Anda di halaman 1dari 13

COR PULMONAL

Oleh :

FLORENSIA

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM
RSUD RADEN MATTAHER PROVINSI JAMBI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
2017
Definisi 1,2

Cor pulmonal didefinisikan sebagai perubahan dalam struktur dan fungsi dari
ventrikel kanan yang disebabkan oleh adanya gangguan primer dari system pernapasan.
Hipertensi pulmonal merupakan factor penghubung tersering antara disfungsi paru-paru
dan jantung dalam cor pulmonal. Kelainan pada ventrikel kanan yang disebabkan oleh
adanya kelainan utama pada ventrikel kiri tidak dianggap sebagai cor pulmonal, tetapi cor
pulmonal dapat berkembang dan menjadi penyebab berbagai proses penyakit pada
kardiopulmonal. Meskipun cor pulmonal seringkali berlangsung kronis dengan progress
yang lambat, onset akut cor pulmonal dapat memburuk dengan komplikasi yang dapat
mengancam jiwa.

Epidemiologi 1,3

Meskipun prevalensi PPOK di Amerika Serikat terdapat sekitar 15 juta,


prevalensi yang tepat dari cor pulmonale sulit untuk ditentukan karena tidak terjadi
pada semua kasus PPOK, pemeriksaan fisik tidak sensitive untuk mendeteksi
adanya hipertensi pulmonal.
Cor pulmonal mempunyai insidensi sekitar 6-7 % dari seluruh kasus
penyakit jantung dewasa di Amerika Serikat, dengan penyakit paru obstruktif
kronik (PPOK) karena bronchitis kronis dan emfisema menjadi penyebab lebih dari
50% kasus cor pulmonale.
Sebaliknya, cor pulmonale akut biasanya menjadi kelainan sekunder akibat
adanya emboli paru massif. Tromboemboli paru akut adalah penyebab paling sering
dari cor pulmonale akut yang mengancam jiwa pada orang dewasa. Terdapat sekitar
50.000 angka kematian di Amerika Serikat dalam setahun akibat emboli paru dan
sekitar setengahnya terjadi dalam satu jam pertama akibat gagal jantung kanan.
Secara global, insidensi cor pulmonale bervariasi antar tiap negara,
tergantung pada prevalensi merokok, polusi udara, dan factor resiko lain untuk
penyakit paru-paru yang bervariasi.
Klasifikasi

Secara umum kor pulmonal di bagi menjadi dua jenis, yaitu sebagai berikut

a. Kor pulmonal akut


Yaitu dilatasi mendadak dari ventrikel kanan dan dekompensasi.

Etiologi : embolus multiple pada paru-paru atau massif yang secara


mendadak akan menyumbat aliran darah dan ventrikel kanan.

Gejala : biasanya segera di susul oleh kematian, Terjadi dilatasi dari


jantung kanan.

b. Kor pulmonal kronik


Merupakan jenis kor pulmonal yang paling sering terjadi. Dinyatakan
sebagai hipertropi ventrikel kanan akibat penyakit paru atau pembuluh
darah atau adanya kelainan pada torak, yang akan menyebabkan
hipertensi dan hipoksia sehingga terjadi hipertropi ventrikel kanan.

Mekanisme terjadinya hipertensi pulmonale pada cor pulmunale


dapat di bagi menjadi 4 kategori yaitu :

a. Obstuksi
Terjadi karena adanya emboli paru baik akut maupun kronik. Chronic
Thromboembolic Pulmonary Hypertesion (CTEPH) merupakan salah
satu penyebab hipertensi pulmonale yang penting dan terjadi pada 0.1
0.5 % pasien dengan emboli paru. Pada saat terjadi emboli paru, system
fibrinolisis akan bekerja untuk melarutkan bekuan darah sehingga
hemodinamik paru dapat berjalan dengan baik. Pada sebagian kecil
pasien system fibrinolitik ini tidak berjalan baik sehingga terbentuk
emboli yang terorganisasi disertai pembentukkan rekanalisasi dan
akhirnya menyebabkan penyumbatan atau penyempitan pembuluh
darah paru.

b. Obliterasi
Penyakit intertisial paru yang sering menyebabkan hipertensi pulmonale
adalah lupus eritematosus sistemik scleroderma, sarkoidosis, asbestosis,
dan pneumonitis radiasi. Pada penyakit-penyakit tersebut adanya
fibrosis paru dan infiltrasi sel-sel yang prodgersif selain menyebabkan
penebalan atau perubahan jaringan interstisium, penggantian matriks
mukopolisakarida normal dengan jaringan ikat, juga menyebabkan
terjadinya obliterasi pembuluh paru.

c. Vasokontriksi
Vasokontriksi pembuluh darah paru berperan penting dalam
pathogenesis terjadinya hipertensi pulmonale. Hipoksia sejauh ini
merupakan vasokontrikstor yang paling penting. Penyakit paru
obstruktif kronik merupakan penyebab yang paling di jumpai. Selain itu
tuberkolosis dan sindrom hipoventilasi lainnya misalnya sleep apnea
syndrome, sindrom hipoventilasi pada obesitas, dapat juga
menyebabkan kelainan ini. Asidosis juga dapat berperan sebagai
vasokonstriktor pembuluh darah paru tetapi dengan potensi lebih
rendah. Hiperkapnea secara tersendiri tidak mempunyai efek
fasokonstriksi tetepi secara tidak langsung dapat meningkatkan tekanan
arteri pulmunalis melalui efek asidosisnya. Eritrositosis yang terjadi
akibat hipoksia kronik dapat meningkatkan vikositas darah sehingga
menyebabkan peningkatan tekanan arteri pumonalis.

d. Idiopatik
Kelainan idiopatik ini di dapatkan pada apsien hipertensi pulmonale
primer yang di tandai dengan adanya lesi pada arteri pumonale yang
kecil tanpa di dapatkan adanya penyakit dasar lainnya baik pada paru
maupun pada jantung. Secara histopatologis di dapatkan adanya
hipertrofitunikamedia, fibrosistunikaintima, lesi pleksiform serta
pembentukan mikro thrombus. Kelainan ini jarang di dapat dan
etiologinya belum di ketahui Waupun sering di kaitkan dengan adanya
penyakit kolagen, hipertensi portal, penyakit autoimun lainnya serta
infeksi HIV.

Etiologi dan Patogenesis 1,4

Banyak penyakit yang mempengaruhi paru dan hubungan dengan hipoksemia dapat
menyebabkan kor pulmonal disebabkan oleh hal-hal berikut ini.

a. Penyakit paru-paru merata


Terutama emfisema, bronchitis kronis (COPD), dan fibrosis akibat TB

b. Penyakit pembuluh darah paru


Terutama thrombosis dan embolus paru dan fibrosis akibat penyinaran yang
menyebabkan penurunan elastisitas pembuluh darah paru.

c. Hipoventilasi alveolar menahun


Yaitu semua penyakit yang menghalangi pergerakan dada normal, seperti :

1) Penebalan pleura bilateral


2) Kelainan neuromuskuler, misalnya poliomyelitis dan distrofi otot
3) Kifoskoliosis yang mengakibatkan penurunan kapasistas rongga torak
sehingga pergerakan torak berkurang

d. Penyebab penyakit pulmonary heart disease antara lain :

1) Penyakit paru menahun dengan hipoksia :

a) Penyakit paru obstrutif kronik,


b) Fibrosis paru,
c) Penyakit fibrokistik,
d) Cryptogenic fibrosing alveolitis,
e) Penyakit paru lain yang berhubungan dengan hipoksia

2) Kelainan dinding dada : Kifos koliosis, torakoplasti, fibrosis


pleura.
3) Gangguan mekanisme control pernafasan : Obesitas, hipoventilasi
idopatik, penyakit serebro vascular.
4) Obstruksi saluran nafas atas pada anak : Hipertrofi tonsil dan
adenoid.
5) Kelainan primer pembuluh darah : Hipertensi pulmonale primer
emboli paru berulang dan vaskulitis pembuluh darah paru.

Cor pulmonale biasanya timbul kronis, namun terdapat 2 keadaan yang


dapat menyebabkan cor pulmonale akut, antara lain : emboli paru (lebih sering) dan
sindrom gangguan pernapasan akut (ARDS). Patofisiologi yang mendasari emboli
paru dalam menimbulkan cor pulmonale adalah adanya peningkatan mendadak
resistensi pulmonal. Dalam ARDS terdapat dua factor yang menyebabkan overload
ventrikel kanan, yaitu proses patologi dari sindrom itu sendiri dan adanya
mekanisme ventilasi. Pada mekanisme ventilasi, volume udara tidal yang semakin
meninggi membutuhkan tekanan transpulmonal yang lebih tinggi.
Dalam kasus cor pulmonale kronik pada umumnya terjadi hipertropi
ventrikel kanan. Dalam cor pulmonale akut dapat terjadi dilatasi ventrikel kanan.
Dalam kasus ARDS, cor pulmonale dapat berpotensi meningkatkan kemungkinan
pergeseran shunt kanan ke kiri melalui paten foramen ovale dan mempunyai
prognosis yang lebih buruk.
Pelebaran atau hipertropi ventrikel kanan pada cor pulmonale kronis adalah
efek langsung dari kompensasi ventrikel akibat vasokonstriksi pulmonal kronis dan
hipertensi arteri pulmonalis yang menyebabkan peningkatan beban kerja ventrikel
kanan. Ketika ventrikel kanan tidak mampu lagi mengimbangi beban kerja melalui
dilatasi atau hipertropi, kegagalan ventrikel kanan dapat terjadi.
Beberapa mekanisme patofisiologis dapat menyebabkan hipertensi
pulmonal yang akan menyebabkan cor pulmonale, mekanisme tersebut antara lain
:
1. Vasokonstriksi pulmonal akibat hipoksia alveolar atau asidemia darah, hal
ini dapat menyebabkan hipertensi pulmonal dan jika hipertensi pulmonal
tersebut cukup parah akan dapat menyebabkan cor pulmonale
2. Peningkatan viskositas darah yang menyebabkan kelainan pada darah
seperti : polisitemia vera, sickle cell disease, makroglobulinemia
3. Peningkatan aliran darah dalam vascular paru
4. Hipertensi pulmonal idiopatik primer
Mekanisme diatas dapat meningkatkan tekanan arteri pulmonalis.

Ventrikel kanan memiliki dinding yang lebih tipis dibandingkan ventrikel kiri yang
lebih memiliki fungsi sebagai pompa volume dibandingkan pompa tekanan. Ventrikel
kanan memiliki fungsi yang lebih baik dalam preload dibandingkan dengan afterload.
Dengan adanya peningkatan afterload, ventrikel kanan akan meningkatkan tekanan sistolik
untuk menjaga gradient. Pada titik tertentu, peningkatan tekanan arteri pulmonal lebih
lanjut menyebabkan dilatasi ventrikel kanan yang signifikan.

Adanya penurunan output ventrikel kanan dengan penurunan diastolic ventrikel


kiri menyebabkan penurunan output ventrikel kiri. Penurunan output ventrikel kiri
menyebabkan penurunan tekan darah di aorta dan menyebakan menurunnya aliran darah
pada arteri koronaria termasuk arteri koronaria kanan yang menyuplai darah ke dinding
ventrikel kanan. Hal ini menjadi suatu lingkaran setan antara penurunan output ventrikel
kiri dan ventrikel kanan.

Gambaran Klinis 1,5

a. Gejala
Manifestasi klinis dari cor pulmonale biasanya tidak spesifik. Beberapa
gejala bisanya tidak terlalu tampak pada stadium awal penyakit ini.
Pasien dapat mengeluhkan kelelahan, denyut jantung yang cepat dan batuk.
Nyeri dada juga dapat terjadi dan mungkin juga karena iskemik ventrikel kanan.
Beberapa gejala neurologis juga dapat timbul akibat menurunnya curah jantung dan
hipoksemia.
Hemoptisis dapat terjadi akibat adanya rupture arteri pulmonalis yang
berdilatasi maupun terjadi atherosclerosis.
Pada tahap lanjut, dapat terjadi kongestif hepar sekunder karena kegagalan
ventrikel kanan menyebabkan anoreksia, rasa tidak nyaman pada perut kanan atas,
serta kekuningan.
Peningkatan tekanan arteri pulmonalis dapat menyebabkan peningkatan
tekanan vena perifer dan tekanan kapiler. Dengan adanya peningkatan gradient
tekanan hidrostatik mengakibatkan terjadinya transudasi cairan yang terakumulasi
menjadi edema perifer.
Penurunan laju filtrasi glomerulus (GFR) dan filtrasi natrium karena
hipoksemia memainkan peran penting dalam edema perifer pada pasien dengan cor
pulmonale dengan peningkatan tekanan atrium kanan.

b. Tanda
Dari pemeriksaan fisik dapat mencerminkan penyakit paru yang mendasari
terjadinya cor pulmonal seperti hipertensi pulmonal, hipertropi ventrikel kanan, dan
kegagalan ventrikel kanan. Peningkatan diameter dada, sesak yang tampak dengan
retraksi dinding dada, distensi vena leher dan sianosis dapat terlihat.
Pada auskultasi, lapangan paru dapat terdengar wheezing maupun ronkhi.
Suara jantung dua yang terpisah dapat terdengar pada tahap awal. Bising ejeksi
sistolik diatas area arteri pulmonalis dapat terdengar pada tahap penyakit yang lebih
lanjut bersamaan dengan bising regugirtasi pulmonal diastolic.
Pada perkusi, suara hipersonor dapat menjadi tanda PPOK yang mendasari
timbulnya cor pulmonal, asites dapat timbul pada kasus yang berat.

Diagnosis 1

Pendekatan umum untuk mendiagnosa cor pulmonal dan untuk menyelidiki


etiologinya dimulai dengan pemeriksaan laboratorium rutin, radiografi dada dan
elektrokardiografi. Echocardiografi juga memberikan informasi yang penting
tentang penyakit dan etiologinya. Kateterisasi jantung kanan adalah pemeriksaan
yang paling akurat untuk mengkonfirmasi diagnosis cor pulmonale dan penyakit
yang mendasarinya.
Pada pasien dengan cor pulmonale kronis, rontgen dada dapat menunjukkan
pembesaran pembuluh darah paru sentral. Hipertensi pulmonal harus dicurigai jika
diameter pembuluh arteri pulmonalis kanan lebih dari 16 mm dan arteri pulmonalis
kiri lebih dari 18 mm. Pembesaran ventrikel kanan menyebabkan peningkatan
diameter transversal dari bayangan jantung ke kanan pada proyeksi posteroanterior
dan mengisi ruang udara restrosternal pada proyeksi lateral. Pada pemeriksaan
dengan elektrokardiograph, tampak adanya hipertropi ventrikel kanan.

Diagnosis Banding 1

Dalam mendiagnosa cor pulmonale, penting untuk mempertimbangkan


kemungkinan penyakit tromboemboli dan hipertensi pulmonal sebagai etiologi. Diagnosis
banding lain untuk cor pulmonale antara lain :

1. Gagal jantung kongestif


2. Perikarditis konstriktif
3. Kardiomiopati infiltrative
4. Stenosis pulmonal
5. Gagal jantung kanan akibat infark ventrikel kanan
6. Gagal jantung kanan akibat penyakit jantung bawaan
7. Defek septum ventrikel

Penatalaksanaan 1,6

Terapi medis untuk cor pulmonale kronis umumnya difokuskan pada


pengobatan penyakit paru yang mendasari dan meningkatkan oksigenasi serta
fungsi ventrikel kanan dengan meningkatkan kontraktilitas ventrikel kanan dan
mengurangi vasokonstriksi pulmonal. Pada kasus cor pulmonale akut dilakukan
terapi untuk menstabilkan hemodinamika pasien. Pada cor pulmonale akut dengan
gagal ventrikel kanan meliputi pemberian cairan dan vasokonstriktor untuk
mempertahankan tekanan darah yang cukup.
Untuk tromboemboli paru yang berat pertimbangkan pemberian
antikoagulasi, agen trombolitik dan embolectomy terutama jika kolaps sirkulasi
tidak dapat dicegah. Juga pertimbangkan pemberian bronkodilator dan pengobatan
infeksi pada pasien dengan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), dan agen
steroid ataupun imunosupresant pada penyakit infiltratif dan fibrosis paru.
Terapi oksigen, diuretic, vasodilator dan antikoagulasi merupakan
modalitas berbeda yang dapat digunakan pada terapi jangka panjang cor pulmonale
kronik. Terapi oksigen sangat penting pada pasien dengan penyakit paru obstruktif
kronik (PPOK) yang mendasarinya. Pada cor pulmonale, tekanan parsial oksigen
(PaO2) cenderung berada dibawah 55 mmHg dan menurun lebih lanjut pada saat
beraktivitas ataupun tidur. Terapi oksigen dapat mengurangi vasokonstriksi
pulmonal akibat hipoksia yang kemudian dapat meningkatkan curah jantung,
meredakan hipoksemia jaringan dan meningkatkan perfusi ginjal. Pada suatu
penelitian dengan percobaan terapi oksigen nocturnal secara acak menunjukkan
bahwa terapi oksigen dengan aliran rendah yang terus menerus untuk pasien dengan
PPOK berat memberikan penurunan angka kematian yang signifikan.
Secara umum pada pasien dengan PPOK terapi oksigen jangka panjang
dianjurkan ketika PaO2 kurang dari 55 mmHg atau saturasi O2 kurang dari 88%.
Namun, pada kasus cor pulmonale dengan gangguan fungsi mental maupun fungsi
kognitif, terapi oksigen dapat dilakukan meskipun PaO2 lebih dari 55 mmHg atau
saturasi O2 lebih dari 88%.
Diuretik dapat digunakan untuk mengurangi peningkatan volume pengisian
ventrikel kanan pada pasien dengan cor pulmonale kronik. Agen ini dapat
meningkatkan fungsi kedua ventrikel kanan dan kiri. Namun, diuretic dapat
menimbulkan efek yang merugikan hemodinamik jika tidak digunkan secara hati-
hati. Deplesi volume yang berlebihan dapat menyebabkan penurunan curah jantung.
Calsium channel blockers dapat digunakan sebagai vasodilator arteri
pulmonalis yang telah terbukti keampuhannya dalam pengobatan jangka panjang
cor pulmonale kronis yang diakibatkan oleh hipertensi arteri pulmonalis. Glikosida
jantung seperti digitalis dapat digunakan pada gagal ventrikel kanan karena dapat
meningkatkan fungsi ventrikel kanan namun harus digunankan secara hati-hati dan
dihindari selama episode akut cor pulmonale. Indikasi utama pemberian
antikoagulan oral dalam pengobatan cor pulmonale adalah adanya tromboemboli
yang mendasari ataupun adanya hipertensi arteri pulmonal primer. Methilxanthin
seperti teofilin dapat digunakan sebagai pengobatan tambahan untuk cor pulmonale
kronis dengan penyakit paru obstruktif kronis (PPOK). Selain efek bronkodilator
methilxanthine dapat meningkatkan kontraktilitas miokard dan menyebabkan efek
vasodilatasi ringan pada paru. Teofilin memiliki efek inotropik lemah, dengan
demikian dapat meningkatkan ejeksi ventrikel kanan dan kiri. Teofilin dosis rendah
disarankan untuk mendapatkan efek antiinflamasi yang membantu untuk
mengontrol penyakit paru yang mendasari seperti penyakit paru obstruktif kronik
(PPOK).
Agonis beta selektif memiliki keuntungan tambahan sebagai bronkodilator
dan efek mukosiliar. Epoprostenol, treprostinil, dan iloprost adalah analog
prostasiklin dan memiliki efek vasodilator yang kuat. Epoprostenol dan treprostinil
diberikan secara intravena dan iloprost sebagai inhaler. Bosentan yang merupakan
antagonis reseptor endotelin-A dan endotelin-B diindikasikan untuk hipertensi
arteri pulmonalis termasuk hipertensi pulmonal primer. Dalam uji klinis, bosentan
meningkatkan kapasitas, penurunan laju kerusakan klinis, dan peningkatan
hemodinamika. Sildenafil merupakan inhibitor PDE5 telah dipelajari secara
intensif dan telah disetujui untuk pengobatan hipertensi pulmonal. Sildenafil secara
selektif dapat merelaksasikan otot polos pembuluh darah vascular paru. Warfarin
merupakan antikoagulan yang dianjurkan pada pasien dengan resiko tinggi
tromboemboli. Peran menguntungkan dari penggunaan antikoagulan dalam
mengurangi gejala dan angka kematian pada pasien telah dibuktikan dalam
beberapa penelitian.

Komplikasi 1

Komplikasi cor pulmonale termasuk sinkop, hipoksia, edema bahkan


kematian.

Prognosis 1,11

Prognosis cor pulmonale bergantung pada patologi yang mendasarinya.


Perkembangan cor pulmonale sebagai hasil dari penyakit paru primer biasanya mempunyai
prognosis yang lebih buruk. Sebagai contoh, pasien dengan penyakit paru obstruktif kronik
(PPOK) yang berkembang menjadi cor pulmonale memiliki kesempatan 30% untuk
bertahan hidup 5 tahun, namun apakah cor pulmonale memiliki nilai prognostic yang
independen atau hanya mencerminkan tingkat keparahan yang mendasari PPOK tersebut
atau penyakit paru lainnya masih belum jelas. Prognosis pada kasus akut karena emboli
paru berat ataupun sindrom gangguan pernapasan akut belum pernah terbukti bergantung
pada ada atau tidaknya cor pulmonale, namun dalam satu penelitian menunjukkan bahwa
pada kasus emboli paru, kor pulmonal dapat menjadi prediktor kematian di rumah sakit.
Para peneliti telah mengumpulkan data demografi, komorbiditas, dan data manifestasi
klinis pada 582 pasien rawat inap pada unit gawat darurat maupun unit perawatan intensif
dan didiagnosa menderita emboli paru. Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa pada
pasien emboli paru dengan hemodinamik yang stabil factor-faktor berikut dapat menjadi
predictor independen kematian di rumah sakit, yaitu :

1. Usia yang lebih tua dari 65 tahun


2. Istirahat total selama lebih dari 72 jam
3. Menderita cor pulmonale kronis
4. Sinus takikardia
5. Takipneu

Anda mungkin juga menyukai