Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Tulang merupakan alat penopang dan sebagai pelindung pada tubuh. Tanpa tulang tubuh
tidak akan tegak berdiri. Fungsi tulang dapat diklasifikasikan sebagai aspek mekanikal maupun
aspek fisiologikal. Dari aspek mekanikal, tulang membina rangka tubuh badan dan memberikan
sokongan yang kokoh terhadap tubuh. Sedangkan dari dari aspek fisiologikal tulang melindungi
organ-organ dalam seperti jantung, paru-paru dan lainnya. Tulang juga menghasilkan sel darah
merah, sel darah putih dan plasma. Selain itu tulang sebagai tempat penyimpanan kalsium,
fosfat, dan garam magnesium. Namun karena tulang bersifat relatif rapuh, pada keadaan tertentu
tulang dapat mengalami patah, sehingga menyebabkan gangguan fungsi tulang terutama pada
pergerakan.
B. TUJUAN
Untuk mengetahui bagaimana konsep medis dan asuhan keperawatan pada klien dengan
fraktur humerus

BAB II
PEMBAHASAN
A. KONSEP DASAR MEDIS
1. Pengertian
Adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa
(Mansjoer, Arif, et al, 2000). Sedangkan menurut Linda Juall C. dalam buku Nursing Care Plans
and Dokumentation menyebutkan bahwa Fraktur adalah rusaknya kontinuitas tulang yang
disebabkan tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap oleh tulang.
Pernyataan ini sama yang diterangkan dalam buku Luckman and Sorensens Medical Surgical
Nursing.
Patah tulang humerus adalah diskontinuitas atau hilangnya struktur tulang humerus
(Chairudin Rasjad, 1998).
2. Etiologi

Fraktur terjadi ketika tekanan yang menimpa tulang lebih besar daripada daya tahan tulang,
seperti benturan dan cedera.
Fraktur terjadi karena tulang yang sakit, ini dinamakan fraktur patologi yaitu kelemahan tulang
akibat penyakit kanker atau osteoporosis. (Menurut Barbara C. Long, 1989, hal : 297).
3. Klasifikasi patah tulang/fraktur
(Prof. Chaeruddin Rasjad, Ph.D. Fraktur dan Dislokasi. 1995. FKUH)
a. Berdasarkan hubungan dengan dunia luar.
1) Closed frakture (fraktur tertutup).
Fraktur yang tidak menyebabkan luka terbuka pada kulit.
2) Compound fracture (fraktur terbuka).
Adanya hubungan antara fragmen tulang yang patah dengan dunia luar.
b. Berdasarkan jenisnya
1) Fraktur komplit
Garis fraktur mengenai seluruh korteks tulang.
2) Fraktur tidak komplit
Garis fraktur tidak mengenai seluruh korteks.
c. Berdasarkan garis fraktur
1) Fraktur transversa.
Garis fraktur memotong secara transversal. Sumbu longitudinal.
2) Fraktur obliq.
Garis fraktur memotong secara miring sumbu longitudinal.
3) Fraktur spiral.
Garis fraktur berbentuk spiral.
4) Fraktur butterfly.
Bagian tengah dari fragmen tulang tajam dan melebar ke samping.
5) Fraktur impacted (kompresi)
Kerusakan tulang disebabkan oleh gaya tekanan searah sumbu tulang.
6) Fraktur avulsi.
Lepasnya fragmen tulang akibat tarikan yang kuat dari ligamen.
d. Berdasarkan jumlah garis patah.
1) Fraktur kominutif
Fragmen fraktur lebih dari dua.
2) Fraktur segmental
Pada satu korpus tulang terdapat beberapa fragmen fraktur yang besar.
3) Fraktur multiple
Terdapat 2 atau lebih fraktur pada tulang yang berbeda.
4. Macam-macam fraktur humerus
Macam-macam patah tulang humerus adalah sebagai berikut.
a. Fraktur suprakondilar humeri (transkondilar). Merupakan fraktur yang sangat sering terjadi pada
anak-anak setelah fraktur antebraki. Dua tipe fraktur suprakondilar humeri berdasarkan
pergeseran fragmen distal adalah sebagai berikut.

1) Tipe posterior ( tipe ekstensi). Merupakan 99% dari seluruh jenis fraktur suprakondilar humeri.
Pada tipe ini fragmen distal bergeser kearah posterior. Tipe ekstensi terjadi apabila klien
mengalami trauma saat siku dalam posisi hiperekstensi atau sedikit fleksi serta pergelangan
tangan dalam posisi dorsofleksi.
2) Tipe anterior (tipe fleksi). Hanya merupakan 1-2% dari seluruh fraktur suprakondilar humeri.
Tipe fleksi terjadi apabila klien jatuh dan mengalami trauma langsung sendi siku pada humerus
distal.
b. Fraktur interkondilar humeri. Bagian kondilus humerus sering juga mengalami fraktur akibat
suatu trauma. Gambaran klinisnya adalah nyeri, pembengkakan, dan perdarahan subkutan pada
daerah sendi siku. Pada daerah tersebut ditemukan nyeri tekan, gangguan pergerakan dan
krepitasi. Fraktur kondilar seirng bersama-sama dengan fraktur suprakondilar
c. Fraktur batang humerus
d. Fraktur kolum humerus
5. Patofisiologi
Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekeuatan dan gaya pegas untuk menahan
tekanan (Apley, A. Graham, 1993). Tapi apabila tekanan eksternal yang datang lebih besar dari
yang dapat diserap tulang, maka terjadilah trauma pada tulang yang mengakibatkan rusaknya
atau terputusnya kontinuitas tulang (Carpnito, Lynda Juall, 1995). Setelah terjadi fraktur,
periosteum dan pembuluh darah serta saraf dalam korteks, marrow, dan jaringan lunak yang
membungkus tulang rusak. Perdarahan terjadi karena kerusakan tersebut dan terbentuklah
hematoma di rongga medula tulang. Jaringan tulang segera berdekatan ke bagian tulang yang
patah. Jaringan yang mengalami nekrosis ini menstimulasi terjadinya respon inflamasi yang
ditandai denagn vasodilatasi, eksudasi plasma dan leukosit, dan infiltrasi sel darah putih.
Kejadian inilah yang merupakan dasar dari proses penyembuhan tulang nantinya (Black, J.M, et
al, 1993)
a. Faktor-faktor yang mempengaruhi fraktur
1) Faktor Ekstrinsik
Adanya tekanan dari luar yang bereaksi pada tulang yang tergantung terhadap besar, waktu,
dan arah tekanan yang dapat menyebabkan fraktur.
2) Faktor Intrinsik
Beberapa sifat yang terpenting dari tulang yang menentukan daya tahan untuk timbulnya
fraktur seperti kapasitas absorbsi dari tekanan, elastisitas, kelelahan, dan kepadatan atau
kekerasan tulang.
( Ignatavicius, Donna D, 1995 )

b. Biologi penyembuhan tulang


Tulang bisa beregenerasi sama seperti jaringan tubuh yang lain. Fraktur merangsang tubuh untuk
menyembuhkan tulang yang patah dengan jalan membentuk tulang baru diantara ujung patahan
tulang. Tulang baru dibentuk oleh aktivitas sel-sel tulang. Ada lima stadium penyembuhan
tulang, yaitu:
1) Stadium Satu-Pembentukan Hematoma
Pembuluh darah robek dan terbentuk hematoma disekitar daerah fraktur. Sel-sel darah
membentuk fibrin guna melindungi tulang yang rusak dan sebagai tempat tumbuhnya kapiler
baru dan fibroblast. Stadium ini berlangsung 24 48 jam dan perdarahan berhenti sama sekali.
2) Stadium Dua-Proliferasi Seluler
Pada stadium initerjadi proliferasi dan differensiasi sel menjadi fibro kartilago yang berasal
dari periosteum,`endosteum, dan bone marrow yang telah mengalami trauma. Sel-sel yang
mengalami proliferasi ini terus masuk ke dalam lapisan yang lebih dalam dan disanalah
osteoblast beregenerasi dan terjadi proses osteogenesis. Dalam beberapa hari terbentuklah tulang
baru yang menggabungkan kedua fragmen tulang yang patah. Fase ini berlangsung selama 8 jam
setelah fraktur sampai selesai, tergantung frakturnya.
3) Stadium Tiga-Pembentukan Kallus
Selsel yang berkembang memiliki potensi yang kondrogenik dan osteogenik, bila diberikan
keadaan yang tepat, sel itu akan mulai membentuk tulang dan juga kartilago. Populasi sel ini
dipengaruhi oleh kegiatan osteoblast dan osteoklast mulai berfungsi dengan mengabsorbsi sel-sel
tulang yang mati. Massa sel yang tebal dengan tulang yang imatur dan kartilago, membentuk
kallus atau bebat pada permukaan endosteal dan periosteal. Sementara tulang yang imatur
(anyaman tulang ) menjadi lebih padat sehingga gerakan pada tempat fraktur berkurang pada 4
minggu setelah fraktur menyatu.
4) Stadium Empat-Konsolidasi
Bila aktivitas osteoclast dan osteoblast berlanjut, anyaman tulang berubah menjadi lamellar.
Sistem ini sekarang cukup kaku dan memungkinkan osteoclast menerobos melalui reruntuhan
pada garis fraktur, dan tepat dibelakangnya osteoclast mengisi celah-celah yang tersisa diantara
fragmen dengan tulang yang baru. Ini adalah proses yang lambat dan mungkin perlu beberapa
bulan sebelum tulang kuat untuk membawa beban yang normal.
5) Stadium Lima-Remodelling
Fraktur telah dijembatani oleh suatu manset tulang yang padat. Selama beberapa bulan atau
tahun, pengelasan kasar ini dibentuk ulang oleh proses resorbsi dan pembentukan tulang yang
terus-menerus. Lamellae yang lebih tebal diletidakkan pada tempat yang tekanannya lebih tinggi,

dinding yang tidak dikehendaki dibuang, rongga sumsum dibentuk, dan akhirnya dibentuk
struktur yang mirip dengan normalnya.
(Black, J.M, et al, 1993 dan Apley, A.Graham,1993)
6.
a.
b.
c.
d.
e.

Manifestasi Klinis
Deformitas.
Bengkak atau penumpukan cairan/daerah karena kerusakan pembuluh darah.
Echimiosis.
Spasme otot karena kontraksi involunter di sekitar fraktur.
Nyeri, karena kerusakan jaringan dan perubahan fraktur yang meningkat karena penekanan sisi-

sisi fraktur dan pergerakan bagian fraktur.


f. Kurangnya sensasi yang dapat terjadi karena adanya gangguan saraf, di mana saraf ini dapat
terjepit atau terputus oleh fragmen tulang.
g. Hilangnya atau berkurangnya fungsi normal karena ketidakstabilan tulang, nyeri atau spasme
h.
i.
j.
k.

otot.
Pergerakan abnormal (menurunnya rentang gerak).
Krepitasi yang dapat dirasakan atau didengar bila fraktur digerakkan.
Hasil foto rontgen yang abnormal.
Shock yang dapat disebabkan karena kehilangan darah dan rasa nyeri yang hebat.

7. Prosedur Diagnostik
a. Pemeriksaan Radiologi
Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah pencitraan menggunakan sinar
rontgen. Untuk mendapatkan gambaran tiga dimensi dari keadaan dan kedudukan tulang yang
sulit, kita memerlukan dua proyeksi, yaitu AP atau PA dan lateral.
b. Pemeriksaan Laboratorium
1) Kalsium serum dan fosfor serum meningkat pada tahap penyembuhan tulang
2) Fosfatase alkali meningkat padatulang yang rusak dan menunjukan kegiatan osteoblastik dalam
membentuk tulang.
3) Enzim otot seperti kreatinin kinase, laktat dehidrogenase (LDH-5), asparat amino transferase
(AST), dan adolase meninngkat pada tahp penyembuhan tulang.
8. Komplikasi fraktur
a. Komplikasi Awal
1) Kerusakan Arteri
Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak adanya nadi, CRT menurun,
cyanosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan dingin pada ekstrimitas yang disebabkan oleh

tindakan emergensi splinting, perubahan posisi pada yang sakit, tindakan reduksi, dan
pembedahan.
2) Kompartement Syndrom
Kompartement Syndrom merupakan komplikasi serius yang terjadi karena terjebaknya otot,
tulang, saraf, dan pembuluh darah dalam jaringan parut. Ini disebabkan oleh oedema atau
perdarahan yang menekan otot, saraf, dan pembuluh darah. Selain itu karena tekanan dari luar
seperti gips dan embebatan yang terlalu kuat.
3) Fat Embolism Syndrom
Fat Embolism Syndrom (FES) adalah komplikasi serius yang sering terjadi pada kasus
fraktur tulang panjang. FES terjadi karena sel-sel lemak yang dihasilkan bone marrow kuning
masuk ke aliran darah dan menyebabkan tingkat oksigen dalam darah rendah yang ditandai
dengan gangguan pernafasan, tachykardi, hypertensi, tachypnea, demam.
4) Infeksi
System pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada trauma orthopedic
infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk ke dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus
fraktur terbuka, tapi bisa juga karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan seperti pin dan
plat.
5) Avaskuler Nekrosis
Avaskuler Nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang rusak atau terganggu yang
bisa menyebabkan nekrosis tulang dan diawali dengan adanya Volkmans Ischemia.
6) Shock
Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya permeabilitas kapiler yang
bisa menyebabkan menurunnya oksigenasi. Ini biasanya terjadi pada fraktur.
b. Komplikasi Dalam Waktu Lama
1) Delayed Union
Delayed Union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai dengan waktu yang
dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini disebabkan karenn\a penurunan supai darah ke
tulang.
2) Nonunion
Nonunion merupakan kegagalan fraktur berkkonsolidasi dan memproduksi sambungan yang
lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9 bulan. Nonunion ditandai dengan adanya pergerakan yang
berlebih pada sisi fraktur yang membentuk sendi palsu atau pseudoarthrosis. Ini juga disebabkan
karena aliran darah yang kurang.
3) Malunion
Malunion merupakan penyembuhan tulang ditandai dengan meningkatnya tingkat kekuatan
dan perubahan bentuk (deformitas). Malunion dilakukan dengan pembedahan dan reimobilisasi
yang baik.

(Black, J.M, et al, 1993)


9.

Penatalaksanaan Fraktur
Yang harus diperhatikan pada waktu mengenal fraktur adalah :
a. Recognisi/pengenalan.
Di mana riwayat kecelakaannya atau riwayat terjadi fraktur harus jelas.
b. Reduksi/manipulasi.
Usaha untuk manipulasi fragmen yang patah sedapat mungkin dapat kembali seperti letak
asalnya.
c. Retensi/memperhatikan reduksi
Merupakan suatu upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen
d. Traksi
Suatu proses yang menggunakan kekuatan tarikan pada bagian tubuh dengan memakai katrol
dan tahanan beban untuk menyokong tulang.
e. Gips
Suatu teknik untuk mengimobilisasi bagian tubuh tertentu dalam bentuk tertentu dengan
mempergunakan alat tertentu.
f. Operation/pembedahan
Saat ini metode yang paling menguntungkan, mungkin dengan pembedahan. Metode ini
disebut fiksasi interna dan reduksi terbuka. Dengan tindakan operasi tersebut, maka fraktur akan
direposisi kedudukan normal, sesudah itu direduksi dengan menggunakan orthopedi yang sesuai

B. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN


1. Pengkajian
a. Anamnesis. Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam proses keperawatan .
Keberhasilan proses keperawatan sangat bergantung pada tahap ini.
1) Identitas klien, meliputi nama, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan darah,
nomor registrasi, tanggal dan jam masuk rumah sakit (MRS) dan diagnose medis.
Pada umumnya, keluhan utama pada kasus fraktur humerus adalah nyeri yang bersifat menusuk.
Untuk memperoleh pengkajian yang lengkap mengenai nyeri klien, perawat dapat menggunakan
metode PQRST.
Provoking Incedent : Hal yang menjadi faktor presipitas nyeri adalah trauma pada lengan atas.
Quality Of Plain: Klien yang merasakan nyeri yang menusuk.
Region, Radiation, Relief: Nyeri terjadi dilengan atas. Nyeri dapat redah dengan imobilitas atau
istirahat. Nyeri tidak dapat menjalar atau menyebar.
Severity (Scale) of Plain: secara subjektif, klien merasakan nyeri dengan skala 2-4 pada rentang
0-4.

Time : Berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah buruk pada malam hari atau
siang hari.
2) Riwayat penyakit sekarang. pengumpaln data dilakukan untuk menentukan penyebab fraktur
yang nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan terhadap klien. Pengkajian yang di
dapat adalah adanya riwayat trauma pada lengan. klien datang dengan lengan yang sakit
tergantung tidak berdaya pada sis tubuh dan di sangga oleh lengan yang sehat.
3) Riwayat penyakit dahulu. pada pengkajian ini, perawat dapat menemukan kemungkinan
penyebab fraktur dan mendapat petunjuk berapa lama tulang tersebut akan menyambung.
Penyakit- penyakit tertentu, seperti kanker tulang dan penyakit paget, menyebabkan fanktor
patologis sehingga tulang sulit menyambung.
4) Riwayat penyakit keluarga. penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang
merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti diabetes, osteoporosis yang
terjadi pada beberapa keturunan, dan kanker tulang yang cenderung diturunkan secara genetik.
5) Riwayat penyakit psikososial spiritual. kaji respon emosi klien terhadap penyakit yang
dideritanya, peran klien dalam keluarga dan masyarakat , serta respon atau pengaruhnya dalam
kehidupan sehari-hari, baik dalam keluarga maupun dalamk masyarakat. Dalam tahap
pengkajian, perawat juga perlu mengetahui pola-pola fungsi kesehatan sebagai berikut.
6) Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat. Pada kasus fraktur, klien biasanya merasa takut
akan mengalami kecacatan pada dirinya. Oleh karena itu, klien harus menjalanin
penatalaksanaan kesehatan untuk membantu penyembuhan tulangnya. Selain itu, juga
dilaksanakan pengkajian yang meliputi kebiasaan hidup klien, seperti penggunaan obat steroid
yang dapat menganggu metabolisme kalsium, pengonsumsian alcohol yang dapat menganggu
keseimbangan klien, dan apakah klien melakukan olahgara atau tidak.
7) Pola hubungan dan peran. Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan masyarakat karena
klien harus menjalani rawat inap.
8) Pola persepsi dan konsep diri. Dampak yang timbul pada klien fraktur adalah timbulnya
ketakutan akan kecacatan akibat fraktur, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan
aktivitas secara optimal, dan gangguan citra diri.
9) Pola sensori dan kognitif. Pada klien fraktur, daya rabanya berkurang terutama pada bagian
distal fraktur, sedangkan pada indra yang lain dan kognitifnya tidak mengalami gangguan. Selain
itu, juga timbul nyeri akibat fraktur.
10)
Pola penanggulangan stes. Pada klien fraktur timbul rasa cemas akan keadaan dirinya,
yaitu ketakutan timbul kecacatan pada diri dan fungsi tubuhnya. Mekanisme koping yang
ditembuh klien dapat tidak efektif.
11)
Pola tata nilai dan keyakinan. klien fraktur tidak dapat melaksanakan ibadah dengan baik,
terutama frekuensi dan konsentrasi dalam beribadah. Hal ini dapat disebabkan oleh nyeri dan
keterbatasan gerak klien.
b. Pemeriksaan Fisik. ada dua macam pemeriksaan fisik yaitu pemeriksaan umum (status general)
untuk mendapatkan gambaran umum dan pemeriksaan setempat (local).
1) Keadaan umum : keadaan baik dan buruknya klien. tanda tanda yang perlu dicatat adalah
sebagai berikut.
a) Kesadaran klien : Apatis, spoor, koma, gelisa, compos mentis yang bergantung pada keadaan
klien.
b) Kesakitan, Keadaan penyakit : akut, kronis, ringan, sedang, berat dan pada kasus frakltur
biasanya akut.
c) Tanda- tanda vital tidak normal karena ada ganguan local, baik fungsi maupun bentuk.

2) B1 (Breating). Pada pemeriksaan sistem pernapasan , didapatkan bahwa klien fraktur humerus
tidak mengalami kelainan pernapasan. Pada palpasi toraks, didapatkan taktilfremitus seimbang
kanan dan kiri. Pada auskultasi, tidak ditemukan suara napas tambahan.
3) B2 ( Blood). Inspeksi tidak ada iktus jantung, pada palpasi : Nadi mengkat, iktus tidak teraba,
Auskultasi : suara S1 dan S2 tunggal, tidak ada mur-mur.
4) B3 ( Brain)
a) Tingkat kesadaran biasanya komposmentis.
Kepala: Tidak ada gangguan, yaitu normosefalik, simetris, tidak ada penonjolan, tidak ada sakit
kepala.
Leher : Tidak ada gangguan, yaitu simetris, tidak ada penonjolan, reflex menelan ada.
Wajah: Wajah terlihat menahan sakit dan tidak ada perubahan fungsi dan bentuk, Wajah
simetris, tidak ada lesi dan edema.
Mata: Tidak ada gangguan, seperti konjungtiva tidak anemis (karena tidak terjadi pendarahan).
Telinga: Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak ada lesi atau nyeri tekan.
Hidung: Tidak ada deformitas, tidak ada pernapasan cuping hidung.
Mulut dan Faring:Tidak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan, mukosa mulut
tidak pucat.
b) Pemeriksaan fungsi serebral. Status mental: observasi penampilan dan tingkah laku klien.
Biasanya tidak mengalami perubahan
5) B4 (Bladder). Kaji keadaan urine yang meliputiwarna, jumlah dan karakteristik urine, termasuk
berat jenis urine. Biasanya klien pada fraktur humerus tiidak mengalami kelainan pada sistem
ini.
6) B5 (Bowel) Inspeksi abdoen : Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia. Palpasi : Turgor baik,
tidak ada defans muscular dan hepar tidak terabah. Perkusi : Suara timpani, ada pantulan
gelombang cairan. Auskultasi : Peristaltik usus nomal
20 kali/menit. Inguinal genitalia
a)

b)

7)
a)

anus : Tidak ada hernia, tidak ada pembesaran limfe.


Pola nutrisi dan metabolism. Klien fraktur harus mengonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan
sehari-harinya, seperti kalsium, zat besi, protein, vitamin C, dan lainnya untuk membantu proses
penyembuhan tulang. Evaluasi terhadap pola nutrisi klien dapat membantu menentukan
penyebab masalah musculoskeletal dan mengantisipasi komplikasi dari nutrisi yang tidak
adekuat terutama kalsium dan protein. kurangnya paparan sinar matahari merupakan faktor
predisposisi masalah musculoskeletal terutama pada lansia. Selain itu, obesitas juga menghambat
degenerasi dan mobilitas klien.
Pola eliminasi. Klien fraktur humerus tidak mengalami gangguan pola eliminasi, tetapi perlu
juga dikaji frekuensi, kosistensi, warna, dan bau feses pada pola eliminasi alvi. Pada pola
eliminasi urine dikaji frekuensi, kepekatan, warna, bau, dan jumlahnya. Pada kedua pola tersebut
juga dikaji adanya kesulitan atau tidak.
B6 (Bone). Adanya fraktur pada humerus akan menganggu secara lokal, baik fungsi motorik,
sensorik, maupun peredaran darah.
Look. Pada sistem integumenterdapat eritema, suhu disekitar daerah trauma meningkat,
bengkak, edema, dan nyeri tekan. Perhatikan adanya pembengkakan yang tidak biasa
(abnormal). Perhatikan adanya sindrom kompartemen pada lengan bagian distal fraktur humerus.
Apabila terjadi fraktur terbuka, ada tanda-tanda trauma jaringan lunak sampai kerusakan
intergritas kulit. Fraktur oblik, spiral, dan bergeser mengakibatkan pemendekan batang humerus.
kaji adanya tanda-tanda cedera dan kemungkinan keterlibatan berkas neurovascular (saraf dan

b)
c)

8)

9)

pembuluh darah) lengan, seperti bengkak/edema.Lumpuh pergelangan tangan merupakan


petunjuk adanya cedera saraf radialis. Pengkajian neurovascular awal sangat penting untuk
membedakan antara trauma akibat cedera dan komplikasi akibat penanganan. Klien tidak mampu
menggerakan lengan dan kekuatan otot lengan menurun dalam melakukan pergerakan. Pada
keadaan tertentu, klien fraktur humerus sering mengalami sindrom kompartemen pada fase awal
setelah patah tulang. Perawat perlu mengkaji apakah ada pembengkakan pada lengan atas
menganggu sirkulasi darah kebagian bawahnya. Otot, lemak, saraf, dan pembuluh darah terjebak
dalam sindrom kompartemen sehingga memerlukan perhatian perawat secara serius agar organ di
bawah lengan atas tidak menjadi nekrosis. Tanda khas sindrom kompartemen pada fraktur
humerus adalah perfusi yang tidak baik pada bagian distal, seperti jari-jari tangan, lengan bawah
pada sisi fraktur bengkak, adanya keluhan nyeri pada lengan, dan timbul bula yang banyak
menyelimuti bagian bawah fraktur humerus.
Feel. Kaji adanya nyeri tekan (tenderness) dan krepitasi pada daerah lengan atas.
Move. Setelah dilakukan pemeriksaan feel, pemeriksaan dilanjutkan dengan menggerakkan
ekstermitas, kemudian perawat mencatat apakah ada keluhan nyeri pada pergerakan. Pencatatan
rentang gerak ini perlu dilakukan agar dapat mengevaluasi keadaan sebelum dan sesudahnya.
Gerakan sendi dicatat dengan ukuran derajat, dari tiap arah pergerakan dimulai dari titik 0 (posisi
netral), atau dalam ukuran metrik. Pemeriksaan ini menentukan apakah ada gangguan gerak
(mobilitas) atau tidak. Pergerakan yang dilihat adalah gerakan aktif dan pasif. Hasil pemeriksaan
yang didapat adalah adanya gangguan/ keterbatasan gerak lengan dan bahu.Pada waktu akan
palpasi, posisi klien diperbaiki mulai dari posisi netral (posisi anatomi). pada dasarnya, hal ini
merupakan pemeriksaan yang memberikan informasi dua arah baik pemeriksa maupun klien.
Pola aktivitas. Karena timbul nyeri, gerak menjadi terbatas. semua bentuk aktivitas klien menjadi
berkurang dan klien memerlukan banyak bantuanorang lain. hal lain yang perlu dikaji adalah
bentuk aktivitas klien, terutama pekerjaan klien karena beberapa pekerjaan berisiko terjadinya
fraktur.
Pola tidur dan istirahat. Semua klien fraktur merasakan nyeri dan geraknya terbatas sehingga
dapat menganggu pola dan kebutuhan tidur klien. selain itu, dilakukan pengkajian lamanya tidur,
suasana lingkungan, kebiasaan tidur, kesulitan tidur, dan penggunaan obat tidur.

2. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri akut yang berhubungan dengan pergerakan fragmen tulang, kompresi saraf, cedera
neuromuscular, trauma jaringan, dan reflex spasme otot sekunder.
b. Hambatan mobilitas fisik yang berhubungan dengan diskontinuitas jaringan tulang, nyeri
sekunder akibat pergerakan fragmen tulang.
c. Risiko tinggi infeksi yang berhubungan dengan adanya port de entre luka operasi pada lengan
atas.
d. Deficit perawatan diri berhubungan dengan kelemahan neuromuscular dan penurunan kekuatan
lengan atas.
e. Ansietas berhubungan dengan krisis situasional, akan menjalani operasi, status ekonomi, dan
perubahan fungsi peran.

3. Rencana Keperawatan
a. Dx: Nyeri akut yang berhubungan dengan pergerakan fragmen tulang, kompresi saraf, cedera
neuromuscular, trauma jaringan, dan reflex spasme otot sekunder.
Tujuan: nyeri berkurang, hilang, atau teratasi
Kriteria hasil: secara subjektif, klien melaporkan nyeri berkurang atau dapat diatasi,
mengidentifikasi aktivitas yang meningkatkan atau mengurangi nyeri. Klien tidak gelisah.
Skalanyeri 0-1 atau teratasi.
Intervensi:
1) Kaji nyeri denganskala 0-4.
Rasional: nyeri merupakan respon subjektif yang dapat dikaji dengan menggunakan skala nyeri.
Klien melaporkan nyeri biasanya di atas tingkat cidera.
2) Atur posisi imobilisasi pada lengan atas.
Rasional: imobilisasi yang adekuat dapat mengurangi pergerakan fragmen tulang yang menjadi
unsure utama penyebab nyeri pada lengan atas.
3) Bantu klien dalam mengidentifikasi factor pencetus.
Rasional: nyeri dipengaruhi oleh kecemasan, ketegangan, suhu, distensi kandung kemih, dan
berbaring lama.
4) Jelaskan dan bantu klien terkait dengan tindakan pereda nyeri nonfarmakologi dan noninvasife.
Rasional: pendekatan dengan menggunakan relaksasi dan nonfarmakologi lainnya efektif dalam
mengurangi nyeri.
5) Ajarkan relaksasi: tenik untuk menurunkan ketegangan otot rangka yang dapat mengurangi
intensitas nyeri. Tingkatkan relaksasi masase.
Rasional:teknik ini akan melancarkan peredaran darah sehingga O2 padajaringan terpenuhi
dan nyeri berkurang.
6) Ajarkan metode distraksi selama nyeri akut.
Rasional: mengalihkan perhatian klien terhadap nyeri ke hal-hal yang menyenakan.
7) Berikan kesempatan waktu istirahat bila terasa nyeri dan berikan posisi yang nyaman, misalnya
waktu tidur, belakang tubuh klien dipasang bantal kecil.
Rasional: istirahat merelaksasi semua jaringan sehingga semua akan meningkatkan
kenyamanan.
8) Tingkatkan pengetahuan tentang sebab-sebab nyeri dan hubungkan dengan berapa lama nyeri
akan berlangsung.
Rasional: pengetahuan tentang sebab-sebab nyeri membantu mengurangi nyeri. Hal ini dapat
membantu meningkatkan kepatuhan klien terhadap rencana teraupetik.
9) Pantau keadaan pemasangan gips.
Rasional: gips harus tergantung (dibiarkan tergantung bebas tanpa disangga) karena berat gips
dapat digunakan sebagai traksi terus-menerus pada aksis panjang lengan. Klien dinasihati

untuk tidur dalam posisi tegak sehingga traksi dari berat gips dapat dipertahankan secara
konstan.
10) Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian analgesic.
Rasional: analgesic memblok lintasan nyeri sehingga nyeri akan berkurang.
b.

Dx: Hambatan mobilitas fisik yang berhubungan dengan diskontinuitas jaringan tulang, nyeri
sekunder akibat pergerakan fragmen tulang.
Tujuan: klien mampu melaksanakan aktivitas fisik sesuai dengan kemampuannya.
Kriteria hasil: klien dapat ikut seta dalam program latihan, tidak mengalami kontraktur sendi,

kekuatan otot bertambah, dan klien menunjukan tindakan untuk meningkatkan mobilitas.
Intervensi:
1) Kaji mobilitas yang ada dan observasi adanya peningkatan kerusakan. Kaji secara teratur fungsi
motorik.
Rasional: mengetahui tingkat kemampuan klien dalam melakukan aktivitas.
2) Atur posisi imobilisasi pada lengan atas. Rasional :imobilisasi yang adekuat dapat mengurangi
pergerakan fragmen tulang yang menjadi unsure utama penyebab nyeri pada lengan atas.
3) Ajarkan klien melakukan latihan gerak aktif pada ekstermitas yang tidak sakit.
Rasional: gerakan aktif memberikan massa, tonus, dan kekuatan otot, serta memperbaiki fungsi
jantung dan pernapasan.
4) Bantu klien melakukan ROM dan perawatan diri sesuai toleransi.
Rasional: untuk mempertahankan fleksibilitas sendi sesuai kemampuan.
5) Kolaborasi dengan ahli fisioterapi untuk melatih fisik klien.
Rasional: kemampuan mobilisasi ekstremitas dapat ditingkatkan dengan latihan fisik dan tim
fisisoterapi.
c.

Dx: Risiko tinggi infeksi yang berhubungan dengan adanya port de entre luka operasi pada
lengan atas.
Tujuan: infeksi tidak terjadi selama perawatan.
Kriteria hasil: klien mengenal factor risiko, mengenal tindakan pencegahan/mengurangi factor
risiko infeksi, dan menunjukan/mendemonstrasikan teknik-teknik untuk meningkatkan

lingkungan yang aman.


Intervensi:
1) Kaji dan monitor luka operasi setiap hari.
Rasional :mendeteksi secara dini gejala-gejala inflamasi yang mungkin timbul secara sekunder
akibat adanya luka pasca operasi.
2) Lakukan perawatan luka secara steril.
Rasional: teknik perawatan luka secara steril dapat mengurangi kontaminasi kuman.
3) Pantau/batasi kunjungan.
Rasional :mengurangi risiko kontak infeksi dari orang lain.
4) Bantu perawatan diri dan keterbatasan aktivitas sesuai toleransi. Bantu program latihan.

5) Rasional: menunjukan kemampuan secara umum, kekuatan otot, dan merangsang pengembalian
system imun.
6) Berikan antibiotic sesuai indikasi.
7) Rasional: satu atau beberapa agens diberikan yang bergantung pada sifat pathogen dan infeksi
yang terjadi.
d. Dx: Risiko cedera berhubungan dengan hambatan mobilitas fisik
Tujuan: cedera tidak terjadi
Criteria hasil: klien mau berpartisipasi dalam mencegah cedera
Intervensi:
1) Pertahankan imobilisasi pada lengan atas
R: meminimalkan rangsang nyeri akibat gesekan antara fragmen tulanng dan jaringan lunak
sekitarnya
2) Bila klien menggunakan gips, pantau adanya penekanan setempat dan sirkkullasi perifer
R: Mendeteksi adanya sindrom kompartemen dan menilai secara dini adanya gangguan
sirkulasi pada bagian distal lengan atas
3) Bila terpasang bebat, sokong fraktur dengan bantal atau gulungan selimut agar posisi tetap netral
R: mencegah perubahan posisi dengan tetap mempertahankan kenyamanan dan keamanan
4) Evaluasi bebat terhadap resolusi edema
R: bila fase edema telah lewat kemungkinan bebat menjadi longgar dapat terjadi
5) Evaluasi tanda/gejalah perluasan cedera jaringan (peradangan local/sistemik, seperti peningkatan
nyeri, edema, dan demam)
R: menilai perkembangan masalah klien
e.

Dx: Deficit perawatan diri berhubungan dengan kelemahan neuromuscular dan penurunan
kekuatan lengan atas.
Tujuan: perawatan diri klien dapat terpenuhi
Criteria Hasil: klien dapat menunjukan perubahan gaya hidup untuk kebutuhan merawat diri,
mampu melakukan aktivitas perawatan diri sesuai dengan tingkat kemampuan, dan

mengidentifikasi individu yang dapat memmbantu


Intervensi:
1) Kaji kemampuan dan tingkat penurunan dalam skala 0-4 untuk melakukan ADL.
R: memantau dalam mengantisipasi dan merencanakan pertemuan untuk kebutuhan individual.
2) Hindari apa yang tidak dapat dilakukan klien dan bantu bila perlu.
R: hal ini dilakukan untuk mencegah frustasi dan menjaga harga diri klien karena klien dalam
keadaan cemas dan membutuhkan bantuan orang lain.
3) Ajak klien untuk berpikir positif terhadap kelemahan yang dimilikinya. Berikan klien motivasi
dan izinkan ia melakukan tugas, kemudianb beri umpan balik positif atas uasaha yang telah
dilakukan.

R: klien memerlukan empati dan perawatan yang konsisten. Intervensi tersebut dapat
meningkatkan harga diri, memandirikan klien, dan menganjurkan klien untuk terus mencoba.
4) Rencanakan tindakan untuk mengurangi pergerakan pada sisi lengan yang sakit, seperti
tempatkan makanan dan peralatan dalam suatu tempat yang belawanan dengan sisi yang sakit.
R: klien akan lebih mudah mengambil peralatan yang diperlukan karena lebih dekat dengan
lengan yang sehat.
5) Identifikasi kebiasaan BAB. Ajurkan minum dan tingkatkann latiahan.
R: meningkatkan latihan dapat mencegah konstipasi.
f.

Dx: Ansietas berhubungan dengan krisis situasional, akan menjalani operasi, status ekonomi,
dan perubahan fungsi peran.
Tujuan: Ansietas hilang atau berkurang.
Criteria hasil: klien mengenal perasaannya, dapat mengidentifikasi penyebab atau factor yang

mempengaruhi, dan menyatakan ansietasnya berkurang.


Intervensi:
1) Kaji tanda verbal dan nonverbal ansietas. Dampingi klien dan lakukan tindakan bila klien
menunjukan perilaku merusak
R: reaksi verbal/nonverbal dapat menunjukan rasa agitasi, marah dan gelisa.
2) Hindari konfrontasi.
R: konfrontasi dapat meningkatkan rasa marah, menurunkan kerja sama, dan mungkin
memperlambat penyembuhan.
3) Mulai lakukan tindakan untuk mengurangi ansietas. Beri lingkungan yang tenang dan suasana
penuh istirahat.
R: mengurangi rangsangan eksternal yang tidak perlu.
4) Tingkatkan control sensasi klien.
R: control sensasi klien (dalam mengurangi ketakutan) denga cara membberikan informasi
tentang keadaan klien, menekankann penghargaan terhadap sumber-sumber koping (pertahanan
diri) yang positif, membantu latihan relaksasi dan teknik-teknik pengalihan, serta memberikan
umpan balik yang positif.
5) Orientasikan klien terhadap tahap-tahap prosedur operasi dan aktivitas yang diharapkan.
R: orientasi terhadap prosedur operasi dapat mengurangi ansietas.
6) Beri kesempatan klen mengungkapkan ansietasnya
R: dapat menghilangkann ketegangan terhadap kekhawatiran yang tidak diekspresikan.
7) Berikan privasi kepada klien dengan orang terdekat.
R: memberi waktu untuk mengekspresikan perasaan, menghilangkan ansietas, dan perillaku
adaptasi. Adanya keluarga dan teman-teman yang dipilih klien untuk melakukan aktivitas
pengalihan perhatian akan mengurangi perasaan terisolasi.

4. Evaluasi
Hasil

asuhan

keperawatan

yang

diharapkan

adalah

nyeri

teratasi,

terpenuhinya

pergerakan/mobilitas fisik, terhindar dari cedera, infeksi pascaoperasi, dan ansietas berkurang.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Patah tulang humerus adalah diskontinuitas atau hilangnya struktur tulang humerus
(Chairudin Rasjad, 1998). Fraktur terjadi ketika tekanan yang menimpa tulang atau karena
tulang yang sakit. Fraktur dapat menimbulkan komplikasi awal maupun komplikasi dalam waktu
lama. Penatalaksanaan fraktur yaitu berupa Recognisi/pengenalan, Reduksi/manipulasi, Retensi,
Traksi, Gips dan Operation/pembedahan.
Diagnose keperawatan yang muncum pada fraktur antara lain: nyeri, risiko infeksi,
hambatan mobilitas fisik, deficit perawatan diri, risiko cedera, ketidakefektifan koping
individu/keluarga, ansietas, kerusakan integritas kulit dan difisiensi pengetahuan.

DAFTAR PUSTAKA
Apley, A. Graham , Buku Ajar Ortopedi dan Fraktur Sistem Apley, Widya Medika, Jakarta, 1995.
Carpenito (2000), Diagnosa Keperawatan-Aplikasi pada Praktik Klinis, Ed. 6, EGC, Jakarta
Doenges at al (2000), Rencana Asuhan Keperawatan, Ed.3, EGC, Jakarta
Dudley (1992), Ilmu Bedah Gawat Darurat, Edisi 11, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Dunphy & Botsford (1985), Pemeriksaan Fisik Bedah, Yayasan Essentia Medica, Jakarta.
Buku saku Diagnosis Keperawatan Definisi dan Klasifikasi 2012-2014 NANDA International
Judith M. Wilkinson, Nancy R. Ahern. 2012, Buku Saku Diagnosis Keperawatan: Diagnosis NANDA,
Intervensi NIC, Kriteria Hasil NOC (Edisi 9). Jakarta: ECG

Anda mungkin juga menyukai