Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Salep merupakan salah satu bentuk sediaan farmasi yang digunakan pada
kulit, yang sakit atau terluka dimaksudkan untuk pemakaian topikal. Salep
digunakan untuk mengobati penyakit kulit yang akut atau kronis, sehingga
diharapkan adanya penetrasi kedalam lapisan kulit agar dapat memberikan efek
yang diinginkan. Salep dapat diartikan sebagai sediaan setengah padat ditujukan
untuk pemakaian topikal pada kulit atau selaput lendir . Bahan obatnya larut atau
terdispersi homogen dalam dasar salep yang cocok . Salep tidak boleh berbau
tengik. Kecuali dinyatakan lain kadar bahan obat dalam salep yang mengandung
obat keras atau narkotik adalah 10 %.
Sediaan salep harus memiliki kualitas yang baik yaitu stabil, tidak
terpengaruh oleh suhu dan kelembaban kamar, dan semua zat yang dalam salep
harus halus. Oleh karena itu pada saat pembuatan salep terkadang mangalami
banyak masalah, saleb yang harus digerus dengan homogen, agar semua zat
aktifnya dapat masuk ke pori-pori kulit dan diserab oleh kulit.
Pelepasan obat dari basisnya merupakan faktor penting dalam keberhasilan
terapi dengan menggunakan sediaan salep. Pelepasan obat dari sediaan salep
sangat dipengaruhi oleh sifat kimia fisika obat seperti kelarutan, ukuran partikel
dan kekuatan ikatan antara zat aktif dengan pembawanya serta untuk basis yang
berbeda faktor-faktor diatas mempunyai nilai yang berbeda. Pemilihan formulasi
sangat menentukan tercapainya tujuan pengobatan oleh sebab itu dalam membuat
suatu sediaan yang sangat perlu diperhatikan adalah pemilihan formulasi.

1.2. Tujuan
a. Untuk mengetahui cara pembuatan salep yang baik dan benar
b. Untuk mengetahui komposisi dan fungsi bahan dalam suatu formula
salep
c. Untuk mengetahui evaluasi sediaan salep

1.3. Rumusan Masalah


a. Bagaimana cara pembuatan salep yang baik dan benar?
b. Apa saja komposisi dan fungsi bahan dalam suatu formula salep?
c. Apa saja evaluasi sediaan salep?
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Dasar teori


Salep adalah sedian setengan padat yang ditujukan untuk pemakaian topical
kulit atau selaput lender salep tidak booleh berbau tengik kecuali dinyatakan lain,
kadar bahan obat dalam salep mengandung obat keras narkotika adalah 10 %(FI
IV)
Salep dan cream adalah sediaan yang berbentuk setengah padat, terutama
untuk pemakaian lokal. Sediaan setengah padat ini diformulasikan dengan
konsistensi sedemikian rupa, sehingga diperoleh produk yang halus dan lembek
yang mudah dioleskan pada permukaan kulit. Bagian kulit yang paling
berpengaruh untuk absorpsi obat adalah : bagian epidermis, kelenjar rambut,
kelenjar keringat serta kelenjar minyak.

Epidermis adalah lapisan kulit paling luar di mana salep/cream tersebut


dioleskan. Tebal epidermis tersebut berlain-lainan tergantung dari letak kulit,
sehingga sangat berpengaruh pada daya penyerapan obat. Bagian epidermis ini
dilapisi oleh suatu lapisan film yang terdiri dari lemak-lemak, yang mempunyai
pH sekitar 4,5-6,5 dengan akibat diperoleh absorpsi yang berbeda pula. Telah
terbukti bahwa absorpsi obat ke dalam kulit selain melalui lapisan epidermis tadi,
juga melalui saluran-saluran di dalam kulit, seperti kelenjar rambut dan kelenjar
keringat.

Faktor-faktor yang memegang peranan di dalam proses absorpsi melalui kulit


antara lain adalah:

1. Koefisien partisi dari pada obat.


2. Kelembaban dan suhu kulit.
3. Jenis penyakit yang terdapat pada kulit.
4. Konsentrasi bahan berkhasiat.
5. Dasar salep/cream yang dipakai.
Dasar salep yang digunakan sebagai pembawadibagi dalam 4
kelompok:dasar salep senyawa hidrokarbon, dasar salep serap, dasar salep yang
dapat dicuci dengan air, dasar salep larut dalam air. Setiap salep obat
menggunakan salah satu dasar salep tersebut.
Dasar salep hidrokarbon, dasar salep ini dikenal sebagai dasar salep
berlemak antar lain vaselin putih dan salep putiih. Hanya sejumlah kecil
komponen berair dapat dicampurkan kedalamnya. Salep ini dimaksud untuk
memperpanjang kontak bahan obat dengan kulit dan bertindak sebagai pembalut
penutup. Dasar salep hidrokarbon digunakan terutama sebagai emolien, dan sukar
dicuci , tidak mengering dan tidak tmpak berubah dalam waktu lama.
Dasar salep serap, dasar salep serap ini dapat dibagi dalam 2 kelompok.
Kelompok pertama terdiri atas dasar salep yang dapat bercampur dengan air
membentuk emulsi air dalam minyak (parafi hidrofilik dan lanolin anhidrat), dan
kelompok ke 2terdir atas emulsi air dalam minyak yang dapat bercampurdengan
sejumlah larutan air tambahan (lanolin). Dasar salep serap juga dapat bermanfaat
sebagai emolien.
Dasar salep yang dapat dicuci dengan air, dasar salep ini adalah emulsi
minyak dalam air antara lain salep hidrofilik dan lebih tepat disebut krim(lihat
kremores). Dasat ini dinyatakan juga sebagai dapat dicuci dengan air karena
mudah dicuci dikulit atau dilap basah, sehingga dapat diterima untuk dasar
kosmetik.beberpa bahan obat dapat menjadi lebih efektif menggunakan dasar
salep ini daripada dasar salep hidrokarbon. Keuntungan lain dari dasar salep ini
adalah dapat diencerkan dengan air dan mudah menyerap cairan yang terjdi pada
kelainan dermatologik.
Dasar salep larut dalam air, kelompok ini disebut juga dasar salep tak
berlemak dan terdiri dari konstituen larut air. Dasar salep jenis ini memberikan
banyak keuntungan seperti dasar salep yang dapat dicuci dengan air dan tidak
mengandung bahan yang tak larut dalam air seperti parafin, lanolin anhidrat atau
malam. Dasar salep ini lebih tepat disebut gel.
2.2. Macam Macam Salep
Salep adalah sediaan setengah padat yang mudah dioleskan dan digunakan
sebagai obat luar. secara umum salep dapat dibedakan menjadi beberapa tipe
yaitu:
a. Salep berlemak
Senyawa hidrokarbon dan malam juga diaggap termasuk lemak. Daya menyerap
air dari basis adalah sebagai berikut:
- 100 bagian adeps lanae dapat menyerap air 200 bagian.
- 100 bagian lanolinum dapat menyerap air 120 bagian.
- 100 bagian vaselinum dapat menyerap air 10 bagian.
- 100 bagian vaselinum dengan 5% cera dapat menyerap air 40 bagian
- 100 bagian vaselinum dengan 5% adeps lanae dapat menyerap air 100 bagian.
- 100 bagian cetylicum dengan 5% adeps lanae dapat menyerap air 30 bagian.
b. Pasta berlemak
Pasta berlemak adalah suatu salep yang mengandung lebih dari 50% zat padat
(serbuk).sebagai bahan dasar salep digunakan vaselin, parafin cair. Bahan tidak
berlemak seperti glycerinum, mucilago atau sabun dan digunakan sebagai
antiseptik atau pelindung kulit.
c. Salep pendingin
Suatu salep yang mengadung tetes air yang relatif besar. Pada pemakaian pada
kulit, tetes air akan menguap dan menyerap panas badan yang mengakibatkan rasa
sejuk.
d. Krim (cremor)
Krim adalah sediaan setengah padat berupa emulsi kental mengandung tidak
kurang dari 60% air, dimaksudkan untuk luar.
e. Mikstur gojog
Suatu bentuk suspensi dari zat padat dalam cairan, biasanya terdiri air, glycerinum
dan alkohol. Mikstur gojog biasanya mengandung 60% cairan.wadah yang
digunakan adalah botol mulut lebar, sebelum dipakai digojog dulu.sebagai
pensuspensi digunakan bentonit.
f. Pasta kering
Suatu pasta bebas lemak mengandung + 60% zat padat (serbuk).Dalam
pembuatan akan terjadi kesukaran bila dalam resep tertulis Ichthamolum atau
Tumenol ammonium. Adanya zat tersebut akan menjadikan pasta menjadi encer.
g. Pasta pendingin
Merupakan campuran serbuk minyak lemak dan cairan berair, dikenal dengan
Salep Tiga Dara.

2.3. Penggolongan Salep


1. Menurut konsistensinya salep dapat dibagi:
Unguenta: salep yang mempunyai konsistensi seperti mentega, tidak
mencair pada suhu biasa, tetapi mudah dioleskan tanpa memakai tenaga
Cream (krim): salep yang banyak mengandung air, mudah diserap kulit ,
suatu tipe yang dapat dicuci dengan air.
Pasta: salep yang mengandung lebih dari 50% zat padat (serbuk), suatu
salep tebal karena merupakan penutup atau pelindung bagian kulit yang
diolesi.
Cerata:salep berlemak yang mengandung persentase lilin (wax) yang
tinggi sehingga konsistensinya lebih keras (ceratum labiale).
Gelones/ spumae/ jelly: salep yang lebih halus umumnya cair dan sedikit
mengandung atau tanpa mukosa, sebagai pelicin atau basis, biasanya
terdiri atas campuran sederhana dari minyakk dan lemak dengan titik lebur
rendah. Contohnya: starch jellieas (10% amilum dengan air mendidih).

3. Menurut sifat farmakologinya/terapeutik dan penetrasinya, salep dapat dibagi:


Salep epidermis (epidermic ointhment; salep penutup) guna melindungi
kuli dan menghasilkan efek lokal, tidak diabsorpsi, kadang-kadang
ditambahkan antisseptik, astringensia untuk meredahkan rangsanagan atau
anestesi lokal. Ds yang baik adalah ds. Senyawa hidrokarbon.
Salep endodermis: salep yang bahan obatnya menembus kedalam kulit,
tetapi tidak melalui kulit, terabsorbsi sebagian, digunakan untuk
melunakan kulit atau selaput lendir. Ds yang baik adalah minyak lemak.
Salep diadermis: salep yang bahan obatnya menembus kedalam tubuh
melalui kulit dan mencapai efek yang diinginkan, misalnya saalep yang
mengandung senyawa merkuri iodida, beladona.

4. Menurut dasar salep, salep dapat dibagi:


Salep hidrofobik yaitu salep yang tidak suka air atau salep dengan dasar
salep berlemak (greasy bases) tidak dapat dicuci dengan air, misalnya:
campuran lemak-lemak, minyak lemak, malam.
Salep hidrofilik yaitu salep yang sukar air; biasanya ds. Tipe M/A.

5. Menurut formularium nasional (fornas)


Dasar salep 1 (ds senyawa hidrokarbon)
Dasar salep 2 (ds. serap)
Dasar salep 3 (ds. Yang dapat dicuci dengan air atau ds. Emulsi M/A)
Dasar salep 4 (ds. Yang dapat larut dalam air).

2.4. Syarat Dan Kualitas Bahan Dasar Salep


a. Stabil, selama masih dipakai mengobati. Maka salep harus bebas dari
inkompatibilitas, stabil pada suhu kamar dan kelembaban yang ada dalam kamar.
b. Lunak, yaitu semua zat dalam keadaan halus dan seluruh produk
menjadi lunak danhomogen. Sebab salep digunakan untuk kulit yang
teriritasi,inflamasi dan ekskloriasi.
c. Mudah dipakai, umumnya salep tipe emulsi adalah yang paling mudah
dipakai dandihilangkan dari kulit.
d. Dasar salep yang cocok yaitu dasar salep harus kompatibel secara fisika
dan kimiadengan obat yang dikandungnya. Dasar salep tidak boleh merusak atau
menghambat aksi terapi dari obat yang mampu melepas obatnya pada daerah yang
diobati.
e. Terdistribusi merata, obat harus terdistribusi merata melalui dasar salep
padat atau cair pada pengobatan.

2.5. Metode pembuatan salep

Menurut Ansel (1989), salep dibuat dengan dua metode umum, yaitu:
metode pencampuran dan metode peleburan. Metode untuk pembuatan tertentu
terutama tergantung pada sifat-sifat bahannya.

1. Pencampuran

Dalam metode pencampuran, komponen dari salep dicampur dengan segala cara
sampai sediaan yang rata tercapai.

2. Peleburan

Pada metode peleburan, semua atau beberapa komponen dari salep dicampurkan
dengan melebur bersama-sama dan didinginkan dengan pengadukan yang konstan
sampai mengental. Komponen-komponen yang tidak dicairkan ditambahkan pada
cairan yang sedang mengental setelah didinginkan.

Bahan yang mudah menguap ditambahkan terakhir bila temperature dari


campuran telah cukup rendah tidak menyebabkan penguraian atau penguapan dari
komponen.

2.6. Pengujian salep

Meliputi uji sifat fisik dan kecepatan pelepasan obat dari salep.

1. Uji sifat fisik salep terdiri dari:

a. Viskositas

Viskositas menyatakan tahanan dari suatu cairan untuk mengalir, makin tinggi
akan semakin besar tegangan. (Martin dkk, 1993).
b. Daya melekat

Untuk mengetahui lamanya salep melekat pada kulit.

c. Daya menyebar

Untuk mengetahui kelunakan massa salep pada waktu dioleskan pada kulit yang
diobati.

d. Daya proteksi

Untuk mengetahui kekuatan salep melindungi kulit dari pengaruh luar pada waktu
pengobatan.

2. Kecepatan pelepasan obat

Untuk mengetahui pelepasan obat pada kulit dengan membran selofan (Voigt,
1984). Metode pelepasan obat dari basis dapat dilakukan dengan Metode in-vitro

Metode in-vitro terdiri dari:


a. Metode pelepasan tanpa batas membrane
b. Metode difusi dengan kontrol membran, yang terdiri dari:
1) Membran kulit tiruan
2) Membran kulit alami
3) Sel difusi
4) Kondisi sel difusi tiruan secara in-vitro (Barry, 1983)
Uji pelarutan in-vitro mengukur laju dan jumlah pelarutan obat dalam suatu
media dengan adanya satu atau lebih bahan tambahan yang terkandung dalam
produk obat. Sifat medium pelarutan juga akan mempengaruhi uji pelarutan.
Kelarutan maupun jumlah obat dalam bentuk sediaan harus dipertimbangkan.
Dalam melakukan uji in-vitro ini perlu diperhatikan beberapa faktor, yaitu :

- Ukuran dan bentuk wadah yang mempengaruhi laju dan tingkat pelarutan.
- Jumlah pengadukan dan sifat pengadukan. Kenaikan pengadukan dari media
pelarut akan menurunkan tebal stagnant layer mengakibatkan kelarutan obat
lebih cepat (Shargel dan Yu, 2005). Pengadukan terlalu lemah ada resiko
cuplikan dalam medium tidak homogen dan pengadukan terlalu kuat
menyebabkan turbulensi (Aiache,1982).
- Suhu
Dalam medium percobaan suhu harus dikendalikan pada keadaan yang
konstan yaitu dilakukan pada suhu 37 oC sesuai dengan suhu tubuh manusia.
Adanya kenaikan suhu selain dapat meningkatkan gradien konsentrasi juga
akan meningkatkan energi kinetik molekul dan meningkatkan tetapan difusi
sehingga akan menaikkan kecepatan disolusi (Shargel dan Yu, 2005).
- Medium pelarutan
Sifat medium pelarutan akan mempengaruhi uji pelarutan obat. Medium
disolusi hendaknya tidak jenuh dengan obat. Medium yang baik merupakan
persoalan tersendiri dalam penelitian. Dalam uji, biasanya digunakan suatu
media yang lebih besar daripada jumlah pelarut yang diperlukan untuk
melarutkan obat secara sempurna (Shargel dan Yu, 2005).

Metode in-vivo, terdiri dari :


a. Penelitian respon fisiologis dan farmakologi pada hewan uji
b. Sifat fisika kulit
c. Metode histologi
d. Analisis pada cairan badan atau jaringan
e. Kehilangan permukaan (Barry, 1983).
BAB III
FORMULASI

3.1. Formula
Salep Benzokaina
3.2. Rancangan Formula
Tiap gram mengandung :
Benzocaine 6% Zat aktif
propil paraben 0,02 % pengawet
alpha tokoferol 0,05 % antioksidan
propilenglikol Q.S basis
adeps lanae Add 100% basis

3.3. Master Formula


Nama produk : Vanzokaina salep
Bobot produk : 10 gram
No. reg : DTL 0401605079 A1
No. Bacth : C 010003
3.4. Perhitungan Bahan :
Dibuat 10 gram dilebohkan 10%
Benzokaina = 6/100 x 11 = 0,66 g
Propil paraben = 0,02/100 x 11 = 0,002g
-Tocoferol = 0,05/100 x 11 = 0,05g
Propilenglikol (secukupnya)
Adeps lanae = 10 g (0,66+0,02+0,05)
= 10 1,39
= 8,61 gram.
3.5. Cara kerja
a. Disiapkan alat dan bahan yang akan digunakan.
b. Timbang bahan sesuai dengan perhitungan
c. Dibuat pengenceran Tocoferol 1 capsul dikeluarkan isinya, dan
dicukupkan dengan parafin liquidum
d. Dilarutkan benzocaine dan propil paraben dengan propilenglikol
secukupnya.
e. Dimasukkan sebagian basis
f. Dimasukkan sisa propilenglikol dan alfa tokoferol
g. Dimasukkan sisa basis
h. Dimasukkan semua bahan ke dalam tube yang telah ditarer
i. Diberi etiket dan brosur.

3.6. Evaluasi
In Process Control

A. Organoleptik;

Pada saat hari pembuatan, warna kuning pucat. Hal ini disebabkan karena
salep ini mengandung cera alba yang berwarna kuning pucat. Rasa pada jari halus
yang artinya semua bahan sudah homogeny. Uji organoleptic yang kedua yaitu uji
ketengikan. Setelah mengalami penyimpanan selama 1 minggu, formula salep ini
ternyata menghasilkan bau yang tengik. Kemungkinan hal ini disebabkan karena
adanya zat pengotor dri basis salep yang tidak seluruhnya tersaring di atas kain
kassa, sehingga formula salep menjadi tengik selama penyimpanan.

B. Uji homogenitas;

Uji ini dimaksudkan untuk mengetahui distribusi partikel atau granul dari
suatu pasta dan hasil dari uji salep yang dilakukan hasilnya homogen. Hal ini
mengartikan bahwa partikel dari salep tersebut telah terdistribusi dengan baik atau
merata. Dapat dilihat saat sampel salep di oleskan secara merata pada obyek glass,
persebaran butiran-butiran merata.

End Process Control


Evaluasi salep biasa dilakukan dengan beberapa pengujian sebagai berikut:

A. Daya menyerap air


Daya menyerap air diukur sebagai bilangan air, yang digunakan untuk
mengkarakterisasikan basis absorpsi. Bilangan air dirumuskan sebagai jumlah air
maksimal (g), yang mampu diikat oleh 100 g basis bebas air pada suhu tertentu
(umumnya 15-20o C) secara terus-menerus atau dalam jangka waktu terbatas
(umumnya 24 jam), dimana air tersebut digabungkan secara manual. Kedua
bilangan ukur tersebut dapat dihitung satu ke dalam yang lain melalui persamaan :

B. Kandungan air
Ada tiga cara yang dapat dilakukan untuk menentukan kandungan air dalam
salap.
- Penentuan kehilangan akibat pengeringan. Sebagai kandungan air digunakan
ukuran kehilangan massa maksimum (%) yang dihitung pada saat pengeringan
disuhu tertentu (umumnya 100-110oC).
- Cara penyulingan. Prinsip metode ini terletak pada penyulingan menggunakan
bahan pelarut menguap yang tidak dapat bercampur dengan air. Dalam hal ini
digunakan trikloretan, toluen, atau silen yang disuling sebagai campuran azeotrop
dengan air.
- Cara titrasi menurut Karl Fischer. Penentuannya berdasarkan atas perubahan
Belerang Oksida dan Iod serta air dengan adanya piridin dan metanol menurut
persamaan reaksi berikut:

I2 + SO2 + CH3OH + H2O -> 2 HI + CH3HSO4

Adanya pirin akan menangkap asam yang terbentuk dan memungkinkan


terjadinya reaksi secara kuantitatif.Untuk menghitung kandungan air digunakan
formula berikut :

% Air = f . 100 (a-b) P


f = harga aktif dari larutan standar (mg air/ml),
a = larutan standar yang dibutuhkan (ml),
b = larutan standar yang diperlukan dalam penelitian blanko (ml),
P = penimbangan zat (mg)

C. Konsistensi
Konsistensi merupakan suatu cara menentukan sifat berulang, seperti sifat
lunak dari setiap sejenis salap atau mentega, melalui sebuah angka ukur. Untuk
memperoleh konsistensi dapat digunakan metode sebagai berikut:
- Metode penetrometer.
- Penentuan batas mengalir praktis

D. Penyebaran
Penyebaran salap diartikan sebagai kemampuan penyebarannya pada kulit.
Penentuannya dilakukan dengan menggunakan entensometer.

E. Termoresistensi
Dihasilkan melalui tes berayun. Dipergunakan untuk mempertimbangkan
daya simpan salep di daerah dengan perubahan iklim (tropen) terjadi secara nyata
dan terus-menerus.

F. Ukuran Partikel
Untuk melakukan penelitian orientasi, digunakan grindometer yang banyak
dipakai dalam industri bahan pewarna.Metode tersebut hanya menghasilkan harga
pendekatan, yang tidak sesuai dengan harga yang diperoleh dari cara mikroskopik,
akan tetapi setelah dilakukan peneraan yang tepat, metode tersebut daat menjadi
metode rutin yang baik dan cepat pelaksanaannya.
BAB IV
PEMBAHASAN

4.1. Alasan penambahan bahan


Benzokain digunakan untuk meredakan nyeri dan gatal-gatal yang
disebabkan luka bakar, gigitan atau sengatan serangga, racun tanaman,
luka kecil atau goresan.
Benzokain termasuk dalam kelompok obat yang dikenal sebagai anestesi
topikal lokal.
Cara kerjanya ialah mematikan ujung saraf di kulit. Obat ini tidak
menyebabkan hilang kesadaran seperti obat bius yang umumnya
digunakan untuk operasi.
Dosis yang digunakan untuk sediaan salep topikal benzocaine yaitu 5-
20%.
Nama Kimia : Aethylis Aminobenzoas, Etil Aminobenzoat
RM/BM : C9H11NO2/165,20
Pemerian : Hablur kecil atau serbuk hablur; putih; tidak berbau; agak
pahit disertai rasa tebal
Kelarutan : Sangat sukar larut dalam air, mudah larut dalam etanol
(95%) P, dalam kloroform P dan dalam eter P, sangat mudah larut dalam
propilenglikol
Stabilitas:
Penyimpanan dalam wadah tertutup baik
Terlindung dari cahaya
Titik Lebur 88-92oC
Inkompatibilitas: Terurai oleh alkali hidroksida menjadi garam, mencair
bila ditriturasi dengan mentol, phenol, camphor atau resorsinol.
Propil Paraben
Pengawet dibutuhkan pada sediaan semipadat untuk mencegah
kontaminasi penguraian dan pembusukan oleh bakteri dan jamur karena
beberapa komponen dalam sediaan ini menjadi substrat untuk
mikroorganisme. (Lachman : 542)
Ester paraben dari asam hidroksi benzoat adalah masih populer sebagai
pengawet karena tidak toksik, tidak berbau dan tidak mengiritasi kulit.
(Lachman : 522)
Metil, etil, propil dan butil ester dari asam p hidroksi benzoat secara umum
digunakan dalam lotio dan cream tangan. Metil ester lebih larut dalam air
sedangkan butil ester kurang (sedikit) larut dalam air. (Balsam : 207)
Aktivitas pengawet sebagai anti bakteri dan bakteriostatik tergantung pada
koefisien partisi. Pengawet harus memiliki partisi antara fase minyak dan
fase air. Pengawet lebih terpartisi dalam salah satu fase dari fase yang
lainnya maka diperlukan penambahan jumlah pengawet yang ditambahkan
agar kedua fase terlindungi dari pembusukan mikroba. Metil dan propil
paraben umumnya digunakan dalam sediaan semi padat. Kelarutan
keduanya lebih baik dari fase air dan fase minyak dapat diterima.
(Lachman : 517)
Adeps Lanae
Adeps lanae dapat mengandung tidak lebih dari 0,25 % air. Tidak larut
dalam air tapibercampur tanpa berpisah dengan air 2 kali beratnya (Ansel :
504)
Adeps lanae adalah bahan murni yang tidak larut mengandung air,
diperoleh dari bulu domba, mengandung ester asam lemak berupa
kolesterol, isokolesterol, oksikolesterol. Biasanya tidak larut dalam air dan
dapat menyerap air 2 kali beratnya. (scovilles : 345)
Adeps lanae sangat cepat dan mudah diabsorbsi oleh kulit. Karena karakter
dan komposisi mirip dengan asam lemak yang disekresi oleh kelenjar
sebaseus. (lemak). (Scovilles : 346)
Alfa tokoferol
Antioksidan perlu digunakan untuk mencegah teroksidasinya basis yang
digunakan yaitu adeps lanae.
Propilenglikol digunakan untuk melarutkan zat aktif benzokaine.

4.2. Alasan menggunakan metode

Metode pembuatan salep terdiri dari dua metode yaitu metode pencampuran
dan metode peleburan. Metode pencampuran dilakukan dengan cara komponen
salep dicampur dengan segala cara sampai sediaan yang rata tercapai. Sedangkan
metode peleburan dilakukan dengan cara semua atau beberapa komponen dari
salep dicampurkan dengan melebur bersama-sama dan didinginkan dengan
pengadukan yang konstan sampai mengental.
Metode pembuatan salep yang digunakan yaitu metode pencampuran. Metode
tersebut dipilih berdasarkan karakteristik komponen yang digunakan, dimana
komponen yang digunakan berbentuk serbuk (benzocaine, propil paraben dan alfa
tocoferol) yang tidak perlu dilebur terlebih dahulu malainkan dilarutkan didalam
media cair (propilenglikol) kemudian dicampurkan dengan basis sampai
homogen.
BAB V
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
a. Pembuatan salep yang baik dan benar yaitu dengan mengetahui terlebih
dahulu karakteristik dari masing-masing bahan dan zat yang digunakan, hal
ini dimaksudkan untuk memberikan perlakuan khusus pada sediaaan yang
tentunya memiliki kelarutan dan konsistensi, serta, sifat kimia fisika yang
berbedaa-beda. Selain itu interaksi yang kemungkinan terjadi antara bahan
yang satu dengan bahan lain, serta bahan dengan alaat dan waadaah yang
digunakan juga perlu diperhatikan.
b. Komposisi bahan dalam suatu formula salep terdiri dari bahan aktif dan bahan
tambahan. Komposisi dalam formulasi : Benzocaine (bahan aktif), propil
paraben (bahan tambahan pengawet), alpha tokoferol (bahan tambahan
antioksidan), propilenglikol (bahan tambahan pelarut), dan adeps lanae
(basis).
c. Evaluasi sediaan salep terdiri dari in process control (uji organoleptis dan uji
homogenitas) dan end process control (uji daya menyerap air, uji kandungan
air, uji konsistensi, uji penyebaran, uji termoresistensi, dan uji ukuran
partikel)

5.2. Saran
Hendaknya dalam memformulasikan suatu sediaan seorang praktikan harus
benar-banar memperhatikan karakteristik bahan, konsentrasi bahan, sifat dari
masing-masing bahan serta interaksi antar bahan yang besar
kemungkinannnya sangat bias terjadi. Sehingga dengan demikian sediaan yang
diformulasikan akan menghasilkan suatu sediaan yang benar-benar layak pakai
dan seminimal mungkin dapat mengurangi kekurangan dari sediaan krim
tersebut.Selain itu factor lain yang yang perlu diperhatikan adalah pada proses
pembuatannya. Dengan mempertimbangkan karakteristik, konsentrasi dan
interaksi dari masig-masing bahan tadi, seorang praktikan harus mampu
merancang dan membuat prosedur kerja yang sebaik mungkin sesuai ketentuan,
agar sediaan yang dibuat dapat memenuhi standar evaluasi yang ditetapkan.
DAFTAR PUSTAKA

1. Ansel. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Jakarta : UI press


2. Anonim. 1979. Farmakope Indonesia edisi III. Jakarta : Departemen
Kesehatan RI
3. Anonim. 1995. Farmakope Indonesia ediai IV. Jakarta : Departemen
Kesehatan RI
4. Pharmacopee Ned edisi V
5. Soetopo dkk. 2002. Ilmu Resep Teori. Jakarta : Departemen Kesehatan
6. Voigt. 1995. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi. Yogyakarta : UGM Press
7. Lachman dkk. 1994. Teori Dan Praktek Farmasi Industri. Jakarta : UI Press
8. Departemen Kesehatan RI. 1978. Formularium Nasional edisi II. Jakarta
9. Van Duin. 1947. Ilmu Resep. Jakarta : Soeroengan

Anda mungkin juga menyukai