Anda di halaman 1dari 31

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Fraktur Femur

2.1.1 Definisi Fraktur Femur


Fraktur femur adalah diskontinuitas atau hilangnya struktur dari tulang
femur (Mansjoer, 2000). Sedangkan menurut Sjamsuhidajat (2004) fraktur femur
adalah fraktur pada tulang femur yang disebabkan oleh benturan atau trauma
langsung maupun tidak langsung. Fraktur femur juga didefinisikan sebagai
hilangnya kontinuitas tulang paha, kondisi fraktur femur secara klinis bisa berupa
fraktur femur terbuka yang disertai adanya kerusakan jaringan lunak (otot, kulit,
jaringan saraf dan pembuluh darah) dan fraktur femur tertutup yang dapat
disebabkan oleh trauma langsung pada paha (Helmi, 2012)
Dari beberapa penjelasan tentang fraktur femur di atas, dapat disimpulkan
bahwa fraktur femur merupakan suatu keadaan dimana terjadi kehilangan
kontinuitas tulang femur yang dapat disebabkan oleh trauma langsung maupun
trauma tidak langsung dengan adanya kerusakan jaringan lunak.

2.1.2 Klasifikasi Fraktur Femur


Menurut Helmi (2012) faktur femur dapat dibagi lima jenis berdasarkan
letak garis fraktur seperti dibawah ini:

10

a.

Fraktur Intertrokhanter Femur


Merupakan patah tulang yang bersifat ekstra kapsuler dari femur, sering
terjadi pada lansia dengan kondisi osteoporosis. Fraktur ini memiliki risiko
nekrotik

avaskuler

yang

rendah

sehingga

prognosanya

baik.

Penatalaksanaannya sebaiknya dengan reduksi terbuka dan pemasangan


fiksasi internal. Intervensi konservatif hanya dilakukan pada penderita yang
sangat tua dan tidak dapat dilakukan dengan anestesi general.
b.

Fraktur Subtrokhanter Femur


Garis fraktur berada 5 cm distal dari trokhanter minor, diklasifikasikan
menurut Fielding & Magliato sebagai berikut: 1) Tipe 1 adalah garis fraktur
satu level dengan trokhanter minor; 2) Tipe 2 adalah garis patah berada 1-2
inci di bawah dari batas atas trokhanter minor; 3) Tipe 3 adalah 2-3 inci dari
batas atas trokhanter minor. Penatalaksanaannya dengan cara reduksi terbuka
dengan fiksasi internal dan tertutup dengan pemasangan traksi tulang selama
6-7 minggu kemudian dilanjutkan dengan hip gips selam tujuh minggu yang
merupakan alternatif pada pasien dengan usia muda.

c.

Fraktur Batang Femur


Fraktur batang femur biasanya disebabkan oleh trauma langsung, secara
klinis dibagi menjadi: 1) fraktur terbuka yang disertai dengan kerusakan
jaringan lunak, risiko infeksi dan perdarahan dengan penatalaksanaan berupa
debridement, terapi antibiotika serta fiksasi internal maupun ekternal; 2)
Fraktur tertutup dengan penatalaksanaan konservatif berupa pemasangan skin
traksi serta operatif dengan pemasangan plate-screw.

11

d.

Fraktur Suprakondiler Femur


Fraktur ini disebabkan oleh trauma langsung karena kecepatan tinggi
sehingga terjadi gaya aksial dan stress valgus atau varus dan disertai gaya
rotasi. Penatalaksanaan berupa pemasanga traksi berimbang dengan
menggunakan bidai Thomas dan penahan lutut Pearson, cast-bracing dan
spika pinggul serta operatif pada kasus yang gagal konservatif dan fraktur
terbuka dengan pemasangan nail-phroc dare screw.

e.

Fraktur Kondiler Femur


Mekanisme trauma fraktur ini biasanya merupakan kombinasi dari gaya
hiperabduksi dan adduksi disertai denga tekanan pada sumbu femur ke atas.
Penatalaksanaannya berupa pemasangan traksi tulang selama 4-6 minggu dan
kemudian dilanjutkan dengan penggunaan gips minispika sampai union
sedangkan reduksi terbuka sebagai alternatif apabila konservatif gagal.

2.1.3 Proses Penyembuhan Fraktur


Fraktur akan menyatu baik di bebat atau tidak, tanpa suatu mekanisme
alami untuk menyatu. Namun tidak benar bila dianggap bahwa penyatuan akan
terjadi jika suatu fraktur dibiarkan tetap bergerak bebas. Sebagian besar fraktur
dibebat, tidak untuk memastikan penyatuan, tetapi untuk meringankan nyeri,
memastikan bahwa penyatuan terjadi pada posisi yang baik dan untuk melakukan
gerakan lebih awal dan mengembalikan fungsi (Smeltzer & Bare, 2002).
Proses penyembuhan fraktur beragam sesuai dengan jenis tulang yang
terkena dan jumlah gerakan di tempat fraktur. Penyembuhan dimulai dengan lima
tahap, yaitu sebagai berikut:

12

a)

Tahap kerusakan jaringan dan pembentukan hematom (1-3 hari)


Pada tahap ini dimulai dengan robeknya pembuluh darah dan terbentuk
hematoma di sekitar dan di dalam fraktur. Tulang pada permukaan fraktur,
yang tidak mendapat persediaan darah, akan mati sepanjang satu atau dua
milimeter. Hematom ini kemudian akan menjadi medium pertumbuhan sel
jaringan fibrosis dan vaskuler sehingga hematom berubah menjadi jaringan
fibrosis dengan kapiler di dalamnya (Black & Hawks, 2001).

b) Tahap radang dan proliferasi seluler (3 hari2 minggu)


Setelah pembentukan hematoma terdapat reaksi radang akut disertai
proliferasi sel di bawah periosteum dan di dalam saluran medula yang
tertembus. Ujung fragmen dikelilingi oleh jaringan sel yang menghubungkan
tempat fraktur. Hematoma yang membeku perlahan-lahan diabsorbsi dan
kapiler baru yang halus berkembang ke dalam daerah tersebut (Black &
Hawks, 2001; Sjamsuhidajat dkk, 2011).
c)

Tahap pembentukan kalus (2-6 minggu)


Sel yang berkembangbiak memiliki potensi kondrogenik dan osteogenik, bila
diberikan keadaan yang tepat, sel itu akan mulai membentuk tulang dan
dalam beberapa keadaan, juga kartilago. Populasi sel juga mencakup
osteoklas yang mulai membersihkan tulang yang mati. Massa sel yang tebal,
dengan pulau-pulau tulang yang imatur dan kartilago, membentuk kalus atau
bebat pada permukaan periosteal dan endosteal. Sementara tulang fibrosa
yang imatur menjadi lebih padat, gerakan pada tempat fraktur semakin

13

berkurang pada empat minggu setelah fraktur menyatu (Black & Hawks,
2001; Sjamsuhidajat dkk, 2011).
d) Osifikasi (3 minggu-6 bulan)
Kalus (woven bone) akan membentuk kalus primer dan secara perlahanlahan
diubah menjadi tulang yang lebih matang oleh aktivitas osteoblas yang
menjadi struktur lamellar dan kelebihan kalus akan di resorpsi secara
bertahap. Pembentukan kalus dimulai dalam 2-3 minggu setelah patah tulang
melalaui proses penulangan endokondrial. Mineral terus menerus ditimbun
sampai tulang benar-benar bersatu (Black & Hawks, 2001; Smeltzer & Bare,
2002).
e)

Konsolidasi (6-8 bulan)


Bila aktivitas osteoklastik dan osteoblastik berlanjut, fibrosa yang imatur
berubah menjadi tulang lamellar. Sistem itu sekarang cukup kaku untuk
memungkinkan osteoklas menerobos melalui reruntuhan pada garis fraktur,
dan dekat di belakangnya osteoblas mengisi celah-celah yang tersisa antara
fragmen dengan tulang yang baru. Ini adalah proses yang lambat dan
mungkin perlu sebelum tulang cukup kuat untuk membawa beban yang
normal (Black & Hawks, 2001; Sjamsuhidajat dkk, 2011).

f)

Remodeling (6-12 bulan)


Fraktur telah dijembatani oleh suatu manset tulang yang padat. Selama
beberapa bulan, atau bahkan beberapa tahun, pengelasan kasar ini dibentuk
ulang oleh proses resorpsi dan pembentukan tulang akan memperoleh bentuk

14

yang mirip bentuk normalnya (Black & Hawks, 2001; Sjamsuhidajat dkk,
2011; Smeltzer & Bare, 2002).
2.1.4 Komplikasi Fraktur Femur
Komplikasi setelah fraktur adalah syok yang berakibat fatal dalam
beberapa jam setelah cedera, emboli lemak, yang dapat terjadi dalam 48 jam atau
lebih, dan sindrom kompartemen, yang berakibat kehilangan fungsi ekstremitas
permanent jika tidak ditangani segera. Adapun beberapa komplikasi dari fraktur
femur yaitu:
a)

Syok
Syok hipovolemik atau traumatik akibat pendarahan (baik kehilangan darah
eksterna maupun interna) dan kehilangan cairan ekstrasel ke jaringan yang
rusak dapat terjadi pada fraktur ekstremitas, toraks, pelvis, dan vertebra
karena tulang merupakan organ yang sangat vaskuler, maka dapat terjadi
kehilangan darah dalam jumlah yang besar sebagai akibat trauma,
khususnya pada fraktur femur pelvis (Suratum, dkk, 2008).

b)

Emboli lemak
Setelah terjadi fraktur panjang atau pelvis, fraktur multiple atau cidera
remuk dapat terjadi emboli lemak, khususnya pada pria dewasa muda 20-30
tahun. Pada saat terjadi fraktur globula lemak dapat termasuk ke dalam
darah karna tekanan sumsum tulang lebih tinggi dari tekanan kapiler atau
karna katekolamin yang di lepaskan oleh reaksi stres pasien akan
memobilitasi asam lemak dan memudahkan terjadiya globula lemak dalam
aliran darah. Globula lemak akan bergabung dengan trombosit membentuk

15

emboli, yang kemudian menyumbat pembuluh darah kecil yang memasok


otak, paru, ginjal dan organ lain. Awitan dan gejalanya yang sangat cepat,
dapat terjadi dari beberapa jam sampai satu minggu setelah cidera gambaran
khasnya berupa hipoksia, takipnea, takikardia, dan pireksia (Suratun, dkk,
2008).
c)

Sindrom kompartemen (Volkmanns Ischemia)


Sindrom kompartemen adalah suatu kondisi dimana terjadi peningkatan
tekanan interstisial di dalam ruangan yang terbatas, yaitu di dalam
kompartemen osteofasial yang tertutup. Peningkatan tekanan intra
kompartemen akan mengakibatkan berkurangnya perfusi jaringan dan
tekanan oksigen jaringan, sehingga terjadi gangguan sirkulasi dan fungsi
jaringan di dalam ruangan tersebut. Ruangan tersebut terisi oleh otot, saraf
dan pembuluh darah yang dibungkus oleh tulang dan fascia serta otot-otot
individual yang dibungkus oleh epimisium. Sindrom kompartemen ditandai
dengan nyeri yang hebat, parestesi, paresis, pucat, disertai denyut nadi yang
hilang. Secara anatomi sebagian besar kompartemen terletak di anggota
gerak dan paling sering disebabkan oleh trauma, terutama mengenai daerah
tungkai bawah dan tungkai atas (Handoyo, 2010).

d)

Nekrosis avaskular tulang


Cedera, baik fraktur maupun dislokasi, seringkali mengakibatkan iskemia
tulang yang berujung pada nekrosis avaskular. Nekrosis avaskuler ini sering
dijumpai pada kaput femoris, bagian proksimal dari os. Scapphoid, os.
Lunatum, dan os. Talus (Suratum, 2008).

16

e)

Atrofi otot
Atrofi adalah pengecilan dari jaringan tubuh yang telah mencapai ukuran
normal. Mengecilnya otot tersebut terjadi karena sel-sel spesifik yaitu selsel parenkim yang menjalankan fungsi otot tersebut mengecil. Pada pasien
fraktur, atrofi terjadi akibat otot yang tidak digerakkan (disuse) sehingga
metabolisme sel otot, aliran darah tidak adekuat ke jaringan otot (Suratum,
dkk, 2008).

2.1.5 Penatalaksanaan Fraktur


Prinsip penanganan fraktur adalah mengembalikan posisi patahan tulang ke
posisi semula (reposisi) dan mempertahankan posisi itu selama masa
penyembuhan patah tulang (imobilisasi) (Sjamsuhidajat dkk, 2011).
a)

Reposisi
Tindakan reposisi dengan cara manipulasi diikuti dengan imobilisasi
dilakukan pada fraktur dengan dislokasi fragmen yang berarti seperti pada
fraktur radius distal. Reposisi dengan traksi dilakukan terus-menerus selama
masa tertentu, misalnya beberapa minggu, kemudian diikuti dengan
imobilisasi. Tindakan ini dilakukan pada fraktur yang bila direposisi secara
manipulasi akan terdislokasi kembali dalam gips. Cara ini dilakukan pada
fraktur dengan otot yang kuat, misalnya fraktur femur (Nayagam, 2010).
Reposisi dilakukan secara non-operatif diikuti dengan pemasangan fiksator
tulang secara operatif, misalnya reposisi patah tulang pada fraktur kolum
femur. Fragmen direposisi secara non-operatif dengan meja traksi, setelah

17

tereposisi, dilakukan pemasangan prosthesis secara operatif pada kolum


femur (Nayagam, 2010).
Reposisi diikuti dengan imobilisasi dengan fiksasi luar (OREF) dilakukan
untuk fiksasi fragmen patahan tulang, dimana digunakan pin baja yang
ditusukkan pada fragmen tulang, kemudian pin baja disatukan secara kokoh
dengan batangan logam di kulit luar. Beberapa indikasi pemasangan fiksasi
luar antara lain fraktur dengan rusaknya jaringan lunak yang berat (termasuk
fraktur terbuka), dimana pemasangan internal fiksasi terlalu berisiko untuk
terjadi infeksi, atau diperlukannya akses berulang terhadap luka fraktur di
sekitar sendi yang cocok untuk internal fiksasi namun jaringan lunak terlalu
bengkak untuk operasi yang aman, pasien dengan cedera multiple yang berat,
fraktur tulang panggul dengan perdarahan hebat, atau yang terkait dengan
cedera kepala, fraktur dengan infeksi (Nayagam, 2010).
Reposisi secara operatif dikuti dengan fiksasi patahan tulang dengan
pemasangan fiksasi interna (ORIF), misalnya pada fraktur femur, tibia,
humerus, atau lengan bawah. Fiksasi interna yang dipakai bisa berupa pen di
dalam sumsum tulang panjang, bisa juga plat dengan skrup di permukaan
tulang. Keuntungan reposisi secara operatif adalah dapat dicapai reposisi
sempurna, dan bila dipasang fiksasi interna yang kokoh, sesudah operasi tidak
diperlukan pemasangan gips lagi dan segera bisa dilakukan imobilisasi.
Indikasi pemasangan fiksasi interna adalah fraktur tidak bisa di reduksi
kecuali dengan operasi, fraktur yang tidak stabil dan cenderung terjadi
displacement kembali setelah reduksi fraktur dengan penyatuan yang buruk

18

dan perlahan (fraktur femoral neck), fraktur patologis, fraktur multiple dimana
dengan reduksi dini bisa meminimkan komplikasi, fraktur pada pasien dengan
perawatan yang sulit (paraplegia, pasien geriatri)

(Nayagam, 2010;

Sjamsuhidajat dkk, 2011; Bucholz; Heckman; Court-Brown, 2006).


b) Imobilisasi
Pada imobilisasi dengan fiksasi dilakukan imobilisasi luar tanpa reposisi,
tetapi tetap memerlukan imobilisasi agar tidak terjadi dislokasi fragmen.
Contoh cara ini adalah pengelolaan fraktur tungkai bawah tanpa dislokasi
yang penting. Imobilisasi yang lama akan menyebabkan mengecilnya otot
dan kakunya sendi. Oleh karena itu diperlukan upaya mobilisasi secepat
mungkin (Nayagam, 2010).
c)

Rehabilitasi
Rehabilitasi berarti upaya mengembalikan kemampuan anggota yang cedera
atau alat gerak yang sakit agar dapat berfungsi kembali seperti sebelum
mengalami gangguan atau cedera (Widharso, 2010).

2.2

Traksi

2.2.1 Pengertian Traksi


Traksi adalah tahanan yang dipakai dengan berat atau alat lain untuk
menangani kerusakan atau gangguan pada tulang dan otot. Tujuan traksi adalah
untuk menangani fraktur, dislokasi atau spasme otot dalam usaha untuk
memperbaiki deformitas dan mempercepat penyembuhan. Traksi menggunakan
beban untuk menahan anggota gerak pada tempatnya. Traksi longitudinal yang

19

memadai diperlukan selama 24 jam untuk mengatasi spasme otot dan mencegah
pemendekan, dan fragmen harus ditopang di posterior untuk mencegah
pelengkungan. Traksi pada anak-anak dengan fraktur femur harus kurang dari 12
kg, jika penderita yang gemuk memerlukan beban yang lebih besar (Smeltzer &
Bare, 2002).

2.2.2 Jenis Traksi


Terdapat beberapa jenis traksi yang dapat digunakan pada pasien dengan
fraktur, yaitu:
a)

Skin Traksi
Skin traksi digunakan untuk penanganan patah tulang pada pasien anak dan
dewasa yang membutuhkan kekuatan tarikan sedang, dengan beban tidak
lebih dari lima kilogram serta lama pemasangan tidak lebih dari 3-4 minggu
karena dapat menyebabkan iritasi kulit (Anderson, et al, 2009). Adapun
beberapa jenis skin traksi menurut Smeltzer & Bare (2002).antara lain:
1. Traksi buck
Ektensi buck (unilateral/bilateral) adalah bentuk traksi kulit dimana tarikan
diberikan pada satu bidang bila hanya imobilisasi parsial atau temporer
yang diinginkan. Traksi buck digunakan untuk memberikan rasa nyaman
setelah cidera pinggul sebelum dilakukan fiksasi dengan intervensi bedah.
2. Traksi Russell
Traksi Russel dapat digunakan pada fraktur plato tibia, menyokong lutut
yang fleksi pada penggantung dan memberikan gaya tarik horizontal
melalui pita traksi balutan elastis ketungkai bawah.

20

3. Traksi Dunlop
Traksi Dunlop adalah traksi pada ektermitas atas. Traksi horizontal
diberikan pada lengan bawah dalam posisi fleksi.
4. Traksi kulit Bryant
Traksi ini sering digunakan untuk merawat anak kecil yang mengalami
patah tulang paha. Traksi Bryant sebaiknya tidak dilakukan pada anakanak yang berat badannya lebih dari 30 kg apabila batas ini dilampaui
maka kulit dapat mengalami kerusakan berat.
b) Skletal Traksi
Traksi langsung pada tulang dengan menggunakan pins, wires, screw untuk
menciptakan kekutan tarikan besar (9-14 kilogram) serta waktu yang lebih
dari empat minggu, serta memiliki tujuan tarikan ke arah longitudinal serta
mengontrol rotasi dari fragmen tulang. Pada patah tulang panjang digunakan
steinmann

pins

(2-4,8mm)

atau

kirschner

wires

(7-15mm)

yang

penggunaannya ditentukan oleh densitas tulang serta kekuatan tarikan yang


dibutuhkan (Anderson et al, 2009). Beberapa tempat pemasangan pin seperti
proksimal tibia, kondilus femur, olekranon, kalkaneus, trokanter mayor atau
bagian distal metakarpal lalu diberi pemberat (Sjamsuhidajat dkk, 2011).

2.2.3 Komplikasi Penggunaan Traksi


Penggunaan traksi mengakibatkan pasien mengalami imobilisasi sehingga
beberapa komplikasi penggunaan traksi berhubungan dengan kondisi imobilisasi
yang terjadi, diantaranya:

21

a.

Iritasi Kulit
Skin traksi digunakan untuk penanganan patah tulang pada pasien anak dan
dewasa yang membutuhkan kekuatan tarikan sedang, dengan beban tidak
lebih dari lima kilogram serta lama pemasangan tidak lebih dari 3-4 minggu
karena dapat menyebabkan iritasi kulit (Anderson, et al, 2009).

b.

Disuse Atrofi Otot


Bila otot tidak digunakan/hanya melakukan aktivitas ringan (seperti: tidur dan
duduk) maka terjadi penurunan kekuatan otot sekitar 5% dalam tiap harinya,
atau setelah dua minggu dapat menurun sekitar 50%. Disamping terjadi
kelemahan otot, juga terjadi atrofi otot (disuse athrophy). Hal ini disebabkan
karena serabut-serabut otot tidak berkontraksi dalam waktu yang cukup lama,
sehingga perlahan-lahan akan mengecil (atrofi), dimana terjadi perubahan
perbandingan antara serabut otot dan jaringan fibrosa. Atrofi otot sering
terjadi pada anggota gerak yang diletakkan dalam pembungkus gips, sehingga
dapat mencegah terjadinya kontraksi otot (Guyton & Hall, 2008)

c.

Demineralisasi tulang
Demineralisasi tulang terjadi selama immobilisasi, menyebabkan disuse
osteoporosis. Demineralisasi tulang ini dapat disebabkan oleh 2 faktor, yaitu:
menurunnya aktivitas otot dan menurunnya aktivitas tubuh. Pasien yang
immobilisasi aktivitasnya menjadi terbatas dan tidak ada penopang berat
badan pada tulang panjang di ekstremitas bawah (Kusnanto, 2006).

22

d.

Infeksi dan Parase saraf


Infeksi yang umumnya didapat melalui invasi bakteri melalui pin atau kawat
yang digunakan pasien. Parase saraf akibat penggunaan traksi yang
berlebihan (overload) atau apabila pin mengenai saraf. Kedua komplikasi ini
umumnya terjadi pada penggunaan skeletal traksi (Smeltzer & Bare, 2002).

2.3

Disuse Atrofi Otot Plantar Flexor

2.3.1 Pengertian Disuse Atrofi Otot Plantar Flexor


Disuse atrofi otot merupakan suatu keadaan dimana terjadi pengurangan
ukuran normal otot secara patologi setelah inaktivitas yang lama akibat tirah
baring, trauma, pemakaian gips, traksi, atau kerusakan saraf lokal (Potter &
Perry, 2006). Hal ini disebabkan karena serabut-serabut otot tidak berkontraksi
dalam waktu yang cukup lama, sehingga perlahan-lahan akan mengecil (atrofi),
dimana terjadi perubahan perbandingan antara serabut otot dan jaringan fibrosa.
Atrofi otot sering terjadi pada anggota gerak yang diletakkan dalam pembungkus
gips, sehingga dapat mencegah terjadinya kontraksi otot (Guyton & Hall, 2008).
Otot plantar flexor merupakan otot yang berfungsi untuk pergerakan kaki.
Betis (calves) terdiri dari otot-otot gastrocnemius dan soleus, dimana
gastrocnemius adalah otot betis yang menonjol dan mudah dilihat. Otot ini
menempel pada tulang paha dan sebagian kecil menempel pada tendon achilles.
Sedangkan otot soleus adalah otot betis yang lebih kecil dan terletak di bawah otot
gastrocnemius. Otot betis hampir terlibat dalam semua pergerakan kaki, mulai

23

dari berjalan, berlari, menjaga keseimbangan dan kordinasi tubuh bagian atas dan
bawah (Anderson, et al, 2009).

Gambar 1. Anatomi otot betis (calves) (sumber: Anatomicas Body Atlas, 2002)

Lingkar ekstremitas harus diukur untuk memantau pertambahan atau


pengurangan ukuran akibat atrofi. Pengukuran dilakukan pada bagian terbesar
ekstremitas. Pengukuran harus dilakukan pada tempat yang sama, posisi yang
sama dan pada keadaan istirahat (Smeltzer & Bare, 2002). Lingkar betis dapat
diukur baik dalam keadaan berdiri maupun duduk. Jika subjek berdiri, berat badan
harus tertumpu pada kedua kaki secara merata, dan jarak kedua kaki sekitar 25
cm. Jika subjeknya duduk, kedua kaki harus dijuntaikan. Pita pengukur kemudian
dilingkarkan ke betis (tegak lurus dengan aksis memanjang betis), dan diturunnaikkan untuk mencari diameter terbesar. Hasil pengukuran ulang tidak boleh
berbeda lebih dari 2 mm.
Pengukuran juga dapat dilakukan dari pangkal betis (lutut bagian
belakang) 10 sentimeter ke bawah untuk mendapatkan titik tengah. Kemudian
baru diukur diameter lingkar betisnya. Pengukuran dilakukan tiga kali dan diambil
ukuran rata-ratanya dari tiga kali pengukuran yang dilakukan. Pengukuran lingkar
betis dapat dilakukan dengan menggunakan waist ruler atau meteran metal,

24

meteran dan juga pita ukur non elastis (Arisman, 2007). Semakin besar massa
otot betis seseorang maka semakin besar pula ukuran betisnya dan dapat
menambah massa jaringan tubuh. Penelitian dari Fahda (2010) mendapatkan nilai
rata-rata ukuran lingkar betis pada 96 anak usia 12-15 tahun yaitu laki-laki 32,21
cm dan perempuan 32,42 cm.
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan disuse atrofi otot plantar flexor
merupakan pengurangan ukuran otot dari kondisi normal pada otot plantar flexor
akibat inaktivitas yang lama meskipun kondisi persarafannya utuh dimana
pengukuran lingkar betis dilakukan untuk memantau pengurangan ukuran akibat
atrofi.
2.3.2 Fisiologi Disuse Atrofi Otot Plantar Flexor
Otot plantar flexor begitu juga otot lain yang mempuyai kemampuan
mengubah energi kimia menjadi energi mekanik atau gerak sehingga dapat
berkontraksi untuk menggerakkan rangka (Guyton & Hall, 2008). Secara
mikroskopik sel otot rangka terdiri atas sarkolema (membran sel serabut otot),
yang terdiri atas membran sel yang disebut membran plasma dan sebuah lapisan
luar yang terdiri atas satu lapis mengandung kolagen (Guyton & Hall, 2008).
Tiap sel otot (serabut otot) mengandung miofibril yang tersusun atas
sekelompok sarkomer, yang merupakan unit kontraktil otot rangka. Komponen
sarkomer terdiri dari filamin aktin dan filamen miosin. Terdapat sekitar 1500
filamen miosin dan 3000 filamen aktin yang merupakan molekul protein polimer
besar yang bertanggung jawab untuk kontraksi otot. Filamen miosin dan aktin
sebagian saling bertautan sehingga menyebabkan miofibril memiliki pita terang

25

dan pita gelap yang berselang-seling. Pita-pita terang mengandng filamen aktin
dan disebut pita I karena bersifat isotropik terhadap cahaya yang dipolarisasikan,
sedangkan pita-pita gelap mengandung filamen miosin yang disebut pita A karena
bersifat anisotropik terhadap cahaya yang didepolarisasikan (Guyton & Hall,
2008).
Filamen aktin terdiri dari tiga komponen protein yaitu aktin, tropomiosin
dan troponin yang mengatur aktivitas filamen aktin. Protein tropomiosin
terbungkus secara spiral, dimana pada stadium istirahat terletak pada ujung atas
tempat yang aktif dari untaian aktin. Protein troponin terdiri dari tiga subunit
protein yaitu troponin I yang berikatan kuat dengan filamen aktin, troponin c yang
berikatan kuat dengan ion kalsium dan troponin t yang berikatan kuat dengan
tropomiosin. Apabila troponin c berikatan dengan ion kalsium yang dikeluarkan
oleh retikulum sarkoplasma, akan terjadi perubahan bentuk dari ujung filamen
aktin dimana tropomiosin akan tertarik lebih kedalam di lekukan diantara filamen
aktin sehingga bagian aktif dari komplek aktin akan tersingkap dan
memungkinkannya menarik kepala jembatan silang miosin dan menyebabkan
terjadinya kontraksi (Guyton & Hall, 2008).
Otot rangka memiliki pigmen protein yang serupa dengan hemoglobin
yang disebut Mioglobin. Mioglobin bermanfaat sebagai transpor oksigen untuk
memenuhi kebutuhan metabolik sel dari kapiler ke motokondria sel otot. Otot
mengandung sejumlah besar mioglobulin (otot merah) yang berkontraksi lebih
lambat dan lebih kuat dan otot yang tidak mengandung mioglobulin (otot putih)
berkontraksi cepat dalam waktu yang lama. Miofibril-miofibril yang terpendam

26

dalam serat otot di dalam suatu matriks yang disebut sarkoplasma, yang terdiri
dari unsur-unsur intraseluler terdapat mitokondria dalam jumlah yang banyak
terletak di antara dan sejajar dengan miofibril. Hal ini menunjukkan bahwa
miofibril-miofibril yang berkontraksi membutuhkan sejumlah besar Adenosin
Triphosfat (ATP) yang dibentuk oleh mitokondria yang akan berdampak terhadap
besar serat otot dan volume mitokondria itu sendiri. Sehingga apabila sirkulasi
darah ke otot terganggu akan menrunkan jumlah nutrisi dan oksigen ke jaringan
otot untk melakukan metabolisme aerob yang akan menurunkan jumlah dan
volume mitokondria akibat tidak terjadinya metabolisme oksidatif yang
berlangsung terus-menerus (Smeltzer & Bare, 2002; Campellone, 2007; Wiarto,
2013).
Kontraksi otot terjadi akibat kontraksi sarkomer yang disebabkan oleh
interaksi filamen miosin dan filamen aktin yang saling mendekat dengan adanya
peningkatan lokal kadar kalsium. Serabut otot akan berkontraksi sebagai respon
terhadap rangsangan listrik sehingga terjadi suatu potensial aksi yang menjalar ke
sepanjang membran sel dan mengakibatkan pelepasan ion kalsium yang
sebelumnya tersimpan dalam retikulum sarkoplasmikum. Energi dibutuhkan
dalam kontraksi dan relaksasi otot dalam jumlah yang meningkat selama latihan.
Sumber energi otot adalah ATP yang dibangkitkan melalui metabolisme oksidatif
seluler. Pada aktivitas tinggi bila oksigen tidak memadai glukosa terutama
dimetabolisme menjadi asam laktat namun tidak efektif sehingga diperlukan lebih
banyak glukosa yang disediakan oleh glikogen otot. Glikogen merupakan suatu

27

tepung yang terbuat dari glukosa disimpan selama periode istirahat (Smeltzer &
Bare, 2002)
Mekanisme kontraksi diawali dengan adanya stimulus saraf dari kornu
anterior medulla spinalis yang dihantarkan oleh saraf motorik ke neuromuscular
junction yang diikuti oleh pengeluaran neurotransmitter asetikolin yang diterima
oleh reseptor spesifik. Teraktivasinya reseptor spesifik ini menyebabkan
terbukanya kanal-kanal berbasis asetikolin sehingga ion natrium dapat masuk
kedalam sel otot dan ion kalium keluar dari dalam sel otot sehingga membentuk
potensial aksi. Menjalarnya potensial aksi ini menyebabkan terbukanya tubulus
tranversal sehingga ion kalsium yag berada di dalam retikulum sarkoplasma
masuk ke dalam sel otot dan berikatan serta mengaktifkan filamen aktin (Guyton
& Hall, 2008). Sebelum terjadi kontraksi, aktivitas ATPase dari kepala miosin
segera memecah ATP menjadi Adenosin Diphosfat (ADP) dan ion fospat.
Kompleks troponin-tropomiosin berikatan dengan ion-ion kalsium, bagian aktif
pada filamen aktin menjadi tidak tertutup dan kemudian kepala jembatan
penyeberangan miosin berikatan dengan filamen aktin yang menyebabkan
perubahan kedudukan kepala,

yaitu

miring

ke arah lengan jembatan

penyeberangan dan memberikan kedudukan power stroke untuk menarik filamen.


Adanya pelepasan ATP yang sebelumnya melekat pada filamen aktin, sebuah
molekul ATP yang baru dipecah untuk memulai siklus baru yang menimbulkan
power stroke (Guyton & Hall, 2008). Helmi (2012) menyatakan dengan adanya
kontraksi tersebut manusia dapat melakukan aktivitas berdiri, berjalan dan

28

sebagainya serta massa otot akan disesuaikan dengan tingkat stimulasi kontraksi
yang diterima.
Pada otot rangka meskipun inti tidak mampu bermiosis, jaringannya
mengalami regenerasi yang terbatas. Sumber regenerasi sel diyakini adalah sel
satelit. Sel satelit adalah populasi kecil sel mononukleus berbentuk gelendong
yang terletak dalam lamina basalis yang mengelilingi setiap serat otot matang.
Karena hubungannya yang erat dengan permukaan serat otot, maka sel satelit
hanya dapat dikenali dengan mikroskop elektron. Sel satelit dianggap sebagai
mioblast tidak aktif yang menetap sehabis deferensiasi otot. Setalah cedera atau
rangsangan tertentu lainnya, maka sel satelit yang biasanya diam, menjadi aktif,
berproliferasi, dan bergabung membentuk serat otot rangaka baru (Eroschenko,
2003).
Apabila otot berulang-ulang mnegalami tegangan maksimal selama waktu
yang lama maka irisan melintang otot akan mengalami pembesaran. Hal ini
diakibatkan oleh penambahan ukuran masing-masing serat otot tanpa penambahan
jumlah serat otot. Namun apabila suatu otot tidak digunakan dalam waktu yang
lama, maka kandungan aktin dan miosinnya akan berkurang, serat-seratnya
menjadi lebih kecil. Keadaan yang seperti ini disebut dengan atrofi otot. Otot
rangka (otot lurik) berperan dalam gerakan tubuh, postur dan fungsi produksi
panas. Otot dihubungkan oleh tendon (tali jaringan ikat fibrus) ke tulang, jaringan
ikat, atau kulit. Kontraksi otot menyebabkan perlekatan satu sama lain. Otot
memiliki variasi ukuran dan bentuk yang berbeda-beda sesuai dengan aktivitas
yang dibutuhkan. Otot akan berkembang dan terpelihara apabila digunakan secara

29

aktif. Proses penuaan dan disuse menyebabkan kehilangan fungsi otot sehingga
jaringan otot kontraktil diganti oleh jaringan fibrolitik (Smeltzer & Bare, 2002).
2.3.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Disuse Atrofi Otot
a.

Imobilisasi
Setelah tindakan reduksi pada fraktur femur, fragmen tulang harus
diimobilisasi atau dipertahankan dalam posisi kesejajaran yang benar sampai
terjadi penyatuan. Gangguan mobilisasi fisik (imobilisasi) didefinisikan oleh
North American Nursing Diagnosis Association (NANDA) (2011) sebagai
suatu keadaan ketika individu mengalai atau berisiko

mengalami

keterbatasan gerak fisik. Perubahan tingkat mobilisasi fisik dapat disebabkan


instruksi pembatasan dalam bentuk tirah baring, pembatasan gerak fisik
selama penggunaan alat bantu ekternal (gips atau traksi rangka), pembatasan
gerakan volunter atau kehilangan fungsi motorik.
Menurut Delisa (2002), dengan kondisi total bed rest, otot akan kehilangan
kekuatan 10-15% perminggu, atau sekitar 1-3% perhari, dengan bed rest dan
imobilisasi selama 3-5 minggu pasien akan kehilangan setengah dari
kekuatan ototnya. Menurut Salmond & Pellino (2002), individu yang
membatasi pergerakannya (imobilisasi) akan menyebabkan tidak stabilnya
pergerakan sendi dan terjadinya atrofi otot dalam 46 hari.
Atrofi otot dihasilkan dari immobilisasi yang teramati dan terukur. Contoh:
otot betis pada seseorang yang telah dirawat selama enam minggu, nampak
menjadi lebih kecil daripada sebelum immobilisasi. Selain menjadi atrofi,

30

otot-otot tersebut juga menjadi lemah. Apabila pasien tersebut tidak mau
melakukan latihan mobilisasi, maka akan terjadi beberapa gangguan dan
mengalami penurunan stabilitas fisik (Hamid, 1992).
b.

Status Kesehatan
Miopati, amyotrophic lateral sclerosis, sindrom guillain-barre, cedera otot,
neuropati, distropi otot, penyakit serebrovaskuler, osteoarthritis, polio,
trauma spinal dapat mempengaruhi metabolisme protein kontraktil otot serta
mengurangi stimulasi otot untuk mempertahankan massa otot. Multiple
trauma, luka bakar dan terapi kortikosteroid jangka panjang dapat
menimbulkan respon stres yang berlebihan sehingga terjadi hipermetabolik
yang dapat menyebabkan peningkatan katabolisme karbohidrat, lemak dan
protein termasuk protein pembentuk otot (Price & Wilson, 2005). Gangguan
metabolisme dan endokrin seperti gangguan hormon tiroid, growth hormone,
diabetes mellitus, hormon seksual yang dapat mempengaruhi pertumbuhan
dan perkembangan sel-sel dalam tubuh manusia (Guyton & Hall, 2008).

c.

Umur
Tubuh anak-anak sedang mengalami masa pertumbuhan dan penyempurnaan
fungsi, dengan bertambahnya umur, massa otot akan semakin besar.
Pembesaran massa otot berkaitan erat dengan kekuatan otot yang juga
meningkat, hal ini dapat juga dipengaruhi oleh aktivitas ototnya. Usia 20-30
tahun baik laki-laki dan wanita akan mencapai puncak kekuatan otot, diatas
umur ini kekuatan otot akan menurun, kecuali diberikan pelatihan. Walaupun
demikian di atas umur 65 tahun kekuatan ototnya sudah berkurang sebanyak

31

20% dibandingkan waktu muda (Nala, 2011). Chen, et al (2008) dalam


artikelnya menyatakan ektremitas yang tidak digunakan memicu adaptasi
sistem antioksidan, pada otot plantar flexor tikus dewasa tidak terdapat
perbedaan kadar glutathione setelah disuse 14 hari, namun pada tikus tua
terdapat penurunan sebesar 60%, hal ini disebabkan karena terjadi penurunan
kapasitas stress antioksidan pada penuaan yang menyebabkan kerusakan
protein otot.
d.

Jenis Kelamin
Menurut Martinez (2000) dalam penelitiannya menyatakan perbedaan jenis
kelamin berpengaruh terhadap perbedaan diameter dari serat otot, namun
tidak berpengaruh berbeda terhadap kecepatan atrofi otot. Menurut Nala
(2011), pada umur 10-12 tahun kekuatan otot anak laki-laki lebih kuat sedikit
dari wanita, dengan meningkatnya usia kekuatan otot laki-laki semakin jauh
meningkat hal ini disebabkan perbedaan pertumbuhan dan aktivitas fisik serta
pengaruh hormon testosteron. Pada usia 18 tahun ke atas, kekuatan otot
bagian atas tubuh (dada, bahu, lengan) pada laki-laki dua kali lebih kuat
daripada wanita, sedangkan otot bagian bawah (pinggul dan tungkai) hanya
berbeda sepertiganya.

e.

Status Hidrasi
Hidrasi diartikan sebagai keseimbangan cairan dalam tubuh dan merupakan
syarat penting untuk menjamin fungsi metabolisme sel tubuh. Sementara
dehidrasi berarti kurangnya cairan di dalam tubuh karena jumlah yang keluar
lebih besar dari jumlah yang masuk. Dalam penelitiannya, Balavy, et al

32

(2009) menyampaikan juga adanya perpindahan cairan tubuh pada pasien


dengan posisi supine (terlentang) yang dapat mempengaruhi ukuran otot
dimana hal ini secara umum komplit terjadi pada dua jam pertama bedrest.
f.

Status Nutrisi dan Status Gizi


Pemberian vitamin D dosis rendah setiap hari dapat mempertahankan
kekuatan otot serta mencegah terjadinya atrofi pada serat otot tipe 2. Hal ini
dapat dijelaskan oleh karena jaringan otot memiliki reseptor seluler spesifik
terhadap 1,25-dihydroxyvitamin yang akan memediasi sintesis protein
sehingga berefek terhadap pertumbuhan sel otot (Sato, et al, 2005).
Kekurangan energi protein sangat berpengaruh terhadap terjadinya atrofi
karena kecukupan sumber energi sangat dibutuhkan untuk sumber energi
kontraksi untuk mencegah katabolisme kompensata, serta kecukupan asupan
protein khususnya protein esensial yang sangat penting untuk sintesis DNA
dan pertumbuhan sel otot.
Pasien yang mengalami kekurangan gizi akan mengalami penurunan jumlah
protein yang mengakibatkan penggantian protein kontraktil (filamen aktin
dan miosin) otot mengalami penurunan akibat sediaan protein yang
berkurang. Salah satu indikator status gizi baik adalah dengan pengukuran
lingkar lengan yang tidak dominan bagian atas sebesar 23,5-25 centimeter
(Potter & Perry, 2006).

g.

Gangguan Neuromuskuler
Suatu otot, apabila kehilangan suplai sarafnya akibat penyakit yang merusak
neuromuskuler seperti poliomielitis, lesi nerves post trauma tidak akan

33

menerima sinyal kontraksi yang dibutuhkan untuk mempertahankan ukuran


otot normal, oleh karena itu atrofi otot hampir segera terjadi. Pada tahap akhir
dari atrofi akibat denervasi, sebagian besar serabut otot akan rusak, dan
digantikan oleh jaringan fibrosa dan jaringan lemak. Serabut-serabut yang
tersisa hanya terdiri dari membran sel panjang dengan barisan inti sel otot
tetapi dengan beberapa atau tanpa sifat kontraksi dan sedikit atau tanpa
kemampuan untuk membentuk kembali myofibril jika saraf tumbuh kembali.
Jaringan fibrosa yang menggantikan serabut otot memiliki kecendrungan
untuk terus memendek yang disebut kontraktur (Potter & Perry, 2006).

2.4

Ankle Pumping Exercise

2.4.1 Definisi Ankle Pumping Exercise


Latihan Ankle Pumping merupakan suatu latihan isometrik untuk otot betis
dan pergelangan kaki. Ankle pump dapat dilakukan dengan menginstruksikan
pasien untuk melakukan fleksi (dorsofleksi) dan ekstensi (plantarflexi)
pergelangan kaki dan kontraksi otototot betis (latihan pemompaan betis),
kemudian instruksikan pasien mempertahankan posisi ini selama 510 detik dan
biarkan pasien rileks. Ulangi latihan ini, 10 kali dalam satu jam ketika pasien
terjaga (Smeltzer & Bare, 2002).
Sementara menurut Scott (2011), Ankle pumping dilakukan dengan
mengelevasikan kaki dan mendorong sendi pada pergelangan kaki fleksiekstensi
secara berulangulang atau menggambarkan huruf AZ dengan menggunakan
pergelangan kaki diulang 34 menit selama 35 kali perhari. Pollak (2013)

34

menambahkan ankle pumping exercise dilakukan dengan menggerakkan


pergelangan kaki secara maksimal ke atas dan ke bawah dan mengelevasikan kaki
apabila ada pembengkakan distal untuk melancarkan aliran darah balik. Gerakan
mendorong kaki ke atas atau ekstensi akan mengkontraksikan otot tibial dan
mendorong kaki ke bawah atau fleksi akan mengkontraksikan otot betis yang
mana akan berpengaruh terhadap massa otot plantar flexor itu sendiri (Pollak,
2013)

Gambar 2. Latihan ankle Pump (sumber:cpmc.org)

Dari beberapa pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa ankle pumping


exercise merupakan suatu bentuk ambulasi dini yang dilakukan dengan
mengintervensi pergelangan kaki fleksi dan ekstensi yang bertujuan untuk
menggerakkan otot yang diimobilisasikan dan melancarkan peredaran darah distal
untuk mencegah atrofi otot akibat imobilisasi.
2.4.2 Manfaat Latihan Ankle Pumping
a)

Latihan pergelangan kaki bermanfaat dalam melancarkan sirkulasi darah


balik dari distal. Hal ini dapat mengakibatkan penurunan pembengkakakn
distal akibat sirkulasi darah yang lancar. Selain itu, sirkulasi darah balik yang
baik dapat mencegah kejadian atrofi otot dimana atrofi otot dapat disebabkan
oleh aliran darah yang buruk (Kwon, et al, 2003).

35

b) Latihan pergelangan kaki dapat mencegah penyakit-penyakit vena, seperti


DVT (Deep Vein Thrombosis), hipertensi vena dan lainnya. Ankle pumping
dilakukan untuk meminimalkan statis vena dan mencegah thrombosis vena
dalam (Eldawati, 2011; Dixy; Brooke; McCollum, 2003).
c)

Latihan ankle pumps sebagai salah satu jenis latihan yang dapat
mengembalikan fungsi aktivitas normal otot post operasi penggantian tulang
lutut (Scott, 2011).

2.4.3 Indikasi dan Kontra Indikasi Latihan Ankle Pumping

A. Indikasi Ankle Pumping Exercise


1) Terapi Rehabilitasi Post Operasi
Ankle pumping

merupakan salah satu

jenis terapi yang dapat

mengembalikan fungsi aktivitas normal kaki post operasi penggantian


tulang lutut (Scott, 2011).
2) Pasien dengan pembengkakan.
Ankle pumping membantu melancarkan aliran vena balik sehingga dapat
mengurangi statis pada aliran darah dan mengurangi pembengkakan pada
ekstremitas distal (Kwon, 2003).
3) Pasien dengan bedrest/imobilisasi yang lama.
Pasien dengan bedrest/imobilisasi beresiko tinggi mengalami penurunan
masa otot sehingga perlu dilakukan latihan pergerakan untuk mengurangi
penurunan massa otot (Smeltzer & Bare, 2002).

36

4) Pasien dengan DVT.


Trombosis/DVT beresiko menimbulkan gangguan pada sirkulasi darah
sehingga akan menimbulkan penurunan konsentrasi oksigen dan
penurunan kadar hemoglobin. Perawat membantu pasien pascaoperatif
fraktur femur melakukan Latihan isometrik (ROM, Ankle Pumping,
Gluteal Set) dan mengatur posisi kaki lebih tinggi, sehingga akan
meningkatkan aliran darah ke ekstermitas dan stasis berkurang. Kontraksi
otot kaki bagian bawah akan meningkatkan aliran balik vena sehingga
mempersulit terbentuknya bekuan darah atau DVT (Eldawati, 2011;
Smeltzer & Bare, 2002).
B. Kontra Indikasi Ankle Pumping Exercise
Ankle pumping merupakan latihan yang cukup aman dan mudah untuk
dilakukan pada sebagian besar kondisi. Namun menurut Potter and Perry (2006)
ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan latihan ini antara
lain:
1) Nyeri
Pasien yang mengalami nyeri sedang sampai dengan berat akan mengalami
penurunan toleransi terhadap pergerakan.
2) Kondisi kesehatan pasien
Kondisi emosi pasien dapat meningkatkan perubahan perilaku yang dapat
menurunkan kemampuan untuk melakukan mobilisasi dengan baik. Orang
yang depresi, khawatir, dan cemas sering tidak tahan melakukan aktivitas

37

sehingga cepat mengalami kelelahan akibat pengeluaran energi yang besar


dari ketakutan dan kecemasannya.
3) Perdarahan
Prinsip penanganan pada kasus perdarahan adalah Rest, Imobilization,
Compress, Elevation (RICE) dimana salah satu tindakan penangan
perdarahan

adalah

imobilisasi.

Latihan

ataupun

mobilisasi

dengan

menggerakkan sebagian anggota tubuh akan meningkatkan perfusi ke daerah


yang digerakkan sehingga dapat meningkatkan tingkat perdarahan itu sendiri.
2.4.4 Pengaruh Latihan Ankle Pumping terhadap Atrofi Otot
Atrofi otot plantar flexor pada pasien fraktur dengan traksi disebabkan
akibat penggunaan traksi yang menyebabkan pasien mengimobilisasikan bagian
tubuh yang fraktur sehingga mengakibatkan seluruh otot ekstremitas bawah tidak
dapat berkontraksi. Latihan akan meningkatkan koordinasi intermuskular dengan
meningkatkan kerjasama antara kelompok otot yang berbeda agar terjadi
peningkatan hipertrofi otot yang merupakan restrukturisasi pada jaringan otot
sebagai peningkatan fungsional pada massa otot. Hipertrofi otot secara langsung
berhubungan dengan sintesis material seluler, tertama pada protein elemen
kontraktil yang berhubungan dengan peningkatan jumlah volume mitokondria
dalam sel otot (Hardjono, 2008).
Terdapat dua macam adaptasi dari hasil latihan yaitu pengaruh terhadap
mitokondra, adanya peningkatan aktivitas atau konsentrasi enzim yang terlibat
dalam siklus krebs dan sistem transpor elektron (Fox & Bowers, 1993).

38

Pemberian latihan diharapkan mampu beradaptasi terhadap beban yang diberikan


yaitu adanya peningkatan jumlah, ukuran dan daerah permukaan membran dengan
proses adaptasi tersebut, latihan kekuatan otot menyebabkan perubahan jumlah
dan atau ukuran mitokondria pada otot yang dilatih. Latihan kekuatan juga
dikatakan dapat meningkatkan regulasi Central Nervous System, kapasitas sistem
transpor oksigen, proses oksidasi dan jumlah Na K pump (Perdesen, 1997).
Latihan Ankle Pumping berfungsi untuk menggantikan aktivitas otot
plantar flexor sehari-hari yang berfungsi untuk berdiri dan berjalan. Kontraksi
otot yang dilakukan melibatkan sebanyak mungkin motor unit dalam kelompok
otot tersebut, terjadi aktivitas pemendekan jembatan silang komponen aktinmiosin yang diaktifasi oleh refluk kalsium dalam kepala aktin, serta terjadi
tranformasi ATP menjadi ADP dan Fosfat sebagai sumber energi serta
peningkatan aliran darah sebagai mekanisme kompensasi peningkatan kebutuhan
oksigen.

Aktivitas

ini

memberi

menyeimbangkan proses remodeling

stimulasi

kepada

sel

satelit

untuk

otot sehingga terjadi eleminasi dan

dekomposisi protein kontraktil dengan jumlah yang sama. Secara klinis otot akan
dapat mempertahankan kekuatan, massa dan ketahanannya (Barton & Morris,
2003; Guyton & Hall, 2008; Braddom, 2011).
Latihan yang dilakukan teratur, terarah dan terprogram mempengaruhi
bentuk dan fungsi fisiologis otot. Beberapa perubahan fisiologis yang terjadi
antara lain peningkatan kepadataan kapiler darah, jumlah serabut syaraf,
konsentrasi mioglobin, ukuran dan jumlah mitokondria (Fox & Bower, 1993).
Selain terjadi perubahan jumlah dan atau ukuran mitokondria juga terdapat adanya

39

perubahan yang menyertai besarnya kapasitas mitokondria yang terlatih utnuk


memproduksi ATP sebagai hasil dari tingginya aktivitas enzim pada siklus
Krebs, sistem transpor elektron, dan sisitim metabolisme yang lain yang
berhubungan dengan produksi ATP.
Apabila imobilisasi akibat penggunaan modalitas penanganan (gips, traksi)
efek imobilisasi dapat dikurangi dengan latihan isometrik pada otot yang
diimobilisasi sehingga dapat mencapai kemampuan fungsional dan kekuatan
sebelum cedera. Bila dilakukan latihan, ukuran serabut-serabut otot akan kembali
bertambah. Semakin cepat kontraksi otot maka otot tersebut memiliki retikulum
sarkoplasmik yang lebih banyak sehingga dapat mempengaruhi volume serat otot
(Guyton & Hall, 2007; Smeltzer & Bare, 2002).

Anda mungkin juga menyukai