Anda di halaman 1dari 2

FANATIKERS

Polemik surah al-maidah ayat 51 mengenai larangan memilih pemimpin kafir memang menjadi
perdebatan yang tidak akan pernah lekang oleh waktu. Dan yang menjadi puncaknya ketika
calon pemimpin yang merasa perjuangannya harus berbenturan dengan ayat tersebut, ikut
bersuara, memberikan komentar. Suara yang kemudian mengundang reaksi dari berbagai
kalangan yang tidak punya kepentingan politik, mulai dari pakar agama sampai pakar
komunikasi. Termasuk pakar yang bukan-bukan.

Namun yang akan kita bahas pada kesempatan ini bukanlah mengenai tanggapan para pakar di
atas, yang akan kita bahas adalah reaksi para pendukungnya sebagai dalang utama.

Tidaklah sulit untuk menilai sejauh mana afiliasi politik seseorang jika sosial media dijadikan
acuan. Cara dia merespon atau cara bereaksi terhadap berita yang menjadi viral adalah tolok-
ukurnya. Bentuk respon bisa bermacam-macam, tapi tujuan utama tetap sama, akan digiring
kemana pembacanya. Terkait dengan kampanye pilgup DKI, sisi lain yang patut diamati
sekaligus dikritisi adalah pendukung yang tingkat taklidnya kadang tidak bisa ditoleransi.

Tidak bisa dipungkiri setiap pendukung selalu punya ujung tombak serangan, kalau meminjam
istilah sport maka dialah striker. Kebanyakan mereka adalah seorang penulis sejati, tidak sedikit
juga yang menjadi kutu loncat. Entah siapa coach-nya, yang pasti mereka selalu ada setiap saat,
menanggapi berita dalam setiap kesempatan, merasa ikut bertanggung jawab terhadap rekan2
pengikut lainnya. Setiapkali mendapat serangan, apapun akan dilakukan untuk bertahan
sekaligus mencari celah serangan balik.

Dalam pertandingan, mereka tidak lagi menganggap ada wasit yang mengamati kelakuan mereka
di lapangan. Yang mereka tahu, dalam perhelatan ini hanya ada dua kubu: teman atau lawan.
Sungguh sangat berbahaya dalam sebuah kompetisi ketika wasit atau hakim sudah tidak
diindahkan lagi suaranya atau bahkan dianggap tidak lagi ada.

Mungkin masih ada sebagian pendukung Koh Ahok yg menganggap bahwa ketika Ahok dikritik,
yang mengkritik pastilah lawan politik: sekumpulan orang yg menjual ayat2 suci untuk
kepentingan pribadi.

Padahal, yang Ahok hadapi itu bukan hanya lawan politiknya, tapi juga masyarakat dan tokoh
agama di sekitarnya yang tidak punya kepentingan apa-apa, hanya murni menjalankan perintah
agamanya. Jangan dikira tidak ikut merasakan pergulatan batinnya.

Maka jangan heran, ketika orang2 seperti Ust. Arifin atau bahkan Aa Gym yg menasehati pun
masih kena dampratannya, dianggap menghambat kepentingan mereka. Padahal so what dengan
itu semua. Siapa pun yang menjadi penguasa nanti, agama tetap pada substansinya sebagai
nasehat. Itupun tidak ada paksaan, jika tidak terima silahkan ditolak. Tapi tidak perlu menuduh
yang tidak2, apalagi sampai menghujat.

Apakah kalo Ahok dikritik otomatis mendambakan Anis dan Agus sebagai yg layak
menggantikannya? Belum tentu. Mengkritik yang satu belum tentu mendukung yang lain, ada
masa dimana dukungan berubah menjadi kawalan. Apakah kalo dia muslim otomatis bebas dari
kritikan karena se-akidah? Tidak juga, kritikan yang diarahkan ke Jokowi tidak ada habis2nya.

Terakhir, ini pesan buat kita semua, jika ingin menjadi fanatikers, carilah klub sepakbola. Ya,
klub sepakbola dalam arti yang sesungguhnya, yang hari ini kalah, besok bisa menang, besoknya
lagi kalah. Begitu seterusnya. Sepakbola tidak akan membuat dirimu menjadi barisan sakit hati
terlalu lama.

Jangan tokoh politik dijadikan fanatikers-idola. Karena tugas sejati kita tidak selamanya menjadi
pendukungnya, tapi pengawalnya.

Demikian.

Anda mungkin juga menyukai