Anda di halaman 1dari 26

Euthanasia pada Pasien dengan Karsinoma Kolon Terminal

Menurut Bidang Kedokteran dan Hukum

KELOMPOK F8:

Devita Natalia 102010217

Muhamad Azuan bin Ayob 102010383

Novalia Khoemalasari 102010022

Rudy Tanius Tejo Ismanto 102011420

Santi Lestari 102010327

Fransiskus Rendy 102010178

Yudith Cecilia Ishwardi 102010138

Pendahuluan

Dalam praktik kedokteran sehari-hari, kita sebagai dokter dituntut untuk cepat dan tepat
dalam mengambil keputusan. Keputusan-keputusan tersebut bukan hanya diambil berdasarkan
keputusan atas indikasi medis saja,tetapi keputusan tersebut juga harus dipertimbangkan dari segi
etika kedokteran. Bioetika kedokteran prinsipnya terdiri dari beberapa kaidah dasar seperti
otonomi,beneficence,non-maleficence,justice. Keempat kaidah dasar tersebut harus dilaksanakan
secara seimbang.

1
Skenario

Seorang pasien berumur 62 tahun datang ke rumah sakit dengan karsinoma kolon yang
telah terminal. Pasien masih cukup sadar, berpendidikan cukup tinggi. Ia memahami benar posisi
kesehatannya dan keterbatasan kemampuan ilmu kedokteran saat ini. Ia juga memiliki
pengalaman pahit sewaktu kakaknya menjelang ajalnya dirawat di ICU dengan peralatan
bermacam-macam tampak sangat menderita, dan alat-alat tersebut tampaknya hanya
memperpanjang penderitaannya saja. Oleh karena itu, ia meminta kepada dokter apabila dia
mendekati ajalnya agar menerima terapi yang minimal saja (tanpa antibiotika,tanpa peralatan
ICU, dan lain-lain), dan ia ingin mati dengan tenang dan wajar. Namun, ia tetap setuju apabila ia
menerima obat-obatan penghilang rasa sakit bila memang dibutuhkan.

Bioetik

Bioetik atau Biomedical ethics adalah etik yang berhubungan dengan praktek kedokteran
dan atau penelitian di bidang biomedis. Beberapa contoh pertanyaan di dalam bioetika adalah:
Apakah seorang dokter berkewajiban secara moral untuk memberitahukan kepada seorang yang
berada dalam stadium terminal bahwa ia sedang sekarat? Apakah membuka rahasia kedokteran
dapat dibenarkan secara moral? Apakah aborsi ataupun euthanasia dapat dibenarkan secara
moral?

Pertanyaan bioetik juga dapat menyangkut tentang dapat dibenarkan atau tidaknya suatu
hukum dilihat dari segi etik, seperti: Apakah dapat dibenarkan membuat suatu peraturan
perundang-undangan yang mewajibkan seseorang untuk menerima tindakan medis yang bersifat
life-saving, meskipun bertentangan dengan keinginannya? Apakah dapat dibenarkan secara etik
apabila dibuat suatu hukum yang mengharuskan memasukkan seseorang sakit jiwa ke dalam
rumah sakit, meskipun bertentangan dengan keinginan pasien? Apakah dapat dibenarkan
membuat suatu peraturan yang membolehkan tindakan medis apa saja yang diminta oleh pasien
kepada dokternya, meskipun sebenarnya tidak ada indikasi?

Di dalam menentukan tindakan di bidang kesehatan atau kedokteran, hendaknya


mempertimbangkan hak-hak asasi pasien. Pelanggaran atas hak pasien akan mengakibatkan juga
pelanggaran atas kebutuhan dasar di atas terutama kebutuhan kreatif dan spiritual pasien.

2
Etika adalah disiplin ilmu yang mempelajari baik buruk atau benar salahnya suatu sikap
atau perbuatan seorang individu atau institusi dilihat dari moralitas. Beauchamp and Childress
(1994) menguraikan bahwa untuk mencapai ke suatu keputusan etik diperlukan 4 kaidah dasar
moral (moral principle) dan beberapa rules dibawahnya.

Adapun keempat kaidah dasar tersebut adalah:

1. Prinsip otonomi yaitu prinsip moral yang menghormati hak hak pasien, terutama hak
otonomi pasien (the rights to self determination). Prinsip moral inilah yang kemudian
melahirkan doktrin informed consent.
2. Prinsip beneficence yaitu prinsip moral yang mengutamakan tindakan yang ditujukan ke
kebaikan pasien. Dalam beneficence tidak hanya dikenal perbuatan untuk kebaikan saja,
melainkan juga perbuatan yang sisi baiknya (manfaat) lebih besar daripada sisi buruknya
(mudharat).
3. Prinsip non-maleficence yaitu prinsip moral yang melarang tindakan yang memperburuk
keadaan pasien. Prinsip ini dikenal sebagai primum non nocere atau above all do no
harm.
4. Prinsip justice yaitu prinsip moral yang mementingkan fairness dan keadilan dalam
mendistribusikan sumber daya (distributive justice).

Sedangkan rules derivatnya adalah veracity (berbicara benar, jujur dan terbuka), privacy
(menghormati hak privasi pasien), confidentiality (menjaga kerahasiaan pasien) dan fidelity
(loyalitas dan promise keeping).

Selain prinsip atau kaidah dasar moral yang harus dijadikan pedoman dalam mengambil
keputusan klinis, profesional kedokteran juga mengenal etika profesi sebagai panduan dalam
bersikap dan berperilaku (code of ethical conduct). Nilai-nilai dalam etika profesi tercermin di
dalam sumpah dokter dan kode etik kedokteran. Sumpah dokter berisikan suatu "kontrak moral"
antara dokter dengan Tuhan sang penciptanya, sedangkan kode etik kedokteran berisikan
"kontrak kewajiban moral" antara dokter dengan peer-group-nya, yaitu masyarakat profesinya.1

Aspek Hukum dan Medikolegal

3
Secara hukum, etika kedokteran terkandung dalam beberapa undang-undang dan
peraturan, antara lain:

Sumpah dokter yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah No. 26 tahun 1960

Seorang dokter wajib menyimpan rahasia kedokteran tercantum dalam Peraturan Pemerintah
No.10 tahun 1966

Undang-undang No.36 tahun 2009 tentang kesehatan

KEPMENKES No. 269 tahun 2008 tentang rekam medis

Hak pasien dan kewajiban dokter


UU No 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran merumuskan hak dan kewajiban dokter dan
pasien di dalam pasal-pasal 50-53. Dokter dan dokter gigi memiliki hak untuk memperoleh
perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi dan standar
prosedur operasional, hak memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien atau
keluarganya dan hak menerima imbalan jasa. Di sisi lain dokter dan dokter gigi berkewajiban
memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan stamdar prosedur operasional
serta kebutuhan medis pasien, merujuk pasien apabila tidak mampu melakukan suatu
pemeriksaan atau pengobatam, merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang
pasien, bahkan setelah pasien itu meninggal dunia, melakukan pertolongan atas dasar
perikemanusiaan kecuali bila ia yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu
melakukannya, dan menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu
kedokteran atau kedokteran gigi.

Sementara itu berdasarkan UU praktek kedokteran pasien memiliki hak mendapatkan


penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis sebagaimana dimaksud dalam pasal 45 ayat
(3), meminta pendapat dokter lain, mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis,
menolak tindakan medis, dan mendapatkan isi rekam medis. Adapun pasal 45 ayat 3
menyatakan tentang penjelasan tersebut diatas sekurang-kurangnya meliputi diagnosa dan tata
cara tindakan medis, tujuan tindakan medis yang akan dilakukan, alternatif tindakan lain dan
risikonya, resiko dan komplikasi yang mungkin terjadi dan prognosis terhadap tindakan yang
akan dilakukan. Disisi lain pasien berkewajiban memberikan informasi yang lengkap dan

4
jujur tentang masalah kesehatannya, mematuhi nasihat dan petunjuk dokter, mematuhi
ketentuan yang berlaku di sarana pelayanan kesehatan, dan memberikan imbalan jasa atas
pelayanan yang diterima.1

PERMENKES No.1419/MENKES/PER/2005 tentang Penyelenggaraan Praktik Dokter dan


Dokter Gigi pasal 17 tertulis bahwa dokter atau dokter gigi dalam memberikan pelayanan
tindakan kedokteran atau kedokteran gigi terlebih dahlu harus memberika penjelasan kepada
pasien tentang tindakan kedokteran yang akan dilakukan dan mendapat persetujuan pasien

Pasien berhak menolak tindakan yang dilakukan terhadap dirinya dan mengakhiri pengobatan
serta perawatan atas tanggung jawab sendiri sesudah memperoleh informasi yang jelas
tentang penyakitnya.

Dalam Pedoman Penegakkan Disiplin Kedokteran tahun 2008 seorang dokter dapat
dikategorikan melakukan bentuk pelanggaran disiplin kedokteran apabila tidak memberikan
penjelasan yang jujur, etis, dan memadai (adequate information) kepada pasien atau
keluarganya dalam melakukan praktik kedokteran.

Merima pelayanan praktik kedokteran mempunyai hak mendapatkan penjelasan secara


lengkap tentang tindakan medis yang akan diterimanya (Undang-Undang No. 29 tahun 2004
tentang Praktik Kedokteran pasal 52). Penjelasan tersebut sekurang-kurangnya mencakup:

1. Diagnosis dan tata cara tindakan medis


2. Tujuan tindakan medis yang dilakukan
3. Alternatif tindakan lain dan resikonya
4. Resiko dan komplikasi yang mungkin terjadi
5. Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan. (Pasal 45 ayat 3).

Dalam praktek kedokteran dikenal dua macam euthanasia yaitu:

a. Euthanasia pasif: Ialah tindakan dokter mempercepat kematian pasien dengan


memberikan suntikan ke dalam tubuh pasien tersebut. Alasan yang lazim dikemukakan
dokter ialah bahwa pengobatan yang diberikan hanya akan memperpanjang penderitaan
pasien, tidak mengurangi keadaan sakitnya yang memang sudah parah.

5
b. Euthanasia pasif:
Tindakan dokter berupa penghentian pengobatan pasien yang menderita sakit keras,
yang secara medis sudah tidak mungkin lagi dapat disembuhkan. Penghentian
pemberian obat ini berakibat mempercepat kematian pasien. Alasan yang lazim
dikemukakan ialah karena keadaan ekonomi pasien yang terbatas, sementara dana yang
dibutuhkan untuk biaya pengobatan cukup tinggi, sedangkan fungsi pengobatan
menurut perhitungan dokter sudah tidak efektif lagi.
Tindakan upaya dokter menghentikan pengobatan terhadap pasien yang menurut
penelitian medis masih mungkin bisa sembuh. Umumnya alasannya adalah
ketidakmampuan pasien dari segi ekonomi padahal biaya pengobatannya yang
dibutuhkan sangat tinggi.

Beberapa pasal KUHP yang berkaitan dengan euthanasia antara lain 338, 340, 344, 345, dan
359. Hubungan hukum dokter-pasien juga dapat ditinjau dari sudut perdata, antara lain pasal
1313, 1314, 1315, dan 1319 KUH Perdata. Secara formal tindakan euthanasia di Indonesia
belum memiliki dasar hukum sehingga selalu terbuka kemungkinan terjadinya penuntutan
hukum terhadap euthanasia yang dilakukan.2,3

Ikatan Dokter Indonesia (IDI) berperan dalam menghadapi perkembangan iptekdok, telah
menyiapkan perangkat lunak berupa SK PB IDI no.319/PB/4/88 mengenai Pernyataan
Dokter Indonesia tentang Informed Consent. Disebutkan di sana, manusia dewasa dan sehat
rohani berhak sepenuhnya menentukan apa yang hendak dilakukan terhadap tubuhnya. Dokter
tidak berhak melakukan tindakan medis yang bertentangan dengan kemauan pasien, walau
untuk kepentingan pasien itu sendiri.4

Persetujuan tindakan medik diatur dalam pasal 1. Permenkes No 585/MenKes/Per/IX/1989


Pasal 1 KUHP
(1) Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan
perundang-undangan pidana yang telah ada.
(2) Bilamana ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan, maka
terhadap terdakwa diterapkan ketentuan yang paling menguntungkannya.3

6
7
Dampak Hukum

Pasal 304 KUHP

Barangsiapa dengan sengaja menyebabkan atau membiarkan orang dalam kesengsaraan,


sedang ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, kepada orang itu, karena hukum yang
berlaku baginya atau karena perjanjian, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya dua
tahun delapan bulan atau denda sebanyak-banyaknya empat ribu limaratus rupiah.

Pasal 338 KUHP

Barang siapa dengan sengaja menghilangkan jiwa orang lain dihukum karena menyebabkan
mati, dengan penjara selama-lamanya lima belas tahun.

Pasal 340 KUHP

Barang siapa dengan sengaja dan direncankan lebih dahulu menghilangkan jiwa orang lain,
dihukum karena pembunuhan direncankan (moord) dengan hukuman mati atau penjara
selama-lamanya seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun.

Pasal 359 KUHP

Barang siapa karena salahnya menyebabkan matinya orang, dihukum penjara selama-
lamanya lima tahun atau kurungan selama-lamanya satu tahun. Selanjutnya di bawah ini
dikemukakan sebuah ketentuan hokum yang mengingatkan kalangan kesehatan untuk berhati-
hati menghadapi kasus euthanasia.

Euthanasia Dan Bunuh Diri

Pasal 344 KUHP

Barang siapa merampas nyawa orang lain alas permintaan orang itu sendiri yg jelas
dinyatakan dengan kesungguhan hati, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas
tahun.

8
Pasal 345 KUHP

Barang siapa dengan sengaja mendorong orang lain untuk bunuh diri, menolongnya dalam
perbuatan itu atau memberi sarana kepadanya untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling
lama 4 tahun kalau orang itu jadi bunuh diri.3

Informed Consent

Informed consent adalah suatu proses yang menunjukkan komunikasi yang efektif antara dokter
dengan pasien, dan bertemunya pemikiran tentang apa yang akan dan apa yang tidak akan
dilakukan terhadap pasien. Informed consent dilihat dari aspek hukum bukanlah sebagai
perjanjian antara dua pihak, melainkan lebih ke arah persetujuan sepihak atas layanan yang
ditawarkan pihak lain:
Informed consent memiliki 3 elemen, yaitu
1. Threshold elements.
Elemen ini sebenarnya tidak tepat dianggap sebagai elemen, oleh karena sifatnya lebih ke arah
syarat, yaitu pemberi consent haruslah seseorang yang kompeten. Kompeten disini diartikan
sebagai kapasitas untuk membuat keputusan (medis). Kompetensi manusia untuk membuat
keputusan sebenarnya merupakan suatu kontinuum, dari sama sekali tidak memiliki kompetensi
hingga memiliki kompetensi yang penuh. Diantaranya terdapat berbagai tingkat kompetensi
membuat keputusan tertentu (keputusan yang reasonable berdasarkan alasan yang reasonable).
Secara hukum seseorang dianggap cakap (kompeten) adalah apabila telah dewasa, sadar dan
berada dalam keadaan mental yang tidak di bawah pengampuan.
Dewasa diartikan sebagai usia telah mencapai 21 tahun atau telah pernah menikah. Sedangkan
keadaan mental yang dianggap tidak kompeten adalah apabila ia mempunyai penyakit mental
sedemikian rupa atau perkembangan mentalnya terbelakang sedemikian rupa, sehingga
kemampuan membuat keputusannya terganggu.
2. Information elements
Elemen ini terdiri dari dua bagian, yaitu disclosure (pengungkapari) dan understanding
(pemahaman).
Pengertian berdasarkan pemahaman yang adekuat membawa konsekuensi kepada tenaga
medis untuk memberikan informasi (disclosure) sedemikian rupa agar pasien dapat mencapai
pemahaman yang adekuat.

9
Dalam hal ini, seberapa baik informasi harus diberikan kepada pasien, dapat dilihat dari 3
standar, yaitu:
Standar Praktek profesi
o Bahwa kewajiban memberikan informasi dan kriteria keadekuatan informasi
ditentukan bagaimana biasanya dilakukan dalam komunitas tenaga medis
(constumary practices of a professional community-Faden and Beauchamp,
1986). Standar ini terlalu mengacu kepada nilai-nilai yang ada didalam komunitas
kedokteran, tanpa memperhatikan keingintahuan dan kemampuan pemahaman
individu yang diharapkan menerima informasi tersebut.
o Dalam standar ini ada kemungkinan bahwa kebiasaan tersebut diatas tidak sesuai
dengan nilai-nilai sosial setempat, misalnya : risiko yang tidak bermakna
(menurut medis) tidak diinformasikan, padahal mungkin bermakna dari sisi sosial
/ pasien.
Standar Subyektif
o Bahwa keputusan harus didasarkan atas nilai-nilai yang dianut oleh pasien secara
pribadi, sehingga informasi yang diberikan harus memadai untuk pasien tersebut
dalam membuat keputusan. Sebaliknya dari standar sebelumnya, standar ini
sangat sulit dilaksanakan atau hampir mustahil. Adalah mustahil bagi tenaga
medis untuk memahami nilai-nilai yang secara individual dianut oleh pasien.
Standar pada reasonable person
o Standar ini merupakan hasil kompromi dari kedua standar sebelumnya, yaitu
dianggap cukup apabila informasi yang diberikan telah memenuhi kebutuhan
pada umunmya orang awam.
o Sub-elemen pemahaman (understanding) dipengaruhi oleh penyakitnya,
irrasionalis dan imaturitas.
o Banyak ahli yang mengatakan bahwa apabila elemen ini tidak dilakukan maka
dokter dianggap telah lalai melaksanakan tugasnya memberi informasi yang
adekuat.
3. Consent Elements
Elemen ini juga terdiri dan dua bagian, yaitu voluntariness (kesukarelaan, kebebasan) dan
authorization (persetujuan).

10
Kesukarelaan mengharuskan tidak adanya tipuan, misrepresentasi ataupun paksaan. Pasien juga
harus bebas dari tekanan yang dilakukan tenaga medis yang bersikap seolah-olah akan
dibiarkan apabila tidak menyetujui tawarannya.
Banyak ahli masih berpendapat bahwa melakukan persuasi yang tidak berlebihan masih dapat
dibenarkan secara moral.
Consent dapat diberikan:
a. Dinyatakan (expressed)
dinyatakan secara lisan
dinyatakan secara tertulis. Pernyataan tertulis diperlukan apabila dibutuhkan bukti
di kemudian hari, umumnya pada tindakan yang invasif atau yang berisiko
mempengaruhi kesehatan pasien secara bermakna. Permenkes tentang Persetujuan
Tindakan Medis menyatakan bahwa semua jenis tindakan operatif harus
memperoleh persetujuan tertulis.

b. Tidak dinyatakan (implied)


Pasien tidak menyatakannya, baik secara lisan maupun tertulis, namun melakukan
tingkah laku (gerakan) yang menunjukkan jawabannya.
Meskipun consent jenis ini tidak memiliki bukti, namun consent jenis inilah yang
paling banyak dilakukan dalam praktek sehari-hari.
Misalnya adalah seseorang yang menggulung lengan bajunya dan mengulurkan
lengannya ketika akan diambil darahnya.
Tujuan Informed Consent:
a. Memberikan perlindungan kepada pasien terhadap tindakan dokter yang sebenarnya tidak
diperlukan dan secara medik tidak ada dasar pembenarannya yang dilakukan tanpa
sepengetahuan pasiennya.
b. Memberi perlindungan hukum kepada dokter terhadap suatu kegagalan dan bersifat negatif,
karena prosedur medik modern bukan tanpa resiko, dan pada setiap tindakan medik ada
melekat suatu resiko (Permenkes No. 290/Menkes/Per/III/2008 Pasal 3)
Ada dua bentuk Persetujuan Tindakan Medik (PTM)/Informed Consent, yaitu:
1. Tersirat atau dianggap telah diberikan (implied consent)
Keadaan normal

11
Keadaan darurat
2. Dinyatakan (expressed consent)
Lisan
Tulisan

Pada prakteknya, informed consent sangat terpengaruh dengan budaya Indonesia. Pada
umumnya keputusan medis dipahami sebagai proses dalam keluarga, pasien sendiri umumnya
mendesak untuk berkonsentrasi dulu dengan keluarganya untuk menjaga keharmonisan dalam
keluarga. Pasien cenderung menyerahkan permasalahan medisnya kepada keluarga terdekatnya
sehingga persetujuan medis umumnya diberikan kepada keluarga terdekatnya.

Persetujuan yang ditanda tangani oleh pasien atau keluarga terdekatnya tersebut, tidak
membebaskan dokter dari tuntutan jika dokter melakukan kelalaian. Tindakan medis yang
dilakukan tanpa persetujuan pasien atau keluarga terdekatnya, dapat digolongkan sebagai
tindakan melakukan penganiayaan berdasarkan KUHP Pasal 351.

Dalam hal terdapat indikasi kemungkinan perluasan tindakan kedokteran, dokter yang akan
melakukan tindakan juga harus memberikan penjelasan (Pasal 11 Ayat 1 Permenkes No 290/
Menkes/PER/III/2008). Penjelasan kemungkinan perluasan tindakan kedokteran sebagaimana
dimaksud dalam ayat 1 merupakan dasar daripada persetujuan (Ayat 2).

Informasi/keterangan wajib diberikan sebelum tindakan kedokteran dilaksanakan adalah:


1. Hasil pemeriksaan dan diagnosa yang telah ditegakkan.
2. Sifat dan luasnya tindakan yang akan dilakukan.
3. Manfaat dan urgensinya dilakukan tindakan tersebut.
4. Resiko dan komplikasi yang mungkin terjadi daripada tindakan kedokteran tersebut.
Resiko yang harus diinformasikan kepada pasien yang dimintakan persetujuan tindakan
kedokteran :
a. Resiko yang melekat pada tindakan kedokteran tersebut.
b. Resiko yang tidak bisa diperkirakan sebelumnya.

12
5. Konsekuensinya bila tidak dilakukan tindakan tersebut dan adakah alternatif cara pengobatan
yang lain.
6. Kadangkala biaya yang menyangkut tindakan kedokteran tersebut.

Pengecualian terhadap keharusan pemberian informasi sebelum dimintakan persetujuan tindakan


kedokteran (informed consent) adalah:
1. Dalam keadaan gawat darurat (emergensi),
2. Ancaman terhadap kesehatan masyarakat,
3. Cilical privilege (hanya pada pasien yang melepaskan haknya memberikan consent),
4. Keadaan emosi pasien yang sangat labil sehingga ia tidak bisa menghadapi situasi dirinya. Ini
tercantum dalam PerMenKes no 290/Menkes/Per/III/2008.
5. Pasien yang tidak kompeten memberikan consent.
Menurut Pasal 5 Permenkes No 290/Menkes/PER/III/2008, persetujuan tindakan kedokteran
dapat dibatalkan atau ditarik kembali oleh yang memberi persetujuan, sebelum dimulainya
tindakan(Ayat 1). Pembatalan persetujuan tindakan kedokteran harus dilakukan secara tertulis
oleh yang memberi persetujuan(Ayat 2).1

Rekam Medis

Dalam pelayanan kedokteran/kesehatan, terutama yang dilakukan para dokter baik dirumah sakit
maupun praktik pribadi, peran pencatatan rekam medis (RM) sangat penting dan sangat melekat
dengan kegiatan pelayanan tersebut. Dengan demikian, ada ungkapan bahwa rekam medis adalah
orang ketiga pada saat dokter menerima pasien. Hal tersebut dapat dipahami karena catatan
demikian akan berguna untuk merekam keadaan pasien, hasil pemeriksaan serta tindakan
pengobatan yang diberikan pada waktu itu. Catatan atau rekaman itu menjadi sangat berguna
untuk mengingatkan kembali dokter tentang keadaan, hasil pemeriksaan, dan pengobatan yang
telah diberikan bila pasien datang kembali untuk berobat ulang setelah beberapa hari, beberapa
bulan, bahkan setelah beberapa tahun kemudian. Dengan adanya rekam medis, ia bisa mengingat
atau mengenali keadaan pasien saat diperiksa sehingga lebih mudah melanjutkan strategi
pengobatan dan perawatannya. Namun, kini makin dipahami bahwa peran rekam medis tidak
terbatas pada asumsi yang dikemukakan diatas, tetapi jauh lebih luas. Oleh karena itu, para

13
tenaga kesehatan masa kini harus memahami dengan baik hal-hal yang berkaitan dengan rekam
medis.

Dalam Undang-undang Kesehatan, walaupun tidak ada bab yang mengatur tentang rekam
medis secara khusus, secara implisit Undang-undang ini jelas membutuhkan adanya rekam medis
yang bermutu sebagai bukti pelaksanaan pelayanan kedokteran/ kesehatan yang berkualitas.

Kewajiban dokter untruk membuat rekam medis dalam pelayanan kesehatan dipertegas
dalam UUPK seperti terdapat pada pasal 46: (1). Setiap dokter atau dokter gigi dalam
menjalankan praktik kedokteran wajib membuat rekam medis. (2) Rekam medis sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus segera dilengkapi setelah pasien selesai menerima pelayanan
kesehatan. Setiap catatan rekam medis harus dibubuhi nama, waktu, dan tandatangan petugas
yang memberikan pelayanan atau tindakan. Selanjutnya dalam pasal 79 diingatkan tentang sanksi
hukum yang cukup berat, yaitu denda paling banyak Rp.50.000.000,- bila dokter terbukti sengaja
tidak membuat rekam medis.Dalam Permenkes No. 749a/Menkes/Per/XII/1989 tentang RM,
disebut pengertian RM adalah berkas yang berisi catatan dan dokumen tentang identitas pasien,
pemeriksaan, pengobatan, tindakan, dan pelayanan lain kepada pasien pada sarana pelayanan
kesehatan.
Di rumah sakit didapat dua jenis rekam medis, yaitu:

Rekam medis untuk pasien rawat jalan


Rekam medis untuk pasien rawat inap

Untuk pasien rawat jalan, termasuk pasien gawat darurat, rekam medis memiliki informasi
pasien, antara lain:

a. Identitas dan formulir perizinan (lembar hak kuasa)


b. Riwayat penyakit (anamnesis) tentang :
keluhan utama
riwayat sekarang
riwayat penyakit yang pernah diderita
riwayat keluarga tentang penyakit yang mungkin diturunkan
c. Laporan pemeriksaan fisik, termasuk pemeriksaan laboratorium, foto rontgen, scanning,
MRI, dan lain lain.
14
d. Diagnosis dan atau diagnosis banding
e. Instruksi diagnostik dan terapeutik dengan tanda tangan pejabat kesehatan yang berwenang.

Untuk rawat inap, memuat informasi yang sama dengan yang terdapat dalam rawat jalan, dengan
tambahan:

Persetujuan tindakan medik


Catatan konsultasi
Catatan perawat dan tenaga kesehatan lainnya
Catatan observasi klinik dan hasil pengobatan
Resume akhir dan evaluasi pengobatan.

Secara umum kegunaan RM adalah:

1. Sebagai alat komunikasi antara dokter dan tenaga kesehatan lainnya yang ikut ambil bagian
dalam memberi pelayanan, pengobatan dan perawatan pasien. Dengan membaca RM, dokter
atau tenaga kesehatan lainnya yang terlibat dalam merawat pasien (misalnya, pada pasien
rawat bersama atau dalam konsultasi) dapat mengetahui penyakit, perkembangan penyakit,
terapi yang diberikan, dan lain-lain tanpa harus berjumpa satu sama lain. Ini tentu merupa-
kan sarana komunikasi yang efisien.
2. Sebagai dasar untuk perencanaan pengobatan/perawatan yang harus diberikan kepada
pasien. Segala instruksi kepada perawat atau komunikasi sesama dokter ditulis agar rencana
pengobatan dan perawatan dapat dilaksanakan.
3. Sebagai bukti tertulis atas segala pelayanan, perkembangan penyakit dan pengobatan selama
pasien berkunjung/dirawat di rumah sakit. Bila suatu waktu diperlukan bukti bahwa pasien
pernah dirawat atau jenis pelayanan yang diberikan serta perkembangan penyakit selama
dirawat, tentu data dari RM dapat mengungkapkan dengan jelas.
4. Sebagai dasar analisis, studi, evaluasi terhadap mutu pelayanan yang diberikan kepada
pasien. Baik buruknya pelayanan yang diberikan tercermin dari catatan yang ditulis atau
data yang didapati dalam RM. Hal ini tentu dapat dipakai sebagai bahan studi ataupun
evaluasi dari pelayanan yang diberikan.
5. Melindungi kepentingan hukum bagi pasien, rumah sakit maupun dokter dan tenaga
kesehatan lainnya. Bila timbul permasalahan (tuntutan) dari pasien kepada dokter maupun

15
rumah sakit, data dan keterangan yang diambil dari RM tentu dapat diterima semua pihak.
Di sinilah akan terungkap aspek hukum dari RM tersebut. Bila catatan dan data terisi
lengkap, RM akan menolong semua yang terlibat. Sebaliknya, bila catatan yang ada hanya
sekedarnya saja, apalagi kosong pasti akan merugikan dokter dan rumah sakit. Penjelasan
yang bagaimanapun baiknya tanpa bukti tertulis, pasti sulit dipercaya.
6. Menyediakan data-data khusus yang sangat berguna untuk keperluan penelitian dan
pendidikan. Setiap penelitian yang melibatkan data klinik pasien hanya dapat diper-gunakan
bila telah direncanakan terlebih dahulu. Oleh karena itu, RM di rumah sakit pendidikan
biasanya tersusun lebih rinci karena sering digunakan untuk bahan penelitian.
7. Sebagai dasar di dalam perhitungan biaya pembayaran pelayanan medik pasien. Bila pasien
mau dipulangkan, bagian administrasi keuangan cukup melihat RM, dan segala biaya yang
harus dibayar pasien/keluarga dapat ditentukan.
8. Menjadi sumber ingatan yang harus didokumentasikan, serta sebagai bahan
pertanggungjawaban dan laporan.

Data dan infomasi yang didapat dari RM sebagai bahan dokumentasi, bila diperlukan dapat
digunakan sebagai dasar untuk pertanggungjawaban atau laporan kepada pihak yang
memerlukan di masa mendatang.1

Prosedur Tindakan Medis

Pasal 1. Permenkes No 585/MenKes/Per/IX/1989

a. Persetujuan tindakan medik/ informed consent adalah persetujuan yang diberikan oleh
pasien atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakan medik yang akan
dilakukan terhadap pasien tersebut;
b. Tindakan medik adalah suatu tindakan yang dilakukan terhadap pasien berupa diagnostik
atau terapetik;
c. Tindakan invasif adalah tindakan medik yang langsung dapat mempengaruhi keutuhan
jaringan tubuh
d. Dokter adalah dokter umum/dokter spesialis dan dokter gigi/ dokter gigi spesialis yang
bekerja di rumah sakit, puskesmas, klinik, atau praktek perorangan/bersama.

Pasal 2. Permenkes No 585/MenKes/Per/IX/1989

16
(1) Semua tindakan medik yang akan dilakukan terhadap pasien harus mendapat persetujuan.
(2) Persetujuan dapat diberikan secara tertulis maupun lisan
(3) Persetujuan sebagaiman dimaksud ayat (1) diberikan setelah pasien mendapat informasi
yang adekuat tentang perlunya tindakan medik yang bersangkutan serta risiko yang dapat
ditimbulkannya.
(4) Cara penyampaian dan isi informasi harus disesuaikan dengan tingkat pendidikan serta
kondisi dan situasi pasien.

Pasal 3 Permenkes No 585/MenKes/Per/IX/1989

(1) Setiap tindakan medik yang mengandung risiko tinggi harus dengan persetujuan tertulis
yang ditada tangani oleh yang berhak memberikan persetujuan.
(2) Tindakan medik yang tidak termasuk sebagaimana dimaksud dalam pasal ini tidak
diperlukan persetujuan tertulis, cukup persetujuan lisan.
(3) Persetujuan sebagaimana dimaksud ayat (2) dapat diberikan secara nyata-nyata atau secara
diam-diam.

Pasal 4 Permenkes No 585/MenKes/Per/IX/1989

(1) Informasi tentang tindakan medik harus diberikan kepada pasien, baik diminta maupun
tidak diminta.
(2) Dokter harus memberikan informasi selengkap-lengkapnya, kecuali bila dokter menilai
bahwa informasi tersebut dapat merugikan kepentingan kesehatan pasien atau pasien
menolak diberikan informasi.
(3) Dalam hal hal sebagaimana dimaksud ayat (2) dokter dengan persetujuan pasien dapat
memberikan informasi tersebut kepada keluarga terdekat dengan didampingi oleh seorang
perawat/paramedik lainnya sebagai saksi.

Pasal 5 Permenkes No 585/MenKes/Per/IX/1989

(1) Informasi yang diberikan mencakup keuntungan dan kerugian dari tindakan medik yang
akan dilakukan, baik diagnostik maupun terapeutik.
(2) Informasi diberikan secara lisan.

17
(3) Informasi harus diberikan secara jujur dan benar kecuali bila dokter menilai bahwa hal itu
dapat merugikan kepentingan kesehatan pasien.
(4) Dalam hal-hal sebagaimana dimaksud ayat (3) dokter dengan persetujuan pasien dapat
memberikan informasi tersebut kepada keluarga terdekat pasien.

Pasal 6 Permenkes No 585/MenKes/Per/IX/1989

(1) Dalam hal tindakan bedah (operasi) atau tindakan invasif lainnya, informasi harus
diberikan oleh dokter yang akan melakukan operasi itu sendiri.
(2) Dalam keadaan tertentu di mana tidak ada dokter sebagaimana dimaksud ayat (1),
informasi harus diberikan oleh dokter lain dengan pengetahuan atau petunjuk dokter yang
bertanggung jawab.
(3) Dalam hal tindakan yang bukan bedah (operasi) dan tindakan yang tidak invasif lainnya,
informasi dapat diberikan oleh dokter lain atau perawat, denan pengetahuan atau petunjuk
dokter yang bertanggung jawab.

Pasal 7 Permenkes No 585/MenKes/Per/IX/1989

(1) Informasi juga harus diberikan jika ada kemungkinan perluasan operasi.
(2) Perluasan operasi yang tidak dapat diduga sebelumnya, dapat dilakukan untuk
menyelamatkan jiwa pasien.
(3) Setelah perluasan operasi sebagaimana dimaksud ayat (2) dilakukan, dokter harus
memberikan informasi kepada pasien atau keluarganya.

Pasal 8 Permenkes No 585/MenKes/Per/IX/1989

(1) Persetujuan diberikan oleh pasien dewasa yang berada dalam keadaan sadar dan sehat
mental.
(2) Pasien dewasa sebagaimana dimaksud ayat (1) adalah yang telah berumur 21 tahun (dua
puluh satu) tahun atau telah menikah.

Pasal 9 Permenkes No 585/MenKes/Per/IX/1989

(1) Bagi pasien dewasa yang berada di bawah pengampuan (cura tele) persetujuan diberikan
oleh wali/curator.

18
(2) Bagi pasien dewasa yang menderita gangguan mental, persetujuan diberikan oleh orang
tua/wali/curator.

Pasal 10 Permenkes No 585/MenKes/Per/IX/1989

Bagi pasien di bawah umur 21 (dua puluh satu) tahun dan tidak mempunyai orang tua/wali
dan atau orang tua/wali berhalangan, persetujuan diberikan oleh keluarga terdekat atau induk
semang (guardian).

Pasal 11 Permenkes No 585/MenKes/Per/IX/1989

Dalam hal pasien tidak sadar/pingsan serta tidak didampingi oleh keluarga terdekat dan
secara medik berada dalam keadaan gawat dan atau darurat yang memerlukan tindakan
medik segera untuk kepentingannya, tidak diperlukan persetujuan dari siapapun

Pasal 12 Permenkes No 585/MenKes/Per/IX/1989

(1) Dokter bertanggung jawab atas pelaksanaan ketentuan tentang persetujuan tindakan
medik.
(2) Pemberian persetujuan tindakan medik yang dilaksanakan di rumah sakit/klinik, maka
rumah sakit/klinik yang bersangkutan ikut bertanggung jawab.

Pasal 13 Permenkes No 585/MenKes/Per/IX/1989

Terhadap dokter yang melakukan tindakan medik tanpa adanya persetujuan dari pasien atau
keluarganya dapat dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan surat izin prakteknya.

Pasal 14 Permenkes No 585/MenKes/Per/IX/1989

Dalam hal tindakan medik yang harus dilaksanakan sesuai dengan program pemerintah di
mana tindakan medik untuk kepentingan masyarakat banyak, maka persetujuan tindakan
medik tidak diperlukan.

Pasal 15 Permenkes No 585/MenKes/Per/IX/1989

Hal-hal yang bersifat teknis yang belum diatur dalam Peraturan Menteri ini, ditetapkan oleh
Direktur Jenderal Pelayanan Medik.2

19
Karsinoma Kolon

Mula-mula gejala karsinoma kolon tidak jelas, seperti berat badan menurun (sebagai gejala
umum keganasan) dan kelelahan yang tidak jelas sebabnya. Setelah berlangsung beberapa
waktu barulah muncul gejala-gejala lain yang berhubungan dengan keberadaan tumor dalam
ukuran yang bermakna di usus besar. Gejala lokalnya antara lain:
Perubahan kebiasaan buang air.
Perubahan frekuensi buang air, berkurang (konstipasi) atau bertambah (diare)
Sensasi seperti belum selesai buang air, (masih ingin tapi sudah tidak bisa keluar) dan
perubahan diameter serta ukuran kotoran (feses). Keduanya adalah ciri khas dari kanker
kolorektal
Perubahan wujud fisik kotoran/feses
Feses bercampur darah atau keluar darah berwarna merah segar dari lubang pembuangan
saat buang air besar, feses bercampur lender.
Feses berwarna kehitaman, biasanya berhubungan dengan terjadinya perdarahan di
saluran pencernaan bagian atas.
Timbul rasa nyeri disertai mual dan muntah saat buang air besar, terjadi akibat sumbatan
saluran pembuangan kotoran oleh massa tumor.
Adanya benjolan pada perut yang mungkin dirasakan oleh penderita.
Timbul gejala-gejala lainnya di sekitar lokasi tumor, karena kanker dapat tumbuh
mengenai organ dan jaringan sekitar tumor tersebut, seperti kandung kemih (timbul darah
pada air seni, timbul gelembung udara, dan lain-lain), vagina (keputihan yang berbau,
muncul lendir berlebihan, dan lain-lain). Gejala-gejala ini terjadi belakangan,
menunjukkan semakin besar tumor dan semakin luas penyebarannya.

Dua klasifikasi yang digunakan berdasarkan tumor primer dan metastasenya (sistem TNM)
serta yang berdasarkan Dukes dapat dilihat pada tabel 1 dan 2.

Tabel 1. Sistem Stadium TNM untuk Kanker Kolon5

Stage Tumor Primer (T) Metastase KGB Metastase Jauh


(N) (M)
Stage 0 Karsinoma in situ N0 M0

20
Stage I Tumor menginvasi submukosa (T1) atau N0 M0
muskularis propria (T2).
Stage II Tumor menginvasi muskularis (T3) atau N0 M0
jaringan perirektal (T4).
Stage T1-4 N1 M0
IIIA
Stage T1-4 N2-3 M0
IIIB
Stage IV T1-4 N1-3 M1

Tabel 2. Klasifikasi Dukes5

Stage Karakteristik
Dukes stage A Karsinoma in situ terbatas pada mukosa atau submukosa (T1, N0, M0)
Dukes stage B Kanker meluas ke muskularis (B1), masuk atau menembus serosa (B2)
Dukes stage C Kanker meluas ke KGB (T1-4, N1, M0)
Dukes stage D Kanker telah nermetastase ke tempat yang jauh (T1-4, N1-3, M1)

Terdapat hubungan yang erat antara stadium dan angka bertahan hidup 5 tahun (5-year survival
rate) pada pasien kanker colorectal. Untuk stadium I atau Dukes A, 5-year survival rate setelah
operasi reseksi mencapai 90%. Untuk stadium II atau Dukes B, 5-year survival rate sekitar 70-
85% setelah reseksi, dengan atau tanpa terapi adjuvant (terapi tambahan). Untuk stadium III atau
Dukes C, 5-year survival rate adalah 30-60% setelah reseksi dan kemoterapi. Untuk stadium IV
atau Dukes D, 5-year survival rate sangat buruk (kira-kira 5%).

Perawatan penderita tergantung pada tingkat staging kanker itu sendiri. Terapi akan jauh lebih
mudah bila kanker ditemukan pada stadium dini. Tingkat kesembuhan kanker stadium 1 dan 2
masih sangat baik. Namun bila kanker ditemukan pada stadium yang lanjut, atau ditemukan pada
stadium dini dan tidak diobati, maka kemungkinan sembuhnya pun akan jauh lebih sulit.

Tujuan pengobatan kanker ada dua, yaitu kuratif dan paliatif. Pengobatan kuratif merupakan
upaya yang ditujukan untuk mencapai kesembuhan penyakit kanker. Sementara pengobatan
paliatif ditujukan pada penderita kanker yang sudah tidak memungkinkan kembali dicapainya
kesembuhan. Di antara pilihan terapi untuk penderitanya, pilihan operasi masih menduduki
peringkat pertama dengan ditunjang oleh kemoterapi dan/atau radioterapi (mungkin diperlukan).

21
Pemeriksaan
Pemeriksaan fisik meliputi pemeriksaan dari kepala hingga kaki khususnya abdomen dan
rectal. Pemeriksaaan penunjang meliputi:
- Pengujian darah samar
- Enema barium: tumor dan kelainan lain pada kolon memberikan gambaran bayangan
gelap pada gambaran rontgen
- Kolonoskopi
- Biopsi ditemukan adenokarsinoma
- Ultrasonografi untuk melihat metastasis kanker ke kelenjar getah bening di hati dan
abdomen
- CT scan
- Pemeriksaan antigen karsinoembrionik (CEA)

Penatalaksanaan medis
Medika Mentosa
1. Kemoterapi
- 5-flurouracil merupakan obat pilihan untuk kemoterapi karsinoma kolon.
- Lemavisole serta leucovorin digunakan untuk pasien stadium 3 pasca operasi.
2. Agen biologic
Contoh obat yang digunakan adalah bevacizumab (Avastin) dan Panitumumab
(Vectibix).
3. Radioterapi
Peran radioterapi dalam pengobatan kanker kolon masih terbatas tetapi radioterapi
tetap menjadi modalitas terapi standar. Untuk memperkecil tumor, mencapai hasil
yang lebih baik dari pembedahan, dan untuk mengurangi resiko kekambuhan. Untuk
tumor yang tidak dioperasi atau tidak dapat disekresi, radiasi digunakan untuk
menghilangkan gejala secara bermakna
4. Terapi simptomatik
Termasuk antibiotik, analgesik dan lain-lain. Antara analgesik yang dugunakan adalah
golongan non steroid seperti aspirin dan ibuprofen dan golongan opiod seperti morfin,

22
fentanil, oxycodone,codein dan tramadol. Pemberian dimulai dengan analgesik lemah
dosis rendah dan ditingkatkan sesuai kebutuhan pasien.

23
Non Medika Mentosa
1. Pembedahan
Pembedahan masih merupakan terapi pilihan untuk memperpanjang kehidupan pasien.
Prosedur pembedahan pilihan adalah sebagai berikut:
Reseksi segmental dengan anostomosis (pengangkatan tumor dan porsi usus pada
sisi pertumbuhan, pembuluh darah dan nodus limfatik)
Reseksi abdominoperineal dengan kolostomi sigmoid 24isbandin (pengangkatan
tumor dan porsi sigmoid dan semua 24isban serta sfingter anal )
Kolostomi sementara diikuti dengan reseksi segmental dan anostomosis serta
reanastomosis lanjut dari kolostomi (memungkinkan dekompresi usus awal dan
persiapan usus sebelum reseksi)
Kolostomi dibanding atau ileostomi (untuk menyembuhkan lesi obstruksi yang
tidak dapat direseksi).
2. Diet
Berdasarkan kajian, pasien yang mengamalkan pemakanan daging merah, biji-bijian,
lemak dan makanan bergula tinggi lebih rentan untuk kambuh dibanding pasien yang
mengamalkan diet tinggi serat dan protein.5-7

Prognosis

Prognosis tergantung dari ada tidaknya metastasis jauh, yaitu k1asifikasi tumor dan
tingkat keganasan sel tumor. Untuk tumor yang terbatas pada dinding usus tanpa penyebaran,
angka kelangsungan hidup lima tahun adalah 80%, yang menembus dinding tanpa penyebaran
75%, dengan penyebaran kelenjar 32%, dan dengan metastasis jauh satu persen. Bila disertai
diferensiasi sel tumor buruk, prognosisnya sangat buruk.

Kesimpulan

Euthanasia merupakan suatu proses penghilangan nyawa seseorang baik dengan penghentian
tindakan medis atau memberikan suntikan mati yang dapat mempercepat kematian secara wajar.
Masalah euthanasia masih dalam pro dan kontra dikalangan pemuka agama maupun hukum
negara. Sebagai tenaga medis dalam melakukan euthanasia harus memenuhi syarat-syarat dan
ketentuan yang berlaku.

24
Rekam Medis

No Rekam Medis :1234567


Tanggal Pemeriksaan :7 Januari 2014
Jam Pemeriksaan :10.00 WIB

I. IDENTITAS KORBAN

Nama :X Agama : Islam


Umur : 62 tahun Pekerjaan : Pensiun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Jl. Darmawangsa no 36

II. Anamnesis

Pasien tidak bisa buang air besar selama 3 minggu. Buang air besar bedarah berwarna merah
segar dan tidak lampias. Berat badan menurun. Nyeri pada perut bagian bawah. Mudah
lelah.

III. Pemeriksaan Fisik Umum

Pasien datang dengan keadaan tampak sakit sedang, sadar

Primary Survey:
A : Bebas
B : Spontan, frek napas 16 x / menit
C : Frek nadi 88 x / menit isi cukup, TD 120/80 mmHg
D : GCS 15

Secondary Survey
Mata : sklera ikterik
Kulit : ikterik
Abdomen : hepatomegali, nyeri tekan (+), abdominal tenderness, bising usus menurun
RT : feses berdarah warna merah terang

IV. Pemeriksaan Penunjang dan Hasil Pemeriksaan

Biopsi histologi dengan kolonoskopi menunjukkan adanya tipe sel adenocarcinoma pada
sampel colon.

V. Tindakan / Pengobatan

Pembedahan laparotomi
Capecitabine iv 40mL/menit
Asam Mefenamat 500 mg

25
Daftar Pustaka

1. Sampurna B, Syamsu Z, Siswaja TD. Bioetik dan hukum kedokteran. Jakarta: Pustaka
Dwipar; 2007.h.10-2; 77-85; 138.
2. Hanafiah MJ, Amir A. Etika kedokteran dan Hukum Kesehatan. Jakarta: EGC;
2007.h.52-7.
3. Staf Pengajar Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Peraturan
perundang-undangan bidang kedokteran. Edisi 1. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia;1994.h.20-3.
4. Daliyono. Bagaimana dokter berpikir dan bekerja. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama;
2006.h.72-8.
5. http :// www. medicinenet.com/colon_cancer/article.htm. Colon Cancer Information on
Causes, Symptoms, Test to Detect of the Colon and Rectum. Diakses 8 Januari 2014
6. http :// www.emedicine.com. Colon cancer. Diakses 8 Januari 2014.
7. R. Sjamsuhidajat & Jong WD. Buku ajar ilmu bedah. Jakarta: EGC; 1997.h.646 63.

26

Anda mungkin juga menyukai