Anda di halaman 1dari 7

BAB I.

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Luka bakar merupakan penyebab trauma yang sering terjadi dan dapat

mengakibatkan morbiditas dan mortalitas yang relatif tinggi dibandingkan dengan

cedera oleh sebab lain. Insidensi luka bakar di dunia berkisar lebih dari 800 kasus per

satu juta jiwa tiap tahunnya dan merupakan penyebab kematian tertinggi kedua akibat

trauma setelah kecelakaan lalu lintas ( Hettiaratchy dan Dziewulski, 2004).

Di United Kingdom (UK) sekitar 250 000 orang mengalami luka bakar setiap

tahun. Dari semua pasien luka bakar tersebut sekitar 175000 terjadi karena

kecelakaan dan di rawat di unit gawat darurat, 13000 di rawat di bangsal rumah

sakit.Sekitar 1000 pasien dengan luka bakar yang berat mendapatkan resusitasi cairan

yang cukup, 50% dari pasien adalah anak-anak dengan umur di bawah 12

tahun.Dengan angka mortalitas 300 per tahun( Hettiaratchy dan Dziewulski, 2004).

Luka bakar juga merupakan masalah besar di negara berkembang, lebih dari 2

juta kasus luka bakar terjadi di india tiap tahunnya. Angka mortalitas di negara

berkembang lebih tinggi di banding negara maju, misalkan Nepal 1700 kematian per

tahun untuk 20 juta penduduk , dengan angka kematian sekitar 17 kali dibanding UK

( Hettiaratchy dan Dziewulski, 2004).

Berdasarkan data American Burn Association (ABA) pada tahun 2002,

diperkirakan lebih dari 1,1 juta orang menderita luka bakar tiap tahunnya di Amerika

Serikat, dengan 50.000 kasus perlu dirawat di rumah sakit dan lebih dari 4500 di

antaranya meninggal karena komplikasi dari luka bakar ( Klingensmith ,2003).

Angka mortalitas penderita luka bakar di Indonesia masih cukup tinggi, yaitu

38,59% (2001) di RSCM dan 26,41% (2000) di RS Dr. Soetomo. Tercatat di RSUP

DR Sardjito, jumlah kasus luka bakar yang dirawat di bagian bedah terjadi

peningkatan dari 76 kasus pada tahun 2005 menjadi 82 kasus pada tahun 2006,

dengan derajat luka bakar terbanyak adalah derajat II (81,63%).

Luka bakar derajat II masih memiliki faktor-faktor yang mendukung

terjadinya penyembuhan spontan sehingga dengan penatalaksanaan luka yang baik,

luka bakar derajat ini tidak mudah terinfeksi dan jatuh pada derajat yang lebih parah.

Dengan demikian diharapkan penyembuhan luka bakar ini pun tidak bergantung pada

tindakan bedah ( Klingensmith,2003).

Faktor-faktor yang mendukung terjadinya penyembuhan spontan tersebut

diharapkan dari proliferasi lapisan epitel (Reepitelisasi) di tepi luka dan struktur

adneksa kulit. Adanya proliferasi sel-sel ini diharapkan masa penyembuhan luka

bakar derajat II Deep partial-thickness sekalipun tidak melebihi 4 minggu. Dengan

demikian komplikasi berupa hipertropik jaringan parut dapat ditekan (Pusponegoro,

2004). Reepitelisasi bergantung pada banyak komponen yang sangat kompleks yang

terjadi pada proses penyembuhan luka, seperti adanya Growth factor, sistem imun

tubuh terhadap infeksi dan komponen-komponen lainnya (Klein, 2007). Banyak

alternatif pengobatan digunakan untuk penanganan pertama pada luka bakar.

Aloe vera telah dipakai untuk penanganan luka bakar derajat dua, dan

telah diteliti di Australia dibandingkan dengan penggunaan saliva manusia. Hasil

penelitian menunjukkan penanganan alternatif secara signifikan menurunkan

temperatur subdermal pada kulit selama periode pengobatan. Akan tetapi tidak bisa

menurunkan mikroflora atau meningkatkan reepitelisasi, kekuatan skar dan

penampilan kosmetik pada skar (Cuttle et al, 2008).

Proses reepitelisasi ini dapat dipicu dengan menciptakan suasana lembab

fisiologis (moist environtment). Salah satu metode yang dapat dilakukan adalah moist

wound dressing, seperti penutupan luka dengan kasa yang dibasahi dengan NaCl

(Galagher,1995).

Selain itu suasana lembab fisiologis juga dapat diciptakan melalui pemberian

agen topikal Aloe vera yang terbukti membantu proses reepitelisasi sehingga

mempercepat proses penyembuhan luka (Muhammad, 2013).

Pada penelitian terkini pun, di dalam saliva manusia ditemukan banyak

komponen-komponen yang berperan dalam proses reepitelisasi tersebut, seperti

antibakteri, antifungi, antiviral, analgetik, dan berbagai jenis growth factor .

Pemberian komponen-komponen dalam saliva ini telah terbukti mampu mempercepat

Reepitelisasi(Rene, 2013).

Melalui kandungan saliva ini diharapkan saliva mampu menjadi suatu zat yang

dapat digunakan dalam proses penyembuhan luka bakar, serta masih sedikitnya

penelitian mengenai pengaruh pemberian saliva manusia terhadap luka bakar, maka

peneliti ingin melakukan penelitian ini untuk melihat pengaruh pemberian saliva

manusia terhadap penyembuhan luka bakar itu sendiri serta membandingkannya

dengan Aloe vera dan moist dressing sebagai kontrol,yang dapat digunakan sebagai

alternatif pengobatan topikal pada luka bakar derajat dua.

Penelitian mengenai pemberian saliva manusia pada penyembuhan luka bakar

derajat dua superficial pernah diteliti di Australia pada tahun 2008 oleh Cuttle et

al,dengan hasil saliva manusia bisa meningkatkan proses reepitelisasi pada

penyembuhan luka bakar derajat dua (Cuttle et al., 2008).

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka perumusan masalah penelitian

ini adalah bagaimanakah perbandingan pemberian saliva manusia, aloe vera dan

NaCl sebagai moist dressing secara topikal terhadap masa penyembuhan luka bakar

derajat II pada tikus putih (Rattus norvegicus).

C. Hipotesis Penelitian

Hipotesis penelitian ini ada tiga yaitu:

1. Pemberian Saliva manusia mampu mempercepat masa penyembuhan luka bakar

derajat II lebih baik dibandingkan dengan NaCl sebagai kontrol ditinjau dari

aspek Reepitelisasi pada tikus putih (Rattus norvegicus).

2. Pemberian Saliva manusia mampu mempercepat masa penyembuhan luka bakar

derajat II lebih baik dibandingkan dengan Aloe vera, ditinjau dari aspek

Reepitelisasi pada tikus putih (Rattus norvegicus).

D. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Mengetahui pengaruh pemberian saliva manusia terhadap masa penyembuhan

luka bakar derajat II superfisial ditinjau dari Reepitelisasi pada tikus putih dengan

membandingkannya terhadap Aloe vera dan NaCl sebagai Moist dressing.

2. Tujuan Khusus

a). Membandingkan pengaruh pemberian saliva manusia dengan aloe vera

dan Moist dressing terhadap penampakan fisik, pemeriksaan klinis

makroskopis adannya Reepitelisasi dan masa penyembuhan luka bakar

derajat II pada tikus putih (Rattus norvegicus).

b). Membandingkan perubahan berat badan tiap kelompok perlakuan selama

masa penyembuhan luka bakar tersebut.

E. Manfaat Penelitian

1. Bagi peneliti, penelitian ini menambah wawasan dan kemampuan peneliti

dalam penelitian eksperimental, khususnya yang berhubungan dengan

saliva manusia dan luka bakar.

3. Penelitian ini dapat digunakan untuk pengembangan ilmu pengetahuan

ataupun penelitian berikutnya mengenai pengaruh pemberian saliva

manusia terhadap penyembuhan luka bakar derajat dua.

4. Untuk aplikasi klinik, hasil penelitian ini dapat menjadi bahan

pertimbangan dalam penggunaan saliva manusia untuk tujuan

penyembuhan/perawatan luka bakar derajat dua.

F. Keaslian Penelitian

Penelitian tentang penggunaan saliva manusia untuk pengobatan topikal pada luka

bakar derajat II masih sedikit, diantarannya :

1. .Penelitian yang dilakukan oleh Leila C et al.,dengan judul The efficacy of

aloe vera, tea tree oil and saliva as first aid treatment for partial thickness

burn injuries,dari Australia dengan hasil Saliva manusia bisa meningkatkan

penyembuhan luka.

2. Penelitian yang dilakukan oleh Muhammad Naaved Shahzad dan Naheed

Ahmed, dengan judul Effectiveness of Aloe vera Gel compared with 1%

silver sulphadiazine cream as burn wound dressing in second degree

burns,dengan hasil Aloe vera lebih cepat untuk penyembuhan luka dibanding

silver sulfadizin.

3. Penelitian ini juga pernah dilakukan oleh Nelly M dari Universitas Riau

dengan judul Perbandingan pemberian saliva manusia,MEBO,dan NaCl

terhadap masa penyembuhan luka bakar derajat dua pada tikus putih(Rattus

norvegicus),dengan hasil saliva bisa mempercepat masa penyembuhan luka

bakar derajat dua seperti MEBO dan NaCl.

Anda mungkin juga menyukai