Anda di halaman 1dari 46

VICKY AGUSTINA, S.T., M.

Eng
IMAH
PANGGUNG
SUNDA
Wilayah Jawa Barat pada
abad ke-5 merupakan
bagian dari
Kerajaan Tarumanagara.
Sebelum tahun 1925,
digunakan
istilah Soendalanden (Tat
ar Soenda) atau
Pasoendan, untuk
menyebut bagian Pulau
Jawa di sebelah barat yang
sebagian besar dihuni oleh
penduduk yang
menggunakan
bahasa Sunda sebagai
bahasa ibu.
Iklim di Jawa Barat adalah
tropis, dengan suhu 9 C di
Puncak Gunung Pangrango dan
34 C di Pantai Utara, curah
hujan rata-rata 2.000 mm per
tahun, namun di beberapa
daerah pegunungan antara
3.000 sampai 5.000 mm per
tahun.
Daratan dapat dibedakan atas
wilayah pegunungan curam di
selatan, wilayah lereng bukit
yang landai di tengah, wilayah
dataran luas di utara, dan
wilayah aliran sungai.
Menurut Rouffaer (1905: 16) ; kata
Sunda berasal dari akar kata sund
atau kata suddha dalam bahasa
Sansekerta yang mempunyai
pengertian bersinar, terang,
berkilau, putih.
Dalam bahasa Jawa Kuno (Kawi)
dan bahasa Bali pun terdapat kata
Sunda, dengan pengertian: bersih,
suci, murni, tak tercela/bernoda,
air, tumpukan, pangkat, waspada .

Orang Sunda meyakini bahwa memiliki etos atau karakter


Kasundaan, sebagai jalan menuju keutamaan hidup.
Sistem keluarga dalam suku Sunda bersifat bilateral, garis keturunan
ditarik dari pihak bapak dan ibu.
Dalam keluarga Sunda, bapak yang bertindak sebagai kepala
keluarga.
Ikatan kekeluargaan yang kuat dan peranan agama Islam yang sangat
mempengaruhi adat istiadat mewarnai seluruh sendi kehidupan suku
Sunda.
Dalam suku Sunda dikenal adanya pancakaki yaitu sebagai istilah-
istilah untuk menunjukkan hubungan kekerabatan.
1. Saudara yang berhubungan langsung, ke bawah, dan vertikal. Yaitu
anak, euncu (cucu), piut (buyut), bao, canggahwareng atau janggawar
eng, udeg-udeg, kaitsiwur atau gantungsiwur.
2. Saudara yang berhubungan tidak langsung dan horizontal seperti
anak paman, bibi, atau uwak, anak saudara kakek atau nenek, anak
saudara piut.
3. Saudara yang berhubungan tidak langsung dan langsung serta
vertikal seperti keponakan anak kakak, keponakan anak adik, dan
seterusnya.
Sebelum datangnya ajaran Hindu dan Islam, Sunda
Wiwitan merupakan kepercayaan yang dianut sejak lama
oleh orang Sunda. (animisme dan dinamisme)
Pada Sunda Wiwitan, Kekuasaan tertinggi berada
pada Sang Hyang Kersa (Yang Mahakuasa) atau Nu
Ngersakeun (Yang Menghendaki).
Ada tiga macam alam dalam kepercayaan Sunda Wiwitan
seperti disebutkan dalam pantun mengenai mitologi
orang Kanekes:
Buana Nyungcung: tempat bersemayam Sang Hyang
Kersa, yang letaknya paling atas
Buana Panca Tengah: tempat berdiam manusia dan
makhluk lainnya, letaknya di tengah
Buana Larang: neraka, letaknya paling bawah
Penyampaian doa dilakukan
melalui nyanyian pantun dan
kidung serta gerak tarian.
(Upacara syukuran panen padi
dan perayaan pergantian tahun
yang berdasarkan pada
penanggalan Sunda yang
dikenal dengan nama
Perayaan Seren Taun)
Pada umumnya mengelompok
dengan letak rumah satu dengan
lainnya berhimpitan,
Memiliki dua deret yang saling
berhadapan terpisah oleh
pelataran dengan terdiri dan
beberapa deretan rumah.
Selain rumah terdapat bangunan
lainnya seperti
bangunan masjid,
balai pertemuan (bale
patemon)
lumbung padi (/euit),
kandang temak,
kamar mandi umum (MCK),
kebun,
kolam ikan (ba/ong) sawah
serta sarana fisik lain
disekelilingnya yang berkaitan
erat dengan permukiman.
Perkampungan terletak di lereng bukit di suatu areal tanah yang berkontur.
Letak rumah di permukiman memiliki ketlnggian yang berbeda-beda.
Deretan rumah yang satu terletak lebih tinggi dengan deretan rumah lain
dan dibatasi oleh semacam penahan tanah atau turap (sengked-sengked)
dan susunan batu, agar tanah yang lebih tinggl tidak mudahlongsor.
Tidak ada ketentuan khusus tentang letak dan arah
menghadap rumah, hanya pada kalangan masyarakat
tertentu, rumah menghadap ke suatu arah yang
dianggap lebih tinggi derajatnya
Kampung Naga, menghadap arah utara-selatan, karena
menghadap kepada tukuh kampung atau pancer kampung.
Baduy, rumah membujur utara-selatan, sedangkan pintu
rumah menghadap barat-timur, hal ini disebabkan letak
sasakadomas yang ada di daerah sebelah selatan.
Letak rumah di Kampung Pulo (Garut) menghadap utara-
selatan, sedangkan atapnya membujur arah timur-barat,
hal ini dimungkinkan karena adanya makam "Embah Arief
Muhammad" yang dianggap sebagai pancer.
Di daerah Indramayu, rumah harus menghadap ke
gunung, identik dengan konsep kaja-kelod di kalangan
orang Bali yang beragama Hindu-Bali.
Penduduk tatar Sunda jaman dulu
tergolong masyarakat ladang dan
sering pindah tempat mengikuti
letak peladangannya.
Terlihat dalam hal bangunan yang
harus sederhana dan tidak
permanen. Hal yang dianggap tabu
oleh masyarakat adalah
penggunaan genteng untuk atap
rumah dan pemanfaatan paku.
Semua dianggap benda-benda asing
yang tidak cocok dan ditolak
pemanfaatannya (Saleh
Danasasmita, 1975)
Rumah dalam bahasa Sunda adalah imah
atau bumi, dalam bahasa Indonesia
sepadan dengan bumi atau dalam
pengertian yang sesungguhnya yaitu
dunia.
Rumah bagi orang Sunda dipandang
memiliki sifat kewanitaan.
Peranan seorang wanita atau istri yang
sangat menentukan di rumah, istri sebagai
tuan di rumah.
Bentuk bangunan rumah Sunda biasanya
berbentuk panggung, berdasarkan
pandangan kosmisnya, kedudukan secara
makro dalam jagat raya ini terletak
diantara dunia bawah dan dunia atas,
maka dengan demikian rumah berada di
daerah netral yang merupakan
penghubung di antara dua dunia .
Rumah panggung dengan ketinggian panggung kurang dari 1 m
Bahan material sebagian besar dari bambu dan kayu
Arsitektur yang sangat sederhana tanpa banyak ragam hias dan ornamen
Berdasarkan lokasi permukiman ada 2 tipe rumah
tradisional Sunda:
Rumah tipe Keteduhan (daerah datar dan pantai)
Rumah tipe Kehangatan (daerah bukit dan
pegunungan)
Ciri-ciri bangunan untuk keteduhan ini
adalah :
1. Lantai rumah langsung beralaskan tanah
2. Di sekeliling rumah terdapat serambi
yang memberi keteduhan inti rumah.
3. Serambi depan dapat berbentuk pendopo
dengan bubungan atap yang terpisah.
4. Inti rumah terbagi menjadi beberapa
ruangan yang simetris kiri dan kanan yang
digunakan sebagai tempat menerima tamu
serta kamar tidur keluarga.
5. Bentuk atapnya, umumnya pelana atau
limas yang merupakan pengaruh dari
bentuk atap rumah lradisional Jawa.
6. Bahan bangunan untuk dinding terbuat
dari kayu atau bambu dengan atap terbuat
dari daun alang-alang atau daun enau.
Tetapi sekarang banyak warga yang
memakai batu bata unluk dinding dan
genting untuk atap.
Ciri-cirinya bangunan untuk kehangatan ini
adalah :
1. Rumah lebih kompak, dengan serambi kecil
yang terbuka, ruang inti lebih sering tidak
terbagi. Dapur termasuk sebagai ruang
berkumpul pada pagi hari,
2. Rumah dibangun diatas umpak, tingginya
40 cm sampai dengan 60 cm. Dulu lebih tinggi
lagi. Dapur tidak di lantai rumah, tetapi turun
ke tanah. Kalau rumah itu mempunyai serambi
atau pendopo depan, maka pendopo tersebut
tidak dibangun di atas panggung, tetapi
berlantai setinggi tanah,
3. Kecuali rumah inti, ada bangunan lumbung,
kandang ternak, pendopo menumbuk padi,
kolam ikan dan bagi orang berada juga
bangunan langgar/mushola kecil, di dekat
kolam ikan,
4. Bahan bangunan sekarang umumnya sama
seperti rumah-rumah tipe datar dan pantai,
ditambah ada beberapa daerah yang masih
menggunakan ijuk sebagai penutup atap.
Berdasarkan bentuk atap ada 5 tipe rumah tradisional
Sunda:
Dalam bahasa Sunda, istilah
Jolopong memlliki arti tergolek
lurus.
Bentuk atap suhunan lurus
(suhunan jolopong) adalah
bentuk atap pelana.
Kedua bidang atap dipisahkan
oleh jalur suhunan yang
terletak di bagian tengahnya.
Bentuk atap suhunan lurus
(suhunan jolopong)
merupakan bentuk dasar
setiap rumah adat Sunda.
Bentuk atap sikap anjing
sedang duduk (jogo
anjing/tagog anjlng) adalah
bentuk atap yang bidang atap
yang pertama lebih lebar
dibanding dengan bidang
atap lainnya.
Ruangan-ruangan berada di
bawah atap belakang.
Atap depan hanya berfungsi
sebagai penulup atap teras
saja.
Bentuk atap terbentuk
karena ada pengaruh
kebudayaan Jawa (Mataram).
Bangunan dengan atap
bentuk badak menganga
(badak heuay)
Bidang atap belakang lurus
ke atas melewati batang
suhunan sedikit.
Bidng atap yang melewati
suhunan ini dinamakan
rambu.
sebutan untuk rumah
dengan bentuk atap perisai
oleh masyarakat sunda,
disebut perahu kumureb
karena bentuk atap seperti
perahu terbalik
Jenis atap yang sering
digunakan setelah atap
Jolopong
Istilah julang ngapak sudah
dikenal oleh masyarakat Sunda
sejak beberapa waktu lampau.
Bentuk atap julang ngapak
adalah bentuk atap yang
melebar di kedua bidang sisi
atapnya.
tampak depan, bentuk atap
rumah menyerupai sayap
burung Julang yang sedang
merentang sayapnya.
Bidang atap tambahan pada sisi
samping atap lebih landai dari
atap utama, dan disebut leang-
Ieang.
Berdasarkan lokasi pintu masuk ada 2 tipe rumah
tradisional Sunda:
Pada rumah adat suku Sunda, ada tiga pembagian ruang
yang biasanya jadi pakem saat membangun sebuah
rumah, yaitu:
1. Bagian Hareup atau Tepas (Bagian Depan Rumah)
Fungsinya mirip dengan teras dan kamar tamu saat ini, yaitu
sebagai lokasi menjamu tamu lelaki dan juga sebagai
tempat mereka tidur. Ini sebagai bentuk penghormatan
kepada tamu dan juga mencegah tamu masuk ke daerah lain
rumah di mana ada wanita di rumah tersebut.
Pada rumah yang masih tradisional, bagian teras
depan yang disebut emper ini tidak pernah diberi perabot
semacam tempat duduk, atau meja dan kursi. Jadi, para
tetamu dan lelaki yang menjamu mereka semua duduk di
lantai atau tikar yang digelar. Kini, ada beberapa
rumah yang telah melengkapi teras ruang tetamu dengan
meja dan kursi.
2. Bagian Tengah Rumah ( Tengah Imah )
Bagian ini dibatasi dengan dinding, untuk
memisahkan dari bagian depan rumah.
Ada beberapa bilik atau pangkeng yang menjadi
ruang penghuni rumah beristirahat atau tidur.
Namun pangkeng tak absolut ada, karena tergantung
pada keinginan dan kemampuan si pemilik rumah.
Demikian juga sebuah bagian di tengah rumah yang
fungsinya semacam ruang keluarga atau ruang para
anggota keluarga berkumpul.
3. Bagian Belakang Rumah ( Tukang/Pawon )
Fungsinya sebagai dapur dan goah tempat memasak
hidangan para penghuni rumah. Bagian rumah ini
terlarang bagi lelaki untuk memasukinya, karena ini
bagian rumah spesifik untuk wanita. Tabu lelaki
memasukinya kecuali darurat. Tamu wanita pun
diterima di bagian belakang rumah ini.
Pembedaan ini juga seakan menunjukkan tugas dan
fungsi masing-masing yang berbeda. Lelaki ada di
Hareup, sebagai pemimpin dan wanita tempatnya di
Tukang sebagai pelayan dan perawat seluruh penghuni
rumah.
Organisasi ruang pada rumah panggung terdiri dari 3
(tiga):
1. Tepas imah (depan) merupakan daerah laki-laki,
karena aktifitasnya cenderung dilakukan oleh laki-laki,
2. Tengah imah (tengah) menjadi daerah umum,
karena laki-laki dan perempuan dapat melakukan
aktifitas bersama-sama,
3. Pawon (belakang) merupakan daerah perempuan,
karena seluruh aktifitasnya dilakukan oleh perempuan.
Padaringan dan
dapur, letaknya yang
lebih umum di arah
timur-barat.

Area di mana beras


tersimpan dan sesajen
tersedia untuk para
lelembut Nyi Sri yang
memiliki sifat
kewanitaan', laki-laki
sama sekali dilarang
masuk ke area ini,
pamali 'tabu', karena
baik sesajen dan
penempatan beras di
dalam ruangan ini
ditata dan dibuat oleh
wanita.
Atas (kepala) memiliki makna hubungan
manusia ke Tuhan (vertikal). (dilibatkan
dalam ritual adat)

Tengah (badan) memiliki makna kehidupan .


(area kegiatan sehari-hari manusia)

Bawah (kaki) memiliki makna kebinasaan


atau kematian (tanah sebagai simbol
kematian)
1. manusia tidaklah hidup di alam langit atau alam
kahyangan, dunia atas. Dan juga tidak hidup di dunia
bawah. Maka dari itu manusia harus hidup
dipertengahannya dan tinggal di tengah-tengah.
2. pola keseimbangan hidup dimana harus selarasnya
antara hubungan vertikal (interaksi diri dengan Tuhan)
dengan hubungan horizontal (interaksi diri dengan
lingkungan alam semesta) manifestasi ini nampak dari
bangunan rumah yang tidak langsung menyentuh tanah.
3. Rumah dalam bahasa sunda adalah Bumi (bahasa
halus), dan bumi adalah dunia. Ini mencerminkan bahwa
rumah bukan hanya tempat untuk tinggal dan berteduh,
tapi lebih dari itu.
Nilai filosofis yang terkandung didalam arsitektur
rumah tradisional Sunda secara umum, ditujukan
untuk menghormati alam sekelilingnya.
Rumah bukan sebuah benteng perlindungan dari
peperangan antar kampung, masyarakat suku Sunda
sangat menjunjung tinggi perdamaian dan
kerukunan antar umat manusia.
Rumah bagi orang Sunda semata sebagai tempat
perlindungan dari hujan, angin, terik matahari dan
binatang.
Secara teknik rumah panggung memiliki tiga fungsi, yaitu:
1. tidak mengganggu bidang resapan air,
2. kolong sebagai media pengkondisian ruang dengan
mengalirnya udara secara silang baik untuk kehangatan dan
kesejukan,
3. kolong juga dipakai untuk menyimpan persediaan kayu bakar
Fungsi secara simbolik
didasarkan pada kepercayaan bahwa tempat tinggal manusia
harus terletak di tengah-tengah, rumah harus memakai tiang
yang berfungsi sebagai pemisah rumah secara keseluruhan
dengan dunia bawah dan atas.
Tiang rumah juga tidak boleh terletak langsung di atas tanah,
oleh karena itu harus di beri alas yang berfungsi
memisahkannya dari tanah yaitu berupa batu yang disebut
umpak
1. Kolong : ruangan yang terdapat di bawah lantai rumah tingginya 40-60
m di atas permukaan tanah. Fungsi : menyimpan alat-alat pertanian
2. Tatapakan : penopang dasar dari tiang rumah yang lerbuat dari batu.
Selain batu juga dapat dibualtdari bata yang disusun.
3. Dinding : terbuat dari bahan bambu yang dianyam yang disebut bilik
dan bahan kayu yang disebut gebyog.
4. Jendela : daun jendela terbuat dari papan-papan kayu
5. Ampig : dinding gunungan atap terbuat dari bambu atau kayu
6. Kuda-kuda : difungsikan untuk menahan rangka atap dan suhunan.
7. Suhunan : sebagai tempat dudukan bubungan rumah.
8. Ereng : bagian untuk menahan penutup atap, dibuat dari bambu yang
dibelah dipasang sejajar.
9. Usuk : tempat menempel ereng dan atap rumah, dibuat dari bambu
bulat (utuh).
10. Lalangit /paparan : terbuat dari bambu yang dianyam sebagai lempat
menempelnya dasar rangka atap.
11. Pintu (panto) : terbuat dari kayu atau bambu yang dianyam.
12. Tihang : digunakan sebagai penyangga atap. Terbuat dari kayu, biasanya dengan
ukuran 15 x 15 cm.
13. Dadarung : terbuat dari bambu bulat (utuh) atau kayu, guna untuk menahan
lantai.
14. Lincar : bagian alas pada bagian dalam rumah, terbuat dari bilah bambu
atau dari kayu plpih.
15. Golodog : tangga rumah yang terdiri 2-3 anak tangga saja, terbuat dari kayu
ataubambu.
Secara umum, sistem kekuatan pada rumah
panggung Masyarakat Sunda menggunakan ikatan,
sambungan pupurus, dan paseuk (pasak).
Pada rangka lantai, dinding, dan kuda-kuda, balok-
balok yang dipasang dan disambung, baik secara
vertikal maupun horisontal menggunakan
sambungan pupurus (pen dan lubang), sedangkan
bubungannya menggunakan ikatan dengan tali ijuk
atau rotan serta pasak kayu.
Tidak ada paku, mur, dan baut, karena dilarang oleh
adat dan bertentangan dengan aturan leluhur
mereka
Pembagian struktur dan konstruksi rumah masyarakat
Sunda didasarkan pada bentuk panggung, mereka
membaginya ke dalam dua jenis:

HANDAP merupakan struktur yang terletak di bawah lantai


rumah terdiri dari lelemahan/lemah (tanah dasar), dan
umpak/tatapakan (pondasi). Di atas permukaan tanah
didirikan umpak, yaitu pondasi dari batu dengan teknik
pemasangan yang telah ditentukan

LUHUR merupakan struktur yang terletak di atas lantai


rumah seperti pangadeg/adeg (dinding), lalangit/palapon
(langit-langit), dan rarangka (kuda-kuda).
Umpak dapat dipasang
dengan dua cara:
1.dina luhur taneuh,
yaitu di atas
permukaan tanah
2. dina jero taneuh,
artinya di kubur
sebagian di dalam
tanah.

Pada umumnya,
mereka memasang
umpak dengan cara
dikubur sebagian di
dalam tanah.
Dinding terbuat dari bilik
bambu yang dianyam dengan
sistem kepang, dan dinding
papan dengan sistem susun
sirih

Konstruksi pananggeuy dan


tihang adeg menggunakan
teknik sambungan pupurus
(penlubang) dan bibir miring
berkait diperkuat dengan
paku, pasak dan tali,
demikian juga pada sunduk
awi.
Masyarakat tradisional Sunda mengenal tiga jenis lantai, yaitu: talupuh, papan
dan bilik.
Talupuh atau palupuh merupakan lantai yang terbuat dari bambu yang dirajam
dengan ukuran tertentu sesuai kebutuhan.
Bambu yang dipakai biasanya dari jenis gombong atau wulung berdiameter 15-
20 cm, dan tebal 12-15 mm, sehingga pada saat dibelah dan dirajam lebarnya bisa
mencapai 30 cm.
Cabik (ornamen atap) memiliki
makna :
kebulatan niat )setiap niat,
kata-kata dan tindakan harus
bulat (benar/jujur).
melambangkan siklus hidup
manusia serta simbol bahwa
langit dan bumi beserta isinya
merupakan kesatuan alam jagat
raya
Letak cabik pada puncak atap
mencerminkan adanya makna
keagungan (luhur) dari kebulatan
niat tersebut.
Atap imah panggung masyarakat tradisional Sunda, seperti di
Baduy Kajeroan, Kasepuhan Ciptagelar, Kampung Naga, dan
Dukuh pantang menggunakan penutup atap dari genteng
(tanah), karena dilarang oleh adat leluhur.
Dalam sistem kosmologi mereka, menggunakan atap genteng
sama artinya mengubur diri hidup-hidup.
Menggunakan atap dari tanah sama artinya berzinah dengan
ibu, karena menurut mereka tanah artinya bumi yang memiliki
makna ka indung.
Taneuh atau tanah juga memiliki makna kematian. Bagi
mereka yang berani menggunakan atap dari genteng akan
kabendon (mendapat murka) dari leluhur, seperti: sakit, sial,
dan susah hidupnya. Hal ini juga berlaku bagi jenis material
lain, selain genteng, seperti: asbes, seng, dan sejenisnya yang
bersumber dari saripati tanah, semuanya dilarang karena
bertentangan dengan aturan adat leluhur.

Anda mungkin juga menyukai