitas tipe I fase cepat biasanya
terjadi beberapa menit setelah pajanan antigen yang sesuai. Reaksi ini dapat bertahan dalam
beberapa jam walaupun tanpa kontak dengan alergen lagi. Setelah masa refrakter sel mast dan
basofil yang berlangsung selama beberapa jam, dapat terjadi resintesis mediator farmakologik
reaksi hipersensitivitas, yang kemudian dapat responsif lagi terhadap alergen.

o Reaksi hipersensitivitas tipe I fase lambat Mekanisme terjadinya reaksi


hipersensitivitas tipe I fase lambat ini belum jelas benar diketahui. Ternyata sel
mast masih merupakan sel yang menentukan terjadinya reaksi ini seperti terbukti
bahwa reaksi alergi tipe lambat jarang terjadi tanpa didahului reaksi alergi fase
cepat. Sel mast dapat membebaskan mediator kemotaktik dan sitokin yang
menarik sel radang ke tempat terjadinya reaksi alergi. Mediator fase aktif dari sel
mast tersebut akan meningkatkan permeabilitas kapiler yang meningkatkan sel
radang.
o Limfosit mungkin memegang peranan dalam timbulnya reaksi alergi fase lambat
dibandingkan dengan sel mast. Limfosit dapat melepaskan histamin releasing
factor dan sitokin lainnya yang akan meningkatkan pelepasan mediator-mediator
dari sel mast dan sel lain.
o Eosinofil dapat memproduksi protein sitotoksik seperti major basic protein
(MBP) afau eosinophil cationic protein (ECP). Makrofag dan neutrofil melepas
faktor kemotaktik, sitokin, oksigen radikal bebas, serta enzim yang berperan di
dalam peradangan. Neutrofil adalah sel yang pertama berada pada infiltrat
peradangan setelah reaksi alergi fase cepat dalam keadaan teraktivasi yang
selanjutnya akan menyebabkan kerusakan jaringan dan menarik sel lain, terutama
eosinofil.

Mediators:

Histamin
Slow-reacting substance of anaphylaxis (SRS-A)
Bradykinin.
Serotonin (5-hydroxytryptamine)
Eosinophil chemotactic factor of anaphylaxis (ECF-A).
Platelet activating factor (PAF).
Prostaglandins hasil produksi metabolisme cyclooxygenase dari arachidonic acid.
Prostaglandin E1 (PGE1) dan PGE2 adalah bronchodilators dan vasodilators kuat.
PGI2 atau prostacyclin adalah suatu disaggregates platelets.
Genetic factors: Hay fever, asthma, and food allergies, show familial tendency.

Manifestasi Klinis

Anaphylaxis
Atopy immediate hypersensitivity response
Terapi : Avoidance, Hyposensitization, pemberian modified allergens atau allergoids.
Obat Diphenhydramine, Corticosteroids, Epinephrine. Sodium cromolyn, Theophylline

Mediator penyakit alergi (hipersensitivitas tipe I) Seperti telah diuraikan di atas


bahwa mediator dibebaskan bila terjadi interaksi antara antigen dengan IgE spesifik yang
terikat pada membran sel mast. Mediator ini dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu
mediator yang sudah ada dalam granula sel mast (preformed mediator) dan mediator
yang terbentuk kemudian (newly formed mediator). Menurut asalnya mediator ini juga
dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu mediator dari sel mast atau basofil (mediator
primer), dan mediator dari sel lain akibat stimulasi oleh mediator primer (mediator
sekunder).

Mediator yang sudah ada dalam granula sel mast

Terdapat 3 jenis mediator yang penting yaitu histamin, eosinophil chemotactic factor of
anaphylactic (ECF-A), dan neutrophil chemoctatic factor (NCF).

1. Histamin

Histamin dibentuk dari asam amino histidin dengan perantaraan enzim histidin dekarboksilase.
Setelah dibebaskan, histamin dengan cepat dipecah secara enzimatik serta berada dalam jumlah
kecil dalam cairan jaringan dan plasma. Kadar normal dalam plasma adalah kurang dari 1 ng/L
akan tetapi dapat meningkat sampai 1-2 ng/L setelah uji provokasi dengan alergen. Gejala yang
timbul akibat histamin dapat terjadi dalam beberapa menit berupa rangsangan terhadap reseptor
saraf iritan, kontraksi otot polos, serta peningkatan permeabilitas vaskular.

Manifestasi klinis pada berbagai organ tubuh bervariasi. Pada hidung timbul rasa gatal,
hipersekresi dan tersumbat. Histamin yang diberikan secara inhalasi dapat menimbulkan
kontraksi otot polos bronkus yang menyebabkan bronkokonstriksi. Gejala kulit adalah reaksi
gatal berupa wheal and flare, dan pada saluran cerna adalah hipersekresi asam lambung, kejang
usus, dan diare. Histamin mempunyai peran kecil pada asma, karena itu antihistamin hanya dapat
mencegah sebagian gejala alergi pada mata, hidung dan kulit, tetapi tidak pada bronkus.
Kadar histamin yang meninggi dalam plasma dapat menimbulkan gejala sistemik berat
(anafilaksis). Histamin mempunyai peranan penting pada reaksi fase awal setelah kontak dengan
alergen (terutama pada mata, hidung dan kulit). Pada reaksi fase lambat, histamin membantu
timbulnya reaksi inflamasi dengan cara memudahkan migrasi imunoglobulin dan sel peradangan
ke jaringan. Fungsi ini mungkin bermanfaat pada keadaan infeksi. Fungsi histamin dalam
keadaan normal saat ini belum banyak diketahui kecuali fungsi pada sekresi lambung. Diduga
histamin mempunyai peran dalam regulasi tonus mikrovaskular. Melalui reseptor H2
diperkirakan histamin juga mempunyai efek modulasi respons beberapa sel termasuk limfosit.

2. Faktor kemotaktik eosinofil-anafilaksis (ECF-A)

Mediator ini mempunyai efek mengumpulkan dan menahan eosinofil di tempat reaksi radang
yang diperan oleh IgE (alergi). ECF-A merupakan tetrapeptida yang sudah terbentuk dan tersedia
dalam granulasi sel mast dan akan segera dibebaskan pada waktu degranulasi (pada basofil
segera dibentuk setelah kontak dengan alergen).

Mediator lain yang juga bersifat kemotaktik untuk eosinofil ialah leukotrien LTB4 yang terdapat
dalam beberapa hari. Walaupun eosinofilia merupakan hal yang khas pada penyakit alergi, tetapi
tidak selalu patognomonik untuk keterlibatan sel mast atau basofil karena ECF-A dapat juga
dibebaskan dari sel yang tidak mengikat IgE.

3. Faktor kemotaktik neutrofil (NCF)

NCF (neutrophyl chemotactic factor) dapat ditemukan pada supernatan fragmen paru manusia
setelah provokasi dengan alergen tertentu. Keadaan ini terjadi dalam beberapa menit dalam
sirkulasi penderita asma setelah provokasi inhalasi dengan alergen atau setelah timbulnya
urtikaria fisik (dingin, panas atau sinar matahari). Oleh karena mediator ini terbentuk dengan
cepat maka diduga ia merupakan mediator primer. Mediator tersebut mungkin pula berperan
pada reaksi hipersensitivitas tipe I fase lambat yang akan menyebabkan banyaknya neutrofil di
tempat reaksi. Leukotrien LTB4 juga bersifat kemotaktik terhadap neutrofil.

Mediator yang terbentuk kemudian

Mediator yang terbentuk kemudian terdiri dari hasil metabolisme asam arakidonat, faktor
aktivasi trombosit, serotonin, dan lain-lain. Metabolisme asam arakidonat terdiri dari jalur
siklooksigenase dan jalur lipoksigenase yang masing-masing akan mengeluarkan produk yang
berperan sebagai mediator bagi berbagai proses inflamasi (lihat Gambar 12-3).

1. Produk siklooksigenase

Pertubasi membran sel pada hampir semua sel berinti akan menginduksi pembentukan satu atau
lebih produk siklooksigenase yaitu prostaglandin (PGD2, PGE2, PGF2) serta tromboksan A2
(TxA2).

Tiap sel mempunyai produk spesifik yang berbeda. Sel mast manusia misalnya membentuk
PGD2 dan TxA2 yang menyebabkan kontraksi otot polos, dan TxA2 juga dapat mengaktivasi
trombosit. Prostaglandin juga dibentuk oleh sel yang berkumpul di mukosa bronkus selama
reaksi alergi fase lambat (neutrofil, makrofag, dan limfosit).

Prostaglandin E mempunyai efek dilatasi bronkus, tetapi tidak dipakai sebagai obat bronkodilator
karena mempunyai efek iritasi lokal. Prostaglandin F (PGF2) dapat menimbulkan kontraksi otot
polos bronkus dan usus serta meningkatkan permeabilitas vaskular. Kecuali PGD2, prostaglandin
serta TxA2 berperan terutama sebagai mediator sekunder yang mungkin menunjang terjadinya
reaksi peradangan, akan tetapi peranan yang pasti dalam reaksi peradangan pada alergi belum
diketahui.

2. Produk lipoksigenase

Leukotrien merupakan produk jalur lipoksigenase. Leukotrien LTE4 adalah zat yang membentuk
slow reacting substance of anaphylaxis (SRS-A). Leukotrien LTB4 merupakan kemotaktik untuk
eosinofil dan neutrofil, sedangkan LTC4, LTD4 dan LTE4 adalah zat yang dinamakan SRS-A.
Sel mast manusia banyak menghasilkan produk lipoksigenase serta merupakan sumber hampir
semua SRS-A yang dibebaskan dari jaringan paru yang tersensitisasi.

Slow reacting substance of anaphylaxis

Secara in vitro mediator ini mempunyai onset lebih lambat dengan masa kerja lebih lama
dibandingkan dengan histamin, dan tampaknya hanya didapatkan sedikit perbedaan antara kedua
jenis mediator tersebut. Mediator SRS-A dianggap mempunyai peran yang lebih penting dari
histamin dalam terjadinya asma. Mediator ini mempunyai efek bronkokonstriksi 1000 kali dari
histamin. Selain itu SRS-A juga meningkatkan permeabilitas kapiler serta merangsang sekresi
mukus. Secara kimiawi, SRS-A ini terdiri dari 3 leukotrien hasil metabolisme asam arakidonat,
yaitu LTC4, LTD4, serta LTE4.

Faktor aktivasi trombosit (PAF = Platelet activating factor)

Mediator ini pertama kali ditemukan pada kelinci dan selanjutnya pada manusia. PAF dapat
menggumpalkan trombosit serta mengaktivasi pelepasan serotonin dari trombosit. Selain itu PAF
juga menimbulkan kontraksi otot polos bronkus serta peningkatan permeabilitas vaskular.
Aktivasi trombosit pada manusia terjadi pada reaksi yang diperan oleh IgE.

Serotonin

Sekitar 90% serotonin tubuh (5-hidroksi triptamin) terdapat di mukosa saluran cerna. Serotonin
ditemukan pada sel mast binatang tetapi tidak pada sel mast manusia. Dalam reaksi alergi pada
manusia, serotonin merupakan mediator sekunder yang dilepaskan oleh trombosit melalui
aktivasi produk sel mast yaitu PAF dan TxA2. Serotonin dapat meningkatkan permeabilitas
pembuluh darah.

SITOKIN DALAM REGULASI REAKSI ALERGI


Selain mediator yang telah disebutkan tadi, sel mast juga merupakan sumber beberapa sitokin
yang mempengaruhi sel yang berperan pada reaksi alergi.

Pada individu yang cenderung untuk alergi, paparan terhadap beberapa antigen menyebabkan
aktivasi sel Th2 dan produksi IgE (lihat Gambar 12-4). Individu normal tidak mempunyai
respons Th2 yang kuat terhadap sebagian besar antigen asing. Ketika beberapa individu terpapar
antigen seperti protein pada serbuk sari (pollen), makanan tertentu, racun pada serangga, kutu
binatang, atau obat tertentu misalnya penisilin, respons sel T yang dominan adalah pembentukan
sel Th2. Individu yang atopik dapat alergi terhadap satu atau lebih antigen di atas.
Hipersensitivitas tipe cepat terjadi sebagai akibat dari aktivasi sel Th2 yang berespons terhadap
antigen protein atau zat kimia yang terikat pada protein. Antigen yang menimbulkan reaksi
hipersensitivitas tipe cepat (reaksi alergik) sering disebut sebagai alergen.

Interleukin (IL)-4 dan IL-13, yaitu sebagian dari sitokin yang disekresi oleh sel Th2, akan
menstimulasi limfosit B yang spesifik terhadap antigen asing untuk berdiferensiasi menjadi sel
plasma yang kemudian memproduksi IgE. Oleh sebab itu, individu yang atopik akan
memproduksi IgE dalam jumlah besar sebagai respons terhadap antigen yang tidak akan
menimbulkan respons IgE pada sebagian besar orang. Kecenderungan ini mempunyai dasar
genetika yang kuat dengan banyak gen yang berperan.

Reaksi peradangan alergi telah diketahui dikoordinasi oleh subset limfosit T4 yaitu Th2. Limfosit
ini memproduksi IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, TNF, serta GM-CSF tetapi tidak memproduksi IL-2
atau INF (diproduksi oleh sel Th1). Alergen diproses oleh makrofag (APC) yang mensintesis IL-
1. Zat ini merangsang dan mengaktivasi sel limfosit T yang kemudian memproduksi IL-2 yang
merangsang sel T4 untuk memproduksi interleukin lainnya. Ternyata sitokin yang sama juga
diproduksi oleh sel mast sehingga dapat diduga bahwa sel mast juga mempunyai peran sentral
yang sama dalam reaksi alergi. Produksi interleukin diperkirakan dapat langsung dari sel
mast atau dari sel lain akibat stimulasi oleh mediator sel mast. Interleukin-4 tampaknya
merupakan stimulus utama dalam aktivasi sintesis IgE oleh sel limfosit B. Pada saat yang sama
IL-4 meningkatkan ekspresi reseptor Fc (FcRII) pada sel limfosit B. Interleukin-4 ini pertama
kali disebut faktor stimulasi sel B (BSF = B cell stimulating factor). Aktivasi oleh IL4 ini
diperkuat oleh IL-5, IL-6, dan TNF, tetapi dihambat oleh IFN, IFN, TGF, PGE2, dan IL-I0

Dalam reaksi alergi fase cepat, IL-3, IL-5, GM-CSF, TNF dan INF terbukti dapat menginduksi
atau meningkatkan pelepasan histamin melalui interaksi IgE- alergen pada sel basofil manusia
(lihat Gambar 12-6). Sitokin lain yang mempunyai aktivitas sama pada sel mast ialah MCAF
(monocyte chemotactic and activating factor) dan RANTES (regulated upon activation normal T
expressed and presumably secreted). Demikian juga SCF (stem cell factor) yaitu suatu sitokin
yang melekat pada reseptor di sel mast yang disebut C-kit, dapat menginduksi pembebebasan
histamin dari sel mast baik dengan atau tanpa melalui stimulasi antigen (lihat Gambar 12-7).

Pada reaksi alergi fase lambat, IL-3 dan GM-CSF tidak hanya menarik dan mengaktivasi
eosinofil tetapi juga basofil dan efek kemotaktik sitokin ini lebih nyata dibandingkan dengan
komplemen C5a, LTB4 dan PAF.
Mekanisme lain sitokin berperan pula dalam menunjang terjadinya reaksi peradangan pada
alergi. GM-CSF, IL-l, IL-2, IL-3, IL-4, IL-5, IFN, TNF, NGF (nerve growth factor) serta SCF
berperan dalam pertumbuhan, proliferasi, pertahanan hidup dan diferensiasi limfosit, eosinofil,
basofil, sel mast, makrofag atau monosit. Pada saat aktivasi, sel-sel ini ditarik ke arah jaringan
yang mengalami peradangan dalam reaksi antigen-antibodi yang ditingkatkan oleh IL-2, IL-5,
GM-CSF, dan EAF (eosinophil activating factor). Keadaan ini lebih terlihat pada biakan
eosinofil manusia dengan GM-CSF bersama fibroblast. Pada percobaan ini eosinofil menjadi
hipodens dan dapat membebaskan lebih banyak LTC4 bila diaktivasi oleh stimulus seperti fMLP
(formil metionil leukosil fenilalanin).

PENYAKIT OLEH ANTIBODI DAN KOMPLEKS ANTIGEN-ANTIBODI

(REAKSI HIPERSENSITIVITAS TIPE II DAN III)

Antibodi, selain IgE, mungkin menyebabkan penyakit dengan berikatan pada target
antigennya yang ada pada permukaan sel atau jaringan (reaksi hipersensitivitas tipe II)
atau dengan membentuk kompleks imun yang mengendap di pembuluh darah (reaksi
hipersensitivitas tipe III)
Penyakit hipersensitivitas yang diperantarai oleh antibodi (antibody-mediated)
merupakan bentuk yang umum dari penyakit imun yang kronis pada manusia. Antibodi
terhadap sel atau permukaan luar sel dapat mengendap pada berbagai jaringan yang
sesuai dengan target antigen. Penyakit yang disebabkan reaksi antibodi ini biasanya
spesifik untuk jaringan tertentu. Kompleks imun biasanya mengendap di pembuluh darah
pada tempat turbulansi (cabang dari pembuluh darah) atau tekanan tinggi (glomerulus
ginjal dan sinovium). Oleh karena itu, penyakit kompleks imun cenderung merupakan
suatu penyakit sistemis yang bermanifestasi sebagai vaskulitis, artritis dan nefritis.

Sindrom klinik dan pengobatan

Beberapa kelainan hipersensivitas kronik pada manusia disebabkan atau berhubungan dengan
autoantibodi terhadap antigen jaringan kompleks imun. Tatalaksana dan pengobatan ditujukan
terutama untuk mengurangi atau menghambat proses inflamasi dan kerusakan jaringan yang
diakibatkannya dengan menggunakan kortikosteroid. Pada kasus yang berat, digunakan
plasmapheresis untuk mengurangi kadar autoantibodi atau kompleks imun yang beredar dalam
darah.

Penyakit oleh autoantibodi terhadap antigen jaringan

Penyakit Antigen target Mekanisme Manifestasi


klinopatologi
Anemia Protein membran Opsonisasi dan Hemolisis,
hemolitik eritrosit (antigen fagositosis anemia
autoimun golongan darah Rh) eritrosit
Purpura Protein membran Opsonisasi dan Perdarahan
trombositopenia platelet fagositosis
autoimun (gpIIb:integrin IIIa)platelet
(idiopatik)
Pemfigus Protein pada Aktivasi protease Vesikel kulit
vulgaris hubungan diperantarai (bula)
interseluler pada antibodi,
sel epidermal gangguan adhesi
(epidemal interseluler
cadherin)
Sindrom Protein non- Inflamasi yang Nefritis,
Goodpasture kolagen pada diperantarai perdarahan paru
membran dasar komplemen dan
glomerulus ginjal reseptor Fc
dan alveolus paru
Demam reumatik Antigen dinding sel Inflamasi, Artritis,
akut streptokokus, aktivasi miokarditis
antibodi bereaksi makrofag
silang dengan
antigen
miokardium
Miastenia gravis Reseptor asetilkolinAntibodi Kelemahan otot,
menghambat paralisis
ikatan asetilkolin,
modulasi reseptor
Penyakit Graves Reseptor hormon Stimulasi Hipertiroidisme
TSH reseptor TSH
diperantarai
antibodi
Anemia Faktor intrinsik Netralisasi faktor Eritropoesis
pernisiosa dari sel parietal intrinsik, abnormal,
gaster penurunan anemia
absorpsi vitamin
B12

(Dikutip dengan modifikasi dari dari Abbas AK, Lichtman AH, 2004)

Penyakit oleh kompleks imun

Penyakit Spesifitas Mekanisme Manifestasi


antibodi klinopatologi
Lupus DNA, Inflamasi Nefritis,
eritematosus nukleoprotein diperantarai vaskulitis,
sistemik komplemen dan artritis
reseptor Fc
Poliarteritis nodosaAntigen Inflamasi Vaskulitis
permukaan virus diperantarai
hepatitis B komplemen dan
reseptor Fc
Glomreulonefirtis Antigen dinding Inflamasi Nefritis
post-streptokokus sel streptokokus diperantarai
komplemen dan
reseptor Fc

(Dikutip dengan modifikasi dari dari Abbas AK, Lichtman AH, 2004)

Point of interest

Antibodi terhadap antigen sel dan jaringan dapat menyebabkan kerusakan jaringan dan
penyakit (reaksi hipersensitivitas tipe II).
Antibodi IgG dan IgM yang berikatan pada antigen sel atau jarinagn menstimulasi
fagositosis sel-sel tersebut, menyebabkan reaksi inflamasi, aktivasi komplemen
menyebabkan sel lisis dan fragmen komplemen dapat menarik sel inflamasi ke tempat
terjadinya reaksi, juga dapat mempengaruhi fungsi organ dengan berikatan pada reseptor
sel organ tersebut.
Antibodi dapat berikatan dengan antigen yang bersirkulasi dan membentuk kompleks
imun, yang kemudian mengendap pada pembuluh darah dan menyebabkan kerusakan
jaringan (reaksi hipersensitivitas tipe III). Kerusakan jaringan terutama disebabkan oleh
pengumpulan lekosit dan reaksi inflamasi.

PENYAKIT OLEH LIMFOSIT T (REAKSI HIPERSENSITIVITAS TIPE IV)

Peranan dari limfosit T pada penyakit imunologis pada manusia telah semakin dikenal dan
diketahui. Patogenesis dan tatalaksana penyakit autoimun pada manusia pada saat ini lebih
ditujukan pada kerusakan jaringan yang disebabkan terutama oleh sel limfosit T.

Hampir semua penyakit yang diperantarai T cell disebabkan oleh mekanisme autoimun.
Reaksi autoimun biasanya ditujukan langsung terhadap antigen pada sel yang
distribusinya terbatas pada jaringan organ tertentu. Oleh karena itu penyakit T cell
mediated cenderung terbatas mengenai organ-organ tertentu dan biasanya tidak bersifat
sistemis. Kerusakan organ juga dapat terjadi menyertai reaksi sel T terhadap reaksi
mikroba, misalnya pada tuberculosis, terdapat reaksi T cell-mediated terhadap M.
tuberculosis, dan reaksi tersebut menjadi kronik oleh karena infeksinya sulit dieradikasi.
Inflamasi granulomatous yang terjadi mengakibatkan kerusakan jaringan pada tempat
infeksi. Pada infeksi virus hepatitis, virusnya sendiri tidak terlalu merusak jaringan, tetapi
sel limfosit T sitolitik (CTL) yang bereaksi terhadap hepatosit yang terinfeksi
menyebabkan kerusakan jaringan hepar.
Pada penyakit yang diperantarai oleh sel T (T cell-mediated), kerusakan jaringan dapat
disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas tipe lambat yang diperantarai oleh sel T CD4+
atau sel lisis oleh CD8+ CTLs
Mekanisme dari kerusakan jaringan sama dengan mekanisme yang digunakan oleh sel T
untuk mengeliminasi sel yang berkaitan dengan mikroba. Sel T CD4+ bereaksi terhadap
antigen pada sel atau jaringan, terjadi sekresi sitokin yang menginduksi inflamasi dan
mengaktivasi makrofag. Kerusakan jaringan disebabkan oleh sekresi sitokin dari
makrofag dan sel-sel inflamasi yang lain. Sel T CD8+ dapat menghancurkan sel yang
berikatan dengan antigen asing. Pada banyak penyakit autoimun yang diperantarai oleh
sel T, terdapat sel T CD4+ dan sel T CD8+ yang spesifik untuk antigen diri, dan
keduanya berperan pada kerusakan jaringan.

Sindrom klinik dan pengobatan

Banyak penyakit autoimun yang organ spesifik pada manusia didasari oleh reaksi yang
diperantarai oleh sel T .

Penyakit yang diperantarai sel T

Penyakit Spesifitas sel T Penyakit pada Contoh pada


patogenik manusia hewan
Diabetes melitus Antigen sel islet Spesifisitas sel T Tikus NOD,
tergantung insulin (insulin, belum ditegakkan tikus BB, tikus
(tipe I) dekarboksilase transgenik
asam glutamat)
Artritis reumatoid Antigen yang tidak Spesifisitas sel T danArtritis
diketahui di peran antibodi diinduksi
sinovium sendi belum ditegakkan kolagen
Ensefalomielitis Protein mielin Postulat : sklerosis Induksi oleh
alergi dasar, protein multipel imunisasi
eksperimental proteolipid dengan antigen
mielin SSP;
tikus transgenik
Penyakit inflamasi Tidak diketahui, Spesifisitas sel T Induksi oleh
usus peran mikroba belum ditegakkan rusaknya gen
intestinal IL-2 atau IL-10
atau kurangnya
regulator sel T

(Abbas AK, Lichtman AH, 2004)

DAFTAR PUSTAKA

Abbas AK, Lichtman AH. Basic immunology. Edisi ke-2. Philadelphia: Saunders, 2004.
Stiehm ER. Immunologic disorders in infants and children. Edisi ke-3. Philadelphia: WB
Saunders, 1989.
Abbas AK, Lichtman AH, Pober JS. Disease caused by humoral and cell-mediated
immune reactions. Dalam: Cellular and molecular immunology. Philadelphia: WB
Saunders, 1991; 353-76.
Bellanti JA. Mechanism of tissue injury produced by immunologic reactions. Dalam:
Bellanti JA, penyunting. Immunology III. Philadelphia: WB Saunders, 1985; 218-60.
Roitt IM. Essential immunology; edisi ke-6. Oxford: Blackwell Scioentific, 1988; 233-
67.

Anda mungkin juga menyukai