Anda di halaman 1dari 21

11

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Anatomi Nervus Fasialis


Nervus kranialis ketujuh berasal dari batang otak, berjalan melalui tulang temporal, dan
berakhir pada otot-otot wajah. Sedikitnya ada lima cabang utama. Selain mengurus persarafan otot
wajah, Nervus kranialis ketujuh juga mengurus lakrimasi, salivasi, pengaturan impedansi dalam
telinga tengah, sensasi nyeri, raba, suhu dan kecap.1
Nervus fasialis merupakan nervus kranialis yang mengandung serabut motorik,
somatosensorik serta serabut nervus intermedius. Nervus ini sering mengalami gangguan karena
mempunyai perjalanan yang panjang dan berkelok-kelok, berada di dalam saluran tulang yang
sempit dan kaku.2
Saraf fasialis mempunyai 2 subdivisi , yaitu:5,6

1. Saraf fasialis propius: yaitu saraf fasialis yang murni untuk mempersarafi otot-otot ekspresi
wajah, otot platisma, stilohioid, digastrikus bagian posterior dan stapedius di telinga
tengah.
2. Saraf intermediet (pars intermedius wisberg), yaitu subdivisi saraf yang lebih tipis yang
membawa saraf aferen otonom, eferen otonom, aferen somatis.
- Aferen otonom: mengantar impuls dari alat pengecap di dua pertiga depan lidah.
Sensasi pengecapan dari 2/3 bagian depan lidah dihantar melalui saraf lingual ke
korda timpani dan kemudian ke ganglion genikulatum dan kemudian ke nukleus
traktus solitarius.
- Eferen otonom (parasimpatik eferen): datang dari nukleus salivatorius superior.
Terletak di kaudal nukleus. Satu kelompok akson dari nukleus ini, berpisah dari
saraf fasilalis pada tingkat ganglion genikulatum dan diperjalanannya akan
bercabang dua yaitu ke glandula lakrimalis dan glandula mukosa nasal. Kelompok
akson lain akan berjalan terus ke kaudal dan menyertai korda timpani serta saraf
lingualis ke ganglion submandibularis. Dari sana, impuls berjalan ke glandula
sublingualis dan submandibularis, dimana impuls merangsang salivasi.
12

- Aferen somatik: rasa nyeri (dan mungkin juga rasa suhu dan rasa raba) dari sebagian
daerah kulit dan mukosa yang disarafi oleh saraf trigeminus. Daerah overlapping
(disarafi oleh lebih dari satu saraf atau tumpang tindih) ini terdapat di lidah,
palatum, meatus akustikus eksterna, dan bagian luar membran timpani.

Inti motorik saraf VII terletak di pons. Serabutnya mengitari saraf VI, dan keluar di bagian
lateral pons. Saraf intermedius keluar di permukaan lateral pons di antara saraf VII dan saraf VIII.
Ketiga saraf ini bersama-sama memasuki meatus akustikus internus. Di dalam meatus ini, saraf
fasialis dan intermediet berpisah dari saraf VIII dan terus ke lateral dalam kanalis fasialis,
kemudian ke atas ke tingkat ganglion genikulatum. Pada ujung akhir kanalis , saraf fasialis
meninggalkan kranium melalui foramen stilomastoideus. Dari titik ini, serat motorik menyebar di
atas wajah. Dalam melakukan penyebaran itu, beberapa melubangi glandula parotis.5

Gambar 3.1.Saraf Fasialis

Sewaktu meninggalkan pons, saraf fasialis beserta saraf intermedius dan saraf VIII masuk
ke dalam tulang temporal melalui porus akustikus internus. Dalam perjalanan di dalam tulang
temporal, saraf VII dibagi dalam 3 segmen, yaitu segmen labirin, segman timpani dan segmen
mastoid.1
Segmen labirin terletak antara akhir kanal akustik internus dan ganglion genikulatum,
panjang segmen ini 2-4 milimeter.1
13

Segmen timpani (segmen vertikal), terletak di antara bagian distal ganglion genikulatum
dan berjalan ke arah posterior telinga tengah, kemudian naik ke arah tingkap lonjong (venestra
ovalis) dan stapes, lalu turun kemudian terletak sejajar dengan kanal semisirkularis horizontal.
Panjang segmen ini kira-kira 12 milimeter.1
Segmen mastoid ( segmen vertikal) mulai dari dinding medial dan superior kavum timpani.
Perubahan posisi dari segman timpani menjadi segmen mastoid, disebut segman piramidal atau
genu eksterna. Bagian ini merupakan bagian paling posterior dari saraf VII, sehingga mudah
terkena trauma pada saat operasi. Selanjutnya segmen ini berjalan ke arah kaudal menuju segmen
stilomaoid. Panjang segmen ini 15-20 milimeter.1

Gambar 3.2. Persarafan Nervus VII

Nukleus fasialis juga menerima impuls dari talamus yang mengarahkan yang mengarahkan
gerakan ekspresi emosional pada otot-otot wajah. Juga ada hubungan dengan gangglion basalis.
14

Jika bagian ini atau bagian lain dari sistem piramidal menderita penyakit penyakit, mungkin
terdapat penurunan atau hilangnya ekspresi wajah (hipomimia atau amimi).

3.2 Definisi
Istilah Bells palsy telah digunakan untuk menjelaskan paralisis pada wajah dengan onset
yang akut dan terjadi secara cepat, dimana etiologinya belum diketahui secara pasti. Bell's Palsy
(BP) ialah suatu kelumpuhan akut n. fasialis perifer yang tidak diketahui sebabnya. Sir Charles
Bell (1821) seorang ahli bedah dari Skotlandia adalah orang yang pertama meneliti beberapa
penderita dengan wajah asimetrik, sejak itu semua kelumpuhan n. fasialis perifer yang tidak
diketahui sebabnya disebut Bell's palsy3. Pengamatan klinik, pemeriksaan neurologik,
laboratorium dan patologi anatomi menunjukkan bahwa BP bukan penyakit tersendiri tetapi
berhubungan erat dengan banyak faktor dan sering merupakan gejala penyakit lain. Penyakit ini
lebih sering ditemukan pada usia dewasa, jarang pada anak di bawah umur 2 tahun.Biasanya
didahului oleh infeksi saluran napas bagian atas yang erat hubungannya dengan cuaca dingin.4
Diagnosis BP dapat ditegakkan dengan adanya kelumpuhan n. fasialis perifer diikuti pemeriksaan
untuk menyingkirkan penyebab lain kelumpuhan n. fasialis perifer.3

3.3 Epidemiologi
Prevalensi BP di beberapa negara cukup tinggi. Di Inggris dan Amerika berturut-turut 22,4
dan 22,8 penderita per 100,000 penduduk per tahun. Di Belanda (1987) 1 penderita per 5000 orang
dewasa & 1 penderita per 20,000 anak per tahun. BP pada orang dewasa lebih banyak dijumpai
pada pria, sedangkan pada anak tidak terdapat perbedaan yang menyolok antara kedua jenis
kelamin.

3.4 Etiologi
Penyebab kelumpuhan saraf fasialis bisa disebabkan oleh kelainan kongenital, infeksi,
tumor, trauma, gangguan pembuluh darah, idiopatik, dan penyakit-penyakit tertentu.1,3

1. Kongenital
Kelumpuhan yang didapat sejak lahir (kongenital) bersifat irreversible dan terdapat
bersamaan dengan anomaly pada telinga dan tulang pendengaran.1 Pada kelumpuhan saraf
15

fasialis bilateral dapat terjadi karena adanya gangguan perkembangan saraf fasialis dan
seringkali bersamaan dengan kelemahan okular (sindrom Moibeus).3
2. Infeksi
Proses infeksi di intraKranial atau infeksi telinga tengah dapat menyebabkan
kelumpuhan saraf fasialis. Infeksi intracranial yang menyebabkan kelumpuhan ini seperti
pada Sindrom Ramsay-Hunt, Herpes otikus. Infeksi Telinga tengah yang dapat
menimbulkan kelumpuhan saraf fasialis adalah otitis media supuratif kronik (OMSK ) yang
telah merusak Kanal Fallopi.1
3. Tumor
Tumor yang bermetastasis ke tulang temporal merupakan penyebab yang paling
sering ditemukan. Biasanya berasal dari tumor payudara, paru-paru, dan prostat. Juga
dilaporkan bahwa penyebaran langsung dari tumor regional dan sel schwann, kista dan
tumor ganas maupun jinak dari kelenjar parotis bisa menginvasi cabang akhir dari saraf
fasialis yang berdampak sebagai bermacam-macam tingkat kelumpuhan. Pada kasus yang
sangat jarang, karena pelebaran aneurisma arteri karotis dapat mengganggu fungsi motorik
saraf fasialis secara ipsilateral.2
4. Trauma
Kelumpuhan saraf fasialis bisa terjadi karena trauma kepala, terutama jika terjadi
fraktur basis cranii, khususnya bila terjadi fraktur longitudinal. Selain itu luka tusuk, luka
tembak serta penekanan forsep saat lahir juga bisa menjadi penyebab. Saraf fasialis pun
dapat cedera pada operasi mastoid, operasi neuroma akustik/neuralgia trigeminal dan
operasi kelenjar parotis.2
5. Gangguan Pembuluh Darah
Gangguan pembuluh darah yang dapat menyebabkan kelumpuhan saraf fasialis
diantaranya thrombosis arteri karotis, arteri maksilaris dan arteri serebri media.1
6. Idiopatik ( Bells Palsy )
Parese Bell merupakan lesi nervus fasialis yang tidak diketahui penyebabnya atau
tidak menyertai penyakit lain. Pada parese Bell terjadi edema fasialis. Karena terjepit di
dalam foramen stilomastoideus dan menimbulkan kelumpuhan tipe LMN yang disebut
sebagai Bells Palsy.3
16

7. Penyakit-penyakit tertentu
Kelumpuhan fasialis perifer dapat terjadi pada penyakit-penyakit tertentu, misalnya
DM, hepertensi berat, anestesi lokal pada pencabutan gigi, infeksi telinga tengah, sindrom
Guillian Barre.
Bells palsy dapat terjadi pada pria atau wanita segala usia dan disebabkan oleh kerusakan
saraf fasialis yang disebabkan oleh radang, penekanan atau pembengkakan. Penyebab kerusakan
ini tidak diketahui dengan pasti, kendati demikian para ahli meyakini infeksi virus Herpes
Simpleks sebagai penyebabnya. Sehingga terjadi proses radang dan pembengkakan saraf. Pada
kasus yang ringan, kerusakan yang terjadi hanya pada selubung saraf saja sehingga proses
penyembuhannya lebih cepat, sedangkan pada kasus yang lebih berat dapat terjadi jeratan pada
kanalis falopia yang dapat menyebabkan kerusakan permanen serabut saraf.
Faktor-faktor yang diduga berperan menyebabkan BP antara lain: sesudah bepergian jauh
dengan kendaraan, tidur di tempat terbuka, tidur di lantai, hipertensi, stres, hiperkolesterolemi,
diabetes mellitus, penyakit vaskuler, gangguan imunologik dan faktor genetik.

3.5 Patofisiologi

Bells Palsy merupakan lesi nervus fasialis yang terjadi secara akut,yang tidak diketahui
penyebabnya atau menyertai penyakit lain. Teori yang dianut saat ini yaitu teori vaskuler. Pada
Bells Palsy terjadi iskemi primer n. fasialis yang disebabkan oleh vasodilatasi pembuluh darah
yang terletak antara n. fasialis dan dinding kanalis fasialis. Sebab vasodilatasi ini bermacam-
macam, antara lain: infeksi virus, proses imunologik dll. Iskemi primer yang terjadi menyebabkan
gangguan mikrosirkulasi intraneural yang menimbulkan iskemi sekunder dengan akibat gangguan
fungsi n. fasialis. Terjepitnya n. fasialis di daerah foramen stilomastoideus dan menimbulkan
kelumpuhan tipe LMN yang disebut sebagai Bells Palsy.3 Perubahan patologik yang ditemukan
pada n. fasialis sebagai berikut:

1. Tidak ditemukan perubahan patologik kecuali udem


2. Terdapat demielinisasi atau degenerasi mielin.
3. Terdapat degenerasi akson
4. Seluruh jaringan saraf dan jaringan penunjang rusak

Perubahan patologik ini bergantung kepada beratnya kompresi atau strangulasi terhadap Nv. V.
17

3.6 Gejala klinis

Manifestasi klinik Bells Palsy khas dengan memperhatikan riwayat penyakit dan gejala
kelumpuhan yang timbul mendadak. Perasaan nyeri, pegal, linu dan rasa tidak enak pada telinga
atau sekitamya sering merupakan gejala awal yang segera diikuti oleh gejala kelumpuhan otot
wajah berupa :
- Dahi tidak dapat dikerutkan atau lipat dahi hanya terlihat pada sisi yang sehat.
- Kelopak mata tidak dapat menutupi bola mata pada sisi yang lumpuh (lagophthalmus).
- Gerakan bola mata pada sisi yang lumpuh lambat, disertai bola mata berputar ke atas bila
memejamkan mata, fenomena ini disebut Bell's sign.
- Sudut mulut tidak dapat diangkat, lipat nasolabialis mendatar pada sisi yang lumpuh dan
mencong ke sisi yang sehat.
- Selain gejala-gejala diatas, dapat juga ditemukan gejala lain yang menyertai antara lain :
gangguan fungsi pengecap, hiperakusis dan gangguan lakrimasi.

Gambar 3.3. Gejala klinis Gejala dan tanda klinik yang berhubungan dengan lokasi lesi . (Lihat gambar 3.3) 3
1. Lesi di luar foramen stilomastoideus
Mulut tertarik kearah sisi mulut yang sehat, makanan terkumpul di antara pipi dan
gusi. Lipatan kulit dahi menghilang. Apabila mata yang terkena tidak ditutup atau tidak
dilindungi maka air mata akan keluar terus menerus.
18

2. Lesi di kanalis fasialis (melibatkan korda timpani)


Gejala dan tanda klinik seperti pada (1), ditambah dengan hilangnya ketajaman
pengecapan lidah (2/3 bagian depan) dan salivasi di sisi yang terkena berkurang. Hilangnya
daya pengecapan pada lidah menunjukkan terlibatnya saraf intermedius, sekaligus
menunjukkan lesi di antara pons dan titik dimana korda timpani bergabung dengan saraf
fasialis di kanalis fasialis.
3. Lesi di kanalis fasialis lebih tinggi lagi (melibatkan muskulus stapedius)
Gejala dan tanda klinik seperti (1) dan (2) di tambah dengan hiperakusis.
4. Lesi ditempat yang lebih tinggi lagi (melibatkan ganglion genikulatum)
Gejala dan tanda kilinik seperti pada (1),(2),(3) disertai dengan nyeri di belakang dan
didalam liang telinga, dan kegagalan lakrimal. Kasus seperti ini dapat terjadi pascaherpes
di membrana timpani dan konka. Sindrom Ramsay-Hunt adalah kelumpuhan fasialis
perifer yang berhubungan dengan herpes zoster di ganglion genikulatum. Tanda-tandanya
adalah herpes zoster otikus , dengan nyeri dan pembentukan vesikel dalam kanalis
auditorius dan dibelakang aurikel (saraf aurikularis posterior), terjadi tinitus, kegagalan
pendengaran, gangguan pengecapan, pengeluaran air mata dan salivasi.
5. Lesi di meatus akustikus internus
Gejala dan tanda klinik seperti diatas ditambah dengan tuli akibat terlibatnya nervus
akustikus.
6. Lesi ditempat keluarnya saraf fasialis dari pons.
Gejala dan tanda klinik sama dengan diatas, disertai gejala dan tanda terlibatnya saraf
trigeminus, saraf akustikus dan kadang kadang juga saraf abdusen, saraf aksesorius dan
saraf hipoglossus.

Gambar 3.4. Gejala Bells Palsy berhubungan dengan lokasi lesi


19

3.7 Diagnosis
Umumnya diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinik adanya kelumpuhan n.
fasialis perifer diikuti pemeriksaan untuk menyingkirkan penyebab lain dad kelumpuhan n. fasialis
perifer.
Beberapa pemeriksaan penunjang yang penting untuk menentukan letak lesi dan derajat kerusakan
n. Fasialis.

a. Anamnesis
Pasien biasa mengeluhkan : Perasaan nyeri, pegal, linu dan rasa tidak enak pada telinga
atau sekitamya sering merupakan gejala awal yang segera diikuti oleh gejala kelumpuhan
otot wajah yang terjadi secara mendadak.
b. Pemeriksaan Fisik

1. Pemeriksaan fungsi saraf motorik


Terdapat 10 otot-otot utama wajah yang bertanggung jawab untuk terciptanya
mimic dan ekspresi wajah seseorang. Adapun urutan ke-10 otot-otot tersebut dari
sisi superior adalah sebagai berikut :
a. M. Frontalis : diperiksa dengan cara mengangkat alis ke atas.
b. M. Sourcilier : diperiksa dengan cara mengerutkan alis
c. M. Piramidalis : diperiksa dengan cara mengangkat dan mengerutkan hidung
ke atas
d. M. Orbikularis Okuli : diperiksa dengan cara memejamkan kedua mata kuat-
kuat
e. M. Zigomatikus : diperiksa dengan cara tertawa lebar sambil
memperlihatkan gigi
f. M. Relever Komunis : diperiksa dengan cara memoncongkan mulut kedepan
sambil memperlihatkan gigi
g. M. Businator : diperiksa dengan cara menggembungkan kedua pipi
h. M. Orbikularis Oris : diperiksa dengan cara menyuruh penderita bersiul
i. M. Triangularis : diperiksa dengan cara menarik kedua sudut bibir ke bawah
j. M. Mentalis : diperiksa dengan cara memoncongkan mulut yang tertutup
rapat ke depan
20

Pada tiap gerakan dari ke 10 otot tersebut, kita bandingkan antara kanan dan kiri :

a. Untuk gerakan yang normal dan simetris dinilai dengan angka tiga ( 3 )
b. Sedikit ada gerakan dinilai dengan angka satu ( 1 )
c. Diantaranya dinilai dengan angka dua ( 2 )
d. Tidak ada gerakan sama sekali dinilai dengan angka nol ( 0 )

Seluruh otot ekspresi tiap sisi muka dalam keadaan normal akan mempunyai nilai
tiga puluh ( 30 ).1

2. Tonus
Pada keadaan istirahat tanpa kontraksi maka tonus otot menentukan
terhadap kesempurnaan mimic / ekspresi muka. Freyss menganggap penting akan
fungsi tonus sehingga mengadakan penilaian pada setiap tingkatan kelompok otot
muka, bukan pada setiap otot. Cawthorne mengemukakan bahwa tonus yang jelek
memberikan gambaran prognosis yang jelek. Penilaian tonus seluruhnya berjumlah
lima belas (15) yaitu seluruhnya terdapat lima tingkatan dikalikan tiga untuk setiap
tingkatan. Apabila terdapat hipotonus maka nilai tersebut dikurangi satu (-1)
sampai minus dua (-2) pada setiap tingkatan tergantung dari gradasinya.1
3. Gustometri
Sistem pengecapan pada 2/3 anterior lidah dipersarafi oleh n. Korda timpani,
salah satu cabang saraf fasialis.1 Kerusakan pada N VII sebelum percabangan korda
timpani dapat menyebabkan ageusi (hilangnya pengecapan).2
Pemeriksaan dilakukan dengan cara penderita disuruh menjulurkan lidah,
kemudian pemeriksa menaruh bubuk gula, kina, asam sitrat atau garam pada lidah
penderita. Hali ini dilakukan secara bergiliran dan diselingi istirahat. Bila bubuk
ditaruh, penderita tidak boleh menarik lidahnya ke dalam mulut, sebab bubuk akan
tersebar melalui ludah ke sisi lidah lainnya atau ke bagian belakang lidah yang
persarafannya diurus oleh saraf lain. Penderita disuruh untuk menyatakan
pengecapan yang dirasakannya dengan isyarat, misalnya 1 untuk rasa manis, 2
untuk rasa pahit, 3 untuk rasa asin, dan 4 untuk rasa asam.2
21

Pada pemeriksaan fungsi korda timpani adalah perbedaan ambang rangsang


antara kanan dan kiri. Freyss menetapkan bahwa beda 50% antara kedua sisi adalah
patologis.1
4. Salivasi
Pemeriksaan uji salivasi dapat dilakukan dengan melakukan kanulasi kelenjar
submandibularis. Caranya dengan menyelipkan tabung polietilen no 50 kedalam
duktus Wharton. Sepotong kapas yang telah dicelupkan kedalam jus lemon
ditempatkan dalam mulut dan pemeriksa harus melihat aliran ludah pada kedua
tabung. Volume dapat dibandingkan dalam 1 menit. Berkurangnya aliran ludah
sebesar 25 % dianggap abnormal. Gangguan yang sama dapat terjadi pada jalur ini
dan juga pengecapan, karena keduanya ditransmisi oleh saraf korda timpani.4
5. Schimer Test atau Naso-Lacrymal Reflex
Dianggap sebagai pemeriksaan terbaik untuk pemeriksaan fungsi serabut-
serabut pada simpatis dari saraf fasialis yang disalurkan melalui saraf petrosus
superfisialis mayor setinggi ganglion genikulatum. Kerusakan pada atau di atas
saraf petrosus mayor dapat menyebabkan berkurangnya produksi air mata.4,5
Tes Schimer dilakukan untuk menilai fungsi lakrimasi dari mata. Cara
pemeriksaan dengan meletakkan kertas hisap atau lakmus lebar 0,5 cm panjang 5-
10 cm pada dasar konjungtiva. Setelah tiga menit, panjang dari bagian strip yang
menjadi basah dibandingkan dengan sisi satunya. Freys menyatakan bahwa kalau
ada beda kanan dan kiri lebih atau sama dengan 50% dianggap patologis.
6. Refleks Stapedius
Untuk menilai reflex stapedius digunakan elektoakustik impedans meter, yaitu
dengan cara memberikan ransangan pada muskulus stapedius yang bertujuan untuk
mengetahui fungsi N. stapedius cabang N.VII.
7. Uji audiologik

Setiap pasien yang menderita paralisis saraf fasialis perlu menjalani


pemeriksaan audiogram lengkap. Pengujian termasuk hantaran udara dan hantaran
tulang, timpanometri dan reflex stapes. Fungsi saraf cranial kedelapan dapat dinilai
dengan menggunakan uji respon auditorik yang dibangkitkan dari batang otak. Uji
ini bermanfaat dalam mendeteksi patologi kanalis akustikus internus. Suatu tuli
22

konduktif dapat memberikan kesan suatu kelainan dalam telinga tengah, dan
dengan memandang syaraf fasialis yang terpapar pada daerah ini, perlu
dipertimbangkan suatu sumber infeksi. Jika terjadi kelumpuhan saraf ketujuh pada
waktu otitis media akut, maka mungkin gangguan saraf pada telinga tengah.
Pengujian reflek dapat dilakukan pada telinga ipsilateral atau kontralateral dengan
menggunakan suatu nada yang keras, yang akan membangkitkan respon suatu
gerakan reflek dari otot stapedius. Gerakan ini mengubah tegangan membrane
timpani dan menyebabkan perubahan impedansi rantai osikular. Jika nada tersebut
diperdengarkan pada belahan telinga yang normal, dan reflek ini pada
perangsangan kedua telinga mengesankan suatu kelainan pada bagian aferen saraf
kranialis.2

8. Sinkinesis
Sinkinesis menetukan suatu komplikasi dari kelumpuhan saraf fasialis yang sering
kita jumpai. Cara mengetahui ada tidaknya sinkinesis adalah sebagai berikut :1
a. Penderita diminta untuk memenjamkan mata kuat-kuat kemudian kita melihat
pergerakan otot-otot pada daerah sudut bibir atas. Kalau pergerakan normal
pada kedua sisi dinilai dengan angka dua (2). Kalau pergerakan pada sisi
paresis lebih (hiper) dibandingkan dengan sisi normal nilainya dikurangi satu
(-1) atau dua (-2), tergantung dari gradasinya.
b. Penderita diminta untuk tertawa lebar sambil memperlihatkan gigi, kemudian
kita melihat pergerakan otot-otot pada sudut mata bawah. Penilaian seperti
pada (a).
c. Sinkinesis juga dapat dilihat pada waktu penderita berbicara (gerakan emosi)
dengan memperhatikan pergerakan otot-otot sekitar mulut. Nilai satu (1) kalau
pergerakan normal. Nilai nol (0) kalau pergerakan tidak simetris.

9. Pemeriksaan House-Brackmann

Gambaran dari disfungsi motorik fasial ini sangat luas dan karakteristik dari
kelumpuhan ini sangat sulit. Beberapa sistem telah usulkan tetapi semenjak
pertengahan 1980 sistem House-Brackmann yang selalu atau sangat dianjurkan .
pada klasifikasi ini grade 1 merupakan fungsi yang normal dan grade 6 merupakan
23

kelumpuhan yang komplit. Pertengahan grade ini sistem berbeda penyesuaian dari
fungsi ini pada istirahat dan dengan kegiatan. Ini diringkas dalam tabel:6
Grade Penjelasan Karakteristik

I Normal Fungsi fasial normal

II Disfungsi ringan Kelemahan yang sedikit yang terlihat pada inspeksi dekat, bisa ada
sedikit sinkinesis.
Pada istirahat simetri dan selaras.
Pergerakan dahi sedang sampai baik
Menutup mata dengan usaha yang minimal
Terdapat sedikit asimetris pada mulut jika melakukan pergerakan
III Disfungsi sedang Terlihat tapi tidak tampak adanya perbedaan antara kedua sisi
Adanya sinkinesis ringan
Dapat ditemukam spasme atau kontraktur hemifasial
Pada istirahat simetris dan selaras
Pergerakan dahi ringan sampai sedang
Menutup mata dengan usaha
Mulut sedikit lemah dengan pergerakan yang maksimum

IV Disfungsi sedang Tampak kelemahan bagian wajah yang jelas dan asimetri
berat Kemampuan menggerakkan dahi tidak ada
Tidak dapat menutup mata dengan sempurna
Mulut tampak asimetris dan sulit digerakkan.

V Disfungsi berat Wajah tampak asimetris


Pergerakan wajah tidak ada dan sulit dinilai
Dahi tidak dapat digerakkan
Tidak dapat menutup mata
Mulut tidak simetris dan sulit digerakkan

VI Total parese Tidak ada pergerakkan


24

c. Pemeriksaan Penunjang

Salah satu pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk mengetahui kelumpuhan
saraf fasialis adalah dengan uji fungsi saraf. Terdapat beberapa uji fungsi saraf yang
tersedia antara lain Elektromigrafi (EMG), Elektroneuronografi (ENOG).2
1. Elektromiografi (EMG)
EMG sering kali dilakukan oleh bagian neurologi. Pemeriksaan ini bermanfaat untuk
menentukan perjalanan respons reinervasi pasien. Pola EMG dapat diklasifikasikan
sebagai respon normal, pola denervasi, pola fibrilasi, atau suatu pola yang kacau yang
mengesankan suatu miopati atau neuropati. Namun, nilai suatu EMG sangat terbatas
kurang dari 21 hari setelah paralisis akut. Sebelum 21 hari, jika wajah tidak bergerak,
EMG akan memperlihatkan potensial denervasi. Potensial fibrilasi merupakan suatu
tanda positif yang menunjukkan kepulihan sebagian serabut. Potensial ini terlihat
sebelum 21 hari
2. Elektroneuronografi (ENOG)

ENOG memberi informasi lebih awal dibandingkan dengan EMG. ENOG melakukan
stimulasi pada satu titik dan pengukuran EMG pada satu titik yang lebih distal dari
saraf. Kecepatan hantaran saraf dapat diperhitungkan. Bila terdapat reduksi 90% pada
ENOG bila dibandingkan dengan sisi lainnya dalam sepuluh hari, maka kemungkinan
sembuh juga berkurang secara bermakna. Fisch Eselin melaporkan bahwa suatu
penurunan sebesar 25 persen berakibat penyembuhan tidak lengkap pada 88 persen
pasien mereka, sementara 77 persen pasien yang mampu mempertahankan respons di
atas angka tersebut mengalami penyembuhan normal saraf fasialis.2
3.8. Tatalaksana

a) Glukokortikoid

Farmakologi dan penggunaan klinis

Glukokortikoid berperan dalam menghambat tiap fase dari respon inflamasi, obat-
obat ini juga memainkan peran penting dalam parahnya inflamasi dan kelainan
immune-immediate. Mekanisme pasti oleh keuntungan steroid digunakan tidak begitu
jelas ditemukan dalam banyak kondisi dimana steroid ini digambarkan. Pada berbagai
petunjuk dan indikasi menyatakan penggunaan steroid sebagai empiris. Penggunaan
25

steroid lebih diarahkan ke fase aku saat serangan, contohnya pada Cerebral Palsy, tapi
tidak berefek penuh pada pemulihan total.
Respon inflamasi di mediasi oleh beberapa bahan-bahan intermediate dan tipe-
tipe sel. Efek anti inflamasi umum dari kortikosteroid antara lain adalah efek dari denyut
pembuluh darah, permiabilitas, dan penekanan dari produksi leukosit dan biosintesis
kolagen. Demopilus et al menerangkan buktti bawa peroksidasi lemak menginduksi
radikal-radikal oksigen bebas membenttuk basis molekul untuk degenerasi neuron
postraumatik dan steroid mengambat proses tersebut. Hall dan Braugter mengamati
secara luas dosis-dosis pre-penatalaksanaan metilprednisolon yang dibutuhkan untuk
memproduksi pengaruh anti-oksidan ini, dan pre-penatalaksanaan dengan dosis yang
lebih rendah tidak efektif.
Terapi steroid untuk inlamasi neouropati seperti neuritis optic idiopatik masih
menadi controversial. Sementara glukokortikoid nampak dalam penggunaanya untuk
mengurangi rasa sakit dan memperpendek periode dari kebutaan, ada sedikit bukti
bahwa steroid tersebut mempengaruhi level utama dari penyembuhan visual.
Sebagai tambahan dari keuntungan ani inflamasi glukokortikoid, glokokortikoid
steroid memfasilitasi aksi dari neuromuscular junction. Efek-efek yang saling
mempengaruhhi dari steroid ini dapat mengkontribusikan penyembuhan fungsi
neuromuskular pada kelainan seperti inflamasi polyradiculoneuropati (Guilan Barre
Syndrom), patologi yang disebabkan inflamasi, demyelinisasi segmental.

Penggunaan steroid pada tatalaksana Bells Palsy

Adour, Stankevitch, dan May telah menyediakan pandangan komprehensiv dalam


penggunaan terapi steroid pada Bells Palsy. Kebanyakan pembelajaran akhir-akhir ini
mengenai kegunaan steroid pada Belss Palsy didasarkan pada pasien yang diperlakukan
dengan control sebelumnya.
Berdasarkan penelitian ini, yang menggunakan dosis yang lebih besar dari steroid
dan dosis luas gllukokortikoid dengan dextrran dan pentoxiflin memberikan dampak
rata-rata perkembangan kesembuhan dari pasien yang mendapat tindakan walaupun
penatalaksanaan tersebut tidak menampakkan statistic yang signifikan pada sudi-studi
sebelumnya.
26

Hasil evaluasi dari Stankewicz, steroid diberikan pada pasien Bells Palsy dengan
alasan stetroid dapat:
Mengurangi resiko denervasi jika diberikan secara dini
Mencegah atau mengurangi sinkinesis
Mencegah dari perkembangan inkompit menjadi komplit paralisis
Mencegah sinkinesis autonomic

Tujuan utama dari terapi glukokortikoid pada facial paralysis akut adalah
menginduksi kontrol anti inflamasi efektif. Regimen dosis glukokortikoid yang optimal
untuk penanganan inflamasi neuritis tergantung dari pemberian kortikosteroid saat
proses penyakit berlangsung. Seperti yang telah ditunjukkan pada respon EEMG,
pemberian glokokortikoid pada Bells Palsy dalam 5-10 hari. Lesi-lesi pada pada organ-
organ lain biasanya hilang 1 sampai 2 minggu, tampaknya pada inflamasi saraf facial
(saraf VII) pada virus ini dapat ditangani pada periode ini.
Strategi pemberian steroid pada Belss Palsy disarankan dengan oral prednisone
(1mg/kgBB/hari)dibagi menjadi 3 dosis tiap harinya selama 7-10 hari. Dosis harian
harus ditappering off setelah 10 hari. Secara teori regimen dosis ini memaksimalkan
aktivitas anti inflamasi sementara meminimalkan efek samping dan konsisten dengan
anti inflamasi yang efektif pada hipersensitiv akut, autoimun, dan kelainan inflamasi
lainnya.
Efek samping
Efek samping biasanya manifestasi selama tatalaksana steroid jangka pendek
termasuk aksi hiperglikemik. Harus diwaspadai pemberian steroid pada pasien palsy
facial akut yang berhubungan dengan intoleransi glukosa. Efek samping akut lainnya
termasuk perubahan CNS seperti psychotic breaks, ketidakseimbangan cairan dan
elektrolit, dan iritasi gastrointestinal.
Efek glukokortikoid pada seluler dan komponen-komponen jaringan inflamasi
dapat mengurangi imunitas host terhadap bakteri, virus, dan infeksi jamur. Infeksi laten
dapat reaktivasi dan berkembang. Ditambah lagi pemberian steroid yang menekan
system imun bisa menutupi gejala adanya tanda klinik dari suatu peyakit infeksi.
27

b) Terapi Antivirus
Kemoterapi antivirus menghadirkan cara yang lebih baru dalam menangani facial
palsy akut dari penyebab virus. Berdasarkan spectrum dari aktivitasnya, toksisitas yang
rendah, asiklovir (acycloguanosine), analog nukleosida purin sintetik, telah digunakan
untuk mencegah HS tipe I dan II, VZ, dan Epstein Barr virus dan cytomegalovirus.
Asiklovir mencegah DNA polymerase dan replikasi DNA virus dengan bentuk yang
dikonversi (difosforilasi), itulah asiklovir bertindak sebagai analog nukleosida.
Dickens, Smith, dan Graham menyarankan pemberian asiklovir pada deficit
neurologic yang dihasilkan herpes zoster otikus adalah asiklovir intravena (10mg/kgBB
setiap 8 jam selama 7 hari). Pemberian antivirus secara dini ini telah dibuktikan oleh
Given mencegah degenerasi dari saraf yang dapat menyebab hilangnya pendengaran.
c) Fase Dini
- IR (panas superfisial) 20-30 menit pada daerah muka yang sakit
- SWD/MWD (panas dalam) 15-20 menit pada daerah terapi ditulang mastoid
- Elektrostimulasi (ES) 3-5kali/minggu diberikan 5-7 hari setelah onset, yang
distimulasi adalah otot-otot wajah yang terkena. Stimulasi listrik ini untuk
mencegah / memperlambat terjadinya atropi wajah sambil menunggu regenerasi
saraf selesai (komplit atau inkomplit)
- Petunjuk dirumah (Home Exercise Program) 2 kali/hari, masase otot wajah ke arah
atas / stroking superfisial.
- Pemasangan Y plester pada daerah pipi ke arah telinga, hati-hati reaksi alergi atau
iritasi, diganti tiap 8 jam.
- Perawatan mata dapat diberikan tetes mata (golongan artificial tears), memakai
kacamata gelap pada siang hari, menutup kelopak mata secara pasif sebelum tidur.
Bila perlu dapat juga ditutup dengan kasa steril atau kacamata.
d) Fase Kronis (setelah 6 bulan onset)
- Kelumpuhan ringan sampai sedang dapat diberikan terapi IR, masase otot wajah,
latihan dan obat neurotropik.
- Kelumpuhan berat sampai total, konsultasi bedah saraf.
- Bila terjadi sinkinetik, spasme otot wajah dan kontraktur, diberikan IR dan latihan
biofeedback.
28

e) Psikoterapi
Bila ada gangguan psikis yang menonjol, pemberian motivasi untuk berobat rutin dan
meningkatkan kepercayaan diri.
Advis :
- Hindari udara dingin
- Istirahat cukup
- Kurangi strees
- Melaksanakan latihan dirumah di samping fisioterapi rutin sampai terjadi simetris
otot wajah.
- Kasus yang tidak ada respons terhadap fisioterapi dianjurkan pemeriksaan lebih
lengkap (EMG) dengan kemungkinan dilakukan operasi (dekompresi).
f) Dekompresi nervus
Pembedahan dekompresi dari saraf fasial untuk Bells Palsy pernah dilakukan
Balance dan Duel pada tahun 1932. Kemudian penggunaan stimulasi listrik nervus fasial
mulai ditinggalkan. Yang terpenting, segen vertical telah didekompresi, lalu dekompresi
dari seluruh segmen mastoid direkomendasi (prosedur yang dilakukan adalah termasuk
htimpani dan segmen mastoid), dan akhir-akhir ini segmen labirin termasuk foramen
meatal.
Menggunakan pendekatan transmastoid untuk dekompesi saraf, May menemukan
bahwa dekompresi meningkatkan penyembuhan pada pasien yang stimulasi nervusnya
telah berkurang 75%atau lebih. Bagaimanapun, prosedur ini tidak menampakkan bukti
signifikan antara yang mendapatkan operasi yang sembuh (87% dari 273pasien) dengan
pasien yang sembuh dengan sendirinya.

3.9 Prognosis
Sangat bergantung kepada derajat kerusakan n. fasialis. Pada anak prognosis umumnya baik
oleh karena jarang terjadi denervasi total. Penyembuhan spontan terlihat beberapa hari setelah
onset penyakit dan pada anak 90% akan mengalami penyembuhan tanpa gejala sisa. Jika dengan
prednison dan fisioterapi selama 3 minggu belum mengalami penyembuhan, besar kemungkinan
akan terjadi gejala sisa berupa kontraktur otot-otot wajah, sinkinesis, fasialis dan sindrom air mata.
29

BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Diagnosis pasien ini adalah Bells Palsy dengan fungsi fisiologi dan fungsi patologis baik.
Untuk selanjutnya dibutuhkan adanya edukasi kepada pasien untuk memberikan prognosis yang
lebih baik dan pengetahuan kepada pasien tentang penyakit, komplikasi, pengobatan dan
rehabilitasi pasien.

4.2 Saran

1. Promotif: Memberikan penjelasan terhadap pasien dan keluarganya tentang penyakit


pasien, definisi, gejala, pengobatan dan komplikasinya.
2. Preventif: Memberikan edukasi pada pasien untuk mengetahui tanda dan gejala Bells
Palsy.
3. Kuratif: Persiapkan penanganan awal bila terjadi gejala dan segera ke pelayanan kesehatan
terdekat.
4. Rehabilitatif: Mengajarkan pasien pemulihan dan diet pasien hingga pulih.
30

DAFTAR PUSTAKA

1. Aminoff MJ, Greenberg DA, Simon RP. Disorders of peripheral nerves: Bell palsy. In:
Aminoff MJ, Greenberg DA, Simon RP, editors. Clinical Neurology. 6th Ed. USA: The
McGraw-Hill Companies, Inc; 2005. p. 182.

2. Lo B. Emergency medicine-neurology: Bells palsy. Eastern Virginia: Medscape. 2010.

3. Hauser WA, Karnes WE, Annis J, Kurland LT. Incidence and prognosis of Bells palsy in
the population of Rochester, Minnesota. Mayo Clin Proc. 1971;46:258.

4. Ropper AH, Adams RD, Victor M, Brown RH. Disease of spinal cord, peripheral nerve,
and muscle. In: Ropper AH, Brown RH, editors. Adam and Victors Principles of
Neurology. 8th Ed. USA: The McGraw-Hill Companies, Inc.; 2005. p. 1180-2.

5. Noback CR, Strominger NL, Demarest RJ, Ruggiero DA. Cranial nerves and chemical
senses. In: Strominger NL, editor. The human nervous system: structure and function. 6th
Ed. New Jersey: Humana Press; 2005. p. 253.

6. Sabirin J. Bells palsy. In: Hadinoto HS, Noerjanto M, Jenie MN, Wirawan RB, Husni A,
Soetedjo, editors. Gangguan gerak. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
1996. p. 163-72.

7. Seok JI, Lee DK, Kim KJ. The usefulness of clinical findings in localising lesions in Bells
palsy: comparison with MRI. J Neurol Neurosurg Psychiatry. 2008;79:418-20.

8. Burgess RC, Michaels L, Bale JF Jr., Smith RJ. Polymerase chain reaction amplification
of Herpes Simplex Viral DNA from the geniculate ganglion of a patient with Bells palsy.
Ann Otol Rhinol Laryngol. 1994;103:775.

9. Murakami S, Honda N, Mizobuchi M, Nakashiro Y, Hato N, Gyo K, et al. Rapid diagnosis


of varicella Zoster Virus in acute facial palsy. Neurology. 1998;51:1202.

10. Ginsberg L. Penglihatan dan nervus kranialis lainnya. In: Ginsberg L, editor. Lecture
Notes-Neurologi. Jakarta: Penerbit Erlangga. 2005. p. 35.

11. Grosheva M, Wittekindt C, Guntinas-Lichius O. Prognostic value of electroneurography


and electromyography in facial palsy. Laryngoscope. 2008;118:394-7.
31

12. Hill MD, Midroni G, Goldstein WC, Deeks SL, Low DE, Morris AM. The spectrum of
electrophysiological abnormalities in Bells

13. Soebadi Ratna D; dkk.Pedoman Diagnosis dan Terapi Edisi I. Surabaya. Fakultas
Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya. 2008.

Anda mungkin juga menyukai