Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN PENDAHULUAN

A. Pengertian
Adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang umumnya disebabkan oleh
rudapaksa (Mansjoer, Arif, et al, 2000). Sedangkan menurut Linda Juall C. dalam
buku Nursing Care Plans and Dokumentation menyebutkan bahwa Fraktur adalah rusaknya
kontinuitas tulang yang disebabkan tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat
diserap oleh tulang.
Patah tulang humerus adalah diskontinuitas atau hilangnya struktur tulang humerus
(Chairudin Rasjad, 1998).
B. Etiologi
Fraktur terjadi ketika tekanan yang menimpa tulang lebih besar daripada daya tahan
tulang, seperti benturan dan cedera.
Fraktur terjadi karena tulang yang sakit, ini dinamakan fraktur patologi yaitu kelemahan
tulang akibat penyakit kanker atau osteoporosis (Menurut Barbara C. Long, 1989, hal : 297).
C. Klasifikasi patah tulang/fraktur
(Prof. Chaeruddin Rasjad, Ph.D. Fraktur dan Dislokasi. 1995. FKUH)
1) Berdasarkan hubungan dengan dunia luar.
a. Closed frakture (fraktur tertutup).
Fraktur yang tidak menyebabkan luka terbuka pada kulit.
b. Compound fracture (fraktur terbuka).
Adanya hubungan antara fragmen tulang yang patah dengan dunia luar.
2) Berdasarkan jenisnya
a. Fraktur komplit
Garis fraktur mengenai seluruh korteks tulang.
b. Fraktur tidak komplit
Garis fraktur tidak mengenai seluruh korteks.
3) Berdasarkan garis fraktur
a. Fraktur transversa.
Garis fraktur memotong secara transversal. Sumbu longitudinal.
b. Fraktur obliq.
Garis fraktur memotong secara miring sumbu longitudinal.
c. Fraktur spiral.
Garis fraktur berbentuk spiral.
d. Fraktur butterfly.
Bagian tengah dari fragmen tulang tajam dan melebar ke samping.
e. Fraktur impacted (kompresi)
Kerusakan tulang disebabkan oleh gaya tekanan searah sumbu tulang.
f. Fraktur avulsi.
Lepasnya fragmen tulang akibat tarikan yang kuat dari ligamen.
4) Berdasarkan jumlah garis patah.
a. Fraktur kominutif
Fragmen fraktur lebih dari dua.

b. Fraktur segmental
Pada satu korpus tulang terdapat beberapa fragmen fraktur yang besar.
c. Fraktur multiple
Terdapat 2 atau lebih fraktur pada tulang yang berbeda.
D. Macam-macam fraktur humerus
Macam-macam patah tulang humerus adalah sebagai berikut.
1) Fraktur suprakondilar humeri (transkondilar). Merupakan fraktur yang sangat sering
terjadi pada anak-anak setelah fraktur antebraki. Dua tipe fraktur suprakondilar humeri
berdasarkan pergeseran fragmen distal adalah sebagai berikut.
a. Tipe posterior ( tipe ekstensi). Merupakan 99% dari seluruh jenis fraktur
suprakondilar humeri. Pada tipe ini fragmen distal bergeser kearah posterior. Tipe
ekstensi terjadi apabila klien mengalami trauma saat siku dalam posisi hiperekstensi
atau sedikit fleksi serta pergelangan tangan dalam posisi dorsofleksi.
b. Tipe anterior (tipe fleksi). Hanya merupakan 1-2% dari seluruh fraktur suprakondilar
humeri. Tipe fleksi terjadi apabila klien jatuh dan mengalami trauma langsung sendi
siku pada humerus distal.
2) Fraktur interkondilar humeri. Bagian kondilus humerus sering juga mengalami fraktur
akibat suatu trauma. Gambaran klinisnya adalah nyeri, pembengkakan, dan perdarahan
subkutan pada daerah sendi siku. Pada daerah tersebut ditemukan nyeri tekan, gangguan
pergerakan dan krepitasi. Fraktur kondilar seirng bersama-sama dengan fraktur
suprakondilar
3) Fraktur batang humerus
4) Fraktur kolum humerus
E. Patofisiologi
Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekeuatan dan gaya pegas untuk
menahan tekanan (Apley, A. Graham, 1993). Tapi apabila tekanan eksternal yang datang lebih
besar dari yang dapat diserap tulang, maka terjadilah trauma pada tulang yang mengakibatkan
rusaknya atau terputusnya kontinuitas tulang (Carpnito, Lynda Juall, 1995). Setelah terjadi
fraktur, periosteum dan pembuluh darah serta saraf dalam korteks, marrow, dan jaringan
lunak yang membungkus tulang rusak. Perdarahan terjadi karena kerusakan tersebut dan
terbentuklah hematoma di rongga medula tulang. Jaringan tulang segera berdekatan ke bagian
tulang yang patah. Jaringan yang mengalami nekrosis ini menstimulasi terjadinya respon
inflamasi yang ditandai denagn vasodilatasi, eksudasi plasma dan leukosit, dan infiltrasi sel
darah putih. Kejadian inilah yang merupakan dasar dari proses penyembuhan tulang nantinya
(Black, J.M, et al, 1993)
Faktor-faktor yang mempengaruhi fraktur
1) Faktor Ekstrinsik
Adanya tekanan dari luar yang bereaksi pada tulang yang tergantung terhadap besar,
waktu, dan arah tekanan yang dapat menyebabkan fraktur.
2) Faktor Intrinsik
Beberapa sifat yang terpenting dari tulang yang menentukan daya tahan untuk
timbulnya fraktur seperti kapasitas absorbsi dari tekanan, elastisitas, kelelahan, dan
kepadatan atau kekerasan tulang ( Ignatavicius, Donna D, 1995 )

Biologi penyembuhan tulang


Tulang bisa beregenerasi sama seperti jaringan tubuh yang lain. Fraktur merangsang
tubuh untuk menyembuhkan tulang yang patah dengan jalan membentuk tulang baru diantara
ujung patahan tulang. Tulang baru dibentuk oleh aktivitas sel-sel tulang. Ada lima stadium
penyembuhan tulang, yaitu:
1) Stadium Satu-Pembentukan Hematoma
Pembuluh darah robek dan terbentuk hematoma disekitar daerah fraktur. Sel-sel darah
membentuk fibrin guna melindungi tulang yang rusak dan sebagai tempat tumbuhnya
kapiler baru dan fibroblast. Stadium ini berlangsung 24 48 jam dan perdarahan
berhenti sama sekali.
2) Stadium Dua-Proliferasi Seluler
Pada stadium initerjadi proliferasi dan differensiasi sel menjadi fibro kartilago yang
berasal dari periosteum,`endosteum, dan bone marrow yang telah mengalami trauma.
Sel-sel yang mengalami proliferasi ini terus masuk ke dalam lapisan yang lebih dalam
dan disanalah osteoblast beregenerasi dan terjadi proses osteogenesis. Dalam
beberapa hari terbentuklah tulang baru yang menggabungkan kedua fragmen tulang
yang patah. Fase ini berlangsung selama 8 jam setelah fraktur sampai selesai,
tergantung frakturnya.
3) Stadium Tiga-Pembentukan Kallus

Selsel yang berkembang memiliki potensi yang kondrogenik dan osteogenik, bila
diberikan keadaan yang tepat, sel itu akan mulai membentuk tulang dan juga
kartilago. Populasi sel ini dipengaruhi oleh kegiatan osteoblast dan osteoklast mulai
berfungsi dengan mengabsorbsi sel-sel tulang yang mati. Massa sel yang tebal dengan
tulang yang imatur dan kartilago, membentuk kallus atau bebat pada permukaan
endosteal dan periosteal. Sementara tulang yang imatur (anyaman tulang ) menjadi
lebih padat sehingga gerakan pada tempat fraktur berkurang pada 4 minggu setelah
fraktur menyatu.
4) Stadium Empat-Konsolidasi
Bila aktivitas osteoclast dan osteoblast berlanjut, anyaman tulang berubah menjadi
lamellar. Sistem ini sekarang cukup kaku dan memungkinkan osteoclast menerobos
melalui reruntuhan pada garis fraktur, dan tepat dibelakangnya osteoclast mengisi
celah-celah yang tersisa diantara fragmen dengan tulang yang baru. Ini adalah proses
yang lambat dan mungkin perlu beberapa bulan sebelum tulang kuat untuk membawa
beban yang normal.
5) Stadium Lima-Remodelling
Fraktur telah dijembatani oleh suatu manset tulang yang padat. Selama beberapa
bulan atau tahun, pengelasan kasar ini dibentuk ulang oleh proses resorbsi dan
pembentukan tulang yang terus-menerus. Lamellae yang lebih tebal diletidakkan pada
tempat yang tekanannya lebih tinggi, dinding yang tidak dikehendaki dibuang, rongga
sumsum dibentuk, dan akhirnya dibentuk struktur yang mirip dengan normalnya.
(Black, J.M, et al, 1993 dan Apley, A.Graham,1993)
F. Manifestasi Klinis
1) Deformitas.
2) Bengkak atau penumpukan cairan/daerah karena kerusakan pembuluh darah.
3) Echimiosis.
4) Spasme otot karena kontraksi involunter di sekitar fraktur.
5) Nyeri, karena kerusakan jaringan dan perubahan fraktur yang meningkat karena
penekanan sisi-sisi fraktur dan pergerakan bagian fraktur.
6) Kurangnya sensasi yang dapat terjadi karena adanya gangguan saraf, di mana saraf ini
dapat terjepit atau terputus oleh fragmen tulang.
7) Hilangnya atau berkurangnya fungsi normal karena ketidakstabilan tulang, nyeri atau
spasme otot.
8) Pergerakan abnormal (menurunnya rentang gerak).
9) Krepitasi yang dapat dirasakan atau didengar bila fraktur digerakkan.
10) Hasil foto rontgen yang abnormal.
11) Shock yang dapat disebabkan karena kehilangan darah dan rasa nyeri yang hebat.

G. Prosedur Diagnostik
1) Pemeriksaan Radiologi
Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah pencitraan menggunakan sinar
rontgen. Untuk mendapatkan gambaran tiga dimensi dari keadaan dan kedudukan tulang
yang sulit, kita memerlukan dua proyeksi, yaitu AP atau PA dan lateral.
2) Pemeriksaan Laboratorium

a. Kalsium serum dan fosfor serum meningkat pada tahap penyembuhan tulang
b. Fosfatase alkali meningkat padatulang yang rusak dan menunjukan kegiatan
osteoblastik dalam membentuk tulang.
c. Enzim otot seperti kreatinin kinase, laktat dehidrogenase (LDH-5), asparat amino
transferase (AST), dan adolase meninngkat pada tahp penyembuhan tulang.
H. Komplikasi fraktur
1) Komplikasi Awal
a. Kerusakan Arteri
Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak adanya nadi, CRT menurun,
cyanosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan dingin pada ekstrimitas yang
disebabkan oleh tindakan emergensi splinting, perubahan posisi pada yang sakit,
tindakan reduksi, dan pembedahan.
b. Kompartement Syndrom
Kompartement Syndrom merupakan komplikasi serius yang terjadi karena
terjebaknya otot, tulang, saraf, dan pembuluh darah dalam jaringan parut. Ini
disebabkan oleh oedema atau perdarahan yang menekan otot, saraf, dan pembuluh
darah. Selain itu karena tekanan dari luar seperti gips dan embebatan yang terlalu
kuat.
c. Fat Embolism Syndrom
Fat Embolism Syndrom (FES) adalah komplikasi serius yang sering terjadi pada
kasus fraktur tulang panjang. FES terjadi karena sel-sel lemak yang dihasilkan bone
marrow kuning masuk ke aliran darah dan menyebabkan tingkat oksigen dalam darah
rendah yang ditandai dengan gangguan pernafasan, tachykardi, hypertensi, tachypnea,
demam.
d. Infeksi
System pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada trauma orthopedic
infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk ke dalam. Ini biasanya terjadi pada
kasus fraktur terbuka, tapi bisa juga karena penggunaan bahan lain dalam
pembedahan seperti pin dan plat.
e. Avaskuler Nekrosis
Avaskuler Nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang rusak atau terganggu
yang bisa menyebabkan nekrosis tulang dan diawali dengan adanya Volkmans
Ischemia.
f. Shock
Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya permeabilitas
kapiler yang bisa menyebabkan menurunnya oksigenasi. Ini biasanya terjadi pada
fraktur.
2) Komplikasi Dalam Waktu Lama
a. Delayed Union
Delayed Union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai dengan waktu
yang dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini disebabkan karenn\a penurunan supai
darah ke tulang.
b. Nonunion

Nonunion merupakan kegagalan fraktur berkkonsolidasi dan memproduksi


sambungan yang lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9 bulan. Nonunion ditandai
dengan adanya pergerakan yang berlebih pada sisi fraktur yang membentuk sendi
palsu atau pseudoarthrosis. Ini juga disebabkan karena aliran darah yang kurang.
c. Malunion
Malunion merupakan penyembuhan tulang ditandai dengan meningkatnya tingkat
kekuatan dan perubahan bentuk (deformitas). Malunion dilakukan dengan
pembedahan dan reimobilisasi yang baik.
(Black, J.M, et al, 1993)
I. Penatalaksanaan Fraktur
Yang harus diperhatikan pada waktu mengenal fraktur adalah :
1) Recognisi/pengenalan.
Di mana riwayat kecelakaannya atau riwayat terjadi fraktur harus jelas.
2) Reduksi/manipulasi.
Usaha untuk manipulasi fragmen yang patah sedapat mungkin dapat kembali seperti
letak asalnya.
3) Retensi/memperhatikan reduksi
Merupakan suatu upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen
4) Traksi
Suatu proses yang menggunakan kekuatan tarikan pada bagian tubuh dengan
memakai katrol dan tahanan beban untuk menyokong tulang.
5) Gips
Suatu teknik untuk mengimobilisasi bagian tubuh tertentu dalam bentuk tertentu
dengan mempergunakan alat tertentu.
6) Operation/pembedahan
Saat ini metode yang paling menguntungkan, mungkin dengan pembedahan. Metode
ini disebut fiksasi interna dan reduksi terbuka. Dengan tindakan operasi tersebut,
maka fraktur akan direposisi kedudukan normal, sesudah itu direduksi dengan
menggunakan orthopedi yang sesuai

KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN


A. Pengkajian
Anamnesis. Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam proses keperawatan .
Keberhasilan proses keperawatan sangat bergantung pada tahap ini.
1) Identitas klien, meliputi nama, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, asuransi,
golongan darah, nomor registrasi, tanggal dan jam masuk rumah sakit (MRS) dan
diagnose medis.
2) Pada umumnya, keluhan utama pada kasus fraktur humerus adalah nyeri yang bersifat
menusuk. Untuk memperoleh pengkajian yang lengkap mengenai nyeri klien, perawat
dapat menggunakan metode PQRST.
Provoking Incedent : Hal yang menjadi faktor presipitas nyeri adalah trauma pada
lengan atas.
Quality Of Plain: Klien yang merasakan nyeri yang menusuk.

Region, Radiation, Relief: Nyeri terjadi dilengan atas. Nyeri dapat redah dengan
imobilitas atau istirahat. Nyeri tidak dapat menjalar atau menyebar.
Severity (Scale) of Plain: secara subjektif, klien merasakan nyeri dengan skala 2-4
pada rentang 0-4.
Time : Berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah buruk pada
malam hari atau siang hari.
3) Riwayat penyakit sekarang. pengumpaln data dilakukan untuk menentukan penyebab
fraktur yang nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan terhadap klien.
Pengkajian yang di dapat adalah adanya riwayat trauma pada lengan. klien datang
dengan lengan yang sakit tergantung tidak berdaya pada sis tubuh dan di sangga oleh
lengan yang sehat.
4) Riwayat penyakit dahulu. pada pengkajian ini, perawat dapat menemukan
kemungkinan penyebab fraktur dan mendapat petunjuk berapa lama tulang tersebut
akan menyambung. Penyakit- penyakit tertentu, seperti kanker tulang dan penyakit
paget, menyebabkan fanktor patologis sehingga tulang sulit menyambung.
5) Riwayat penyakit keluarga. penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit
tulang merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti diabetes,
osteoporosis yang terjadi pada beberapa keturunan, dan kanker tulang yang cenderung
diturunkan secara genetik.
6) Riwayat penyakit psikososial spiritual. kaji respon emosi klien terhadap penyakit
yang dideritanya, peran klien dalam keluarga dan masyarakat , serta respon atau
pengaruhnya dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam keluarga maupun dalamk
masyarakat. Dalam tahap pengkajian, perawat juga perlu mengetahui pola-pola fungsi
kesehatan sebagai berikut.
7) Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat. Pada kasus fraktur, klien biasanya merasa
takut akan mengalami kecacatan pada dirinya. Oleh karena itu, klien harus
menjalanin penatalaksanaan kesehatan untuk membantu penyembuhan tulangnya.
Selain itu, juga dilaksanakan pengkajian yang meliputi kebiasaan hidup klien, seperti
penggunaan obat steroid yang dapat menganggu metabolisme kalsium,
pengonsumsian alcohol yang dapat menganggu keseimbangan klien, dan apakah klien
melakukan olahgara atau tidak.
8) Pola hubungan dan peran. Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan
masyarakat karena klien harus menjalani rawat inap.
9) Pola persepsi dan konsep diri. Dampak yang timbul pada klien fraktur adalah
timbulnya ketakutan akan kecacatan akibat fraktur, rasa cemas, rasa ketidakmampuan
untuk melakukan aktivitas secara optimal, dan gangguan citra diri.
10) Pola sensori dan kognitif. Pada klien fraktur, daya rabanya berkurang terutama pada
bagian distal fraktur, sedangkan pada indra yang lain dan kognitifnya tidak
mengalami gangguan. Selain itu, juga timbul nyeri akibat fraktur.
11) Pola penanggulangan stres. Pada klien fraktur timbul rasa cemas akan keadaan
dirinya, yaitu ketakutan timbul kecacatan pada diri dan fungsi tubuhnya. Mekanisme
koping yang ditembuh klien dapat tidak efektif.
12) Pola tata nilai dan keyakinan. klien fraktur tidak dapat melaksanakan ibadah dengan
baik, terutama frekuensi dan konsentrasi dalam beribadah. Hal ini dapat disebabkan
oleh nyeri dan keterbatasan gerak klien.

Pemeriksaan Fisik. ada dua macam pemeriksaan fisik yaitu pemeriksaan umum (status
general) untuk mendapatkan gambaran umum dan pemeriksaan setempat (local).
1) Keadaan umum : keadaan baik dan buruknya klien. tanda tanda yang perlu dicatat
adalah sebagai berikut.
Kesadaran klien : Apatis, spoor, koma, gelisa, compos mentis yang bergantung pada
keadaan klien.
Kesakitan, Keadaan penyakit : akut, kronis, ringan, sedang, berat dan pada kasus
frakltur biasanya akut.
Tanda- tanda vital tidak normal karena ada ganguan local, baik fungsi maupun bentuk.
2) B1 (Breating). Pada pemeriksaan sistem pernapasan , didapatkan bahwa klien fraktur
humerus tidak mengalami kelainan pernapasan. Pada palpasi toraks, didapatkan
taktilfremitus seimbang kanan dan kiri. Pada auskultasi, tidak ditemukan suara napas
tambahan.
3) B2 ( Blood). Inspeksi tidak ada iktus jantung, pada palpasi : Nadi mengkat, iktus tidak
teraba, Auskultasi : suara S1 dan S2 tunggal, tidak ada mur-mur.
4) B3 ( Brain)
a. Tingkat kesadaran biasanya komposmentis.
Kepala: Tidak ada gangguan, yaitu normosefalik, simetris, tidak ada penonjolan,
tidak ada sakit kepala.
Leher : Tidak ada gangguan, yaitu simetris, tidak ada penonjolan, reflex menelan
ada.
Wajah: Wajah terlihat menahan sakit dan tidak ada perubahan fungsi dan bentuk,
Wajah simetris, tidak ada lesi dan edema.
Mata: Tidak ada gangguan, seperti konjungtiva tidak anemis (karena tidak terjadi
pendarahan).
Telinga: Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak ada lesi atau
nyeri tekan.
Hidung: Tidak ada deformitas, tidak ada pernapasan cuping hidung.
Mulut dan Faring:Tidak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan,
mukosa mulut tidak pucat.
b. Pemeriksaan fungsi serebral. Status mental: observasi penampilan dan tingkah laku
klien. Biasanya tidak mengalami perubahan
5) B4 (Bladder). Kaji keadaan urine yang meliputiwarna, jumlah dan karakteristik urine,
termasuk berat jenis urine. Biasanya klien pada fraktur humerus tiidak mengalami
kelainan pada sistem ini.
6) B5 (Bowel) Inspeksi abdoen : Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia. Palpasi : Turgor
baik, tidak ada defans muscular dan hepar tidak terabah. Perkusi : Suara timpani, ada
pantulan gelombang cairan. Auskultasi : Peristaltik usus nomal
20 kali/menit.
Inguinal genitalia anus : Tidak ada hernia, tidak ada pembesaran limfe.
Pola nutrisi dan metabolism. Klien fraktur harus mengonsumsi nutrisi melebihi
kebutuhan sehari-harinya, seperti kalsium, zat besi, protein, vitamin C, dan lainnya
untuk membantu proses penyembuhan tulang. Evaluasi terhadap pola nutrisi klien
dapat membantu menentukan penyebab masalah musculoskeletal dan mengantisipasi

komplikasi dari nutrisi yang tidak adekuat terutama kalsium dan protein. kurangnya
paparan sinar matahari merupakan faktor predisposisi masalah musculoskeletal
terutama pada lansia. Selain itu, obesitas juga menghambat degenerasi dan mobilitas
klien.
Pola eliminasi. Klien fraktur humerus tidak mengalami gangguan pola eliminasi,
tetapi perlu juga dikaji frekuensi, kosistensi, warna, dan bau feses pada pola eliminasi
alvi. Pada pola eliminasi urine dikaji frekuensi, kepekatan, warna, bau, dan
jumlahnya. Pada kedua pola tersebut juga dikaji adanya kesulitan atau tidak.
7) B6 (Bone). Adanya fraktur pada humerus akan menganggu secara lokal, baik fungsi
motorik, sensorik, maupun peredaran darah.
Look. Pada sistem integumenterdapat eritema, suhu disekitar daerah trauma
meningkat, bengkak, edema, dan nyeri tekan. Perhatikan adanya pembengkakan yang
tidak biasa (abnormal). Perhatikan adanya sindrom kompartemen pada lengan bagian
distal fraktur humerus. Apabila terjadi fraktur terbuka, ada tanda-tanda trauma
jaringan lunak sampai kerusakan intergritas kulit. Fraktur oblik, spiral, dan bergeser
mengakibatkan pemendekan batang humerus. kaji adanya tanda-tanda cedera dan
kemungkinan keterlibatan berkas neurovascular (saraf dan pembuluh darah) lengan,
seperti bengkak/edema.Lumpuh pergelangan tangan merupakan petunjuk adanya
cedera saraf radialis. Pengkajian neurovascular awal sangat penting untuk
membedakan antara trauma akibat cedera dan komplikasi akibat penanganan. Klien
tidak mampu menggerakan lengan dan kekuatan otot lengan menurun dalam
melakukan pergerakan. Pada keadaan tertentu, klien fraktur humerus sering
mengalami sindrom kompartemen pada fase awal setelah patah tulang. Perawat perlu
mengkaji apakah ada pembengkakan pada lengan atas menganggu sirkulasi darah
kebagian bawahnya. Otot, lemak, saraf, dan pembuluh darah terjebak dalam sindrom
kompartemen sehingga memerlukan perhatian perawat secara serius agar organ di
bawah lengan atas tidak menjadi nekrosis. Tanda khas sindrom kompartemen pada
fraktur humerus adalah perfusi yang tidak baik pada bagian distal, seperti jari-jari
tangan, lengan bawah pada sisi fraktur bengkak, adanya keluhan nyeri pada lengan,
dan timbul bula yang banyak menyelimuti bagian bawah fraktur humerus.
Feel. Kaji adanya nyeri tekan (tenderness) dan krepitasi pada daerah lengan atas.
Move. Setelah dilakukan pemeriksaan feel, pemeriksaan dilanjutkan dengan
menggerakkan ekstermitas, kemudian perawat mencatat apakah ada keluhan nyeri
pada pergerakan. Pencatatan rentang gerak ini perlu dilakukan agar dapat
mengevaluasi keadaan sebelum dan sesudahnya. Gerakan sendi dicatat dengan ukuran
derajat, dari tiap arah pergerakan dimulai dari titik 0 (posisi netral), atau dalam ukuran
metrik. Pemeriksaan ini menentukan apakah ada gangguan gerak (mobilitas) atau
tidak. Pergerakan yang dilihat adalah gerakan aktif dan pasif. Hasil pemeriksaan yang
didapat adalah adanya gangguan/ keterbatasan gerak lengan dan bahu.Pada waktu
akan palpasi, posisi klien diperbaiki mulai dari posisi netral (posisi anatomi). pada
dasarnya, hal ini merupakan pemeriksaan yang memberikan informasi dua arah baik
pemeriksa maupun klien.
8) Pola aktivitas. Karena timbul nyeri, gerak menjadi terbatas. semua bentuk aktivitas klien
menjadi berkurang dan klien memerlukan banyak bantuanorang lain. hal lain yang perlu

dikaji adalah bentuk aktivitas klien, terutama pekerjaan klien karena beberapa pekerjaan
berisiko terjadinya fraktur.
9) Pola tidur dan istirahat. Semua klien fraktur merasakan nyeri dan geraknya terbatas
sehingga dapat menganggu pola dan kebutuhan tidur klien. selain itu, dilakukan
pengkajian lamanya tidur, suasana lingkungan, kebiasaan tidur, kesulitan tidur, dan
penggunaan obat tidur.
B. Diagnosa Keperawatan
1) Nyeri akut yang berhubungan dengan pergerakan fragmen tulang, kompresi saraf,
cedera neuromuscular, trauma jaringan, dan reflex spasme otot sekunder.
2) Hambatan mobilitas fisik yang berhubungan dengan diskontinuitas jaringan tulang,
nyeri sekunder akibat pergerakan fragmen tulang.
3) Risiko tinggi infeksi yang berhubungan dengan adanya port de entre luka operasi pada
lengan atas.
4) Deficit perawatan diri berhubungan dengan kelemahan neuromuscular dan penurunan
kekuatan lengan atas.
5) Ansietas berhubungan dengan krisis situasional, akan menjalani operasi, status
ekonomi, dan perubahan fungsi peran.
C. Rencana Keperawatan
1) Dx: Nyeri akut yang berhubungan dengan pergerakan fragmen tulang, kompresi saraf,
cedera neuromuscular, trauma jaringan, dan reflex spasme otot sekunder.
Tujuan
: nyeri berkurang, hilang, atau teratasi
Kriteria hasil
: secara subjektif, klien melaporkan nyeri berkurang atau dapat diatasi,
mengidentifikasi aktivitas yang meningkatkan atau mengurangi nyeri.
Klien tidak gelisah. Skalanyeri 0-1 atau teratasi.
Intervensi:
Kaji nyeri denganskala 0-4.
Rasional: nyeri merupakan respon subjektif yang dapat dikaji dengan menggunakan
skala nyeri. Klien melaporkan nyeri biasanya di atas tingkat cidera.
Atur posisi imobilisasi pada lengan atas.
Rasional: imobilisasi yang adekuat dapat mengurangi pergerakan fragmen tulang yang
menjadi unsure utama penyebab nyeri pada lengan atas.
Bantu klien dalam mengidentifikasi factor pencetus.
Rasional: nyeri dipengaruhi oleh kecemasan, ketegangan, suhu, distensi kandung
kemih, dan berbaring lama.
Jelaskan dan bantu klien terkait dengan tindakan pereda nyeri nonfarmakologi dan
noninvasife.
Rasional: pendekatan dengan menggunakan relaksasi dan nonfarmakologi lainnya
efektif dalam mengurangi nyeri.
Ajarkan relaksasi: tenik untuk menurunkan ketegangan otot rangka yang dapat
mengurangi intensitas nyeri. Tingkatkan relaksasi masase.
Rasional:teknik ini akan melancarkan peredaran darah sehingga O2 padajaringan
terpenuhi dan nyeri berkurang.
Ajarkan metode distraksi selama nyeri akut.

Rasional: mengalihkan perhatian klien terhadap nyeri ke hal-hal yang menyenakan.


Berikan kesempatan waktu istirahat bila terasa nyeri dan berikan posisi yang nyaman,
misalnya waktu tidur, belakang tubuh klien dipasang bantal kecil.
Rasional: istirahat merelaksasi semua jaringan sehingga semua akan meningkatkan
kenyamanan.
Tingkatkan pengetahuan tentang sebab-sebab nyeri dan hubungkan dengan berapa
lama nyeri akan berlangsung.
Rasional: pengetahuan tentang sebab-sebab nyeri membantu mengurangi nyeri. Hal
ini dapat membantu meningkatkan kepatuhan klien terhadap rencana teraupetik.
Pantau keadaan pemasangan gips.
Rasional: gips harus tergantung (dibiarkan tergantung bebas tanpa disangga) karena
berat gips dapat digunakan sebagai traksi terus-menerus pada aksis panjang lengan.
Klien dinasihati untuk tidur dalam posisi tegak sehingga traksi dari berat gips dapat
dipertahankan secara konstan.
Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian analgesic.
Rasional: analgesic memblok lintasan nyeri sehingga nyeri akan berkurang.

2) Dx: Hambatan mobilitas fisik yang berhubungan dengan diskontinuitas jaringan tulang,
nyeri sekunder akibat pergerakan fragmen tulang.
Tujuan
: klien mampu melaksanakan aktivitas fisik sesuai dengan kemampuannya.
Kriteria hasil : klien dapat ikut seta dalam program latihan, tidak mengalami kontraktur
sendi, kekuatan otot bertambah, dan klien menunjukan tindakan untuk
meningkatkan mobilitas.
Intervensi:
Kaji mobilitas yang ada dan observasi adanya peningkatan kerusakan. Kaji secara
teratur fungsi motorik.
Rasional: mengetahui tingkat kemampuan klien dalam melakukan aktivitas.
Atur posisi imobilisasi pada lengan atas.
Rasional :imobilisasi yang adekuat dapat mengurangi pergerakan fragmen tulang yang
menjadi unsure utama penyebab nyeri pada lengan atas.
Ajarkan klien melakukan latihan gerak aktif pada ekstermitas yang tidak sakit.
Rasional: gerakan aktif memberikan massa, tonus, dan kekuatan otot, serta
memperbaiki fungsi jantung dan pernapasan.
Bantu klien melakukan ROM dan perawatan diri sesuai toleransi.
Rasional: untuk mempertahankan fleksibilitas sendi sesuai kemampuan.
Kolaborasi dengan ahli fisioterapi untuk melatih fisik klien.
Rasional: kemampuan mobilisasi ekstremitas dapat ditingkatkan dengan latihan fisik
dan tim fisisoterapi.
3) Dx: Risiko tinggi infeksi yang berhubungan dengan adanya port de entre luka operasi
pada lengan atas.
Tujuan
: infeksi tidak terjadi selama perawatan.
Kriteria hasil : klien mengenal factor risiko, mengenal tindakan pencegahan/mengurangi
factor risiko infeksi, dan menunjukan/mendemonstrasikan teknik-teknik
untuk meningkatkan lingkungan yang aman.

Intervensi:
Kaji dan monitor luka operasi setiap hari.
Rasional :mendeteksi secara dini gejala-gejala inflamasi yang mungkin timbul secara
sekunder akibat adanya luka pasca operasi.
Lakukan perawatan luka secara steril.
Rasional: teknik perawatan luka secara steril dapat mengurangi kontaminasi kuman.
Pantau/batasi kunjungan.
Rasional :mengurangi risiko kontak infeksi dari orang lain.
Bantu perawatan diri dan keterbatasan aktivitas sesuai toleransi. Bantu program
latihan.
Rasional: menunjukan kemampuan secara umum, kekuatan otot, dan merangsang
pengembalian system imun.
Berikan antibiotic sesuai indikasi.
Rasional: satu atau beberapa agens diberikan yang bergantung pada sifat pathogen dan
infeksi yang terjadi.
4) Dx: Risiko cedera berhubungan dengan hambatan mobilitas fisik
Tujuan
: cedera tidak terjadi
Criteria hasil : klien mau berpartisipasi dalam mencegah cedera
Intervensi:
Pertahankan imobilisasi pada lengan atas
R: meminimalkan rangsang nyeri akibat gesekan antara fragmen tulanng dan jaringan
lunak sekitarnya
Bila klien menggunakan gips, pantau adanya penekanan setempat dan sirkkullasi
perifer
R: Mendeteksi adanya sindrom kompartemen dan menilai secara dini adanya
gangguan sirkulasi pada bagian distal lengan atas
Bila terpasang bebat, sokong fraktur dengan bantal atau gulungan selimut agar posisi
tetap netral
R: mencegah perubahan posisi dengan tetap mempertahankan kenyamanan dan
keamanan
Evaluasi bebat terhadap resolusi edema
R: bila fase edema telah lewat kemungkinan bebat menjadi longgar dapat terjadi
Evaluasi tanda/gejalah perluasan cedera jaringan (peradangan local/sistemik, seperti
peningkatan nyeri, edema, dan demam)
R: menilai perkembangan masalah klien
5) Dx: Deficit perawatan diri berhubungan dengan kelemahan neuromuscular dan penurunan
kekuatan lengan atas.
Tujuan
: perawatan diri klien dapat terpenuhi
Criteria Hasil : klien dapat menunjukan perubahan gaya hidup untuk kebutuhan
merawat diri, mampu melakukan aktivitas perawatan diri sesuai dengan
tingkat kemampuan, dan mengidentifikasi individu yang dapat
memmbantu
Intervensi:

Kaji kemampuan dan tingkat penurunan dalam skala 0-4 untuk melakukan ADL.
R: memantau dalam mengantisipasi dan merencanakan pertemuan untuk kebutuhan
individual.
Hindari apa yang tidak dapat dilakukan klien dan bantu bila perlu.
R: hal ini dilakukan untuk mencegah frustasi dan menjaga harga diri klien karena
klien dalam keadaan cemas dan membutuhkan bantuan orang lain.
Ajak klien untuk berpikir positif terhadap kelemahan yang dimilikinya. Berikan klien
motivasi dan izinkan ia melakukan tugas, kemudianb beri umpan balik positif atas
uasaha yang telah dilakukan.
R: klien memerlukan empati dan perawatan yang konsisten. Intervensi tersebut dapat
meningkatkan harga diri, memandirikan klien, dan menganjurkan klien untuk terus
mencoba.
Rencanakan tindakan untuk mengurangi pergerakan pada sisi lengan yang sakit,
seperti tempatkan makanan dan peralatan dalam suatu tempat yang belawanan
dengan sisi yang sakit.
R: klien akan lebih mudah mengambil peralatan yang diperlukan karena lebih dekat
dengan lengan yang sehat.
Identifikasi kebiasaan BAB. Ajurkan minum dan tingkatkann latiahan.
R: meningkatkan latihan dapat mencegah konstipasi.

6) Dx: Ansietas berhubungan dengan krisis situasional, akan menjalani operasi, status
ekonomi, dan perubahan fungsi peran.
Tujuan
: Ansietas hilang atau berkurang.
Criteria hasil : klien mengenal perasaannya, dapat mengidentifikasi penyebab atau factor
yang mempengaruhi, dan menyatakan ansietasnya berkurang.
Intervensi:
Kaji tanda verbal dan nonverbal ansietas. Dampingi klien dan lakukan tindakan bila
klien menunjukan perilaku merusak
R: reaksi verbal/nonverbal dapat menunjukan rasa agitasi, marah dan gelisa.
Hindari konfrontasi.
R: konfrontasi dapat meningkatkan rasa marah, menurunkan kerja sama, dan mungkin
memperlambat penyembuhan.
Mulai lakukan tindakan untuk mengurangi ansietas. Beri lingkungan yang tenang dan
suasana penuh istirahat.
R: mengurangi rangsangan eksternal yang tidak perlu.
Tingkatkan control sensasi klien.
R: control sensasi klien (dalam mengurangi ketakutan) denga cara membberikan
informasi tentang keadaan klien, menekankann penghargaan terhadap sumber-sumber
koping (pertahanan diri) yang positif, membantu latihan relaksasi dan teknik-teknik
pengalihan, serta memberikan umpan balik yang positif.
Orientasikan klien terhadap tahap-tahap prosedur operasi dan aktivitas yang
diharapkan.
R: orientasi terhadap prosedur operasi dapat mengurangi ansietas.
Beri kesempatan klen mengungkapkan ansietasnya

R: dapat menghilangkann ketegangan terhadap kekhawatiran yang tidak


diekspresikan.
Berikan privasi kepada klien dengan orang terdekat.
R: memberi waktu untuk mengekspresikan perasaan, menghilangkan ansietas, dan
perillaku adaptasi. Adanya keluarga dan teman-teman yang dipilih klien untuk
melakukan aktivitas pengalihan perhatian akan mengurangi perasaan terisolasi

DAFTAR PUSTAKA
Apley, A. Graham , Buku Ajar Ortopedi dan Fraktur Sistem Apley, Widya Medika, Jakarta,
1995.
Carpenito (2000), Diagnosa Keperawatan-Aplikasi pada Praktik Klinis, Ed. 6, EGC, Jakarta
Doenges at al (2000), Rencana Asuhan Keperawatan, Ed.3, EGC, Jakarta
Dudley (1992), Ilmu Bedah Gawat Darurat, Edisi 11, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.
Dunphy & Botsford (1985), Pemeriksaan Fisik Bedah, Yayasan Essentia Medica, Jakarta.
Buku saku Diagnosis Keperawatan Definisi dan Klasifikasi 2012-2014 NANDA
International
Judith M. Wilkinson, Nancy R. Ahern. 2012, Buku Saku Diagnosis Keperawatan: Diagnosis
NANDA, Intervensi NIC, Kriteria Hasil NOC (Edisi 9). Jakarta: ECG

Anda mungkin juga menyukai