Anda di halaman 1dari 19

JOURNAL READING

The Psychopharmacology of Agitation:


Consensus Statement of the American Association for Emergency
Psychiatry Project BETA Psychopharmacology Workgroup

Disusun untuk Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik Madya

Oleh:
Laila Nur Jannah 21604101012
Juliah Makdasari 21604101013
M. Fahmi Very R. 21604101015
Rachma Fariza P. 21604101019
Rulita Aprilya A. 21604101020
Fatimah Azzahro 21604101022
Dinar Mawarrani U. 21604101023
Devy Purnamasari N. 21604101026

Pembimbing:
dr. Eko Djunaedi, Sp.KJ.

KEPANITERAAN KLINIK MADYA


SMF JIWA RSJ Dr. RADJIMAN WIDIODININGRAT LAWANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM MALANG
2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, hidayah, serta inayah-
Nya kepada penyusun sehingga Journal Reading yang berjudul The Psychopharmacology of
Agitation:Consensus Statement of the American Association for Emergency Psychiatry Project
BETA Psychopharmacology Workgroup ini dapat terselesaikan sesuai rencana yang
diharapkan.
Tujuan penyusunan makalah journal reading ini adalah untuk memenuhi tugas
Kepaniteraan Klinik Madya serta guna menambah ilmu pengetahuan mengenai permasalahan
penyakit pada bidang ilmu jiwa khususnya gaduh gelisah dalam hal kegawatdaruratan.
Penyusun menyampaikan terima kasih kepada pembimbing kami, dr. Eko Djunaedi, Sp.KJ.
atas segenap waktu, tenaga dan pikiran yang telah diberikan kepada kami selama proses
pembuatan journal reading ini.

Penyusun menyadari bahwa laporan journal reading ini belumlah sempurna. Untuk itu,
saran dan kritik dari para dosen dan pembaca sangat diharapkan demi perbaikan laporan ini.
Atas saran dan kritik dosen dan pembaca, penyusun ucapkan terima kasih.

Semoga journal reading ini bermanfaat bagi dosen, penyusun, pembaca serta rekan-rekan
lain yang membutuhkan demi kemajuan ilmu pengetahuan di bidang kedokteran.

Lawang, September 2017

Team Penyusun

1
DAFTAR ISI

Judul
Kata Pengantar .................................................................................................1
Daftar Isi ..........................................................................................................2
BAB I : ISI JURNAL
1.1 Judul.........................................................................................................3
1.2 Abstrak.....................................................................................................3
1.3 Pendahuluan.............................................................................................4
1.4 Penggunaan Terapi yang Rasional ..........................................................5
1.5 Tujuan Penggunaan Terapi Medikasi ......................................................5
1.6 Tipe Medikasi ..........................................................................................5
1.7 Penggunaan Antipsikotik Generasi Pertama ...........................................6
1.8 Penggunaan Antipsikotik Generasi Kedua ..............................................7
1.9 Benzodiapzepin .......................................................................................7
1.10 Guidline Spesifik untuk Terapi Medikasi ................................................7
1.11 Agitasi Akibat Intiksikasi ........................................................................8
1.12 Agitasi akibat Penyakit Psikiatri..............................................................9
1.13 Agitasi Terkait Delirium ..........................................................................9
1.14 Agitasi yang Masih Belum Tau Penyebabnya .......................................10
BAB II : TELAAH JURNAL .........................................................................12
Daftar Pustaka .................................................................................................18
Lampiran Jurnal

2
JOURNAL READING

BAB I
ISI JURNAL

Psikofarmakologi Gaduh Gelisah: Pernyataan Konsensus Asosiasi Amerika untuk Proyek


Kegawatdaruratan Psikiatri BETA Psychopharmacology Workgroup

Michael P. Wilson, MD, PhD*, David Pepper, MD, Glenn W. Currier, MD, MPH,
Garland H. Holloman Jr, MD, PhD, David Feifel, MD, PhD||

* UC San Diego Health System, Department of Emergency Medicine, San Diego, California
Hartford Hospital/Institute of Living, Department of Psychiatry, Hartford, Connecticut
University of Rochester Medical Center, Departments of Psychiatry and Medicine, Rochester, New York
University of Mississippi Medical Center, Department of Psychiatry, Jackson, Mississippi
|| UC San Diego Health System, Department of Psychiatry, San Diego, California

Supervising Section Editor: Leslie Zun, MD


Submission history: Submitted July 29, 2011; Revision received September 7, 2011; Accepted September 21,
2011
Reprints available through open access at http://escholarship.org/uc/uciem_westjem
DOI: 10.5811/westjem.2011.9.6866

1.1. Judul
Psikofarmakologi Gaduh Gelisah: Pernyataan Konsensus Asosiasi Amerika untuk
Proyek Kegawatdaruratan Psikiatri BETA Psychopharmacology Workgroup.
1.2. Abstrak
Gaduh gelisah adalah hal yang umum terjadi pada departemen kegawatdaruratan
psikiatri. Jurnal ini akan mereview kembali penggunaan antipsikotik generasi pertama,
antipsikotik generasi kedua dan benzodiazepin untuk mengatasi gaduh gelisah akut, serta
panduan spesifik untuk beragam kondisi lain yang berkaitan dengan gaduh gelisah akut,
seperti intoksikasi akut, penyakit psikiatrik, delirium, dan penyebab multipel atau idiopatik.
Terapi farmakologi dari gaduh gelisah harus didasarkan pada penyebabnya. Jika gaduh
gelisah diakibatkan delirium atau kondisi medis lainnya, maka klinisi harus terlebih dahulu
mengatasi penyebab yang mendasari, ketimbang langsung memberikan antipsikotik atau
benzodiazepin. [West J Emerg Med. 2012;13(1):2364.]

3
1.3. Pendahuluan
Penatalaksanaaan yang tepat bagi pasien gaduh gelisah adalah dengan memperhatikan
keselamatan staf medis dan memberikan terapi yang sesuai bagi pasien. Hampir sebagian
besar klinisi, memberikan terapi haloperidol sebagai lini pertama. Terapi nonfarmakologi
kontrol perilaku, seperti intervensi verbal, de-escalation, atau bahkan terapi pengganti
nikotin, dapat berguna untuk terapi inisial pasien gaduh gelisah. Saat medikasi diperlukan,
maka klinisi lebih memilih menggunakan antipsikotik generasi dua daripada antipsikotik
generasi pertama untuk manajemen jangka panjang dan saat ini sering digunakan untuk
manajemen akut gaduh gelisah.
1.4. Penggunaan Terapi yang Rasional
Hal yang terpenting adalah menenangkan pasien gaduh gelisah. Ketika terapi inisial
secara verbal gagal menenangkan pasien, maka terapi medikasi dibutuhkan. Dalam
meresepkan obat, perlu diperhatikan kesesuaian diagnosis dan penyebabnya. Selain itu,
waktu pemberian obat juga berpengaruh. Jika obat diberikan terlalu dini, maka akan
mengakibatkan beberapa gejala psikiatrik menjadi tersamarkan. Namun apabila obat
terlambat diberikan, maka akan meningkatkan risiko yang membahayakan bagi pasien, staf
dan orang lain. Apabila gaduh gelisah sulit teratasi, maka peningkatan dosis dan pengulangan
pemberian medikasi mungkin dibutuhkan.
1.5. Tujuan Penggunaan Terapi Medikasi
Terapi medikasi bertujuan untuk menenangkan psien sehingga dapat diperiksa oleh
klinisi. Terapi medikasi yang dimaksud, dapat menenangkan pasien tanpa menginduksi tidur
karena secara praktis, pasien yang tidak tertidur dapat lebih mudah dipindahkan dari ruang
emergensi.
1.6. Tipe Medikasi
Medikasi pada gaduh gelisah yang sering digunakan ada tiga, antara lain antipsikotik
generasi pertama, antipsikotik generasi kedua dan benzodiazepin. Adapaun tiga rute
masuknya obat tersebut, antara lain secara per oral atau tablet terdispersi cepat,
intramsuskular dan intravena. Walaupun antipsikotik dan benzodiazepin dapat mengatasi
gaduh gelisah, perlu diperhatikan penggunaannya terkait faktor penyebab. Contohnya pada
kondisi hipoksia, hipoglikemia, yang dapat mengakibatkan delirium yang berkaitan dengan

4
gaduh gelisah. Penatalaksanaan yang tepat seharusnnya mengatasi penyebab yang mendasari
terjadinya gaduh gelisah. Akan tetapi, artikel ini akan menjelaskan mengenai pendekatan
farmakologi yang dapat digunakan pada manajemen emergensi gaduh gelisah sebelum
menstabilisasi penyebab yang mendasari.
1.7. Penggunaan Antipsikotik Generasi Pertama
Antipsikotik generasi pertama (FirstGeneration Antipsychotics/FGA) memiliki
mekanisme kerja yang belum diketahui pasti, akan tetapi kemungkinan besar karena mampu
menghambat transmisi dopamin pada otak manusia, sehingga mempu mengurangi gejala
psikotik yang mengakibatkan terjadinya gaduh gelisah. Struktur FGA mirip dengan
neurotrasmitter penginhibisi GABA (gamma aminobutyric acid) dan berinteraksi dengan
reseptor GABA pada dosis tinggi.
Phenothiazines, merupakan klas terapi yang termasuk antipsikotik berpotensi rendah,
seperti chlorpromazine (Thorazine), cenderung mengakibatkan hipotensi, efek samping
antikolinergik, ambang kejang yang rendah dibandingkan FGA seperti haloperidol. Oleh
karena itu, phenothiazine tidak disarankan sebagai terapi akut gaduh gelisah.
Haloperidol, yang termasuk klas butyrophenone memiliki potensi yang tinggi dan
antagonis selektif terhadap reseptor dopamine-2 (D2). Haloperidol oral dan intramuskular
terbukti efektif dan aman pada gaduh gelisah akut. Adapun droperidol, butyrophenone
lainnya dengan efek menghmbat reseptor D2, belum disahkan untuk kepentingan psikiatrik,
akan tetapi digunakan untuk preanastesi, mengurangi mual dan muntah. Dalam praktiknya,
droperidol juga digunakan untuk mengatasi gaduh gelisah akut.
Haloperidol dan droperidol memiliki efek minimal untuk tanda vital, aktifitas
antikolinergik yang dapat diabaikan dan interaksi minimal dengan medikasi nonpsikiatrik
lainnya. Akan tetapi, sangat disayangkan, bahwa kedua obat ini pada dosis yang tinggi
memiliki efek samping berbahaya, yaitu memperpanjang interval QT yang menyebabkan
terjadinya torsades de pointes (TdP). Oleh karena itu, penggunaan haloperidol secara
intravena sebaiknya tidak dilakukan. Jika terpaksa, dosisnya dibatasi 5-10 mg/hari dan perlu
dimonitor dengan menggunakan EKG. Penggunaan droperidol dalam kasus gaduh gelisah,
masih perlu dihindari, sebab masih terdapat banyak kontroversi terkait efek samping yang
ditimbulkan dan masih belum disahkan oleh FDA untuk keperluan psikiatrik.

5
Haloperidol dan droperidol memiliki risiko mengakibatkan terjadinya sindrom
ekstrapiramidal seperti distonia atau sindrom neuroleptik maligna. Dosis yang tinggi pada
kedua obat ini mampu mengakibatkan terjadinya reaksi katatonik karena blokade sentral
pada dopamine yang terlalu berlebihan. Penggunaan multipel medikasi untuk mengatasi
gaduh gelisah dapat meningkatkan risiko oversedasi dan interaksi dengan obat lainnya.
Pemberian antipsikotik generasi kedua menunjukkan efikansi yang baik dan memiliki efek
yang rendah terhadap sindrom ekstrapiramidal. Oleh karena itu, workgroup
mempertimbangkan sebaiknya pada kasus yang diindikasikan antipsikotik, antipsikotik
generasi dua sebaiknya lebih dipilih dibandingkan haloperidol.
Pada kasus intoksikasi alkohol, haloperidol masih menjadi pilihan terbaik untuk
mengatasi gaduh gelisah. Akan tetapi, sebaiknya terapi medikasi sebaiknya jika
memungkinkan dihindari pada kasus gaduh gelisah akibat intoksikasi alkohol. Terapi
nonfarmakologi dengan mengurangi stimulasi dari lingkungan lebih dianjurkan. Penggunaan
benzodiazepin pada kasus intoksikasi alkohol tidak dianjurkan sebab meningkatkan efek
depresi napas. Oleh karena itu, workgroup mempertimbangkan penggunaan haloperidol pada
kasus ini, walaupun membutuhkan studi lebih lanjut.
1.8. Penggunaan Antipsikotik Generasi Kedua
Antipsikotik generasi kedua (Second-Generation Antipsychotics/SGA), terdiri dari
olanzapine, ziprsidone dan aripiprazole dapat digunakan secara intramuskular dan oral,
adapun risperidone dan quetiapine hanya dapat diberikan secara oral. SGA bertindak sebagai
antagonis D2 reseptor, dan memiliki sifat antagonistik yang kuat pula terhadap serotonin 2A
(5-HT2). Selain itu kelas terapi SGA juga memiliki aksi terhadap beberapa jenis reseptor,
seperti histamin, norepinefrin dan -2 reseptor. Ziprasidone memiliki afinitas tiinggi
terhadap reseptor serotonin dibandingkan reseptor D2, dibandingkan olanzapine dan
quetiapine yang memiliki afinitas tinggi terhadap reseptor histamin. Secara umum, jika
dibandingkan dengan generasi pertama, SGA memiliki efek samping yang lebih kecil
terhadap distonia dan akathisia.

6
1.9. Benzodiazepin
Benzodiazepin, diantaranya diazepam, lorazepam, dan clonazepam bekerja pada
reseptor GABA, neurotransmitter inhibitorik utama pada otak manusia. Benzodiazepin
biasanya digunakan klinisi untuk mengatasi kasus intoksinasi stimulan, ethanol withdrawal,
atau ketika penyebab gaduh gelisah masih belum jelas. Akan tetapi, pada kasus gaduh gelisah
dengan psikosis, maka benzoodiazepin hanya menimbulkan efek sedasi. Obat-obatan jenis
ini akan mengakibatkan oversedasi dan berpotensi terhadap depresi napas maupun hipotensi
ketika digunakan secara parenteral pada pasien dengan masalah respirasi atau saat
dikombinasikan dengan depresan CNS lainnya seperti alkohol.
1.10. Guidelines Spesifik untuk Terapi Medikasi
Berikut ini merupakan algoritma yang direkomendasikan untuk mengatasi gaduh
gelisah.
Rekomendasi Umum
1. Penggunaan medikasi untuk membatasi gerakan sebaiknya tidak dilakukan. Klinisi
seharusnya menemukan penyebab yang mendasari, sehingga membuat diagnosis yang
tepat dan memberikan terapi medikasi yang sesuai.
2. Pendekatan nonfarmakologis, seperti de-escalation verbal dan mengurangi stimulasi
lingkungan (ruang sunyi, pencahayaan rendah), harus dicoba, jika mungkin, sebelum
obat diberikan.
3. Obat harus digunakan untuk menenangkan pasien, bukan untuk menginduksi tidur.
4. Pasien harus dilibatkan dalam proses pemilihan obat sampai sejauh mungkin (misalnya
oral vs intramuskular).
5. Jika pasien dapat bekerja sama dengan minum obat oral, ini lebih disukai daripada
persiapan intramuskular.

7
Tabel 1.1. Psikofarmakologi Agitasi

q 2 jam, setiap 2 jam; q 4 jam, setiap 4 jam.


* Nilai dinyatakan sebagai menit kecuali dinyatakan lain.
Nilai dinyatakan sebagai jam kecuali dinyatakan lain.
Kemungkinan menyebabkan kejadian efek samping ekstrapiramidal lebih tinggi daripada obat lain yang
dianjurkan.
Pemberian haloperidol secara intravena meningkatkan risiko perpanjangan QT. Karena itu, hindari jika
memungkinkan, terutama pada pasien dengan
batas QT atau minum obat lain yang bisa memperpanjang QT. Jika diberikan secara intravena, batasi dosis
dan berikan pemantauan jantung.

1.11. Agitasi Akibat Intoksikasi


1. Obat-obatan: Untuk sebagian seperti golongan narkotik yang digunakan untuk keperluan
medis karena efek psikoaktif, terutama stimulan, benzodiazepin umumnya dianggap
sebagai agen lini pertama. Sebagian kecil pengguna amfetamin jangka panjang
menyebabkan gejala psikotik. Pada pasien ini, antipsikotik generasi kedua mungkin
terjadi, selain benzodiazepin.
2. Alkohol: Obat untuk mengobati agitasi yang terkait dengan keracunan alkohol harus
digunakan secukupnya. Jika obat diperlukan, benzodiazepin harus dihindari karena
berpotensi menimbulkan risiko depresi pernafasan. Sehingga, antipsikotik lebih

8
diutamakan. Haloperidol memiliki track record terlama tentang keamanan dan
kemanjuran dan memiliki efek yang minimal pernafasan. Antipsikotik generasi kedua,
seperti olanzapine dan risperidone, belum dipelajari dengan baik untuk keracunan
alkohol tetapi mungkin merupakan alternatif yang masuk akal untuk haloperidol untuk
agitasi dalam konteks keracunan alkohol. Dari catatan, penting untuk membedakan
agitasi akibat keracunan alkohol versus agitasi akibat penarikan alkohol, karena
benzodiazepin lebih disukai daripada antipsikotik dalam penarikan alkohol (lihat bagian
'Agitasi Terkait dengan Delirium'). Agitasi pada pengguna alkohol kronis yang
menunjukkan ciri delirium, seperti takikardia, diaforesis, tremor, dan tingkat alkohol
alkohol rendah atau tidak terdeteksi, harus dianggap karena penarikan dan
penanganannya.

1.12. Agitasi Karena Penyakit Psikiatri


1. Untuk agitasi psikosis pada pasien dengan gangguan kejiwaan yang diketahui
(misalnya, skizofrenia, gangguan schizo-afektif, gangguan bipolar), antipsikotik lebih
disukai daripada benzodiazepin karena mereka mengatasi psikosis yang mendasarinya.
2. Antipsikotik generasi kedua dengan data pendukung untuk penggunaannya dalam
agitasi akut lebih disukai daripada. Jika pasien bersedia menerima obat oral,
risperidone oral memiliki bukti keamanan yang paling kuat.

1.13. Agitasi Terkait dengan Delirium


1. Delirium adalah sindrom klinis yang berbeda yang sering dikaitkan dengan psikosis
dan agitasi. Secara klinisi untuk dapat mengenali agitasi yang terkait dengan delirium
karena 2 alasan. Pertama, adanya delirium menandakan efek medis yang mendasar
yang mempengaruhi fungsi otak atau perubahan cepat pada lingkungan otak
disekitarnya. Hal ini dapat terjadi dari agen yang dikonsumsi (misalnya alkohol atau
obat-obatan) atau konsumsi obat-obatan atau obat-obatan baru-baru ini, seperti agen
antikolinergik pada pasien lansia. Dengan demikian, adanya delirium harus
mendorong dokter yang merawat untuk mengidentifikasi penyebabnya dan
memperbaikinya. Kedua, kontrol simtomatik agitasi sekunder akibat delirium

9
memerlukan pilihan menenangkan yang berbeda daripada agitasi dari penyebab
lainnya.
2. Delirium menyebabkan gangguan kesadaran, perhatian dan kognisi (misalnya
memori) yang berkembang selama waktu singkat (jam ke hari). Gangguan dalam
kognisi dan kesadaran biasanya berfluktuasi selama beberapa jam. Adanya halusinasi
visual atau gangguan perseptual visual merupakan ciri khas delirium.
3. Jika penyebabnya alkohol dan benzodiazepin, maka benzodiazepin adalah agen
penyebab utama, karena penghambatan reseptor GABA kronis yang cepat
berimplikasi pada delirium yang dihasilkan dalam keadaan ini. Clonidine juga bisa
membantu mengurangi overdrive alkohol atau penarikan benzodiazepin yang
simpatik, sehingga mengurangi delirium dan agitasi.
4. Penggantian agen dengan zat lain yang memiliki sifat farmakologis serupa harus
dicoba jika aman dan sesuai.
5. Jika menggunakan obat baru (atau dosis yang meningkat dari obat yang dikonsumsi
dalam jangka lama) adalah penyebab dugaan delirium, maka delirium akan membaik
dengan sendirinya. Namun, agitasi mungkin memerlukan pengelolaan farmakologis
sementara.
6. Bila ada kelainan medis yang mendasari (misalnya, hipoglikemia, ketidakseimbangan
elektrolit, hipoksia) adalah penyebab delirium, pengobatan definitif delirium dan
agitasi maka di tangani penyebabnya.
7. Jika pada pasien dengan delirium yang bukan karena alkohol, penarikan
benzodiazepin, atau tidur yang kurang baik, maka bisa menggunakan antipsikotik
generasi kedua. Haloperidol juga dapat digunakan dalam dosis rendah.
Benzodiazepin harus dihindari secara umum karena dapat memperburuk delirium.
1.14. Agitasi Yang Masih Belum Diketahui Penyebabnya
Jika obat diperlukan untuk mengendalikan agitasi pada pasien nondelirium yang
etiologinya dari agitasi tidak jelas. Pada pasien yang tidak menunjukkan psikosis (halusinasi,
berpikir delusional, paranoia), benzodiazepin direkomendasikan sebagai pengobatan lini
pertama. Antipsikotik direkomendasikan pada pasien yang menampilkan fitur psikotik.
1.15. Kesimpulan

10
1. Perawatan farmakologis agitasi harus didasarkan pada penilaian penyebab agitasi yang
paling mungkin terjadi. Jika agitasi berasal dari kondisi medis atau delirium, dokter
harus terlebih dahulu mencoba untuk mengobati penyebab yang mendasari.
2. Obat oral harus ditawarkan melalui suntikan intramuskular jika pasien kooperatif dan
tidak ada kontraindikasi medis untuk penggunaannya.
3. Antipsikotik diindikasikan sebagai manajemen lini pertama agitasi akut dengan
psikosis.
4. Bila antipsikotik diindikasikan untuk pengobatan agitasi, olanzapine, risperidone, atau
ziprasodone, dengan bukti yang bagus untuk mendukung khasiatnya dan kurangnya
efek samping, lebih disukai daripada haloperidol. Agitasi sekunder akibat keracunan
dengan depresan SSP, seperti alkohol, mungkin merupakan pengecualian dimana
haloperidol lebih disukai karena hanya sedikit data tentang antipsikotik generasi kedua
dalam skenario klinis spesifik ini.
5. Jika penggunaan haloperidol digunakan, dokter harus mempertimbangkan untuk
mengelolanya dengan benzodiazepin untuk mengurangi efek samping ekstrapiramidal
kecuali kontraindikasi penggunaan obat ini.

11
JOURNAL READING

BAB II
TELAAH JURNAL

1. JUDUL
Syarat-syarat judul yang baik :
a) Spesifik
b) Efektif, judul tidak boleh lebih dari 12 kata untuk Bahasa Indonesia dan 10
kata untuk Bahasa Inggris.
c) Singkat, Menurut Day (1993), judul yang baik adalah yang menggunakan
kata-kata sesedikit mungkin tetapi cukup menjelaskan isi paper. Namun,
judul tidak boleh terlalu pendek sehingga menimbulkan cakupan penelitian
yang terlalu luas yang menyebabkan pembaca bingung.
d) Menarik
e) Pembaca dapat langsung menangkap makna yang disampaikan dalam jurnal
dalam sekali baca.
Judul jurnal ini adalah :
The Psychopharmacology of Agitation:Consensus Statement of the
American Association for Emergency Psychiatry Project BETA
Psychopharmacology Workgroup
Kritik terhadap judul jurnal tersebut :
1) Judul Spesifik, tidak membingungkan pembaca.
2) Tidak efektif, karena judul terlalu panjang lebih dari 10 kata yaitu 16
kata.
3) Tidak singkat/terlalu panjang, karena menjelaskan pernyataan dari
sebuah lembaga.
4) Menarik, karena sulit untuk memberikan terapi psikofarmakologi yang
tepat bagi pasien gaduh gelisah sehingga membuat pembaca tertarik
untuk mengetahuinya.
5) Pembaca dapat langsung menangkap makna yang disampaikan dalam
jurnal dalam sekali baca.

12
2. NAMA PENULIS
Syarat-syarat penulisan nama penulis jurnal :
a. Tanpa gelar akademik/ professional.
b. Jika > 3 orang yang dicantumkan boleh hanya penulis utama, dilengkapi
dengan dkk; nama penulis lain dimuat di catatan kaki atau catatan akhir.
c. Ditulis alamat dari penulis berupa email dari peneliti.
d. Tercantum nama lembaga tempat peneliti bekerja.
e. Jika penulisan paper dalam tim, penulisan nama diurutkan sesuai kontibusi
penulis. Penulis utama: penggagas, pencetuside, perencana dan
penanggung jawab utama kegiatan. Penulis kedua: kontributor kedua, dst.
Penulis jurnal ini adalah :
Michael P. Wilson, MD, PhD*, David Pepper, MD, Glenn W. Currier, MD, MPH,
Garland H. Holloman Jr, MD, PhD, David Feifel, MD, PhD||

* UC San Diego Health System, Department of Emergency Medicine, San Diego, California
Hartford Hospital/Institute of Living, Department of Psychiatry, Hartford, Connecticut
University of Rochester Medical Center, Departments of Psychiatry and Medicine, Rochester,
New York
University of Mississippi Medical Center, Department of Psychiatry, Jackson, Mississippi
|| UC San Diego Health System, Department of Psychiatry, San Diego, California

Kritik terhadap penulisan penulis jurnal :


1) Cara Penulisan penulis pada jurnal ini kurang tepat karena penulis
mencantumkan gelar peneliti.
2) Semua penulis dicantumkan, hal ini sudah tepat karena boleh
dicantumkan semua atau hanya penulis utama.
3) Tidak ditulis alamat dari penulis berupa email dari peneliti, hal ini tidak
tepat seharusnya ditulis alamat email dari peneliti.
4) Tercantum nama lembaga tempat peneliti bekerja, hal ini sudah tepat.
5) Penulisan nama diurutkan sesuai kontribusi penulis.

3. ABSTRAK
Abstrak merupakan ringkasan suatu paper yang mengandung semua
informasi yang diperlukan pembaca untuk menyimpulkan apa tujuan dari
penelitian yang dilakukan, bagaimana metode/pelaksanaan penelitian yang

13
dilakukan, apa hasil-hasil yang diperoleh dan apa signifikansi/nilai manfaat
serta kesimpulan dari penelitian tersebut.
Abstrak yang baik harus mencakup tentang permasalahan, objek penelitian,
tujuan dan lingkup penelitian, pemecahan masalah, metode penelitian, hasil
utama, serta kesimpulan yang dicapai. Selain judul, umumnya pembaca jurnal-
jurnal ilmiah hanya membaca abstrak saja dari paper-paper yang dipublikasi
dan hanya membaca secara utuh paper-paper yang paling menarik bagi mereka.
Berdasarkan penelitian abstrak dibaca 10 sampai 500 kali lebih sering daripada
papernya sendiri.
Cara penulisannya :
Tersusun tidak lebih dari 200 250 kata. Namun ada pula yang membatasi
abstraknya tidak boleh lebih dari 300 kata. Karena itu untuk penulisan
abstrak cermati ketentuan yang diminta redaksi.
Ditulis dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Diawali bahasa Inggris jika
penulisan keseluruhan tubuh paper dalam bahasa Inggris, diawali bahasa
Indonesia jika penulisan keseluruhan tubuh paper dalam bahasa Indonesia.
Berdiri sendiri satu alinea (ada yang menentukan lebih dari satu alinea).
Untuk jenis paper hasil penelitian: Penulisan abtraknya tanpa tabel, tanpa
rumus, tanpa gambar, dan tanpa acuan pustaka. Jadi tidak boleh mengutip
pendapat orang lain, harus menggunakan data-data dan hasil penelitian serta
argumen yang didapat dari penelitian sendiri.
Untuk jenis paper hasil review: Penulisan abstrak boleh mengutip hasil
penelitian orang lain dari acuan pustaka atau sumber yang diacu.
Di bawah abstrak ditulis kata kunci, paling sedikit terdiri dari tiga kata yang
relevan dan paling mewakili isi karya tulis. Demikian juga di bawah abstract
ditulis paling sedikit tiga key words yang sesuai dengan kata kunci pada
abstrak (Bahasa Indonesia). Kata kunci, tidak selalu terdiri 3 kata, ada juga
yang menentukan kata kunci ditulis dalam 4-6 kata (tergantung redaksi, jadi
perhatikan ketentuan yang diminta).
Pada jurnal ini abstraknya adalah :
Agitation is common in the medical and psychiatric emergency department, and
appropriate management of agitation is a core competency for emergency clinicians. In this
article, the authors review the use of a variety of first-generation antipsychotic drugs,
second-generation antipsychotic drugs, and benzodiazepines for treatment of acute

14
agitation, and propose specific guidelines for treatment of agitation associated with a
variety of conditions, including acute intoxication, psychiatric illness, delirium, and
multiple or idiopathic causes. Pharmacologic treatment of agitation should be based on an
assessment of the most likely cause of the agitation. If agitation results from a delirium or
other medical condition, clinicians should first attempt to treat the underlying cause instead
of simply medicating with antipsychotics or benzodiazepines. [West J Emerg Med.
2012;13(1):2634.]

Kritik terhadap penulisan abstrak jurnal :


Cara penulisan dan isi abstrak:
a. Jumlah kata pada abstrak sesuai, tersusun dari 123 kata tidak lebih dari
300 kata.
b. Abstrak ditulis dalam bahasa inggris
c. Berdiri sendiri satu alinea.
d. Penulisan abstrak sesuai dengan naskah hasil penelitian, tanpa tabel,
tanpa rumus, tanpa gambar, dan tanpa acuan pustaka.
e. Tidak Mencantumkan keyword (kata kunci) dibawah abstra.
4. INTRODUKSI
Bagian ini mengandung isi sebagai pengantar yang berisi justifikasi
penelitian, hipotesis dan tujuan penelitian. Jika artikel berupa tinjauan pustaka,
maka pendahuluan berisi latar belakang yang memuat tentang pentingnya
permasalahan tersebut diangkat, hipotesis (jika ada) dan tujuan penulisan
artikel. Pada bagian ini pustaka hanya dibatasi pada hal-hal yang paling penting.
Perlu diperhatikan metode penulisan pustaka rujukan sesuai dengan contoh
artikel atau ketentuan dalam Instruction for authors. Jumlah kata dalam bagian
ini juga kadang dibatasi jumlah katanya. Ada juga jurnal yang membatasi
jumlah referensi yang dapat disitir pada pendahuluan, tidak lebih dari tiga
pustaka. Tidak dibenarkan membahas secara luas pustaka yang relevan pada
pendahuluan.
Pada jurnal ini introduksinya adalah :
The proper management of an agitated patient is essential to keep staff safe and ensure
appropriate treatment for the patient. Most emergency physicians think of agitation as one
of the simplest cases to treat, with haloperidol being a common approach in many
emergency departments. In most circumstances, nonpharmacologic methods of behavior
control, such as a verbal intervention, de-escalation, or even nicotine replacement therapy,
may be helpful initially to manage agitated patients. When medications are required, second
generation antipsychotics, preferred by many psychiatrists over first-generation
antipsychotics for long-term management of psychiatric illnesses, have also become
increasingly used in the acute setting for management of agitation. This paper represents
consensus recommendations from a workgroup of the American Association for

15
Emergency Psychiatry. This workgroup convened in 20102011 to recommend best
practices in the use of medication to manage agitated patients in the emergency setting.

Kritik terhadap introduksi pada jurnal ini :


Pendahuluan berisi latar belakang yang memuat tentang pentingnya
permasalahan tersebut diangkat dan tujuan penulisan artikel.
Pustaka hanya dibatasi pada hal-hal yang paling penting dan metode
penulisan pustaka rujukan sesuai dengan contoh ketentuan yakni
menggunakan rujukan.
Jumlah referensi pada pendahuluan terdapat lebih dari 3 pustaka tetapi tidak
membahas secara luas mengenai pustaka yang digunakan.

5. DISCUSSION (ISI JURNAL : Penilaian Klinis dan Diagnostik, Overview


Penelitian Terbaru)
Pada jurnal ini tidak disertakan diskusi
6. SUMMARY/CONCLUSION
Pada jurnal ini, kesimpulannya adalah :
CONCLUSSION
After reviewing available evidence, the workgroup makes the following recommendations.
Best practices for treating agitation include the following (please see specific
recommendations for detailed recommendations in different clinical scenarios):
1. Pharmacologic treatment of agitation should be based on an assessment of the most
likely cause for the agitation. If the agitation is from a medical condition or delirium,
clinicians should first attempt to treat this underlying cause instead of simply
medicating with antipsychotics or benzodiazepines.
2. Oral medications should be offered over intramuscular injections if the patient is
cooperative and no medical contraindications to their use exist.
3. Antipsychotics are indicated as first-line management of acute agitation with psychosis
of psychiatric origin.
4. When an antipsychotic is indicated for treatment of agitation, certain SGAs (such as
olanzapine, risperidone, or ziprasodone), with good evidence to support their efficacy
and lack of adverse events, are preferred over haloperidol or other FGAs. Agitation
secondary to intoxication with a CNS depressant, such as alcohol, may be an exception
in which haloperidol is preferred owing to few data on second-generation
antipsychotics in this specific clinical scenario.
5. If haloperidol is used, clinicians should consider administering it with a benzodiazepine
to reduce extrapyramidal side effects unless contraindications to use of this medication
exist.

Kritik terhadap kesimpulan pada jurnal ini :


Kesimpulan jurnal ini sudah mencangkup tujuan dan target penulisan.

7. REFERENCES

16
Kritik terhadap daftar pustaka pada jurnal ini :
Literatur yang digunakan sudah tepat.
Semua bahan acuan dalam bentuk jurnal ataupun naskah ilmiah yang
digunakan sebagai referensi atau acuan ditulis pada bagian ini.

17
DAFTAR PUSTAKA

Wilson M, Pepper D, Currier G, et al. 2011. The Psychopharmacology of


Agitation:Consensus Statement of the American Association for Emergency
Psychiatry Project BETA Psychopharmacology Workgroup. West J Emerg Med.
2012;13(1):2634. Accepted September 21, 2011. Available through open access at
http://escholarship.org/uc/uciem_westjem

18

Anda mungkin juga menyukai