Anda di halaman 1dari 16

1.

Reaksi Hipersensitivitas
Pada dasarnya tubuh kita memiliki imunitas alamiah yang bersifat non-spesifik dan
imunitas spesifik. Imunitas spesifik ialah sistem imunitas humoral yang secara aktif
diperankan oleh sel limfosit B, yang memproduksi 5 macam imunoglobulin (IgG, IgA, IgM,
IgD dan IgE) dan sistem imunitas seluler yang dihantarkan oleh sel limfosit T, yang bila
mana ketemu dengan antigen lalu mengadakan differensiasi dan menghasilkan zat limfokin,
yang mengatur sel-sel lain untuk menghancurkan antigen tersebut.
Bilamana suatu alergen masuk ke tubuh, maka tubuh akan mengadakan respon.
Bilamana alergen tersebut hancur, maka ini merupakan hal yang menguntungkan, sehingga
yang terjadi ialah keadaan imun. Tetapi, bilamana merugikan, jaringan tubuh menjadi rusak,
maka terjadilah reaksi hipersensitivitas atau alergi.
Reaksi hipersentsitivitas memiliki 4 tipe reaksi seperti berikut:
1. Reaksi Tipe I
2. Reaksi Tipe II
3. Reaksi Tipe III
4. Reaksi Tipe IV
MEKANISME BERBAGAI GANGGUAN YANG DIPERANTARAI SECARA IMUNOLOGIS
Tipe Mekanisme Imun Gangguan Prototipe
I Tipe Anafilaksis Alergen mengikat silang antibodi IgE Anafilaksis, beberapa
pelepasan amino vasoaktif dan mediator bentuk asma bronkial
lain dari basofil dan sel mast rekrutmen
sel radang lain
II Antibodi IgG atau IgM berikatan dengan antigen Anemia hemolitik
terhadap Antigen pada permukaan sel fagositosis sel autoimun,
Jaringan target atau lisis sel target oleh komplemen eritroblastosis fetalis,
Tertentu atau sitotosisitas yang diperantarai oleh penyakit Goodpasture,
sel yang bergantung antibody pemfigus vulgaris
III Penyakit Kompleks antigen-antibodi Reahsi Arthua, serum
Kompleks Imun mengaktifkan komplemen menarik sickness, lupus
perhatian nenutrofil pelepasan enzim eritematosus sistemik,
lisosom, radikal bebas oksigen, dan lain- bentuk tertentu
lain glomerulonefritis akut
IV Hipersensitivitas Limfosit T tersensitisasi pelepasan Tuberkulosis,
Selular (Lambat) sitokin dan sitotoksisitas yang dermatitis kontak,
diperantarai oleh sel T penolakan transplan

Tipe I : Reaksi Anafilaksis


Di sini antigen atau alergen bebas akan bereaksi dengan antibodi, dalam hal ini IgE
yang terikat pada sel mast atau sel basofil dengan akibat terlepasnya histamin. Keadaan ini
menimbulkan reaksi tipe cepat.
Patofisiologi :
Pajanan awal terhadap antigen tertentu (alergan) merangsang induksi sel T CD4+ tipe
TH2. Sel CD4+ ini berperan penting dalam patogenesis hipersensitivitas tipe I karena sitokin
yang disekresikannya (khususnya IL-4 dan IL-5) menyebabkan diproduksimya IgE oleh sel
B, yang bertindak sebagai faktor pertumbuhan untuk sel mast, serta merekrut dan
mengaktivasi eosinofil. Antibodi IgE berikatan pada reseptor Fc berafinitas tinggi yang
terdapat pada sel mast dan basofil; begitu sel mast dan basofil dipersenjatai, individu yang
bersangkutan diperlengkapi untuk menimbulkan hipersensitivitas tipe I. Pajanan yang ulang
terhadap antigen yang sama mengakibatkanpertautan-silang pada IgE yang terikat sel dan
pemicu suatu kaskade sinyal intrasel sehingga terjadi pelepasan beberapa mediator kuat.
Mediator primer untuk respons awal sedangkan mediator sekunder untuk fase lambat.
Respons awal, ditandai dengan vasodilatasi,kebocoran vaskular, dan spasme otot
polos, yang biasanya muncul dalam rentang waktu 5-30 menit setelah terpajan oleh suatu
alergan dan menghilang setelah 60 menit;
Reaksi fase lambat, yang muncul 2-8 jam kemudian dan berlangsung selama beberapa
hari. Reaksi fase lambat ini ditandai dengan infiltrasi eosinofil serta sel peradangan akut dan
kronis lainnya yang lebih hebat pada jaringan dan juga ditandai dengan penghancuran
jaringan dalam bentuk kerusakan sel epitel mukosa

Mediator Primer
Histamin, yang merupakan mediator
primer terpenting, menyebabkan
meningkatnya permeabilitas vaskular,
vasodilatasi, bronkokontriksi, dan
meningkatnya sekresi mukus. Mediator
lain yang segera dilepaskan meliputi
adenosin (menyebabkan bronkokonstriksi
dan menghambat agregasi trombosit)
serta faktor kemotaksis untuk neutrofil
dan eosinofil. Mediator lain ditemukan
dalam matriks granula dan meliputi
heparin serta protease netral (misalnya,
triptase). Protease menghasilkan kinin
dan memecah komponen komplemen
untuk menghasilkan faktor kemotaksis dan inflamasi tambahan (misalnya, C3a).
Mediator Sekunder
Leukotrien C4 dan D4 merupakan agen vasoaktif dan spasmogenik yang dikenal paling
poten; pada dasra molar, agenini beberapa ribu kali lebih aktif daripada histamin dalam
meningkatkan permeabilitas vaskular dan alam menyebabkan kontraksi otot polos bronkus.
Leukotrien B4 sangat kemotaktik untuk neutrofil, eosinofil, dan monosit.
Prostaglandin D2 adalah mediator yang paling banyak dihasilkan oleh jalur siklooksigenasi
dalam sel mast. Mediator ini menyebabkan bronkospasme hebat serta meningkatkan sekresi
mukus.
Faktor pengaktivasi trombosit merupakan mediator sekunder lain, mengakibatkan agregasi
trombosit, pelepasan histamin dan bronkospasme. Mediator ini juga bersifat kemotaltik untuk
neutrofil dan eosinofil.
Sitokin yang diproduksi oleh sel mast (TNF, IL-1, IL-4, IL-5 dan IL-6) dan kemokin
berperan penting pada reaksi hipersensitivitas tipe I melalui kemampuannya merekrut dan
mengaktivasi berbagai macam sel radang. TNF merupakan mediator yang sangat poten
dalam adhesi, emigrasi, dan aktivasi leukosit. IL-4 juga merupakan faktor pertumbuhan sel
mast dan diperlukan untuk mengendalikan sintesis IgE oleh sel B.

Ringkasan kerja mediator sel mast pada hipersensitivitas tipe I


Kerja Mediator
Infiltrasi sel Sitokin (misalnya, TNF)
Leukotrien B4
Faktor kemotaksis eosinofil pada anafilaksis
Faktor kemotaksis neutrofil pada anafilaksis
Faktor pengaktivasi trombosit
Vasoaktif (vasodilatasi, Histamin
meningkatkan Faktor pengaktivasi trombosit
permeabilitas vaskular) Leukotrien C4, D4, E4
Protease netral yang mengaktivasi komplemen dan kinin
Prostaglandin D2
Spasme otot polos Leukotrien C4, D4, E4
Histamin
Prostaglandin
Faktor pengaktivasi trombosit
Karena inflamasi merupakan komponen utama reaksi lambat dalam hipersensitivitas
tipe I, biasanya pengendaliannya memerlukan obat antiinflamasi berspektrum luas, seperti
kortikoid.

Manifestasi Klinis :
Reaksi tipe I dapat terjadi sebagai suatu gangguan sistemik atau reaksi lokal.
Pemberian antigen protein atau obat (misalnya, bias lebah atau penisilin) secara sistemik
(parental) menimbulkan anafilaksis sistemik. Dalam beberapa menit setelah pajanan, pada
pejamu yang tersensitisasi akan muncul rasa gatal, urtikaria (bintik merah dan bengkak), dan
eritems kulit, diikuti oleh kesulitan bernafas berat yang disebabkan oleh bronkokonstriksi
paru dan diperkuat dengan hipersekresi mukus. Edema laring dapat memperberat persoalan
dengan menyebabkan obstruksi saluran pernafasan bagian atas. Selain itu, otot semua saluran
pencernaan dapat terserang, dan mengakibatkan vomitus, kaku perut, dan diare. Tanpa
intervensi segera, dapat terjadi vasodilatasi sistemik (syok anafilaktik), dan penderita dapat
mengalami kegagalan sirkulasi dan kematian dalam beberapa menit.
Reaksi lokal biasanya terjadi bila antigen hanya terbatas pada tempat tertentu sesuai
jalur pemajanannya, seperti di kulit (kontak, menyebabkan urtikaria), traktus gastrointestinal
(ingesti, menyebabkan diare), atau paru (inhalasi, menyebabkan bronkokonstriksi).

Tipe II : reaksi sitotoksik


Hipersensitivitas tipe II diperantarai oleh antibodi yang diarahkan untuk melawan
antigen target pada permukaan sel atau komponen jaringan lainnya. Respon hipersensitivitas
disebabkan oleh pengikatan antibodi yangdiikuti salah satu dari tiga mekanisme bergantung
antibodi, yaitu:
1. Respon yang bergantung komplemen
Komplemen dapat memerantarai hipersensitivitas tipe II melalui dua mekanisme: lisis
langsung dan opsonisasi. Pada sitotoksisitas yang diperantarai komplemen, antibodi yang
terikat pada antigen permukaan sel menyebabkan fiksasi komplemen pada permukaan sel
yang selanjutnya diikuti lisis melalui kompleks penyerangan membran. Sel yang
diselubungi oleh antibodi dan fragmen komplemen C3b (teropsonisasi) rentan pula
terhadap fagositosis. Sel darah dalam sirkulasi adalah yang paling sering dirusak melalui
mekanisme ini, meskipun antibodi yang terikat pada jaringan yang tidak dapat difagosit
dapat menyebabkan fagositosis gagal dan jejas. Secara klinis, reaksi yang diperantarai
oleh antibodi terjadi pada keadaan sebagai berikut:
Reaksi transfusi, sel darah merah dari seorang donor yang tidak suai dirusak setelah
diikat oleh antibodi resipien yang diarahkan untuk melawan antigen darah donor.
Eritroblastosis fetalis karena inkompaktibnilitas antigen rhesus; antigen materal yang
melawan Rh pada seorang ibu Rh-negatif yang telah tersensitisasi akan melewati
plasenta dan menyebabkan kerusakan sel darah merahnya sendiri.
Anemia hemolitik autoimun, agranulositosis, atau trombositopenia yang disebabkan
oleh antibodi yang dihasilkan oleh seorang individu yang menghasilkan antibodi
terhadap sel darah merahnya sendiri.
Reaksi obat, antibodi diarahkan untuk melawan obat tertentu (atau
metabolitnya)byang secara nonspesifik diadsorpsi pada permukaan sel (contohnya
adalah hemolisis yang dapat terjadi setelah pemberian penisilin).
Pemfigus vulgaris disebabkan oleh antibody terhadap protein desmosom yang
menyebabkan terlepasnya taut antarsel epidermis.
2. Sitotoksisitas Selular Bergantung Antibodi
Bentuk jejas yang diperantarai antibodi ini
meliputi pembunuhan melalui jenis sel
yang membawa reseptor untuk bagian Fc
IgG; sasaran yang diselubungi oleh
antibodi dilisis tanpa difagositosis ataupun
fiksasi komplemen. ADCC dapat
diperantarai oleh berbagai macam leukosit,
termasuk neutrofil, eosinofil, makrofag,
dan sel NK. Meskipn secara khusus ADCC
diperantarai oleh antibodi IgG, dalm kasus
tertentu (misalnya, pembunuhan parasit yang diperantarai oleh eosinofil) yang digunakaan
adalah IgE.
3. Disfungsi sel yang diperantarai oleh
antibodi
Pada beberapa kasus, antibodi yang diarahkan
untuk melawan reseptor permukaan sel
merusak atau mengacaukan fungsi tanpa
menyebabkan jejas sel atau inflamasi. Oleh
karena itu, pada miastenia gravis, antibodi
terhadap reseptor asetilkolin dalm motor end-
plate otot-otot rangka mengganggu transmisi
neuromuskular disertai kelemahan otot.
Sebaliknya, antibodi dapat merangsang fungsi otot. Pada penyakit Graves, antibodi
terhadap reseptor hormon perangsang tiroid (TSH) merangsang epitel tiroid dan
menyebabkan hipertiroidisme.

Tipe III : reaksi imun kompleks


Hipersensitivitas tipe III diperantarai oleh pengendapan kompleks antigen-antibodi
(imun), diikuti dengan aktivitas komplemen dan akumulasi leukosit polimorfonuklear.
Kompleks imun dapat melibatkan antigen eksogen seperti bakteri dan virus, atau antigen
endogen seperti DNA. Kompleks imun patogen terbentuk dalam sirkulasi dan kemudian
mengendap dalam jaringan ataupun terbentuk di daerah ekstravaskular tempat antigen
tersebut tertanam (kompleks imun in situ).
Jejas akibat kompleks imun dapat bersifat sistemik jika kompleks tersebut terbentuk
dalam sirkulasi mengendap dalam berbagai organ , atau terlokalisasi pada organ tertentu
(misalnya, ginjal, sendi, atau kulit) jika kompleks tersebut terbentuk dan mengendap pada
tempat khusus. Tanpa memperhatikan pola distribusi, mekanisme terjadinya jejas jarungan
adalah sama; namun, urutan kejadian dan kondisi yang menyebabkan terbentuknya kompleks
imun berbeda.
Penyakit Komplek Imun Sistemik
Patogenesis penyakit kompleks
imun sistemik dapat dibagi menjadi tiga
tahapan: (1) pembentukan kompleks
antigen-antibodi dalam sirkulasi dan (2)
pengendapan kompleks imun di berbagai
jaringan, sehingga mengawali (3) reaksi
radang di berbagai tempat di seluruh tubuh.
Patofisiologi:
Kira-kira 5 menit setelah protein
asing (misalnya, serum antitetanus kuda)
diinjeksikan, antibodi spesifik akan
dihasilkan; antibodi ini bereaksi dengan
antigen yang masih ada dalam sirkulasi
untuk membentuk kompleks antigen-
antibodi (tahap pertama). Pada tahap
kedua, kompleks antigen-antibodi yang
terbentuk dalam sirkulasi mengendap
dalam berbagai jaringan. Dua faktor
penting yang menentukan apakah
pembentukan kompleks imun
menyebabkan penyakit dan pengendapan
jaringan:
Ukuran kompleks imun. Kompleks
yang sangat besar yang terbentuk
pada keadaan jumlah antibodi yang
berlebihan segera disingkirkan dari
sirkulasi oleh sel fagosit mononuklear sehingga relatif tidak membahayakan.
Kompleks paling patogen yang terbentuk selama antigen berlebih dan berukuran kecil
atau sedang, disingkirkan secara lebih lambat oleh sel fagosit sehingga lebih lama
berada dalam sirkulasi.
Status sistem fagosit mononuklear. Karena normalnya menyaring keluar kompleks
imun, makrofag yang berlebih atau disfungsional menyebabkan bertahannya
kompleks imun dalam sisrkulasi dan meningkatkan kemungkinan pengendapan
jaringan.
Faktor lain yang mempengaruhi pengendapan kompleks imun yaitu muatan kompleks
(anionic vs kationik), valensi antigen, aviditas
antibodi, afinitas antigen terhadap berbagai
jaringan, arsitektur tiga dimensi kompleks
tersebut, dan hemodinamika pembuluh darah
yang ada.tempat pengendapan kompleks imun
yang disukai adalah ginjal, sendi, kulit, jantung,
permukaan serosa, dan pembulah darah kecil.
Lokasinya pada ginjal dapat dijelaskan
sebagian melalui fungsi filtrasi glomerulus,
yaitu terperangkapnya kompleks dalam
sirkulasi pada glomerulus. Belum ada
penjelasan yang sama memuaskan untuk
lokalisasi kompleks imun pada tempat
predileksi lainnya.
Untuk kompleks yang meninggalkan sirkulasi dan mengendap di dalam atau di luar
dinding pembuluh darah, harus terjadi peningkatan permeabilitas pembuluh darah. Hal ini
mungkin terjadi pada saat kompleks imun berkaitan dengan sel radang melalui reseptor Fc
dan C3b dan memicu pelepasan mediator vasoaktif dan/ atau sitokin yang meningkatkan
permeabilitas. Saat kompleks tersebut mengendap dalam jaringan, terjadi tahap ketiga, yaitu
reaksi radang. Selama tahap ini (kira-kira 10 hari setelah pemberian antigen), muncul
gambaran klinis, seperti demam, utikaria, artralgia, pembesaran kelenjar getah bening, dan
proteinuria.
Di mana pun kompleks imun mengendap, kerusakan jaringannya serupa. Aktivitas
komplemen oleh kompleks imun merupakan inti patogenesis jejas, melepaskan fragmen yang
aktif secara biologis seperti anafilatoksin (C3a dan C5a), yang meningkatkan permeabilitas
pembuluh darah dan bersifat kemotaksis untuk leukosit polimorfonuklear. Fagositosis
kompleks imun oleh neutrofil yang terakumulasi menimbulkan pelepasan atau produksi
sejumlah substansi proinflamasi tambahan, termasuk proataglandin, peptida vasodilator, dan
substansi kemotaksis, serta enzim lisosom yang mampu mencerna membran basalis, kolagen,
elastin, dan kartilago. Kerusakan jaringan juga diperantarai oleh radikal bebas oksigen yang
dihasilkan oleh neutrofil teraktivasi. Kompleks imun dapat pula menyebabkan agregasi
trombosit dan mengaktivasi faktor Hageman; kedua reaksi ini meningkatkan proses
peradangan dan mengawali pembentukan mikrotrombus yang berperan pada jejas jaringan
melalui iskemia lokal. Lesi patologis yang dihasilkan disebut dengan vasokulitis jika terjadi
pada pembuluh darah, glomerulonefritis jika terjadi di glomerulus ginjal, arthritis jika terjadi
di sendi, dan seterusnya.
Jelasnya hanya antibodi pengikat komplemen (yaitu IgG dan IgM) yang dapat
menginduksi lesi semacam itu. Karena IgA dapat pula mengaktivasi komplemen melalui jalur
alternatif, kompleks yang mengandung IgA dapat pula menginduksi jejas jaringan. Peran
penting komplemen dalam patogenesis jejas jaringan didukung oleh adanya pengamatan
bahwa pengurangan kadar komplemen serum secara eksperimental akan sangat menurunkan
keparahan lesi, demikian pula yang terjadi pada neutrofil. Selama fase aktif penyakit,
konsumsi komplemen menurunkan kadar serum.

Penyakit kompeks imun lokal (reaksi arthus )


Reaksi Arthus dijelaskan sebagai area lokalisata nekrosis jaringan yang disebabkan
oleh vaskulitis kompleks imun akut. Reaksi ini dihasilkan secara eksperimental dengan
menginjeksikan suatu antigen ke dalam kulit seekor hewan yang sebelumnya telah
diimunisasi (yaitu antibodi preformed terhadap antigen yang telah ada di dalam sirkulasi).
Karena pada mulanya terdapat kelebihan antibody, kompleks imun terbentuk sebagai antigen
yang berdifusi ke dalam dinding pembuluh darah; kompleks ini dipresipitasi pada tempat
injeksi dan memicu reaksi radang yang sama serta gambaran histologist seperti yang telah
dibahas untuk penyakit kompleks imun sistemik. Lesi Arthus berkembang selama beberapa
jamdan mencapai puncaknya 4 hingga 10 jam setelah injeksi, ketika terlihat adanya edema
pada tempat injeksi disertai perdarahan berat yang kadang-kadang diikuti ulserasi.

Tipe IV : Reaksi tipe lambat


Pada reaksi hipersensitivitas tipe I, II dan III yang berperan adalah antibodi (imunitas
humoral), sedangkan pada tipe IV yang berperan adalah limfosit T atau dikenal sebagai
imunitas seluler. Imunitas selular merupakan mekanisme utama respons terhadap berbagai
macam mikroba, termasuk patogen intrasel seperti Mycobacterium tuberculosis dan virus,
serta agen ekstrasel seperti protozoa, fungi, dan parasit. Namun, proses ini juga dapat
mengakibatkan kematian sel dan jejas jaringan, baik akibat pembersihan infeksi yang normal
ataupun sebagai respons terhadap antigen sendiri (pada penyakit autoimun). Hipersensitivitas
tipe IV diperantarai oleh sel T tersensitisasi secara khusus bukan antibodi dan dibagi lebih
lanjut menjadi dua tipe dasar: (1) hipersensitivitas tipe lambat, diinisiasi oleh sel T CD4+,
dan (2) sitotoksisitas sel langsung, diperantarai olehsel T CD8+. Pada hipersensitivitas tipe
lambat, sel T CD4+ tipe TH1 menyekresi sitokin sehingga menyebabkan adanya perekrutan
sel lain, terutama makrofag, yang merupakan sel efektor utama. Pada sitotoksisitas seluler, sel
T CD8+ sitoksik menjalankan fungsi efektor.
Hipersensitivitas tipe lambat (DTH-Delayed-Tipe Hypersensitivity)
Contoh klasik DTH adalah reaksi tuberkulin. Delapan hingga 12 jam setelah injeksi
tuberkulin intrakutan, muncul suatu area eritema dan indurasi setempat, dan mencapai
puncaknya (biasanya berdiameter 1 hingga 2 cm) dalam waktu 24 hingga 72 jam (sehingga
digunakan kata sifat delayed [lambat/ tertunda]) dan setelah itu akan mereda secara
perlahan.secara histologis , reaksi DTH ditandai dengan penumpukan sel helper-T CD4+
perivaskular (seperti manset) dan makrofag dalam jumlah yang lebih sedikit. Sekresi lokal
sitokin oleh sel radang mononuklear ini disertai dengan peningkatan permeabilitas
mikrovaskular, sehingga menimbulkan edema dermis dan pengendapan fibrin; penyebab
utama indurasi jaringan dalam respons ini adalah deposisi fibrin. Respons tuberkulin
digunakan untuk menyaring individu dalam populasi yang pernah terpejan tuberkulosis
sehingga mempunyai sel T memori dalam sirkulasi. Lebih khusus lagi, imunosupresi atau
menghilangnya sel T CD4+ (misalnya, akibat HIV) dapat menimbulkan respons tuberkulin
yang negatif, bahkan bila terdapat suatu infeksi yang berat.
Patofisiologi :
Limfosit CD4+ mengenali antigen peptida dari basil tuberkel dan juga antigen kelas II
pada permukaan monosit atau sel dendrit yang telah memproses antigen mikobakterium
tersebut. Proses ini membentuk sel CD4+ tipe TH1 tersensitisasi yang tetap berada di dalam
sirkulasi selama bertahun-tahun. Masih belum jelas mengapa antigen tersebut mempunyai
kecendurungan untuk menginduksi respons TH1, meskipun lingkungan sitokin yang
mengaktivasi sel T naf tersebut tampaknya sesuai. Saat dilakukan injeksi kutan tuberkulin
berikutnya pada orang tersebut, sel memori memberikan respons kepada antigen yang telah
diproses pada APC dan akan diaktivasi (mengalami transformasi dan proliferasi yang luar
biasa), disertai dengan sekresi sitokin TH1. Sitokin TH1 inilah yang akhirnya
bertanggungjawab untuk mengendalikan perkembangan respons DHT. Secara keseluruhan,
sitokin yang paling bersesuaian dalam proses tersebut adalah sebagai berikut:
IL-12 merupakan suatu sitokin yang dihasilkan oleh makrofag setelah interaksi awal
dengan basil tuberkel. IL-12 sangat penting untuk induksi DTH karena merupakan
sitokin utama yang mengarahkan diferensiasi sel TH1; selanjutnya, sel TH1 merupakan
sumber sitokin lain yang tercantum di bawah. IL-12 juga merupakan penginduksi
sekresi IFN- oleh sel T dan sel NK yang poten.
IFN- mempunyai berbagai macam efek dan merupakan mediator DTH yang paling
penting. IFN- merupakan aktivator makrofag yang sangat poten, yang meningkatkan
produksi makrofag IL-12. Makrofag teraktivasi mengeluarkan lebih banyak molekul
kelas II pada permukaannya sehingga meningkatkan kemampuan penyajian antigen.
Makrofag ini juga mempunyai aktivitas fagositik dan mikrobisida yang meningkat,
demikian pula dengan kemampuannya membunuh sel tumor. Makrofag teraktivasi
menyekresi beberapa faktor pertumbuhan polipeptida, termasuk faktor pertumbuhan
yang berasal dari trombosit (PDGF) dan TGF-, yang merangsang proliferasi
fibroblas dan meningkatkan sintesis kolagen. Secara ringkas, aktivitas IFN-
meningkatkan kemampuan makrofag untuk membasmi agen penyerangan; jika
aktivasi makrofag terus berlangsung, akan terjadi fibrosis.
IL-2 menyebabkan proliferasi sel T yang telah terakumulasi pada tempat DTH. Yang
termasuk dalam infiltrat ini adalah kira-kira 10% sel CD4+ yang antigen-spesifik,
meskipun sebagian besar adalah sel T penonton yang tidak spesifik untuk agen
penyerang asal.
TNF dan limfotoksin adalah sitokin yang menggunakan efek pentingnya pada sel
endotel: (1) meningkatnya sekresi nitrit oksida dan prostasiklin, yang membantu
peningkatan aliran darah melalui vasodilatasi local; (2) meningkatnya pengeluaran
selektin-E, yaitu suatu molekul adhesi yang meningkatkan perlekatan sel
mononuklear; dan (3) induksi dan sekresi faktor kemotaksis seperti IL-8. Perubahan
ini secara bersama memudahkan keluarnya limfosit dan monosit pada lokasi
terjadinya respon DHT.
Inflamasi Granulomatosa
Granulomatosa adalah bentuk khusus DHT yang terjadi pada saat antigen bersifat
persisten dan/ atau tidak dapat didegradasi. Infiltrate awal sel T CD4+ perivaskular secara
progresif digantikan oleh makrofag dalam waktu 2 hingga 3 minggu; makrofag yang
terakumulasi ini secara khusus menunjukkan bukti morfologis adanya aktivitas, yaitu
semakin membesar , memipih, dan eosinofilik (disebut sebagai sel epiteloid). Sel epiteloid
kadang-kadang bergabung di bawah pengaruh sitokin tertentu (misalnya, IFN-) untuk
membentuk suatu sel raksasa (giant cells) berinti banyak. Suatu agregat mikroskopis sel
epiteloid secara khusus dikelilingi oleh lingkaran limfosit, yang disebut granuloma, dan
polanya disebut sebagai inflamasi granulomatosa. Pada dasarnya, proses tersebur sama
dengan proses yang digambarkan untuk respons DHT lainnya. Granuloma yang lebih dahulu
terbentuk membentuk suatu sabuk rapat fibroblast dan jaringan ikat. Pengenalan terhadap
suatu granuloma mempunyai kepentingan diagnostik karena hanya ada sejumlah kecil kondisi
yang dapat menyebabkannya.
DHT merupakan suatu mekanisme pertahanan utama yang melawan berbagai patogen
intrasel, yang meliputi mikobakterium, fungus, dan parasit tertentu, dan dapat pula terlibat
dalam penolakan serta imunitas tumor. Peran utama sel T CD4+ dalam hipersensitivitas tipe
lambat tampak jelas pada penderita AIDS. Karena kehilangan sel CD4+, respons penjamu
terhadap patogen ekstrasel, seperti Mycobacterium tuberculosis, akan sangat terganggu.
Bakteri akan dimangsa oleh makrofag, tetapi tidak dibunuh, dan sebagai pengganti
pembentukan granuloma, terjadi akumulasi makrofag yang tidak teraktivasi yang sulit untuk
mengatasi mikroba yang menginvasi.
Selain bermanfaat karena peran protektifnya, DHT dapat pula menyebabkan suatu
penyakit. Dermatitis kontak adalah salah satu contoh jejas jaringan yang diakibatkan oleh
hipersensitivitas lambat. Penyakit ini dibangkitkan melalui kontak dengan pentadesilkatekol
(juga dikenal sebagai urushiol, komponen aktif poison ivy atao poisin oak) pada penjamu
yang tersensitisasi dan muncul sebagai suatu dermatitis vesikularis. Mekanisme dasarnya
sama dengan mekanisme pada sensitivitas tuberculin. Pajanan ulang terhadap tanaman
tersebut, sel CD4+ TH1 tersensitisasi akan berakumulasi dalam dermis dan bermigrasi menuju
antigen yag berada di dalam epidermis. Di tempat ini sel tersebut melepaskan sitokin yang
merusak keratinosit, menyebabkan terpisahnya sel ini dan terjadi pembentukan suatu vesikel
intradermal.
Sitotoksisitas Yang Diperantarai Sel T
Pada pembentukan hipersensitivitas tipe IV ini, sel T CD8+ tersensitisasi membunuh
sel target yang membawa antigen. Seperti yang telah dibahas sebelumnya, molekul MHC tipe
I berikatan dengan peptida virus intrasel dan menyajikannya pada limfosit T CD8+. Sel
efektor CD8+, yang disebut limfosit T sitotoksik (CTL, cytotoxic T-lymphocytes), yang
berperan penting dalam resistensi terhadap infeksi virus. Pelisisan sel terinfeksi sebelumnya
terjadi replikasi virus yang lengkap pada akhirnya menyebabkan penghilangan infeksi.
Diyakini bahwa banyak peptida yang berhubungan dengan tumor muncul pula pada
permukaan sel tumor sehingga CTL dapat pula terlibat dalam imunitas tumor.
Telah terlihat adanya dua mekanisme pokok pembunuhan oleh sel CTL: (1)
pembunuhan yang bergantung pada perforin-granzim dan (2) pembunuhan yang bergantung
pada ligan Fas-Fas. Perforin dan granzim adalah mediator terlarut yang terkandung dalam
granula CTL, yang menyerupai lisosom. Sesuai dengan namanya, perforin melubangi
membran plasma pada sel target; hal tersebut dilakukan dengan insersi dan polimerisasi
molekul perforin untuk membentuk suatu pori. Pori-pori ini memungkinkan air memasuki sel
dan akhirnya menyebabkan lisi osmotik. Granula limfosit juga mengandung berbagai
protease yang disebut dengan granzim, yang dikirimkan ke dalam sel target melalui pori-pori
perforin. Begitu sampai ke dalam sel, granzim mengaktifkan apoptosis sel target. CTL
teraktivasi juga mengeluarkan ligan Fas (suatu molekul yang homolog dengan TNF), yang
berikatan dengan Fas pada sel target. Interaksi ini menyebabkan apoptosis. Selain
imunitasvirus dan tumor, CTL yang diarahkann untuk melawan antigen histokompatibilitas
permukaan sel juga berperan penting dalam penolakan graft.

Anda mungkin juga menyukai